Anda di halaman 1dari 24

25

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran
Pembangunan di Era Orde Baru telah melahirkan kebijakan yang
sentralistik, baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan.
Pembangunan diarahkan untuk mengejar pertumbuhan (growth) setinggi-
tingginya, namun di pihak lain harus mengorbankan pemerataan (equity) dan
keberlanjutan (sustainability). Kebijakan yang sentralistik tersebut telah memberi
legitimasi dominasi peranan Pemerintah untuk memusatkan pengalokasian
sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam
menyumbang pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya
net transfer sumberdaya daerah ke kawasan pusat kekuasaan secara besar-besaran.
Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah polarisasi spasial
(geografis) alokasi sumberdaya antar wilayah melalui aglomerasi industri di
tempat-tempat yang paling kompetitif (kawasan kota-kota besar).
Sementara itu, kota-kota besar yang seharusnya menjadi penggerak bagi
pembangunan daerah di sekitarnya – khususnya wilayah perdesaan – justru
memberikan dampak yang merugikan (backwash effects). Hal ini antara lain
disebabkan oleh kurang berfungsinya sistem kota-kota besar secara hierarkis
sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi
wilayah yang dipengaruhinya. Di samping itu, masih terjadi ketidakseimbangan
pertumbuhan antar kota-kota besar, metropolitan dengan kota-kota menengah dan
kecil, dimana pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan masih terkonsentrasi
di Pulau Jawa (Farid dan Irawan, 2007).
Jawa memegang peranan penting dalam konstelasi pembangunan nasional.
Keunggulannya dalam hal potensi sumberdaya alam/SDA dengan kondisi
kesuburan tanah yang relatif baik dan memiliki sumberdaya manusia/SDM yang
relatif lebih berkualitas) menyebabkan Pulau Jawa tumbuh dan berkembang lebih
baik dibandingkan wilayah-wilayah lainnya. Keunggulan tersebut menyebabkan
wilayah ini menjadi sasaran utama pembangunan fisik dan non fisik. Dan
implikasinya, banyak aliran modal dan investasi yang dilarikan ke wilayah
tersebut, sehingga dapat dirasakan bahwa pembangunan yang dilakukan selama
ini bersifat ‘bias Jawa’. Hal demikian menyebabkan Pulau Jawa mengalami
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan menjadi tempat terkonsentrasinya
penduduk (sebagai pusat pertumbuhan). Dinamika pertumbuhan ekonomi
26

(economic growth) dan pertumbuhan penduduk (population growth) di Pulau


Jawa dalam penelitian ini dikaji dengan melihat trend besarnya pertumbuhan
PDRB, PDRB per kapita, serta jumlah penduduk (termasuk laju
pertumbuhannya).
Disparitas regional sebagai konsekuensi logis dari terpolarisasinya
aktivitas pembangunan, seperti halnya yang terjadi di Pulau Jawa merupakan
fenomena yang lazim dijumpai terutama di negara-negara berkembang. Disparitas
tersebut bermula dari adanya perbedaan kondisi biofisik (sumberdaya alam) dan
potensi wilayah yang relatif beragam. Munculnya perkotaan besar/kawasan
metropolitan-megapolitan di Pulau Jawa serta bentuk-bentuk pengelompokan
wilayah (antar provinsi, kabupaten-kota, pesisir-non pesisir, Utara-Selatan seperti
pada penelitian-penelitian terdahulu) dijadikan dasar/landasan dilakukannya
kajian untuk mengetahui tingkat disparitas yang terjadi pada berbagai tipologi
wilayah tersebut.
Disparitas regional sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa dipicu oleh
proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara
tersentralisasi dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut tercermin dalam berbagai
kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi
pencapaian sasaran utama pertumbuhan ekonomi makro yang tinggi, yang tidak
diimbangi dengan distribusi secara proporsional. Kurangnya keterpaduan antar
sektor perekonomian juga menyebabkan lemahnya keterkaitan fungsional antar
sektor pembangunan dan membuat struktur hubungan antar wilayah menjadi tidak
sinergis. Dan mulai diberlakukannya kebijakan Otonomi Daerah sejak tahun 1999
merupakan salah satu upaya yang coba ditempuh Pemerintah dalam mengatasi
disparitas pembangunan antar wilayah yang semakin melebar.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat dinamika perubahan disparitas
regional di Pulau Jawa pada masa sebelum dan setelah kebijakan Otonomi
Daerah, sehingga dapat mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan tersebut dalam
mengurangi disparitas yang terjadi. Selain itu, dalam penelitian ini juga akan diuji
beberapa variabel yang diduga menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas antar
wilayah di Pulau Jawa. Secara garis besar, variabel-variabel tersebut meliputi
pertumbuhan ekonomi, penduduk, tingkat perkembangan wilayah, lahan,
infrastruktur, dan kontribusi sektor-sektor perekonomian. Dengan adanya
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/rekomendasi kebijakan
untuk mendukung tujuan Otonomi Daerah dalam mengurangi tingkat disparitas
27

regional sehingga mampu menciptakan struktur hubungan keterkaitan antar


wilayah yang sinergis (saling memperkuat). Atas dasar pemahaman tersebut,
maka dibangun kerangka pikir penelitian, seperti disajikan pada Gambar 3.1.

Kelemahan Pembangunan Era ORBA:


Pembangunan - Kurangnya keterpaduan antar sektor
Era Orde Baru - Struktur hubungan katerkaitan antar
(Sebelum wilayah yang tidak sinergis/saling
Otonomi Daerah) memperlemah
- Terjadinya backwash effect

Berorientasi Pengembangan
Kebijakan
pertumbuhan wilayah berbasis
sentralistik
(growth) sektor (sektoral)

Upaya
Polarisasi spasial
mengurangi
alokasi sumberdaya
DISPARITAS
“Aglomerasi Aktivitas”
REGIONAL
di lokasi-lokasi
paling kompetitif

Perlu
Pembangunan
Disparitas OTONOMI keterkaitan
Regional DAERAH interregional
“BIAS JAWA” Antar Wilayah saling
(desentralisasi)
memperkuat

Memberikan Mengurangi Pembangunan


Jawa tempat Jawa pusat peluang bagi backwash effect berorientasi pada
konsentrasi pertumbuhan setiap wilayah yang merugikan pertumbuhan
penduduk dan ekonomi untuk mengelola yang disertai
potensi di wilayah pemerataan
masing-masing
Sasaran
Jawa kaya akan
pembangunan
potensi SDA dan
fisik dan non
SDM
fisik
Faktor-faktor penyebab
DISPARITAS REGIONAL
di Pulau Jawa

Gambar 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Disparitas regional di Pulau Jawa diduga terjadi pada berbagai bentuk
disparitas berdasarkan pengelompokan wilayah, yaitu: a) antar provinsi; b)
metropolitan - non metropolitan; c) Jabodetabek - non Jabodetabek; d)
kabupaten - kota; e) pesisir - non pesisir; dan f) Jawa Utara - Jawa Selatan.
28

2. Disparitas regional di Pulau Jawa mengalami trend yang terus meningkat pada
masa awal pembangunan (saat orientasi pembangunan adalah untuk mengejar
pertumbuhan/growth setinggi-tingginya). Namun, disparitas tersebut
berangsur-angsur menurun sejalan dengan proses pembangunan yang
dilakukan. Hal ini senada dengan hipotesis yang dikemukakan Kuznet (1954).
Sehingga penerapan kebijakan Otonomi Daerah secara umum dapat
mengurangi tingkat disparitas regional yang terjadi di Pulau Jawa.
3. Terdapat keterkaitan antar wilayah di Pulau Jawa. Hal ini didasarkan pada
fakta bahwa wilayah bukan merupakan suatu entitas yang tertutup, sehingga
akan selalu ada interaksi antar wilayah. Dengan demikian, ketika ada
disparitas regional (antar wilayah) di Pulau Jawa, maka disparitas tersebut
bukan hanya berasal dari wilayahnya sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain di wilayah sekitarnya.
4. Pertumbuhan ekonomi (PDRB), jumlah penduduk, tingkat perkembangan
wilayah, persentase luas penggunaan lahan, ketersediaan dan kelengkapan
infrastruktur serta kontribusi sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB total
merupakan faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab utama terjadinya
disparitas regional di Pulau Jawa.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Daerah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah seluruh wilayah
kabupaten/kota di Pulau Jawa, yang terdiri dari 6 provinsi (Provinsi Banten,
Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur), dengan jumlah total 84
kabupaten dan 32 kota (lihat peta administrasi Pulau Jawa per kabupaten/kota
yang disajikan pada Gambar 3.2). Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan,
yaitu mulai bulan Maret sampai dengan September 2009.
29

Gambar 3.2. Peta Administrasi Pulau Jawa per Kabupaten/Kota.

