Kasus 3
Kasus 3
Disusun oleh :
Eva Luchinta (406117094)
Pembimbing :
dr. IDIL FITRI, Sp.PD
2013
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
LEUKEMIA
I. Definisi
Penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan
sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah (sel blas atau
satu tingkat diatasnya)
II. Epidemiologi
Beberapa data epidemiologi menunjukkan hasil bahwa insidensi leukemia di negara
barat adalah 13/100.000 penduduk/tahun. Frekuensi relatif leukemia di negara barat
menurut Gunz adalah Leukemia akut (LMA dan LLA) 60%,LLK 25%, LMK 15%, di
Afrika, 10-20% penderita LMA memiliki kloroma di sekitar orbita mata. Di Kenya,
Tiongkok, dan India, LMK mengenai penderita berumur 20-40 tahun. Pada orang Asia
Timur dan India Timur jarang ditemui LLK, di Indonesia , frekuensi LLK sangat
rendah. LMK merupakan leukemia kronis yang paling sering di jumpai. Leukemia
merupakan 2,8% dari seluruh kasus kangker, belum ada angka pasti mengenai insiden
leukemia di indonesia.
III. Klasifikasi
a) Leukemia Kronis
Pada awal penyakit, sel-sel leukemia masih bisa melakukan beberapa pekerjaan
sel darah putih normal. Pasien mungkin tidak memiliki gejala apapun pada
awalnya. Dokter pada umumnya mendeteksi dini leukemia kronis pada
pemeriksaan rutin. Perlahan-lahan, leukemia kronis memburuk. Karena jumlah
sel-sel leukemia dalam darah meningkat, orang mengalami gejala, seperti
pembengkakan kelenjar getah bening atau infeksi. Ketika gejala muncul,
biasanya ringan pada awalnya dan memburuk secara bertahap.
b) Leukemia Akut
Sel-sel leukemia tidak dapat melakukan pekerjaan sel darah putih normal.
Jumlah sel leukemia meningkat pesat. Leukemia akut ditandai dengan suatu
perjalanan penyakit yang sangat cepat, mematikan, dan memburuk. Apabila
tidak diobati segera, maka penderita dapat meninggal dalam hitungan minggu
hingga hari.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 2
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Leukemia bisa juga diklasifikasikan berdasarkan jenis sel darah putih yang terkena,
yaitu limfosit ataupun myeloid (lihat gambar diatas). Leukemia yang mempengaruhi
sel-sel limfoid disebut limfoid, limfositik, atau lymphoblastic leukemia. Leukemia yang
mempengaruhi sel-sel myeloid disebut myeloid, myelogenous, atau myeloblastic
leukemia.
Berdasarkan identifikasi diatas, setidaknya ada empat jenis leukemia yang umum
diketahui, yaitu:
a) Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)
Merupakan tipe leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak Juga ditemui
pada orang dewasa, terutama yang berusia 65 tahun atau lebih.
b) Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
Paling sering terjadi terjadi pada orang tua (berusia 55 tahun keatas). Kadang
kadang juga diderita oleh dewasa muda dan hampir tidak pernah pada anak-anak.
c) Leukemia Mieloid Akut (LMA)
Tipe ini lebih sering terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak
d) Leukemia Mieloid Kronik (LMK).
Sering terjadi pada orang dewasa, sangat sedikit terjadi pada anak
IV. Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak disebabkan
oleh penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara lain
a. Terinfeksi virus
Agen virus sudah lama diidentifikasi sebagai penyebab leukemia pada hewan.
Padatahun 1980, diisolasi virus HTLV-1( human T– cell lymphotropic virus type 1)
yangmenyerupai virus penyebab AIDS dari leukemia sel T manusia pada limfosit
seorangpenderita limfoma kulit dan sejak saat itu diisolasi dari sampel serum
penderita leukemia sel T.
b. Faktor Genetik.Pengaruh genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya
memainkan peranan ,namun jarang terdapat leukemia familial, tetapi insidensi
leukemia lebih tinggi darisaudara kandung anak-anak yang terserang , dengan insidensi yang
meningkat sampai20% pada kembar monozigot (identik).
