Anda di halaman 1dari 14

Shoulder Test: Nama: Wahyu Budi Prasetyo

1. Neer Test

Untuk mengtahui gangguan pada otot supraspinatus dan tendon


bisep. Posisi pasien duduk dengn rileks, terapi melakukan pasif fleksi
maksimal pada shoulder pasien.

2. Hawkins’ Test

Posisi pasien duduk rileks, terapis memfelksikan bahu pasien


sebesar 90⁰, kemudian diinternal Rotasikan. Tes ini dilakukan untuk
mengetahui ganguan pada otot tendon superasupinatus.

3. Drop Arm Test

Posisi pasien duduk atau berdiri, terapis melakukan abduksi pasif


90⁰ pada shoulder pasien. Kemudian pasien disuruh menurunkan lenganya
secara perlahan-lahan. Test ini untuk mengetahui kelemahan, atau gangguan
pada grup otot rotator cuff.

4. Cross Arm Test

Posisi pasien duduk rileks, terapis berada di samping pasien


dengan setabilitas trunk, trapis melakukan pasif maksimal adduksi harizontal
pada shoulder pasien.

 Jika nyeri pada bahu bagian atas, maka indikasi terjadi gangguan pada
sendi akromeoclavikular.

 Jika nyeri pada bahu bagian depan, maka indikasi terjadi gangguan pada
otot subscapularis,suprasipinatus, atau bisep.

 Jika nyeri pada bahu bagian belakang, maka indikasi terjadi gangguan
pada otot infraspinatus, teres minor, atau ganguan pada scapula dan sendi
glenohumeral.
5. Yergason Test

Posisi pasien duduk dengan fleksi elbow 90⁰ dan supinasi.


Dibantu oleh terapis, pasien melakukan gerakan aktif resisted supinasi di ikuti
eksternal rotasi humeri. Jika terjadi nyeri pada grup otot bisep, maka indikasi
terjadi tendinitis bicipitalis.

6. Speed’s Manuever

Posisi pasien duduk dengan fleksi sholder 90⁰, full ekstensi


elbow,dan supinasi. Dibantu oleh terapis, pasien melakukan gerakan aktif
resited fleksi shoulder. Jika terjadi nyeri pada grup otot bicep, maka indikasi
terjadi tendinitis bicepitalis.

7. Clunk Sign

Posisi pasien tidur terlentang. Terapis melakukan pasif abduksi


dan eksternal rotasi lengan atas pasien dan memberikan dorongan caput
humeri kearah anterior. Positif bila terjadi sensasi “clik”, kemungkinan terjadi
robekan pada perlekatan glenohumeral joint.

8. Apley’s Scratch Test

Posisi pasien duduk. Terapis berada disisi pasien.

 Pasien disuruh mengangkat tangan dan meletakkannya pada pundak yang


berlawanan. Lakukan pula pada tangan yang lainnya secara bergantian.
Positif bila terjadi asimetri tinggi bahu. Indikasi terjadinya keterbatasan
gerak fungsi pada adduksi glenohumeral, internal rotasi, dan fleksi
horizontal.

 Pasien disuruh mengangkat tangan dan menaruhnya pada belakang


kepala, antara leher dan pundak. Lakukan pula pada lengan yang lainnya
secara bergantian. Positif bila terjadi asimetri tinggi bahu. Indikasi
terjadinya keterbatasan gerak fungsi pada abduksi glenohumeral,
eksternal rotasi, dan elevasi scapula.
 Pasien disuruh menggenggam jari-jari tangannya dan mengacungkan
jempol kemudian menaruhnya pada belakang punggungnya. Kemudian
perintahkan pasien untuk menggeser posisi lengannya keatas dan
kebawah. Lakukan pula pada lengan yang lainya secara bergantian. Positif
bila terjadi asimetri tinggi bahu. Indikasi terjadinya keterbatasan gerak
fungsi pada adduksi glenohumeral, internal rotasi, dan retraksi scapula.

9. Sulcus Sign

Posisi pasien duduk. Dengan stabilitas pada scapula, terapis


memberikan tekanan pada distal lengan kearah inferior. Dengan stabilitas
pada scapula, terapis memberikan tekanan kearah inferior pada distal humeri.
Tes ini dilakukan untuk mengetahui adanya kelemahan otot daerah
glenohumeral.

