Anda di halaman 1dari 16

Anggota Kelompok:

 Asih (1710631050030)
 Hikmah Laeliakmalia (1710631050087)
 Ira Fitria Rahayu (1710631050091)
 Rosalia Noor Hakim (1710631050148)

Kelas : 4F
Mata Kuliah : Belajar dan Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampu : Dr. Rafiq Zulkarnaen, M. Pd.
Tugas : Esay teori pembelajaran kontruktivisme dalam bidang matematika

Teori Pembelajaran Kontruktivisme dalam Bidang Matematika

Pengetahuan bukanlah sebuah tiruan dari kenyataan atau realistis. Pengetahuan merupakan akibat
dari suatu proses kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui berbagai aktivitas individu. Kontruktivisme
merupakan salah satu aliran filsafat yang memfokuskan pada setiap proses pembelajaran, hal ini berbeda
dengan behaviorisme yang memfokuskan pada perilaku belajar. Banyak peneliti yang sudah berusaha
untuk meneliti bagaimana siswa dapat membentuk pemahaman mereka terhadap bahan yang mereka
pelajari. Konstruktivisme merupakan aliran yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil
dari yang kita bentuk sendiri. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme merupakan
suatu pengetahuan yang kita dapatkan dari hasil konstruksi manusia mengenai sesuatu berdasarkan dari
pengalaman-pengalamannya sendiri yang ia alami. Seorang siswa akan membentuk pengetahuannya
sendiri berdasarkan apa yang telah ia alami. Pendekatan kontruktivis social juga mempertimbangkan
konteks sosial yang didalamnya pembelajaran muncul dan menekankan pentingnya interaksi sosial
dalam proses pembelajaran. Untuk hal ini pendekatan kontstruktivis ini sangat mendukung untuk
kurikulum dan sistem pengajaran student-centered bukan teacher-centered, disini siswa merupakan kunci
untuk pembelajaran.
Tidak seperti behaviorisme yang memfokuskan atau menekankan diri pada perilaku yang dapat
diobservasi atau diamati langsung. Konstruktivisme ini lebih menekankan pada proses-poses dan
strategi-strategi mental yang digunakan siswa untuk belajar. Disini guru mengetahui bahwa proses
pembelajaran merupakan suatu proses pembentukan makna yang aktif, dimana siswa bukan penerima
materi pelajaran atau informasi yang pasif. Pada kenyataanya, siswa dalam proses pembelajaran secara
terus-menerus terlibat dalam memahami pemahaman siswa dan menyadari bahwa pengetahuan awal,
pengalaman, sikap dan interaksi sosial merupakan hal yang dapat mempengaruhi siswa dalam proses
pembelajaran.
Siswa harus mengkonstruksi atau membentuk pengetahuan dan memberikan maknanya melalui
pengalaman nyata. Dengan menggunakan teori konstruktivisme ini siswa dapat berfikir untuk dapat
menyelesaikan masalahnya, mencari idea dan dapat membuat keputusannya. Dalam hal ini siswa akan
lebih mudah paham dan akan bisa mengingat lebih lama mengenai konsep yang telah ia pelajari.
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai suatu pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
merupakan suatu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Berbeda dengan teori
behaviorisme yang memahami hakikat belajar sebagai suatu kegiatan yang bersifat mekanistik atau
sesuai dengan prosedur yaitu anatara stimulus dan respon, sedangkan teori konstruktivisme lebih
memahami belajar sebagai suatu kegiatan individu membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer
begitu saja dari seseorang kepada yang lainnya, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang
apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan ini merupakan suatu proses kognitif dimana terjadi
suatu proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu
skema yang baru.
Teori ini juga mempunyai pemahaman mengenai belajar yang lebih menekankan atau
memfokuskan pada proses belajarnya daripada hasil belajarnya. Hasil belajar juga merupakan suatu
tujuan yang dianggap atau dinilai penting, akan tetapi proses yang melibatkan cara belajar dan strategi
dalam proses belajar juga dinilai sangat penting. Dalam proses suatu belajar, hasil belajar, strategi belajar,
cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir
seseorang. Sebagai upaya seseorang untuk mendapatkan pemahaman atau pengetahuan, siswa
mengkonstruksi atau membangun pemahaman terhadap sesuatu yang ia temukan dengan menggunakan
pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Sehingga dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivis ini bukan hanya sekedar
mengahafal, akan tetapi ada proses mengkonstruksi atau membangun pengetahuan melalui pengalaman
yang sudah dialami. Pengetahuan juga bukan hasil dari pemberian atau transfer dari orang lain misalkan
guru akan tetapi belajar merupakan hasil dari proses mengkonstruksi atau membangun yang dilakukan
setiap individu, pengetahuan yang hanya dari hasil pemberian akan tidak bermakna. Berbeda dengan
pengetahuan yang didapatkan dari hasil proses mengkonstruksi atau membangun pengetahuan itu oleh
diri sendiri akan memberikan makna yang mendalam atau lebih dapat dikuasai dan akan lebih lama
tersimpan atau diingat oleh setiap individu.
Belajar menurut konstruksivis dapat dirumuskan sebagai penyusunan pengetahuan dari
pengalaman yang nyata, melalui aktivitas kolaboratif, refleksi dan sesuai pandangan teoritis. Aktivitas
yang demikian memungkinkan si pembelajar memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan
tergantung pada pengalamannya dan pandangannya yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Pembelajaran merupakan aktivitas pengaturan lingkungan agar terjadi proses belajar, yaitu interaksi si
pembelajar dengan lingkungannya.
Konstruksivisme bukanlah teori yang baru, akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai
pendekatan (Bednar, dkk., dalam Duffy dan Jonassen, 1922). Para ahli memandang Konstruktivisme
belajar sebagai hasil dari pembentukan mental. Para siswa belajar dengan cara mencocokan informasi
baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar
dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan pembentukan pemahaman mereka sendiri.
Menurut para ahli konstruktivisme, belajar juga dipengaruhi oleh kejelasan makna, keyakinan,
dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran, para siswa di dorong untuk menggali dan menemukan
pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagsan-gagasan dan hipotesis.
Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahuan awal mereka.
Menurut Eggen dan Kauchak (1997), ada 4 ciri teori konstruktivis. Ciri yang pertama yaitu dalam
proses belajar, individu mengembangkan pemahaman sendiri, bukan menerima pemahaman dari orang
lain. Selanjutnya proses belajar sangat bergantung pada pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya. Ciri
yang berikutnya adalah belajar difasilitasi oleh interaksi sosial. Ciri terakhir yakni belajar yang bermakna
(meaningful learning) timbul dalam tugas-tugas belajar yang autentik (dapat dipercaya).
Dari persfektif konstruksivisme, belajar dipandang sebagai: “learning is view as a self regulatory
process of sruggling with the conflict between existing personal models of the world and discrepant new
insight, constructing new representation and models of reality as a human meaning-making venture with
culturally developed tools and symbols, and further negotiating such meaning trough cooperative social
activity, discourse and debate” yang berarti belajar merupakan suatu proses pengaturan dalam diri
seseorang yang berjuang dalam konflik antara model pribadi yang telah ada dan hasil pemahaman yang
baru tentang dunia ini sebagai hasil konstruksinya, manusia adalah makhluk yang membuat makna
melalui aktivitas sosial, dialog, dan debat. (Khodijah, 2016).
Kontruktivis memandang ilmu pengetahuan bersifat non-objektif, temporer atau sementara, dan
selalu berubah. Hal ini sesuai dengan pendapat radikal konstruktivis yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu terbentuk dalam struktur kognisi si pembelajar, bukan berada secara terpisah diluar diri
si pembelajar. Pengetahuan selalu mengalami perubahan sejalan dengan proses asimilasi atau
penyesuaian dan akomodasi, karena itu guru harus memberikan kesempatan pada si pembelajar untuk
membangun konsep yang akurat tentang pengetahuan tersebut (Rumel Hart dan Norman dalam Sulton,
1998).
Ciri-Ciri Pembelajaran Kontruksivisme
Ciri yang pertama dan yang paling utama adalah menekankan pada proses belajar, bukan proses
mengajar. Konstruktivisme ini membuat para siswanya menjadi lebih aktif daripada gurunya karena
teori ini sangat menekankan pada proses belajar, daripada proses mengajar. Sehingga teori ini
menjadikan siswa sebagai pusat dari sebuah proses pembelajaran atau biasa sering disebut “A Student
Centered” dimana guru hanya membantu siswanya untuk menambah informasi atau pengetahuannya dari
apa yang telah didapat sebelumnya dan selanjutnya baru dikembangkan sendiri oleh setiap siswa.
Selanjutnya ciri yang kedua yakni mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada
siswa. Dikarenakan yang menjadi centered dalam kontruktivisme adalah siswa maka siswa diberi
fasilitas oleh gururnya untuk berdiskusi, meneliti, mempresentasikan hasil kajian, dansebagainya. Jadi
siswa terdorong untuk menjadi mandiri dan berinisiatif dalam setiap proses belajarnya.
Kemudian ciri yang ketiga yaitu memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang
ingin dicapai. Guru dalam kontruktivisme mempersilakan siswanya untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan yang sudah pernah didapat. Oleh karena itu, guru menjadikan siswa sebagai pencipta
kemauan dan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga siswa bebas untuk menemukan hal-hal yang baru yang
terjadi di lingkungan sekitarnya.
Lalu ciri yang keempat adalah berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan
menekankan pada hasil. Jika dalam proses pembelajaran hanya mengacu pada hasil dalam arti nilai
akhir, bukan pada prosesnya, maka seseorang hanya memikirkan bagaimana ia akan mendapatkan nilai
akhir yang baik entah itu bagaimanapun caranya. Tidak jarang seorang siswa melakukan kecurangan
pada saat ujian berlangsung demi mendapatkan nilai akhir yang terbaik atau yang paling tinggi. Untuk
itu, teori konstruktivisme berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses bukan menekankan pada
hasil, karena sebuah hasil tidak akan pernah mengkhianati sebuah proses. Kalau dalam prosesnya kita
sungguh-sungguh maka hasilnya pun tidak akan mengecewakan. Tetapi sebaliknya jika pada prosesnya
saja kita mengabaikannya atau berleha-leha maka hasilnya pun akan mengecewakan.
Ciri yang kelima yakni mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan. Fasilitas yang
diberikan oleh guru pada teori konstruktivisme ini salah satunya adalah menugaskan kepada siswanya
untuk melakukan observasi atau penelitian. Disini guru hanya memberikan pengarahan untuk bagaimna
caranya mengobservasi dan mendorong siswa untuk mampu melakukan penyelidikan. Kemudian hasil
observasi ini selanjutnya akan dipresentasikan dan didiskusikan lebih lanjut bersama teman-teman
lainnya.
Kemudian ciri yang keenam yaitu menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
Dilihat pada kenyataannya, proses belajar mengajar yang terjadi selama ini hanyalah suatu kegiatan yang
dilakukan secara rutin yakni guru menjelaskan kemudian member contoh soal selanjutnya ujian-ujian.
Hal ini pun dilakukan secara rutin sehingga seorang siswa hanya menerima, menerima, dan menerima
saja. Seringkali siswa hanya menghapal rumus-rumus yang telah diberikan oleh gurunya tanpa tahu
darimana rumus itu belajar. Memang sulit untuk mengarahkan siswa untuk berpikir kritis, tetapi teori
kontruktivis ini sangat menghargai peranan pengalaman kritis dalam proses belajar.
Ciri yang selanjutnyayakniciri yang ketujuhyaitu mendorong berkembangnya rasa ingin tahu
secara alami pada siswa. Dikarenakan guru jarang atau bahkan tidak menjelaskan sama sekali mengenai
materi yang akan dipelajari, maka otomatis siswa disini mempunyai rasa keingintahuan yang besar sekali
terhadap apa yang merekaakan pelajari. Maka dari itu teori konstruktivis ini mendorong berkembangnya
rasa ingin tahu secara alami pada siswa ditambah lagi dengan nantinya guru member tugas kepada siswa
untuk melakukan penyelidikanterhadappermasalah yang terjadi di lingkungansekitar.
Adapun ciri yang kedelapan yaitu penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan
pemahaman siswa. Jadi tidak hanya mengacu pada teori atau hanya menerima teori-teorinya saja dari
yang telah didapat tetapi lebih kepada bagaimana sebuah teori itu menjadi nyata atau kenyataan, karena
pada dasarnya dalam hidup ini dimana gagasan pasti harus ada pembuktiannya. Dari membuktikan teori
itulah otomatis timbul pemahaman siswa. Sehingga ciri yang kedelapan ini adalah penilaian belajar lebih
menekankan pada kinerja dan pemahaman siswanya.
Ciri yang berikutnya yakni yang kesembilan adalah mendasarkan proses belajarnya pada
prinsip-prinsisp teori kognitif. Teori kognitif adalah teori yang menyatakan bahwa proses belajar
merupkan suatu proses perubahan pandangan dan pemahamandari yang tahu menjadi tahu dari yang baik
menjadi lebih baik dan dapat diukur serta diamati. Jadi dengan teori konstruktivisme ini diharapkan siswa
mampu untuk mengembangkan pandangan dan pemahamannya lewat proses pembelajaran.
Yang kesepuluh cirinya adalah banyak menggunakan peristilahan kognitif untuk menjelaskan
proses pembelajaran; seperti: prediksi, interferensi, kreasi, dan analisis. Kata prediksi digunakan
ketika seorang siswa melakukan subuah kajian atau observasi lalu mempresentasikan kepada teman-
temannya.
Ciri berikutnya yaitu atau ciri yang kesebelas menekankan pentingnya “bagaimana” siswa
belajar. Dalam teori kontruksivisme ini didalamnya terdapat bagaimana agar proses pembelajaran
berlangsung menarik sehingga suasananya dibuat atau didesain semenarik senyaman mungkin agar
proses pembelajaran lebih menyenangkan.
Selenjutnya yaitu ciri yang keduabelas yakni mengenai bagaimana mendorong siswa untuk
berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru. Dikarenakan guru hanya
sebagai fasilitator maka yang lebih aktif adalah siswanya. Siswa dituntut untuk berdiskusi dengan
gurunya maupun dengan teman-temannya.

Ciri yang berikutnya atau ciri yang ketigabelas adalah sangat mendukung terjadinya belajar
kooperatif, dimana pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang mengedepankan kelompok yang
paling kecil dalam memaksimalkan kondisi belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar
yang telah ditetapkan sebelumnya. Maksudnya dalam sebuah diskusi cakupannya tidak untuk berdiskusi
di lingkungan kelas tetapi berdiskusi didalam kelompok yang lebih kecil. Pada tahap selanjutnya yaitu
setelah berdiskusi dengan kelompok kecilnya barulah siswa ini berdiskusi dalam cakupan atau
lingkungan kelasnya dimana ketika berdiskusi yang mempresentasikan bukan hanya perwakilan
kelompoknya saja tetapi semua anggota kelompok tersebut harus mempresentasikannya.

Ciri yang berikutnya yakni ciri yang keempatbelas yaitu melibatkan siswa dalam situasi dunia
nyata. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata dimana apa yang dipelajari oleh siswa ini nantinya
akan dan bakal digunakan. Jadi, siswa belajar dari persoalan dalam kehidupan sehari-hari agar
bermanfaat bagi kehidupannya. Latar belakang dari ciri ini adalah bahwa lingkungan belajar itu lebih
baik diciptakan secara alamiah.

Kemudian ciri yang kelimabelas yaitu mengenai bagaimana menekankan pentingnya konteks
dalam belajar. Khususnya dalam matematika untuk anak jenjang sekolah dasar, aktivitas bermain dapat
menjadi konteks (situasi dimana suatu keadaan terjadi secara nyata) untuk memfasilitasi suasana siswa
untuk belajar matematika secara bermakna, menarik, dan lebih menyenangkan.

Ciri yang keenambelas adalah ciri dimana seorang guru itu harus memperhatikan keyakinan dan
sikap siswa dalam belajar. Setelah aktivitas diskusi sedang berlangsung atau hampir berakhir disitu guru
pun harus terlibat dalam aktivitas tersebut untuk memperhatikan keyakinan dan sikap siswa terhadap
pembelajaran yang sedang berlangsung atau sedang terjadi tersebut.

Ciri yang terakhir yakni memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun
pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata. Pengalaman tersebut
diperoleh dari aktifitas siswa ketika mengkaji permasalahan dalam kehidupan nyata atau kehidupan
sehari-hari dan selanjutnya hasil kajian tersebut dipresentasikan didepan kelas. Disitu barulah timbul
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengatahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada
pengalaman nyata.
Dari ciri-ciri yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa teori kontruktivisme ini
memberi peluang kepada para siswa untuk membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia
sebenarnya atau dunia nyata. Kemudian teori ini juga menerapkan persoalan atau ide yang dimulai oleh
siswa itu sendiri dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran yang digunakan oleh
guru untuk kedepannya. Dengan sistem pembelajaran secara koperatif ini juga dapat menentukan sikap
dan pembawaan siswa. Selanjutnya dalam sebuah kajian yakni menekankan bagaimana siswa
mempelajari suatu ide. Dari ide-ide yang muncul maka para siswa akan bertanya dan berdialog dengan
guru dan siswa yang lain. Jadi, teori ini menganggap bahwa proses belajar merupakan sebagai suatu
proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran siswa melalui sebuah kajian dan eksperimen.
Penerapan Teori Kontruktivisme Mendorong Kemandirian

Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruksivisme tersebut berikut ini dipaparkan tentang


penerapannya;
Penerapan yang pertama adalah untuk mendorong kemandirian dan inisiatif siswa. Dengan
menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru
membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-
pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung
jawab terhadap proses belajar mereka.

Selanjutnya dalam penerapan teori ini guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan
kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. Berpikir reflektif memerlukan waktu yang
cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan
pertanyaan dan cara-cara merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun
keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.

Selain mendorong untuk kemandirian dan inisiatif siswa teori ini juga mendorong siswa berpikir
tingkat tinggi. Guru yang menerapkan konsep pembelajaran konstruktivisme akan menghadapi para
siswa yang mampu menjangkau hal-hal yang berada dibalik respon-respon nyata yang sederhana. Guru
mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep melalui analisis, prediksi, keputusan
atau pertimbangan, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.

Kemudian dalam penerapannya, siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru
dan siswa lainnya. Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang secara terus
menerus sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika
mereka memiliki kesempatan untuk mngemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan
gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang di
dasarkan atas pemahaman mereka sendiri jika mereka merasasa nyaman dan aman untuk mengemukakan
gagasan-gagasannya, maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi dikelas.

Penerapan berikutnya menekankan kepada siswa untuk terlibat dalam pengalaman yang
menantang dan mendorong terjadinya diskusi. Jadi, ketika diberi kesempatan untuk membuat berbagai
macam prediksi, sering kali siswa menghasilkan berbagai dugaan sementara tentang fenomena alam ini.
Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada siswa untuk menguji dugaan semestara yang mereka buat, terutama melalui diskusi
kelompok dan pengalaman nyata.

Dalam penerapannya guru yang menerapkan teori konstruktivisme menggunakan data mentah,
sumber-sumber utama, dan materi-materi saling berhubungan. Proses pembelajaran yang menerapkan
pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam
dalam dunia yang nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran
atau pengelompokan tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
Menurut kaum konstruktivis penerapan konstruksivisme terhadap proses belajar, belajar
merupakan proses aktif pelajar mengkontriksi dari beberapa pengalaman fisis atau jasmani, dialog dan
teks. Belajar juga merupakan proses menyesuaikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dimiliki seseorang sehingga pengertiannya dapat
dikembangkan. Proses tersebut, yaitu belajar berarti membentuk makna, makna yang dicipatakan oleh
siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan yang dialami. Konstruksi itu adalah proses yang
terus-menerus, setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan penyusunan
kembali baik secara kuat dan lemah. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih
suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru, suatu perkembangan yang
menuntut penemuan dan pengaturan kembali dari pemikiran seseorang. Proses belajar yang sebenernya
terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya. Situasi
ketidakseimbangan ini merupakan situasi yang baik untuk memacu seseorang untuk beljar. Hasil belajar
dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989). Hasil
belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar: konsep-konsep, tujuan dan
motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari seseorang.
Penerapan konstruksivisme terhadap proses mengajar menurut kamu konstruktivis, mengajar
bukanlah kegiatan memindahkan atau mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu
kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
keikutsertaan dengan pelajar dalam memuk pengetahuan, memebuat makna, mencari kejelasan, bersikap
kritis dan mengadakan pertimbangan. Jadi, mrngajar adalah suatu bentuk belajar sendiri
(Bettencourt,1989). Berpikir yang baik lebih penting dari pada mempunyai jawaban yang bentar atas
suatu persoalan yang sedang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir baik, dalam arti bahwa
cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu kegiatan baru yang dapat menemukan
pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Sementara itu, seorang pelajar yang sekedar
menemukan jawaban yang benar belum pasti dapat memecahkan persoalan yang baru karena mungkin
ia tidak mengerti akan jawaban tersebut. Bila cara berpikir itu berdasarkan pengandaian yang salah atau
tidak dapat diterima pada saat itu, ia masih dapat memperkembangkannya dengan baik. Mengajar dalam
konteks ini adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri
(Von Glasersfeld, 1989). Apapun yang dikatakan seorang murid dalam menjawab suaru pnjawab suaru
psoalan adal jawaban yang masuk akal bagi mereka pada saat menjawabnya. Jangan pernah
mengandaikan bahwa cara berfikir murid itu sederhana atau jelas. Guru perlu belajar mengerti cara
berpikir mereka sehingga dapat membantu merubahnya.
Duit dan Confrey (1996) merangkumkan beberapa prinsip penting teori kontruktivis yaitu
pendekatan yang menekankan penggunaan matematika dalam situasi yang sesuai dengan minat siswa,
ditekankannya pengetahuan berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman sehari-
hari sebenarnya penuh dengan prinsip yang menggunakan matematika dan sesuai dengan situasi pelajar
yang akan memudahkan pelajar mengkonstruksikan pengetahuan mereka. Meta-pengetahuan artinya
bukan hanya menekankan isi matematika tetapi juga konteks dan prinsip-prinsipnya. Dalam hal ini,
penting bagi pengajar mengerti bagaimana latar belakang penemuannya. Tekanan proses belajar
mengajar lebih pada bagaimana membentuk pengetahuan, bagaimana menafsirkan sesuatu hal yang
dipelajari dan bagaimana konstruksi yang bemacam-macam dapat terjadi dalam mempelajari satu hal
tertentu. Munculnya ide dalam suatu pembelajaran terhadap materi yang sama justru akan merangsang
siswa untuk mengkonstruksikan pengetahuannya dengan lebih rinci dan lengkap, bahkan juga menyadari
keterbatasannya. Menekankan agar siswa aktif, materi yang dipelajari sebagai sarana interaksi siswa
dalam pembentukan pengetahuan siswa. Diperhatikan adanya pandangan yang alternatif dalam kelas.
Agar ada peluang dan rangsangan munculnya alternatif itu kelas sebaiknya tidak diatur hanya dengan
satu cara, tetapi dengan beraneka cara sehingga lebih cocok untuk banyak siswa dan baik juga diadakan
konsensus tentang bagaimana kelas akan diatur sehingga murid aktif dan berminat.
Matthews (1994) membedakan konstruktivisme menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologis
dan konstruktivisme sosiologis. Konstruktivisme psikologi lebih menekankan pada perkembangan
psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosial lebih
menekankan pada masyarakatlah yang membangun pengetahuan. Konstruktivisme psikologi dibedakan
menjadi dua yaitu, yang lebih personal yang dikemukakan oleh Piaget dan yang lebih sosial dikemukakan
oleh Vygotsky. Sedangkan untuk konstruktivisme sosiologis berdiri dengan sendirinya. Dalam hal ini
bisa kita dapat membedakan konstruktivisme dalam pembentukan pengetahuan menjadi tiga yaitu, untuk
pembentukan yang lebih bersifat pribadi, sosial atau bisa juga yang berhubungan dengan keduanya.
Konstruktivisme Psikologi Personal
Pada awalnya konstruktivisme psikologis diawali dengan karya dari Jean Piaget seorang filsuf,
ilmuan dan psikolog perkembangan Swiss, dalam karyanya tersebut ia membahas tentang bagaimana
seorang anak membangun pengetahuan kognitifnya.
Piaget merupakan orang pertama yang berpendapat mengenai konstruktivisme, menurut Piaget
bahwa apa yang ditunjukan anak-anak pada dunia sekitarnya dan kegiatan-kegiatan mereka juga
menyebabkan mereka membentuk jalan mental mereka kearah pandangan yang dikembangkan lebih
utuh.
Piaget mengamati bagaimana seorang anak pelan-pelan membentuk rancangan, mengembangkan
racangan dan mengubah suatu rancangan. Piaget lebih memfokuskan kepada bagaimana seseorang
dengan sendirinya mengkonstruksi atau membangun suatu pengetahuan dari hasil ia berinteraksi dengan
pengalaman dan juga objek yang ia hadapi. Sudah tampak jelas bahwa Piaget lebih menekankan pada
keaktifan seseorang atau individu dalam membentuk pengetahuan. Menurut Piaget pengetahuan dapat
dibentuk oleh anak itu sendiri yang sedang belajar.
Menurut Wadsworth (1989), teori yang dikembangkan oleh Piaget dipengaruhi oleh keahliannya
dalam bidang biologi. Salah satu diantaranya yaitu ia mengamati kehidupan keong, yang setiap kali
