METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Pembangunan di Era Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang
sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Pembangunan diarahkan untuk mengejar pertumbuhan (growth) setinggi-
tingginya, namun di pihak lain harus mengorbankan pemerataan (equity) dan
keberlanjutan (sustainability). Kebijakan yang sentralistik tersebut telah memberi
legitimasi dominasi peranan Pemerintah untuk memusatkan pengalokasian
sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam
menyumbang pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya
net transfer sumberdaya daerah ke kawasan pusat kekuasaan secara besar-besaran.
Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah polarisasi spasial
(geografis) alokasi sumberdaya antar wilayah melalui aglomerasi industri di
tempat-tempat yang paling kompetitif (kawasan kota-kota besar).
Sementara itu, kota-kota besar yang seharusnya menjadi penggerak bagi
pembangunan daerah di sekitarnya – khususnya wilayah perdesaan – justru
memberikan dampak yang merugikan (backwash effects). Hal ini antara lain
disebabkan oleh kurang berfungsinya sistem kota-kota besar secara hierarkis
sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi
wilayah yang dipengaruhinya. Di samping itu, masih terjadi ketidakseimbangan
pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan
kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi
di Pulau Jawa (Farid dan Irawan, 2007).
Jawa memegang peranan penting dalam konstelasi pembangunan nasional.
Keunggulannya dalam hal potensi sumberdaya alam/SDA dengan kondisi
kesuburan tanah yang relatif baik dan memiliki sumberdaya manusia/SDM yang
relatif lebih berkualitas) menyebabkan Pulau Jawa tumbuh dan berkembang lebih
baik dibandingkan wilayah-wilayah lainnya. Keunggulan tersebut menyebabkan
wilayah ini menjadi sasaran utama pembangunan fisik dan non fisik. Dan
implikasinya, banyak aliran modal dan investasi yang dilarikan ke wilayah
tersebut, sehingga dapat dirasakan bahwa pembangunan yang dilakukan selama
ini bersifat ‘bias Jawa’. Hal demikian menyebabkan Pulau Jawa mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan menjadi tempat terkonsentrasinya
penduduk (sebagai pusat pertumbuhan). Dinamika pertumbuhan ekonomi
26
Berorientasi Pengembangan
Kebijakan
pertumbuhan wilayah berbasis
sentralistik
(growth) sektor (sektoral)
Upaya
Polarisasi spasial
mengurangi
alokasi sumberdaya
DISPARITAS
“Aglomerasi Aktivitas”
REGIONAL
di lokasi-lokasi
paling kompetitif
Perlu
Pembangunan
Disparitas OTONOMI keterkaitan
Regional DAERAH interregional
“BIAS JAWA” Antar Wilayah saling
(desentralisasi)
memperkuat
Hipotesis Penelitian
2. Disparitas regional di Pulau Jawa mengalami trend yang terus meningkat pada
masa awal pembangunan (saat orientasi pembangunan adalah untuk mengejar
pertumbuhan/growth setinggi-tingginya). Namun, disparitas tersebut
berangsur-angsur menurun sejalan dengan proses pembangunan yang
dilakukan. Hal ini senada dengan hipotesis yang dikemukakan Kuznet (1954).
Sehingga penerapan kebijakan Otonomi Daerah secara umum dapat
mengurangi tingkat disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa.
3. Terdapat keterkaitan antar wilayah di Pulau Jawa. Hal ini didasarkan pada
fakta bahwa wilayah bukan merupakan suatu entitas yang tertutup, sehingga
akan selalu ada interaksi antar wilayah. Dengan demikian, ketika ada
disparitas regional (antar wilayah) di Pulau Jawa, maka disparitas tersebut
bukan hanya berasal dari wilayahnya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain di wilayah sekitarnya.
4. Pertumbuhan ekonomi (PDRB), jumlah penduduk, tingkat perkembangan
wilayah, persentase luas penggunaan lahan, ketersediaan dan kelengkapan
infrastruktur serta kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB total
merupakan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya
disparitas regional di Pulau Jawa.
Metode Analisis
Untuk memecahkan berbagai permasalahan dan menjawab tujuan penelitian
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini memerlukan
berbagai metode analisis. Tabel 3.1 berikut menyajikan informasi mengenai
tujuan penelitian, metode, data dan variabel yang digunakan dalam penelitian.