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 3
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
c. Kelainan Herediter
Individu dengan kelainan kromosom, seperti Sindrom Down, kelihatannya
mempunyai insidensi leukemia akut 20 puluh kali lipat.
d. Faktor lingkungan
Radias Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia yang
timbul bertahun-tahun kemudian.
Zat Kimia Zat kimia misalnya : benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon,
dan agen anti neoplastik dikaitkan dengan frekuensi
yang meningkat khususnya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia
meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi
maupun kemoterapi.
e. Radiasi
Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki kecenderungan
untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik kronik, atau
leukemia limfoblastik akut.
Ledakan bom atom telah menyebabkan radiasi yang sangat tinggi
(contohnya seperti ledakan di jepang pada perang dunia kedua). Terjadi
peningkatan resiko mengidap leukemia pada orang-orang, terutama anak-anak,
yang selamat dari ledakan bom tersebut.
Radioterapi radioterapi untuk kanker dan kondisi lainnya adalah sumber
eksposur radiasi tinggi lainnya. Radioterapi meningkatkan resiko leukemia.
X-rays dental x-rays dan x-rays diagnostik lainnya (seperti CT-Scan)
mengekspos orang-orang terhadap level radiasi yang lebih rendah. Belum
diketahui apakah radiasi level rendah ini dapat menghubungkan leukemia
dengan anak-anak maupun orang dewasa.
f. Benzene
Terekspose benzene di tempat kerja dapat menyebabkan leukemia mieloblastik akut.
Selain itu benzene juga dapat menyebabkan leukemia mielositik kronik atau leukemia
limfoblastik akut. Benzene banyak digunakan pada industri kimia. Benzene juga
ditemukan pada asap rokok dan gasoline.
g. Merokok Merokok dapat meningkatkan resiko leukemia mieloblastik akut
h. Kemoterapi Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker
kadang akanmengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 4
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
V. Patofisologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita
dengan infeksi.Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat
dikontrol sesuai dengankebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi sel
darah putih pada sumsumtulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia memblok
produksi sel darah putih yang normal ,merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemia juga merusak produksi sel darahlain pada sumsum tulang termasuk sel
darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.
Perubahankromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan
atau menghilangkanseluruh kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk
translokasi ini, dua atau lebihkromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen
yang berubah dianggapmenyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.Leukemia terjadi
jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putihmengalami gangguan dan
menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebutseringkali melibatkan
penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yangkompleks).
Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggupengendalian
normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali danmenjadi ganas.
Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikantempat dari sel-
sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisamenyusup ke
dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal danotak.
Jika penyebab leukemia virus, virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh
manusia jikastruktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila struktur
antigen individutidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut
ditolaknya seperti pada bendaasing lain. Struktur antigen manusia terbentuk oleh
struktur antigen dari berbagai alat tubuh,terutama kulit dan selaput lendir yang
terletak di permukaan tubuh (kulit disebut jugaantigen jaringan ). Oleh WHO terhadap
antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A(Human Leucocyte Lucos A). Sistem
HL-A individu ini diturunkan menurut hukumgenetika sehingga adanya peranan
faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan.Leukemia
merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik danbiasanya
berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan karenaterjadinya
kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit inisering
disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 5
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal
dan sel inimendesak pertumbuhan sel darah normal.Proses patofisiologi leukemia
dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologisdan turunannya. Proliferasi
ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia danmengakibatkan penekanan
hematopoesis normal, sehingga terjadi bone marrowhipoaktivasi, infiltrasi sel
leukemia ke dalam organ, sehingga menimbulkan organomegali,katabolisme sel
meningkat, sehingga terjadi keadaan hiperkatabolisme
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 6
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
d. Terapi
Terapi molekular inhibitor tirosin kinase ST1571, inhibitor farnesil
transferase
Terapi antibodi anti CD 19, Rituximab, Campath
Transplantasi sumsum tulang non mieloablasi
Evaluasi minimal residual disease (MRD)
Analisis microarray indentifikasi faktor prognostik dan gen
targetuntuk terapi baru
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 7
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
HIV/AIDS
I. Definisi
AIDS (Acquiered Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
virus oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus).
