Anda di halaman 1dari 13

JOURNAL READING

DIAGNOSTIC AND THERAPEUTIC PROTOCOL IN TREATMENT OF


ENTERIC FEVER IN CHILDREN

Dua Himanshu, Edbor Anjali, Khobragade Roopal. Global Journal For Research
Analysis. 2017 Volume 6, Issue-9

DISUSUN OLEH:
M. FAKHRI KUSUMA W G99172042 (L-18)
RATNA NINGSIH G99172139 (L-17)

PEMBIMBING:
H. Rustam Siregar, dr., Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
DR. MOEWARDI

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Pembacaan jurnal ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Pembacaan jurnal dengan judul:

DIAGNOSTIC AND THERAPEUTIC PROTOCOL IN TREATMENT OF


ENTERIC FEVER IN CHILDREN

Hari, tanggal: , November 2018

Oleh:
M. Fakhri KW G99172104 (L-18)
Ratna Ningsih G99172139 (L-17)

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Pembacaan Jurnal

H. Rustam Siregar, dr., Sp.A

2
DIAGNOSTIK DAN PROTOKOL TERAPI DALAM PENGOBATAN

DEMAM ENTERIK PADA ANAK-ANAK

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian retrospektif diagnostik dan protokol


pengobatan untuk manajemen kasus demam enterik yang terjadi pada anak-anak.

Objektif: Penelitian deskriptif observasional dilakukan pada kasus pasien demam enterik
yang dirawat selama bulan Januari 2015 hingga Januari 2016. Pada populasi pediatrik
dalam kelompok usia 2 hingga 20 tahun di NKPSIMS, Digdoh, Hingna, Nagpur

Hasil: Dari 41 anak dengan demam enterik dengan rasio pria dan wanita adalah 1,3: 1
dengan kelompok usia yang sama antara 11-20 tahun. Komposisi 20 kasus berasal dari
daerah perkotaan, 13 dari Pedesaan dan 8 berasal dari daerah pinggiran kota. S typhi
diisolasi dalam ... kasus sementara S. paratyphi di ... kasus. Gambaran klinis S. typhi dan
S. paratyphi tidak dapat dibedakan. Tak satu pun dari anak-anak diimunisasi untuk
demam tifoid. Demam dengan atau tanpa menggigil adalah gejala yang paling umum.
Durasi rata-rata tinggal adalah 6,8 hari dan tidak ada hubungan usia anak dengan rawat
inap selama pengobatan kasus demam tifoid. Tidak ada relevansi yang penting antara
durasi demam pra rumah sakit dengan waktu tinggal pasien selama di rumah sakit
maupun respon pengobatan antibiotik. Tidak terlihat adanya Co-morbiditas . Kultur
darah adalah standar emas terutama pada anak-anak dengan pengobatan antibiotik
sebelumnya. Ceftriaxone sebagai obat tunggal efektif dalam pengobatan sebagian besar
pasien demam enterik.

Kesimpulan: Intervensi kesehatan masyarakat untuk meminimalkan kontak host,


peningkatan sanitasi lingkungan, peningkatan higienitas termasuk strategi perilaku
perawatan kesehatan, vaksinasi tifoid dan pemilihan antibiotik rasional berdasarkan pola
sensitivitas untuk mencegah resistensi akan membantu mengurangi morbiditas dan
mortalitas masalah kesehatan global ini.

Pendahuluan

Demam enterik adalah demam yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar
Typhi (S.typhi -80%) dan Salmonella enterica serovara Paratyphi (S. paratyphi A, B and
C). Penyakit ditularkan melalui rute feco-oral, melalui makanan & air yang
terkontaminasi. Ancaman penyakit yang besar hadir dalam populasi India adalah
kebutuhan sanitasi lingkungan, makanan yang aman & air minum. Tren menggunakan
"Makanan cepat saji" dari restoran, tempat wisata & pusat ziarah, memperbanyak
insidensi demam enterik yang tinggi. Cakupan vaksinasi yang diabaikan pun menjadi
penyebab "Bahan Bakar untuk Api" dan bertanggung jawab atas kerentanan populasi
terhadap penyakit serta tingginya insidensi resistensi obat , morbiditas, mortalitas serta

3
meningkatnya biaya terapi dalam beberapa dekade terakhir menjadi permasalahan di
negara kita (India).

Penyediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik adalah prioritas di negara
maju, sehingga penyakit yang diakibatkan akibat tidak terpenuhinhya kebutuhan tersebut
sebagian besar terdapat pada negara-negara berkembang di mana1 standar kebersihan
dan sanitasi masih buruk. Perkiraan global insiden demam enterik yang disebabkan oleh
S. typhi adalah lebih dari 21 juta dan menyebabkan 700.000 kematian setiap tahun serta
lebih dari 5 juta infeksi baru yang disebabkan oleh S. paratyphi A 2,3. Manajemen demam
tifoid yang tepat waktu dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan umum
pendukung seperti penggunaan antipiretik, pemeliharaan hidrasi, nutrisi yang tepat dan
diagnostik yang cepat serta pengobatan komplikasi sangat penting untuk terapi yang
maksimal. Serta diet normal dan tidak dibatasinya makananan adalah hal yang perlu
dilakukan pad anak anak.

Di daerah penyakit endemik, 90% atau lebih dari kasus tifus bisa dikelola di rumah
dengan antibiotik oral yang tepat dan menyusui yang baik4 . Tindaklanjut medis
diperlukan untuk mencari komplikasi atau kegagalan terapi. Pasien dengan muntah terus-
menerus, ketidakmampuan untuk memasukan makanan oral, diare berat dan distensi
abdomen adalah indikasi terapi antibiotik parenteral di rumah sakit.

Terapi Antimikroba

Sejak 1990-an, Salmonella typhi mulai menunjukan resistensi untuk semua obat yang
digunakan sebagai terapi lini pertama (kloramfenikol, kotrimoksazol dan ampisilin) dan
dikenal sebagai Demam Tifoid tipe multi-obat resisten (MDRTF). Ada beberapa laporan5
kemunculan kembali strain rentan obat lini pertama . Namun, laporan-laporan ini hadir
dalam jumlah yang sedikit, terkecuali uji sensitivitas antibiotic yang menunjukkan
organisme sepenuhnya adekuat terhadap obat lini pertama tidak dianjurkan untuk
empirical therapy di tifoid.

Fluoroquinolones secara luas dianggap sebagai obat yang paling efektif untuk 1
pengobatan demam tifoid. Namun sayangnya, beberapa strain S.typhi telah menunjukkan
pengurangan kepekaan terhadap fluoroquinolones6, 7. Di pengujian disk rutin dengan
titik-titik yang direkomendasikan, organisme dengan kepekaan terhadap
fluoroquinolones menunjukkan klinis yang buruk dalam menanggapi pengobatan yang
sebenarnya. Organisme ini ketika diuji oleh asam nalidiksat menunjukan resistensi. Jadi
dengan kata lain resistensi terhadap asam nalidiksat adalah penanda yang dapat
memprediksi kegagalan pengobatan fluoroquinolones dan dapat digunakan untuk
memandu terapi antibiotic. Resistensi terhadap fluoroquinolones bisa total atau
sebagian. Asam Nalidiksat Resisten S Typhi (NARST) adalah penanda berkurangnya
kepekaan terhadap fluoroquinolones.

Dengan perkembangan resistensi fluoroquinolones, pengobatan generasi ketiga


cephalosporin digunakan tetapi hal tetap disertai dengan laporan resistensi terhadap
antibiotik8. Baru baru ini, Azitromisin adalah terapi yang dapat digunakan sebagai

4
alternatif untuk pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi9. Aztreonam dan imipenem
juga obat lini ketiga yang potensial untuk digunakan baru-baru ini1.

