1. Definisi
BBLR adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari 2500
gram (sampai 2499 gram) tanpa memandang masa kehamilan (Ambarwati & Rismintari, 2009 :
2. Etiologi
Menurut Maryanti, et al (2012:169) faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR adalah :
a. Faktor ibu
1) Penyakit
trauma fisik dan psikologis, DM, toksemia gravidarum, dan nefritis akut.
2) Usia ibu
Angka kejadian prematuritas tertinggi ialah pada usia <20 tahun, dan multigravida yang jarak
keadaan gizi yang kurang baik dan pengawasan antenatal yang kurang.
4) Sebab lain
b. Faktor janin
c. Faktor lingkungan
Tempat tinggal dataran tinggi radiasi dan zat-zat racun.
3. Klasifikasi
Menurut Mitayani (2013 : 172) BBLR dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Prematuritas murni
Yaitu bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat bayi sesuai
dengan gestasi atau yang disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan.
Berat bayi lahir sesuai dengan masa kehamilan. SGA sendiri terdiri atas tiga jenis:
1) Simetris (intrauterus for gestatational age) yaitu terjadi gangguan nutrisi pada awal kehamilan
dan dalam jangka waktu yang lama
2) Asimetris (intrauterus growth retardation) yaitu terjadi defisit nutrisi pada fase akhir kehamilan
3) Dismaturitas yaitu bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa gestasi
dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri serta merupakan bayi kecil untuk masa
kehamilan
1) Stadium 1
Bayi tampak kurus dan relatif lebih panjang, kulit longgar, kering seperti permen karet, namun
2) Stadium 2
Bila didapatkan tanda-tanda stadium 1 ditambah warna kehijauan pada kulit, plasenta, dan
umbilikal.
3) Stadium 3
Ditemukan tanda stadium II ditambah kulit berwarna kuning, demikian pula kuku dan tali pusat.
Sedangkan klasifikasi menurut Surasmi dalam Amirudin & Hasmi, (2014 : 146) adalah :
a. Bayi berat badan amat sangat rendah, yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 1000
gram.
b. Bayi berat badan lahir sangat rendah adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 1500 gram.
Bayi berat badan cukup rendah adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan 1501-2500 gram.
4. Patofisiologi
Menurut Maryanti, et al (2012:169) faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR terdiri
dari faktor ibu yang meliputi penyakit ibu, usia ibu, keadaan sosial ekonomi dan sebab lain
berupa kebiasaan ibu, faktor janin, dan faktor lingkungan. BBLR dengan faktor risiko paritas
terjadi karena sistem reproduksi ibu sudah mengalami penipisan akibat sering melahirkan Hal ini
disebabkan oleh semakin tinggi paritas ibu, kualitas endometrium akan semakin menurun.
Kehamilan yang berulang-ulang akan mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin dimana jumlah
nutrisi akan berkurang dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya (Mahayana et al., 2015 :
669).
Menurut Samuel S Gidding dalam Amirudin & Hasmi (2014:85-86) mekanisme pajanan
asap rokok terhadap kejadian BBLR dan berat plasenta dengan beberapa mekanisme yaitu
kandungan tembakau seperti nikotin, CO dan polysiklik hydrokarbon, diketahui dapat menembus
Sedangkan nikotin menyebabkan vasokontriksi arteri umbilikal dan menekan aliran darah
intrauterine dan plasenta yang tidak sempurna mengalirkan darah diyakini menjadi penghambat
pertumbuhan janin.
Faktor yang juga mempengaruhi terjadinya BBLR adalah penyakit pada ibu hamil. Anemia
pada ibu hamil dapat mengakibatkan penurunan suplai oksigen ke jaringan, selain itu juga dapat
merubah struktur vaskularisasi plasenta, hal ini akan mengganggu pertumbuhan janin sehingga
akan memperkuat risiko terjadinya persalinan prematur dan kelahiran bayi dengan berat badan
lahir rendah terutama untuk kadar hemoglobin yang rendah mulai dari trimester awal
kehamilan (Cunningham, et al., 2010). Selain anemia, implantasi plasenta abnormal seperti
plasenta previa berakibat terbatasnya ruang plasenta untuk tumbuh, sehingga akan
mempengaruhi luas permukaannya. Pada keadaan ini lepasnya tepi plasenta disertai perdarahan
dan terbentuknya jaringan parut sering terjadi, sehingga meningkatkan risiko untuk terjadi
perdarahan antepartum (Prawirohardjo, 2008). Apabila perdarahan banyak dan kehamilan tidak
dapat dipertahankan, maka terminasi kehamilan harus dilakukan pada usia gestasi berapapun.