Data dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang
diperoleh dari berbagai instansi terkait, yaitu: (1) data Potensi Desa (PODES)
tahun 2000, 2003, 2006, dan 2008 (BPS); (2) data PDRB tahun 1986-2007 (BPS);
(3) data Sensus Penduduk (SP) maupun SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus)
(BPS); (4) data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2005-2008
(BPS); (5) data SAKERNAS (Survei Angkatan Kerja Nasional) tahun 2008
(BPS); (6) Provinsi dan Kabupaten/Kota Dalam Angka Tahun 2008 (BPS); (7)
Statistik Indonesia tahun 2008 (BPS); (8) Peta Administrasi (BPS); (9) Peta Land
System (BAKOSURTANAL), (10) Peta Penutupan Lahan (Land Cover) tahun
2003 dan 2006 (Departemen Kehutanan RI); serta beberapa peta tematik yang
diperoleh dari BAPPENAS.

Metode Analisis
Untuk memecahkan berbagai permasalahan dan menjawab tujuan penelitian
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini memerlukan
berbagai metode analisis. Tabel 3.1 berikut menyajikan informasi mengenai
tujuan penelitian, metode, data dan variabel yang digunakan dalam penelitian.
30

Tabel 3.1. Tujuan Penelitian, Metode, Data dan Variabel yang Digunakan

No Tujuan Penelitian Metode Data Variabel yang Digunakan

1. Menganalisis dinamika Menghitung: Data PDRB; Data PDRB dan jumlah


pertumbuhan ekonomi - laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Dalam penduduk pada tiap-tiap
(economic growth) dan dan laju pertumbuhan Angka, (BPS); Data provinsi di Pulau Jawa
pertumbuhan penduduk penduduk; Sensus Penduduk (time series).
(population growth) di Pulau - nilai rata-rata dan atau Data SUPAS
Jawa dari waktu ke waktu. coefficient of variation (Survei Penduduk
(CV) untuk tiap parameter Antar Sensus).
yang diamati;
Analisis deskriptif.

2. Menentukan tingkat Indeks Diversitas Entropy; Data PDRB (BPS); PDRB per kabupaten/kota
perkembangan wilayah masing- Tipologi Klassen Data Sensus tiap sektor; PDRB per
masing kabupaten/kota di Pulau Penduduk/SUPAS kapita; laju pertumbuhan
Jawa pada beberapa titik tahun. (time series); ekonomi per
kabupaten/kota.

3. Menganalisis dan Indeks Williamson Data PDRB (BPS); PDRB dan jumlah
membandingkan besarnya Indeks Theil Entropy Data Sensus penduduk tiap
derajat disparitas regional pada Penduduk/SUPAS kabupaten/kota di Pulau
masa sebelum dan setelah (time series). Jawa yang dikelompokkan:
kebijakan Otonomi Daerah yang a) per provinsi.
terjadi di Pulau Jawa (pada 6 b) per kawasan
bentuk disparitas) (metropolitan-
megapolitan VS ROJ).
a) Disparitas antar provinsi di c) per kawasan
Pulau Jawa; (Jabodetabek VS non
b) Disparitas antara kawasan Jabodetabek/RoJab)
metropolitan vs non d) kabupaten VS kota.
metropolitan (rest of e) per kawasan (pesisir VS
Java/ROJ); non pesisir).
f) per kawasan (Jawa
c) Disparitas antara Kawasan bagian Utara vs Jawa
Jabodetabek vs non bagian Selatan).
Jabodetabek;
d) Disparitas antara kota-kota
vs kabupaten;
e) Disparitas antara kawasan
pesisir vs non pesisir;
f) Disparitas antara kawasan
pesisir Jawa bagian Utara vs
kawasan pesisir Jawa bagian
Selatan.

4. Menentukan faktor-faktor yang Ekonometrika Spasial Hasil analisis PDRB, PDRB per kapita,
mempengaruhi terjadinya (Spatial Econometrics) disparitas (butir 3); Laju pertumbuhan
disparitas pembangunan antar Data luas ekonomi, jumlah dan
wilayah di Pulau Jawa. penggunaan lahan kepadatan penduduk, IPM
dari peta land (Indeks Pembangunan
system maupun peta Manusia); Indeks
land cover; PODES; Diversitas Entropy; indeks
Provinsi atau skalogram, % luas
Kabupaten/ Kota penggunaan lahan, %
Dalam Angka kontribusi sektor-sektor
perekonomian terhadap
PDRB total.
31

Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan di


bawah ini.

Analisis Dinamika Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth) dan


Pertumbuhan Penduduk (Population Growth)
Analisis dinamika pertumbuhan ekonomi (economic growth) dilakukan
dengan menghitung laju pertumbuhan PDRB pada tiap provinsi di Pulau Jawa
pada beberapa titik tahun (pada masa sebelum dan sesudah diberlakukannya
Otonomi Daerah). Dengan cara yang sama juga dilakukan penghitungan laju
pertumbuhan penduduk pada tiap provinsi di Pulau Jawa. Setelah melakukan
analisis tersebut, kemudian dengan grafik dan analisis deskriptif digambarkan
trend pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa dari
waktu ke waktu.

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan salah satu bentuk analisis yang bertujuan
untuk memberikan deskripsi dan interpretasi atas hasil analisis yang disajikan
dalam bentuk tabulasi data, peringkasan, penyajian dalam bentuk grafis, dan
gambar-gambar, serta menghitung ukuran-ukuran deskripsinya. Analisis deskriptif
digunakan untuk menjelaskan, menguraikan, menggambarkan, menganalisis,
menjabarkan, menginterpretasi, maupun mensintesiskan fenomena-fenomena
yang didapatkan dari hasil analisis lainnya, sehingga diperoleh pemahaman yang
lebih objektif dan terperinci dari keadaan yang sebenarnya.

Analisis Tingkat Perkembangan Ekonomi Wilayah


Analisis yang digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan
wilayah dalam penelitian ini adalah Indeks Diversitas Entropy dan Tipologi
Klassen.

