ID Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka Dan Konsekuensi Lingkungan Dalam PDF
ID Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka Dan Konsekuensi Lingkungan Dalam PDF
ABSTRACT
This article will explain the exploitative practices of Pulau Sembilan’s fishermen
and their environmental consequences in internal and external contexts. Case materials
utilized for the explanation are the data about dominant fishing such as collecting
teripang, catching fish by dinamite and voison gained by field research. The exploitative
practices are characterized by overexploitation and coral reef degradation. Contextual
explanation uses the application and development of action and consequence approach
with contextual mode of explanation in ecological anthropology. By applying these
approach and mode, the internal/local socio-culture and the external forces (export-
market situation, adoption of technological innovation, and government policies) are
found as contributing to the various exploitative patterns of behaviour and their
environmental consequences.
* Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Hasanudin, Makasar dan Mahasiswa Program Studi Antropologi, Sekolah Pascasarjana
Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta
** Staf Pengajar Program Studi Antropologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
312
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
perairan pantai Sulawesi Selatan, Teluk Balik- pelindung tambak dari ancaman ombak ialah
Papan dan Bontang Kalimantan Timur, hilangnya ratusan hektare lahan tambak
beberapa lokasi di Bali, dan muara sungai petani dari tahun ke tahun akibat abrasi
Aijkwa di Timika Irian-jaya (Dahuri dkk, 1996; pantai (Winarto dkk, 1999).
Kusumaatmadja, 1999:5). Kondisi yang Hutan mangrof di Propinsi Irian Jaya—
memprihatinkan ialah terjadinya penangkapan bagian terluas terletak di Teluk Bentuni—
kelompok ikan tertentu sebelum berkembang yang merupakan hutan mangrof terluas di
menjadi kelompok ukuran ikan yang sewajar- dunia (sekitar 2,25 juta hektare) dan merupa-
nya ditangkap, yang disebut oleh ICLARM kan habitat mangrof terbaik di Asia Tenggara
sebagai “Growth overfishing” (dalam Saad, ternyata dari hari ke hari terancam kelestarian-
2000). Selain eksploitasi berlebih, juga telah nya. Penyebabnya, menurut YPMD (LSM
terjadi kasus-kasus pencemaran perairan setempat) (dalam Laksono dkk., 2000), ialah
seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Selat masuknya berbagai industri ekspor kayu
Malaka, Surabaya, dan perairan sekitar kota- bakau dan industri ekspor udang yang menjadi
kota pantai lainnya; degradasi fisik ekosistem saingan berat bagi komunitas pemanfaat lokal,
pesisir utama (mangrof dan terumbu karang); khususnya kaum wanita, yang semata
dan abrasi pantai merupakan indikator bahwa menggantungkan pendapatan ekonominya
pelaksanaan pembangunan sumberdaya dari mencari udang dan ikan di dalam dan
pesisir dan lautan di Indonesia menuju ke arah sekitar kawasan mangrof.
yang tidak optimal dan tidak berkelanjutan Khusus mengenai terumbu karang (coral
(Dahuri dkk., 1996). reef) di Indonesia, berbagai penelitian intensif
Kondisi hutan mangrof di Indonesia? yang telah dilakukan sejak 1984 oleh
hutan mangrof terluas di dunia? dari waktu ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
waktu terus mengalami penurunan, terutama memperlihatkan terumbu karang kita dalam
akibat konversi menjadi lahan untuk kepenting- keadaan mengkhawatirkan. Menurut catatan,
an berbagai sektor. Menurut Daryono (dalam telah mencapai 43% dari terumbu karang In-
Saad, 2000:13), di Pulau Jawa, hutan bakau donesia dalam keadaan menyedihkan, 28%
telah ditebang secara besas-besaran pada dalam keadaan lumayan, hanya 22,5% dalam
zaman pendudukan Jepang dan hingga tahun keadaan baik, dan 6% sangat baik (Raharjo,
1996 tinggal sekitar 50.000 hektare. Di luar 1995). Telah diidentifikasi pula berbagai
Jawa seperti di Kabupaten Aceh Timur, penyebab dari kerusakan terumbu karang
diperkirakan seluas 500 hektare hutan bakau seperti oleh faktor alam (iklim, penyakit,
lenyap setiap tahun karena penebangan untuk bencana, sedimentasi), tetapi yang lebih
kayu bakar dan konversi menjadi pertambakan serius lagi adalah oleh ulah manusia seperti
(Saad, 2000:13). Pembangunan tambak ikan pengurasan sumberdaya laut secara tidak
bandeng dan udang juga menyebabkan bertanggung jawab, perusakan dengan
habisnya hutan mangrof di Sulawesi Selatan, menggunkaan bahan peledak dan bahan
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan kimia beracun (sianida atau potas) oleh
Kalimantan Selatan yang mulai berlangsung nelayan, penambangan, polusi, kegiatan
dari tahun 1970-an dan konversi itu memuncak wisata, dan sebagainya (Raharjo, 1995).
