Anda di halaman 1dari 3

Ibrahim

Sabtu, 28 April 1990

TENTANG maaf dan kesalahan, ada seorang teman yang menuturkan


sebuah cerita.

Ibrahim ibn Adham, seorang alim yang hidup di abad ke-8, suatu
saat bertawaf mengelilingi Kabah. Malam gelap, hujan deras,
guntur gemuruh. Ketika ia berada di depan pintu bangunan kubus
suci di halaman dalam Masjidil Haram itu, ia berdoa, "Ya,
Tuhanku, lindungilah diriku dari perbuatan dosa terhadap-Mu."

Syahdan, adalah suara yang menjawab "Ya, Ibrahim? kau minta


pada-Ku untuk melindungimu dari dosa. dan semua hamba-Ku juga
berdoa serupa itu. Jika Kukabulkan doa kalian, kepada siapa
gerangan nanti akan Kutunjukkan rasa belas-Ku dan kepada siapa
akan kuberikan ampunan-Ku?"

Teman saya mengatakan, ia pernah membaca kisah itu dalam salah


satu jilid Hilyat al-auliya yang disusun Abu Nu'aim
al-Isfahani. Saya percaya. Lihat, katanya, dalam cerita itu
Tuhan menampakkan sifatNya yang menggetarkan kita: dalam
kebesaran-Nya, Tuhan menerima kenyataan manusia sebagaimana
adanya -- menusia yang tak bisa sepenuhnya tercegah dari dosa.
Di dalam penerimaan itu pula kita sadar akan sifat rahman dan
rahim-Nya.

Kita terkadang lupa akan itu, kata teman saya itu pula. Kita
lupa manusia perlu memandang Tuhan dengan kepercayaan bahwa Ia
bukanlah sekadar penuntut. Tanpa memandang Tuhan demikian, apa
hidup jadinya? Hanya sebuah situasi terjebak yang absurd, tak
punya arti: terjebak antara kemustahilan menghindari dosa --
karena ia bagaimanapun manusia -- dan kemustahilan mendapatkan
ampunan-Nya.

Tahukah kau: yang diharapkan dari kita bukanlah sejumlah


cadangan manusia sempurna, jenis yang belum pernah ada sama
sekali? Ajaran dan kecenderungan berpikir yang -- dengan niat
besar dan semangat gemuruh -- hendak menciptakan "manusia
baru", yang bisa menjadi si suci yang tidak pernah bisa
berbuat salah 24 jam sehari, pada akhirnya hanya menghasilkan
penindasan.

Stalin dan Mao, kau tahu, karena kau suka omong itu pernah
mencoba. Indoktrinasi dan penataran dijadwalkan tiap sore
hari. Petuah dan perintah dikumandangkan tiap pagi. Cara
bertindak dan berpikir diawasi, baik di rumah -- oleh keluarga
sendiri -- maupun di tempat kerja. Polisi pikiran dan polisi
perilaku disebar, mengawasi. Dan gelar pahlawan pun diberikan,
hukuman (Siberia, Gulag, regu tembak -- atau sidang-sidang
pengakuan dosa dan pengucilan) dilakukan, dan pemantauan
tindak-tanduk dilembagakan. Tapi pada akhirnya, itu "manusia
baru" tidak pernah lahir dari proses yang angkuh itu. Manusia,
dan itu berarti kita semua, bukan cuma Stalin kata teman saya,
memang gampang bernafsu, tapi Tuhan Mahabijaksana.

Saya terdiam, lalu bertanya: Apakah itu berarti, dosa dan


kesalahan punya perannya sendiri? "Ya," sahut teman saya.
"Kalau tidak, buat apa semua itu termasuk di dalam ciptaan
Tuhan."

Dengan merasakan dosa dan kesalahan -- demikian ia melanjutkan


-- kita merasakan mana kebajikan dan kebenaran. Dengan melihat
dosa dan kesalahan kita tahu apa artinya kedaifan dan
kerendahan hati. Di saat itulah kita merenungkan sifat-sifat
Tuhan, dan kita gemetar, dan kita ngunngun, dan kita tahu ada
cakrawala yang luar biasa dan kita terhenyak di ambangnya.
Sifat-sifat Tuhan sempurna. Kita harus menanamkannya dalam
diri kita, tapi itu adalah proses tanpa akhir. Bagaimanapun
kita tahu bahwa kita tidak akan bisa menjadi Dia. Maka, apa
alasan seorang untuk tidak memaafkan kesalahan manusia lain --
suatu hal yang secara simbolis dilakukan setiap Lebaran?

Tahukah kau, katanya pula, orang-orang alim zaman dulu tidak


jijik dan menghardik orang lain yang datang kepadanya
menyatakan telah berdosa? Mereka ikut memohon kepada Tuhan
pengampunan seakan-akan ikut menanggung dosa itu.

Dan kau tahu kenapa saya ambil kisah Ibrahim ibn Adham? Ia
seorang sufi yang tak meninggi dan menyendiri. Ia amat alim,
tapi ia tak pernah merasa lebih dekat kepada Tuhan ketimbang
orang lain. Ia mendapatkan nafkahnya dengan mengumpulkan kayu
di bukit dan bekerja di ladang. Ia menyumbangkan upahnya
untuk membantu murid-muridnya, yang terkadang memanfaatkan
kedermawanannya secara kurang patut. Ia juga tak hanya datang
memberi doa, berkah, dan petuah kepada orang yang bekerja
dengan susah payah: ia membantu dengan tangannya pekerjaan
mereka, sering tanpa diminta, dan menawarkan tenaganya untuk
wanita tua yang harus menumbuk gandum. Kemudian ia pergi.

Dan inilah yang dikatakan Ibn Adham, tentang hidup zuhudnya:


"Saya kira saya tak patut mendapatkan pahala. Bila saya tak
makan yang lezat-lezat, itu hanya karena saya tak menyukainya.
Menurut selera saya, segenggam roti dengan rasa garam kasar
lebih enak ketimbang sebutir kurma yang dimaniskan madu
lebah."

Sebab itulah ia seorang yang berbahagia, damai, bersyukur.


Suatu ketika ia nampak duduk di kaki sebuah bukit dengan kaki
teranjur ke batu. Katanya, "Raja-raja juga mencari damai,
tetapi mereka mengambil jalan yang salah." Kau tahu artinya?
Raja-raja memaksa, menatar, menuntut, dan menaklukkan, sedang
sang sufi tidak: Tuhan lebih tahu tentang batas ciptaannya.

Goenawan Mohamad

Anda mungkin juga menyukai