Anda di halaman 1dari 2

KONSERVASI AGROEKOSISTEM TRADISIONAL

Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi merupakan salah satu cara terpenting
untuk dapat menjamin agar sumberdaya alam dapat dilestarikan sehingga dapat lebih
memenuhi kebutuhan umat manusia sekarang dan masa mendatang (Mackinnon, dkk., 1990).
Pelestarian kerapkali dianggap sebagai suatu perlindungan yang menutup kemungkinan
pemanfaatan sumberdaya. Padahal apabila kawasan yang dilindungi dirancang dan dikelola
secara tepat, diakui dapat memberi keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Pelestarian
memegang peranan penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi di lingkungan pedesaan,
turut menyumbangkan peningkatan kualitas hidup penghuninya (Wind, dkk., 1992).
Agroekosistem adalah komunitas tanaman dan hewan yang berhubungan dengan
lingkungannya (baik fisik maupun kimia) yang telah diubah oleh manusia untuk
menghasilkan Pangan, pakan, serat, kayu bakar, dan produk- produk lainnya.
Pengertian lain tentang agroekosistem adalah, bahwa agroekosistem merupakan salah
satu bentuk ekosistem binaan manusia yang bertujuan menghasikan produksi pertanian guna
memenuhi kebutuhan manusia.
Konsep agroekosistem adalah sistem ekologi yang terdapat didalam lingkungan
pertanian, yang biasanya merupakan sistem alami yang terjadi setelah dibentuk oleh manusia.
Sedangkan untuk pengertian dari konservasi agroekosistem tradisional yaitu
agroekosistem tradisional yang dilindungi guna melestarikan varietas tanaman yang ada.
Di Indonesia terdapat berbagai daerah yang masih menggunakan cara tradisional dalam
bertani. Contohnya seperti di daerah Karangwangi Kecamatan Cidaun, Cianjur Selatan Jawa
Barat yang masih menggunakan sistem pertanian huma. Huma adalah cara bercocok tanam
padi di lahan hutan, sistem ini adalah sistem utama yang dilakukan dipedesaan Jawa Barat.
Pada kondisi hutan masih cukup luas di berbagai kawasan pedesaan Priangan, para petani
biasa menggarap huma secara berpindah-pindah tempat di kawasan hutan (cf.Iskandar 2012b;
Iskandar, et al. 2016).
Di daerah Karangwangi ini pertambahan penduduk desa bertambah seiring waktu,
sehingga membuat lahan yang kosong semakin sedikit dan hutan semakin sempit. Pemerintah
juga memberlakukan peraturan agar tidak membakar hutan sembarangan dan ngahuma,
sehingga sistem huma di daerah pedesaan berkurang. Terlebih pada akhir tahun 1960-an,
pemerintah telah memberlakukan modernisasi sistem usaha tani dengan Revolusi Hijau untuk
meningkatkan produksi padi sawah.
Terdapat dampak positif dan negatif dari Revolusi Hijau. Positifnya produksi padi
sawah secara makro meningkat. Tetapi lebih banyak dampak negatifnya, yakni
keterbergantungan terhadap pestisida dan pupuk an-organik pabrikan, punahnya anekaragam
varietas lokal yang ada. Timbulnya ledakan anekaragam hama baru, seperti hama wereng
coklat (Nilaparvata lugens Stal) (cf. Fox, 1991). Serta, timbulnya pencemaran racun pestisida
terhadap tanah dan perairan.
Dafpus
Fox, J.J. 1991. Managing the ecology of rice production in Indonesia. In Hardjono, J. (ed),

Indonesia: Resources, Ecology, and Environment. Oxford University Press, Oxford New

York, Pp.61-84.
Iskandar, J. 2012b. Ekologi Perladangan Orang Baduy: Pengelolaan Hutan Berbasis Adat

Berkelanjutan. P.T. Alumni, Bandung.

Iskandar, J., B.S. Iskandar, R.Partasasmita, 2016. Responses to environmental and socio

economic changes in the Karangwangi traditional agroforestry system, South

Cianjur, West Java. Biodiversitas 17 (1):332-341.


MacKinnon., et al . 1990. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika (Terjemahan).

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wind, Jan, Chiarelli, Bichakjian, Nocentini, and Jonker. (1992). Language Origin: a Multidisciplinary

Approach. London: Kluwer Academic Publishers.

Anda mungkin juga menyukai