Elbow Test:

10. Tennis Elbow

Posisi pasien fleksi siku 90⁰ dalam keadaan pronasi. Pasien


diminta untuk menggerakkan lengannya kearah supinasi. Positif jika terjadi
nyeri pada epicondilus lateralis.

11. Golf Elbow

Posisi pasien fleksi siku 90⁰ dalam keadaan supinasi. Pasien


diminta untuk menggerakkan lengannya kearah pronasi. Positif jika terjadi
nyeri pada epicondilus medialis.

12. Varus Stress Test

Posisi pasien fleksi siku 20-30⁰. Stabilitasi terapis pada distal


humeri dan pergelangan tangan. Terapis melakukan gerakan varus pada
lengan pasien. Positif jika terjadi nyeri pada ligamentum collateral lateral.
13. Valgus Stress Test

Posisi pasien fleksi siku 20-30⁰. Stabilitasi terapis pada distal


humeri dan pergelangan tangan. Terapis melakukan gerakan valgus pada
lengan pasien. Positif jika terjadi nyeri pada ligamentum collateral medial.

14. Tinnel Sign

Posisi pasien fleksi siku. Terapis menstabilitasi pada pergelangan


tangan. Kemudian terapis memberikan ketukan pada n. ulnaris (yaitu diantara
olekranon dan epicondylus medial). Positif jika terjadi nyeri seperti rasa
kesemutan disepanjang daerah yang di inervasi oleh n. ulnaris.

Wrist and Hand Test:

15. Compression Test

Posisi pasien duduk dengan ekstensi jari-jari tangan. Dengan


stabilitasi pada interphalange, terapis melakukan pasif ekstensi jari pasien dan
memberikan tekanan pada ujung interphalange distal. Tes ini dilakukan untuk
mengetahui adanya fraktur jari-jari.

16. Finkelstein Test

Posisi pasien menggenggam thumb, terapis menggerakkan


pergelangan tangan kearah ulnar deviasi. Tes ini dilakukan untuk mengetahui
adanya gangguan pada otot abduktor pilicis longus dan abduktor policis
brevis. Nyeri pada otot-otot tersebut mengindikasikan adanya dequervain’s
syndrome.

17. Long Finger Flexion Test

Posisi pasien duduk. Terapis memfleksikan interphalange distal


dan stabilitasi pada metakarpal.
 Jika pasien tidak mampu melakukan fleksi interphalange proksimal, maka
kemungkinan terjadi gangguan pada otot ekstensor digitorum
superfisialis.

 Jika pasien tidak mampu melakukan fleksi interphalange distal, maka


kemungkinan terjadi gangguan pada otot ekstensor digitorum profundus.

18. Phallen Test

Bagian dorsal kedua tangan pasienbersentuhan dan kedua wrist


joint full palmar fleksi. Terapis perintahkan pasien untuk bertahan dalam
posisi tersebut selama 1 menit. Positif apabila terjadi rasa kesemutan pada
distribusi n. medianus. Tes ini juga dilakukan untuk mengetahui indikasi
terjadinya CTS (Carpal Tunnel Syndrome)

19. Reserve Phallen Test

Kedua telapak tangan pasien bersentuhan dan kedua wrist joint


full dorsal fleksi. Terapis perintahkan pasien untuk bertahan dalam posisi
tersebut selama 1 menit. Positif apabila terjadi rasa kesemutan pada distribusi
n. medianus. Tes ini juga dilakukan untuk mengetahui indikasi terjadinya
CTS (Carpal Tunnel Syndrome)

20. Tinnel Sign

Posisi pasien duduk rileks dengan lengan supinasi. Terapis


memberikan ketukan pada terowongan carpal pada lengan pasien. Positif
apabila terjadi rasa kesemutan pada distribusi n. medianus. Tes ini juga
dilakukan untuk mengetahui indikasi terjadinya CTS (Carpal Tunnel
Syndrome)

21. Wrinkle Test

Terapis mempersiapkan segelas air hangat dan air dingin pada


pasien. Perintahkan pasien untuk mencelupkan jarinya satu per satu kedalam
gelas tersebut secara bergantian. Positif apabila pasien tidak dapat
membedakan suhu air tersebut. Indikasi terjadi degenaratif pada saraf.

Hip Test:

22. Tes Trendelenburg

Tes ini untuk mengevaluasi kekuatan m. gluteus medius. Terapis


berdiri dibelakang pasien dan observasi kekakuan kecil diatas SIPS.
Normalnya, saat pasien menumpu berat badan kedua kaki seimbang, lekukan
kecil itu nampak sejajar. Kemudian mintalah pasien untuk berdiri satu kaki.
Jika dia dapat tegak, m. gluteus medius pada tungkai yang menyangga
berkontraksi saat tungkai terangkat. Akan terlihat garis pantat turun pada kaki
yang diangkat pada kelemahan pada m. gluteus minimus.