Hal ini menyebabkan tingginya kejadian prematuritas yang memiliki berat badan lahir rendah
Menurut Wiknjosastro dalam Masitoh, et al. (2014 : 132) pre eklamsi ringan jarang sekali
menyebabkan kematian dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan yang menetap pada
sistem syaraf, pembuluh darah atau ginjal dari ibu sehingga terjadi keterbelakangan pada janin
karena kurangnya aliran darah melalui plasenta atau kurangnya oksigen pada janin yang
menyebabkan BBLR.
Keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung mempengaruhi kejadian BBLR, karena
pada umumnya ibu dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah akan mempunyai intake makan
yang lebih rendah baik secara kualitas maupun secra kuantitas, yang berakibat kepada rendahnya
peningkatan indeks resistensi arteri uterina. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan
konsentrasi noradrenalin dalam plasma, sehingga aliran darah ke uterus menurun dan uterus
perkembangan janin intra uterin sehingga terjadi BBLR (Hapisah, et al., 2010 : 86-87).
Menurut Maryanti et al. (2012:169) penyebab BBLR dapat dipengaruhi dari faktor janin
Hidramnion merupakan kehamilan dengan jumlah air ketuban lebih dari 2 liter. Produksi air
ketuban berlebih dapat merangsang persalinan sebelum kehamilan 28 minggu, sehingga dapat
menyebabkan kelahiran prematur dan dapat meningkatkan kejadian BBLR. Pada kehamilan
ganda berat badan kedua janin pada kehamilan tidak sama, dapat berbeda 50-1000 gram, hal ini
terjadi karena pembagian darah pada plasenta untuk kedua janin tidak sama. Pada kehamilan
kembar distensi (peregangan) uterus berlebihan, sehingga melewati batas toleransi dan sering
terjadi persalinan prematur (Amirudin & Hasmi, 2014 : 110-111). Menurut Saifuddin dalam
Amirudin & Hasmi (2013 : 111-112) kelainan kongenital atau cacat bawaan merupakan
kelaianan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur.
Bayi yang lahir dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai BBLR atau bayi
kecil.
Pada BBLR ditemukan tanda dan gejala berupa disproporsi berat badan dibandingkan
dengan panjang dan lingkar kepala, kulit kering pecah-pecah dan terkelupas serta tidak adanya
jaringan subkutan (Mitayani, 2013 : 176). Karena suplai lemak subkutan terbatas dan area
permukaan kulit yang besar dengan berat badan menyebabkan bayi mudah menghantarkan panas
pada lingkungan (Sondakh, 2013 : 152). Sehingga bayi dengan BBLR dengan cepat akan
kehilangan panas badan dan menjadi hipotermia (Maryanti, 2012 : 171). Selain itu tipisnya
lemak subkutan menyebabkan struktur kulit belum matang dan rapuh. Sensitivitas kulit yang
akan memudahkan terjadinya kerusakan integritas kulit, terutama pada daerah yang sering
tertekan dalam waktu yang lama (Pantiawati, 2010 : 28). Pada bayi prematuritas juga mudah
sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah, kemampuan leukosit masih
pembentukan membran hialin surfaktan paru yang merupakan suatu zat yang dapat menurunkan
tegangan dinding alveoli paru. Defisiensi surfaktan menyebabkan gangguan kemampuan paru
untuk mempertahankan stabilitasnya, alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi
sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negative intratoraks yang lebih besar
yang disertai usaha inspirasi yang kuat. Hal tersebut menyebakan ketidakefektifan pola
Alat pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan
belum matang (Maryanti et al., 2012 : 171). Selain itu jaringan lemak subkutan yang tipis
menyebabkan cadangan energi berkurang yang menyebabkan malnutrisi dan hipoglikemi. Akibat
fungsi organ-organ belum baik terutama pada otak dapat menyebabkan imaturitas pada sentrum-
sentrum vital yang menyebabkan reflek menelan belum sempurna dan reflek menghisap lemah.
