1
ABSTRAKS 1
DAFTAR PUSTAKA 2
DAFTAR GAMBAR 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Percobaan 4
1.4 Batasan Masalah 4
1.5 Sistematika Laporan 4
BAB II DASAR TEORI
2.1 Pengertian Konveksi 7
2.2 Thermal Resistance 8
2.3 Konveksi pada Plat Datar Secara Aliran Pararel 9
BAB III METODOLOGI
3.1 Peralatan Praktikum 12
3.2 Instalasi Praktikum 12
3.3 Langkah-langkah Praktikum 13
3.4 Flowchart Praktikum 15
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHSAN
4.1 Data Hasil Praktikum 17
4.2 Flowchart Perhitungan 17
4.3 Contoh Perhitungan 19
4.4 Pembahasan 19
4.4.1 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada Set Point 150 v 19
4.4.2 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada Set Point 175 V 22
4.4.3 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada Set Point 200 v 23
4.4.4 Grafik voltase Terhadap Koefisien Konveksi 26
4.4.5 Grafik Kecepatan Kipas Terhadap Koefisien Konveksi 27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 30
5.2 Saran 31
2
Gambar 2.1 Thermal Boundary laer pada isothermal plat datar 6
Gambar 2.2 Perpndahan panas secara konveksi 7
Gambar 2.3 Plat plate in parrarel flow 11
Gambar 3.1 Instalasi alat uji konveksi 12
Gambar 3.2 Flowchart Percobaan 15
Gambar 4.1 Flowchart Perhitungan 17
Gambar 4.2 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada Set Point 150 v 20
Gambar 4.3 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada Set Point 175 v 22
Gambar 4.4 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada Set Point 200 v 25
Gambar 4.5 Grafik voltase Terhadap Koefisien Konveksi 27
Gambar 4.6 Grafik Kecepatan Kipas Terhadap Koefisien Konveksi 28
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
1.4 Batasan masalah
Batasan masalah pada praktikum ini adalah:
1. Steady state
Suatu kondisi dimana properti specimen tidak berubah terhadap
waktu.
2. No heat generation
Spesimen uji tidak memiliki energi bangkitan karena spesimen
dianggap logam murni sehingga tidak terjadi reaksi kimia yang
menyebabkan energi bangkitan
3. Neglected Radiation
Perpindahan panas secara radiasi diabaikan karena perbedaan
temperatur antara permukaan spesimen dan temperatur lingkungan
sangat kecil
4. Perpindahan panas dianggap konstan
Heater yang digunakan ada satu buah dimana arus dan tegangannya
diatur konstan.
5
pembahasan.
Bab 5 yaitu kesimpulan dan saran. Pada bab ini berisikan kesimpulan