23. Tes OBER (untuk kontraksi iliotibial band)

Pasien tidur miring, terapis abduksikan kaki pasien sejauh


mungkin dan fleksikan knee 90ᴼ sambil memegang hip joint pada posisi
netral untuk merileksasikan traktus iliotibial. Kemudian lepaskan tungkai
yang diabduksikan tadi, jika traktus iliotibial normal, maka paha akan tetap
berposisi saat tungkai dibebaskan.

24. Tes Gapping Anterior

Pasien berbaring terlentang dan tangan pemeriksa bersilangan di


SIAS. Setelah itu lakukan kompresi. Jika hasilnya positif atau terjadi nyeri
maka terjadi kelainan pada sacro iliaca joint atau lig. Anterior Sacroiliaca
Joint.

25. Tes Gapping Posterior

Pasien tidur miring dan tangan pemeriksa berada region pelvis.


Setelah itu lakukan kompresi. Jika hasilnya positif maka terjadi kelainan
sacro iliaca joint atau Ligamen. posterior sacroiliaca joint.
26. Tes Patrick (Fabere Test)

Pasien tidur terlentang dan calcaneus menyentuh patella dan


tangan pemeriksa berada di SIAS dan bagian medial dari knee. Setelah itu
lakukan kompresi, apabila terjadi nyeri maka ada kelainan di group adductor
atau Lig. anterior hip, atau ligament Anterior Sacroiliaca Joint.

27. Tes Anti Patrick

Pasien tidur terlentang dan kaki internal rotasi. Tangan pemeriksa


memegang pergelangan kaki dan bagian lateral dari knee. Setelah itu lakukan
penekanan. Apabila terjadi nyeri maka terjadi kelainan pada Lig. Posterior
Sacroiliaca Joint.

28. Straight Leg Raising (SLR)

Tes ini dapat dikombinasi dengan fleksi leher atau fleksi dorsal
dari kaki. Apabila positif maka terjadi pengedangan pada n. ischiadicus yang
mengakibatkan nyeri kejut yang amat sangat, maka kemungkinan besar
bahwa ada rangsangan dari satu akar atau lebih dari L4 sampai S2. Tes ini
juga dilakukan untuk mengetahui adanya indikasi HNP (Hernia Nukleus
Pulposus).

29. True Leg Length Discrepamcy

Tujuan: untuk mengetahui panjang tungkai.

Posisi pasien supine lying posisi pelvic diseimbangkan dengan


anggota gerak bawah atau SIAS searah pada satu garis lurus dan segaris
dengan anggota gerak bawah. Tungkai lurus dengan jarak 15-20 cm dari satu
sama lain (jarak antara kaki).

Letakkan tungkai pasien pada posisi yang tepat dan pastikan jarak
dari SIAS ke Malleolus Medialis dari Ankle (merupakan titik penentu).
Perbedaan 1-1,5 cm dikategorikan normal walaupun dapat menyebabkan
gejala.
30. Prone Knee Bending Test

Posisi pasien tengkurap, terapis memfleksikan knee pasien


sedapat mungkin dan memastikan hip pasien tidak rotasi. Jika terapis tidak
dapat memfleksikan knee 90⁰ derajat karena ada kondisi patologis, maka tes
ini dapat juga dilakukan dengan pasif ekstensi hip dengan knee fleksi sedapat
mungkin. Nyeri unilateral di daerah lumbal mungkin indikasi cedera akar
saraf L2 atau L3. Sedangkan nyeri di bagian depan paha indikasi
m.quadriseps tegang. Tes ini juga mengulur n. femoralis. Posisi knee fleksi ini
dipertahankan antara 45-60 detik.

31. Tanda Bruzinki I (Brudzinski’s “Neck” Sign)

Pasien terlentang letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala


dan tangan lainnya diletakkan di atas dada pasien, lalu fleksikan kepala
pasien dengan cepat semaksimal mungkin. Positif jika pada saat kepala pasien
difleksikan timbul pula fleksi involunter pada kedua tungkai dan rasa tidak
enak atau nyeri pada bagian leher dan punggung bawah.

32. Tanda Brudzinski II

Pasien terlentang fleksikan hip dan knee pasien. Jika pada saat
gerakan tersebut dilakukan tungkai yang kontralateral ikut flesi secara
involunter, maka positif. Apabila gerakan tersebut tidak terjadi, tungkai yang
ipsilateral diekstensikan dan positif jika saat ekstensi tungkai yang
kontralateral ikut fleksi secara involunter.
Knee Test:

33. Hiperekstensi

Posisi pasien tidur terlentang. Terapis memberikan tambahan


gerak ekstensi pada knee pasien. Tes ini dilakukan untuk mengetahui adanya
ruptur pada ligamentum crusiatum anterior.

34. Gravity Sign

Posisi pasien tidur terlentang dan kedua kakinya diangkat


sehingga lutut dan pangkal pahanya membuat sudut 90⁰. Tahan posisi tersebut
beberapa saat. Terapis memperhatikan letak tuberositas tibia. Apabila salah
satu tuberositas tibia letaknya lebih rendah, maka kemungkinan terjadi
adanya ruptur pada ligamentum crusiatum posterior.

35. Laci Sorong Anterior

Posisi pasien tidur terlentang, dengan fleksi hip 45⁰ dan fleksi
knee 90⁰. Posisi terapis duduk diatas kaki pasien dan kedua tangan terapis
berpegangan pada proksimal tibia, kemudian berikan tekanan pada bagian
anterior dari proksimal tibia. Positif apabila terjadi kerusakan pada
ligamentum crusiatum anterior.

36. Laci Sorong Posterior

Posisi pasien tidur terlentang, dengan fleksi hip 45⁰ dan fleksi
knee 90⁰. Posisi terapis duduk diats kaki pasien dan kedua tangan terapis
berpagangan pada proksimal tibia, kemudian berikan tekanan pada bagian
posterior dari proksimal tibia. Positif apabila terjadi kerusakan pada
ligamentum crusiatum posterior.
37. Lachman Test

Posisi pasien tidur terlentang, dengan fleksi knee 20⁰. Posisi


terapis berdiri di depan pasien dan kedua tangan terapis berpegangan pada
tuberositas tibia. Lakukan gerakan seperti pada tes laci sorong anterior. Positif
apabila terjadi ruptur pada ligamentum crusiatum anterior.

38. Pivotshift Test

Kaki diangkat dalam keadaan lurus dan diendorotasikan


sepenuhnya (baik di dalam pangkal paha maupun di dalam lutut). Apa bila
ada ruptur ligamentum crusiatum anterior, maka akan terjadi endorotasi tibia
yang bertambah. Selanjutnya lutut pelan-pelan di tekuk. Pada posisi felksi 30-
40⁰ dengan mendadak tibia akan kembali kedalam posisi normal (ini
kelihatanya eksorotasi). Tractus iliotibialis pada lutut dalam keadan lurus
letaknya berada di depan poros dari fleksi dan ekstensi. Semakain jauh lutut
ditekuk, tractus ini akan berpindah tempat di belakang poros gerak tersebut
lalu tibia tertarik kembali kedalam posisi yang benar.

39. Varus

Pasien tidur terlentang, dan terapis memegang kaki pasien. Satu


tangan terapis memobilisasi kaki pasien (di sendi lutut) dan tangan yang
satunya berpegangan pada ankle. Kemudian lakuakan gerakan varus. Tes ini
dilakukan untuk mengetahui adanya ruptur pada ligamentum collateral lateral.

40. Valgus

Pasien tidur terlentang, dan terapis memegang kaki pasien. Satu


tangan terapis memobilisasi kaki pasien (di sendi lutut) dan tangan yang
satunya berpegangan pada ankle. Kemudian lakuakan gerakan valgus. Tes ini
dilakukan untuk mengetahui adanya ruptur pada ligamentum collateral
medial.
Synovial Test:

41. Tes Ballotement (menggoyang-goyangkan objek di dalam cairan)

Caranya: recessus suprapatellaris dikosongkan dengan


menekannya dengan satu tangan, sementara itu dengan jari tangan lainnya
patella ditekan ke bawah. Dalam keadaan normal patella tidak dapat ditekan
ke bawah, tapi bila terdapat (banyak) cairan pada sendi lutut (akibat OA)
maka patella seperti terangkat shgsedikit ada gerakan ke atas-bawah dan
kadang terasa seolah-olah patella “mengetik” pada dasar keras itu.

42. Tes Fluktuasi

Caranya: ibu jari dan jari telunjuk dari satu tangan diletakkan di
sebelah kiri dan kanan patella. Bila kemudian recessus suprapatellaris itu
dikosongkan menggunakan tangan lainnya, maka ibu jari dan jari telunjuk
tadi seolah-olah terdorong oleh perpindahan cairan dalam sendi lutut.

43. Tes Lekuk

Caranya: dengan memakai punggung tangan, kita mengusapi


“lekuk kecil” di sebelah medial patella ke arah proximal, sehingga
dikosongkan dari cairannya. Kalau kemudian kita melaksanakan gerakan
mengusap yang sama pada patella bagian lateral, maka lekuk kecil yang
medial itu akan kelihatan terisi cairan.

Ankle and Foot:

44. Laci Sorong

Posisi pasien duduk dengan fleksi lutut 900 dan gastrocnemius


dalam keadaan rileks. Dengan stabilitasi pada distal tibia dan fibula, terapis
memberikan dorongan pada calcaneus dan tallus kearah anterior. Positif
apabila terjadi sprain pada ligament talofibular.

45. Eversi Test

Posisi pasien tidur miring, fleksi knee 90⁰ pada tungkai yang akan
diperiksa. Terapis menstabilitasi distal tibia dan satu tangan yang lain
berpegangan pada talus. Terapis memposisikan kaki pasien pada posisi netral,
kemudian mengabduksikannya. Positif apabila terjadi keterbatasan LGS pada
ankle.

46. Inversi Test

Posisi pasien tidur miring, fleksi knee 90⁰ pada tungkai yang akan
diperiksa. Terapis menstabilitasi distal tibia dan satu tangan yang lain
berpegangan pada talus. Terapis memposisikan kaki pasien pada posisi netral,
kemudian mengadduksikannya. Positif apabila terjadi keterbatasan LGS pada
ankle.

47. Anterior Drawer Test

Posisi pasien tidur tengkurap. Satu tangan terapis menstabilitasi


pada distal tibia-fibula dan satu tangan lainnya memegang kalkaneus pasien.
Kemudian terapis memberikan tekanan pada calcaneus dan talus kearah
anterior. Tes ini dilakukan untuk mengetahui adanya sprain pada ligamentum
talofibular anterior.

48. Kleiger Test

Posisi pasien duduk dengan tungkai menggantung. Satu tangan


terapis menstabilitasi pada distal tibia-fibula dan satu tangan lainnya
memegang calcaneus dari telapak kaki. Kemudian terapis melakukan gerakan
kearah eksternal rotasi. Ulangi tes tersebut pada posisi kaki dorsal fleksi.

Jika terjadi nyeri pada saat dilakukan gerakan eksternal rotasi,


maka indikasi terjadinya deltoid ligament injury. Jika terjadi nyeri pada saat
dilakukan gerakan dorsi fleksi dan eksternal rotasi, maka indikasi terjadinya
syndesmotic involvement pada distal talofibular.

49. Tinnel Test

Posisi pasien tidur terlentang. Terapis memberikan ketukan pada


distribusi n. tibialis. Jika terjadi rasa kesemutan pada distribusi n. medianus,
maka indikasi terjadinya Tarsal Tunnel Syndrome.

50. Neuroma Test

Posisi pasien tidur terlentang. Stabilitasi pada distal tibia-fibula.


Terapis menggenggamujung proksimal metatarsal, dan bertahan pada posisi
tersebut selama 1menit. Positif apabila terjadi nyeri dan rasa kesemutan pada
kaki dan jari-jari kaki.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.aafp.org/afp/20000515/3079.html

http://kesehatan.kompasiana.com/group/medis/2010/01/19/pemeriksaan-spesifik-
fisioterapi-pada-hiplumbal-dan-sacro-iliac-joint/

http://artikelfisioterapi.blogspot.com/2010/04/pemeriksaan-fisik-pada-regio-
ankle.html

http://www.fisioska.co.cc/2008/07/oteoarthritis-oa-lutut.html

http://at.uwa.edu/Special%20Tests/SpecialTests/LowerBody/ankle.htm

http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|
id&u=http://www.anatomy.tv/StudyGuides/StudyGuide.aspx%3Fguideid
%3D9%26NextID%3D0%26customer

De Wolf, A.N. Mens, J.M.A (1994). Pemeriksaan Alat Penggerak


Tubuh.

Special Test for Orthopedic Examination

Anda mungkin juga menyukai