keong harus beradaptasi dengan lingkungannya, Piaget percaya bahwa setiap makhluk hidup harus
beradaptasi dengan lingkungannya dan juga menata lingkungan fisik disekitarnya agar bisa bertahan
hidup. Oleh sebeb itu, Piaget berfikir bahwa perkembangan pemikiran juga mirip dengan perkembangan
biologis, yaitu dibutuhkan adaptasi dan mengatur atau menata lingkungan sekitarnya. Piaget (1971)
menyatakan bahwa teori pengetahuan itu pada dasarnya merupakan teori adaptasi pikiran kedalam suatu
kenyataan, sama halnya dengan organisme yang beradaptasi dengan lingkungannya.
Piaget juga memang membahas tentang pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan
pemikiran seorang anak, namun ia tidak dengan jelas memberikan model bagaimana hal tersebut dapat
terjadi. Menurut Piaget dalam tingkat-tingkat perkembangan kognitif yang lebih rendah, menurutnya
pengaruh lingkungan sosial merupakan suatu hal yang sama dengan objek-objek yang sedang diamati
oleh anak tersebut. Anak tersebut belum bisa menangkap ide-ide dari masyarakat. Ketika anak tersebut
berada dalam tingkat perkembangan yang lebih tinggi, barulah pengaruh lingkungan sosial menjadi lebih
jelas atau lebih berpengaruh. Dalam tingkat yang lebih tinggi ini anak sudah bisa bertukar fikiran atau
gagasan dengan teman-teman, memberikan pendapatnya masing-masing lalu mensdiskusikannya
bersama-sama, dan juga anak sudah dapat mengambil keputusan bersama-sama. Tetapi Piaget memang
lebih menekankan pada bagaimana pembentukan pengetahuan anak dengan sendirinya atau secara
individual.
Menurut Piaget (1977), teori ini berfokus pada kontruksi internal seseorang terhadap
pengetahuan. Eggen dan kauckhak (1997) mengemukakan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
lingkungan sosial, akan tetapi interaksi sosial sangat penting sebagai stimulus terjadinya komplik kognitif
internal pada individu. Kontruktivis kognitif memfouskan pada aktivitas belajar yang ditentukan oleh
pembelajar dan berorientasi penemuan sendiri. Misalnya, guru matematika yang menggunakan
pandangan ini bahwa anak akan belajar mengenai fakta matematika lebih efektif jika mereka menemukan
fakta tersebut dengan sendirinya atas dasar apa yang telah mereka ketahui, dibandingkan apabila jika
fakta tersebut diberikan oleh guru. Dengan demikian, belajar merupakan suatu proses penyusunan
kembali atau reorganisasi kognitif secara aktif (Duffy dan Cunningham, 1996).
Piaget menggambarkan pegetahuan dengan menggunakan salah satu dari 3 istilah, yaitu: scheme,
konsep dan struktur. Sebuah scheme dapat berbentuk fisik atau mental dan bisa juga digambarkan sebagai
sebuah tindakan atau sebuah proses yang dapat digunakan secara berulang-ulang oleh seorang anak untuk
mencapai tujuan atau mengatasi masalah. Sedangkan, konsep bukan merupakan sebuah cara yang
diarahkan pada tujuan tetapi lebih sebagai suatu bentuk pemahaman yang meliputi hubungan diantara
hal-hal atau aspek-aspek dari hal-hal tersebut. Contohnya, konsep waktu meliputi suatu hubungan antara
kecepatan dan jarak. Konsep hanya dimiliki oleh anak-anak yang sudah cukup besar dan orang ewasa,
dan dibentuk dengan cara mengelompokan terhadap objek dan situasi yang berbeda-beda. Berbeda
deangan scheme dan konsep, struktur merupakan sesuatu yang memiliki bentuk dan isi. Bentuk dari
struktur pengetahuan merupakan suatu wadah untuk pandangan-pandangan.
Teori ini juga mengatakan bahwa tahap-tahap suatu perkembangan individu atau seseorang serta
bertambahnya umur yang dapat mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget,
perkembangan kapasitas mental dapat memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang
sebelumnya tidak ada. Dalam hal ini, Piaget mengelompokan perkembangan kognitif manusia melalui 4
tahap, yaitu: tahap sensorimotoris (umur 0-2 taun), disini seorang anak belum memiliki pendapat tentang
objek secara tetap. Anak tersebut hanya bisa mengetahui hal-hal yang ditangkap oleh indranya,
contohnya yaitu anak mulai memahami bagian tubuhnya dengan menunjuk bagian tubuh tersebut seperti
menunjuk hidung ketika orang tuanya menanyakan mana hidungnya ; Tahap pre operasional (umur 2-7
tahun), pada tahap ini anak mulai muncul perkembangan kogtitifnya, namun masih terbatas pada hal-hal
yang dapat ia jumpai, contohnya anak mampu mengumpulkan benda-benda dengan warna yang sama;
Tahap operasional konkrit (umur 7-11 tahun), pada tahap ini seorang anak telah dapat berfikir konkret
atau nyata, contohnya anak mampu mengetahui uang kembalian yang ia peroleh saat ia membeli coklat
seharga Rp. 1000 dengan uang yang dimilikinya Rp.2000; Dan yang terakhir yaitu tahap operasional
formal (umur 11-15 tahun), pada tahap ini anak telah mempunyai pemikiran abstrak pada bentuk-bentuk
yang kompleks atau rumit, contohnya pada anak mampu menyimpulkan ketika diberi pernyataan kalau
umur ana lebih tua dari umur ani, sedangkan umur dita lebih muda dari umur ani, maka ia dapat
menyimpulkan bahwa umur siapa yang paling tua dan umur siapa yang paling muda.
Berikut merupakan beberapa impilikasi teori yang dikemukakan oleh Piaget diantaranya yaitu:
Agar siswa mampu membangun struktur mental mereka, pertamanya harus diinternalisasikan skema-
skema tindakan yaitu dengan melaksanakannnya secara berulang-ulang untuk mencapai suatu tujuan;
berpikir pada setiap tingkatan perkembangan memiliki ciri yang unik karenanya perlu dipertimbangkan
ketika memilih, menentukan atau bahkan merancang program pendidikan.
Konstruktivisme Sosiokulturalisme
Sama halnya dengan Piaget, Vygotsky juga mulai meneliti bagaimana pembentukan dan
perkembangan pengetahuan seorang anak secara psikologi, tetapi Vygotsky lebih memfokuskan pada
hubungan antara individu atau seseorang dengan masyarakat dalam pembentukan pengentahuan tersebut.
Vygotsky meneliti bagaimana akibat dari adanya interaksi sosial, dan juga yang lebih menarik
perhatiannya yaitu pengaruh dari bahasa dan budaya pada proses belajar anak. Menurutnya belajar
merupakan suatu perkembangan pengertian, maksud dari yang dikemukakan oleh Vygotsky yaitu bahwa
belajar bisa didapatkan dari pengalaman yang telah ia rasakan. Vygotsky membedakan pengertian
menjadi dua yaitu yang bersifat spontan dan bersifat ilmiah. Pengertian spontan yaitu pengertian atau
pengetahuan yang ia bisa dapatkan dari pengalaman-pengalaman anak di kehidupan sehari-hari,
pengertian ini tidak diartikan dan dirangkai secara sistematis logis. Sedangkan pengertian ilmiah
merupakan pengetian atau pengetahuan yang ia dapatkan dari belajar didalam kelas atau disekolah,
pengertian ini merupakan pengertian yang diartikan atau dapat disampaikan dengan jelas.
Menurut Vygotsky, pengertian ilmiah itu mengalami perkembangan tidak hanya datang dalam
