Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial manusia dalam kehidupannya memerlukan interaksi
sosial satu sama lain, maka berbagai kepentingan akan saling bertemu. Pertemuan
kepentingan antara manusia yang satu dengan yang lain ini, tak jarang, menimbulkan
pergesekan ataupun perselisihan. Perselisihan yang ditimbulkan bisa berakibat fatal,
apabila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu sebuah mediator atau
fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut,
agar manusia yang saling bersengketa tersebut sama-sama memperoleh keadilan,
inilah sebuah proses untuk menuju sebuah sistem tatanan hukum.
Kenyataan ini menjadikan manusia mulai berpikir secara rasional. Di berbagai
komunitas masyarakat adat, hal ini menjadi pemikiran yang cukup serius, kemudian
diangkatlah pemangku adat, yang biasanya mempunyai ‘kelebihan’ tertentu untuk
‘menjembatani’ berbagai persoalan yang ada. Dengan kondisi ini, tetua adat yang
dipercaya oleh komunitasnya mulai menyusun pola kebijakan sebagai panduan untuk
komunitas tersebut yang berisikan aturan mengenai larangan, hukuman bagi yang
melanggar larangan tersebut, serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang sudah
disepakati bersama.
Proses inilah yang mengawali terjadinya konsep hukum di masyarakat,
ternyata komunitas masyarakat adat sudah terlebih dahulu mengetahui arti dan fungsi
hukum yang sebenarnya. Inilah yang kemudian disebut sebagai hukum adat. Dapat
dirumuskan bersama, bahwa hukum adat merupakan hukum tertua yang hidup di
masyarakat. Hanya saja, mayoritas hukum adat ini biasanya tidak tertulis. Inilah salah
satu kelemahan hukum adat.
Apa yang terjadi pada masyarakat adat inilah yang kemudian menginspirasi
manusia modern untuk melakukan hal serupa.
Hubungan antar masyarakat adat ini semakin lama semakin luas dan semakin
berkembang. Masyarakat-masyarakat adat yang saling berinteraksi akhirnya
mengadakan perjanjian bersama untuk membentuk sebuah ikatan yang lebih luas,
yang kemudian dikenal dengan istilah ‘negara’. Sejatinya, ‘negara’ ini sebenarnya
berisikan berbagai kumpulan hukum adat.
Seiring dengan berkembangnya waktu, manusia modern memerlukan tatanan
yang lebih selaras, seimbang dalam menjembatani berbagai kepentingan yang
semakin dinamis dan kompleks. Hukum yang tadinya tidak tertulis, akhirnya
disepakati bersama untuk dibakukan dan dijadikan pedoman. Tentunya, pedoman
yang dimaksud kemudian dilakukan secara tertulis. Hukum tertulis inilah yang kita
kenal sampai sekarang. Hukum tertulis ini bersifat dinamis. Akan terus berubah
sesuai perkembangan zaman dan perkembangan kepentingan manusia.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam yang terdapat pada pembahasan ini antara
lain :
1. Apa yang dimaksud dengan manusia?
2. Apa yang dimaksud dengan moral dan moralitas ?
3. Apa saja jenis dan fungsi moral ?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum ?
5. Apa saja jenis, fungsi, proses terbentuknya hukum ?
6. Bagaiman hubungan antara manusia, moralitas dan hukum ?
7. Apa perbedaan antara hukum dengan moral?

C. Tujuan penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :


1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan manusia
2. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan moral dan moralitas.
3. Menyebutkan jenis sera fungsi moral.
4. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan hukum.
5. Menyebutkan jenis, fungsi serta menjelskan proses terbentuknya
hukum.
6. Menjelaskan hubungan antara manusia, moralitas, dan hukum.
7. Menjelaskan perbedaan antara hukum dengan moral.

BAB II
PEMBAHASAN
A. MANUSIA
1. Pengertian Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah
fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup
(living organism).
Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara
ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan
vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.
Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan
oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan
itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi
kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk
hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan
itu bersumber dari lingkungan
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Pada masa bayi sepenuhnya manusia tergantung kepada
individu lain. Ia belajar berjalan,belajar makan,belajar berpakaian,belajar
membaca,belajar membuat sesuatu dan sebagainya,memerlukan bantuan orang lain
yang lebih dewasa.
Malinowski (1949), salah satu tokoh ilmu Antropologi dari Polandia
menyatakan bahwa ketergantungan individu terhadap individu lain dalam
kelompoknya dapat terlihat dari usaha-usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan
biologis dan kebutuhan sosialnya yang dilakukan melalui perantaraan kebudayaan.

Rasa aman secara khusus tergantung kepada adanya system perlindungan


dalam rumah,pakaian dan peralatan. Perlindungan secara umum, dalam pengertian
gangguan/kelompok lain akan lebih mudah diwujudkan kalau manusia berkelompok.
Untuk menghasilkan keamanan dan kenyamanan hidup berkelompok ini, diciptakan
aturan-aturan dan kontrol-kontrol social tentang apa yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan oleh setiap anggota kelompok. Selain itu ditentukan pula siapa yang berhak
mengatur kehidupan kelompok untuk tercapainya tujuan bersama.

B. MORAL
1. Pengertian moral
Moral berasal dari bahas latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores
ini mempunyai sinonim mos, moris, manner more atau manners, dan morals. Moral
bisa diartikan nilai atau norma yang menjadi pegangan suatu individu maupun
kelompok dalam mengatur tingkah laku, sedangkan Moralitas merupakan
keseluruhan dari sifat moral tentang baik dan buruk.
Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (basah arab) atau
kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang
menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Makna moral yang terkandung
dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Bisa
dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah lakunya
sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang
mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu
sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral
jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari
kebudayaan masyarakat setempat.

Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi


dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang
berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan
masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga
sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Jadi moral adalah tata
aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk
melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk
menjadi manusia yang baik.
Moral bisa diartikan nilai atau norma yang menjadi pegangan suatu individu
maupun kelompok dalam mengatur tingkah laku, sedangkan Moralitas merupakan
keseluruhan dari sifat moral tentang baik dan buruk.
2. Jenis moral
Ada dua macam moral dalam menentukan baik dan buruknya perilaku
manusia, yaitu:
a) Moral deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan
rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam
hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Hal ini memberikan fakta sebagai
dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau
diambil.
b) Moral normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan
pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia. Moral normatif
memberikan penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka
tindakan yang akan diputuskan.
3. Fungsi moral
Fungsi moral bagi kehidupan manusia antara lain :
a) Mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan
sesama sebagai bagian masyarakat.
b) Menarik perhatian pada permasalahan moral yang kurang di tanggapi.
c) Dapat menjadi penarik perhatian manusia pada gejala pembiasaan emosional.

C. HUKUM
1. Pengertian hukum
Achmad Ali menyatakan hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang
benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang
dituangkan baik dalam aturan tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis (norma)
yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan
dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut. Hukum harus mencakup tiga
unsur, yaitu kewajiban, moral dan aturan.
Beberapa pendapat pakar lain mengenai pengertian hukum, yaitu:
Mayers menjelaskan bahwa hukum itu adalah semua aturan yang menyangkut
kesusilaan dan ditujukan terhadap tingkah laku manusia dalam masyarakat serta
sebagai pedoman bagi penguasa Negara dalam melaksanakan tugasnya.
Utrecht berpendapat bahwa hukum adalah himpunan perintah dan larangan
untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat dan oleh karenanya masyarakat harus
mematuhinya.
Simorangkir mengatakan bahwa hukum adalah peraturan yang bersifat
memaksa dan sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam masyarakat yang dibuat
oleh lembaga berwenang serta bagi sapa saja yang melanggarnya akan mendapat
hukuman.
· Sudikno Mertokusuro menyatakan bahwa hukum adalah sekumpulan
peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan
peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
2. Jenis hukum
Jenis hukum berdasarkan sumber, yaitu:
1. Hukum adat
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis. Contoh: hukum adat minangkabau.
2. Hukum undang-undang
Hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Ada
dua jenis undag-undang yakni dalam arti material (setiap peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah yang isinya mengikat secara umum bagi
semua warga negara) dan dalam arti formal (setiap peraturan yang karena
bentuknya dapat disebut UU). Contoh: UU pemilu.
3. Hukum yurisprudensi
Yaitu keputusan hakim terdahulu terhadap suatu perkara yang tidak
diatur oleh UU dan dijadikan pedoman oleh hakim lainnya dalam
memutuskan perkara yang serupa. Contoh: KUHP.
3. Hukum traktat
Yaitu perjanjian yang dibuat oleh dua negara atau lebih mengenai
persoalan-persoalan tertentu yang emnjadi kepentingan negara
bersangkutan. Contoh: hukum batas negara.
4. Hukum doktrin
Yaitu pendapat para ahli hukum terkemuka yang dijadikan dasar atau
asas-asas penting dalam hukum dan penerapannya.

Jenis hukum berdasarkan isinya, yaitu;


1. Hukum publik
Hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga
negaranya. Atau Hukum yang mengatur tentang hal-hal yang
berhubungan tentang masyarakat dan menjadi Hukum perlindungan
Publik. Contoh: hukum tata negara, hukum acara pidana.
2. Hukum privat
Hukum yang mengatur kepentingan pribadi, atau hukum yang
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang yang satu dengan
orang lainnya dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Contoh: hukum waris, hukum dagang, hukum perdata.
Jenis hukum berdasarkan masa berlakunya, yaitu:
1. Hukum Positif atau ius constitutum
Adalah hukum yang berlaku saat ini di suatu negara. Misalnya, di
Indonesia persoalan perdata diatur dalam KUH Perdata, persoalah pidana
diatur melalui KUH Pidana, dll. Dalam hukum positif atau ius
constitutum di indonesia, berlaku tata hukum sebagai berikut:
2. Hukum Tata Negara
Adalah Peraturan-peraturan yang mengatur organisasai Negara dari
tingkat atas sampai bawah, sturktur, tugas dan wewenang alat
perlengkapan Negara.
3. Hukum Perdata
Adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara
individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan
Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum
publik dan hukum privat atau Hukum Perdata. Dalam sistem Anglo
Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
4. Hukum Pidana
Adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan
perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta
menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya.
Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar
dan aturan-aturan untuk:
a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
5. Hukum Tata Usaha (Administrasi) negara adalah hukum yang
mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur
tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
6. Hukum acara atau hukum formal adalah hukum yang mengatur
tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan
hukum material. Tata hukum ini terbagi atas:
a) Hukum Acara Pidana Indonesia adalah hukum yang
mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan
peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum Acara Pidana
di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
b) Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
tentang bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantara hakim. Dan ketentuan-ketentuan dari
Hukum Acara Perdata pada dasarnya sama sekali tidak
memberatkan hak dan kewajiban yang sering kita jumpai dalam
hukum materiil perdata, akan tetapi pada intinya aturan-aturan
hukum perdata materiil adalah melindungi hak-hak
perseorangan dan itu merupakan sifat dasar dari Hukum Acara
Perdata.
c) Hukum yang akan datang atau ius costituendum.
Hukum yang dicita-citakan, diharapkan, atau direncanakan
akan berlaku masa yang akan datang. Contoh: hukum pidana
nasional yang hingga saat ini masih disusun.
Jenis hukum berdasarkan tempat berlakunya, yaitu:
1. Hukum Internasional
adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala
internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai
perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola
hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian
meluas sehingga Hukum Internasional juga mengurusi struktur dan
perilaku organisasi internasional. Contoh: Hukum Perang Perdata
Internasional dan sebagainya.
2. Hukum Lokal (Local Law)
adalah hukum yang hanya berlaku disuatu daerah tertentu (Hukum
Adat Batak, Minangkabau, Jawa dan sebagainya). Atau suatu sistem
hukum yang tampak seiring dengan peningkatan pentingnya hukum negara
dan aparatur administrasinya, dimana pengembangan dan kewenangannya,
maksud dan tujuannya kesemuanya ditentukan oleh aparat pemerintah.
Pemberlakuan, dalam praktek sehari-hari berada dalam suatu kewenangan
daerah yang terdesentralisasi. Perbedaannya dengan hukum nasional adalah
bahwa proses pembentukan hukum lokal yang dibangun tersebut
perumusannya didasarkan pada spirit berpikir hukuni masyarakat pribumi.
3. Fungsi hukum
Fungsi hukum bagi kehidupan manusia, yaitu:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin
3. Hukum mempunyai ciri memerintah dan melarang
4. Hukum mempunyai sifat memaksaHukum mempunyai daya yang
mengikat fisik dan Psikologis, Karena hukum mempunyai ciri, sifat
dan daya mengikat, maka hukum dapat memberi keadilan ialah dapat
menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang benar
5. Sebagai penggerak pembangunan
6. Sebagai fungsi kritis hukum
Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H dalam bukunya pengantar ilmu
hukum, hal 155 mengatakan : “Dewasa ini sedang berkembang suatu
pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum
tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah
(petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk didalamnya”.
4. Proses terbentuknya hukum
Terjadinya hukum di Inggris pada awalnya dan terus berkembang adalah
hukum berasal dari kebiasaan dalam masyarakat dan dikembangkan oleh
keputusan-keputusan pengadilan. Hukum Inggris yang demikian ini
dinamakan common law, yang pertumbuhannya dimulai pada tahun 1066, saat
berkuasanya William The Conqueror.
Pandangan-pandangan ekstrim tentang terjadinya hukum secara umum
dikatakan oleh J.P Glastra Van Loon adanya dua pandangan ekstrim, yaitu:

1. Pandangan legisme, (yang berkembang dan berpengaruh sampai


pertengahan abad ke 19)
Menurut pandangan ini hukum terbentuk hanya oleh perundang-
undangan. Dan hakim secara tegar terikat pada undang-undang,
peradilan adalah hal menerpakan secara mekanis dari ketentuan
undang-undang pada kejadian-kejadian yang konkrit.
2. Pandangan Freirechtslehre (abad 19/20)
Menurut pandangan ini hukum terbentuk hanya oleh peradilan,
undang-undang, kebiasaan, dan sebagainya hanyalah sarana-sarana
pembantu bagi hukum dalam menenemukan hukum pada kasus-kasus
konkrit.

D. HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN MANUSIA


Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat kalimat terkenal yang berbunyi: “Ubi
societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya
bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama
masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen
perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang
berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk
suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah
tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan
mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si
pengatur(kekuasaan).
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
(the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

E. HUBUNGAN ANTARA HUKUM DENGAN MORAL


Setelah mengalami amandemen ke-1 sampai ke-4, tampak bahwa Bab I
Pasal 1 UUD 1945 (tentang bentuk dan kedaulatan) telah mengalami perubahan
berbunyi: Negara Indonesia Adalah Negara Hukum. Makna negara hukum
adalah negara yang mengutamakan hukum sebagai landasan berpijak dan
berbuat dalam konteks hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan
kata lain, hukum merupakan hal yang supreme : bukan uang dan kekuasaan.
Agar hukum dapat menjadi supreme, maka hukum/undang-undang tersebut
harus bersinergi dengan moralitas masyarakat. Keharusan hukum bersinergi
dengan moralitas masyarakat, telah diungkapkan oleh teori/ajaran ilmu hukum
yang mengajarkan bahwa suatu undang-undang akan dapat berlaku efektif di
masyarakat apabila undang-undang tersebut memiliki 3 macam kekuatan,
yaitu juristische geltung, soziologische geltung dan filosofische geltung.
Soziologische geltung dan filosofische geltung mengajarkan kepada kita
bahwa undang-undang yang mengakomodasi/merespon secara benar moralitas
masyarakat, yang akan mempermudah terwujudnya supremasi hukum. Karena
penegakan undang-undang tersebut secara mutatis mutandis berarti
menegakkan moralitas masyarakat. Sebaliknya, apabila suatu undang-undang
gagal mengakomodasi/merespon moralitas masyarakat, maka perwujudan
supremasi hukum akan mengalami kesulitan. Dalam konteks ini, undang-
undang/hukum akan dijadikan perisai untuk melawan moralitas masyarakat.
Dalam konteks ini pula, penegakan hukum tidak akan memberikan kenyamanan
dan keadilan bagi masyarakat.
Hubungan antara hukum dan moral sangan erat sekali, ada pepatah Roma
mengatakan “Apa artinya Undang – undang kalau tida disertai
moralitas?”. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai
moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang dijiwainya. “Tanpa
moralitas hukum tampak kosong dan hampa” ( Dahlan Thaib halaman : 6).
F. HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DENGAN MORAL
Moral memiliki arti yang hampir sama dengan etika. Etika berasal
daribahasa kuno yang berarti ethos dalam bentuk tunggal ethos memiliki
banyak artiyaitu tempat tinggal biasa, padang rumput, kebiasaan, adat, watak
sikap , dan caraberfiki. Dalam bentuk jamak ethos (ta etha) yang artinya adat
kebiasaan. Moral berasal dari bahsa latin yaitu mos (jamaknya mores) yang
berarti adat, cara, dan tempat tinggal. Dengan demikian secara etimologi kedua
kata tersebut bermakna sama hanya asal uasul bahasanya yang berbeda dimana
etika dari bahasa yunani sementara moral dari bahasa latin.
Moral yang pengertiaannya sama dengan etika dalam makna nilai-nilai
dan orma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Dalam ilmu filsafat moral banyak unsur yang dikaji
secara kritis, di landasi rasionalitas manusia seperti sifat hakiki manusia, prinsip
kebaikan, pertimbangan etis dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu
dan sebagainya. Moral lebih kepada sifat aplikatif yaitu berupa nasehat tentang
hal-halyang baik.
G. PERBEDAAN HUKUM DENGAN MORAL
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan
secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma
hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibanding dengan norma
moral. Sedangkan norma moral lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak
‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari kejelasan tentang yang harus
dianggap utis dan tidak etis.
Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun
hukum membatasi diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut
juga sikap batin seseorang.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan
dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar
akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab
paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru
berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas hanya hati yang
tidak tenang.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas
kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara
seperti hukum adat, namun hukum itu harus di akui oleh negara supaya
berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas norma-norma moral yang
melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau
dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat tidak
dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai
hukum dan tidak sebaliknya.

Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :


1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan
hukum alam sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar
diri manusia), sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri
sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan.
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk
sanksi kodrati, batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam
kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan
manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan
tempat, sedangkan moral secara objektif tidak tergantung pada
tempat dan waktu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai
makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah
fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup
(living organism).
Moral bisa diartikan nilai atau norma yang menjadi pegangan suatu individu
maupun kelompok dalam mengatur tingkah laku, sedangkan Moralitas merupakan
keseluruhan dari sifat moral tentang baik dan buruk.
Hukum merupakan suatu aturan yang mengikat baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis yang memiliki sanksi apabila dilanggar. Hukum harus mencakup
tiga unsur, yaitu kewajiban, moral dan aturan.
Manusia, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling
menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan
melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi
keselarasan dan harmoni kehidupan.

B. Saran dan kritik


Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan
kepastian hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin
terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan
hukum (equality before the law).
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan
penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang
bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender. Penegakan
hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan HAM. Karena, sesungguhnya
keduanya dapat berjalan seiring ketika para penegak hukum memahami betul hak-hak
warga negara dalam konteks hubungan antara negara hukum dengan masyarakat sipil.

DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly M. dkk., 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana Predana
Media Group.
Suwarno, dkk. 2008. ISBD. Surakarta : BP-FKIP UMS.

Anda mungkin juga menyukai