Indeks Diversitas Entropy Struktur Ekonomi Wilayah


Indeks diversitas entropy dapat digunakan untuk melihat hierarki wilayah,
yaitu dengan cara mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat
aktivitas-aktivitas yang dominan (berkembang) pada wilayah tersebut. Analisis
entropy merupakan salah satu konsep analisis yang dapat menghitung tingkat
keragaman (diversifikasi) komponen aktivitas. Menurut Saefulhakim (2006),
analisis ini memiliki beberapa keunggulan karena dapat digunakan untuk berbagai
macam tujuan, antara lain: (1) memahami perkembangan suatu wilayah; (2)
32

memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3)


memahami perkembangan aktivitas perusahaan; dan (4) memahami
perkembangan aktivitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain.
Besarnya nilai indeks diversitas entropy mencerminkan tingkat
perkembangan struktur ekonomi di suatu wilayah. Dalam penelitian ini, nilai
indeks diversitas entropy digunakan untuk menghitung tingkat keberagaman dan
keberimbangan aktivitas/sektor ekonomi pada masing-masing kabupaten/kota
yang ada di Pulau Jawa. Semakin bertambah jumlah jenis aktivitas/sektor
ekonomi pada suatu wilayah, maka nilai indeks diversitas entropy pada wilayah
tersebut akan semakin besar. Demikian pula semakin berimbang komposisi
berbagai aktivitas/sektor ekonomi tersebut, maka nilai indeks diversitas entropy
juga menjadi semakin besar. Karena itu secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
semakin besar nilai indeks diversitas entropy maka suatu wilayah dapat dianggap
semakin berkembang/maju.
Selain dilihat dari tingkat keberagaman dan keberimbangan
aktivitas/sektor ekonomi, nilai indeks diversitas entropy di suatu wilayah juga
akan semakin tinggi dengan semakin luasnya jangkauan spasial dari aktivitas-
aktivitas atau sektor ekonomi tersebut. Hal ini berarti menandakan bahwa wilayah
tersebut semakin berkembang.
Persamaan untuk menghitung nilai indeks diversitas entropy berkembang
dari persamaan yang ditulis oleh Claude E. Shannon pada tahun 1949, terkait
dengan teori informasi (information theory). Karena itu persamaan untuk
menghitung nilai diversitas entropy tersebut juga dikenal dengan nama Shannon
Entropy Index. Dalam konteks wilayah, persamaan umum dari perhitungan nilai
entropy adalah sebagai berikut (Shannon, 1949):
n n
S = −∑∑Pi lnPi
i=1 j=1

Dimana:
S : nilai entropy diversitas struktur ekonomi wilayah
Pi : rasio PDRB sektor ekonomi i terhadap PDRB wilayah
i : sektor ekonomi ke-i
n : jumlah sektor

Sedangkan indeks diversitas entropy (IDE) diperoleh dengan cara


membagi nilai entropy (S) dengan nilai entropy maksimum (Smax), seperti
persamaan berikut:
33

S
Indeks Diversitas Entropy (IDE) =
S max
Keterangan: Smax diperoleh dengan rumus Smax = ln n (dimana n adalah jumlah seluruh sektor).
Nilai IDE berkisar antara 0 – 1. Jika nilai IDE = 1, berarti tingkat keragaman
(diversifikasi) seluruh sektor merata/berkembang, demikian pula sebaliknya.

Pada penelitian ini, analisis indeks diversitas entropy digunakan untuk


mengetahui perkembangan dan keberagaman aktivitas atau sektor-sektor
perekonomian antar kabupaten/kota di Pulau Jawa, sehingga dapat melakukan
perbandingan antar kabupaten/kota tersebut. Data yang digunakan untuk analisis
ini adalah data PDRB per sektor pada masing-masing kabupaten/kota di Pulau
Jawa dari tahun 2000 hingga 2006. Dengan menghitung indeks diversitas entropy
secara time series, maka dapat diketahui trend tingkat perkembangan wilayah,
dilihat dari keberagaman dan keberimbangan aktivitas ekonomi yang ada di
wilayah tersebut. Dari hasil indeks diversitas entropy seluruh kabupaten/kota di
Pulau Jawa kemudian dihitung rata-rata dan koefisien variasi (coefficient of
variation/CV)-nya per provinsi. Nilai CV diperoleh dengan persamaan CV =
(standar deviasi/rata-rata) x 100%. Dengan demikian, dapat dibandingkan tingkat
perkembangan wilayah antar provinsi dengan melihat besarnya rata-rata dan CV
nilai indeks diversitas entropy di masing-masing provinsi.

Tipologi Klassen
Analisis Tipologi Klassen (Klassen Typology) dapat digunakan untuk
mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-
masing wilayah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi wilayah berdasarkan
dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tiap
wilayah sebagaimana diungkapkan oleh Sjafrizal (2008). Melalui analisis ini
diperoleh empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang
berbeda, yaitu: wilayah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high
income), wilayah maju tetapi tertekan (high income but low growth), wilayah
berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif tertinggal (low
growth and low income). Kriteria yang digunakan untuk membagi wilayah
kabupaten/kota dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Wilayah cepat-maju dan cepat-tumbuh (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran
wilayah dengan laju pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih besar dibandingkan dengan laju
pertumbuhan PDRB Pulau Jawa (g) dan memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang
34

lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini
dilambangkan dengan gi>g dan gki>gk.

2. Wilayah maju tetapi tertekan (Kuadran II). Wilayah yang berada pada kuadran ini memiliki
nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB Pulau
Jawa (g), tetapi memiliki pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih tinggi
dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini dilambangkan
dengan gi<g dan gki>gk.

3. Wilayah kurang berkembang (Kuadran III). Kuadran ini ditempati oleh wilayah yang
memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) dan pertumbuhan PDRB per kapita (gki) yang lebih
rendah dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB (g) dan pertumbuhan PDRB per kapita
Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan gi<g dan gki<gk.

4. Wilayah berkembang cepat (Kuadran IV). Kuadran ini merupakan kuadran untuk wilayah
yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB (gi) yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB
Pulau Jawa (g), tetapi pertumbuhan PDRB per kapita wilayah tersebut (gki) lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita Pulau Jawa (gk). Klasifikasi ini
dilambangkan dengan gi>g dan gki<gk.

Pengelompokan wilayah berdasarkan klasifikasi keempat kuadran sebagaimana


disebutkan di atas dapat diilustrasikan pada Gambar 3.3.

RATA-RATA LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI PER TAHUN (%)

Di Bawah Rata-rata P.Jawa Di Atas Rata-rata P.Jawa


PDRB PER KAPITA (Juta Rp/jiwa)

Rata-rata

Kuadran II
Di Atas

Kuadran I
P.Jawa

Wilayah Maju, Tetapi Tertekan Wilayah Maju


gi<g; gki>gk gi>g; gki>gk
Di Bawah
Rata-rata

Kuadran III Kuadran IV


P.Jawa

Wilayah Kurang Berkembang Wilayah Berkembang Cepat


gi<g; gki<gk gi>g; gki<gk

Gambar 3.3. Klasifikasi Tipologi Klassen untuk Pengelompokan Wilayah


Berdasarkan Kriteria Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
dan PDRB per Kapita (Juta Rupiah/Jiwa)

Dalam penelitian ini, dilakukan klasifikasi/pengelompokan wilayah


kabupaten/kota di Pulau Jawa dengan tipologi Klassen menggunakan dua periode
waktu yang berbeda, yaitu pada masa sebelum dan sesudah diberlakukannya
kebijakan Otonomi Daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-
rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun dan PDRB per kapita pada tiap-tiap
kabupaten/kota di Pulau Jawa. Dari hasil analisis tersebut, maka dapat dilakukan
35

pembandingan tingkat perkembangan wilayah di masing-masing kabupaten/kota


di Pulau Jawa pada masa sebelum dan sesudah Otonomi Daerah.

Analisis Disparitas Regional


Dalam penelitian ini, alat analisis yang digunakan untuk mengetahui
disparitas regional di Pulau Jawa adalah indeks Williamson dan indeks Theil
entropy. Kedua alat analisis tersebut digunakan secara bersamaan karena sifatnya
yang saling melengkapi. Indeks Williamson digunakan untuk menghitung
besarnya derajat disparitas regional (disparitas total antar wilayah), sedangkan
indeks Theil entropy secara lebih spesifik dapat mendekomposisikan besarnya
derajat disparitas total ke dalam dua bentuk disparitas, yaitu between regions dan
within regions. Penghitungan untuk kedua indeks tersebut dilakukan pada
beberapa titik waktu (tahun 1986, 1990, 1993, 1997, 2000, 2003 dan 2007),
sehingga dapat diketahui dinamika perubahan besarnya derajat disparitas regional
di Pulau Jawa dari waktu ke waktu, khususnya membandingkan kondisi pada
masa sebelum dan setelah diterapkannya kebijakan Otonomi Daerah.