bentuk apa yang terjadi pada seorang anak saja, tetapi juga tergantung pada tingkat kemampuan anak
untuk bisa menangkap suatu model pengertian yang lebih ilmiah. Dalam suatu proses belajar, kedua
pengertian tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Menurut Vygotsky siswa dapat membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan
siswa itu sendiri melalui bahasa. Teori yang dikemukakan oleh vygotsky ini , lebih menekankan pada
aspek sosial dari proses belajar. Vygotsky menjelaskan bahwa siswa seharusnya diberi tugas-tugas yang
rumit, sulit, dan realistik lalu diberikan sedikit bantuan yang cukup untuk menyelesaikan tugas-tuganya
itu.
Vygotsky berpendapat bahwa proses pembelajaran akan terjadi apabila seorang anak berusaha
atau menangani tugas-tugas yang belum ia pelajari, tetapi tugas-tugas itu masih berada pada jangkauan
mereka atau masih bisa mereka selesaikan, dengan demikian hal tersebut disebut dengan zona
perkembangan terdekat (zone of proximal development atau disingkat ZPD) dan ada satu ide yang
penting dikemukakan oleh Vygotsky yaitu Scaffolding yaitu suatu bentuk pemberian bantuan pada anak
saat awal-awal ia melewati proses perkembangan dan kemudian kita dapat mengurangi memberikan
bantuan tersebut kepada anak sehingga anak mengambil alih tanggungjawab yang besar setelah anak
melakukannya. Sehingga dengan demikian interaksi sosial dan siswa membentuk pengetahuan
berdasarkan aktivitasnya sendiri untuk berkelompok kecil dan juga merangsang siswa untuk dapat aktif
bertanya dan berdiskusi.
ZPD merupakan suatu tingkatan apa yang dapat ia kerjakan dengan sendiri dan menunjukan
rentang tugas belajar yang dapat dikerjakan apabila ia mendapatkan bantuan tambahan dari orang lain
yang berkompeten. Dibawah zona tersebut seorang anak dapat melakukan tugas-tugasnya tanpa bantuan
orang lain, dalam zona tersebut bantuan tambahan diperlukan untuk membantu melakukan tugas-tugas
tersebut agar berhasil, akan tetapi bisa saja apabila sudah diberikan bentuan tambahan tetapi tetap tidak
bisa menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Zona tersebut menunjukan rentang tugas guru untuk
membantu perkembangan anak didik secara produktif.
Menurut Eggen dan Kauchak (1997) penerapan ZDP dalam pembelajaran dibagi menjadi tiga
tugas, yang pertama yaitu pengukuran, pengukuran ZDP disini maksudnya yaitu mengukur kemampuan
siswa dalam memahami masalah yang bersifat nyata, proses ini disebut sebagai assessment dinamik. Hal
yang dapat diukurnya yaitu meliputi kemampuan berpikir, pengetahuan yang dimiliki, minat serta
toleransi terhadap ambiguitas. Tugas selanjutnya adalah pemilihan aktivitas belajar, maksud dari
pemilihan aktivitas belajar yaitu menyesuaikan tugas-tugas belajar siswa tersebut sesuai dengan
perkembangannya. Apabila tugas yang diberikan tersebut terlalu mudah maka pembelajaran akan dirasa
tidak dibutuhkan, akan tetapi apabila tugas yang diberikan juga terlalu sulit atau tidak mudah untuk siswa
memahaminya maka hal tersebut akan menyebabkan siswa menjadi bingung dan bisa menjadi frustasi.
Sehingga dibutuhkan penyederhanaan tugas untuk siswa yang memiliki kemampuan kurang dan
dibutuhkan juga peningkatan tantangan tugas untuk siswa yang memiliki kemampuan lebih. Selain
pemilihan tugas, guru juga harus bisa menentukan bagaimana ia menyajikan tugas nya kepada siswa, hal
ini agar siswa dan guru memiliki pemahaman yang sama. Pemahanan bersama ini penting karena
merupakan tanda point awal bagi perkembangan melalui pemecahan masalah bersama. Untuk bisa
memnbentuk atau mendapatkan pemahaman secara bersama-sama dapat dilakukan hal-hal berikut ini
yaitu memberikan tugas dalam konteks yang bermakna dan juga bisa dengan melakukan suatu
percakapan dengan siswa atau guru bertanya pada siswa untuk membantu menganalisis masalah yang
mereka hadapi. Tugas yang terakhir yaitu memberikan dukungan pembelajaran untuk membantu siswa
menghadapi masalahnya atau melalui zona yang ia hadapi dengan berhasil, hal ini dapat dilakukan
dengan menerapkan Scaffolding.
Menurut Eggen dan Kauchak, scaffolding dapat dibedakan menjadi lima yaitu modeling, think
aloud, pertanyaan-pertanyaan, adaptasi bahan pembelajaran, promt and cue atau dorongan dan isyarat.
Untuk modeling contoh nya itu seorang guru matematika menunjukan bagaimana cara menyelesaikan
soal persamaan linear satu variabel sebelum guru tersebut meminta siswa untuk mengerjakan soal. Think
aloud (berpikir keras), contohnya yaitu seorang guru fisika memverbalisasi pemikirannya saat ia
memecahkan masalah daya gerak pada papan tulis. Pertanyaan-pertanyaan, contohnya yaitu seorang guru
matematika membawa siswa melalui beberapa masalah dan meminta mereka untuk menanyakan pada
waktu tertentu apabila ada yang tidak dimengerti. Promt and cue, (dorongan dan isyarat) anak prasekolah
diajarkan mengikat tali sepatu sambil berkata “Kelinci masuk ke lubang dan melompat ke dalamnya.”
Teori Vygotsky mempunyai empat implikasi pendidikan (Byrnes , 1996) yaitu: 1) Guru harus
bertindak sebagai Scaffold yang memberikan bimbingan yang cukup untuk membantu anak-anak
mencapai kemajuan 2) Pembelajaran harus selalu berupaya “mempercepat” tingat penguasaan terkini
pada anak 3) Untuk menginternalisasi keterampilan pada anak-anak, pembelajaran harus berkembang
dalam empat fase. Pada fase pertama guru harus menjadi model dan memberikan komentar verbal
mengenai apa yang mereka lakukan dan alasannya. Pada fase kedua siswa harus berupaya meniru apa
yang dilakukan oleh guru. Pada fase ketiga guru harus mengurangi intervensinya secara progresif begitu
siswa telah bisa menguasai keterampilan tersebut. Pada fase keempat guru dan siswa secara berulanh-
ulang mengambil peran secara bergiliran. 4) Anak-anak perlu dihadapkan dengan konsep-konsep ilmiah
agar konsep spontan mereka menjadi lebih akurat dan umum.
Konstruktivisme Sosiologis
Konstruktivisme sosiologi berpandangan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil penemuan
sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam dari perubahan sosial. Kenyataan dibentuk secara
sosial dan ditentukan secara sosial (Berger dan Luckmann, 1967). Berger berdasarkan pengetahuannya
pada kenyataan sehari-hari, dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang
dialami bersama dengan orang lain. Pengetahuan sosial dibentuk dan disebarkan dari generasi kegenerasi
yang lain. Konstruktivisme sosiologis menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi
sosial bukan konstruksi individual. Kelompok ini menekankan lingkungan, masyarakat dan dinamika
pembentukan ilmu pengetahuan (Matthews, 1994). Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran
masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia, tentu ini bertentangan dengan
konstruktivisme radika atau mendasar yang beranggapan bahwa pengetahuan seseorang itu merupakan
konstruksi orang itu sendiri sehingga individu tidak dapat menentukan konstruksi pengetahuan oaring
lain, melainkan orang itu sendir yang tetap harus menginterpretasikan dan mengambil maknanya.
Konstruktivisme sosiologis mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara
sosial.
Peran Guru dan Siswa dalam Proses Pembelajaran
Dalam praktek pendidikan banyak cara belajar mengajar disekolah berdasarkan pada teori
konstruktivisme, seperti cara belajar yang menekankan peranan siswa dalam membentuk
pengetahuannya. Pengetahuan itu sebagai konstriksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif
membangun pengetahuannya sendiri walaupun usianya sudah tahu tetap saja tidak akan berkembang
pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahua itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau masalah yang sesuai. Pengetahuan tidak dapat ditransfer
atau disalurkan begitu saja, melainkan harus bisa diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang
pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, tetapi suatu proses yang berkembang terus-menerus.
Sehingga dalam hal ini proses keaktifan seorang siswa sangat menentukan perkembangan
pengetahuannya. Siswalah yang harus aktif dalam mengembangkan pengetahuan mereka, bukan orang
lain. Merekalah yang harus bertanggugjawab terhadap hasil belajar mereka. Penekanan belajar siswa
secara aktif ini perlu dikembangkan. Kretifitas dan keaktifan siswa akan dapat membantu merekauntuk
bisa berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Pada proses belajar siswa lebih diarahkan pada
experimental learning yang merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman kongkret di
laboratorium, diskusi dengan teman kelas, yang kemudian dipikirkan dan dijadikan ide, dan
pengembangan konsep baru. Sehingga, dari proses mendidik dan mengajar tidak berfokus pada guru,
tetapi lebih kepada siswa.
Berdasarkan prinsip kontruktivis, seirang pengajar atau guru sebagai mediator atau fasilitator
yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Guru tidak mentransfer pengetahuan
yang dimilikinya pada siswa tetapi guru dituntut untuk memahami cara pandang atau pikiran setiap siswa
dalam proses pembelajaran. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau guru yang
mengajar. Karena siswa harus bisa membangun sendiri pengetahuan mereka, seorang guru harus melihat
mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong atau tabula rasa. Siswa sudah membawa
pengetahuan awal. Pengetahuan yang mereka punyai merupakan dasar untuk membangun pengetahuan
selanjutnya (Vond Glassersfeld, 1989). Menurut konstruktivis guru menganut metode pembelajaran yang
memposisikan siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya seperti interaksi antara siswa dengan
siswa yang lain dan guru memberi pertanyan-pertanyaan, kemudian siswa mencari sumber dan
merancang penyelesaian masalah. Sehingga dalam hal ini, guru perlu belajar mengerti cara berpikir siswa
sehingga dapat membantu memodifikasinya atau memperbaikinya. Baik dilihat dari bagaiman jalan
berpikir siswa itu mengenai persoalan yang ada.
Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan matematika realistik muncul berdasarkan interpretasi dari pendapat Hans Freudental
bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (Gravemeijer, 1994: 82). Pendapat Hans Freudental ini
berarti matematika memiliki nilai yang manusiawi sehingga sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu
produk jadi yang harus ditransfer secara langsung sebagai matematika siap pakai, melainkan harus
dikonstruksi atau ditemukan sendiri oleh siswa (constructivism). Pendapat Freudental ini sangat jelas
merekomendasikan suatu pembelajaran matematika yang menekankan pada aktivitas siswa. Dalam
aktivitas tersebut, siswa dibimbing secara terbatas sehingga secara bertahap diharapkan seolah-olah
siswalah yang menemukan kembali (reinvention) konsep matematika. Proses ini diharapkan siswa dapat
mengalami bagaimana sebuah pengetahuan matematika ditemukan. Ini berarti, siswa difasilitasi (giuded)
untuk merasakan tahap demi tahap proses penemuan sebuah pengetahuan matematika oleh ahli yang
menemukannya.
Matematisasi adalah sebuah proses mematikakan sebuah konteks, yaitu proses menerjemahkan
sebuah konteks menjadi konsep matematika (Wijaya, 2012). Ini berarti, pemilihan konteks harus relevan
dengan konsep matematika yang akan dipelajari karena konteks yang dipilih memuat konsep matematika
dalam bentuk yang mudah dimengerti sehingga dapat dibayangkan dan dikenal oleh siswa. Penggunaan
beragam permainan di awal pembelajaran matematika akan membuat siswa senang untuk belajar
matematika. Selain itu, dalam kegiatan bermain, akan terjadi interaksi sosial antara siswa. Dari interaksi
ini diharapkan dapat ditemukannya suatu konsep matematika. Pendidikan Matematika Realistik sangat
menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran (Wijaya, 2012). Proses interaksi ini
diharapkan terjadi sejak awal pengembangan konsep matematika. Jika dalam belajar terjadi proses
komunikasi berbagai gagasan antar siswa, maka belajar akan menjadi lebih efektif dan efisien. Agar
aktivitas bermain dapat bermanfaat seperti yang disebutkan di atas, maka pemilihan jenis kegiatan
bermain dalam pembelajaran matematika harus memenuhi syarat: (1) memiliki tujuan untuk
pengembangan konsep matematika dan aktivitas tersebut menyenangkan bagi anak; (2) aktivitas bermain
harus dengan konteks yang bermakna; (3) menuntut tanggung jawab siswa dan dapat diawasi; (4) dapat
diulang, dipraktikan dan dikuasai oleh siswa. Tucker (2005: 6) berpendapat bahwa untuk mendukung
pengembangan konsep matematika menggunakan aktivitas bermain dibutuhkan kualitas keterlibatan
guru pada beberapa tingkatan. Keterlibatan guru dimulai dari perencanaan, menyediakan sumber daya
yang diperlukan untuk menstimulasi peluang pembelajaran, atau melibatkan diri secara langsung dalam
permainan (Haylock & Tangata, 2007). Selama kegiatan bermain berlangsung, guru dapat
memperkenalkan kosa kata matematika serta menggiatkan dialog dan penalaran matematika (Haylock &
Tangata, 2007).
Contoh Kasus Pelaksanaan Pembelajaran Konstruktivisme
Contoh berikut ini berasal dari materi SD, yaitu pada proses pembelajaran pengurangan dasar bilangan
seperti 13-7. Langkah – langkah proses pembelajarannya adalah sebagai berikut:
Pada tahap awal, seorang guru akan mengajukan masalah seperti berikut ini dipapan tulis, ditransparansi,
maupun dikertas peraga
Ardi memiliki 12 kelereng, 9 kelereng diberikan kepada
adiknya. Berapa kelereng yang dimiliki Ardi sekarang?

Kemudian guru akan bertanya kepada para siswa, berapa kelereng yang dimiliki Ardi pada awalnya?
(12). Lalu guru akan menggambar di papan tulis, 12 kelereng seperti gambar dibawah ini dengan
menekankan bahwa 12 bernilai 1 puluhan dan 2 satuan atau 12 = 10 + 2.
Selanjutnya guru akan meminta siswa bekerja dalam kelompok dengan menggunakan benda-benda
konkret atau nyata yang dimilikinya untuk menggambarkan 12 kelereng yang dimiliki. Kemudian guru
akan bertanya pada siswa, berapa butir kelereng yang diberikan kepada adiknya dan berapa sisa kelereng
yang dimiliki Ardi sekarang? Biarkan siswa tesebut bekerja sendiri-sendiri atau bekerja secara
berkelompok untuk menjawab soal tersebut. Ada dua kemungkinan jawaban siswa atau dari kelompok
nya tersebut, seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini. Pada waktu diskusi kelompok, guru
sebaiknya menawarkan alternatif kedua ini kepada beberapa kelomok.

Guru dapat memberikan kesempatan kepada siswa atau kelompok untuk melaporkan cara mereka
mendapatkan hasilnya. Diskusikan juga, yang mana dari dua cara tersebut yang lebih mudah digunakan.
Kemudian guru dapat memberikan soal tambahan seperti 13 - 9 dan 12 - 8. Para siswa masih boleh
menggunakan alternatif pertama, disarankan untuk mecoba alternatif keuda dalam proses menjawab dua
soal diatas.
Dan terakhir guru memberi soal tambahan seperti 14 – 9 dan 13 – 8. Bagi siswa atau kelompok yang
sudah dapat menyelesaikan soal ini tanpa menggunakan benda konkret, dapat mengerjakan soal-soal
yang ada di buku.
Belajar arti konstruktvisme dari contoh diatas menunjukkan bahwa: Peran guru sebagai fasilitator
dalam membantu siswanya agar dapat dengan mudah melakukan operasi pengurangan dasar bilangan.
Pengetahuan diharapkan dapat dengan mudah terkonstruksi atau terbangun didalam pikiran siswanya.
Dengan rancangan pemebelajaran seperti itu, para siswa sendirilah yang harus membangun pengetahuan
bahwa 12-9 = 2+1, 13 – 9 = 3+1, 12-8 = 2+2, 14-9 = 4+1, dan seterusnya. Disamping itu, para siswa jyga
dibimbing gurunya untuk secara demokratis menentukan pilihan-pilihan, dan secara dini belajar untuk
menghargai pendapat teman lainnya msekipun berbeda dengan pendapatnya sendiri. Kemudian dari
contoh diatas menunjukkan bahwa proses pembelajaran ini sesungguhnya didasarkan pada suatu
keyakinan bahwa suatu pengetahuan tidak dapat dipindahkan atau ditransferkan dari otak seorang guru
atau orang lain dengan begitu saja kedalam otak siswa. Siswa sendirilah yang dengan bantuan guru akan
dapat menentukan kembali pengetahuan yang sudah ditemukan para ahli matematika. Dan yang terakhir
dari contoh diatas menunjukkan bahwa dengan fasilitas dari para guru matematika sebagaimana
ditanyakan para pakar pendidikan, prosedur pengurangan dasar bilangan seperti 12-9 maupun 13-8
ditemukan kembali (guided re-invention) si pembelajar seperti ketika para siswa menemukan kembali
rumus, konsep, ataupun prinsip.
Kelebihan Teori Konstruktivisme yaitu: pembelajaran konstruktivisme memberi pengalaman
yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan menyatukan gagasan tentang kegiatan yang menantang siswa. Pembelajaran
konstruktivis memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara singkat
dengan menggunakan Bahasa siswa sendiri. Pembelajaran konstruktivis memberi siswa kesempatan
untuk berfikir tentang pengalamannya, hal ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif,
mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan yang sesuai. Pembelajran
konstruktivis memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong
untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks. Pembelajaran konstruktivis
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka
serta memberi kesempatan siswa untuk menentukan perubahan gagasan mereka. Pembelajaran
konstruktivis memberikan lingkungan belajar yang kondusif dan mendukung siswa mengungkapkan
gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Kelemahan dari teori konstruktivisme, yaitu siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak
jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ahli sehingga menyebabkan
salah pengertian atau miskonsepsi. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun
pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan
penanganan yang berbeda. Situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah
memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa tersebut. Dikarenakan
teori kontruktivisme mengedepankan siswa yang aktif atau a study centered sedangkan gurunya hanya
sebagai fasilitas. Sehingga, jika ada seorang siswa yang kurang aktif atau cenderung pemalas yang
dikarenakan malu untuk mengutarakan pendapat, tidak mengerti atau menguasai materi, atau bahakan
memang sengaja mengabaikan proses belajar dan pembelajaran tersebut maka siswa tersebut untuk
kedepannya akan tidak berkembang.
Jadi dari pemaparan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa teori konstruktivisme adalah teori
yang menuntut siswa untuk menjadi aktif, kreatif dan inovatif. Dalam teori ini siswa diberi suatu
permasalahan dimana selanjutnya siswa dipersilahkan untuk mengkaji permasalahan tersebut yang
nantinya akan didiskusikan bersama-sama dengan teman-teman. Selanjutnya jika ada kesalahan atau
hasil kajian yang kurang maka guru akan menjelaskan kembali atau meluruskan permasalahan yang
kurang tepat. Dalam hal ini konstruktivisme dibagi menjadi dua, yaitu konstruktivisme psikologis dan
konstruktivisme sosiologi. Dimana dalam konstruktivisme psikologi lebih menekankan pada
perkembangan psikologis anak dalam membangun pengetahuannya, sedangkan konstruktivisme sosial
lebih menekankan pada masyarakatlah yang membangun pengetahuan.
Daftar Pustaka

Suparno, Paul. 2006. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius (Anggota
IKAPI).
Asrori, Mohammad. 2009. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Khodijah, Nyayu. 2016. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raya Grafindo Persada.
Thobroni, M. 2015. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Effendi, Kiki NS. 2019. Belajar dan Pembelajaran Matematika. Karawang: Kiki Nia Sania Effendi, M.
Pd
https://bambangdibyo.wordpress.com/2013/03/16/teori-belajar-dan-pembelajaran-konstruktivistik-dan-
implikasinya-dalam-setting-bimbingan-konseling/ ( Senin, 18 Februari 2019)

Anda mungkin juga menyukai