Sekarang ada banyak bukti dari penggunaan fluoroquinolones jangka panjang pada
anak-anak yang tidak menyebabkan tulang, toksisitas sendi atau gangguan pertumbuhan.
Ciprofloxacin, ofloxacin, perfloksasin dan erfloxacin adalah fluoroquinolones yang
sering digunakan. dan terbukti efektif selain itu digunakan juga pada orang dewasa.
Pada anak-anak ciprofloxacin dan ofloxacin hanya digunakan di India dan tidak ada
bukti keunggulan dari penggunaan fluoroquinolones jenis tersebut.

Noroxacin dan asam nalidiksiksat tidak mencapai konsentrasi darah yang cukup
setelah pemberian oral sehingga tidak boleh digunakan. Fluoroquinolone memiliki
keuntungan dari tingkat efeksamping yang lebih rendah dari obat lini pertama10. Namun,
fluoroquinolones tidak disetujui oleh Pengawas Obat-obatan Umum India untuk
digunakan di bawah 18 tahun, kecuali anak itu tahan terhadap semua antibiotik yang
direkomendasikan dan menderita infeksi yang mengancam jiwa. Dari generasi ketiga
sefalosporin oral11 – 13.

Cefixime telah banyak digunakan pada anak-anak. Di antara ketiga generasi


sefalosporin, ceftriaxone, sefotaksim dan cefoperazone dalam sediaan injeksi,
ceftriaxone paling nyaman untuk digunakan. Fluoroquinolones seperti oflooxacin atau
ciprofloxacin digunakan dalam dosis 15 mg / kg bb/r hari hingga 20 mg / kg / hari.

Dalam cephalosporins generasi ketiga sediaan oral, cefixime oral digunakan dalam
dosis 15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam dua dosis . Cephalosprins generasi ketiga
sediaan parenteral, yaitu ceftriaxone dapat digunakan dengan dosis 50-75 mg/kgbb/hari
dalam satu atau dua dosis; sefotaksim dapat digunaka 40-80 mg/kgbb/hari di dua atau
tiga dosis dan cefoperazone 50-100 mg/kgbb/hari dalam dua dosis. Azitromisin
digunakan dalam dosis 10-20 mg/kgbb/hari dalam sekali sehari.

Fluoroquinolones adalah obat yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid.
Untuk S. typhi senisitif asam nalidiksat (NASST) 7 hari adalah tempo yang sangat
efektif. Meskipun pengobatan yang lebih pendek dianjurkan tetapi harus didasarkan pada
epidemologi. Untuk S. typhi tahan asam nalidiksat (NARST) pengobatan dalam waktu
10-14 hari dengan dosis maksimal sangat dianjurkan. Pengobatan lebih pendek dari tujuh
hari seringkali tidak memuaskan.

Dalam kasus demam tifoid generasi ketiga oral cephalosporin misalnya, cefixime dan
Imepenem harusnya dapat digunakan juga. Terapi kombinasi sesuai kebutuhan tetap
harus disertai dengan pembuktian dengan data yang memadai dari studi.

Tujuan dan Sasaran


 Penelitian dengan model analisis retrospektif untuk menganalisis protokol diagnostik
dan pengobatan untuk manajemen kasus demam enterik yang dicurigai dan mungkin
terjadi pada anak-anak mengaku di NKPSIMS, Digdoh, Hingna, Nagpur di tahun
2015-2016.

5
 Untuk mengetahui distribusi populasi usia dan jenis kelamin.
 Gejala dan tanda umum.
 Tes laboratorium yang digunakan untuk diagnosis
 Komplikasi terjadi selama perjalanan penyakit.
 Protokol perawatan yang digunakan.
 Efikasi protokol pengobatan yang digunakan.