dalam tahun-tahun 1980–an. Hutan mangrof Hasil penelitian Tim Social Assessment-
dari jenis bakau (rhizophora) di sepanjang COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Teluk Bone, terutama dalam wilayah Kabupa- Management Program) di 10 provinsi (Sumatra
ten Wajo, digunakan untuk kayu bakar, bahan Utara, Riau, Lampung, NTB, NTT, Sulawesi
industri arang, dan secara besar-besaran untuk Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
bahan industri Kertas Gowa dari pertengahan Maluku, Irian Jaya tahun 1996/ 1997; 1997/
periode 1970-an sampai pertengahan 1980- 1998) memperkuat kebenaran mengenai
an. Di sini lahan gundul yang luas dan hutan meningkatnya gejala kerusakan terumbu
mangrof tersisa kemudian dikonversi menjadi karang yang disebabkan oleh perilaku peman-
kawasan pertambakan. Akibat dari hilangnya faat (stakeholders) dari berbagai kategori
hutan mangrof yang berfungsi sebagai sosial seperti nelayan dan penambang
313
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325
314
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
Adapun berbagai perspektif antropologi analisis dan penjelasan seperti itu dapat
ekologi baru yang dimaksud antara lain diterapkan dan dikembangkan pendekatan
adalah etno-ekologi yang lebih menekankan aksi dan konsekuensi dengan mode
studinya pada pengetahuan ekologi komunitas penjelasan kontekstual progresif yang
etnis lokal, tetapi banyak mengabaikan aspek diperkenalkan oleh Vayda melalui studinya
praktik yang justru menjadi pengukur dalam pada kasus-kasus perladangan berpindah-
penjelasan yang empirik; pendekatan bahaya pindah dan penebangan kayu di Kalimantan
yang berasosiasi dengan asumsi tindakan Timur.
rasional individu (TIR) dari Vayda dan McCay Pendekatan aksi dan konsekuensi
(1975) yang mengutamakan pikiran individu/ dengan mode penjelasan kontekstual merupa-
pelaku, proses, faktor-faktor situasi dan kan salah satu pendekatan baru dalam ekologi
kondisi internal dan eksternal, tetapi cenderung manusia/antropologi ekologi yang diperkenal-
meragukan pengetahuan dan nilai-nilai kan oleh Vayda melalui beberapa karyanya
kearifan lokal, masyarakat, kelembagaan, antara lain “Action and Consequencies As
struktur sosial atau fenomena sistem sebagau Objects of Explanation in Human Ecology”
unit analisis; konstruksionis dan simbolik dari (1988) dan “Studying Human Actions and
Palsson (1991, 1999) yang melakukan Their Environmental Consequencies” (1992).
rekonstruksi pola pemahaman, tetapi mere- Pendekatan yang lebih menekankan mode
duksi variasi dengan keunikan-keunikannya penjelasan kontekstual secara empirik ini
yang justru bisa menentukan dalam hubung- merupakan perkembangan dari “pendekatan
an holistik atau konteks sebab akibat; de- bahaya” (hazard approach) yang dibangun
konstruksionis dari Tim Ingold (1992; Osse- oleh Vayda di pertengahan tahun 1970-an.
wijer, 2001) yang mengutamakan keterlibat- Pendekatan tersebut muncul sebagai reaksi/
an langsung manusia dengan lingkungannya, kritik terhadap berbagai perspektif teoretis
tetapi cenderung mengurangi peranan kog- besar tersebut.
nitif (budaya) sebagai acuan perilaku; land- Pendekatan aksi dan konsekuensi di-
schap anthropology yang disenangi Manon bangun oleh Vayda melalui studinya pada
Osseweijer (2001) yang melihat lingkungan perilaku pengguna sumberdaya hutan seperti
ekologi sebagai perwakilan identitas dan peladang berpindah-pindah, petani lada,
milik suatu kelompok masyarakat yang bisa pengusaha kayu, peramu hasil hutan di
terjebak dalam konstruksi simbolik-metaforik, Kalimantan Timur (Vayda, 1989; 1996).
tetapi banyak mengabaikan dimensi-dimensi Pendekatan aksi dan konsekuensi, pada satu
perilaku dan kognisi yang disadari masya- segi, pada intinya mengusulkan untuk
rakat; dan perspektif kontekstualis dari Alf menjadikan tindakan-tindakan (actions)
Honborg (1999) yang memilih konteks sosial manusia dan konsekuensi terduga atau tak
budaya lokal sebagai kebenaran moral, tetapi terduga (intended and unintended consequen-
mengabaikan konteks eksternal sebagai fakta cies) sebagai objek penjelasan yang tepat,
empirik yang banyak mempengaruhi proses dan pada segi lainnya, untuk menjelaskannya
dinamika sosial budaya lokal yang pada dalam suatu mode yang disebut oleh Vayda
gilirannya menentukan pola-pola baru dalam sebagai “mode penjelasan kontekstual” (con-
eksploitasi sumberdaya lingkungan. textual mode of explanation). Mode pen-
Suatu studi dalam antropologi ekologi jelasan dengan asumsi-asumsi, prosedurnya
yang diharapkan dapat menghindari berbagai seperti berikut. Pertama, kontekstualisasi
persoalan asumsi-asumsi esensial, apriori, aksi dan konsekuensi tanpa suatu apriori
generalisasi abstrak seperti disebutkan di demarkasi konteks. Ini dimaksudkan untuk
atas adalah studi yang bermaksud melakukan menempatkan aksi-aksi dan konsekuensi-
suatu pembuktian secara empirik, yakni me- nya, faktor pengaruh, waktu, tempat, dan
nempatkan praktik-prktik eksploitasi sumber- proses secara bersama-sama dalam sua-tu
daya alam dan konsekuensinya dalam penjelasan yang kontekstual yang semua-
konteks-konteks pengaruh sosial budaya in- nya berdasarkan fakta nyata hasil temuan
ternal dan eksternal yang historik. Untuk la-pangan. Jadi, bukan konteks yang sudah
315
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325
316
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
317
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325
melimpah, nelayan hanya beroperasi dalam taka-taka. Gejala kerusakan karang yang
taka-taka Pulau Sembilan dan sekitarnya. diakibatkan oleh bom berupa kehan-curan
Untuk merespon permintaan pasar yang dan patah-patah.
meningkat, mulai pertengahan periode 1970- Bius adalah sarana tangkap baru yang
an mereka mengadopsi sarana selam mod- digunakan nelayan Pulau Sembilan, khusus-
ern berupa tabung gas yang diperkenalkan nya yang dari Kambuno, untuk menangkap
oleh pengusaha-pegusaha Cina dari Makas- ikan-ikan karang sunu, kerapu, napoleon
sar, berikut kompresor sejak awal periode yang dijual dalam kondisi hidup ke Hongkong
1990-an hingga sekarang. Digunakannya dan Singapura. Teknik bius pertama kali
tabung gas memungkinkan nelayan yang diperkenalkan kepada nelayan setempat oleh
beroperasi dalam kelompok-kelompok besar pelatih penangkapan ikan dari Hongkong.
dapat bekerja secara intensif dan memper- Cara kerjanya ialah nelayan memantau dan
oleh tangkapan secara berlipat ganda. mengejar ikan secara terus-menerus di atas
Akibatnya, hanya beberapa tahun kemudian permukaan taka hingga masuk berlindung
populasi dari semua jenis teripang yang dalam lubang batu-batu karang setelah
mempunyai nilai tukar tinggi mengalami kelelahan, dan pada saat itulah nelayan
kemerosotan drastis dalam dan sekitar taka- menyemprotnya dengan bius. Sebagian pula
taka Pulau Sembilan. Demikianlah, sejak nelayan menyelam langsung pada rumah-
tahun 1980-an kelompok-kelompok nelayan rumah ikan yang disebut batu—ini merupakan
teripang mulai mencari daerah-daerah pe- kelompok batu-batu karang besar yang disebut
nangkapan yang baru, terutama daerah-daerah batu mandi—kemudian menyemprot ikan-
karang di bagian timur Indonesia. Seperti yang ikan sedang istirahat atau bersembunyi di
terjadi di tempat-tempat lainnya, pengaruh situ. Karena penyelam menggunakan
paling mencolok dari penggunaan sarana perangkat sarana selam modern (masker
selam modern tersebut ialah kemerosotan yang dihubungkan ke pompa udara/kompresor
populasi teripang di taka-taka, bukan ter- di atas perahu), aktivitas nelayan memungkin-
hadap perubahan perubahan kondisi terumbu kan menjadi intensif dan meluas di taka-taka.
karang. Pengaruh penggunaan bius di taka-taka ialah
Bom merupakan salah satu alat tangkap matinya karang secara pelan-pelan dalam
yang digunakan nelayan Pulau Sembilan, area yang cukup luas yang lama kelamaan
khususnya yang dari Kambuno dan Kodi- karang-karang mati tersebut menjadi kropos.
