Ibrahim - Caping
Ibrahim - Caping
Ibrahim ibn Adham, seorang alim yang hidup di abad ke-8, suatu
saat bertawaf mengelilingi Kabah. Malam gelap, hujan deras,
guntur gemuruh. Ketika ia berada di depan pintu bangunan kubus
suci di halaman dalam Masjidil Haram itu, ia berdoa, "Ya,
Tuhanku, lindungilah diriku dari perbuatan dosa terhadap-Mu."
Kita terkadang lupa akan itu, kata teman saya itu pula. Kita
lupa manusia perlu memandang Tuhan dengan kepercayaan bahwa Ia
bukanlah sekadar penuntut. Tanpa memandang Tuhan demikian, apa
hidup jadinya? Hanya sebuah situasi terjebak yang absurd, tak
punya arti: terjebak antara kemustahilan menghindari dosa --
karena ia bagaimanapun manusia -- dan kemustahilan mendapatkan
ampunan-Nya.
Stalin dan Mao, kau tahu, karena kau suka omong itu pernah
mencoba. Indoktrinasi dan penataran dijadwalkan tiap sore
hari. Petuah dan perintah dikumandangkan tiap pagi. Cara
bertindak dan berpikir diawasi, baik di rumah -- oleh keluarga
sendiri -- maupun di tempat kerja. Polisi pikiran dan polisi
perilaku disebar, mengawasi. Dan gelar pahlawan pun diberikan,
hukuman (Siberia, Gulag, regu tembak -- atau sidang-sidang
pengakuan dosa dan pengucilan) dilakukan, dan pemantauan
tindak-tanduk dilembagakan. Tapi pada akhirnya, itu "manusia
baru" tidak pernah lahir dari proses yang angkuh itu. Manusia,
dan itu berarti kita semua, bukan cuma Stalin kata teman saya,
memang gampang bernafsu, tapi Tuhan Mahabijaksana.
Dan kau tahu kenapa saya ambil kisah Ibrahim ibn Adham? Ia
seorang sufi yang tak meninggi dan menyendiri. Ia amat alim,
tapi ia tak pernah merasa lebih dekat kepada Tuhan ketimbang
orang lain. Ia mendapatkan nafkahnya dengan mengumpulkan kayu
di bukit dan bekerja di ladang. Ia menyumbangkan upahnya
untuk membantu murid-muridnya, yang terkadang memanfaatkan
kedermawanannya secara kurang patut. Ia juga tak hanya datang
memberi doa, berkah, dan petuah kepada orang yang bekerja
dengan susah payah: ia membantu dengan tangannya pekerjaan
mereka, sering tanpa diminta, dan menawarkan tenaganya untuk
wanita tua yang harus menumbuk gandum. Kemudian ia pergi.
Goenawan Mohamad