Indeks Williamson
Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering
digunakan untuk mengukur disparitas antar wilayah. Williamson mengembangkan
indeks disparitas antar wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Williamson,
1966):
n 2 f
∑  y − y 
i =1
i p
i

V wk
=
y
Dimana:
Vwk : Indeks Williamson bentuk disparitas ke-k
Yi : PDRB per kapita kawasan ke–i
Ў : Rata-rata PDRB per kapita seluruh kawasan
fi : Jumlah penduduk kawasan ke-i
p : ∑fi, total penduduk seluruh kawasan (Pulau Jawa).

Indeks Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama
dengan nol. Jika Yi = ў, maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak ada
disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah. Indeks lebih besar dari 0
menunjukkan adanya disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah. Semakin
besar indeks yang dihasilkan, maka semakin besar tingkat disparitas antar
wilayah.
36

Data yang digunakan dalam analisis ini berupa data PDRB dan data
jumlah penduduk per kabupaten/kota di Pulau Jawa dari tahun 1986 hingga 2007,
sehingga dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat trend perkembangan indeks
Williamson untuk mengetahui disparitas antar wilayah di Pulau Jawa.

Indeks Theil Entropy


Selain indeks Williamson, dalam penelitian ini juga akan digunakan
indeks Theil entropy dalam mengukur disparitas regional. Menurut Wibisono
(2003), indeks Theil mempunyai beberapa keunggulan yaitu: (1) sifatnya yang
tidak sensitif terhadap skala daerah dan tidak terpengaruh oleh nilai-nilai ekstrim.
(2) indeks Theil independen terhadap jumlah daerah-daerah sehingga dapat
digunakan sebagai pembanding disparitas dari sistem regional yang berbeda-beda.
(3) indeks Theil dapat didekomposisikan ke dalam indeks ketidakmerataan antar
dan intra kelompok daerah menjadi disparitas between dan disparitas within
wilayah kelompok atau grup secara simultan. Kelebihan indeks Theil entropy
dibandingkan dengan indeks-indeks lainnya adalah dapat membuat perbandingan
selama waktu tertentu dan menyediakan secara rinci dalam sub-unit geografis
yang lebih kecil (Kuncoro, 2002), dimana digunakan pangsa jumlah penduduk
sebagai pembobot (weights) dalam mengukurnya. Nilai indeks Theil entropy yang
lebih rendah menunjukkan disparitas antar wilayah yang lebih rendah, dan
sebaliknya nilai indeks Theil entropy yang lebih tinggi menunjukkan tingkat
disparitas yang lebih tinggi.
Karakteristik utama dari indeks Theil entropy ini adalah kemampuannya
untuk membedakan disparitas antar wilayah (between-region inequality) dan
disparitas dalam wilayah (within-region inequality) (Kuncoro, 2002). Rumus
Indeks Theil entropy adalah sebagai berikut (Theil, 1967):

ITheil = Σ(yj/Y).log [(yj/Y)/(xj/X)]


Dimana:
ITheil = Total disparitas di Pulau Jawa (Indeks Theil Entropy)
yj = PDRB di kabupaten/kota j.
Y = PDRB di Pulau Jawa.
xj = Jumlah penduduk di kabupaten/kota j.
X = Jumlah penduduk di Pulau Jawa.

Total disparitas wilayah yang dihitung dengan indeks Theil entropy dapat
didekomposisikan menjadi disparitas antar kawasan (between regions) dan
disparitas dalam kawasan (within regions), dengan persamaan berikut:
37

n  Yg 
n
I = I 0 + ∑ Yg I g I 0 = ∑ Yg log
dimana: ;
 X 
g =1 g =1  g
 y /Y 
Y g = ∑ y i ; X g = ∑ xi ; dan I g = ∑ y i log i g 
i∈S g i∈S g i∈S g Y g
x /X 
 i g 
Dimana:
I = total disparitas di Pulau Jawa (Indeks Theil entropy).
n
I0 = disparitas antar kawasan (between regions).

g =1
Yg I g = disparitas antar kabupaten/kota dalam kawasan (within regions).
Ig = total disparitas kawasan.
Yg = total PDRB kawasan.
Yi = PDRB di kabupaten/kota i.
Xg = jumlah penduduk kawasan.
Xi = jumlah penduduk di kabupaten/kota i.
g = 1, 2, 3, ..., n (jumlah kawasan).

Analisis disparitas dengan menggunakan indeks Williamson dan indeks


Theil entropy dalam penelitian ini dilakukan pada enam bentuk disparitas di Pulau
Jawa, yaitu: (1) Disparitas antar provinsi (k=1); (2) Disparitas antara kawasan
metropolitan vs non metropolitan (rest of Java/ROJ) (k=2); (3) Disparitas antara
Kawasan Jabodetabek dan non Jabodetabek (k=3); (4) Disparitas antara kota vs
kabupaten (k=4); (5) Disparitas antara kawasan pesisir vs non pesisir (k=5); dan
(6) Disparitas antara kawasan pesisir Jawa bagian Utara vs kawasan pesisir Jawa
bagian Selatan (k=6).

(1) Disparitas Antar Provinsi di Pulau Jawa


Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupaten/kota di Pulau Jawa
yang terbagi ke dalam enam (6) provinsi (Gambar 3.4).

Gambar 3.4. Pembagian Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan


Batas Administrasi Provinsi
38

PROVINSI DKI JAKARTA (1)


1 KEPULAUAN SERIBU 3 KOTA JAKARTA TIMUR 5 KOTA JAKARTA BARAT
2 KOTA JAKARTA SELATAN 4 KOTA JAKARTA PUSAT 6 KOTA JAKARTA UTARA

PROVINSI JAWA BARAT (2)


1 BOGOR 10 MAJALENGKA 18 KOTA SUKABUMI
2 SUKABUMI 11 SUMEDANG 19 KOTA BANDUNG
3 CIANJUR 12 INDRAMAYU 20 KOTA CIREBON
4 BANDUNG 13 SUBANG 21 KOTA BEKASI
5 GARUT 14 PURWAKARTA 22 KOTA DEPOK
6 TASIKMALAYA 15 KARAWANG 23 KOTA CIMAHI
7 CIAMIS 16 BEKASI 24 KOTA TASIKMALAYA
8 KUNINGAN 17 KOTA BOGOR 25 KOTA BANJAR
9 CIREBON

PROVINSI JAWA TENGAH (3)


1 CILACAP 13 KARANGANYAR 25 BATANG
2 BANYUMAS 14 SRAGEN 26 PEKALONGAN
3 PURBALINGGA 15 GROBOGAN 27 PEMALANG
4 BANJARNEGARA 16 BLORA 28 TEGAL
5 KEBUMEN 17 REMBANG 29 BREBES
6 PURWOREJO 18 PATI 30 KOTA MAGELANG
7 WONOSOBO 19 KUDUS 31 KOTA SURAKARTA
8 MAGELANG 20 JEPARA 32 KOTA SALATIGA
9 BOYOLALI 21 DEMAK 33 KOTA SEMARANG
10 KLATEN 22 SEMARANG 34 KOTA PEKALONGAN
11 SUKOHARJO 23 TEMANGGUNG 35 KOTA TEGAL
12 WONOGIRI 24 KENDAL

PROVINSI DIY (4)


1 KULON PROGO 3 GUNUNG KIDUL 5 KOTA YOGYAKARTA
2 BANTUL 4 SLEMAN

PROVINSI JAWA TIMUR (5)