Hal ini menyebabkan diskontinuitas pemberian ASI (Nurarif & Kusuma, 2015 54-55).
5. Gambaran Klinis
Menurut Maryanti, et al. (2012 : 167-168) gambaran klinis dari BBLR menurut
klasifikasinya adalah :
a. Prematuritas murni
6) Kulit transparan
11) Labio minora belum tertutup pleh labia mayora (pada wanita), pada laki-laki testis belum turun
18) Reflex tonus leher lemah, reflek menghisap dan menelan serta reflex batuk belum sempurna
b. Dismatur
1) Kulit terselubung verniks kaseosa tipis atau tidak ada
6) Tali pusat berwarna kuning kehijauan. Hal ini disebabkan oleh mekonium yang tercampur dalam
amnion yang kemudian mengendap ke dalam kulit, umbilikus dan plasenta sebagai akibat
anoksia intrauterin.
6. Komplikasi
Menurut Deslidel et al. (2011 : 108) komplikasi BBLR bergantung pada klasifikasi BBLR,
yaitu :
2) Pnemonia aspirasi karena refkek menelan dan batuk belum sempurna, bayi belum dapat
menyusu
3) Perdarahan periventrikuler dan perdarahan intraventrikuler (P/IVH) otak lateral akibat anoksia
4) Hipotermia karena sumber panas bayi prematur baik lemak subkutan yang masih sedikit
a) Bayi menggigil (walau biasanya ciri ini tidak mudah terlihat pada bayi kecil).
b) Kulit anak terlihat belang-belang, merah bercampur putih atau timbul bercak-bercak.
e) Lebih parah lagi jika anak menjadi biru yang bisa dilihat pada bibir dan ujung-ujung jarinya.
3) Hipoglikemia
4) Hipotermia
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Amirudin, et al. (2014 : 142-143) ketika seorang ibu melahirkan bayi BBLR berikut
langkah-langkah penangannya :
Menurut (Maryanti et al., 2012) bayi BBL dengan cepat akan kehilangan panas badan dan
menjadi hopitermia, karena pusat pengaturan panas badan belum berfunsi dengan baik,
metabolismenya rendah dan permukaan badan relatif luas oleh karena itu bayi BBLR harus
Selain itu mempertahankan suhu tubuh bayi BBL dan penangannya jika lahir di puskesmas atau
petugas kesehatan adaah sebagai berikut (Amirudin & Hasmi, 2014 : 142) :
2) Kain yang basah secepatnya diganti dengan yang kering dan hangat dan pertahankan tubuhnya
tetap hangat
4) Beri oksigen
Bayi BBLR mudah sekali terkena infeksi, karena daya tahan tubuh yang masih lemah, leukosit
masih kurang dan pembentukan atibodi belum sempurna (Maryanti et al., 2012 : 172). Maka
prinsip-prinsip pencegahan infeksi termasuk mencuci tangan sebelum memegang bayi sangat
nutrisi harus dilakukan dengan cernat. Sebagai langkah awal jika bayi dapat menelan adalah
tetesi ASI dan jika bayi BBLR belum bisa menelan segera dirujuk (rujuk ke rumah sakit jika bayi
Selain itu pencernaan bayi BBLR masih belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan
belum matang, sedangkan kebutuhan protein 3-5 gr/kgBB dan kalori 110 kal/kgBB sehingga
tumbuhnya dapat meningkat. Pemberian minum bayi sekitar 3 jam setelah lahir dan didahului
dengan menghisap cairan lambung. Reflek menghisap masih lemah, sehingga pemberian minum
sebaiknya sedikit demi sedikit, tetapi frekuensi yang lebih sering. Permulaan cairan diberikan
sekitar 50-60 cc/kgBB/hari dan terus dinaikkan sampai mencapai sekitar 200
cc/kgBB/hari (Maryanti et al., 2012 : 171). Perhatikan selama pemberian minum bayi menjadi
cepat lelah, menjadi biru aatu perut membesar atau kembung (Amirudin & Hasmi, 2014 : 143).