II. Klasifikasi
Klasifikasi dari penderita HIV adalah berdasarkan nilai CD4+ limfosit dan 3 kategori
gejala klinis. Berdasarkan klasifikasi ini, orang yang terinfeksi HIV dengan nilai
CD4+ <200 μL disebut sebagai penderita AIDS tanpa memperhatikan adanya gejala
maupun infeksi oportunistik lainnya.Sekali seseorang masuk dalam kategori B,
klasifikasi penyakit mereka tidak dapat kembali mundur ke kategori A meskipun
kondisinya membaik.Begitu pula dengan penderita dengan klasifikasi penyakit
kategori C
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 8
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Siklus replikasi HIV dimulai dengan ikatan protein gp120 terhadap reseptor sel
permukaan CD4. CD4 merupakan protein 55-kDa yang bertanggungjawab dalam
memicu pergerakan sistem imun. Ketika gp120 berikatan terhadap CD4, protein gp
120 memicu perubahan konformasi yang memfasilitasi ikatan kepada salah satu ko-
reseptor. Dua ko-reseptor utama dari HIV adalah CCR5 dan CXCR4. Fusi kemudian
terjadi dengan penetrasi protein gp 41 ke plasma membran sel target, dan kemudian
membentuk coil untuk mengikat virus dan sel targel. Setelah fusi terjadi, komplek
preintegrasi (RNA virus dan enzim virus yang dilingkupi protein kapsid) kemudian
dilepaskan ke sitoplasma sel target. Setelah komplek preintegrasi mencapai nukleus,
enzim reverse transkriptasi virus mengkatalisasi transkripsi genom virus RNA
menjadi DNA, dan protein coat melepaskan double stranded HIV DNA.
Dengan adanya aktivasi sel, virus DNA(provirus) kemudian masuk ke nukleus
dimana terjadi integrasi virus DNA dengan kromosom sel host melalui enzim
integrase. Provirus ini dapat tetap laten atau bermanifestasi dalam berbagai ekspresi
gen, maupun aktivasi reproduksi virus.
Aktivasi host sel diperlukan untuk inisiasi transkripsi DNA provirus menjadi
genom RNA atau mRNA. Aktivasi virus HIV dari keadaan laten tergantung dari
interaksi jumlah sel dan faktor virus. Setelah transkripsi, HIV mRNA diubah menjadi
protein yang melalui modifikasi melalui glikosilasi, miristilasi, fosforilasi, dan
pemecahan. Partikel virus dibentuk dari kumpulan protein, enzim, dan genomik RNA
pada plasma membran sel. Budding dari replikasi virion terjadi melalui bagian khusus
pada lapisan lemak membran sel host yang dikenal sebagai lipid rafts dimana
terbentuk kapsul pada inti virion. Virus kemudian menyandikan protease yang
mengkatalisasi pemecahan virus menjadi virus dewasa.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 9
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 10
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
V. Faktor Risiko
a. penjaja seks laki-laki ataupun perepuan
b. pengguna napza suntik
c. laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki dan transgender
(waria)
d. pernah berhubungan seks tanpapelindung dengan penjaja seks komersial
e. pernah berhubungan atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual
(IMS)
f. pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
g. suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 11
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 12
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
makan, lesi keunguan pada kulit. Penatalaksanaan kaposi sarkoma adalah kemoterapi
dan penggunaan antiretroviral untuk meningkatkan jumlah CD4 tubuh.
Penderita HIV/AIDS dengan nilai CD4 100-200 sel/mm³ beresiko untuk
infeksi oportunistik Pneumocystis Jirovecii (Carinii) Pneumonia (PCP), histopasmosis
dan coccidiomycosis, Progressive Multifocal Leukoencephalopathy (PML). PCP
merupakan infeksi jamur dan merupakan penyebab kematian tersering pada pasien
HIV/AIDS. PCP serta Histoplasmosis dan coccidiodomycosis memberi tanda dan
gejala berupa demam, batuk kering, nafas pendek, turunnya berat badan, dan nyeri
pada dada. PML merupakan kelainan neurologis berat yang disebabkan oleh virus JC
dan biasanya terjadi pada pasien dengan nilai CD4 dibawah 200. Tanda dan gejalanya
antara lain dapat berupa demensia, kejang, kesulitan berbiacara, kesulitan berjalan,
dna konfusi. Tidak terdapat pengobatan untuk infeksi ini namun penggunaan obat
antireroviral memberikan respon yang baik.