1 PACITAN 14 PASURUAN 27 SAMPANG
2 PONOROGO 15 SIDOARJO 28 PAMEKASAN
3 TRENGGALEK 16 MOJOKERTO 29 SUMENEP
4 TULUNGAGUNG 17 JOMBANG 30 KOTA KEDIRI
5 BLITAR 18 NGANJUK 31 KOTA BLITAR
6 KEDIRI 19 MADIUN 32 KOTA MALANG
7 MALANG 20 MAGETAN 33 KOTA PROBOLINGGO
8 LUMAJANG 21 NGAWI 34 KOTA PASURUAN
9 JEMBER 22 BOJONEGORO 35 KOTA MOJOKERTO
10 BANYUWANGI 23 TUBAN 36 KOTA MADIUN
11 BONDOWOSO 24 LAMONGAN 37 KOTA SURABAYA
12 SITUBONDO 25 GRESIK 38 KOTA BATU
13 PROBOLINGGO 26 BANGKALAN

PROVINSI BANTEN (6)


1 PANDEGLANG 3 TANGERANG 5 KOTA TANGERANG
2 LEBAK 4 SERANG 6 KOTA CILEGON

(2) Disparitas Antara Kawasan Metropolitan vs Non Metropolitan (Rest of


Java/ROJ)
Kawasan metropolitan-megapolitan yang terdapat di Pulau Jawa antara
lain adalah Kawasan Jabodetabek, Bandung Raya, Kedungsepur, Kartamantul dan
Gerbangkertosusila. Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupaten/kota
yang termasuk dalam masing-masing kawasan (Gambar 3.5).
39

Gambar 3.5. Peta Lokasi Kawasan Metropolitan/Megapolitan di Pulau Jawa dan


Kawasan Lain Sisanya (Rest of Java/ROJ)

• KAWASAN METROPOLITAN, terdiri dari:

KAWASAN JABODETABEK (1)


1 KOTA JAKARTA SELATAN 5 KOTA JAKARTA UTARA 9 TANGERANG
2 KOTA JAKARTA TIMUR 6 BOGOR 10 KOTA TANGERANG
3 KOTA JAKARTA PUSAT 7 KOTA BOGOR 11 BEKASI
4 KOTA JAKARTA BARAT 8 KOTA DEPOK 12 KOTA BEKASI

KAWASAN BANDUNG RAYA (2)


1 BANDUNG 2 KOTA BANDUNG 3 KOTA CIMAHI

KAWASAN KEDUNGSEPUR (3)


1 KENDAL 3 DEMAK 5 KOTA SALATIGA
2 SEMARANG (UNGARAN) 4 GROBOGAN 6 KOTA SEMARANG

KAWASAN KARTAMANTUL (4)


1 KOTA YOGYAKARTA 2 SLEMAN 3 BANTUL

KAWASAN GERBANGKERTOSUSILA (5)


1 GRESIK 4 KOTA MOJOKERTO 6 SIDOARJO
2 BANGKALAN 5 KOTA SURABAYA 7 LAMONGAN
3 MOJOKERTO

• KAWASAN NON METROPOLITAN/


REST OF JAVA (ROJ), terdiri dari:
1 SUKABUMI 29 KARANGANYAR 57 JEMBER
2 CIANJUR 30 SRAGEN 58 BANYUWANGI
3 GARUT 31 PURWOREJO 59 BONDOWOSO
4 TASIKMALAYA 32 BLORA 60 SITUBONDO
5 CIAMIS 33 REMBANG 61 PROBOLINGGO
6 KUNINGAN 34 PATI 62 PASURUAN
7 CIREBON 35 KUDUS 63 JOMBANG
8 MAJALENGKA 36 JEPARA 64 NGANJUK
9 SUMEDANG 37 TEMANGGUNG 65 MADIUN
10 INDRAMAYU 38 BATANG 66 MAGETAN
11 SUBANG 39 PEKALONGAN 67 NGAWI
12 PURWAKARTA 40 PEMALANG 68 BOJONEGORO
13 KARAWANG 41 TEGAL 69 TUBAN
14 KOTA SUKABUMI 42 BREBES 70 SAMPANG
15 KOTA CIREBON 43 KOTA MAGELANG 71 PAMEKASAN
16 KOTA TASIKMALAYA 44 KOTA SURAKARTA 72 SUMENEP
17 KOTA BANJAR 45 KOTA PEKALONGAN 73 KOTA KEDIRI
18 CILACAP 46 KOTA TEGAL 74 KOTA BLITAR
40

(lanjutan...)
19 BANYUMAS 47 KULON PROGO 75 KOTA MALANG
20 PURBALINGGA 48 GUNUNG KIDUL 76 KOTA PROBOLINGGO
21 BANJARNEGARA 49 PACITAN 77 KOTA PASURUAN
22 KEBUMEN 50 PONOROGO 78 KOTA MADIUN
23 WONOSOBO 51 TRENGGALEK 79 KOTA BATU
24 MAGELANG 52 TULUNGAGUNG 80 PANDEGLANG
25 BOYOLALI 53 BLITAR 81 LEBAK
26 KLATEN 54 KEDIRI 82 SERANG
27 SUKOHARJO 55 MALANG 83 KOTA CILEGON
28 WONOGIRI 56 LUMAJANG

(3) Disparitas Antara Kawasan Jabodetabek vs Non Jabodetabek

Berikut adalah peta lokasi dan daftar nama kabupaten/kota yang termasuk
ke dalam Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek (Gambar 3.6).

Gambar 3.6. Peta Lokasi Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Non Jabodetabek

KAWASAN JABODETABEK (1)


1 KOTA JAKARTA SELATAN 5 KOTA JAKARTA UTARA 9 TANGERANG
2 KOTA JAKARTA TIMUR 6 BOGOR 10 KOTA TANGERANG
3 KOTA JAKARTA PUSAT 7 KOTA BOGOR 11 BEKASI
4 KOTA JAKARTA BARAT 8 KOTA DEPOK 12 KOTA BEKASI

KAWASAN NON JABODETABEK (2)


1 SUKABUMI 35 GROBOGAN 69 JEMBER
2 CIANJUR 36 BLORA 70 BANYUWANGI
3 BANDUNG 37 REMBANG 71 BONDOWOSO
4 GARUT 38 PATI 72 SITUBONDO
5 TASIKMALAYA 39 KUDUS 73 PROBOLINGGO
6 CIAMIS 40 JEPARA 74 PASURUAN
7 KUNINGAN 41 DEMAK 75 SIDOARJO
8 CIREBON 42 SEMARANG 76 MOJOKERTO
9 MAJALENGKA 43 TEMANGGUNG 77 JOMBANG
10 SUMEDANG 44 KENDAL 78 NGANJUK
11 INDRAMAYU 45 BATANG 79 MADIUN
12 SUBANG 46 PEKALONGAN 80 MAGETAN
13 PURWAKARTA 47 PEMALANG 81 NGAWI
14 KARAWANG 48 TEGAL 82 BOJONEGORO
15 KOTA SUKABUMI 49 BREBES 83 TUBAN
16 KOTA BANDUNG 50 KOTA MAGELANG 84 LAMONGAN
17 KOTA CIREBON 51 KOTA SURAKARTA 85 GRESIK
18 KOTA CIMAHI 52 KOTA SALATIGA 86 BANGKALAN
19 KOTA TASIKMALAYA 53 KOTA SEMARANG 87 SAMPANG
20 KOTA BANJAR 54 KOTA PEKALONGAN 88 PAMEKASAN
21 CILACAP 55 KOTA TEGAL 89 SUMENEP
41

(lanjutan...)
22 BANYUMAS 56 KULON PROGO 90 KOTA KEDIRI
23 PURBALINGGA 57 BANTUL 91 KOTA BLITAR
24 BANJARNEGARA 58 GUNUNG KIDUL 92 KOTA MALANG
25 KEBUMEN 59 SLEMAN 93 KOTA PROBOLINGGO
26 PURWOREJO 60 KOTA YOGYAKARTA 94 KOTA PASURUAN
27 WONOSOBO 61 PACITAN 95 KOTA MOJOKERTO
28 MAGELANG 62 PONOROGO 96 KOTA MADIUN
29 BOYOLALI 63 TRENGGALEK 97 KOTA SURABAYA
30 KLATEN 64 TULUNGAGUNG 98 KOTA BATU
31 SUKOHARJO 65 BLITAR 99 PANDEGLANG
32 WONOGIRI 66 KEDIRI 100 LEBAK
33 KARANGANYAR 67 MALANG 101 SERANG
34 SRAGEN 68 LUMAJANG 102 KOTA CILEGON

(4) Disparitas Antara Kota vs Kabupaten


Berikut adalah peta lokasi dan daftar pengelompokan kota dan kabupaten
di Pulau Jawa (Gambar 3.7).