ngare, sejak dahulu hingga sekarang. Lokasi- Bukti-bukti dampak perilaku nelayan
lokasi pemboman ialah taka-taka dalam atau terhadap perubahan kondisi terumbu karang
yang agak dangkal. Tangkapan bom ialah dalam taka-taka Pulau Sembilan ditunjukkan
ikan-ikan permukaan yang hidup ber- dan diinformasikan oleh berbagai pihak,
kelompok, terutama rappo-rappo (ekor antara lain oleh Pusat Studi Terumbu Karang
kuning), sinrili, banjarai, layang, dan ikan- Universitas Hasanuddin yang menunjukkan
ikan dasar seperti kerapu, sunu, laccukang tiga ciri kerusakan, yakni berupa pecahan dan
(napoleon), dan katamba. Ketika sasaran patahan (ruble), perubahan warna (bleaching),
sudah ditemukan, nelayan kemudian melem- dan kematian (dead) yang ditemukannya pada
parkan bom ke situ. Ledakan yang sangat hampir semua taka. Ciri-ciri perubahan
berpengaruh terhadap karang ialah ledakan karang seperti ini saya bersama nelayan
yang terjadi di dasar. Ledakan yang dahsyat (dengan saya ikut melakukan pengamatan
dapat mengakibatkan hancurnya karang di laut) temukan juga di beberapa bagian
minimal seluas satu meter keliling. Karena taka-taka dangkal. Sumber informasi lainnya
akhir-akhir ini kebanyakan nelayan meledak- ialah berita dari pihak Pemerintah Daerah dan
kan bomnya di dasar dengan maksud agar beberapa LSM yang seringkali melakukan
bunyi ledakan tidak terdengan oleh pihak pemberdayaan bagi masyarakat nelayan,
keamanan yang sedang berpatroli, secara termasuk di Pulau Sembilan.
otomatis penggunaan bom yang intensif Kalau mengikuti mode penjelasan
mempercepat kerusakan terumbu karang di kotekstual progresif yang empirik, untuk
318
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
319
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325
dalamnya harus ditempatkan dalam konteks siput mata tujuh hingga tahun 2001/2002.
sejarah dan budaya sebagai penentu perilaku Kondisi melimpahnya sumberdaya perikanan
(keinginan, maksud/tujuan), pedoman demikian dimungkinkan oleh belum intensif-
tingkah laku (gagasan, pengetahuan, nilai, nya penangkapan, penggunaan tekno-logi
norma), dan penggerak pikiran dan perilaku tangkap tradisional, dan situasi dan kondisi
paling dasar dan esensial (pemenuhan pasar belum baik selama masa-masa kelim-
kebutuhan hidup, pencapaian cita-cita). pahannya. Ketika permintaan pasar me-
ningkat dan jaringan perdagangan meluas ke
Perilaku Nelayan dalam Konteks pasar ekspor, dan yang ditunjang dengan
Budayanya sistem perhubungan yang lancar, jenis-jenis
Dengan menjadikan perilaku dan konse- sumberdaya tersebut segera dieksploitasi
kuensinya sebagai titik tolak melacak secara intensif dengan prinsip-prinsip
konteks budaya yang berada di belakang- maksimisasi, efektivitas, dan efisiensi sebagai
nya, ditemukan pula berbagai komponen acuannya. Demikianlah, ladung (alat tusuk)
budaya yang menggerakkan, mengarahkan, untuk teripang yang tidak produktif digantikan
dan menentukan secara mutlak perilaku- dengan teknik pungut langsung dengan
perilaku tersebut. Pola-pola perilaku nelayan tangan dan dikumpulkan dalam keranjang;
Pulau Sembilan, khususnya kelompok- untuk usaha ikan dan lobster hidup, kedua
kelompok pencari teripang, nelayan bom, dan pancing labuh (untuk ikan) dan teknik tangkap
nelayan bius terarahkan dengan gagasan- langsung dengan tangan (untuk lobster)
gagasan, pengetahuan, prinsip-prinsip, digantikan dengan teknik bius. Mengenai
keyakinan, nilai, norma, dan perasaan-perasa- penyelaman, teknik selam biasa yang
an yang pragmatis. Ada gagasan-gagasan mengandalkan ketahanan nafas belaka
tentang “kelimpahan”, “kekurangan”, dan digantikan dengan masker-tabung gas, berikut
“keterbukaan” akan sumberdaya perikanan; nelayan mengubahnya dengan masker-
perangkat-perangkat pengetahuan tentang kompresor yang lebih menjamin keamanan
permintaan pasar dan nilai tukar komoditi hasil di dasar laut. Bagi nelayan bom, pada
laut yang stabil, meningkat atau merosot, mulanya mengunakan bahan peledak dari
klasifikasi pengetahuan tentang perilaku sisa-sisa bom tua dari masa pendudukan
biota laut bernilai ekonomi dan karakteristik tentara Jepang, kemudian menggantinya
habitatnya; etos pencapaian keberhasilan dengan pupuk urea ketika stok lama habis.
usaha dan penghematan (menyerupai Dengan sarana selam modern pula, nelayaan
prinsip-prinsip maksimisasi, efetivitas, dan bisa mengintensifkan tangkapan dengan
efisiensi dalam ilmu ekonomi); pandangan penggunaan berbagai tipe bom, yang
tentang pekerjaan yang berat dan rumit; disesuaikan dengan pengetahuan mereka
pandangan tentang laut yang berbahaya; dan, tentang perilaku ikan target dan karakteristik
pertimbangan-pertimbangan akan kemampu- habitatnya. Bagi pencari siput mata tujuh,
an diri, perasaan kecocokan, kebiasaan, riski, meskipun hanya dengan teknik tradisional,
seni, dan lain-lain. Komponen-komponen kog- namun bagi mereka hasilnya memuaskan.
nitif (budaya) tersebut diwujudkan (dijadikan Prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi
sebagai acuan) dalam praktek ekonomi, tewujudkan misalnya melalui pelemparan
khususnya proses-proses kerja nelayan bom dengan sikap hati-hati dan terampil yang
sehari-hari di laut. menjanjikan keberhasilan karena aksinya
Bagi ketiga kategori nelayan tersebut selalu diarahkan kepada sasaran yang pasti,
di atas, gagasan tentang kelimpahan tumbuh bukan menunggu dan bukan pula acakan
dari informasi dan realita akan melimpahnya yang sifatnya untung-untungan yang banyak
populasi teripang hingga akhir periode 1970- menguras tenaga, menghabiskan waktu dan
an, berbagai jenis ikan permukaan dan dasar biaya. Pada usaha teripang, tumbuh sikap
hingga akhir periode 1980-an, ikan-ikan sunu, persaingan di antara anak buah untuk lebih
kerapu, napoleon, katamba, dan lobster dahulu menyelam ke dasar dengan ambisi
hingga pertengahan periode 1990-an, dan memaksimalkan waktu selam sebab di
320
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
321
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325
kurangnya ada empat kategori kebutuhan kondisi permintaan pasarlah yang banyak
pendapatan dijatahkan, yaitu kebutuhan- menyumbang kepada pengayaan hingga
kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, mencapai tidak kurang dari 30 jenis teripang.
kesehatan, perlengkapan rumah tangga), Demikian juga pedagang Cinalah mengajarkan
bayar utang, biaya-biaya dan modal usaha, sorting menurut tingkatan nilai tukar dari yang
dan kebutuhan sosial (pendidikan anak-anak, paling tinggi hingga yang rendah. Pengenalan
perkawinan, acara akikah) dan religius (naik nelayan pada perilaku dan habitat teripang
haji). mengkondisikan perlunya rekayasa teknik
tangkap lokal yang sesuai, yang kemudian
KONTEKS EKSTERNAL DARI PERILAKU dilengkapi dengan sarana selam modern
NELAYAN DAN KONSEKUENSINYA berupa masker-tabung gas dalam peiode
1970-an, berikut masker-kompresor di awal
Sesuai dengan fenomena di lapangan, periode 1990-an, yang diperkenalkan oleh
untuk memahami perilaku nelayan Pulau pengusaha-pengusaha Cina sendiri melalui
Sembilan dan konskuensi lingkungan dan para ponggawa/pengusaha nelayan lokal
sumberdaya taka yang ditimbulkannya, tidak yang terlibat dan berperanan dominan dalam
cukup hanya dijelaskan dalam konteks sosial hubungan-hubungan produksi dan pasar.
budaya/internalnya, tetapi juga dalam konteks Dinamika tersebut merupakan kontribusi
eksternal. Untuk pencarian teripang (ter- awal dari hubungan dengan dunia luar,
masuk jenis kerang mutiara, japing) dan dengan pedagang Cina. Situasi pasar dan
penangkapan ikan-ikan karang utama (sunu, keterlibatan para pedagang asing tersebut,
kerapu, napoleon) dan lobster/udang untuk menurut Akimichi (1996), sebetulnya
komoditi ekspor, konteks eksternalnya ialah digerakkan oleh fungsi teripang yang konon
permintaan pasar dan pihak-pihak terlibat di bagi orang Cina di samping sebagai santapan
dalamnya, adopsi teknologi tangkap, dan enak, juga sebagai bahan obat-obatan untuk
kebijakan pemeintah. kesehatan, nutrisi, vitalitas, memperpanjang
Menurut sejarahnya, pengetahuan dan umur, dan menambah keperkasaan laki-laki.
praktik menyelam mencari teripang bagi Kemudian ketika komoditi lobster dan
nelayan Bugis, Makassar, dan Bajo, bukanlah ikan hidup laku di pasar ekspor (Hongkong
fenomena baru, melainkan fenomena lama dan Singapura) sejak paruh kedua periode
yang dapat dilacak ke beberapa dekade, 1980-an,? pengaruhnya baru sampai di
bahkan beberapa abad ke belakang dan Sulawesi Selatan di awal periode 1990a?