Penderita HIV/AIDS dengan nilai CD4 50-100 sel/mm beresiko untuk infeksi
oportunistik toksoplasmosis, Cryptosporidiosis, Cryptococcal atau Cryptococcosis.
Toksoplasmosis disebabkan oleh infeksi parasit toksoplasma gondii yang dapat
menyebabkan encephalitis dan kelainan pada saraf. Parasit ini banyak terdapat pada
kucing, burung, dan daging babi. Tanda dan gejala toksoplasmosis mencakup sakit
kepala, kebingungan, emam, dan kenjang. Cryptosporidiosis merupakan diare yang
disebabkan oleh protozoa Cryptosporiduim dan dapat mnimbulkan diare kronis.
Infeksi dapat terjadi melalui air dan makanan yang terkontaminasi dengan fecal
material penderita cryptosopra. Tanda dan gejala Cryptosporidiosis mencakup diare
kronik, kram perut, mual, dan muntah. Cryptococcosis disebabkan oleh jmur yang
memasuki tubuh lewat sistem pernapasan dan menyebar ke otak sehingga
menimbulkan meningitis crypotokokal. Infeksi ini amat berbahaya dan dapat
menimbulkan kematian apabila tidak ditangani dengan obat-obatan antijamur.
Cryptococcosis juga dapat menyerang bagian tubuh lainnya terutama pada penderita
dengan nilai CD4<50. Tanda dan gejala meningitis Cryptoccus antara lain adalah
demam, kelelahan, sakit kepala, dan kaku leher.
Penderita HIV/AIDS dengan nilai CD4 50-100 sel/mm³ dapat terjangkit
infeksi oportunistik Cytomegalovirus (CMV). CMV merupakan virus DNA yang
tersebar di seluruh dunia. Diperkirakan populasi mayoritas pernah terjangkit CMV
sebelum usia 40 tahun. CMV ditularkan melalui saliva, darah, semen, dan cairan
tubuh lainnya. CMV dapat menimbulkan gejala ringan atau bahkan tanpa gejala pada
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 13
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
orang dengan daya tahan tubuh baik. Sekali terjangkit, virus ini akan menetap
selamanya pada tubuh penderita. Pada pasien immunocompromised, infeksi primer
maupun reaktivasi infeksi laten CMV dapat menimbulkan infeksi oportunistik yang
bermanifestasi sebagai kelainan pada mata, sistem gastrointestinal(kolitis, esofagitis),
saraf perifer (radikulopati, myelopati), otak(meningoencephalitis), dan mata(retinitis,
optic neuritis). CMV retinitis seringkali menyebabkanpenurunan penglihatan, dan
tanpa penatalaksanaan lebih lanjut hampir selalu menimbulkan kebutaan maupun
ablatio retina. Penatalaksanaan menggunakan antiviral untuk CMV dan HIV amat
diperlukan bagi pasien. yang perlu diwaspadai adalah adanya IRU(immune recovery
uveitis) yang terjadi ketika respon imun pasien immunocompromised tiba-tiba
meningkat karena penggunaan obat-obatan dan bereaksi terhadap antigen virus di
retina. Reaksi ini dapat menyebabkan berbagai komplikasi termasuk uveitis,
glaukoma, cystoid macular edema.
Penderita dengan nilai CD4 <50sel/mm beresiko untuk infeksi oportunistik
Mycobacterium Aviam Complex (MAC). MAC merupakan bakteri yang banyak
ditemukan di air dan tanah. Tanda dan gejala yang banyak menyertai adalah demam,
keringat pada malm hari, diare.
IX. Konseling
a. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP – PITC = Provider-
Initiated Testing and Counseling)
b. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing)
KTIP merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan
yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu
hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi
HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL – lelaki
seks dengan lelaki), pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 14
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni:
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.
Tabel 2
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-
kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan
dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin, misal pada
infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk
mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 15
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 16
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
I. Definisi
Suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakgir dengan gagal ginjal.
II. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun.
III. Etiologi
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain.
Tabel 1 menunjukan penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.
Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 200 mencatat penyebab
gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, tabel 2.
Tabel 1
Penyebab Insiden
Diabetes melitus 44%
- Tipe 1 (7%)
- Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27%
Glomerulonefritis 10%
Nefritis interstitialis 4%
Kista dan penyakit bawaan lain 3%
Penyakit sistemik (misalnya lupus, vaskulitis) 2%
Neoplasma 2%
Tidak diketahui 4%
Penyakit lain 4%
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 17
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
Tabel 2
Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes melitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%
IV. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajad
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Tabel 3
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Derajad Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Tabel 4
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
Penyakit vaskular
Penyakit tubulointerstitial
Penyakit kistik
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik, keracunan obat, penyakit
recurrent, transplant glomerulopathy
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 18
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
V. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron
yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini
memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan
yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan
ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% – 90%. Pada tingkat ini fungsi renal
yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan
semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 20
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
VIII. Komplikasi
Derajat LFG Komplikasi
1 ≥90 -
2 60-89 Tekanan darah mulai naik
3 30-59 Hiperfosfatemia, hipokalsemia,
anemia, hiperparatiroid,
hipertensi.
4 15-29 Malnutrisi, asidosis metabolik,
cenderung hiperkaemia,
dislipidemia.
5 <15 Gagal jantung, uremia
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 21
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
I. Definisi
Penyakit jantung yang disebabkan oleh adanya kelainan pada kelenjar tiroid sehingga
menyebabkan perubahan hormon tiroid.
II. Efek Hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler
Hormon tiroid mempunyai banyak efek pada proses metabolik di semua jaringan,
terutama di jantung yang paling sensitif terhadap perubahannya. Gangguan fungsi
kelenjar tiroid dapat menimbulkan efek yang dramatik terhadap sistem kardiovaskular,
sering kali menyerupai penyakit jantung primer. Pengaruh hormon tiroid pada jantung
digolongkan menjadi 3 kategori, efek terhadap jantung langsung, pada sistem saraf
simpatis, dan efek sekunder terhadap perubahan hemodinamik.
Hormon tiroid menyebabkan efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik, yang
mirip dengan efek stimulasi adrenergik (takikardi dan peningkatan kardiak output).
Hormon tiroid meningkatkan sintesis myosin dan Na dan K, ATP-ase, mirip seperti pada
reseptor β-adrenergik miokard. Efek hemodinamik hipotiroid berlawanan dengan
hipertiroid, dengan manifestasi klinis yang lebih kurang jelas.
a. HIPERTIROID
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 22
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
b. HIPOTIROID
IV. Terapi
a. HIPERTIROID
Penyakit hiperriroid dengan penyakit kardiovaskuler biasanya resisten terhadap terapi.
Terapi dasar efek hipertoroid berupa takikardi adalah obat golongan penghambat
adrenergik beta. Bersama-sama dengan obat anti tiroid atau radioiodin sebelum
tindakan operasi.
- Penyekat beta mengontrol takikardi, palpitasi, tremor, kecemasan, dan
mengurangi aliran darah ke kelenjar tiroid.
- Pada krisis tiroid propanolol i.v 1 mg mg/menit demhan catatan fngsi
sistolik ventrikel kiri normal
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 23
[EVA LUCHINTA (406117094)] Laporan Kasus Ilmu Penyakit Dalam
b. HIPOTIROID
Diberikan hormon tiroid dosis minimal sampai dengan dilakukan revaskularisasi.
Setelah berhasil dilakukan revaskularisasi, pemberian dosis hormon tiroid dapat
diberikan dosis maksimal tanpa disertai keluhan angina berulang.
Kepaniteraan Klinik Universitas Tarumanagara Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kudus 2013 | 24