Anda di halaman 1dari 26

HALAMAN PERSEMBAHAN

LEMBAR PENGESAHAN

Disusun sebagai laporan kuliah lapangan Prinsip Stratigrafi semester III tahun ajaran 2016/2017.
Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Islam Riau.
Nama Praktikan : AFDAL ZIKRI
NPM : 153610501
Plug :3

Nilai Laporan:

Disahkan oleh :

DOSEN PENGAMPUH ASSISTEN PRINSIP STRATIGRAFI

Budi Prayitno.ST.MT. (Staff Asisten Prinsip Stratigrafi)

LABORATORIUM GEOLOGI PRINSIP STRATIGRAFI


PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2016
Kata Pengantar

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala anugerah yang tidak pernah putus dan nikmat yang
Allah berikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kuliah lapangan prinsip stratigrafi.

Laporan ini dibuat untuk memenuhi syarat mengikuti praktikum Geologi citra dan
Penginderaan Jauh, dimana praktikum ini menjadi salah stau syarat untuk

Penulis sadar bahwa masih ada banyak kekurangan dan kekeliruan dalam laporan praktikum
ini, untuk itu penulis memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
laoran praktikum ini.

Akhir kata semoga laporan praktikum ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk
dipahami bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa khususnya serta dapat
dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.
Daftar Isi

Halaman Persembahan .............................................................................................................


Halaman Pengesahan ...............................................................................................................
Kata Pengantar .........................................................................................................................
Daftar Isi ..................................................................................................................................
Daftar Gambar .........................................................................................................................
Daftar Tabel .............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................
1.1.Dasar Teori ...................................................................................................................
1.2.Metode .........................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................
BAB III PENUTUP .................................................................................................................
3.1.Kesimpulan ...................................................................................................................
3.2.Saran ............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

1.1.Dasar Teori
Geologi regional sawah lunto

Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Sumatera Tengah
dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran Aluvial Pantai Timur, Cekungan Tersier Sumatera
Tengah, Zona Depresi Tengah dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan atau
Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran Aluvial Pantai Barat.

Sebagai perkembangan lebih lanjut dari pembagian Tobler (1922), van Bemmelen (1949) membagi
fisiografi daerah Sumatera Tengah, yaitu Zona Pegunungan Tiga Puluh, Zona Sesar Semangko, Zona
Pegunungan Bukit Barisan, Zona Dataran Rendah dan Zona Dataran Bergelombang (Gambar 2.2)

Gambar 2.1. Peta Zona Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949).

Stratigrafi Regional
Secara stratigrafi, berdasarkan dari resume para peneliti terdahulu (Koesoemadinata dan
Matasak, 1981, Koning, 1985, Situmorang, dkk., 1991, Yarmanto dan Fletcher, 1993, Barber,
dkk., 2005) cekungan Ombilin memiliki batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias)
hingga batuan berumur Kuarter (Gambar 2) dengan deskripsi dari tiap-tiap formasi yang
ditulis oleh para peneliti terdahulu yang ditunjukkan pada (Gambar 3).

Gambar 2.2. Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata dan


Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk.(1991), Yarmanto dan Fletcher (1993),
Barber, dkk. (2005).
Gambar 2.3. Deskripsi dari tiap formasi kompilasi dari Koesomadinata dan Matasak (1981),
Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991).

Untuk mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tata nama satuan
litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh Koesomadinata dan Matasak (1981), yang dijelaskan
dari tua ke muda sebagai berikut.

A. Batuan Pra-Tersier
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), batuan Pra-Tersier merupakan batuan
yang mendasari cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di bagian barat dan timur dari
cekungan.

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan terdiri dari:

1. Formasi Silungkang
Terdiri dari litologi batuan vulkanik batugamping koral. Batuan vulkanik terdiri dari
lava andesitik, basaltik serta tufa. Umur formasi ini adalah Permo- Karbon berdasarkan
kandungan fosil Fusulinida pada batu gamping.
2. Formasi Tuhur
Terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota batugamping. Umur
formasi ini adalah Trias.

Seluruh batuan ini kemudian diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200 juta tahun yang
lalu (Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian timur cekungan terdiri dari:

1. Formasi Kuantan terdiri dari litologi batugamping Oolit yang mengalami rekristalisasi,
marmer, batusabak, filit serta kuarsit yang berkembang secara lokal.Umur dari formasi
ini adalah Trias (Kastowo dan Silitonga,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak,
1981)

Formasi Kuantan di intrusi oleh granit masif dari Formasi Sumpur (Musper, 1930 dalam
Koesoemadinata dan Matasak, 1981) yang berumur 200 juta tahun yang lalu
(Obradovich,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).

B. Batuan Tersier
Batuan Tersier cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi enam formasi menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981), sebagai berikut.
1. Formasi Brani
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari
konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal, dengan
beraneka ragam jenis fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan argilit,
granit, kuarsit, “arkosic gritsand― yang berbutir kasar, massif dan umumnya tidak
berlapis. Umur formasi ini berdasarkan hubungan yang menjemari dengan Formasi
Sangkarewang diduga Paleosen hingga Eosen. Formasi Brani diperkirakan diendapkan
sebagai endapan kipas aluvial.

2. Formasi Sangkarewang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri dari
serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis, gampingan
mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki
sisipan berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m,
terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam,
matriks lempung terpilah buruk mengandung mika dan material karbon dan terdapatnya
struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas.
Berdasarkan analisa polen umur dari formasi ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-
Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal
(Koning, 1985), berumur Eosen Atas (Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991),
berumur Paleosen-Eosen (Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen- Eosen Awal
(Yarmanto dan Fletcher, 1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989,
Howells, 1997 dalam Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981)
berdasarkan hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang
berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen sampai
Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi
Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.

3. Formasi Sawahlunto
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari sekuen serpih
berwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa
berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan dengan hadirnya batubara. Serpih umumnya
karbonan. Batupasir memiliki ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki struktur sedimen
berlapis silang- siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang menunjukkan suatu
sekuen point bar. Batubara umumnya berselingan dengan batulanau berwarna kelabu
dan lempung karbonan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini berumur
Eosen berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen,
sedangkan menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) dan Bartman
dalam Yarmanto dan Fletcher (1993) berdasarkan analisa polen, umur formasi ini
diperkirakan Oligosen hingga Miosen Awal.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), hadirnya serpih karbonan, batubara,
khususnya batupasir yang bertipe point bar menunjukkan lingkungan pengendapan dari
formasi ini merupakan suatu dataran banjir dengan sungai yang berkelok dimana
batubara terdepositkan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto terletak selaras
di atas Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras dengan Formasi
Sangkarewang dan juga diperkirakan menjemari dengan Formasi Sangkarewang di
beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk (1981) dalam Koning (1985) proses
pengangkatan dan erosi yang berhubungan dengan tektonik sesar mendatar terjadi pada
saat pengendapan Formasi Sawahlunto. Proses hiatus ini menurut Koning (1985)
ditemukan tersingkap di beberapa tempat dan sebagai bukti adanya ketidakselarasan
bersudut pada beberapa hasil seismik pada pinggir cekungan. Menurut Koesomadinata
dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto memiliki ketebalan 274 meter. Sedangkan,
menurut Koning (1985) berdasarkan sumur bor, tebal formasi ini 170 meter.

4. Formasi Sawah Tambang


Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh sekuen
massif yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau
berkembang secara setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat,
berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar konglomeratan dengan fragmen
kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras dan masif.
Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan
dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh
kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan paralel laminasi dengan sekuen yang
menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan terdapat lensa-lensa batupasir yang
bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala besar dan memiliki bentuk
gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian bawah Formasi
Sawahtambang, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang
membentuk unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada bagian atas
formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan batulempung dengan kandungan laminasi
batubara yang terjadi secara setempat, membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di atas
Formasi Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan Formasi Sawahlunto
di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981) dalam Koning (1985) berdasarkan
pemetaan lapangan yang telah dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara
Formasi Sawahtambang dengan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan
ketidakselarasan bersudut. Sedangkan, menurut Situmorang, dkk (1991) secara
keseluruhan antara Formasi Sawahlunto dan Formasi Sawahtambang memiliki
hubungan menjari berdasarkan lingkungan pengendapan dari kedua formasi tersebut
yang merupakan sistem sungai, yang mana Formasi Sawahtambang memiliki
lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian fasies proksimal yang berubah
secara lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan sungai berkelok dari
Formasi Sawahlunto.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini berdasarkan
posisi stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang selaras di atas Formasi
Sawahlunto diperkirakan berumur Oligosen. Menurut Himawan (1991) dalam
Situmorang, dkk. (1991) berdasarkan analisa polen formasi ini juga menunjukan
berumur Oligosen.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk. (1991), formasi
ini diendapkan pada lingkungan sistem sungai teranyam.eMenurut Whateley dan Jordan
(1989) dan Howells (1997) dalam Barber, dkk. (2005) sumber sedimen dari Formasi
Sawahtambang ini berasal dari barat cekungan Ombilin. Menurut Barber, dkk. (2005)
proses pengendapan dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan pengangkatan
dari Bukit Barisan.Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi
Sawahtambang memiliki ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan
menunjukan terjadinya penebalan dari utara cekungan ke arah selatan. Sedangkan,
menurut (Koning, 1985) berdasarkan sumur bor tebal formasi ini 1420 meter.

5. Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari serpih
atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi
berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam sekuen ini
adalah lapisan-lapisan batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna
kelabu kehijauan, secara umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada
bagian bawah dari formasi ini terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa
batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas sisipan lapisan batupasir
tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung glaukonit dan fosil
moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal dari formasi ini
mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut. Umur dari formasi ini
diperkirakan berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan Matasak, 1981, Humpreys,
dkk., 1991 dalam Situmorang, dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil
bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada
lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber, dkk.
(2005) Formasi Ombilin terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari batupasir
halus, batulanau dan batulempung yang sering kali karbonatan dengan batugamping
secara setempat memiliki ketebalan 50 meter sampai 100 meter yang termasuk ke dalam
lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir halus dengan fragmen dari batubara
dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai. Proses pengendapan Formasi
Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat adanya proses transgressi yang terjadi
pada cekungan Ombilin yang berhubungan dengan fase transgressi pada cekungan busur
belakang Sumatra (Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak selaras di
atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa tempat.
Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi Sawahtambang. Menurut
Koning (1985) antara Formasi Ombilin dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan
tidak selaras berdasarkan reflektansi vitrinit terhadap kedalaman pada sumur bor di
subcekungan Sinamar yang mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang
telah tererosi.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki ketebalan
antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data seismik, tebal
formasi ini 2740 meter.

6. Formasi Ranau
Menurut van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin,
didapatkan formasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau. Tufa ini dianggap
menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen (Koesomadinata dan Matasak, 1981),
sedangkan menurut Bellon, dkk. (2004) dalam Barber, dkk. 2005 umur dari formasi ini
diperkirakan antara 5,5 hingga 2,4 juta tahun yang lalu (Pliosen).
Adanya perbedaan urutan litostratigrafi terhadap umur dari tiap peneliti-peneliti
sebelumnya (Gambar .2), diakibatkan oleh sukarnya penentuan umur yang tepat dari
tiap formasi pada cekungan Ombilin bagian bawah yang berupa endapan darat.
Penentuan umur yang memiliki rentang umum dari endapan-endapan darat tersebut,
dibatasi oleh endapan berlingkungan laut Formasi Ombilin yang terdapat foraminifera
dari Miosen Awal, yang memberikan batas umur paling muda untuk formasi-formasi
yang lebih tua (Gambar 4).
Proses penambangan batubara pada saat ini terletak di bagian barat cekungan
ombilin dan terdapat pada formasi sawahlunto yang terdiri dari batu lempung ( clay
stone ), batu pasir ( sand stone ), dan batu Lanau ( silkstone ) dengan sisipan batubara.
Formasi sawahlunto ini terletak pada dua jalur yang terpisah yaitu jalur yang menjurus
dari Sawahlunto sampai ke Sawahrasau dan dari Tanah Hitam terus ke timur dan
kemudian kea rah utara yang disebut Parambahan.

Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan Sistem Sesar
Sumatera yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa oleh sesar yang lebih muda
oleh sistem sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)
Menurut Situmorang, dkk.(1991) keseluruhan geometri cekungan Ombilin memanjang
dengan arah umum barat laut–tenggara, dibatasi oleh sesar berarah barat laut-tenggara
Sitangkai di utara dan sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih paralel
terhadap Sistem Sesar Sumatra (Gambar 5).
Gambar 2.4. Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatera Barat (Situmorang, dkk.,
1991).

Menurut Situmorang, dkk. (1991) secara umum, cekungan Ombilin dibentuk oleh dua
terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-
selatan.
Menurut Situmorang, dkk.(1991) secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal
pada cekungan Ombilin.

1. Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari sistem sesar
Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar Sitangkai dan Sesar Tigojangko.
Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi sesar Takung. Bagian selatan dari
cekungan dibatasi oleh Sesar Silungkang.
2. Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada timur laut dari
cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga (step-like fault), dari utara ke
selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari
sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari pembentukan
cekungan dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
3. Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan komponen
dominan dip-slip.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) pola struktur keseluruhan dari cekungan Ombilin


menunjukkan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk di antara offset lepasan
dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-tenggara yang mana sistem
sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar yang berarah baratlaut-
tenggara.
Menurut Situmorang, dkk.(1991) adanya fase ekstensional dan kompresional yang
ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena umum untuk cekungan
Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami pergantian fase
ekstensional pada satu sisi yang diikuti oleh pemendekkan pada sisi yang lain.
Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang bekerja pada
Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada Cekungan Ombilin (Gambar 2.7
dan Gambar 2.8). Lima fase tektonik yang terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti,
dkk. (2001), yaitu:
 Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase tektonik ekstensif
bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berarah baratlaut-tenggara yang
merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin. Bersamaan dengan membukanya
cekungan, terbentuk endapan kipas aluvium Formasi Brani menempati lereng-lereng
tinggian batuan dasar dan terbentuk endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian
tengah cekungan.
 Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase kompresif dengan
terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase kompresif dibeberapa tempat
terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan penurunan dasar cekungan yang cepat dan
diimbangi pula oleh pengendapan sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsoran-
pelongsoran endapan aluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke
dalam endapan rawa Formasi Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan
menjari- jemari.
 Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini mengakibatkan proses
pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi Sawahlunto. Di
beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan terbentuknya endapan
batubara di daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini terjadi pengaktifan kembali
sesar- sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor berupa sesar naik yang terjadi
bersamaan dengan pengendapan Formasi Sawahlunto.
 Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah relatif utara-selatan.
Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara yang
terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik dan sesar mendatar. Bersamaan
dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif (F6swte) berarah relatif baratlaut-
tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat terjadi genangan rawa dan penumpukan
sedimen yang membentuk endapan tipis batubara.
 Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F7omben) yang berarah relatif utara-
selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar
berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung
Ampalu berarah utara-selatan yang kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada
Miosen Akhir terjadi fase kompresif (F7ombek) berarah relatif barat-timur yang
menghasilkan sesar- sesar berarah timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk
awal aktif kembali.
Gambar 2.5. Tektonikstratigrafi cekungan Ombilin menurut penjelasan Hastuti, dkk.(2001).

Gambar 2.6. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatera Barat menurut
Hastuti, dkk. (2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen (C) Miosen Awal (D) Plio-
Pleistosen.
2.1.1. Formasi Tuhur
Terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota batugamping. Umur formasi
ini adalah Trias.Seluruh batuan ini kemudian diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200
juta tahun yang lalu (Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
2.1.2. Formasi Berani
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari konglomerat
berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal, dengan beraneka ragam jenis
fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan argilit, granit, kuarsit, yang berbutir
kasar, massif dan umumnya tidak berlapis. Umur formasi ini berdasarkan hubungan yang
menjemari dengan Formasi Sangkarewang diduga Paleosen hingga Eosen. Formasi Brani
diperkirakan diendapkan sebagai endapan kipas aluvial.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh sekuen massif
yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang secara
setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat
kasar, sebagian besar konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah
sangat buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi Sawahtambang
terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang
erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan
paralel laminasi dengan sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan
terdapat lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala
besar dan memiliki bentuk gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian
bawah Formasi Sawahtambang, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih
lanauan yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada
bagian atas formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan batulempung dengan kandungan
laminasi batubara yang terjadi secara setempat, membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di atas
Formasi Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan Formasi Sawahlunto di
beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981) dalam Koning (1985) berdasarkan
pemetaan lapangan yang telah dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi
Sawahtambang dengan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut.
Sedangkan, menurut Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara Formasi Sawahlunto
dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan menjari berdasarkan lingkungan
pengendapan dari kedua formasi tersebut yang merupakan sistem sungai, yang mana
Formasi Sawahtambang memiliki lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian
fasies proksimal yang berubah secara lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan
sungai berkelok dari Formasi Sawahlunto.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini berdasarkan posisi
stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang selaras di atas Formasi Sawahlunto
diperkirakan berumur Oligosen. Menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991)
berdasarkan analisa polen formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen.
2.1.3. Formasi SawahTambang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini dicirikan oleh sekuen massif
yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang secara
setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat
kasar, sebagian besar konglomeratan dengan fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah
sangat buruk, menyudut tanggung, keras dan masif. Ciri sekuen Formasi Sawahtambang
terdiri dari siklus- siklus atau seri pengendapan dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang
erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan
paralel laminasi dengan sekuen yang menghalus keatas. Pada batupasir konglomeratan
terdapat lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur. Struktur silang siur umumnya berskala
besar dan memiliki bentuk gelombang (trough crossbedded). Secara setempat, pada bagian
bawah Formasi Sawahtambang, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih
lanauan yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai Anggota Rasau. Sedangkan, pada
bagian atas formasi ini dengan sisipan lapisan- lapisan batulempung dengan kandungan
laminasi batubara yang terjadi secara setempat, membentuk unit sendiri, yaitu Anggota Poro.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terletak selaras di atas
Formasi Brani dan memiliki hubungan selaras dan menjari dengan Formasi Sawahlunto di
beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk. (1981) dalam Koning (1985) berdasarkan
pemetaan lapangan yang telah dilakukan oleh Cameron, dkk. menunjukkan antara Formasi
Sawahtambang dengan Formasi Sawahlunto memiliki hubungan ketidakselarasan bersudut.
Sedangkan, menurut Situmorang, dkk (1991) secara keseluruhan antara Formasi Sawahlunto
dan Formasi Sawahtambang memiliki hubungan menjari berdasarkan lingkungan
pengendapan dari kedua formasi tersebut yang merupakan sistem sungai, yang mana
Formasi Sawahtambang memiliki lingkungan pengendapan sungai teranyam pada bagian
fasies proksimal yang berubah secara lateral menjadi fasies distal yang membentuk endapan
sungai berkelok dari Formasi Sawahlunto.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) umur dari formasi ini berdasarkan posisi
stratigrafi di bawah Formasi Ombilin dan hubungan yang selaras di atas Formasi Sawahlunto
diperkirakan berumur Oligosen. Menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991)
berdasarkan analisa polen formasi ini juga menunjukan berumur Oligosen.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) dan Situmorang, dkk. (1991), formasi ini
diendapkan pada lingkungan sistem sungai teranyam.eMenurut Whateley dan Jordan (1989)
dan Howells (1997) dalam Barber, dkk. (2005) sumber sedimen dari Formasi Sawahtambang
ini berasal dari barat cekungan Ombilin. Menurut Barber, dkk. (2005) proses pengendapan
dari Formasi Sawahtambang ini bersamaan dengan pengangkatan dari Bukit
Barisan.Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahtambang memiliki
ketebalan antara 625 meter sampai 825 meter, dan menunjukan terjadinya penebalan dari
utara cekungan ke arah selatan. Sedangkan, menurut (Koning, 1985) berdasarkan sumur bor
tebal formasi ini 1420 meter.
2.1.4. Formasi Sangkarewang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri dari serpih
berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis, gampingan
mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan
berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat
fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam, matriks lempung
terpilah buruk mengandung mika dan material karbon dan terdapatnya struktur nendatan
(slump). Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa
polen umur dari formasi ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam
Koesomadinata dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen
Atas (Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen
(Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen- Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher, 1993),
berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam Barber, 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan hubungannya dengan Formasi
Sawahlunto yang berada di atasnya yang berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto
menunjukkan umur Paleosen sampai Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini
berumur Paleosen. Formasi Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan
danau.
2.1.5. Granit Perm – Trias
Granit merupakan batuan beku asam yang tergolong batuan plutonik dan batuan gang
dalam bentuk batolit atau stock. Granit dapat didefinisikan dari tiga sudut pandang yaitu
definisi sederhana, definisi menurut data petrologi, dan definisi komersil, granit
didefinisikan sebagai batuan beku berwarna cerah berukuran butir kasar berkomposisi
mineral dominan feldspar dan kuarsa, komposisi mineral minor mika dan amfibol.
Definisi menurut ilmu petrologi granit adalah batuan beku yang mengandung kuarsa
berkisar dari 10 – 50 % dan seluruh mineral felsik, dan mengandung alkali feldspar 65 – 90
% . untuk dapat menetapkan definisi ini diperlukan kemampuan identifikasi mineral.
Granit memiliki tekstur faneritik artinya memiliki butiran –butiran kristal yang
ukurannya relatif seragam dan besar – besar, struktur batuannya masif sehingga batuan tidak
mempunyai retakan atau lubang-lubang gas (vesikular). Granit kebanyakan berbntuk besar,
keras, dan kuat, oleh karena itu banyak digunakan sebagai batuan untuk konstruksi.
Kepdatan rata-rata granit adalah 2,75 gr/cm3 dengan jangkuan antara 1,74 dan 2,80. Kata
granit berasal dari bahasa latin granium.
Granit terbentuk di daerah kontinen atau benua sebagai batuan beku intrusif. Ukuran
butir kristal mineral penyusunnya yang berukuran kasar menunjukkan granit terbentuk
melalui proses pembekuan magma yang sanagt lambat. Granit terbentuk karena pembekuan
magma yang terjadi jauh didalam bumi sehingga ganesa batuan ini adalah batuan beku
intrusif dalam. Dijumpainya granit di permukaan bumi sekarang menunjukkan bahwa kerak
bumi telah mengalami erosi yang sangat dalam.
Batuan granit di sekitar sumatera memilki usia dari paloezoic (silur-tersier). Batuan
granit tersebut merupakan produk dari sejarah dari geologi yang kompleks dari pulau
sumatera granitoid mesozoikum-paleozoikum hadir sebagai pegunungan yang sebagian
besar ditutupi oleh batuan yang lebih muda yang mengakibatkan kualitas untuk menentukan
sabuk, granitoid dianggap sebagai kelanjutan dari sabuk granit yang ada di Asia tenggara.

1.2.Metode
Metode penelitian yang kami lakukan adalah dengan cara penelitian langsung kelapangan
(fieldtrip), dengan menggunakan metode Measuring Section. Daerah penelitian yang kami
teliti merupakan daerah cekungan ombilin (Sawahlunto dan Sekitarnya).
Alat lapangan :
- Peta lintasan

- Kompas geologi ( Brunton dan Sunto )

- Palu geologi ( Beku dan Sedimen )

- GPS ( Global Positiong System )

- Kantong sampel

- Larutan HCL

- Clip board

- Kertas kuarto

- Buku Lapangan

- ATK

- Meteran ( 50 meter )

- Lup

- Komparator

- Pita meter

Langkah penelitian :
1. Setelah sampai dilapangan peserta fieldtrip membuat sketsa singkapan,disertai
pengukuran panjang serta tebalnya (tinggi suatu lapisan). Kemudian diambil foto dari jarak
jauh.
2.
BAB II

PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Prayitno, Budi. 2016. Modul Praktikum Prinsip Stratigrafi. Pekanbaru: Universitas Islam Riau.

Anda mungkin juga menyukai