Gambar 3.7. Pembagian Wilayah di Pulau Jawa Berdasarkan Kelompok Wilayah


Perkotaan (Kota) dan Kabupaten

KOTA-KOTA DI PULAU JAWA (1)


1 KOTA JAKARTA SELATAN 12 KOTA CIMAHI 23 KOTA BLITAR
2 KOTA JAKARTA TIMUR 13 KOTA TASIKMALAYA 24 KOTA MALANG
3 KOTA JAKARTA PUSAT 14 KOTA BANJAR 25 KOTA PROBOLINGGO
4 KOTA JAKARTA BARAT 15 KOTA MAGELANG 26 KOTA PASURUAN
5 KOTA JAKARTA UTARA 16 KOTA SURAKARTA 27 KOTA MOJOKERTO
6 KOTA BOGOR 17 KOTA SALATIGA 28 KOTA MADIUN
7 KOTA SUKABUMI 18 KOTA SEMARANG 29 KOTA SURABAYA
8 KOTA BANDUNG 19 KOTA PEKALONGAN 30 KOTA BATU
9 KOTA CIREBON 20 KOTA TEGAL 31 KOTA TANGERANG
10 KOTA BEKASI 21 KOTA YOGYAKARTA 32 KOTA CILEGON
11 KOTA DEPOK 22 KOTA KEDIRI

KABUPATEN-KABUPATEN DI PULAU JAWA (2)


1 KEPULAUAN SERIBU 28 SUKOHARJO 54 TULUNGAGUNG
2 BOGOR 29 WONOGIRI 55 BLITAR
3 SUKABUMI 30 KARANGANYAR 56 KEDIRI
4 CIANJUR 31 SRAGEN 57 MALANG
5 BANDUNG 32 GROBOGAN 58 LUMAJANG
6 GARUT 33 BLORA 59 JEMBER
7 TASIKMALAYA 34 REMBANG 60 BANYUWANGI
8 CIAMIS 35 PATI 61 BONDOWOSO
9 KUNINGAN 36 KUDUS 62 SITUBONDO
10 CIREBON 37 JEPARA 63 PROBOLINGGO
11 MAJALENGKA 38 DEMAK 64 PASURUAN
12 SUMEDANG 39 SEMARANG 65 SIDOARJO
13 INDRAMAYU 40 TEMANGGUNG 66 MOJOKERTO
42

(lanjutan...)
14 SUBANG 41 KENDAL 67 JOMBANG
15 PURWAKARTA 42 BATANG 68 NGANJUK
16 KARAWANG 43 PEKALONGAN 69 MADIUN
17 BEKASI 44 PEMALANG 70 MAGETAN
18 CILACAP 45 TEGAL 71 NGAWI
19 BANYUMAS 46 BREBES 72 BOJONEGORO
20 PURBALINGGA 47 KULON PROGO 73 TUBAN
21 BANJARNEGARA 48 BANTUL 74 LAMONGAN
22 KEBUMEN 49 GUNUNG KIDUL 75 GRESIK
23 PURWOREJO 50 SLEMAN 76 BANGKALAN
24 WONOSOBO 51 PACITAN 77 SAMPANG
25 MAGELANG 52 PONOROGO 78 PAMEKASAN
26 BOYOLALI 53 TRENGGALEK 79 SUMENEP
27 KLATEN

(5) Disparitas Antara Kawasan Pesisir vs Non Pesisir


Dalam analisis ini, seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa yang terletak di
pinggir laut (yang mempunyai garis pantai), dimasukkan ke dalam kelompok
kawasan pesisir, sedangkan yang tidak mempunyai garis pantai dimasukkan ke
dalam kelompok kawasan non pesisir (Gambar 3.8).

Gambar 3.8. Pembagian Wilayah Kabupaten/Kota di Pulau Jawa Berdasarkan


Karakteristiknya sebagai Kawasan Pesisir dan Non Pesisir

KAWASAN PESISIR (1)


1 KEPULAUAN SERIBU 21 KENDAL 41 SITUBONDO
2 KOTA JAKARTA UTARA 22 BATANG 42 PROBOLINGGO
3 SUKABUMI 23 PEKALONGAN 43 PASURUAN
4 CIANJUR 24 PEMALANG 44 SIDOARJO
5 GARUT 25 TEGAL 45 TUBAN
6 TASIKMALAYA 26 BREBES 46 LAMONGAN
7 CIAMIS 27 KOTA SEMARANG 47 GRESIK
8 CIREBON 28 KOTA PEKALONGAN 48 BANGKALAN
9 INDRAMAYU 29 KOTA TEGAL 49 SAMPANG
10 SUBANG 30 KULON PROGO 50 PAMEKASAN
11 KARAWANG 31 BANTUL 51 SUMENEP
12 BEKASI 32 GUNUNG KIDUL 52 KOTA PROBOLINGGO
13 KOTA CIREBON 33 PACITAN 53 KOTA PASURUAN
14 CILACAP 34 TRENGGALEK 54 KOTA SURABAYA
15 KEBUMEN 35 TULUNGAGUNG 55 PANDEGLANG
16 PURWOREJO 36 BLITAR 56 LEBAK
17 REMBANG 37 MALANG 57 TANGERANG
18 PATI 38 LUMAJANG 58 SERANG
19 JEPARA 39 JEMBER 59 KOTA CILEGON
20 DEMAK 40 BANYUWANGI
43

KAWASAN NON PESISIR (2)


1 KOTA JAKARTA SELATAN 20 PURBALINGGA 39 KOTA YOGYAKARTA
2 KOTA JAKARTA TIMUR 21 BANJARNEGARA 40 PONOROGO
3 KOTA JAKARTA PUSAT 22 WONOSOBO 41 KEDIRI
4 KOTA JAKARTA BARAT 23 MAGELANG 42 BONDOWOSO
5 BOGOR 24 BOYOLALI 43 MOJOKERTO
6 BANDUNG 25 KLATEN 44 JOMBANG
7 KUNINGAN 26 SUKOHARJO 45 NGANJUK
8 MAJALENGKA 27 WONOGIRI 46 MADIUN
9 SUMEDANG 28 KARANGANYAR 47 MAGETAN
10 PURWAKARTA 29 SRAGEN 48 NGAWI
11 KOTA BOGOR 30 GROBOGAN 49 BOJONEGORO
12 KOTA SUKABUMI 31 BLORA 50 KOTA KEDIRI
13 KOTA BANDUNG 32 KUDUS 51 KOTA BLITAR
14 KOTA BEKASI 33 SEMARANG 52 KOTA MALANG
15 KOTA DEPOK 34 TEMANGGUNG 53 KOTA MOJOKERTO
16 KOTA CIMAHI 35 KOTA MAGELANG 54 KOTA MADIUN
17 KOTA TASIKMALAYA 36 KOTA SURAKARTA 55 KOTA BATU
18 KOTA BANJAR 37 KOTA SALATIGA 56 KOTA TANGERANG
19 BANYUMAS 38 SLEMAN

(6) Disparitas Antara Kawasan Pesisir Jawa Bagian Utara vs Kawasan


Pesisir Jawa Bagian Selatan
Dalam analisis ini, seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa yang termasuk
dalam kelompok kawasan pesisir (pada analisis sebelumnya), kemudian dibagi
lagi menjadi dua kawasan berdasarkan letak geografis wilayahnya (Utara –
Selatan), yaitu kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan kawasan pesisir Jawa
bagian Selatan. Sedangkan kawasan non pesisir/sisanya (yang tidak termasuk
dalam kategori kawasan Jawa Utara dan Jawa Selatan/Non JU-JS) tidak
diikutsertakan dalam analisis. Gambar 3.9 berikut menyajikan secara spasial
pembagian wilayah kabupaten/kota di Pulau Jawa berdasarkan klasifikasinya
dalam kawasan pesisir Jawa bagian Utara dan Jawa bagian Selatan.