melacak jaringan perdagangannya ke luar sebagian terbesar nelayan, terutama nelayan
hingga melampaui batas-batas negara ke teri-pang, beralih ke usaha lobster dan ikan
pasar ekspor seperti Hongkong, Singapura, hidup. Keterlibatan para pemilik modal dan
Taiwan, RRC, Korea, dan Jepang. Pada pedagang Cina dari Makassar mulai
mulanya, nelayan tidak banyak tahu dan meningkat melalui jenis-jenis ikan target dan
memperhatikan spesis teripang karena tidak kelas-kelas menurut tingkat-tingkat harga
mempunyai nilai tukar. Biota ini mulai dicari seperti super (1 kg), buangan (lebih dari 1 kg),
ketika kapal-kapal dagang Cina yang ramai dan bebi (di bawah super), sarana tangkap
berlabuh di Pelabuhan Kota Somba Opu berupa bius dan teknik membuatnya, dan
(pusat kota Kerajaan Makassar yang jaya keramba penampungan ikan dan lobster
hingga abad ke-17) di abad ke-17 mencari diperkenalkan kepada nelayan Pulau
komoditi ekspor, termasuk hasil-hasil laut Sembilan. Mulailah sejarah budaya usaha
seperti teripang, agar-agar, sirip hiu, sarang ikan dan lobster yang merajai pasar komoditi
burung walet, penyu, dan lain-lain, yang biasa hasil laut dengan cepat mempengaruhi
ditukar langsung dengan barang-barang terkurasnya populasi ikan target dan lobster
rongsokan seperti pakaian, tembikar, dalam dan sekitar taka-taka Pulau Sembilan.
porselin, lilin, dan lain-lain (Mack-night, 1976; Bagaimana kedua komoditi yang pada
Sutherland. 1987). Meskipun digunakan mulanya melimpah di taka-taka Pulau-pulau
nama-nama lokal terhadap spesis ini, namun Sembilan—karena tidak mempunyai nilai
322
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
tukar dan hanya sedikit dimakan karena oleh dan hidup) dimungkinkan oleh kerjasama
sebagian besar penduduk pulau merasakan dagang antarnegara melalui penerbitan Surat
itu menjijikkan atau meng-anggap menyebab- Izin Usaha Perikanan (SIUP), terkecuali bagi
kan kebiasaan malas jika dimakan—pada usaha-usaha nelayan kecil (antara lain di-atur
akhirnya hanya memerlukan sekitar tujuh dalam Amandemen Peraturan Dirjen
tahun saja populasinya merosot drastis Perikanan No.HK.330/DJ.8259/95, tentang
karena penangkapan yang intensif dan ska-la, lokasi, dan prosedur menangkap na-
keterlibatan nelayan secara besar-besaran. poleon wrasse). Berhentinya sebagian besar
Bahkan, kondisi terumbu karang menurut nelayan Pulau Sembilan mengambil batu
pendapat berbagai pihak juga mengalami karang secara terbuka dan besar-besaran dari
kerusakan meluas dan parah akibat pengguna- taka-taka sendiri dipengaruhi oleh Peraturan
an bius dari bahan kimian beracun. Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
Kenapa permintaan komoditi ikan dan tersebut melalui sosialisasi dan aksi-aksi
lobster hidup meningkat di pasar ekspor penyadaran lingkungan dilakukan oleh LSM
tersebut? Hal ini, menurut Akimici (1996), Lapeksdam dengan penyebaran poster jenis-
disebabkan oleh faktor terjadinya perubahan jenis biota laut langka dilindungi dunia.
pola makan kelas konsumen elite di neara-
negara pengimpor dari mengkonsumsi hasil SIMPULAN
laut dalam kondisi segar yang sudah
dihidangkan di meja restoran Seafood ke Perilaku nelayan teripang, nelayan bom,
model baru dengan para pengunjung terlebih dan bius yang intensif karena didukung sarana
dahulu memancing ikan atau lobster hidup selam modern terbukti berdampak pada
dari kolam-kolam penampungan lalu diolah kondisi kemerosotan populasi sumberdaya
dan disajikan para pelayan menurut selera perikanan dan kerusakan habitat ekosistem
pengunjung masing-masing. Pola makan terumbu karang. Alasan mengapa nelayan
baru di restoran-restoran Cina seperti ini, menggunakan bom dan bius serta sarana
menurutnya, di samping terkait pada nilai selam tersebut hanya dapat dipahami dengan
kenikmatan santapan, juga karena dapat analisis dan penjelasan konteks internal/sosial
memperkuat status sosial konsumennya. budaya dan konteks eksternal dari perilaku
Konteks birokrasi melalui pelaksanaan tesebut sebab kedua konteks inilah yang
kebijakan pemerintah juga menyumbang menyumbang kepada berbagai pola perilaku
kepada perubahan-perubahan keputusan dan eksploitasi, yang pada gilirannya berkonse-
perilaku nelayan melalui respon-respon ide kuensi terhadap perubahan-perubahan
dan sikap-sikap menerima atau menolak. lingkungan dan stok sumberdaya perikanan.