d. Pemberian oksigen
Ekpansi paru yang buruk merupakan masalah yang serius bagi bayi preterm BBLR, akibat tidak
adanya alveoli dan surfaktan. Konsentrasi O2 yang diberikan sekitar 30-35 % dengan
menggunakan head box, konsentrasi O2 yang tinggi dalam masa yang panjang dapat
menimbulkan kebutaan. Oksigen yang diberikan pada payi prematur tidak boleh lebih dari 40 %,
hal ini dapat dicapai dengan memberikan oksigen dengan kecepatan 2 liter
e. Penimbangan ketat
Perubahan berat badan mencerminkan kondisi gizi atau nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan
daya tahan tubuh, oleh sebab itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan
f. Medikamentosa
Pemberian vitamin K1
2) Peroral 2 mg sekali pemberian atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur
4-6 minggu)
berikut :
a. Jumlah darah lengkap untuk menunjukkan adanya penurunan Hb/Ht yang dihubungkan dengn
c. Analisa gas darah untuk menentukan derajat keparahan distres pernafasan bila ada.
g. EKG, EEG, USG, dan angiografi untuk mengetahui defek konginetal dan komplikasi.
panas yang hilang ke lingkungan luar (Potter & Perry, 2010 : 163).
Suhu tubuh relatif konstan. Hal ini diperlukan untuk sel-sel tubuh agar dapat berfungsi
secara efektif. Suhu tubuh dapat diartikan sebagai keseimbangan antara panas yang diproduksi
dengan panas yang hilang dari tubuh. Kulit merupakan organ yang bertanggunga jawab untuk
memelihara suhu tubuh agar tetap normal dengan mekanisme tertentu (Asmadi, 2008 : 154).
Mekanisme fisiologis dan perilaku mengatur keseimbangan antara panas yang hilang dan
dihasilkan, atau lebih sering disebut sebagai termoregulasi. Mekanisme tubuh harus
mempertahankan hubungan antara produksi panas dan kehilangan panas agar suhu tubuh tetap
Menurut Atoilah & Kusnadi (2013 : 157) suhu tubuh terdiri dari dua macam, yaitu :
a. Suhu inti yaitu suhu di jaringan tubuh bagian dalam yang relatif konstan 37 oC ± 1 oF (± 0,6 oC)
keculai bila orang menderita demam.
b. Suhu permukaan yaitu suhu dipermukaan tubuh. Naik turun suhu lingkungan akan memengaruhi
suhu permukaan tubuh.
Mekanisme pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum berfungsi sempurna, untuk
itu perlu dilakukan upaya pencegahan kehilangan panas dari tubuh bayi karena bayi berisiko
mengalami hipotermia. Bayi dengan hipotermia sangat rentan terhadap kesakitan dan
Mekanisme kelhilangan panas pada bayi adalah sebagai berikut (Syafrudin & Hamida,
2009) :
a. Radiasi, yaitu panas tubuh bayi memancar ke lingkungan sekitar bayi yang lebih dingin.
b. Evaporasi, yaitu perpindahan panas dengan cara merubah cairan menjadi uap, yang dipengaruhi
oleh jumlah panas yang dipakai, tingkat kelembabpan udara, aliran udara yang
melewati (Indrayani & Djami, 2013 : 317). Contohnya bayi lahir tidak langsung dikeringkan dari
air ketuban.
c. Konduksi, yaitu pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak dengan
permukaan yang lebih dingin. Misalnya, popok atau celana bayi basah yang tidak langsung
diganti.
d. Konveksi, yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara sekeliling bayi. Misalnya, bayi
sebagai berikut :
a. Usia
Pada bayi dan balita belum terjadi kematangan mekanisme pengaturan suhu sehingga dapat
terjadi perubahan suhu sehingga dapat terjadi perubahan suhu tubuh yang drastis terhadap
lingkungan.
b. Olahraga
Aktivitas otot membutuhkan lebih banyak darah serta peningkatan pemecahan karbohidrat dan
metabolisme dan dapat meningkatkan produksi panas sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh.
c. Kadar hormon
Umumnya wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar. Hal ini dikarenakan adanya
variasi hormonal saat siklus menstruasi. Kadar progesteron naik dan turun sesuai siklus
menstruasi. Saat progesteron rendah, suhu tubuh berada dibawah suhu dasar yaitu sekitar
1/10nya. Suhu ini bertahan sampai terjadi ovulasi. Perubahan suhu tubuh juga terjadi pada
wanita saat menopouse.
d. Irama sikardian
Suhu tubuh yang normal berubah 0,5-1 oC selama periode 24 jam. Suhu terendah berada diantara
pukul 1 sampai 4 pagi. Pada siang hari suhu tubuh meningkat dan mencapai maksimum pada
e. Stres
Stres fisik maupun emosional meningatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal dan syaraf.
Perubahan fisiologis ini menyebabkan metabolisme, yang akan meningkatkan produksi panas.
f. Lingkungan
Tanpa mekanisme kompensasi yang tetap, suhu tubuh manusia akan berubah mengikuti suhu
lingkungan. Suhu lingkungan lebih mempengaruhi anak-anak dan dewasa tua karena mekanisme
g. Perubahan suhu
Perubahan suhu tubuh di luar kisaran normal akan mempengaruhi titik pengaturan hipotalamus.
Perubahan ini berhubungan dengan produksi panas berlebihan, kehilangan panas berlebihan,
produksi panas minimal, kehilangan panas minimal, atau kombinasi hal di atas.
suhu melalui sistem pengendali suhu. Ada beberapa faktor yang berperan dalam
a. Hipotalamus bekerja sebagai sebuah termostat, merasakan perubahan minor suhu tubuh dan
mengaktifkan penghilangan atau produksi panas untuk mempertahankan suhu inti tubuh tetap
b. Pengaturan perilaku melibatkan kerja volunter, mempertebal pakaian, bergerak ke tempat yang
lebih dingin atau yang lebih hangat untuk mempertahankan suhu tubuh yang nyaman.
c. Peran kulit dalam pengaturan panas meliputi sebagai penyekat tubuh, vasokontriksi (yang
memengaruhi aliran darah dan hilangnya panas ke kulit), dan sensai tubuh. Suhu berpindah dari
darah melalui dinding pembuluh kepermukaan kulit dan hilang ke lingkungan sekitar melalui
mekanisme penghilangan panas. Bila suhu tubuh rendah, pembuluh darah konstriksi. Saat suhu
tinggi, hipotalamus menghambat vasokontriksi dan pembuluh dilatasi. Saat kulit menjadi dingin,
Termoregulasi bergantung pada fungsi normal dari proses produksi panas. Panas yang
dihasilkan tubuh adalah hasil sampingan metabolisme, yaitu reaksi kimia dalam seluruh sel
tubuh. Makanan merupakan sember utama bahan bakar untuk metabolisme. Aktivitas yang
membutuhkan reaksi kimia tambahan akan meningkatkan laju metabolik, yang juga akan
Sumber termoregulasi yang digunakan bayi baru lahir adalah dengan penggunaan lemak
coklat, lemak coklat berada di daerah interskapula, di sekitar leher, aksila, sekitar masuk thorak,
disepanjang kolumna vertebralis dan sekitar ginjal. Panas yang dihasilkan dari aktivitas lipid
dalam bentuk lemak coklat dapat menghangatkan bayi baru lahir dengan meningkatkan produksi
panas hingga 100%. Cadangan lemak coklat lebih banyak terdapat pada bayi baru lahir cukup
bulan di banding dengan bayi lahir prematur (Maryanti et al., 2012 : 11).
3. Hipotermi
Menurut Syafrudin & Hamida (2009 : 141) hipotermia terjadi jika suhu tubuh di bawah
36,5 oC (suhu normal pada neonatus adalah 36,5-37,5 oC) pada pengukuran suhu melalui ketiak.
Bayi baru lahir mudah sekali terkenan hipotermia. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut :
a. Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dngan sempurna
d. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar ia tidak kedinginan
Jika suhu tubuh turun dibawah 34,4oC, terjadi penurunan denyut jantung, frekuensi nafas,
dan tekanan darah. Kulit menjadi sianotik. Jika hipotermia terus berlanjut, pasien mengalami
disritmia jantung, kehilangan kesadaran, dan tidak responsif terhadap nyeri (Potter & Perry,
2010).
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, L. (2011). Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah BBLR di RSU Dr MM Dunda
Limboto Kabupaten Gorontalo. Jurnal Sainstek, 6(3), 249–260. Retrieved from
http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/1/399/Faktor-Risiko-KejadianBayi-Berat-Lahir-
Rendah-BBLR-di-RSU-Dr-MM-Dunda-Limboto-Kabupaten-Gorontalo-Risk-factors-in-the-
Incidence-of-Low-Birth-Weight-Birth-at-Dr-MM-Dunda-Limboto-Gorontalo-Regency.pdf.