Gambar 3.9. Pembagian Wilayah Kabupaten/Kota dalam Kawasan Pesisir di


Pulau Jawa Berdasarkan Letak Geografisnya di Jawa Bagian
Utara dan Jawa Bagian Selatan
44

KAWASAN PESISIR JAWA BAGIAN UTARA (1)


1 KEPULAUAN SERIBU 15 JEPARA 29 SIDOARJO
2 KOTA JAKARTA SELATAN 16 DEMAK 30 TUBAN
3 KOTA JAKARTA TIMUR 17 KENDAL 31 LAMONGAN
4 KOTA JAKARTA PUSAT 18 BATANG 32 GRESIK
5 KOTA JAKARTA BARAT 19 PEKALONGAN 33 BANGKALAN
6 KOTA JAKARTA UTARA 20 PEMALANG 34 SAMPANG
7 CIREBON 21 TEGAL 35 PAMEKASAN
8 INDRAMAYU 22 BREBES 36 SUMENEP
9 SUBANG 23 KOTA SEMARANG 37 KOTA PROBOLINGGO
10 KARAWANG 24 KOTA PEKALONGAN 38 KOTA PASURUAN
11 BEKASI 25 KOTA TEGAL 39 KOTA SURABAYA
12 KOTA CIREBON 26 SITUBONDO 40 TANGERANG
13 REMBANG 27 PROBOLINGGO 41 SERANG
14 PATI 28 PASURUAN 42 KOTA CILEGON

KAWASAN PESISIR JAWA BAGIAN SELATAN (2)


1 SUKABUMI 9 WONOGIRI 16 BLITAR
2 CIANJUR 10 KULON PROGO 17 MALANG
3 GARUT 11 BANTUL 18 LUMAJANG
4 TASIKMALAYA 12 GUNUNG KIDUL 19 JEMBER
5 CIAMIS 13 PACITAN 20 BANYUWANGI
6 CILACAP 14 TRENGGALEK 21 PANDEGLANG
7 KEBUMEN 15 TULUNGAGUNG 22 LEBAK
8 PURWOREJO

Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Disparitas


Pembangunan Antar Wilayah di Pulau Jawa
Model Ekonometrika Spasial (Spatial Econometrics)
Model ekonometrika spasial merupakan model ekonometrika yang telah
mempertimbangkan keterkaitan spasial. Model ekonometrika ini berkembang
didasarkan pada dua alasan, yaitu: (1) dalam kehidupan nyata terjadi keterkaitan
spasial dimana kejadian di suatu lokasi berpengaruh terhadap kejadian di lokasi
lain, dan (2) seringkali data dikumpulkan berdasarkan wilayah administrasi
sehingga data-data tersebut tidak mampu merekam kejadian yang bersifat lintas
wilayah administrasi.
Kinerja pembangunan ekonomi pada suatu daerah, tidak hanya ditentukan
oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang dilakukan di
daerah tersebut. Kinerja pembangunan ekonomi, karakteristik lingkungan, serta
manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah sekitarnya yang
terkait dalam satu sistem ekologi-ekonomi juga ikut mempengaruhinya
(Saefulhakim, 2008).
Dalam penelitian ini, model ekonometrika spasial digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi disparitas pembangunan antar
wilayah di Pulau Jawa dengan memasukkan variabel-variabel yang
menggambarkan karakteristik di masing-masing wilayah dan beberapa variabel
lain yang mempunyai hubungan keterkaitan spasial antar wilayah.
45

Untuk melinierkan persamaan ekonometrik dalam analisis ini digunakan


bentuk persamaan regresi dari model Cobb-Douglas yang menghubungkan antara
beberapa variabel penjelas (explanatory variables) x, dan satu variabel terikat
(dependent variable) y, yang dinotasikan sebagai berikut (Saefulhakim, 2008):

ln y i = b 0 + ∑b j
j ln x i , j ...............................................................................(1)

atau dalam notasi vektor dapat ditulis:


ln y = b0 1 n + ∑b j
j ln x j ...............................................................................(2)

Keterangan:
yi : nilai variabel tujuan untuk wilayah ke-i
xj,i : nilai variabel penjelas ke-j untuk wilayah ke-i
b0 : parameter konstanta (intercept)
bj : parameter koefisien untuk variabel penjelas ke-j
ln y : vektor ukuran (n×1) berisi logaritma natural dari nilai variabel tujuan untuk wilayah ke-
1 sampai dengan ke-n
1n : vektor ukuran (n×1) berisi angka 1 sebanyak n buah
ln xj : vektor ukuran (n×1) berisi logaritma natural dari nilai variabel penjelas ke-j untuk
wilayah ke-1 sampai dengan ke-n

Untuk dapat mengakomodasikan fenomena keterkaitan antara suatu lokasi


dengan lokasi-lokasi lainnya, maka bentuk model pada kedua persamaan regresi
dari model Cobb-Douglas sebelumnya, diubah menjadi sebagai berikut:

ln y = ∑ a kWn , k ln y + b0 1n + ∑ b j ln x j + ∑ ∑ c j , kWn , k ln x j .............................(3)


k j j k

atau
−1
     
ln y =  I n −

∑ a kW n ,k 

 b0 1 n + ∑  b j In + ∑c j ,k W n , k  ln x j 

.............................(4)
k  j k 

Keterangan:
In : matriks identitas ukuran (n× n)
Wn,k : matriks ukuran (n×n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k antar n buah
wilayah (disebut: kontiguitas spasial tipe ke-k).

Pada situasi dimana fenomena interaksi spasial tidak nyata berpengaruh,


yaitu ak=0 untuk semua tipe k dan cj,k=0 untuk semua j dan tipe k, maka model
yang ditulis pada Persamaan (4) akan kembali ke bentuk konvensional seperti
pada Persamaan (2). Artinya, pendekatan regresi konvensional cukup realistik.
Namun, pada situasi dimana minimal untuk satu tipe k parameter ak≠0 dan
minimal untuk satu tipe k dan satu variabel penjelas j parameter cj,k≠0, maka
46

pendekatan regresi konvensional menjadi tidak realistik. Model yang ditulis


seperti pada Persamaan (4), dalam literatur ekonometrika spasial disebut sebagai
Model Durbin Spasial (Spatial Durbin Model) (Upton dan Fingleton 1985;
LeSage 1999).
Secara prinsip model ekonometrik spasial ini dibangun dengan
mengelaborasi matriks contiguity yaitu matriks keterkaitan antar wilayah.
Keterkaitan ini bisa didasarkan pada hubungan ketetanggaan, hubungan
perdagangan maupun aliran barang dan jasa. Matriks ini akan menjadi pembobot
variabel sehingga akan dapat dilihat sejauh mana kejadian di suatu lokasi
berpengaruh terhadap kejadian di lokasi lainnya.
Pada dasarnya matriks kontiguitas spasial dibangun atas dasar logika
interaksi spasial. Secara matematis prosedur perhitungannya dapat ditulis dalam
bentuk model umum sebagai berikut:

 0 w1,2 L w1, n 
 
w2 ,1 0 L w2 , n 
W = ........................................................................(5)
 M M O M
 
 wn ,1 wn ,2 L 0 

w i,j = ai , j ∑aj
i,j .........................................................................(6)

c u n tu k i ≠ j ...……………………………………………….(7)
a i, j =  i, j
0 u n tu k la in n y a

W = matriks kontiguitas spasial


wi,j = kontiguitas antara wilayah ke-i dengan wilayah ke-j setelah dibakukan
ai,j = kontiguitas antara wilayah ke-i dengan wilayah ke-j sebelum dibakukan
ci,j = fungsi perhitungan kontiguitas spasial ai,j.

