Anda di halaman 1dari 11

B.

Materi
1. Kesiapan Segala Aspek
1) Menurut Cahyani (2015), aspek-aspek dari segi psikologis dalam kesiapan pernikahan
diantaranya, 1) Perkembangan kognitif, pada remaja awal, perkembangan otak yang
belum matang dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat-alasan
yang memungkinkan remaja untuk membuat pilihan yang tidak bijaksana seperti
penyalahgunaan narkoba dan melakukan aktivitas seksual berisiko. 2) Pekermbangan
emosi, mengungkapkan tentang Emosionalitas Laki-laki dan Perempuan, bahwa usia
remaja merupakan usia kelabilan pada emosinya yang terkadang berakibat kepada
keputusan untuk menikah dengan tergesa-gesa tanpa melalui pertimbangan yang
matang. Remaja, selalu berkhayal tentang sesuatu yang enak-enak dan menyenangkan
serta terkadang tidak realistis. 3) Perkembangan Sosial, bahwa Sifat-sifat keremajaan
ini (seperti, emosi yang tidak stabil, belum mempunyai kemampuan yang matang
untuk menyelesaikan konflik-konflik yang dihadapi, serta belum mempunyai
pemikiran yang matang tentang masa depan yang baik), akan sangat memengaruhi
perkembangan psikososial anak dalam hal ini kemampuan konflik pun, usia itu
berpengaruh.
2) Menurut Puspitasari (2015), terdapat aspek-aspek penyesuaian perkawinan, yaitu:
a) Dyadic consensus atau kesepakatan
Dyadic consensus adalah kesepahaman atau kesepakatan antar pasangan
dalam berbagai masalah dalam perkawinan seperti keuangan, rekreasi,
keagamaan. Perkawinan mempertemukan dua orang dengan ciri-ciri pribadi, nilai-
nilai yang dianut, dan berbagai karakteristik pribadi yang berbeda. Kedua individu
yang berbeda ini akan menghadapi konflik-konflik dalam berbagai aspek
kehidupan perkawinan mereka, sehubungan dengan perbedaan diantara mereka
b) Dyadic cohesion atau kedekatan
Dyadic cohesion atau kedekatan adalah seberapa banyak pasangan melakukan
berbagai kegiatan secara berasama-sama dan menikmati kebersamaan yang ada.
Banyaknya waktu yang dihabiskan bersama akan mempengaruhi kepuasaan
individu terhadap perkawinan
c) Dyadic satisfaction atau kepuasan
Dyadic satisfaction atau derajat kepuasan dalam hubungan adalah bagaimana
suami dan istri mampu melaksanakan peran dalam rumah tangga dengan baik
d) Affectional expression atau ekspresi
Afeksi adalah kesepahaman dalam menyatakan perasaan dan hubungan seks
maupun masalah yang ada mengenai hal-hal tersebut. Bagi beberapa orang tidak
mudah untuk membiarkan orang lain mengetahui siapa mereka, apa yang mereka
rasakan atau apa yang mereka pikirkan. Mereka mungkin takut jika orang lain
benarbenar mengetahui bagaimana diri mereka, sehingga ada rasa takut dalam diri
mereka untuk ditolak oleh lingkungan dan orang-orang yang dicintainya.
3) Menurut Fotineri (2013), terdapat delapan aspek dalam pernikahan, dinataranya yaitu
1) komunikasi, mengukur kemampuan inidvidu untuk mengeskpresikan iden dan
perasaannya kepada pasangan, serta mendengarkan pesan yang disampaikan oleh
pasangam, 2) keuangan, area ini berkaitan dengan masalah pengaturan ekonnomi
rumah tangga, 3) anal dan pengasuhan, area ini berkaitan dengan perencanaan untuk
memiliki anak dan cara pengasuhan, atau didikan yang akan diberikan kepada anak,
4) pembagian peran suami dan istri, menjelaskan mengenai persepsi dan sikap
individu dalam memandang peran peran dalam rumah tangga serta kesepakatannya
dengan pasangan mengenai pembagian peran yang akan mereka jalani, 5) latar
belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, area ini berkaitan dengan nilai-
nilai dan sistrem keluata besar yang membentuk karakter individu, dan relasi anggota
besar, 6) agama, berkaitan dengan nilai-nilai religius yang menjadi dasar pernikahan,
7) minat dan pemanfaatan waktu luang, mengukur mengenai sikap terhadap minat
pasangan, dan kesepkatam mengenai pemanfaatan waktu luang bagi diri sendiri dan
pasangan, 8) perubahan pada pasangan dan pola hidup, dengan persepsi dan sikap
terhadap perubahan pasangan serta hidup yang mungkin terjadi setelah menikah
4) Kesimpulan??
2. Ekonomi Keluarga
1) Menururt Napitupulu (2017), pernikahan muda yang terjadi banyaknya disebabkan
karena alasan membantu kebutuhan ekonomi keluarga. Faktor ini berhubungan
dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Orang tua tidak memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga orangtua memilih untuk mempercepat
pernikahan anaknya, terlebih bagi anak perempuan sehingga dapat membantu
pemenuhan kebutuhan keluarga. para orang tua yang menikahkan anaknya pada usia
muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi
keluarga akan berkurang satu. Hal ini disebabkan jika anak sudah menikah, maka
akan menjadi tanggung jawab suaminya. Bahkan para orang tua juga berharap jika
anaknya sudah menikah, maka akan dapat membantu kehidupan orang tuanya
2) Menurut Kumaidi dan Amperaningsih (2014), didalam penelitiannya menjelaskan
bahwa remaja putri yang tinggal di dalam keluarga dengan status ekonomi rendah
dengan indikator pendapatan keluarga/bulan di bawah UMK (Rp. 1.175.000;), maka
orang tua akan mendorong remaja putri agar segera menikah untuk meringankan
beban keluarga, karena setelah menikah akan menjadi tangggung jawab suami.
Selain itu remaja putri yang tinggal di keluarga dengan status ekonomi rendah tidak
memiliki alternatif pilihan melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi karena tidak mampu membayar biaya yang ditentukan oleh sekolah. Begitupun
sebaliknya remaja putri yang tinggal di lingkungan keluarga dengan status ekonomi
keluarga tinggi maka orang tua mampu secara finansial untuk menanggung biaya
hidup remaja dan memiliki pandangan yang lebih baik agar remaja lebih fokus untuk
menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu daripada menikah. Selain itu remaja yang
tinggal di dalam keluarga dengan status ekonomi tinggi juga mampu untuk
mengakses informasi yang didapat dari sumber belajar baik media cetak maupun
elektronik tentang dampak jika menikah dini, sehingga ada proses transfer informasi
yang dapat menambah pengetahuan remaja putri sehingga dapat diaplikasikan ke
dalam tindakan untuk tidak menikah dini.
3) Menurut Agustian (2013), perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga
yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak
wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu. perkawinan usia muda
disebabkan oleh beberapa hal seperti masalah ekonomi keluarga yang tidak bisa
menegakkan keluarga tersebut dan membutuhkan seseorang untuk meringankan
beban keluarga mereka. komponen dasar atau nilai inti yang harus dijadikan basis
konseptual dan pedoman praktis untuk memahami kehidupan yang lebih baik atau
lebih sejahtera salah satunya adalah kecukupan. Kecukupan adalah kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar. Kebutuhan tersebut bukan hanya menyangkut
makanan, melainkan mewakili semua hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia
secara fisik yang meliputi pangan, sandang, papan dan keamanan. Selain itu, Faktor-
faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat pendapatan
keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja wanita.
4) Kesimpulan??