Misalnya, telah terbentuknya berbagai strategi Konteks sosial berpusat pada kelembagaan
sebagian nelayan bom dan bius dalam rangka ponggawa-sawi, konteks budayanya berupa
mempertahankan aktivitas ilegalnya atau gagasan-gagasan, pengetahuan, prinsip-
memutuskan untuk berhenti dari kegiatan prinsip kerja, keyakinan, nilai, norma, dan
tersebut dipengaruhi oleh aturan hukum dan perasaan-perasaan, keinginan, tujuan, dan
implementasinya (antara lain Peraturan cita-cita yang pragmatis. Konteks ekternal
Pemerintah Daerah TK I Sulawesi Selatan yang mempengaruhi perilaku (melalui
No.7 1987, tentang larangan pengambilan dan tanggapan atau respon budaya pelaku) ialah
pengrusakan terumbu karang di sepanjang situasi pasar, adopsi teknologi eksploitasi,
perairan pantai Sulawesi Selatan). Strategi dan cara implementasi kebijakan pemerintah.
itu dimaksudkan seperti terbentuknya pola- Jadi, kesatuan sistem sosial budaya dan
pola hubungan kolusi antara nelayan dengan ekosistem laut/terumbu karang bukanlah
oknum-oknum sebagai pelindung aktivitasnya sistem-sistem tertutup, melainkan sistem-
sehari-hari. Eksploitasi berbagai spesis laut sistem terbuka, yang dicirikan dengan
untuk komoditi ekspor (seperti, teripang, penangkapan berlebih dan destruktif.
kerang (mutiara, lola), rumput laut, sirip hiu, Dominannya praktik penggunaan bom dan
telur ikan, ikan (segar dan hidup), lobster (segar bius menyebabkan suatu institusi dan
323
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325
praktek pemanfaatan sumberdaya taka yang Jochim, M.A 1981. Strategy for Survival : Cultural
arif lingkungan—contohnya, klaim hak ko- Behavior in An Ecological Context. New York:
munitas nelayan Liang-liang atas sarang- Academic Press.
sarang ikan (batu) di taka-taka dan peng- Kottak dan Elizabeth Colson. 1994. “Multilevel
gunaan pancing labuh di situ—menjadi tidak Linkages: Longitudinal and Comparative
berfungsi lagi.
Studies” dalam Robert Borofsky (ed.).
DAFTAR RUJUKAN
Assessing Cultural Anthropology (Sectionfive,
pp: 396-410). New York: McGraw-Hill, Inc.,
Acciaioli, G.L. 1989. “Bugis Enterpreneurialism hal. 397-408.
and Resource Use: Structure and Practise” Kusumaatmadja, Sarwono. 1999. “Pokok-pokok
dalam Indonesian Journal of Social and Cultural Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional”.
Anthropology. No.57, Th. XXII September- Makalah Seminar Nasional Pembangunan
Desember 1998: 81-91. Kelautan, Indonesia (Peringatan 40 tahun
Akimichi, Tomoya. 1996. Coastal Foragers in Deklarasi Djuanda). Kerjasama Antar Badan
Transition. Seri Ethnological Studies No. 42, Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Se-
National Museum of Ethnology. Indonesia Timur (BKS PTN INTIM) dengan
Barth, Fredrik. 1994. “A Personal View of Present Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan,
Task and Priorities in Cultural and Social
Makassar.
Anthropology” dalam Robert Borofsky
Laksono, P.M. dkk. 2000. Perempuan di Hutan
(Ed.), AccessingCulturalAnthropology (Section
Mangrove: Kearifan Ekologis Masyarakat
five). New York: McGraw-Hill, Inc.
Borofsky, Robert. 1994. “Cultural in Motion” Papua. Yogyakarta: Galang Press.
dalam Robert Borofsky (ed), .Assessing Lette, jarich. 1985. “Incorporatie in Gayang,
Cultural Anthropology. New York: Mc Graw- Sabah – Malaysia”. Disertasi Landbouw
Hill,Inc. Gogeschool te Wageningen, Nederland.
1994. “On The Knowledge and Knowing of Lineton, J. 1975a. “An Indonesian Society and Its
Cultural Activities” dalam Robert Borofsky Universe: A Study of the Bugis of South
(Ed.), AssessingCulturalAnthropology (Section Sulawesi (Celebes) and their Role Within A
five). New York: McGraw-Hill, Inc. Wider Social and Economic System”.
Dahuri, Rokhmin dan Jacob Rais. 1996. Disertasi School of Oriental and African
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Studies, University of London.
Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Pradnya 1975b. “Pasompe “Ugi”: Bugis Migrants and
Paramita. Wanderers” dalam Archipel 10, hal. 173-201.
Eriksen, Thomas Hylland. 2004. What is Mattulada. 1986. “Manusia Bawahan dalam
Anthropology. London: Pluto Press. Menejemen”. Makalah Seminar Manajemen
Harris, Marvin. 1987. The Sacred Cow and the Pembangunan menurut Budaya Bangsa
Abiminable Pig: Riddles of on Food and Culture. Indonesia, Sanur, 20-21 Sept.1985.
New York: Simon & Schuster. McCay, Bonnie J. 1978. “System Ecology, People
Homborg, Alf. 1999. “Ecology as Semiotic:
Ecology, and the Anthropology of Fishing
Outlines of A Contextualist Paradigm for
Communities” dalam Human Ecology.Vol.6,
Human Ecology” dalam Philippe Descola
No. 4, hal. 397-422.
dan Gisli Palsson (Eds.), Nature and Society:
Anthropological Perspectives. London dan Macknight, C.C. 1976. The Voyage to Marege:
New York: Routledge. Macassan Trepangers in Northern Australia.
Ingold, Tim. 1992. “Culture and Perception of Melbourne: Melbourne University Press.
the Environment” dalam E. Croll dan D. Moore, Sally Falk. 1994. “The Ethnography of
Parkin (eds.), BushBase,ForestFarm:Culture, the Present and the Analysis of Process”
Environment and Development. London dan dalam Robert Borofsky (ed), AssessingCultural
New York: Routledge, London. Anthropology. New York: McGraw-Hill, Inc.
324
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka
Osseweijer, Manon. 2001. “Taken at the Flood: propinsi di Indonesia Buku 1 dan 2. Jakarta:
Marine Resource Use and Management in the PPT-LIPI.
Aru Islanders (Maluku, Eastern Indonesia)”. Tuan, Y, 1970. “Our Treatment of the Environment
Disertasi Universiteit te Leiden. in Ideal and Actuality” dalam American
Palsson, Gisli.1991. Coastal Economies, Cultural Scientist, 58, hal. 246–249.
Accounts: Human Ecology and Icelandic Vayda, Andrew A. 1982. “Progressive
Discourse. Manchester: Manchester Contextualization : Method for Research in
University Press. Human Ecology” dalam Human Ecology,11,
_ _ _ _ __1999. “Human-Environmental Relations: hal. 265-281
Orientalism, Paternalism, and Communalism” _ _ _ _ _ _ 1988, “Action and Consequences as
dalam Philippe Descola dan Gisli Palsson Objects of Explanation in Human Ecology”
(eds.), Nature and Society: Anthropological dalam Environment, Technology and Society
Perspectives. London dan New York: 51, hal. 2-7.
Routledge. 1989. “Explanating Why Marings Fought”. Journl
Raharjo, Yulfita. 1995. “Proposal Studi Analisis Anthropological Research 45 : 159-177.
Sosial Untuk Perencanaan Rehabilitasi dan 1989. “Explanating Why Marings Fought”
Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) dalam Journl Anthropolog-ical Research 45,
di Indonesia”. Jakarta: PPT-LIPI. hal. 159-177.
Rappaport, Roy A. 1968. Pigs for The Ancestors: 1992. “Studying Human Actions and Their
Ritual In the Ecology of New Guinea People. Environmental Consequences” dalam
New Haven: Yale University Press. Forestry for People and Nature. CYPED,
Saad, Sudirman.,2000. “Hak Pemeliharaan dan Cabagan, Isabela Philipines, hal. 293-307.
Penangkapan ikan, Eksistensi dan Prospek 1993. “Eosystem and Human Action”. In M.J.
Pengaturannya di Indonesia”. Disertasi McDonnell and S.T.A. Pickett (eds). Humans
Progaram Studi Hukum, Fakultas. as Components of Eosystems. Springer-Verlag.
Pascasarjana UGM, Yogyakarta. New York.
Sallatang, Arifin. 1984. Ponggawa-sawi: Suatu 1994. “Actions, Variations, and Change : Emerging
Studi Kelompok Kecil dalam Masyarakat Anti Essentialist View in Anthropology”
Nelayan Bugis. Disertasi Universitas dalam R.Borofsky (Ed.), Assesing Cultural
Hasanuddin Ujung Pandang. Anthropology. New York: McGraw Hill, Inc.
Semedi, Pujo. 2001. “Closed to the Stone, Far From 1996. Methods and Explanations in the Study of
the Throne: The Story of A Javanese Fishing Human Actionss and their En-vironmental
Community, 1820s-1990s”. Disertasi Faculteit Effects. Bogor: CIFOR/WWF.
derMaatschappij-en Ged-ragswetenchappen, Vayda, Andrew P. dan R.A. Rappaport. 1968.
Universiteit van Amsterdam. “Ecology, Culture and Non-culture” dalam
Steward, J., 1976. Theory of Culture Change. Clifton, J.A. (Ed.), Introduction to Cultural
Chicago: University of Illionis Press Urba-na. Anthropology. Boston: Houghton-Mef-flin.
Sutherland, H. 1987. “ Tripang and Wangkang. Vayda, Andrew P. 1975. “New Directions in
The China Trade of Eightreenth Century Ecology and Ecological Anthropology”.
Makassar, 1972-1820”. Makalah Konferensi Annual Review of Anthropology 4, hal. 293–
Tentang Trade, Society and Belief in South 306.
Sulawesi, Leiden, 2-6 Nopember 1987. Winarto, T. dkk. 1999. Abrasion, Mangrove
Tim Analisis Sosial – COREMAP. 1996/1997- Conservation, Coral Reef Degradation.Jakarta:
1997/1998. “Studi Analisa Sosial – Departemen Antropologi Fisip – Univ.
COREMAP”. Laporan Penelitian di 10 Indonesia dan UNESCO.
325