Ambarwati, E. R., & Rismintari, Y. S. (2009). Asuhan Kebidanan Komunitas. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Amirudin, R., & Hasmi. (2014). Determinan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: TIM.
Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep dan AplikasiKebutuhan Dasar Klien.
Jakarta: Salemba Medika.
Atoilah, E. M., & Kusnadi, E. (2013). Askep pada Klien dengan Gangguan Kebutuhan Dasr Manusia.
Garut: In Media.
Ballard JL, Khoury JC, Wedig K, et al. (1991). New Ballard Score, expanded to include extremely
premature infants. Jurnal Pediatrics, (119), 417–423. Retrieved from
http://www.ballardscore.com/Pages/ScoreSheet.aspx
Cunningham FG, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Rouse D, S. C. (2010). Obstetri Williams (Edisi ke 2).
Jakarta: EGC.
Deslidel, Hasan, Z., Hevrialni, R., & Sartika, Y. (2011). Buku Ajar Asuhan Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta: EGC.
Djaelani, A. R. (2013, March). Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian Kualitatif. FPTK IKIP
Veteran Semarang, 82–92. Retrieved from http://www.e-journal.ikip-
veteran.ac.id/index.php/pawiyatan/article/download/55/64
Hapisah, Dasuki, D., & Prabandari, Y. S. (2010). Depressive Symptoms Pada Ibu Hamil dan Bayi
Berat Lahir Rendah. Berita Kedokteran MasyarakatMasyarakat, 26(2), 81–89. Retrieved from
http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3472/2999
Indrayani, & Djami, M. E. U. (2013). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: TIM.
Jatim, D. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012, 38–40
Lalani, A. (2011). Kegawatdaruratan Pediatri. Jakarta: EGC.
Mahayana, S. A. S., Chundrayetti, E., & Yulistini. (2015). Artikel Penelitian Faktor Risiko yang
Berpengaruh terhadap Kejadian Berat. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3), 664–673. Retrieved from
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/viewFile/345/300
Marcdante, K. J., Kliegman, R. M., Jenson, H. B., & Behrman, R. E. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial (Edisi keen). Jakarta.
Maryanti, D., Sujianti, & Budiarti, T. (2012). Buku Ajar Neonatus, Bayi, dan Balita. Jakarta: Trans
Info Media.
Maryunani, A., & Puspita, E. (2013). Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatus. Jakarta:
TIM.
Masitoh, S., Syarifudin, & Delmaifanis. (2014). Hamil Ganda Penyebab Bermakna Berat Bayi Lahir
Rendah. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kesehatan, 1(2), 129–134. Retrieved from
http://ejurnal.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php/JITEK/article/view/55/48
Mitayani. (2013). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2012). Pengkajian Keperawatan : Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: sa.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
NANDA NIC-NOC (Jilid 3). Yogyakarta: Media Action Publishing.
Pantiawati, I. (2010). Bayi dengan BBLR. Yogyakarta: Nuha Medika.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan (Edisi 7). Jakarta: Salemba Medika.
Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Proverawati, A., & Sulistyorini, C. I. (2010). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Yogyakarta: Nuha
Medika.
Putri, Y. R., Gusnila, E., & Silvia. (2015). Pengaruh Perawatan Metode Kanguru Terhadap Perubahan
Berat Badan Bayi Lahir Rendah. Jurnal IPTEK Terapan, 9(1), 1–10. Retrieved from
http://ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/involusi/article/download/62/58
Rahmat, P. S. (2009). Jurnal Penelitian Kualitatif. Equilibrium, 5(9), 1–8. Retrieved from
http://yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf
Sondakh, J. J. S. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA.
Syafrudin, & Hamida. (2009). Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC.
Tazkiah, M., Wahyuni, C. U., Martini, S., & Timur, J. (2013). Determinan Epidemologi Kejadian
BBLR Pada Daerah Endemis Malaria Di Kabupaten Banjar. Jurnal Berkala Epidemologi, 1(2),
266–276. Retrieved from http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jbe6e2decf148full.pdf