Oleh
NIM : P07120015052
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2017
LAPORAN PENDAHULUAN
I. KONSEP PENYAKIT
A. PENGERTIAN
B. ETIOLOGI
D. KLASIFIKASI
Terdapat 2 jenis hiperbilirubin yaitu yang fisiologis dan patologis :
1. Hiperbilirubin fisiologi
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai
potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup
bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
e. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
2. Hiperbilirubin Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau
melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan.
c. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
(Arief ZR, 2009. hlm. 29)
E. PATOFISIOLOGI
Tingginya morbiditas dan mortalitas bayi berat lahir rendah masih
menjadi masalah utama. Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya kehamilan
maupun pada waktu sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi BBLR.
Kurang gizi yang kronis pada masa anak-anak dengan/tanpa sakit yang
berulang akan menyebabkan bentuk tubuh yang “Stunting/ Kuntet” pada
masa dewasa, kondisi ini sering melahirkan bayi BBLR.
Faktor-faktor lain selama kehamilan, misalnya sakit berat, komplikasi
kehamilan, kurang gizi, keadaan stres pada hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin melalui efek buruk yang menimpa ibunya, atau
mempengaruhi pertumbuhan plasenta dan transpor zat-zat gizi ke janin
sehingga menyebabkan bayi BBLR.
Bayi BBLR akan memiliki alat tubuh yang belum berfungsi dengan
baik. Oleh sebab itu ia akan mengalami kesulitan untuk hidup di luar uterus
ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna
pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya
terjadi komplikasi dan makin tinggi angka kematiannya.
Berkaitan dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya, baik
anatomik maupun fisiologik maka mudah timbul masalah misalnya:
1. Suhu tubuh yang tidak stabil karena kesulitan mempertahankan suhu
tubuh yang disebabkan oleh penguapan yang bertambah akibat dari
kurangnya jaringan lemak di bawah kulit, permukaan tubuh yang relatif
lebih luas dibandingkan BB, otot yang tidak aktif, produksi panas yang
berkurang.
2. Gangguan pernapasan yang sering menimbulkan penyakit berat pada
BBLR, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru
yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih lemah
3. Gangguan alat pencernaan dan problem nutrisi, distensi abdomen akibat
dari motilitas usus kurang, volume lambung kurang, sehingga waktu
pengosongan lambung bertambah
4. Ginjal yang immatur baik secara anatomis mapun fisiologis, produksi
urine berkurang
5. Gangguan immunologik : daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang
karena rendahnya kadar IgG gamma globulin. Bayi prematur relatif
belum sanggup membentuk antibodi dan daya fagositas serta reaksi
terhadap peradangan masih belum baik.
6. Perdarahan intraventrikuler, hal ini disebabkan oleh karena bayi prematur
sering menderita apnea, hipoksia dan sindrom pernapasan, akibatnya bayi
menjadi hipoksia, hipertensi dan hiperkapnea, di mana keadaan ini
menyebabkan aliran darah ke otak bertambah dan keadaan ini disebabkan
oleh karena tidak adanya otoregulasi serebral pada bayi prematur
sehingga mudah terjadi perdarahan dari pembuluh kapiler yang rapuh.
F. GEJALA KLINIS
1. Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan membran mukosa.
2. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik atau
infeksi.
3. Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke tiga, dan mencapai
puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun pada hari
ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
4. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe
obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau
keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5. Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja
pucat, seperti dempul
6. Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
8. Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
(Sumber: Fundamental Keperawatan, 2005)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan pada bayi hiperbilirubin menurut Marilyn E. Dongoes, 2001
yaitu :
1. Tes comb pada tali pusat bayi baru lahir : hasil positif tes comb
indirek menandakan adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B
dalam darah ibu. Hasil positif dari tes comb direk menandakan adanya
sentisisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas
ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi bermakna jika melebihi 1,1-
1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek
(tak terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24
jam atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi yang cukup bulan
atau 15 mg/dl pada bayi praterm (tergantung BB bayi).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 mg/dl menandakan
penurunan kapasitas ikatan, terutama pada bayi paterm.
5. Hitung darah lengkap : hemoglobin mungkin rendah (< 14 mg/dl)
karena hemolisis. Hematokrit mungkin meningkat (> 65%) pada
polisitemia, penurunan (< 45%) dengan hemolisis dan anemia
berlebihan.
6. Daya ikat karbondioksida : penurunan kadar menunjukan hemolisis.
7. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin serum.
8. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan
produksi sel darah merah dalam respons terhadap hemolisis yang
berkenaan dengan penyakit Rh.
9. Smear darah perifer : dapat menunjukan sel darah merah abnormal
atau imatur, eritroblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada
inkompabilitas ABO.
10. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya
intervensi lebih lanjut.
11. Ultrasonografi, digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra
hepatic dengan ekstrahepatic.
12. Biobsy hati, digunakan untuk memastikan terutama untuk pada kasus
yang sukar seperti diagnosa membedakan obstruksi ekstrahepatic
dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti
hepatitis, serosis hepatis dan hepatoma.
13. Radioisotop scan, digunakan untuk membantu membedakan hepatitis
dan atresia billiari.
14. Scanning enzim G6PD untuk menunjukan adanya penurunan
bilirubin.
H. PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan
Hiperbilirubin dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan
cara:
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat2an yang dapat meningkatkan ikterus pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfat furazol, oksitosin, dsb.
c. Pencegahan pengobatan hipoksin pada janin dan neonates
d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Pemberian makanan dini
f. Pencegahan infeksi
2. Penanganan Fototherapy
Fototherapy dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan
transfuse pengganti untuk menurunkan bilirubin, memaparkan neonatus
pada cahaya dengan intensitas yang tinggi akan menurunkan bilirubin
dalam kulit. Fototherapy menurunkan kadar bilirubin dengan cara
memfasilitasi ekskresi biliar bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi
jika cahaya yang diabsorpsi jaringan mengubah bilirubin tak
terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebutfotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui
mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan
albumin dan dikirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke
empedu dan diekskresi ke dalam duodenum untuk dibuang bersama
feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk
ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urin.
Fototherapy mempunyai peranan dalam mencegah peningkatan kadar
bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan
hemolisis.
Secara umum fototherapy harus diberikan pada kadar bilirubin
indirek 4 – 5 mg/dl pada bayi dengan proses hemolisis yang ditandai
dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Mekanisme:
menimbulkan dekomposisi bilirubin, kadar bilirubin dipecah sehingga
mudah larut dalam air dan tidak toksik, yang dikeluarkan melalui urin
(urobilinogen) dan feses (sterkobilin). Terdiri dari 8 – 10 buah lampu
yang tersusun parallel 160 – 200 watt, menggunakan cahaya fluorescent
(biru atau putih), lama penyinaran tidak lebih dari 100 jam. Jarak bayi
dan lampu antara 40 – 50 cm, posisi berbaring tanpa pakaian, daerah
mata dan alat kelamin ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan
cahaya (karbon, dll), posisi diubah setiap 1-6 jam. Dapat dilakukan
sebelum atau sesudah transfuse tukar.
3. Transfusi pengganti
Transfusi pengganti atau intermediet diindikasikan adanya faktor2:
Titer anti Rh dari 1 : 16 pada ibu
a. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
b. Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir perdarahan 24 jam pertama
c. Test Coombs positif
d. Kadar bilirubin direk <3,5 mg/dl pada minggu pertama
e. Serum bilirubin indirek <20 mg/dl pada 48 jam pertama
f. Hb >12 gr/dl
g. Bayi dengan hidrops saat lahir
h. Bayi pada resiko terjadi kern ikterus
Tranfusi pengganti digunakan untuk:
a. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan)
terhadap antibody maternal.
b. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (peka)
c. Menghilangkan serum bilirubin
d. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan
keterikatan dengan bilirubin.
4. Transfusi tukar
Tujuan: menurunkan kadar bilirubin dan mengganti darah yang
terhemolisis. Indikasi: pada keadaan kadar bilirubin indirek 20 mg/dl
atau bila sudah tidak dapat ditangani dengan fototherapy, kenaikan
bilirubin yang cepat yaitu 0,3-1 mgz/jam, anemia berat pada neonatus
dengan gejala gagal jantung, atau bayi dengan kadar Hb tali pusat 14
mgz dan uji coombs direk (+).
5. Terapi obat
Antibiotic diberikan bila terkait dengan adanya infeksi.
Pada Rh inkompabiliti diperlukan transfuse darah golongan O segera
(kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. Setiap 4 – 8 jam
kadar bilirubin harus dicek. Hb harus diperiksa setiap hari untuk
menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan
mensekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk
beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.
Penggunaan penobarbital pada postnatal masih menjadi pertentangan
karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi
bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine hingga menurunkan
siklus enterohepatika.
b) Tahap perkembangan.
Perkembangan sosial yaitu berada pada fase “
Individuation – Separation “. Dimana sudah bisa mengatasi
kecemasannya terutama pada orang yang tak di kenal dan
sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua walaupun
dengan sedikit atau tidak protes.
Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan
orang lain yang mempunyai permainan yang
mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik dan kemampuan
motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan
bersepeda dengan roda tiga.
5) Riwayat imunisasi
Anak usia pre sekolah sudah harus mendapat imunisasi
lengkap antara lain : BCG, POLIO I,II, III; DPT I, II, III; dan
campak.
2) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan bilirubin serum
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya
intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan
defikasi sekunder fototherapi.
2. Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi
bilirubin, efek fototerapi.
3. Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4. Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan
perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5. Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan
pada bayi.
6. Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7. Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit,
infeksi) berhubungan dengan tranfusi tukar.
3. Kolaborasi 3. Memberi
dengan dokter terapi lebih
bila suhu tetap dini atau
tinggi mencari
penyebab lain
dari
hipertermi
5. Untuk
mencegah
5. Kolaborasi
pemajanan
untuk
sinar yang
pemeriksaan
terlalu lama
kadar bilirubin,
bila kadar
bilirubin turun
menjadi 7,5
mg% fototerafi
dihentikan
Carpenito, L.J. 2008., Ilmu Keperawatan Anak Edisi III, Buku Kedokteran,
Jakarta : EGC.
Nursalam, 2008, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan
Bidan), Jakarta: Salemba Medika
Suriadi, Skp. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Ed.V. Jakarta : CV.
Agung.
Suradi & Yuliani, R. 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : ISBN.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC