Anda di halaman 1dari 16

HUMANIORA

VOLUME 17 No. 3 Oktober 2005 Halaman 312 - 325

PERILAKU EKSPLOITASI SUMBERDAYA


PERIKANAN TAKA DAN KONSEKUENSI
LINGKUNGAN DALAM KONTEKS INTERNAL
DAN EKSTERNAL: STUDI KASUS PADA
NELAYAN PULAU SEMBILAN

Munsi Lampe*, Sjafri Sairin**, Heddy Shri Ahimsa Putra**

ABSTRACT

This article will explain the exploitative practices of Pulau Sembilan’s fishermen
and their environmental consequences in internal and external contexts. Case materials
utilized for the explanation are the data about dominant fishing such as collecting
teripang, catching fish by dinamite and voison gained by field research. The exploitative
practices are characterized by overexploitation and coral reef degradation. Contextual
explanation uses the application and development of action and consequence approach
with contextual mode of explanation in ecological anthropology. By applying these
approach and mode, the internal/local socio-culture and the external forces (export-
market situation, adoption of technological innovation, and government policies) are
found as contributing to the various exploitative patterns of behaviour and their
environmental consequences.

Key words: open resource use, overexploitation, envinronmental degradation, internal


and external contexts

PENGANTAR (dalam Saad, 2000:11-12); penangkapan


udang berlebih di perairan Pekalongan dan
i Indonesia, fenomena lingkungan Wonokerto pada tahun 1980-1989 (Semedi,
yang disebutkan Vayda dan McCay 2001:156-157); kasus-kasus pengurasan
(1975) dan McCay (1978) sebagai sumberdaya laut yang memunculkan konflik-
“disrupsi sistem dan relasi-relasi tidak konflik sosial dan kemiskinan penduduk
seimbang” dapat ditunjukkan antara lain pada nelayan, bukan hanya terjadi di perairan pesisir
perikanan laut yang berupa gejala penang- pantai utara Jawa dan Madura, tetapi juga
kapan berlebih (overfishing) di perairan bagian telah mengenai beberapa daerah penangkapan
barat Indonesia oleh Nikijuluw dan Wenno ikan di luar Jawa seperti Selat Malaka,

* Staf Pengajar Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Hasanudin, Makasar dan Mahasiswa Program Studi Antropologi, Sekolah Pascasarjana
Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta
** Staf Pengajar Program Studi Antropologi, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta

312
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

perairan pantai Sulawesi Selatan, Teluk Balik- pelindung tambak dari ancaman ombak ialah
Papan dan Bontang Kalimantan Timur, hilangnya ratusan hektare lahan tambak
beberapa lokasi di Bali, dan muara sungai petani dari tahun ke tahun akibat abrasi
Aijkwa di Timika Irian-jaya (Dahuri dkk, 1996; pantai (Winarto dkk, 1999).
Kusumaatmadja, 1999:5). Kondisi yang Hutan mangrof di Propinsi Irian Jaya—
memprihatinkan ialah terjadinya penangkapan bagian terluas terletak di Teluk Bentuni—
kelompok ikan tertentu sebelum berkembang yang merupakan hutan mangrof terluas di
menjadi kelompok ukuran ikan yang sewajar- dunia (sekitar 2,25 juta hektare) dan merupa-
nya ditangkap, yang disebut oleh ICLARM kan habitat mangrof terbaik di Asia Tenggara
sebagai “Growth overfishing” (dalam Saad, ternyata dari hari ke hari terancam kelestarian-
2000). Selain eksploitasi berlebih, juga telah nya. Penyebabnya, menurut YPMD (LSM
terjadi kasus-kasus pencemaran perairan setempat) (dalam Laksono dkk., 2000), ialah
seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Selat masuknya berbagai industri ekspor kayu
Malaka, Surabaya, dan perairan sekitar kota- bakau dan industri ekspor udang yang menjadi
kota pantai lainnya; degradasi fisik ekosistem saingan berat bagi komunitas pemanfaat lokal,
pesisir utama (mangrof dan terumbu karang); khususnya kaum wanita, yang semata
dan abrasi pantai merupakan indikator bahwa menggantungkan pendapatan ekonominya
pelaksanaan pembangunan sumberdaya dari mencari udang dan ikan di dalam dan
pesisir dan lautan di Indonesia menuju ke arah sekitar kawasan mangrof.
yang tidak optimal dan tidak berkelanjutan Khusus mengenai terumbu karang (coral
(Dahuri dkk., 1996). reef) di Indonesia, berbagai penelitian intensif
Kondisi hutan mangrof di Indonesia? yang telah dilakukan sejak 1984 oleh
hutan mangrof terluas di dunia? dari waktu ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
waktu terus mengalami penurunan, terutama memperlihatkan terumbu karang kita dalam
akibat konversi menjadi lahan untuk kepenting- keadaan mengkhawatirkan. Menurut catatan,
an berbagai sektor. Menurut Daryono (dalam telah mencapai 43% dari terumbu karang In-
Saad, 2000:13), di Pulau Jawa, hutan bakau donesia dalam keadaan menyedihkan, 28%
telah ditebang secara besas-besaran pada dalam keadaan lumayan, hanya 22,5% dalam
zaman pendudukan Jepang dan hingga tahun keadaan baik, dan 6% sangat baik (Raharjo,
1996 tinggal sekitar 50.000 hektare. Di luar 1995). Telah diidentifikasi pula berbagai
Jawa seperti di Kabupaten Aceh Timur, penyebab dari kerusakan terumbu karang
diperkirakan seluas 500 hektare hutan bakau seperti oleh faktor alam (iklim, penyakit,
lenyap setiap tahun karena penebangan untuk bencana, sedimentasi), tetapi yang lebih
kayu bakar dan konversi menjadi pertambakan serius lagi adalah oleh ulah manusia seperti
(Saad, 2000:13). Pembangunan tambak ikan pengurasan sumberdaya laut secara tidak
bandeng dan udang juga menyebabkan bertanggung jawab, perusakan dengan
habisnya hutan mangrof di Sulawesi Selatan, menggunkaan bahan peledak dan bahan
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan kimia beracun (sianida atau potas) oleh
Kalimantan Selatan yang mulai berlangsung nelayan, penambangan, polusi, kegiatan
dari tahun 1970-an dan konversi itu memuncak wisata, dan sebagainya (Raharjo, 1995).
dalam tahun-tahun 1980–an. Hutan mangrof Hasil penelitian Tim Social Assessment-
dari jenis bakau (rhizophora) di sepanjang COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and
Teluk Bone, terutama dalam wilayah Kabupa- Management Program) di 10 provinsi (Sumatra
ten Wajo, digunakan untuk kayu bakar, bahan Utara, Riau, Lampung, NTB, NTT, Sulawesi
industri arang, dan secara besar-besaran untuk Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
bahan industri Kertas Gowa dari pertengahan Maluku, Irian Jaya tahun 1996/ 1997; 1997/
periode 1970-an sampai pertengahan 1980- 1998) memperkuat kebenaran mengenai
an. Di sini lahan gundul yang luas dan hutan meningkatnya gejala kerusakan terumbu
mangrof tersisa kemudian dikonversi menjadi karang yang disebabkan oleh perilaku peman-
kawasan pertambakan. Akibat dari hilangnya faat (stakeholders) dari berbagai kategori
hutan mangrof yang berfungsi sebagai sosial seperti nelayan dan penambang

313
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325

karang, dan oleh kegiatan-kegiatan lain kompleks, khususnya lingkungan habitat


seperti polusi karena pembuangan (minyak/ terumbu karang. Kesulitan itu terjadi karena
oli, limbah, pestisida, terbawa banjir dari berbagai asumsi dari perspektif-perspektif
darat). besar telah terbukti menunjukkan banyak
Kalau fenomena pemanfaatan sumber- kelemahan, sementara asumsi-asumsi dari
daya laut ditinjau secara empirik dalam berbagai perspektif baru dalam antropologi
konteks yang lebih luas, dapat disimpulkan ekologi setelah tahun 1970-an dan model
bahwa telah terjadi: (1) merosotnya stok penjelasannya masih dipertanyakan di sana-
sumberdaya alam yang diakibatkan oleh sini, bahkan tidak sedikit masih dikembang-
penangkapan berlebih, ini sekaligus me- kan perspektif-perspektif turunan dari teori-
nunjukkan gejala ketidakseimbangan antara teori besar dengan epistemologi positivisme
kondisi sumberdaya yang berkurang dengan dan dualisme-Cartesian kalau bukan de-ngan
tingkat populasi manusia yang memanfaat- perspektif-perspektif antropologi kognitif dan
kannya; (2) gejala kerusakan ekosistem laut, simbolik dengan alur pikir top-down yang ideal
khususnya ekosistem mangrof dan terumbu dan apriori.
karang; (3) daerah-daerah penangkapan Studi-studi mengenai hubungan masyara-
tempat berlangsung eksploitasi sumberdaya kat nelayan dengan lingkungan lautnya
seperti ditunjukkan di atas bukanlah merupa- selama ini banyak mengikuti metode ekologi
kan fenomena ekosistem tertutup, melain- budaya (method of cultural ecology) yang
kan adalah lingkungan terbuka bagi pemanfaat menggunakan variabel-variabel lingkungan
dari berbagai tempat asal, etnis, dan kategori untuk menjelaskan sifat selektif dari gaya
sosial; (4) ketimpangan sosial ekonomi di hidup sosial budaya dan ekonomi komuni-
antara individu atau kelompok-kelompok dari tas-komunitas pemburu dan pera-mu di darat
komunitas-komunitas nelayan; dan (5) tidak dan laut dari Steward (1976); neofungsional-
atau kurang berfungsinya lagi suatu isme atau ekosistemik dengan asumsi-
ekosistem, nilai-nilai dasar, suatu institusi, asumsi “keseimbangan” (equilibria), “sistem
atau kebijakan pada tingkat mikrososial in- tertutup” (closed system), “sistem yang
formal yang berbeda-beda (kelompok kerja, mengatur dirinya sendiri” (self-regulating sys-
kelompok etnis, komunitas, desa) dan tem) atau reifikasi dari Rappaport (1968) serta
makrososial formal yang homogen (kesatuan- Vayda dan Rappaport (1968); materialisme
kesatuan sosial daerah administrasi tingkat- budaya (cultural materialism) dengan asumsi
tingkat kabuaten, propinsi, negara/bangsa) pertimbangan keseimbangan “biaya-biaya
yang diasumsikan sebagai mekanisme dan keuntungan” (cost-benefit considerations)
regulasi pemanfaatan sumberdaya alam dari Marvin Harris (1987); ekologi Darwinisme
secara merata, berkelanjutan, dan lestari. dengan asumsi “optimalisasi fitnes dalam
Bagai fenomena aksi pelaku dan pengguna respons/adaptasi untuk survival” (Jochim,
sumberdaya laut dan konsekuensinya seperti 1981); dan berbagai pandangan dalam
ditunjukkan di atas dapat dijelaskan dan kognitivisme dan simbolisme yang ideal
dipahami? Pendekatan ilmiah apa yang lebih tanpa pembuktian empirik. Asumsi-asumsi
cocok diaplikasikan untuk itu? dari berbagai perspektif tersebut dinilai
Vayda lebih banyak bersifat ideal, esen-
PENDEKATAN AKSI DAN KONSEKUENSI sialis, general dan abstrak, totalis, dan apriori
DENGAN MODE PENJELASAN yang tidak atau kurang mampu melihat
KONTEKSTUAL PROGRESIF: APIKASI fenomena variasi, peranan individu dan
DAN PNGEMBANGANNYA bagian-bagian, proses, keterbukaan sistem,
perubahan, temporal dan konteks yang
Adalah sulit menentukan suatu pen- menurut Vayda (dalam Borofsky, 1994:320-
dekatan teoretis dan mode penjelasan 327) justru nyata dan fundamental (banding-
(berimplikasi pada metode penelitian) secara kan dengan Borofsky, 1994:331-346; Barth
empirik mengenai fenomena hubungan dalam Borofsky, 349-360; Moore dalam
manusia dengan lingkungan lautnya yang Borofsky, 1994:362-374).

314
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

Adapun berbagai perspektif antropologi analisis dan penjelasan seperti itu dapat
ekologi baru yang dimaksud antara lain diterapkan dan dikembangkan pendekatan
adalah etno-ekologi yang lebih menekankan aksi dan konsekuensi dengan mode
studinya pada pengetahuan ekologi komunitas penjelasan kontekstual progresif yang
etnis lokal, tetapi banyak mengabaikan aspek diperkenalkan oleh Vayda melalui studinya
praktik yang justru menjadi pengukur dalam pada kasus-kasus perladangan berpindah-
penjelasan yang empirik; pendekatan bahaya pindah dan penebangan kayu di Kalimantan
yang berasosiasi dengan asumsi tindakan Timur.
rasional individu (TIR) dari Vayda dan McCay Pendekatan aksi dan konsekuensi
(1975) yang mengutamakan pikiran individu/ dengan mode penjelasan kontekstual merupa-
pelaku, proses, faktor-faktor situasi dan kan salah satu pendekatan baru dalam ekologi
kondisi internal dan eksternal, tetapi cenderung manusia/antropologi ekologi yang diperkenal-
meragukan pengetahuan dan nilai-nilai kan oleh Vayda melalui beberapa karyanya
kearifan lokal, masyarakat, kelembagaan, antara lain “Action and Consequencies As
struktur sosial atau fenomena sistem sebagau Objects of Explanation in Human Ecology”
unit analisis; konstruksionis dan simbolik dari (1988) dan “Studying Human Actions and
Palsson (1991, 1999) yang melakukan Their Environmental Consequencies” (1992).
rekonstruksi pola pemahaman, tetapi mere- Pendekatan yang lebih menekankan mode
duksi variasi dengan keunikan-keunikannya penjelasan kontekstual secara empirik ini
yang justru bisa menentukan dalam hubung- merupakan perkembangan dari “pendekatan
an holistik atau konteks sebab akibat; de- bahaya” (hazard approach) yang dibangun
konstruksionis dari Tim Ingold (1992; Osse- oleh Vayda di pertengahan tahun 1970-an.
wijer, 2001) yang mengutamakan keterlibat- Pendekatan tersebut muncul sebagai reaksi/
an langsung manusia dengan lingkungannya, kritik terhadap berbagai perspektif teoretis
tetapi cenderung mengurangi peranan kog- besar tersebut.
nitif (budaya) sebagai acuan perilaku; land- Pendekatan aksi dan konsekuensi di-
schap anthropology yang disenangi Manon bangun oleh Vayda melalui studinya pada
Osseweijer (2001) yang melihat lingkungan perilaku pengguna sumberdaya hutan seperti
ekologi sebagai perwakilan identitas dan peladang berpindah-pindah, petani lada,
milik suatu kelompok masyarakat yang bisa pengusaha kayu, peramu hasil hutan di
terjebak dalam konstruksi simbolik-metaforik, Kalimantan Timur (Vayda, 1989; 1996).
tetapi banyak mengabaikan dimensi-dimensi Pendekatan aksi dan konsekuensi, pada satu
perilaku dan kognisi yang disadari masya- segi, pada intinya mengusulkan untuk
rakat; dan perspektif kontekstualis dari Alf menjadikan tindakan-tindakan (actions)
Honborg (1999) yang memilih konteks sosial manusia dan konsekuensi terduga atau tak
budaya lokal sebagai kebenaran moral, tetapi terduga (intended and unintended consequen-
mengabaikan konteks eksternal sebagai fakta cies) sebagai objek penjelasan yang tepat,
empirik yang banyak mempengaruhi proses dan pada segi lainnya, untuk menjelaskannya
dinamika sosial budaya lokal yang pada dalam suatu mode yang disebut oleh Vayda
gilirannya menentukan pola-pola baru dalam sebagai “mode penjelasan kontekstual” (con-
eksploitasi sumberdaya lingkungan. textual mode of explanation). Mode pen-
Suatu studi dalam antropologi ekologi jelasan dengan asumsi-asumsi, prosedurnya
yang diharapkan dapat menghindari berbagai seperti berikut. Pertama, kontekstualisasi
persoalan asumsi-asumsi esensial, apriori, aksi dan konsekuensi tanpa suatu apriori
generalisasi abstrak seperti disebutkan di demarkasi konteks. Ini dimaksudkan untuk
atas adalah studi yang bermaksud melakukan menempatkan aksi-aksi dan konsekuensi-
suatu pembuktian secara empirik, yakni me- nya, faktor pengaruh, waktu, tempat, dan
nempatkan praktik-prktik eksploitasi sumber- proses secara bersama-sama dalam sua-tu
daya alam dan konsekuensinya dalam penjelasan yang kontekstual yang semua-
konteks-konteks pengaruh sosial budaya in- nya berdasarkan fakta nyata hasil temuan
ternal dan eksternal yang historik. Untuk la-pangan. Jadi, bukan konteks yang sudah

315
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325

dibatasi terlebih dahulu (predefined demar- nyambungnya rantai komponen-komponen


cation of context) yang dianggap berlaku kausal berdekatan (contingency) hingga pada
umum. Mode penjelasan yang kontekstual aksi dan konsekuensinya sudah dapat
ialah dari bawah (aksi dan konsekuensi) ke memberikan penjelasan secara empirik
atas (konteks pengaruh); jadi, alurnya sehingga sudah dapat memberikan kepuasan
buttom-up yang empitik, bukan top-down akademik (curiocity intelektual) bagi
yang cenderung ideal. peneliti—bandingkan dengan pemikiran
Kedua, faktor-faktor kontekstual Eriksen (2004:37-41) tentang holisme dan
(explanantia) mencakup bukan hanya berupa konteks.
konteks fisik dan institusi sosial, tetapi juga Keempat, diingatkan bahwa dalam pen-
budaya (keinginan, maksud/tujuan, penge- jelasan konsekuensi yang tidak dimaksud-
tahuan, keyakinan, gagasan, nilai) dari kan (unintended consequencies) jangan
pelaku, baik perorangan maupun kelompok, berasumsi bahwa tindakan-tindakan yang
semuanya dikategorikan sebagai faktor in- membawa konsekuensi-konsekuensi ter-
ternal. Contoh-contoh dari konteks budaya sebut ada dalam kontrol proses-proses atau
dari suatu pola tindakan seperti “keinginan” unit-unit pada tingkat lebih tinggi seperti
petani Dayak membuka hutan secara ber- komunitas, masyarakat, ekosistem, dan lain-
dekatan “dimaksudkan” untuk bisa meng- lain. Pada kenya-taannya menurut Bulmer
atasi masalah hama tanaman (Macki); per- (dalam Vayda, 1982), ada banyak tindakan
kebunan lada yang intensif dari petani-petani yang tampak menyerupai praktik-praktik
Bugis di Kalimantan Timur merupakan praktik konservasi, pada hal ini hanyalah dimaksud-
dari “nilai-nilai ke-petualangan dan mobilitas” kan untuk mengejar kepentingan jangka
dianut sejak dahulu kala (Lineton, 1975a; pendek pelakunya (Vayda, 1993:65; 1996:8).
1975b; Vayda, 1994; 1996; Acciaioli, 1989: Pendekatan aksi dan konsekuensi de-
282-284); dan ide-ide orang Cina menebang ngan mode penjelasan kontekstual progresif
pohon untuk kepentingan jangka pendek, dari Vayda dinilai cukup memadai dan relevan
yakni untuk mengusir binatang berbahaya diaplikasikan dan dikembangkan dalam studi
dari tempat-tempat perlindungannya, pem- fenomena eksploitasi sumberdaya laut pada
buatan arang, dan memperoleh kayu bahan berbagai lingkungan ekosistemnya seperti
bangunan di kota-kota tua Cina (Tuan, digambarkan pada bagian pengantar tulisan
1970:248). ini. Perhatian kepada dan kemampuan
Ketiga, suatu petunjuk penting dalam melihat kompleksitas fenomena degradasi
penjelasan kausal kontekstual bahwa peneliti lingkungan dan sumberdaya alam, hubung-
harus melacak benang-benang pengaruh an-hubungan sosial ekonomi, keterbukaan
secara kausal pada aksi-aksi dan konsekuen- sistem ekologi, usaha ke arah dan petunjuk
si keluar dari ruang (outward in space) dan menemukan faktor-faktor internal (sosial
kembali ke belakang dalam waktu (backward budaya lokal) dan eksternal (sosial budaya,
in time) (Vayda, 1996:16, 32-35; 1993). ekonomi, politik, teknologi, demografi,
Petunjuk tersebut mengindikasikan perlunya lingkungan fisik) dalam konteks historik, yang
memasukkan konteks sejarah dan ruang semuanya menyumbang kepada bentuk-
eksternal dalam penjelasan dan pemahaman bentuk perilaku eksploitasi dan konsekuensi
terhadap pola-pola tindakan eksploitasi lingkungan ditimbulkannya, merupakan
sumberdaya alam tertentu—bandingkan kekuatan khusus dari pendekatan dan mode
dengan Kottak dan Colson (Borofsky, 1994) penjelasan ini. Sebaliknya, asumsi-asumsi
tentang perlunya memperhitungkan kekuat- tertentu yang dinilai ekstrim seperti “versi
an-kekuatan eksternal dalam memahami metode individualisme” yang ekstrim, yang
budaya lokal. memungkinkan peneliti bisa terjebak pula
Hingga seberapa jauhkah ke belakang dalam sikap apriori. Demikian juga fatalisme
dan ke luar peneliti melacak benang-benang atau sikap pesimis terhadap fungsi sistem-
pengaruh yang kontekstual? Itu tergantung sistem tradisional untuk menejemen
pada seberapa jauh kaitan historik dan me- lingkungan dan sumberdaya sebaiknya

316
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

ditolak karena, meskipun sistem-sistem VARIASI PERILAKU EKSPLOITASI


tradisional yang mengandung kearifan sedang SUMBERDAYA TAKA DAN
dalam kondisi terjepit oleh sistem-sistem KONSEKUENSI LINGKUNGAN DAN
modern yang komersial dan destruktif, masih SUMBERDAYA DITIMBULKANNYA
dapat direvitalisasi dan dikembangkan,
Dalam konteks Pulau Sembilan—Burung-
misalnya melalui pendekatan pengelolaan
loe, Liang-liang, Kambuno (pusat Kecamatan),
terpadu (co-management approach). Kodingare, Batanglampe, Kanalo1, Kanalo 2,
Dengan mengacu kepada segenap Katindoang, Larea-rea (delapan pulau yang
fenomena eksploitasi sumberdaya dengan tersebut pertama berpenghuni)—gugusan
konsekuensi lingkungan ditimbulkannya, taka-taka mempunyai dua fungsi utama,
masalah pokok yang relevan diangkat dalam yaitu melindungi secara alamiah bagian-bagian
tulisan ini ialah kenapa dan bagaimana pantai pulau-pulau dari ancaman gelombang
perilaku nelayan bisa membawa konsekuensi dan arus dan menyediakan sumberdaya alam
degradasi lingkungan dan kemerosotan untuk berbagai kegunaan bagi kehidupan
sumberdaya perikanan taka? Rincian manusia. Bagi masyarakat Pulau Sembilan,
masalahnya sebagai berikut. (1) Bagaimana pemfungsian sumberdaya taka (berupa
pola-pola perilaku eksploitasi sumberdaya karang dan biota lain yang hidup di situ)
laut dipraktikkan nelayan dan bagaimana ciri- mereka arahkan pada dua kegunaan
ciri konsekuensi lingkungan dan sumberdaya pokoknya, yaitu bagi keperluan pembangunan
ditimbulkannya? (2) Individu-individu dan pemukiman dan kehidupan ekonomi per-
kelompok-kelompok nelayan mana yang ikanan. Untuk kegunaan pertama, masyara-
mempraktekkan perilaku-perilaku tersebut? kat di setiap pulau menggunakan teknik
eksploitasi yang seragam (membongkar
(3) Konteks sosial budaya lokal bagaimana
dengan linggis dan mengangkut ke pantai),
yang mempedomani berbagai perilaku
sedangkan pemanfaatan sumberdaya
eksploitasi sumberdaya laut? (4) Konteks
perikanan dicirikan dengan teknik-teknik dan
eksternal bagaimana pula mempengaruhi pola-pola perilaku eksploitasi yang beragam.
secara signifikan perilaku nelayan yang Baik perilaku eksploitasi untuk kategori
eksploitatif dan destruktif tersebut? Setting pemanfaatan yang pertama maupun yang
lokasinya difokuskan pada daerah ekosistem kedua semuanya membawa konsekuensi
terumbu karang (taka dalam bahasa Bugis) bagi perubahan-perubahan kondisi lingkung-
dalam dan sekitar perairan Pulau Sembilan an dan sumbedaya taka itu sendiri. Untuk
(Teluk Bone), Sinjai, Sulawesi Selatan, tempat materi bahasan tulisan ini, hanya digunakan
ciri eksploitasi sumberdaya laut seperti kasus-kasus perilaku nelayan pencari
digambarkan di atas juga ditemukan. teripang, nelayan bom, dan nelayan bius
Tulisan ini bertujuan memahami variasi yang beroperasi pada taka-taka dalam dan
perilaku eksploitasi sumberdaya taka dan sekitar perairan Pulau Sembilan. Semua
konsekuensi lingkungan dalam konteks bentuk aktivitas nelayan tersebut mengguna-
sosial budaya internal dan eksternal dengan kan alat-alat tangkap yang potensial meng-
aplikasi dan pengembangan pendekatan aksi ubah kondisi terumbu karang.
dan konsekuensi dengan mode penjelasan Mencari teripang merupakan aktivitas
konteks-tual progresif dan berbagai asumsi yang menjadikan komunitas-komunitas
Pulau Sembilan dikenal sebagai pelaut dan
dalam pendekatan-pendekatan antropologi
penyelam ulung meskipun penyelam teripang
eko-logi yang relevan dengan fenomena yang
hanya sebagian dari nelayan Kambuno,
dikaji. Materi untuk bahasan diambil dari data
Kodingare, Batanglampe, dan Kanalo 1—di
tentang kasus-kasus perilaku nelayan antara keempatnya, nelayan Kambuno dan
teripang, nelayan bom, dan nelayan bius Kodingare dikenal sebagai yang paling
Pulau Sembilan yang dikumpulkan untuk hebat. Pada masa lalu ketika populasi
penulisan disertasi sekarang. teripang dari semua jenis masih cukup

317
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325

melimpah, nelayan hanya beroperasi dalam taka-taka. Gejala kerusakan karang yang
taka-taka Pulau Sembilan dan sekitarnya. diakibatkan oleh bom berupa kehan-curan
Untuk merespon permintaan pasar yang dan patah-patah.
meningkat, mulai pertengahan periode 1970- Bius adalah sarana tangkap baru yang
an mereka mengadopsi sarana selam mod- digunakan nelayan Pulau Sembilan, khusus-
ern berupa tabung gas yang diperkenalkan nya yang dari Kambuno, untuk menangkap
oleh pengusaha-pegusaha Cina dari Makas- ikan-ikan karang sunu, kerapu, napoleon
sar, berikut kompresor sejak awal periode yang dijual dalam kondisi hidup ke Hongkong
1990-an hingga sekarang. Digunakannya dan Singapura. Teknik bius pertama kali
tabung gas memungkinkan nelayan yang diperkenalkan kepada nelayan setempat oleh
beroperasi dalam kelompok-kelompok besar pelatih penangkapan ikan dari Hongkong.
dapat bekerja secara intensif dan memper- Cara kerjanya ialah nelayan memantau dan
oleh tangkapan secara berlipat ganda. mengejar ikan secara terus-menerus di atas
Akibatnya, hanya beberapa tahun kemudian permukaan taka hingga masuk berlindung
populasi dari semua jenis teripang yang dalam lubang batu-batu karang setelah
mempunyai nilai tukar tinggi mengalami kelelahan, dan pada saat itulah nelayan
kemerosotan drastis dalam dan sekitar taka- menyemprotnya dengan bius. Sebagian pula
taka Pulau Sembilan. Demikianlah, sejak nelayan menyelam langsung pada rumah-
tahun 1980-an kelompok-kelompok nelayan rumah ikan yang disebut batu—ini merupakan
teripang mulai mencari daerah-daerah pe- kelompok batu-batu karang besar yang disebut
nangkapan yang baru, terutama daerah-daerah batu mandi—kemudian menyemprot ikan-
karang di bagian timur Indonesia. Seperti yang ikan sedang istirahat atau bersembunyi di
terjadi di tempat-tempat lainnya, pengaruh situ. Karena penyelam menggunakan
paling mencolok dari penggunaan sarana perangkat sarana selam modern (masker
selam modern tersebut ialah kemerosotan yang dihubungkan ke pompa udara/kompresor
populasi teripang di taka-taka, bukan ter- di atas perahu), aktivitas nelayan memungkin-
hadap perubahan perubahan kondisi terumbu kan menjadi intensif dan meluas di taka-taka.
karang. Pengaruh penggunaan bius di taka-taka ialah
Bom merupakan salah satu alat tangkap matinya karang secara pelan-pelan dalam
yang digunakan nelayan Pulau Sembilan, area yang cukup luas yang lama kelamaan
khususnya yang dari Kambuno dan Kodi- karang-karang mati tersebut menjadi kropos.
ngare, sejak dahulu hingga sekarang. Lokasi- Bukti-bukti dampak perilaku nelayan
lokasi pemboman ialah taka-taka dalam atau terhadap perubahan kondisi terumbu karang
yang agak dangkal. Tangkapan bom ialah dalam taka-taka Pulau Sembilan ditunjukkan
ikan-ikan permukaan yang hidup ber- dan diinformasikan oleh berbagai pihak,
kelompok, terutama rappo-rappo (ekor antara lain oleh Pusat Studi Terumbu Karang
kuning), sinrili, banjarai, layang, dan ikan- Universitas Hasanuddin yang menunjukkan
ikan dasar seperti kerapu, sunu, laccukang tiga ciri kerusakan, yakni berupa pecahan dan
(napoleon), dan katamba. Ketika sasaran patahan (ruble), perubahan warna (bleaching),
sudah ditemukan, nelayan kemudian melem- dan kematian (dead) yang ditemukannya pada
parkan bom ke situ. Ledakan yang sangat hampir semua taka. Ciri-ciri perubahan
berpengaruh terhadap karang ialah ledakan karang seperti ini saya bersama nelayan
yang terjadi di dasar. Ledakan yang dahsyat (dengan saya ikut melakukan pengamatan
dapat mengakibatkan hancurnya karang di laut) temukan juga di beberapa bagian
minimal seluas satu meter keliling. Karena taka-taka dangkal. Sumber informasi lainnya
akhir-akhir ini kebanyakan nelayan meledak- ialah berita dari pihak Pemerintah Daerah dan
kan bomnya di dasar dengan maksud agar beberapa LSM yang seringkali melakukan
bunyi ledakan tidak terdengan oleh pihak pemberdayaan bagi masyarakat nelayan,
keamanan yang sedang berpatroli, secara termasuk di Pulau Sembilan.
otomatis penggunaan bom yang intensif Kalau mengikuti mode penjelasan
mempercepat kerusakan terumbu karang di kotekstual progresif yang empirik, untuk