30
Tabel 3.1. Tujuan Penelitian, Metode, Data dan Variabel yang Digunakan
2. Menentukan tingkat Indeks Diversitas Entropy; Data PDRB (BPS); PDRB per kabupaten/kota
perkembangan wilayah masing- Tipologi Klassen Data Sensus tiap sektor; PDRB per
masing kabupaten/kota di Pulau Penduduk/SUPAS kapita; laju pertumbuhan
Jawa pada beberapa titik tahun. (time series); ekonomi per
kabupaten/kota.
3. Menganalisis dan Indeks Williamson Data PDRB (BPS); PDRB dan jumlah
membandingkan besarnya Indeks Theil Entropy Data Sensus penduduk tiap
derajat disparitas regional pada Penduduk/SUPAS kabupaten/kota di Pulau
masa sebelum dan setelah (time series). Jawa yang dikelompokkan:
kebijakan Otonomi Daerah yang a) per provinsi.
terjadi di Pulau Jawa (pada 6 b) per kawasan
bentuk disparitas) (metropolitan-
megapolitan VS ROJ).
a) Disparitas antar provinsi di c) per kawasan
Pulau Jawa; (Jabodetabek VS non
b) Disparitas antara kawasan Jabodetabek/RoJab)
metropolitan vs non d) kabupaten VS kota.
metropolitan (rest of e) per kawasan (pesisir VS
Java/ROJ); non pesisir).
f) per kawasan (Jawa
c) Disparitas antara Kawasan bagian Utara vs Jawa
Jabodetabek vs non bagian Selatan).
Jabodetabek;
d) Disparitas antara kota-kota
vs kabupaten;
e) Disparitas antara kawasan
pesisir vs non pesisir;
f) Disparitas antara kawasan
pesisir Jawa bagian Utara vs
kawasan pesisir Jawa bagian
Selatan.
4. Menentukan faktor-faktor yang Ekonometrika Spasial Hasil analisis PDRB, PDRB per kapita,
mempengaruhi terjadinya (Spatial Econometrics) disparitas (butir 3); Laju pertumbuhan
disparitas pembangunan antar Data luas ekonomi, jumlah dan
wilayah di Pulau Jawa. penggunaan lahan kepadatan penduduk, IPM
dari peta land (Indeks Pembangunan
system maupun peta Manusia); Indeks
land cover; PODES; Diversitas Entropy; indeks
Provinsi atau skalogram, % luas
Kabupaten/ Kota penggunaan lahan, %
Dalam Angka kontribusi sektor-sektor
perekonomian terhadap
PDRB total.
31
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan salah satu bentuk analisis yang bertujuan
untuk memberikan deskripsi dan interpretasi atas hasil analisis yang disajikan
dalam bentuk tabulasi data, peringkasan, penyajian dalam bentuk grafis, dan
gambar-gambar, serta menghitung ukuran-ukuran deskripsinya. Analisis deskriptif
digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisis,
menjabarkan, menginterpretasi, maupun mensintesiskan fenomena-fenomena
yang didapatkan dari hasil analisis lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang
lebih objektif dan terperinci dari keadaan yang sebenarnya.
Dimana:
S : nilai entropy diversitas struktur ekonomi wilayah
Pi : rasio PDRB sektor ekonomi i terhadap PDRB wilayah
i : sektor ekonomi ke-i
n : jumlah sektor
S
Indeks Diversitas Entropy (IDE) =
S max
Keterangan: Smax diperoleh dengan rumus Smax = ln n (dimana n adalah jumlah seluruh sektor).
Nilai IDE berkisar antara 0 – 1. Jika nilai IDE = 1, berarti tingkat keragaman
(diversifikasi) seluruh sektor merata/berkembang, demikian pula sebaliknya.
Tipologi Klassen
Analisis Tipologi Klassen (Klassen Typology) dapat digunakan untuk
mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-
masing wilayah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi wilayah berdasarkan
dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tiap
wilayah sebagaimana diungkapkan oleh Sjafrizal (2008). Melalui analisis ini
diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang
berbeda, yaitu: wilayah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high
income), wilayah maju tetapi tertekan (high income but low growth), wilayah
berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif tertinggal (low
growth and low income). Kriteria yang digunakan untuk membagi wilayah
kabupaten/kota dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wilayah cepat-maju dan cepat-tumbuh (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran
wilayah dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan dengan laju
pertumbuhan PDRB Pulau Jawa (g) dan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang
34
lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini
dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk.
2. Wilayah maju tetapi tertekan (Kuadran II). Wilayah yang berada pada kuadran ini memiliki
nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB Pulau
Jawa (g), tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini dilambangkan
dengan gi<g dan gki>gk.
3. Wilayah kurang berkembang (Kuadran III). Kuadran ini ditempati oleh wilayah yang
memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) dan pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih
rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB (g) dan pertumbuhan PDRB per kapita
Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi<g dan gki<gk.
4. Wilayah berkembang cepat (Kuadran IV). Kuadran ini merupakan kuadran untuk wilayah
yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB
Pulau Jawa (g), tetapi pertumbuhan PDRB per kapita wilayah tersebut (gki) lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini
dilambangkan dengan gi>g dan gki<gk.
Rata-rata
Kuadran II
Di Atas
Kuadran I
P.Jawa
Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering
digunakan untuk mengukur disparitas antar wilayah. Williamson mengembangkan
indeks disparitas antar wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Williamson,
1966):
n 2 f
∑ y − y
i =1
i p
i
V wk
=
y
Dimana:
Vwk : Indeks Williamson bentuk disparitas ke-k
Yi : PDRB per kapita kawasan ke–i
Ў : Rata-rata PDRB per kapita seluruh kawasan
fi : Jumlah penduduk kawasan ke-i
p : ∑fi, total penduduk seluruh kawasan (Pulau Jawa).
Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama
dengan nol. Jika Yi = ў, maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak ada
disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah. Indeks lebih besar dari 0
menunjukkan adanya disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah. Semakin
besar indeks yang dihasilkan, maka semakin besar tingkat disparitas antar
wilayah.
36
Data yang digunakan dalam analisis ini berupa data PDRB dan data
jumlah penduduk per kabupaten/kota di Pulau Jawa dari tahun 1986 hingga 2007,
sehingga dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat trend perkembangan indeks
Williamson untuk mengetahui disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.
Total disparitas wilayah yang dihitung dengan indeks Theil entropy dapat
didekomposisikan menjadi disparitas antar kawasan (between regions) dan
disparitas dalam kawasan (within regions), dengan persamaan berikut:
37
n Yg
n
I = I 0 + ∑ Yg I g I 0 = ∑ Yg log
dimana: ;
X
g =1 g =1 g
y /Y
Y g = ∑ y i ; X g = ∑ xi ; dan I g = ∑ y i log i g
i∈S g i∈S g i∈S g Y g
x /X
i g
Dimana:
I = total disparitas di Pulau Jawa (Indeks Theil entropy).
n
I0 = disparitas antar kawasan (between regions).
∑
g =1
Yg I g = disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions).
Ig = total disparitas kawasan.
Yg = total PDRB kawasan.
Yi = PDRB di kabupaten/kota i.
Xg = jumlah penduduk kawasan.
Xi = jumlah penduduk di kabupaten/kota i.
g = 1, 2, 3, ..., n (jumlah kawasan).
(lanjutan...)
19 BANYUMAS 47 KULON PROGO 75 KOTA MALANG
20 PURBALINGGA 48 GUNUNG KIDUL 76 KOTA PROBOLINGGO
21 BANJARNEGARA 49 PACITAN 77 KOTA PASURUAN
22 KEBUMEN 50 PONOROGO 78 KOTA MADIUN
23 WONOSOBO 51 TRENGGALEK 79 KOTA BATU
24 MAGELANG 52 TULUNGAGUNG 80 PANDEGLANG
25 BOYOLALI 53 BLITAR 81 LEBAK
26 KLATEN 54 KEDIRI 82 SERANG
27 SUKOHARJO 55 MALANG 83 KOTA CILEGON
28 WONOGIRI 56 LUMAJANG
Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupaten/kota yang termasuk
ke dalam Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek (Gambar 3.6).
Gambar 3.6. Peta Lokasi Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek
(lanjutan...)
22 BANYUMAS 56 KULON PROGO 90 KOTA KEDIRI
23 PURBALINGGA 57 BANTUL 91 KOTA BLITAR
24 BANJARNEGARA 58 GUNUNG KIDUL 92 KOTA MALANG
25 KEBUMEN 59 SLEMAN 93 KOTA PROBOLINGGO
26 PURWOREJO 60 KOTA YOGYAKARTA 94 KOTA PASURUAN
27 WONOSOBO 61 PACITAN 95 KOTA MOJOKERTO
28 MAGELANG 62 PONOROGO 96 KOTA MADIUN
29 BOYOLALI 63 TRENGGALEK 97 KOTA SURABAYA
30 KLATEN 64 TULUNGAGUNG 98 KOTA BATU
31 SUKOHARJO 65 BLITAR 99 PANDEGLANG
32 WONOGIRI 66 KEDIRI 100 LEBAK
33 KARANGANYAR 67 MALANG 101 SERANG
34 SRAGEN 68 LUMAJANG 102 KOTA CILEGON
(lanjutan...)
14 SUBANG 41 KENDAL 67 JOMBANG
15 PURWAKARTA 42 BATANG 68 NGANJUK
16 KARAWANG 43 PEKALONGAN 69 MADIUN
17 BEKASI 44 PEMALANG 70 MAGETAN
18 CILACAP 45 TEGAL 71 NGAWI
19 BANYUMAS 46 BREBES 72 BOJONEGORO
20 PURBALINGGA 47 KULON PROGO 73 TUBAN
21 BANJARNEGARA 48 BANTUL 74 LAMONGAN
22 KEBUMEN 49 GUNUNG KIDUL 75 GRESIK
23 PURWOREJO 50 SLEMAN 76 BANGKALAN
24 WONOSOBO 51 PACITAN 77 SAMPANG
25 MAGELANG 52 PONOROGO 78 PAMEKASAN
26 BOYOLALI 53 TRENGGALEK 79 SUMENEP
27 KLATEN
ln y i = b 0 + ∑b j
j ln x i , j ...............................................................................(1)
Keterangan:
yi : nilai variabel tujuan untuk wilayah ke-i
xj,i : nilai variabel penjelas ke-j untuk wilayah ke-i
b0 : parameter konstanta (intercept)
bj : parameter koefisien untuk variabel penjelas ke-j
ln y : vektor ukuran (n×1) berisi logaritma natural dari nilai variabel tujuan untuk wilayah ke-
1 sampai dengan ke-n
1n : vektor ukuran (n×1) berisi angka 1 sebanyak n buah
ln xj : vektor ukuran (n×1) berisi logaritma natural dari nilai variabel penjelas ke-j untuk
wilayah ke-1 sampai dengan ke-n
atau
−1
ln y = I n −
∑ a kW n ,k
b0 1 n + ∑ b j In + ∑c j ,k W n , k ln x j
.............................(4)
k j k
Keterangan:
In : matriks identitas ukuran (n× n)
Wn,k : matriks ukuran (n×n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k antar n buah
wilayah (disebut: kontiguitas spasial tipe ke-k).
0 w1,2 L w1, n
w2 ,1 0 L w2 , n
W = ........................................................................(5)
M M O M
wn ,1 wn ,2 L 0
w i,j = ai , j ∑aj
i,j .........................................................................(6)
c u n tu k i ≠ j ...……………………………………………….(7)
a i, j = i, j
0 u n tu k la in n y a
Dimana :
yi = indeks disparitas yang dikontribusikan oleh kabupaten/kota ke-i terhadap
disparitas total di Pulau Jawa hasil analisis indeks Williamson. Besarnya
nilai yi di masing-masing kabupaten/kota dihitung dengan rumus: (yi -Ў)2.(fi/p)
W = matriks kontiguitas kedekatan jarak (total pengaruh asosiasi spasial independent
variable antar wilayah)
X = variabel terkait karakteristik wilayah di kabupaten/kota ke-i, seperti kondisi biofisik
dan potensi SDA, kependudukan, sosial dan ekonomi (pengaruh independent
variable di wilayah)
ρ = intercept
βi = nilai koefisien pengaruh independent variable
ε = galat (error)
(lanjutan...)
Ipg : indeks perkembangan wilayah di wilayah sendiri
%_primer : persentase kontribusi sektor primer terhadap PDRB total (%) di wilayah sendiri
%_sekunder : persentase kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB total (%) di wilayah sendiri
%_tersier : persentase kontribusi sektor tersier terhadap PDRB total (%) di wilayah sendiri
%_L_pertanian : persentase luas lahan pertanian terhadap luas lahan total (%) di wilayah sendiri
%_L_pmk : persentase luas lahan permukiman terhadap luas lahan total (%) di wilayah sendiri
PULAU JAWA
Indeks Williamson,
Indeks Theil Entropy
Disparitas
pembangunan antar Ekonometrika Spasial
wilayah di Pulau Jawa