Anda di halaman 1dari 6

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

Hiperglikemia hiperosmoler koma non ketotik (HHNK) adalah komplikasi


metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes mellitus (DM) tipe 2
yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia berat (kadar glukosa serum
> 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak
sadar dan meninggal bila tidak segera ditanganin (Price, 2006). Etiologi Koma
hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut (Soewondo, 2009) :
1. Infeksi, misalnya adanya selulitis, infeksi gigi, pneumonia, sepsis, dan ISK
2. Pengobatan, misalnya pada penggunaan obat kemoterapi, glukokortikoid,
fenitoin, diuretic tiazid, dan propanolol.
3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes Melitus
terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal mengkonsumsi
makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan jadwal penyuntikan, dan
lain-lain.
4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.
5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.
6. Penyakit penyerta, missal adanya infark miokard akut, tumor yang
menghasilkan hormone adrenokortikotropin, kejadian serebrovaskular, sindrom
cushing, hipertemia, hipotermia, thrombosis mesenterika, pancreatitis, emboli
paru, gagal ginjal, luka bakar berat, tirotoksitosis, dll. Patofisiologi (Smeltzer,
2002).
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan
kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin
menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi
akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan
glikogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar
glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik
cairan intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan
intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan
kekurangan cairan (Sudoyo, 2006). Tingginya kadar glukosa serum akan
dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan
diuresis osmotik secara berlebihan (poliuria). Dampak dari poliuria akan
menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,
sodium dan phospat (Sudoyo, 2006). Akibat kekurangan insulin maka glukosa
tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan
terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang
batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi
maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam
darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria. (Sudoyo, 2006).
Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non
ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan
pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin
memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan
volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan
menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa
meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium menyebabkan
keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk menurunkan
konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin (Soewondo,
2009). Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang
disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan
merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus
sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar
hiperglikemik (Sudoyo, 2006)
Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan
menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan
dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan
untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar
sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Kegagalan tubuh
mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia,
hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem
saraf pusat karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi
koma. Hemokonsentrasi akan meningkatkan viskositas darah dimana dapat
mengakibatkan pembentukan bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral,
jantung (Sudoyo, 2006). Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika
kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka akan
timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan
hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada perfusi jaringan.
Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses hiperglikemik ini, dimana
telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan hipotensi
(Soewondo, 2009).
Diagnosis Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum
diketahui mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet
dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009). Keluhan
pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat
pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan
dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi,
disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma (Sewondo, 2009). Pada pemeriksaan
fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa
pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi
yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak
terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang
membaik setelah rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009). Perubahan pada status
mental dapat bekisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis
yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum.
Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350
mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang
umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat
reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo, 2009). Temuan laboratorium
awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi glukosa darah yang sangat
tinggi (> 600 mg per dL) dan osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg
air [normal = 290 ± 5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia
ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan
anion gap yang ringan (10 – 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan
diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan
diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi
tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal.
Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir selalu
meningkat.
HHNK menyebabkan tubuh banyak kehilangan berbagai macam elektrolit
(Soewondo, 2009). Kehilangan Elektrolit pada HHNK Elektrolit Hilang Natrium
7 – 13 mEq per kg Florida 3 – 7 mEq per kg Kalium 5 – 15 mEq per kg Fosfat 70
– 140 mEq per kg Kalsium 50 – 100 mEq per kg Magnesium 50 – 100 mEq per
kg Air 100 – 200 mEq per kg Dalam penemuan laboratorium awal pada koma
hiperosmolar dengan seri Brookiyn dan Washington, didapatkan data sebagai
berikut (Foster, 2000) : Penemuan Laboratorium Awal pada Koma Hiperosmolar
Seri : Brookiyn Washington Umur, tahun 60 57 Glukosa, mmol/L (mg/dl)
65(1166) 54(976) Natrium, mmol/L 144 142 Kalium, mmol/L 5 5 Klorida,
mmol/L 99 98 Bikarbonat, mmol/L 17 22 BUN, mmol/L (mg/dl) 31(87) 23(65)
Kreatinin, mmol/L (mg/dl) 490(5,5) - Asam lemak bebas, mmol/L 0,73 0,96
Osmolaritas, mosmol/Liter 384 374 Data rata-rata dari 33 kejadian koma
hiperosmoler (AA Arieff, HJ Carrol, Medicine 51:73, 1972) Data rata-rata dari 20
kejadian koma hiperosmoler (JE Gerich et al, Diabetes 20:28, 1971)
Penatalaksanaan
1. Prinsip Penatalaksanaan Angka kematian pada koma hiperosmolar
tinggi (>50%). Akibatnya terapi segera sangat mendesak. Tindakan yang paling
penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk memulihkan
sirkulasi dan aliran urin. Defisit cairan rata-rata adalah 10 sampai 11 liter.
Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi awal harus berupa larutan
garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama.
Kemudian salin separuh kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa
mencapai normal, dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar.
Jika komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus
diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak penulis
menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan jumlah yang lebih
besar terutama pada pasien obes. Garam kalium biasanya diperlukan lebih awal
dalam terapi koma hiperosmolar disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran
K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat
asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat
dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi merupakan penyakit (Foster, 2000).
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik
(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) : a. Rehidrasi intravena
agresif b. Penggantian elektrolit c. Pemberian insulin intravena d. Diagnosis dan
manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta e. Pencegahan
2. Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK
adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg,
atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan
overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan
terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga
pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya
mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien
dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik
(Soewondo, 2009). Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun,
bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik
akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak
bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan
penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009).
b. Elektrolit Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti,
karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi
kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus
dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor
(Soewondo, 2009). Jika konsentrasi kalium awal

Anda mungkin juga menyukai