Bahan & Metode


 Penelitian observasional deskriptif dilakukan pada data rekam medis kasus demam
Enterik yang dirawat & diobati selama 2015-16 di NKPSIMS, Digdoh, Hingna
Road, Nagpur.
 Rekam medis yang tidak lengkap ditolak dari proyek studi.
 Data yang relevan dimasukkan dalam studi proforma.
 Data Demografi, Klinis, dan Lab dimasukkan dalam MS-Excel.
 Uji statistik deskriptif dan Analitik dilakukan menggunakan MSExcel, SPSS-21 &
Minitab.
 Chi sq. Tes untuk data kategori; “t” test dan uji koefisien korelasi Pearson untuk
variabel kontinu.
 Nilai p <0,05 dianggap sebagai signifikan.

Pengamatan & Hasil


1. Distribusi usia & jenis kelamin kasus demam enterik.
Chi sq. = 0: menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam kelompok
Umur Laki-laki Perempuan Total n &
N M SD n M SD presentasi
<1 tahun 0 1 1 (2%)
1-5 tahun 4 2.775 0.45 4 4.2 0.62 8 (20%)
6-10 tahun 10 8.260 1.46 10 8.165 1.72 20 (48%)
10-20 tahun 6 14.200 1.14 6 14.000 1.26 12 (30%)
Total 20 21 41

n = jumlah partisipan, M = Mean , SD = Standard Deviasi, % = Percentage

Hasil penelitian menunjukkan 78% kasus Demam Enterik berada di kelompok usia 6-20
tahun. Pengamatan ini menekankan hubungan antara kebiasaan makan, akses ke
makanan luar dan insiden demam tifoid.

2. Distribusi usia & jenis kelamin kasus demam enterik.

6
3. Perbandingan umur dengan wilayah sampel
Rural Urban Suburban
Umur (pedesaan) (perkotaan) (pinggiran kota) Total
6 bulan-5 tahun 1 6 2 9
6-10 tahun 9 10 1 20
11-20 tahun 3 4 5 12
TOTAL 13 (32%) 20 (49%) 8 (19%) 41

 Presentase yaitu 49% berasal dari daerah perkotaan & beristirahat dari daerah
Pedesaan dan Pinggiran Kota.
 Nilai Chi-Sq = 8.883, DF = 4, P-Value = 0,064 (tidak signifikan)
 6 sel dengan jumlah yang diharapkan kurang dari 5.

4. Perbandingan umur dengan wilayah sampel

5. Hubungan lama rawat inap dengan umur pasien


Umur N Mean Standar Deviasi
< 1 tahun 1 9
1-5 tahun 8 6.75 1.75
6-10 tahun 20 5.1 1.29
10-20 tahun 12 6.4 3.47
Total (N) = 41 41

“t” = 0.007 & 0.11; r= 0.004 : menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam
kelompok dan menunjukkan tidak ada hubungan antara umur anak dengan lama rawat
inap pada kasus demam tifoid.

6. Hubungan antara lama demam sebelum rawat inap dengan lama rawat inap di
rumah sakit
 Hubungan antara lama demam sebelum rawat inap dengan lama rawat inap di
rumah sakit dinilai dengan koefisien korelasi.

7
 Koefisien korelasi Pearson adalah (r) = 0,042
 p-Nilai = 0,796
 Menunjukkan tidak ada relevansi signifikan antara lama demam sebelum rawat
inap dengan lama rawat inap di rumah sakit. Hal ini karena adanya respon
terhadap pengobatan antibiotik.

7. Status imunisasi
 Jadwal vaksin imunisasi nasional.
 Menerima di usia optimal ada 15 subjek (36%)
 Tidak menerima vaksin sebanyak 26 subjek (64%)
 Vaksin tifoid tidak diterima pada semua 41 subjek.
 Karena itu diperlukan vaksin murah yang hemat biaya.

8. Berat proPle dan lamanya rawat inap di rumah sakit


 Tabulasi berat proPle pasien dilakukan.
 Kemudian dibandingkan dengan persentil ke-50 dari standar IAP.
 Persentase 50 IAP persentil dihitung.
 Relevansi status gizi dengan pemulihan dari demam enterik dalam bentuk rawat
inap di rumah sakit dihitung.
 Ada hubungan kebalikan dari masa inap di rumah sakit dengan berat anak. r = -
0.13; Namun secara statistik tidak signifikan (p <0,2 dalam one tailed test)

9. Hasil Kultur Darah dan Tes Widal


TEST -VE +VE
n(%) n (%)
BLOOD CULTURE 36 (88%) 5 (12%)
WIDAL TEST : TO 1:80 - 7
WIDAL TEST : TO 1 :120 8
WIDAL TEST : TO 1: 160 13
WIDAL TEST : TO 1: 320 3
WIDAL TEST : TH 1 : 120 & MORE 12
TOTAL WIDAL TEST TO > 1 : 80 +ve 31 (75%)

10. Antibiotik yang diberikan untuk terdiagnosis Demam Enterik

Parameter Terkonfirmasi Kasus Widal Diagnosis berdasarkan Total (N)


Kultur Darah Test +ve klinis (kultur dan
Widal –ve)
n 5 (12%) 25 (61%) 11 (27%) 41
Lama 5.8 6.16 5.36
rawat inap
Antibiotik
Mono 0 12 6 18 (44%)
Duo 5 13 4 22 (54%)
Multi 0 0 1 1 (2%)

Antibiotik :

8
Mono : Ceftriaxone atau Cefixime
Dual : Ceftriaxne + Amikacin atau Azitromycin
Multi : Ceftriaxone + Amikacin + Azitromycin atau Ofloxacin

Ringkasan
 Demam enterik umumnya terjadi pada anak-anak antara 2 hingga 18 tahun, tertinggi
ditemukan pada umur 10-20 tahun. kelompok. Tak satu pun dari anak-anak
diimunisasi untuk demam tifoid.
 Demam terus menerus dengan atau tanpa menggigil adalah gejala yang paling umum.
Komorbid yang signifikan belum terlihat dalam penelitian ini.
 Kultur darah meskipun tes standar emas dalam penggunaannya terbatas terbatas
sumber daya, terutama pada anak-anak dengan pengobatan antibiotik sebelumnya.
 Ceftriaxone sebagai obat tunggal efektif dalam pengobatan sebagian besar pasien
demam enterik.

Kesimpulan
 Demam enterik membawa beban penyakit yang sangat besar di semua negara
berkembang seperti India.
 Peningkatan sanitasi lingkungan dan praktek-praktek higienis dilakukan untuk
mengurangi beban penyakit.
 Intervensi kesehatan masyarakat untuk meminimalkan kontak pembawa manusia,
Peningkatan sanitasi lingkungan, peningkatan tindakan higienis pribadi termasuk
strategi perawatan kesehatan, vaksinasi tifoid dan pemilihan antibiotik rasional
berdasarkan pola sensitivitas untuk mencegah resistensi akan membantu mengurangi
morbiditas dan mortalitas kesehatan global ini. masalah.
 Namun karena kurangnya infrastruktur, itu menjadi langkah yang sulit.

Keterbatasan Studi
 Studi retrospektif: Tidak ada kontrol atas variabel yang akan dipelajari.
 Kultur sumsum tulang: Tidak dilakukan (Peninjauan literatur menunjukkan
terbatasnya kemampuan; pada orang yang dicurigai sebagai ganas & immuno-
compromised).

Referensi
1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, et al. (2002) Typhoid fever. N Eng J Med
347:1770-1782.
2. Crump JA, Luby S P, Mintz ED (2004). The global burden of typhoid fever. Bull
World Health Organ 82:346-353.
3. Karkey A, Arjyal A, Anders KL, Boni M.F, Dongol S et al. www.plosone.org Nov
2010;S(11) e 13988.
4. Punjabi NH. Typhoid fever. In: Rakel RE, editor Conn's Current therapy. Fifty
second edition. Philadelphia: WB Saunders; 2000: 161-165.
5. Sood S, Kapil A, Das B, Jain Y, Kabra SK. Re-emergence of chloramphenicol
sensitive Salmonella typhi. Lancet 1999; 353: 1241- 1242.

9
6. Gupta A, Swarnkar NK, Choudhary SP. Changing antibiotic sensitivity in enteric
fever. J Trop Ped 2001; 47: 369-371.
7. Dutta P, Mitra U, Dutta S, De A, Chatterjee M K, Bhattacharya SK. Ceftriaxone
therapy is ciprofloxacin treatment failure typhoid fever in children. Indian J Med
Res 2001; 113: 210-213.
8. Saha SK, Talukder SY, Islam M. Saha S. A highly Ceftriaxone resistant Salmonella
typhi in Bangladesh. Pediatr Infect Dis J 1999; 18: 297-303.
9. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
Communicable Disease Surveillance and Response, Vaccines and Biologicals.
World Health Organization. May 2003. WHO/V & B/03.07.
10. Gotuzzo E, Carrillo C. Quinolones in typhoid fever. Infect Dis Clin Pract 1994; 3:
345-351.
11. Bhutta ZA, Khanl, Molla AM. Therapy of multidrug resistant typhoidal
salmonellosis in childhood: A randomized controlled comparison of therapy with
oral ce xime vs IV ceftriaxone. Pediatr Infect Dis J 1994; 13: 990-994.
12. Girgis N1, Tribble DR, Sultan Y, Farid Z. Short course chemotherapy with ce xime
in children with multidrug resistant Salmonella typhi septicemia. J Trop Ped 1995;
41: 364-365.
13. Girgis NI, Sultan Y, Hammad O, Farid Z. Comparison of the efficacy, safety and
cost of ce xime, ceftriaxone and aztreonam in the treatment of multidrug resistant
Salmonella typhi septicemia in children. Ped Infect Dis J 1995; 14: 603-605.

10
CRITICAL APPRAISAL

A. Deskripsi Umum
1. Design : Observasional retrospektif deskriptif
2. Subject : Anak-anak usia 2-20 tahun dengan demam enterik
3. Title : Menarik, singkat, jelas
4. Authors : Ditlis secara jelas penulis dan konstitusinya
5. Abstract : Jelas dan tepat
6. Introduction : Menjelaskan latar belakang dan tujuan dari penelitian dengan
cukup jelas

B. Analisis PICO
1. Population : Semua anak berusia 2-20 tahun dengan diagnosa demam
Enterik yang dirawat selama bulan Januari 2015 hingga
Januari 2016 di NKPSIMS, Digdoh, Hingna, Nagpur
2. Intervention : Tidak ada intervensi
3. Comparation : Tidak ada
4. Outcome : Mendiskripsikan distribusi demam enterik, komplikasi, gold
standar dan terapi yang efektif untuk demam enterik.

C. Level of Evidence
2b: Retrospective cohort study, or poor follow-up

D. Analisis VIA
1. Validity :
Apakah studi ini membahas sebuah masalah dengan fokus yang jelas?
Ya, Penelitian ini berfokus pada tujuan untuk mengetahui diagnostik dan protokol
pengobatan untuk manajemen kasus demam enterik yang terjadi pada anak-anak.

Apakah peneliti menggunakan alat dan pertanyaan yang sesuai dengan Tujuan
dari studi?
Ya, untuk mengetahui diagnostik dan protokol pengobatan untuk manajemen
kasus demam enterik yang terjadi pada anak-anak kasus pasien demam enterik yang
dirawat selama bulan Januari 2015 hingga Januari 2016. Pada populasi pediatrik
dalam kelompok usia 2 hingga 20 tahun di NKPSIMS, Digdoh, Hingna, Nagpur
menggunakan alat pengumpul data (tools) primer berupa rekam medis . Hal ini sudah
sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu penelitian deskriptif
yang menggunakan pendekatan observasional
Apakah digunakan kriteria outcome yang obyektif dan tidak berbias?

11
Ya. Kriteria Outcome telah dikategorikan secara objektif, yaitu berdasarkan ,
distribusi populasi usia dan jenis kelamin, gejala dan tanda umum, tes laboratorium
yang digunakan untuk diagnosis, komplikasi terjadi selama perjalanan penyakit,
protokol perawatan yang digunakan, efikasi protokol pengobatan yang digunakan.

Apakah subjek diikutsertakan dengan cara dan kriteria yang benar?


Ya. Penelitian ini menggunakan subjek berupa pasien demam enterik yang
dirawat selama bulan Januari 2015 hingga Januari 2016. Pada populasi pediatrik
dalam kelompok usia 2 hingga 20 tahun di NKPSIMS, Digdoh, Hingna, Nagpur

Apakah data diambil dengan cara yang sesuai dengan tujuan studi ?
Ya, data diagnostik dan protokol pengobatan untuk manajemen kasus demam
enterik yang terjadi pada anak-anak kasus pasien demam enterik. Untuk tujuan
tersebut, peneliti menggunakan tools berupa reka medis sebagai alat yang membantu
pengumpulan data primer dari subjek penelitian. Hal ini sudah sesuai dengan tujuan
studi ini, yaitu fdiagnostik dan protokol pengobatan untuk manajemen kasus demam
enterik yang terjadi pada anak-anak kasus pasien demam enterik. Namun tidak
dijelaskan secara terperinci mengenai kriteria inklusi dan ekslusi yang digunakan serta
tidak dilakukannya pencantuman kuisioner yang digunakan. Studi ini merupakan studi
deskriptif, yang dalam praktik pengambilan datanya memang dapat dilakukan dengan
pendekatan observationall / satu waktu tanpa dilakukannya follow up. Seperti yang
telah dilakukan peneliti dalam studi ini.
Apakah studi memiliki partisipan yang cukup?
Ya. Studi ini memiliki subjek sebanyak 41 subjek pada kelompok usia 2 hingga
20 tahun di NKPSIMS, Digdoh, Hingna, Nagpur. Pengambilan sample sebanyak 41
responden telah melalui penghitungan jumlah minimal sampel yang dibutuhkan.
Bagaimana hasil dari uji ini dipresentasikan dan apakah temuan utamanya?
Hasil penelitian berupa distribusi populasi usia dan jenis kelamin, gejala dan
tanda umum, tes laboratorium yang digunakan untuk diagnosis, komplikasi terjadi
selama perjalanan penyakit, protokol perawatan yang digunakan, efikasi protokol
pengobatan yang digunakan.
Apakah analisis yang digunakan dalam studi sudah sesuai dan dijelaskan
dengan jelas?

Tidak, Analisis data dilakukan dikelompokkan ke dalam analisis univariat dan


bivariat. Variabel yang digunakan dalam analisis univariat namun tidak dijelaskan
secara jelas

12
Apakah terdapat penjelasan yang jelas mengenai temuan yang didapat ?
Ya, hasil temuan yang didapat berupa data ddistribusi populasi usia
dan jenis kelamin, gejala dan tanda umum, tes laboratorium yang digunakan untuk
diagnosis, komplikasi terjadi selama perjalanan penyakit, protokol perawatan yang
digunakan, efikasi protokol pengobatan yang digunakan telah disajikan dalam tabel
dan dijelaskan dalam bab pembahasan jurnal in

Importance : Hasil dari penelitian ini cukup penting. Karena banyak manfaat
yang dapat diambil seperti dari seberan distribusi populasi usia dan jenis kelamin,
gejala dan tanda umum, tes laboratorium yang digunakan untuk diagnosis, komplikasi
terjadi selama perjalanan penyakit, protokol perawatan yang digunakan, efikasi
protokol pengobatan yang digunakan, walaupun hasil penemuan tidak jauh berbeda
dengan guidline menejemen demam enterik yang berlaku di Indonesia

Applicability :
Apakah Penelitian ini dapat diaplikasikan pada populasi lokal?
Tidak. Hasil penelitian tidak dapat diaplikasikan ke dalam populasi lokal. Karena dosis
obat yang digunakan berbeda dengan standar internasional dan guideline yang digunakan
di Indones

13

Anda mungkin juga menyukai