Dalam penelitian ini hubungan keterkaitan hanya didasarkan pada 1 (satu)


jenis matriks kontiguitas spasial, yaitu: matriks kontiguitas spasial berdasarkan
data jarak eucledian garis lurus centroid antar poligon kabupaten/kota (Wd).
Dalam hal ini, koordinat centroid dihitung secara otomatis menggunakan software
ArcView 3.3 sehingga diperoleh nilai koordinat Xcentroid dan Ycentroid untuk masing-
masing poligon kabupaten/kota di Pulau Jawa. Jarak eucledian garis lurus
centroid antar poligon dihitung dengan rumus: d = ( Xcent_1 − Xcent_ 2 )2 + (Ycent_1 −Ycent_ 2 )2
Dimana:
d = jarak eucledian garis lurus centroid antar poligon kabupaten/kota
Xcent_1 = koordinat Xcentroid kabupaten/kota ke-1
Xcent_2 = koordinat Xcentroid kabupaten/kota ke-2
Ycent_1 = koordinat Ycentroid kabupaten/kota ke-1
Ycent_2 = koordinat Ycentroid kabupaten/kota ke-2
47

Model ekonometrika spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah


Spatial Durbin Model dengan metode General Linear Model (GLM), Sigma
restricted parameterization yang memiliki persamaan:
15 25
yi = ρ + W ∑ β i X i + ∑ β i X i + ε
i =1 i =16

Dimana :
yi = indeks disparitas yang dikontribusikan oleh kabupaten/kota ke-i terhadap
disparitas total di Pulau Jawa hasil analisis indeks Williamson. Besarnya
nilai yi di masing-masing kabupaten/kota dihitung dengan rumus: (yi -Ў)2.(fi/p)
W = matriks kontiguitas kedekatan jarak (total pengaruh asosiasi spasial independent
variable antar wilayah)
X = variabel terkait karakteristik wilayah di kabupaten/kota ke-i, seperti kondisi biofisik
dan potensi SDA, kependudukan, sosial dan ekonomi (pengaruh independent
variable di wilayah)
ρ = intercept
βi = nilai koefisien pengaruh independent variable
ε = galat (error)

Variabel tujuan (dependent variable) yi yang digunakan dalam analisis ini


adalah besarnya indeks disparitas yang dikontribusikan oleh masing-masing
wilayah terhadap disparitas total di Pulau Jawa hasil analisis indeks Williamson
(iw). Sedangkan varibel penjelas (explanatory variables) yang diikutsertakan
dalam analisis berjumlah 25 variabel x, dimana seluruh variabel yang digunakan
merupakan variabel nominal (continuous variable). Adapun daftar variabel yang
digunakan dalam model ekonometrika spasial ini adalah sebagai berikut.

Daftar variabel nominal (continuous variable) yang digunakan sebagai


variabel penjelas (explanatory variables):
W_pdrb : nilai PDRB di wilayah sekitarnya (juta rupiah)
W_pddk : jumlah penduduk/populasi di wilayah sekitarnya (jiwa)
W_kpdtn : kepadatan penduduk di wilayah sekitarnya (jiwa/hektare)
W_pdrb_kap : besarnya PDRB per kapita di wilayah sekitarnya (juta rupiah/jiwa)
W_LPE : besarnya laju pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya (%/tahun)
W_ide : indeks diversitas entropy di wilayah sekitarnya
W_ipg : indeks perkembangan wilayah di wilayah sekitarnya
W_%_primer : persentase kontribusi sektor primer terhadap PDRB total (%) di wilayah sekitarnya
W_%_sekunder : persentase kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB total (%) di wilayah sekitarnya
W_%_tersier : persentase kontribusi sektor tersier terhadap PDRB total (%) di wilayah sekitarnya
W_DS_1 : nilai differential shift sektor primer hasil SSA di wilayah sekitarnya
W_DS_2 : nilai differential shift sektor sekunder hasil SSA di wilayah sekitarnya
W_DS_3 : nilai differential shift sektor tersier hasil SSA di wilayah sekitarnya
W_%_L_pertanian : persentase luas lahan pertanian terhadap luas lahan total (%) di wilayah sekitarnya
W_%_L_pmk_tbgn : persentase luas lahan permukiman dan ruang terbangun terhadap luas lahan total (%)
Di wilayah sekitarnya
Ahh : angka harapan hidup (tahun) di wilayah sendiri
Amh : angka melek huruf (%) di wilayah sendiri
Rls : rata-rata lama sekolah (tahun) di wilayah sendiri
kons_kap : rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan (Rp.000) di wilayah sendiri
48

(lanjutan...)
Ipg : indeks perkembangan wilayah di wilayah sendiri
%_primer : persentase kontribusi sektor primer terhadap PDRB total (%) di wilayah sendiri
%_sekunder : persentase kontribusi sektor sekunder terhadap PDRB total (%) di wilayah sendiri
%_tersier : persentase kontribusi sektor tersier terhadap PDRB total (%) di wilayah sendiri
%_L_pertanian : persentase luas lahan pertanian terhadap luas lahan total (%) di wilayah sendiri
%_L_pmk : persentase luas lahan permukiman terhadap luas lahan total (%) di wilayah sendiri

Seluruh metode analisis pada penelitian ini digunakan sesuai dengan


tujuan penelitian sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Diagram alir
penelitian disajikan pada Gambar 3.10 berikut.

PULAU JAWA

Kondisi Ekonomi dan Tingkat Perkembangan


Kependudukan Wilayah
Kondisi
Geobiofisik dan
Data PDRB, Data Sensus
Karakteristik
Data PDRB, PDRB per Penduduk/SUPAS Wilayah
kapita, Data Sensus
Penduduk/SUPAS
(beberapa titik tahun)
Indeks Diversitas Entropy,
Peta Land System
Tipologi Klassen

Analisis laju pertumbuhan


ekonomi dan laju pertumbuhan Analisis tingkat perkembangan
wilayah masing-masing Data PODES,
penduduk masing-masing Provinsi Dalam
wilayah dari waktu ke waktu kabupaten/kota di Pulau Jawa
Angka, Statistik
Indonesia, IPM,
Indeks Entropy,dll
Disparitas Pembangunan
Antar Wilayah

Antar metropolitan- Jabodetabek VS Kabupaten Pesisir VS Jawa Utara VS


Provinsi megapolitan -ROJ Non Jabodetabek VS Kota Non Pesisir Jawa Selatan

Data PDRB, PDRB per kapita, Data


Sensus Penduduk/SUPAS, Potensi Fisik dan
SAKERNAS, SUSENAS Karakteristik Wilayah (SDA,
SDM, Sosial, Ekonomi)

Indeks Williamson,
Indeks Theil Entropy

Disparitas
pembangunan antar Ekonometrika Spasial
wilayah di Pulau Jawa

Faktor-faktor yang mempengaruhi


terjadinya disparitas pembangunan
antar wilayah di P.Jawa

Implikasi kebijakan untuk mengatasi/


mengurangi terjadinya disparitas
pembangunan antar wilayah di P.Jawa

Gambar 3.10. Diagram Alir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai