berlaku sebagai masyarakat wilayah tersebut, yang mana tunduk pada pemerintahannya
sebagai ikatan politis antara mereka. Bila dikaitkan dengan Islam sebagai pasangan kata-kata
negara, maka ketiga unsur pokok suatu negara yaitu; Teritorial wilayah, rakyat, dan ikatan
politis belum cukup, nilai ke-Islaman juga perlu dimasukkan sebagai dimensi moral yang juga
menjadi naungan unsur-unsur pokok negara tersebut. Inilah yang membedakannya
dibandingkan negara-negara ‘biasa’ lainnya. Lalu, bagaimana kedudukan Islam dalam
memobilisasi sebuah negara? Karena dimensi moral berbeda dimensi dengan dimensi fisik.
Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing : state
(Inggris), staat (Belanda dan Jerman) atau etat (Prancis). Sedangkan secara terminologi, negara
diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai
cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyai pemerintah yang
berdaulat.
Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan
rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan Al-
Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara dalam Islam. Namun demikian,
keduanya memuat prinsip-prinsip dasar tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep
yang pasti tentang negara telah melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam
tradisi pemikiran politik Islam.1[2]
Selain itu, konsep islam tentang negara juga berasal dari 3 (tiga) paradigma, yaitu:
1. Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikan sesudah Rasulullah SAW, terutama biasanya
merujuk pada masa Khulafa al Rasyidin.
2. Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
3. Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintahan.
Teori tentang Khilafah menurut Amien Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum
muslimin yang harus ditegakan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk
dan peraturan Allah SWT, maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaannya al-Qur’an tidak
menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori
Imamah, Amien lebih lanjut mengatakan bahwa kata imamah (dalam pengertian negara/state)
dalam al-Qur’an tidak tertulis. 2[3] Imam Mawardi mengatakan: "Imamah adalah suatu
kedudukan yang diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan memelihara
agama (Islam) dan mengendalikan dunia".
Islam merupakan suatu totalitas yang bersifat komprehensif dan luwes. Islam sebagai al-din
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan dan hukum.
Al-Qur’an tidak mengenal doktrin pemisahan antara kehidupan agama dan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu paham sekularisme yang ingin memisahkan antara kehidupan agama dengan
kehidupan masyarakat tidak dikenal dalam ajaran Islam. Islam dan hukum Islam mencakup baik
kehidupan duniawi maupun ukhrawi.
“Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “negara Islam” adalah suatu distorsi hubungan
proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang
dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya
adalah spritual dan pribadi
Konsep negara Islam adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara negara
dengan agama, negara merupakan aspek kehidupan duniawi yang dimensinya rasional
dan kolektif, sedang agama merupakan segi lain yang dimensinya spiritual dan
individual.
Dari sinilah Nurcholish Madjid menolak Islam di pandang sebagai ideologi, karena akan
merendahkan dan mendiskreditkan agama sebagai suatu yang setara dengan ideologi
di dunia.40 Lain halnya dengan Harun Nasution yang menyatakan, bahwa ada dua
argumentasi yang mewajibkan membentuk khilâfah atau pemerintahan. Pertama, Ijma’
para sahabat sepeninggal Nabi saw, dan ijma’ tersebut kemudian diikuti dengan
kesepakatan umat Islam. Kedua, peraturan hukum haruslah berlaku dalam masyarakat,
dan untuk itu diperlukan adanya pemerintahan.41 Golongan yang ber-pendapat tidak
wajib membentuk khilâfah menurut Harun Nasution didasarkan pada anggapan bahwa
yang terpenting adalah berlakunya keadilan dalam masyarakat. Apabila semua itu
berjalan dengan baik, maka pemerintah dengan sendirinya tidak
diperlukan. Lebih lanjut Harun Nasution menyatakan, bahwa tidak ada satu pun dalil
yang menjelaskan tentang keharusan mendirikan negara Islam, bahkan soal negara
saja tidak ada. ayat atau hadis yang secara tegas menyebutkan pembentukan
pemerintahan atau negara di dalam Islam, karena jika terdapat suatu keharusan adanya
sistem pembentukan negara, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana bentuk
dan susunan negara itu, bagaimana pula sistem dan mekanisme pemerintahannya serta
bagaimana warga negara yang bukan muslim dan sebagainya.
Namun demikian, meski tidak ada kewajiban membentuk negara Islam, sebagai
masyarakat yang bernegara hendaknya dapat membentuk masyarakat yang Islami,
yang mampu mengikuti perkembangan zaman, bukan sebaliknya sebagaimana kondisi
sosial yang mengikuti perkembangan modern yang merupakan suatu refleksi dari trend
modernitas, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Neo-Tradisionalisme.
Konsep negara dalam islam memang dikenal sebagai suatu hubungan proporsional antara kedua hal
yaitu agama dan negara. Negara sendiri adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya
adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah
spritual dan pribadi. Dari pengertian tersebut, terungkap bahwa suatu negara memiliki unsur
terpenting yaitu agama itu sendiri. Dengan adanya agama, maka akan tercipta keadilan dan suasana
yang aman. Agama juga memiliki motivasi bagi penganutnya agar menjadikan negara yang dihuninya
menjadi tempat yang subur dan mereka yang ditugasi dalam pengelolaan negara adalah mereka
sebagai generasi sekarang dan mendatang. Jadi dalam hal ini, terlihat bahwa agama memang unsur
terpenting dalam sebuah negara menurut perspektif islam.