dan saran dari percobaan.
6
BAB 2
DASAR TEORI
Free convection
Yaitu perpindahan panas tanpa ada factor luar melainkan karena buoyancy
force. Secara umum, besarnya laju perpindahan panas konveksi dapat
dirumuskan:
q’’= h ( T∞ - Ts ), Ts > T∞………(2.1)
7
q’’= h ( T∞ - Ts ), T∞ > Ts………(2.2)
Dimana:
h = koefisien perpindahan panas secara konveksi (W/m2K)
q” = convection heat flux (W/m2)
𝑇𝑠−𝑇∞ 1
Rt.conv = = ℎ𝐴
𝑞
Cold
T∞,h
𝜕𝑢 𝜕𝑢
Continuity : 𝜕𝑥 + 𝜕𝑦 = 0………………………………(2.4)
𝑢.𝜕𝑢 𝑢𝜕𝑢 𝜕2 𝑢
Momentum: + =𝑢 ……………………….(2.5)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑦 2
𝜕𝑇 𝜕𝑇 𝜕2 𝑇
Energi : 𝑢. 𝜕𝑥 + 𝑣. 𝜕𝑦 = 𝑎. 𝜕𝑦 2 ………………………...(2.6)
8
𝜕𝑃𝐴 𝜕𝑃𝐴 𝜕2 𝑃𝐴
Spesies: 𝑢. + 𝑣. = 𝐷𝐴𝐵 …………………..(2.7)
𝜕𝑥 𝜕𝑦 𝜕𝑦 2
𝜕𝜓 𝜕𝜓
𝑢= 𝑑𝑎𝑛 𝑢 = − 𝜕𝑥 ………………….(2.8)
𝜕𝑦
Untuk kasus laminar low on isothermal dapat didekati dengan angka flux
dimana:
9
3. Mixed Boundary Layer Condition
Pada kasus mixed boundary layer dapat didekati dengan rumus:
1 𝑥𝑐 𝑥𝑐
ℎ𝐿 = (∫0 ℎ𝑙𝑎𝑚 𝑑𝑥 + ∫0 ℎ𝑡𝑢𝑟𝑏 𝑑𝑥 )………………(2.13)
𝐿
Sehingga:
4/5 1/3
𝑁𝑢𝐿 = (0,037 + 𝑅𝑒𝐿 − 𝐴) 𝑃𝑟 …………..(2.14)
0,6 ≤ 𝑃𝑟 ≤ 60
0,6 ≤ 𝑃𝑟 ≤ 60
10
Gambar 2.2 Flat plate in parallel flow
11
BAB 3
METODOLOGI PERCOBAAN
12
Keterangan:
1. Benda uji
2. Amperemeter
3. Voltmeter
4. Voltage regulator
5. Kipas
6. Thermocontrol
13
tingkat 1 sampai 3. Waktu tunggu pengambilan data minimum 5
menit untuk tiap tingkat kecepatan kipas data yang diambil pada
praktikum konveksi. Pengambilan data arus dapat dilihat pada
voltmeter dan data temperature tiap titik dapat diketahui
menggunakan infrared thermometer.
f. Lakukan prosedur pengambilan data langkah e dengan kenaikan
nilai tegangan voltage regulator sebesar 25 volt hingga tegangan
mencapai nilai 200 volt.
g. Setelah seluruh pengambilan data selesai, atur set point
thermocontrol pada nilai 0o C kemudian matikan thermocotrol
dengan menekan saklar tegangan thermocontrol
14
3.4 flowchart percobaan
start
B A C
15
A C
B
NO Nt=N+1
N>=3
YES
Vt=Vo=25 NO
Vt>=2
00
Temperature (°C)
End
16
BAB 4
PEMBAHASAN
Start
V=150
N=1
26
1
𝑇𝑠 = ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥
𝑙5 − 𝑙1 20
B
A C
17
B A C
∆𝑇 = 𝑇𝑠 − 𝑇∞
A= l x w
q=vxi
𝑞
ℎ=
𝐴∆𝑇
NO
N>=3
Nt = N+1
YES
NO
Vt = Vo + 25 Vt>=200
YES
Ts, ΔT, q, A, h
End
18
4.3 Contoh Perhitungan
Diketahui : T1 – T5
T∞ : 299 K
A : 0.014 m2
∆L : 0.015 m
V : 150 volt
I : 1.4 A
L1 ; L5 : 0,2 m; 0,26 m
Ditanya : h? Ts? ∆T? q?
Jawab : q = VI
= 150 volt 1.4 A
= 210 W
1 𝐿5
Ts = ∫ 0,175𝑥3 − 1,4179𝑥2 + 3,6071𝑥 +
𝐿5−𝐿1 𝐿1
308,92
Ts = 18.55308894 K
∆T = T∞ - Ts
= 299 K- (18.55308894 K)
= 307,631 K
"h "= q/A∆T
= 210/(0.014 x 307,631)
= 1737,887 W/m2K
4.4 Pembahasan
4.4.1 Grafik Temperatur Terhadap Jarak pada set point 150 V
19
Grafik jarak vs temperatur pada set point 150 V
315 y = 0.175x3 - 1.4179x2 + 3.6071x + 308.92
314
313 y = 0.1325x3 - 1.1054x2 + 3.9221x + 305.65
Kecepatan Kipas 1
312
Kecepatan Kipas 2
311
310 y = 0.0357x2 + 1.0357xKecepatan
+ 307.3 Kipas 3
Poly. (Kecepatan Kipas 1)
309
Poly. (Kecepatan Kipas 2)
308
Poly. (Kecepatan Kipas 3)
307
306
305
0.45 0.465 0.48 0.495 0.51
20
Pr = Prundt number
L = panjang specimen (m)
Kf = Koef.konduksi (W/mK)
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa kenaikan nilai h akan berbanding
lurus dengan kenaikan nilai Nu maupun nilai Re. Formula dari Reynold
Number mengandung variable kecepatan yang mana dapat dikaitkan dengan
nilai h. Formula Reynold Number yaitu:
Re = ρvL / µ
Dimana :
Re = Reynold Number
V= kecepatan (m/s)
Ρ = massa jenis (kg/ m3)
L = panjang (m)
µ = viskositas dinamik (kg/m)
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa Re berbanding lurus dengan L dan
juga V, semakin besar nilai L dan V maka nilai Re juga semakin tinggi. Re
berbanding lurus dengan Nu, semakin besar nilai Re semakin besar juga nilai
Nu. Nu berbanding lurus dengan h, semakin besar nilai h maka nilai Nu juga
semakin besar. Dan dapat dilihat pula hubungan h, q dan ∆T melalui persamaan
heat rate, yaitu:
q = h A ∆T (Untuk heat flux konstan)
Dimana :
q = heat rate (W/m2)
h = koef. Konveksi (W/ m2K)
A = Luas spesimen (m2)
∆T = Perbedaan temperature antara permukaan dengan sekitar (K)
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa apabila nilai h naik maka nilai q
akan naik. Pada q” yang konstan semakin tinggi h maka ∆T akan semakin
turun. Sehingga kecepatan kipas berbanding terbalik dengan ∆T ,yaitu ketika
kecepatan kipas (v) semakin tinggi maka ∆T akan semakin turun. Dimana ∆T
= Tsurface – Tinfinity..Untuk T1 yang jaraknya lebih dekat dengan kipas maka Ts
21
lebih besar, begitu juga untuk T2, T3, T4, T5 yang jaraknya semakin jauh dari
kipas maka temperature yang diterima surface makin kecil. Hal ini sesuai
dengan teori yang ada pada grafik thermal boundary layer diatas, yang
menyatakan bahwa Tsurface berbanding terbalik dengan jarak(x).
Pada praktikum yang dilaksanakan didapatkan hasil yang tidak sesuai
dengan teori. Pada kecepatan kipas satu sampai kecepatan kipas tiga
didapatkan perbedaan temperatur yang menurun dan kemudian kembali
meningkat. Kesalahan terjadi dikarenakan pada saat pengambilan data dengan
menggunakan infrared thermometer, thermometer tidak lurus dengan titik yang
ada dan jarak antara thermometer dengan spesimen tidak konstan pada
pengambilan di setiap titiknya.
Kecepatan Kipas 3
310
Poly. (Kecepatan Kipas 1)
309
Poly. (Kecepatan Kipas 2)
308
Poly. (Kecepatan Kipas 3)
307
306
305
0.45 0.465 0.48 0.495 0.51
22
Pada grafik T=f(x) pada set point 175 volt Trendline grafik kecepatan
kipas 1 mengalami fluktuasi. Temperature terendah berada pada titik 1 sebesar
308.7 K, sedangkan temperature tertinggi berada pada titik 5 sebesar 314.4 K.
Trendline grafik kecepatan 2 mengalami kenaikan yang berbeda di setiap
titiknya. Temperature terendah dari kecepatan kipas 2 berada pada titik 1
dengan nilai 309.6 K, sedangkan temperature tertingginya terdapat pada titik 5
dengan nilai 314.2 K. Trendline grafik kecepatan kipas 3 mengalami kenaikan
seiring bertambahnya jarak. Temperatur terendah terdapat pada titik 1 sebesar
309.3 K, sedangkan temperature tertinggi terdapat pada titik 5 sebesar 314.3 K.
Secara garis besar, trade line grafik diatas sudah sesuai karena memang
seharusnya yang memiliki suhu tertinggi adalah titik 5, namun seharusnya
pertambahan panas tidak naik turun. Selain itu , adapun hubungan tentang
kecepatan kipas dan temperatur Hubungan dari beberapa formula yang
berkaitan dengan variable konveksi diantaranya adalah formula Nusselt
number
ℎ𝐿
Nu = C . Ren .Prm = 𝑘𝑓
Dimana :
Nu = Nusselt number
C = concentration (Kmol/ m3)
Re = Reynold Number
Pr = Prundt number
L = panjang specimen (m)
Kf = Koef. konduksi (W/mK)
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa kenaikan nilai h akan berbanding
lurus dengan kenaikan nilai Nu maupun nilai Re. Formula dari Reynold
Number mengandung variable kecepatan yang mana dapat dikaitkan dengan
nilai h. Formula Reynold Number yaitu:
𝜌𝑣𝐿
Re = 𝜇
Dimana :
23
Re= Reynold Number
V = kecepatan (m/s)
Ρ = massa jenis (kg/ m3)
L = panjang (m)
µ = viskositas dinamik (kg/m)
Dari persamaan di atas didapatkan bahwa Re berbanding lurus dengan L dan
juga V, semakin besar nilai L dan V maka nilai Re juga semakin tinggi. Re
berbanding lurus dengan Nu, semakin besar nilai Re semakin besar juga nilai
Nu. Nu berbanding lurus dengan h, semakin besar nilai h maka nilai Nu juga
semakin besar. Dan dapat dilihat pula hubungan h, q dan ∆T melalui persamaan
heat rate, yaitu:
q = h A ∆T (Untuk heat flux konstan)
Dimana :
q = heat rate (W/m2)
h = koef. Konveksi (W/ m2K)
A = Luas spesimen (m2)
∆T = Perbedaan temperature antara permukaan dengan sekitar (K)
Dari persamaan tersebut didapatkan bahwa apabila nilai h naik maka nilai q
akan naik. Pada q” yang konstan semakin tinggi h maka ∆T akan semakin
turun. Sehingga kecepatan kipas berbanding terbalik dengan ∆T, yaitu ketika
kecepatan kipas (v) semakin tinggi maka ∆T akan semakin turun. Dimana
∆𝑇 = 𝑇𝑠𝑢𝑟𝑓𝑎𝑐𝑒 − 𝑇𝑖𝑛𝑓𝑖𝑛𝑖𝑡𝑦. Untuk T1 yang jaraknya lebih dekat dengan
kipas maka Ts lebih besar, begitu juga untuk T2, T3, T4, T5 yang jaraknya
semakin jauh dari kipas maka temperature yang diterima surface makin kecil.
Hal ini sesuai dengan teori yang ada pada grafik thermal boundary layer diatas,
yang menyatakan bahwa Tsuface berbanding terbalik dengan jarak(x).
24
Grafik jarak vs temperatur pada set point 200 V
314
313 y = 0.0417x3 - 0.3393x2 + 1.619x + 307.8
312
y = 0.0417x3 - 0.3679x2 + 1.2905x + 309.84
311 Kecepatan Kipas 1
Kecepatan Kipas 2
310
Kecepatan Kipas 3
309
y = -0.05x3 + 0.3071x2 + 0.5571x + 306.34 Kipas 1)
Poly. (Kecepatan
308
Poly. (Kecepatan Kipas 2)
307
Poly. (Kecepatan Kipas 3)
306
305
304
0.45 0.465 0.48 0.495 0.51
Dari grafik di atas terlihat bahwa pada kecepatan kipas 3 mempunyai nilai
rata-rata yang paling rendah dibanding dengan kecepatan kipas 1 maupun
kecepatan kipas 2. Kecepatan kipas 1 mempunyai nilai temperature terendah berada
pada titik 1 sebesar 309.1 K, sedangkan temperature tertinggi berada pada titik 5
sebesar 312,6 K. Temperature terendah dari kecepatan kipas 2 berada pada titik 1
dengan nilai 310.8 C, sedangkan temperature tertingginya terdapat pada titik 5
dengan nilai 312.3 C. Temperatur terendah dari kecepatan kipas 3 terdapat pada
titik 1 sebesar 307.1 C, sedangkan temperature tertinggi terdapat pada titik 5 sebesar
310.5 C. Trendline keseluruhan garis terlihat mengalami kenaikan hingga titik
kelima.
Kecepatan kipas pada praktikum berpengaruh terhadap nilai Reynold
Number, yaitu :
𝜌𝑣𝐿
Re = 𝜇
25
Sehingga ketika nilai V meningkat maka nilai Re juga meningkat karena V dan Re
berbanding lurus. Reynold number (Re) juga berhubungan dengan Nusselt Number
yang dinyatakan dengan persamaan
Nu= C . Ren .Prm
Dari persamaan di atas dapat dilihat hubungan Re dengan Nu adalah berbanding
lurus sehingga semakin besar nilai Nu, maka Re semakin besar. Selain itu, Nusselt
number juga dapat dituliskan dalam persamaan:
ℎ𝐿
Nu = 𝑘𝑓
Dari persamaan di atas, terlihat bahwa nilai Nu berbanding lurus dengan nilai h,
sehingga apabila nilai Nu meningkat, maka nilai h juga meningkat. Dari urutan
penurunan rumus diatas, diperoleh hubungan antara h dan v (kecepatan) dimana
ketika nilai kecepatan (v) meningkat, maka nilai h juga meningkat. Dari persamaan
tersebut dapat diketahui pula hubungan antara Koefisien Konveksi (h)
dengan perubahan temperatur (ΔT). Semakin besar nilai ΔT maka nilai h akan
semakin kecil. Hubungan antara Reynold number (Re) dan perubahan temperatur
(ΔT) sesuai teori adalah semakin tinggi kecepatan kipas, maka temperature
spesimen semakin rendah. Begitupun sebaliknya, semakin rendah kecepatan kipas,
maka temperature spesimen semakin tinggi.
Pada praktikum yang dilaksanakan didapatkan hasil yang tidak sesuai
dengan teori. Pada kecepatan kipas satu sampai kecepatan kipas tiga didapatkan
perbedaan temperatur yang menurun dan kemudian kembali meningkat. Kesalahan
terjadi dikarenakan pada saat pengambilan data dengan menggunakan infrared
thermometer, thermometer tidak lurus dengan titik yang ada dan jarak antara
thermometer dengan spesimen tidak konstan pada pengambilan di setiap titiknya.
26
Grafik h terhadap voltase
3500
3000
h actual (W/m.K)
2500
2000
1500
1000
500
0
150 175 200
Kecepatan Tingkat 1 1404.975925 1888.386061 2069.285292
Kecepatan Tingkat 2 2001.377091 1496.471805 1776.937925
Kecepatan Tingkat 3 1737.886648 1984.297932 2901.912688
Voltase (V)
Kecepatan Tingkat 1 Kecepatan Tingkat 2 Kecepatan Tingkat 3
Berdasarkan gambar 4.4 di atas, kecepatan 1 grafiknya naik. Pada set point
150 volt , 175volt , 200 volt, didapatkan h sebesar 1404.98 W/m2.K, 1888.39 W/
m2.K, 2069.29 W/ m2.K. Pada kecepatan 2 grafiknya turun kemudian naik dan
dengan urutan set point 150 volt , 175volt , 200 volt, didapatkan h sebesar 2001.38
W/ m2.K, 1496.47 W/ m2.K, 1776.94 W/ m2.K. Pada kecepatan 3 grafiknya naik
dengan urutan set point 150 volt , 175volt , 200 volt, didapatkan h sebesar 1737.89
W/ m2.K, 1984.30 W/ m2.K, 2901.91 W/ m2.K.
Berdasarkan persamaan q = V.I = h.A.T diperoleh hubungan kesebandingan
antara h dan v. Apabila nilai v meningkat maka nilai h juga akan meningkat, atau
dapat dikatakan jika nilai Voltase meningkat maka panas yang dialirkan juga
meningkat sehingga nilai koefisien konveksi meningkat.
Pada praktikum yang dilaksanakan didapatkan data yang tidak sesuai
dengan teori pada grafik 1 ,2, dan 3 yaitu peningkatan voltase sebanding dengan
peningkatan koefisien konveksi.
4.4.5 Grafik Kecepatan Kipas Terhadap Koefisien Konveksi
27
Grafik h terhadap kecepatan kipas
3500
3000
h actual (W/m.K)
2500
2000
1500
1000
500
0
1 2 3
150V 1404.975925 2001.377091 1737.886648
175V 1888.386061 1496.471805 1984.297932
200V 2069.285292 1776.937925 2901.912688
Kecepatan Kipas (m/s)
28
Dari percobaan data yang diperoleh data pada voltase 150V dan 200V sesuai
dengan teori. Pada voltase 175 dengan kecepatan 1,2, dan 3 nilai h mengalami
penurunan dari kecepatan 1 ke 2 namun kemudian mengalami kenaikan antara
kecepatan 2 dan 3.