318
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

memahami pola-pola perilaku nelayan dan dengan istilah ‘ponggawa-sawi’—kelembagaan


konsekuensinya masing-masing seperti ini diacukan kepada kelompok, norma, praktik
digambarkan di atas, harus dianalisis dan kerja-sama terpola. Dari hasil studi lapangan
dijelaskan dalam konteks internal (sosial yang diperkuat dengan berbagai sumber
budaya lokal) dan konteks eksternalnya, kepustakaan, terutama karya Arifin Sallatang
karena fenomena di lapangan memang (1984) dan Mattulada (1986), diketahui adanya
demikian. Sajian pada sub-subbahasan sekurang-kurangnya delapan komponen terkait
berikut, ialah kedua penjelasan konteks in- sistem ekonomi perikanan laut nelayan Pulau
ternal dan eksternal dari perilaku nelayan. Sembilan yang berlangsung dan diatur dalam
lembaga ponggawa-sawi atau dapat dipa-hami
KONTEKS SOSIAL BUDAYA/INTERNAL sebagai fungsi utama dari lembaga ponggawa-
DARI PERILAKU NELAYAN DAN sawi tersebut. Kedelapan komponen fungsi
KONSEKUENSINYA tersebut meliputi (1) rekrut anggota dan
pengerahan kerjasama di laut, (2) lembaga
Dari studi literatur yang cukup luas pembelajaran pengetahuan dan keterampilan
ditemukan bahwa aktivitas ekonomi nelayan nelayan (termasuk penanaman sikap ke-
di mana-mana selalu dicirikan dengan keter- pribadian kolektif), (3) pengelolaan modal (ter-
kaitannya secara fungsional dan mutlak masuk adopsi teknologi eksploitasi), (4)
dengan institusi sosial, kelompok, organisasi, pemasaran hasil tangkapan, (5) bagi hasil
komunitas, dan pihak-pihak berkepentingan, dan penyelesaian utang piutang, (6) jaminan
baik dari dalam maupun dari luar komunitas- sosial ekonomi keluarga nelayan, (7)
komunitas nelayan itu sendiri, yang menjadi perlindungan dan keamanan, dan (8) arena
konteks sosialnya. Ditemukan pula bahwa pergaulan sebagai mekanisme mengurangi
perilaku nelayan yang melibatkan penggunaan ketegangan psikologis.
berbagai tipe sarana tangkap adalah di- Fungsi monopoli tersebut memungkinkan
pedomani oleh gagasan, pengetahuan, ke- kelembagaan ponggawa-sawi dapat dikategori-
yakinan, nilai yang pragmatis yang menjadi kan sebagai kelembagaan mencakup yang
konteks budayanya. Konteks sosial budaya dominan (total institution)—meniru konsep
diasumsikan sebagai wadah, penggerak, Nolan dan Ougbert (dalam Lette, 1985).
pedoman, dan penentu bagi perilaku (nelayan) Namun, dari perspektif kognitivisme ?
pendukungnya. Di Pulau Sembilan, konteks perspektif ini menjadi salah satu landasan
sosial lokal yang memainkan peranan utama teoretis dari mode penjelasan konteks
dalam kegiatan ekonomi nelayan ialah budaya—harus dipegang suatu asumsi yang
kelompok ponggawa-sawi dan keluarga- bisa dibuktikan secara empirik bahwa
keluarga nelayan aktual (juragan, sawi) rekayasa atau aplikasi kelembagaan pong-
masing-masing. Konteks budayanya adalah gawa-sawi itu sendiri pada mulanya tumbuh
keinginan, maksud/tujuan, gagasan, penge- dari kesepakatan antarindividu, yakni antara
tahuan, kepercayaan atau keyakinan, nilai, pihak yang mempunyai kemampuan keuang-
norma, dan perasaan-perasaan kolektif yang an dan bakat-bakat pengelolaan modal dengan
pragmatis. kebanyakan orang yang hanya bisa me-
nyumbangkan tenaga dan keterampilan
Perilaku Nelayan dalam Konteks kerjanya. Kesepakatan merupakan respon
Sosialnya masyarakat terhadap permintaan pasar yang
Seperti halnya pada masyarakat nelayan meningkat atas komoditi hasil laut. Ber-
Bugis dan Makassar lainnya, semua bentuk tahannya kelembagaan ponggawa-sawi sejak
aktivitas nelayan Pulau Sembilan terkait ratusan tahun silam hingga kini dimungkinkan
pemanfaatan sumberdaya perikanan, kecuali melalui proses negosiasi antara ponggawa dan
menangkap ikan dan biota lainnya untuk sawi secara terus-menerus. Itulah sebabnya
kebutuhan laut pauk semata, juga ber- untuk memahami kelembagaan itu sendiri dan
langsung dalam kerangka kelembagaan praktek-praktek eksploitasi sumberdaya laut
ekonomi perikanan tradisional, yang dikenal tersosialisasikan dan terwadahkan di

319
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325

dalamnya harus ditempatkan dalam konteks siput mata tujuh hingga tahun 2001/2002.
sejarah dan budaya sebagai penentu perilaku Kondisi melimpahnya sumberdaya perikanan
(keinginan, maksud/tujuan), pedoman demikian dimungkinkan oleh belum intensif-
tingkah laku (gagasan, pengetahuan, nilai, nya penangkapan, penggunaan tekno-logi
norma), dan penggerak pikiran dan perilaku tangkap tradisional, dan situasi dan kondisi
paling dasar dan esensial (pemenuhan pasar belum baik selama masa-masa kelim-
kebutuhan hidup, pencapaian cita-cita). pahannya. Ketika permintaan pasar me-
ningkat dan jaringan perdagangan meluas ke
Perilaku Nelayan dalam Konteks pasar ekspor, dan yang ditunjang dengan
Budayanya sistem perhubungan yang lancar, jenis-jenis
Dengan menjadikan perilaku dan konse- sumberdaya tersebut segera dieksploitasi
kuensinya sebagai titik tolak melacak secara intensif dengan prinsip-prinsip
konteks budaya yang berada di belakang- maksimisasi, efektivitas, dan efisiensi sebagai
nya, ditemukan pula berbagai komponen acuannya. Demikianlah, ladung (alat tusuk)
budaya yang menggerakkan, mengarahkan, untuk teripang yang tidak produktif digantikan
dan menentukan secara mutlak perilaku- dengan teknik pungut langsung dengan
perilaku tersebut. Pola-pola perilaku nelayan tangan dan dikumpulkan dalam keranjang;
Pulau Sembilan, khususnya kelompok- untuk usaha ikan dan lobster hidup, kedua
kelompok pencari teripang, nelayan bom, dan pancing labuh (untuk ikan) dan teknik tangkap
nelayan bius terarahkan dengan gagasan- langsung dengan tangan (untuk lobster)
gagasan, pengetahuan, prinsip-prinsip, digantikan dengan teknik bius. Mengenai
keyakinan, nilai, norma, dan perasaan-perasa- penyelaman, teknik selam biasa yang
an yang pragmatis. Ada gagasan-gagasan mengandalkan ketahanan nafas belaka
tentang “kelimpahan”, “kekurangan”, dan digantikan dengan masker-tabung gas, berikut
“keterbukaan” akan sumberdaya perikanan; nelayan mengubahnya dengan masker-
perangkat-perangkat pengetahuan tentang kompresor yang lebih menjamin keamanan
permintaan pasar dan nilai tukar komoditi hasil di dasar laut. Bagi nelayan bom, pada
laut yang stabil, meningkat atau merosot, mulanya mengunakan bahan peledak dari
klasifikasi pengetahuan tentang perilaku sisa-sisa bom tua dari masa pendudukan
biota laut bernilai ekonomi dan karakteristik tentara Jepang, kemudian menggantinya
habitatnya; etos pencapaian keberhasilan dengan pupuk urea ketika stok lama habis.
usaha dan penghematan (menyerupai Dengan sarana selam modern pula, nelayaan
prinsip-prinsip maksimisasi, efetivitas, dan bisa mengintensifkan tangkapan dengan
efisiensi dalam ilmu ekonomi); pandangan penggunaan berbagai tipe bom, yang
tentang pekerjaan yang berat dan rumit; disesuaikan dengan pengetahuan mereka
pandangan tentang laut yang berbahaya; dan, tentang perilaku ikan target dan karakteristik
pertimbangan-pertimbangan akan kemampu- habitatnya. Bagi pencari siput mata tujuh,
an diri, perasaan kecocokan, kebiasaan, riski, meskipun hanya dengan teknik tradisional,
seni, dan lain-lain. Komponen-komponen kog- namun bagi mereka hasilnya memuaskan.
nitif (budaya) tersebut diwujudkan (dijadikan Prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi
sebagai acuan) dalam praktek ekonomi, tewujudkan misalnya melalui pelemparan
khususnya proses-proses kerja nelayan bom dengan sikap hati-hati dan terampil yang
sehari-hari di laut. menjanjikan keberhasilan karena aksinya
Bagi ketiga kategori nelayan tersebut selalu diarahkan kepada sasaran yang pasti,
di atas, gagasan tentang kelimpahan tumbuh bukan menunggu dan bukan pula acakan
dari informasi dan realita akan melimpahnya yang sifatnya untung-untungan yang banyak
populasi teripang hingga akhir periode 1970- menguras tenaga, menghabiskan waktu dan
an, berbagai jenis ikan permukaan dan dasar biaya. Pada usaha teripang, tumbuh sikap
hingga akhir periode 1980-an, ikan-ikan sunu, persaingan di antara anak buah untuk lebih
kerapu, napoleon, katamba, dan lobster dahulu menyelam ke dasar dengan ambisi
hingga pertengahan periode 1990-an, dan memaksimalkan waktu selam sebab di

320
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

samping perolehan teripang dari pembagian mendatangi lokasi-lokasi berbahaya dan


menurut aturan formal, ada pendapatan lain keramat karena dianggap masih banyak
yang dikuasai setiap anggota yang meng- sumberdaya di situ; ada yang mencoba
angkatnya dari dari dasar berupa kerang, usaha perikanan budidaya laut; ada yang
akar bahar, tali arus, dan karang berbentuk beralih samasekali ke sektor usaha di luar
unik yang mengandung nilai tukar yang perikanan; dan ada pula yang mengem-bara
jumlahnya berbeda-beda di antara mereka ke tempat-tempat lain untuk menemukan
masing-masing. Nelayan bius yang dikenal daerah-daerah pernangkapan baru. Bagi
progresif dan berani memaksimalkan waktu pengembara seperti nelayan teripang, acuan
kerjanya dengan mendatangi lokasi-lokasi keputusan mereka ialah gagasan tentang
yang diperkirakan banyak ikan target atau lob- “laut yang luas dengan sumberdaya terbuka”
ster di situ, meskipun lokasi-lokasi tertentu bagi siapa saja yang mau melakukannya,
yang digarap dipercayai kebanyakan orang sedangkan yang bertahan pada usaha-usaha
sebagai tempat-tempat keramat. Karena lamanya karena mereka sulit meninggalkan
ambisi pengejaran keuntungan (bagi pongga- aktivitas yang sudah menjadi kebiasaannya,
wa) dan pendapatan (bagi sawi), tidak sedikit pertimbangan bahwa kemampuan usahanya
di antara mereka mendapatkan musibah di hanya sampai di situ saja, percaya bahwa
laut, sebagian terkenai sakit lumpuh dan di situlah riskinya, merasa cocok atau karena
sebagian lainnya meninggal dunia. sudah menjadi semacam hobinya.
Dampak dari intensifnya penangkapan Pengalaman dari sifat pekerjaan yang
ialah merosotnya sumberdaya secara drastis berat dan rumit, berbahaya, dan sulitnya
pada taka-taka Pulau Sembilan dan sekitar- perolehan modal, seperti yang mencirikan
nya. Kondisi seperti ini mengenai pertama- bentuk-bentuk aktivitas nelayan teripang,
tama pada populasi teripang sejak akhir bom, dan bius, membentuk gagasan/budaya
periode 1970-an, berbagai jenis ikan dasar masyarakat nelayan tersendiri. Pandangan
dan permukaan yang menjadi tangkapan seperti itu menjadi acuan bagi diperlukannya
berbagai alat-alat tangkap (pancing, pukat), kelompok-kelompok kerjasama nelayan
ikan-ikang utama (sunu, kerapu, napoleon) (ponggawa-sawi) yang besar. Struktur
dan lobster di akhir periode 1990-an, dan hubungan kerjasamanya menggariskan
kerusakan tata-taka tertentu sebagai habi- secara tegas: pong-gawa berperan mengelola
tat siput mata tujuh karena dibongkar oleh modal yang sulit ditanganai dan diakses
pencarinya di waktu malam dan siang hari. setiap orang, sedangkan kelompok nelayan
Dari realita seperti inilah tumbuhnya aktual (juragan dan sawi) melakukan
pandangan dan wacana kekurangan atau kerjasama dalam pro-ses-proses produksi di
keterbatasan sumberdaya perikanan dalam laut sehingga kondisi pekerjaan yang berat
masyarakat Pulau Sembilan. Di setiap pulau bisa diperingan dan yang rumit bisa
dan dan kapan saja didengar ucapan-ucapan disederhanakan.
seperti “kurang tangkapan”, “sulitnya dapat Selain konteks budaya yang dijelaskan
uang”, “riski berkurang”, “susah bayar utang”, di atas, masih ada komponen budaya yang
“bagaimana dapat hidup” dan lain-lain. dimaknai pendukungnya (masyarakat nelayan)
Meskipun demikian, pengalaman dan sebagai yang paling pokok dan esensial yang
pandangan kekurangan bukannya menyurut- menggerakkan setiap orang untuk beusaha
kan motivasi usaha menjadi sikap kepasrah- dengan menggagas pemanfaatan sumberdaya
an, melainkan justru menjadi pendorong ba-gi alam yang potensil. Komponen budaya
setiap anggota kelompok dan ponggawa dimaksud ialah orientasi pemenuhan ke-
menentukan strategi-strategi baru dan butuhan hidup dan pencapaian cita-cita, yang
berbagai alternatif. Misalnya, ada yang tetap semuanya terdaftar dalam klasifikasi penge-
bertahan pada usaha lama yang ilegal dengan tahuan dan pemaknaan dengan skala
membangun pola kolusi dengan oknum- prioritas pemenuhannya masing-masing.
oknum dari aparat keamanan sebagai Bagi keluarga-keluarga nelayan sawi dan
pelindung; sebagian aktif secara liar dengan ponggawa di Pulau Sembilan, sekurang-

321
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325

kurangnya ada empat kategori kebutuhan kondisi permintaan pasarlah yang banyak
pendapatan dijatahkan, yaitu kebutuhan- menyumbang kepada pengayaan hingga
kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, mencapai tidak kurang dari 30 jenis teripang.
kesehatan, perlengkapan rumah tangga), Demikian juga pedagang Cinalah mengajarkan
bayar utang, biaya-biaya dan modal usaha, sorting menurut tingkatan nilai tukar dari yang
dan kebutuhan sosial (pendidikan anak-anak, paling tinggi hingga yang rendah. Pengenalan
perkawinan, acara akikah) dan religius (naik nelayan pada perilaku dan habitat teripang
haji). mengkondisikan perlunya rekayasa teknik
tangkap lokal yang sesuai, yang kemudian
KONTEKS EKSTERNAL DARI PERILAKU dilengkapi dengan sarana selam modern
NELAYAN DAN KONSEKUENSINYA berupa masker-tabung gas dalam peiode
1970-an, berikut masker-kompresor di awal
Sesuai dengan fenomena di lapangan, periode 1990-an, yang diperkenalkan oleh
untuk memahami perilaku nelayan Pulau pengusaha-pengusaha Cina sendiri melalui
Sembilan dan konskuensi lingkungan dan para ponggawa/pengusaha nelayan lokal
sumberdaya taka yang ditimbulkannya, tidak yang terlibat dan berperanan dominan dalam
cukup hanya dijelaskan dalam konteks sosial hubungan-hubungan produksi dan pasar.
budaya/internalnya, tetapi juga dalam konteks Dinamika tersebut merupakan kontribusi
eksternal. Untuk pencarian teripang (ter- awal dari hubungan dengan dunia luar,
masuk jenis kerang mutiara, japing) dan dengan pedagang Cina. Situasi pasar dan
penangkapan ikan-ikan karang utama (sunu, keterlibatan para pedagang asing tersebut,
kerapu, napoleon) dan lobster/udang untuk menurut Akimichi (1996), sebetulnya
komoditi ekspor, konteks eksternalnya ialah digerakkan oleh fungsi teripang yang konon
permintaan pasar dan pihak-pihak terlibat di bagi orang Cina di samping sebagai santapan
dalamnya, adopsi teknologi tangkap, dan enak, juga sebagai bahan obat-obatan untuk
kebijakan pemeintah. kesehatan, nutrisi, vitalitas, memperpanjang
Menurut sejarahnya, pengetahuan dan umur, dan menambah keperkasaan laki-laki.
praktik menyelam mencari teripang bagi Kemudian ketika komoditi lobster dan
nelayan Bugis, Makassar, dan Bajo, bukanlah ikan hidup laku di pasar ekspor (Hongkong
fenomena baru, melainkan fenomena lama dan Singapura) sejak paruh kedua periode
yang dapat dilacak ke beberapa dekade, 1980-an,? pengaruhnya baru sampai di
bahkan beberapa abad ke belakang dan Sulawesi Selatan di awal periode 1990a?
melacak jaringan perdagangannya ke luar sebagian terbesar nelayan, terutama nelayan
hingga melampaui batas-batas negara ke teri-pang, beralih ke usaha lobster dan ikan
pasar ekspor seperti Hongkong, Singapura, hidup. Keterlibatan para pemilik modal dan
Taiwan, RRC, Korea, dan Jepang. Pada pedagang Cina dari Makassar mulai
mulanya, nelayan tidak banyak tahu dan meningkat melalui jenis-jenis ikan target dan
memperhatikan spesis teripang karena tidak kelas-kelas menurut tingkat-tingkat harga
mempunyai nilai tukar. Biota ini mulai dicari seperti super (1 kg), buangan (lebih dari 1 kg),
ketika kapal-kapal dagang Cina yang ramai dan bebi (di bawah super), sarana tangkap
berlabuh di Pelabuhan Kota Somba Opu berupa bius dan teknik membuatnya, dan
(pusat kota Kerajaan Makassar yang jaya keramba penampungan ikan dan lobster
hingga abad ke-17) di abad ke-17 mencari diperkenalkan kepada nelayan Pulau
komoditi ekspor, termasuk hasil-hasil laut Sembilan. Mulailah sejarah budaya usaha
seperti teripang, agar-agar, sirip hiu, sarang ikan dan lobster yang merajai pasar komoditi
burung walet, penyu, dan lain-lain, yang biasa hasil laut dengan cepat mempengaruhi
ditukar langsung dengan barang-barang terkurasnya populasi ikan target dan lobster
rongsokan seperti pakaian, tembikar, dalam dan sekitar taka-taka Pulau Sembilan.
porselin, lilin, dan lain-lain (Mack-night, 1976; Bagaimana kedua komoditi yang pada
Sutherland. 1987). Meskipun digunakan mulanya melimpah di taka-taka Pulau-pulau
nama-nama lokal terhadap spesis ini, namun Sembilan—karena tidak mempunyai nilai

322
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

tukar dan hanya sedikit dimakan karena oleh dan hidup) dimungkinkan oleh kerjasama
sebagian besar penduduk pulau merasakan dagang antarnegara melalui penerbitan Surat
itu menjijikkan atau meng-anggap menyebab- Izin Usaha Perikanan (SIUP), terkecuali bagi
kan kebiasaan malas jika dimakan—pada usaha-usaha nelayan kecil (antara lain di-atur
akhirnya hanya memerlukan sekitar tujuh dalam Amandemen Peraturan Dirjen
tahun saja populasinya merosot drastis Perikanan No.HK.330/DJ.8259/95, tentang
karena penangkapan yang intensif dan ska-la, lokasi, dan prosedur menangkap na-
keterlibatan nelayan secara besar-besaran. poleon wrasse). Berhentinya sebagian besar
Bahkan, kondisi terumbu karang menurut nelayan Pulau Sembilan mengambil batu
pendapat berbagai pihak juga mengalami karang secara terbuka dan besar-besaran dari
kerusakan meluas dan parah akibat pengguna- taka-taka sendiri dipengaruhi oleh Peraturan
an bius dari bahan kimian beracun. Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan
Kenapa permintaan komoditi ikan dan tersebut melalui sosialisasi dan aksi-aksi
lobster hidup meningkat di pasar ekspor penyadaran lingkungan dilakukan oleh LSM
tersebut? Hal ini, menurut Akimici (1996), Lapeksdam dengan penyebaran poster jenis-
disebabkan oleh faktor terjadinya perubahan jenis biota laut langka dilindungi dunia.
pola makan kelas konsumen elite di neara-
negara pengimpor dari mengkonsumsi hasil SIMPULAN
laut dalam kondisi segar yang sudah
dihidangkan di meja restoran Seafood ke Perilaku nelayan teripang, nelayan bom,
model baru dengan para pengunjung terlebih dan bius yang intensif karena didukung sarana
dahulu memancing ikan atau lobster hidup selam modern terbukti berdampak pada
dari kolam-kolam penampungan lalu diolah kondisi kemerosotan populasi sumberdaya
dan disajikan para pelayan menurut selera perikanan dan kerusakan habitat ekosistem
pengunjung masing-masing. Pola makan terumbu karang. Alasan mengapa nelayan
baru di restoran-restoran Cina seperti ini, menggunakan bom dan bius serta sarana
menurutnya, di samping terkait pada nilai selam tersebut hanya dapat dipahami dengan
kenikmatan santapan, juga karena dapat analisis dan penjelasan konteks internal/sosial
memperkuat status sosial konsumennya. budaya dan konteks eksternal dari perilaku
Konteks birokrasi melalui pelaksanaan tesebut sebab kedua konteks inilah yang
kebijakan pemerintah juga menyumbang menyumbang kepada berbagai pola perilaku
kepada perubahan-perubahan keputusan dan eksploitasi, yang pada gilirannya berkonse-
perilaku nelayan melalui respon-respon ide kuensi terhadap perubahan-perubahan
dan sikap-sikap menerima atau menolak. lingkungan dan stok sumberdaya perikanan.
Misalnya, telah terbentuknya berbagai strategi Konteks sosial berpusat pada kelembagaan
sebagian nelayan bom dan bius dalam rangka ponggawa-sawi, konteks budayanya berupa
mempertahankan aktivitas ilegalnya atau gagasan-gagasan, pengetahuan, prinsip-
memutuskan untuk berhenti dari kegiatan prinsip kerja, keyakinan, nilai, norma, dan
tersebut dipengaruhi oleh aturan hukum dan perasaan-perasaan, keinginan, tujuan, dan
implementasinya (antara lain Peraturan cita-cita yang pragmatis. Konteks ekternal
Pemerintah Daerah TK I Sulawesi Selatan yang mempengaruhi perilaku (melalui
No.7 1987, tentang larangan pengambilan dan tanggapan atau respon budaya pelaku) ialah
pengrusakan terumbu karang di sepanjang situasi pasar, adopsi teknologi eksploitasi,
perairan pantai Sulawesi Selatan). Strategi dan cara implementasi kebijakan pemerintah.
itu dimaksudkan seperti terbentuknya pola- Jadi, kesatuan sistem sosial budaya dan
pola hubungan kolusi antara nelayan dengan ekosistem laut/terumbu karang bukanlah
oknum-oknum sebagai pelindung aktivitasnya sistem-sistem tertutup, melainkan sistem-
sehari-hari. Eksploitasi berbagai spesis laut sistem terbuka, yang dicirikan dengan
untuk komoditi ekspor (seperti, teripang, penangkapan berlebih dan destruktif.
kerang (mutiara, lola), rumput laut, sirip hiu, Dominannya praktik penggunaan bom dan
telur ikan, ikan (segar dan hidup), lobster (segar bius menyebabkan suatu institusi dan

323
Humaniora Volume 17, No. 3, Oktober 2005: 312 –325

praktek pemanfaatan sumberdaya taka yang Jochim, M.A 1981. Strategy for Survival : Cultural
arif lingkungan—contohnya, klaim hak ko- Behavior in An Ecological Context. New York:
munitas nelayan Liang-liang atas sarang- Academic Press.
sarang ikan (batu) di taka-taka dan peng- Kottak dan Elizabeth Colson. 1994. “Multilevel
gunaan pancing labuh di situ—menjadi tidak Linkages: Longitudinal and Comparative
berfungsi lagi.
Studies” dalam Robert Borofsky (ed.).
DAFTAR RUJUKAN
Assessing Cultural Anthropology (Sectionfive,
pp: 396-410). New York: McGraw-Hill, Inc.,
Acciaioli, G.L. 1989. “Bugis Enterpreneurialism hal. 397-408.
and Resource Use: Structure and Practise” Kusumaatmadja, Sarwono. 1999. “Pokok-pokok
dalam Indonesian Journal of Social and Cultural Kebijakan Pembangunan Kelautan Nasional”.
Anthropology. No.57, Th. XXII September- Makalah Seminar Nasional Pembangunan
Desember 1998: 81-91. Kelautan, Indonesia (Peringatan 40 tahun
Akimichi, Tomoya. 1996. Coastal Foragers in Deklarasi Djuanda). Kerjasama Antar Badan
Transition. Seri Ethnological Studies No. 42, Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Se-
National Museum of Ethnology. Indonesia Timur (BKS PTN INTIM) dengan
Barth, Fredrik. 1994. “A Personal View of Present Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan,
Task and Priorities in Cultural and Social
Makassar.
Anthropology” dalam Robert Borofsky
Laksono, P.M. dkk. 2000. Perempuan di Hutan
(Ed.), AccessingCulturalAnthropology (Section
Mangrove: Kearifan Ekologis Masyarakat
five). New York: McGraw-Hill, Inc.
Borofsky, Robert. 1994. “Cultural in Motion” Papua. Yogyakarta: Galang Press.
dalam Robert Borofsky (ed), .Assessing Lette, jarich. 1985. “Incorporatie in Gayang,
Cultural Anthropology. New York: Mc Graw- Sabah – Malaysia”. Disertasi Landbouw
Hill,Inc. Gogeschool te Wageningen, Nederland.
1994. “On The Knowledge and Knowing of Lineton, J. 1975a. “An Indonesian Society and Its
Cultural Activities” dalam Robert Borofsky Universe: A Study of the Bugis of South
(Ed.), AssessingCulturalAnthropology (Section Sulawesi (Celebes) and their Role Within A
five). New York: McGraw-Hill, Inc. Wider Social and Economic System”.
Dahuri, Rokhmin dan Jacob Rais. 1996. Disertasi School of Oriental and African
Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Studies, University of London.
Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT Pradnya 1975b. “Pasompe “Ugi”: Bugis Migrants and
Paramita. Wanderers” dalam Archipel 10, hal. 173-201.
Eriksen, Thomas Hylland. 2004. What is Mattulada. 1986. “Manusia Bawahan dalam
Anthropology. London: Pluto Press. Menejemen”. Makalah Seminar Manajemen
Harris, Marvin. 1987. The Sacred Cow and the Pembangunan menurut Budaya Bangsa
Abiminable Pig: Riddles of on Food and Culture. Indonesia, Sanur, 20-21 Sept.1985.
New York: Simon & Schuster. McCay, Bonnie J. 1978. “System Ecology, People
Homborg, Alf. 1999. “Ecology as Semiotic:
Ecology, and the Anthropology of Fishing
Outlines of A Contextualist Paradigm for
Communities” dalam Human Ecology.Vol.6,
Human Ecology” dalam Philippe Descola
No. 4, hal. 397-422.
dan Gisli Palsson (Eds.), Nature and Society:
Anthropological Perspectives. London dan Macknight, C.C. 1976. The Voyage to Marege:
New York: Routledge. Macassan Trepangers in Northern Australia.
Ingold, Tim. 1992. “Culture and Perception of Melbourne: Melbourne University Press.
the Environment” dalam E. Croll dan D. Moore, Sally Falk. 1994. “The Ethnography of
Parkin (eds.), BushBase,ForestFarm:Culture, the Present and the Analysis of Process”
Environment and Development. London dan dalam Robert Borofsky (ed), AssessingCultural
New York: Routledge, London. Anthropology. New York: McGraw-Hill, Inc.

324
Munsi Lampe dkk, Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka

Osseweijer, Manon. 2001. “Taken at the Flood: propinsi di Indonesia Buku 1 dan 2. Jakarta:
Marine Resource Use and Management in the PPT-LIPI.
Aru Islanders (Maluku, Eastern Indonesia)”. Tuan, Y, 1970. “Our Treatment of the Environment
Disertasi Universiteit te Leiden. in Ideal and Actuality” dalam American
Palsson, Gisli.1991. Coastal Economies, Cultural Scientist, 58, hal. 246–249.
Accounts: Human Ecology and Icelandic Vayda, Andrew A. 1982. “Progressive
Discourse. Manchester: Manchester Contextualization : Method for Research in
University Press. Human Ecology” dalam Human Ecology,11,
_ _ _ _ __1999. “Human-Environmental Relations: hal. 265-281
Orientalism, Paternalism, and Communalism” _ _ _ _ _ _ 1988, “Action and Consequences as
dalam Philippe Descola dan Gisli Palsson Objects of Explanation in Human Ecology”
(eds.), Nature and Society: Anthropological dalam Environment, Technology and Society
Perspectives. London dan New York: 51, hal. 2-7.
Routledge. 1989. “Explanating Why Marings Fought”. Journl
Raharjo, Yulfita. 1995. “Proposal Studi Analisis Anthropological Research 45 : 159-177.
Sosial Untuk Perencanaan Rehabilitasi dan 1989. “Explanating Why Marings Fought”
Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP) dalam Journl Anthropolog-ical Research 45,
di Indonesia”. Jakarta: PPT-LIPI. hal. 159-177.
Rappaport, Roy A. 1968. Pigs for The Ancestors: 1992. “Studying Human Actions and Their
Ritual In the Ecology of New Guinea People. Environmental Consequences” dalam
New Haven: Yale University Press. Forestry for People and Nature. CYPED,
Saad, Sudirman.,2000. “Hak Pemeliharaan dan Cabagan, Isabela Philipines, hal. 293-307.
Penangkapan ikan, Eksistensi dan Prospek 1993. “Eosystem and Human Action”. In M.J.
Pengaturannya di Indonesia”. Disertasi McDonnell and S.T.A. Pickett (eds). Humans
Progaram Studi Hukum, Fakultas. as Components of Eosystems. Springer-Verlag.
Pascasarjana UGM, Yogyakarta. New York.
Sallatang, Arifin. 1984. Ponggawa-sawi: Suatu 1994. “Actions, Variations, and Change : Emerging
Studi Kelompok Kecil dalam Masyarakat Anti Essentialist View in Anthropology”
Nelayan Bugis. Disertasi Universitas dalam R.Borofsky (Ed.), Assesing Cultural
Hasanuddin Ujung Pandang. Anthropology. New York: McGraw Hill, Inc.
Semedi, Pujo. 2001. “Closed to the Stone, Far From 1996. Methods and Explanations in the Study of
the Throne: The Story of A Javanese Fishing Human Actionss and their En-vironmental
Community, 1820s-1990s”. Disertasi Faculteit Effects. Bogor: CIFOR/WWF.
derMaatschappij-en Ged-ragswetenchappen, Vayda, Andrew P. dan R.A. Rappaport. 1968.
Universiteit van Amsterdam. “Ecology, Culture and Non-culture” dalam
Steward, J., 1976. Theory of Culture Change. Clifton, J.A. (Ed.), Introduction to Cultural
Chicago: University of Illionis Press Urba-na. Anthropology. Boston: Houghton-Mef-flin.
Sutherland, H. 1987. “ Tripang and Wangkang. Vayda, Andrew P. 1975. “New Directions in
The China Trade of Eightreenth Century Ecology and Ecological Anthropology”.
Makassar, 1972-1820”. Makalah Konferensi Annual Review of Anthropology 4, hal. 293–
Tentang Trade, Society and Belief in South 306.
Sulawesi, Leiden, 2-6 Nopember 1987. Winarto, T. dkk. 1999. Abrasion, Mangrove
Tim Analisis Sosial – COREMAP. 1996/1997- Conservation, Coral Reef Degradation.Jakarta:
1997/1998. “Studi Analisa Sosial – Departemen Antropologi Fisip – Univ.
COREMAP”. Laporan Penelitian di 10 Indonesia dan UNESCO.

325

Anda mungkin juga menyukai