29
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Pada grafik temperature terhadap kecepatan semakin jauh jaraknya dari
pemanas, temperature mengalami kenaikan kemudian mengalami penurunan.
2. Pada grafik jarak terhadap temperatur pada set point 150 tidak sesuai dengan
teori karena trendline dari kecepatan kipas 1, 2, dan 3 sangat berfluktuasi. Hal ini
dikarenakan saat pengambilan data menggunakan infrared thermometer tidak tepat
pada titik yang ditentukan serta pengambilan datanya tidak tegak lurus dengan
spesimen.
3. Pada grafik jarak terhadap temperatur pada set point 175 tidak sesuai dengan
teori karena
trend line dari kecepatan kipas 1 naik turun hingga ke titik 5. Hal ini dikarenakan
saat pengambilan data menggunakan infrared thermometer tidak tepat pada titik
yang ditentukan serta pengambilan datanya tidak tegak lurus dengan spesimen.
4. Pada grafik jarak terhadap tempratur pada set point 200 sesuai dengan teori
karena trend line dari kecepatan kipas 1, 2, dan 3 mulai turun dari titik 3.
5. Pada grafik koefisien konveksi terhadap tegangan, pada kecepatan kipas 1, dari
voltase 150 ke 175 mengalami kenaikan dan dari voltase 175 ke 200 mengalami
penurunan. Kemudian pada kecepatan kipas 2 dan 3, dari 150 ke 175 mengalami
penurunan, dan dari voltase 175 ke 200 mengalami kenaikan.
6. Pada grafik koefisien konveksi terhadap kecepatan kipas, untuk tegangan 150 V
koefisien konveksi terbesar terdapat pada kecepatan kipas 3 dan terkecil pada
kecepatan kipas 1. Untuk tegangan 175 V koefisien konveksi tertinggi pada
kecepatan kipas 1, lalu turun di kecepatan ke 2 dan naik pada kecepatan 3. Untuk
tegangan 200 V koefisien konveksi mengalami kenaikan dari kecepatan kipas 1 ke
kecepatan kipas 3.
30
5.2 Saran
Dari praktikum didapatkan saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya alat infrared thermometer disertai dengan dudukan agar tidak terjadi
kesalahan pada pengambilan data.
2. Sebaiknya asistensi jaga memperhatikan praktikan saat pelaksanaan praktikum
agar tidak terjadi kesalahan pada metode pengujian.
3. Pada grafik jarak terhadap tempratur pada set point 200 sesuai dengan teori
karena trend line dari kecepatan kipas 1, 2, dan 3 mulai turun dari titik 3.
4. Pada grafik koefisien konveksi terhadap tegangan, pada kecepatan kipas satu,
dari voltase 150 ke 175 mengalami penurunan dan dari voltase 175 ke 200
mengalami kenaikan. Kemudian pada kecepatan kipas dua, dari 150 ke 175
mengalami kenaikan, dan dari voltase 175 ke 200 mengalami penurunan. Begitu
pula dengan kecepatan kipas tiga, dari voltase 150 ke 175 mengalami kenaikan, dan
dari voltase 175 ke 200 mengalami kenaikan. Pada titik 2 terdapat penyimpangan
nilai h, seharusnya semakin tinggi kecepatan kipas, semakin tinggi nilai h-nya.
5. Pada grafik koefisien konveksi terhadap kecepatan kipas, untuk tegangan 150 V
koefisien konveksi terbesar terdapat pada kecepatan kipas 1 dan terkecil pada
kecepatan kipas 3. Untuk tegangan 175 V koefisien konveksi tertinggi pada
kecepatan kipas 3, dan menurun kembali dengan meningkatnya kecepatan kipas.
Untuk tegangan 200 V koefisien konveksi menurun dari kecepatan kipas 1 ke
kecepatan kipas 2 kemudian naik pada kecepatan kipas 3.
31