3. Kematangan
1) Menurut Asmidayati (2014), seseorang yang mempunyai kematangan emosi adalah
orang yang telah mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosionalnya,
menunjukkan emosi yang stabil tidak meledak-ledak, mampu mengendalikan atau
mengontrol emosi. Faktor yang mempengaruhi kematangan emosi dalam pernikahan
yaitu, 1) Usia, semakin bertambahnya usia, maka individu semakin banyak belajar,
sehingga perkembangan emosinya semakin matang. Individu lebih dapat menguasai,
mengendalikan dan mengelola emosinya secara lebih stabil, 2) Sikap dan Perlakuan
Orang Tua, kehidupan dalam lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam proses
kematangan emosi seseorang, terutama sikap dan perlakuan orang tua. Sikap dan
perlakuan orang tua berpengaruh pada kondisi emosi remaja. Orang tua yang
memberikan sikap dan perlakuan positif, maka kondisi emosi remaja dapat lebih
positif dan stabil. Sebaliknya jika orang tua memberikan sikap dan perlakuan yang
negatif membuat remaja cenderung labil dan mudah marah, 3) Kualitas Interaksi
Sosial (Komunikasi), kualitas komunikasi dengan orang tua, teman sebaya, dan orang
lain yang bermakna bagi individu dapat mempengaruhi kematangan emosinya.
Komunikasi yang baik dapat berpengaruh baik pula pada kondisi emosi seseorang,
begitu juga sebaliknya.
2) Menurut Cumentas (2016), kematangan emosi disini sangatlah penting karena untuk
menggabungkan dua karakter kepribadian yang berbeda dan kekurangan-kekurangan
dari pasangan satu sama lain sangatlah susah apabila pada pasangan baru menikah,
dapat dikatakan pada tahun-tahun pertama mengalami kriris dalam rumah tangga
karena pada masa ini mereka pasangan suami istri bisa jadi mengalami kekecewaan
yang mendalam karena rumah tangga mereka jauh dari apa yang mereka harapkan
atau mereka impikan selama ini sehingga menimbulkan perbedaan pendapat yang
tidak pernah tampak sebelumnya. Disinilah bentuk peran penyesuaian diri pada
perkawinan, apabila seseorang belum mencapai kematangan emosi, dimana ketika
mereka dihapkan dengan suatu permasalahn yang sulit maka kemampuan
penyesuaian diri inilah yang nantinya akan membawa mereka mencari solusi yang
baik atau bahkan solusi yang berdampak buruk. Agar penyesuaian diri dalam
kehidupan perkawinan dapat berjalan secara baik, maka pasangan suami istri harus
telah matang secara psikologis. Istri diharapkan memiliki kematangan emosi yang
tinggi yaitu memiliki emosi yang stabil, mandiri, menyadari tanggung jawab,
terintegrasi segenap komponen kejiwaan, mempunyai tujuan dan arah hidup yang
jelas, produktif-kreatif dan etis-religius
3) Menurut Oktaviani (2016), Pria dan wanita yang memutuskan untuk menikah di usia
muda tentunya membutuhkan banyak persiapan. Baik persiapan sebelum pernikahan
maupun persiapan dalam menjalani kehidupan bersama pasangannya. Salah satunya
persiapan secara psikologis. Yang mana salah satunya adalah kematangan emosi.
Kemasakan emosi seseorang, berkembangnya sesuai dengan pertambahan usia. Hal
ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan
kemasakan fisik-fisiologis dari pada seseorang. Sedangkan aspek fisik fisiologis
sudah dengan sendirinya ditentukan oleh faktor usia. akan tetapi tiap individu adalah
berbeda. Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan
mengendalikan emosinya. Pria dan wanita yang sudah matang emosinya ketika
menikah, maka dia juga akan lebih mudah dan membantunya dalam melakukan
penyesuaian diri dengan pasangannya. Begitu sebaliknya, pria dan wanita yang
emosinya belum matang, maka akan kurang terbantu untuk menyesuaikan diri
dengan pasangan. Hubungan yang ditemukan adalah hubungan positif, hubungan
positif menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan emosinya, maka
penyesuaian dirinya makin baik, dan sebaliknya semakin rendah kematangan
emosinya maka penyesuaian dirinya semakin buruk.
4) Kesimpulan??

4. Psikologis Keluarga
1) Menurut Novitasari (2015), terdapat 2 dampak dari segi psikologis pernikahan usia
dini, 1) Dampak Positif, pernikahan dini tentunya akan memberikan dampak postif
dan menjadi salah satu solusi terbaik bagi para orang tua, terutama bagi orangtua
yang memiliki anak gadis. Sebagai orangtua, sudah sewajarnya berperan aktif dalam
membimbing anak mereka yang menikah muda. Sikap ketergantungan anak pada ibu
terbentuk karena ibu peka dalam menanggapi setiap aktivitas anak seperti menangis,
senyum dan manja. 2) Dampak Negarif, pernikahan usia muda pada umumnya belum
memiliki kematangan jiwa dalam melangsungkan perkawinan, sehingga apabila
mereka nikah, maka antara suami istri tersebut tidak dapat menjalankan hak dan
kewajibannya sebagai suami istri di dalam hidup berumah tangga. Belum adanya
kematangan emosional dan kedewasaan dapat mempengaruhi perasaan mudah
tersinggung, marah dan kurang percaya diri yang akhirnya nanti dapat menimbulkan
kurangnyanya keharmonisan dan hubungan suami istri.
2) Menurut Maleha (2010), dampak psikologis dalam pernikahan dini yaitu, 1)
Kecemasan, Adapun kecemasan yang terjadi dalam keluarga pernikahan dini
disebabkan karena takut akan adanya bahanya yang mengancam dan persepsi itu akan
menghasilkan perasaan tertekan bahkan panik. Keadaan tertekan dan panik akan
menyebabkan kegelisahan yang berlebihan yang kadang kadang membawa perilaku
yang menyimpang. 2) Stress, stress adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa
sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu
merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku.
Peristiwa yang memunculkan stress dapat saja positif (misalnya: merencanakan
perkawinan) atau negatif (contoh: kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai
peristiwa yang menekan (stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang
diberikan oleh individu.
3) Menurut Minarni, Andayani, dan Haryani (2014), dampak psikologis dari
pelaksanaan pernikahan dini dapat menimbulkan terjadinya kecemasan, stress,
depresi dan perceraian. Pada umumnya pasangan remaja kurang begitu memahami
arti sebuah ikatan suci pernikahan, mereka melakukan pernikahan semata-mata hanya
karena cinta dan dorongan dari orang tua si gadis agar anaknya lekas menikah supaya
tidak dianggap sebagai perawan tua. Pengaruh adat dan kebudayaan serta letak
geografis yang dibawah kaki pegunungan Ungaran membuat remaja tidak pernah
berpikir panjang saat akan melakukan pernikahan dini, rasa kwatir saat akan
memasuki kehidupan bahtera baru rumah tangga mereka abaikan hanya untuk
menjaga image agar mereka tidak dicap sebagai perawan tua
4) Kesimpulan??

5. Perspektif Agama
1) Menurut Lutfiyah (2014), pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia agar
seorang muslim dapat memikul amanat tanggung jawabnya yang paling besar dalam
dirinya terhadap orang yang paling berhak mendapat pendidikan dan pemeliharaan.
Pernikahan memiliki manfaat yang paling besar terhadap kepentingan-kepentingan
sosial lainnya. Kepentingan sosial itu adalah memelihara kelangsungan jenis manusia,
memelihara keturunan, menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit
yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.
Pernikahan dalam pandangan Islam merupakan suatu akad/ikatan perjanjian yang
diberkahi antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menjadi halal. Untuk
memulai hidup baru dengan mengarungi bahtera kehidupan yang panjang, yang
diwarnai dengan cinta dan kasih sayang, bahu membahu dan bekerja sama, saling
pengertian dan toleransi, saling memberikan ketenangan satu sama lain, sehingga
perjalanan panjang terasa dekat dan tenang, bertaburan cinta kasih, keamanan,
kedamaian dan penuh dengan kenikmatan hidup.
2) Menurut penelitian Husnul (2015), menunjukkan bahwa bimbingan persiapan
perkawinan Islam dan Katolik sama-sama memasukkan landasan teologis, filosofism
dan sosiologis dalam setiap materi bimbingan perkawinan baik pranikah maupun
bimbingan bimbingan keluarga, landasan teologis dalam bimbingan perkawinan
adalag bimbingan tentang konsep keyakinan calon pasangan suami istri bimbingan
terhadap tuhannya, landasan filosofis adalah bimbingan tentang hakikat atau nilai-
nilai dasar konsep suami istri dan membentuk keluarga bahagua, landasan sosiologis
adalag bimbungan tentang interaksi sosial antara sesama anggota kelurag dan
kelurarga masyarakat
3) Kesimpulan??
Daftar Pustaka

Agustian, H. (2013). Gambaran Kehidupan Pasangan yang Menikah Di Usia Muda Di


Kabupaten Dharmasraya. Padang: Spektrum PLS. Vol,1, No.1. Hal 205-217. Diunduh pada
tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.10. http://repository.unp.ac.id/10254/

Asmidayati. (2014). Kematangan Emosi pada Remaja Putri yang Melakukan Pernikahan Dini Di
Desa Kaliagung Kabupaten Kulon Progo. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.18.
http://eprints.uny.ac.id/13645/1/SKRIPSI%20ASMI.pdf

Cahyani, B. (2015). Dinamika Psikologis Perempuan Yang Melakukan Pernikahan Di Usia Dini.
Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diunduh pada
tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.02.
http://eprints.ums.ac.id/37588/1/02%20naskah%20publikasi.pdf

Cumentas, S.L. (2016). Pengaruh Kematangan Emosi Terhadap Penyesuaian Perkawinan pada
Pasangan Usia Dini. Malang: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.16.
https://core.ac.uk/download/pdf/78392325.pdf

Fotineri, U. (2013). Hubungan antara Sikap Terhadap Pernikahan dan Kesiapan Menikah pada
Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai. Jakarat: Fakultas Psikologi Indonesia Universitas
Indonesia. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.00.
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-08/S44770-umaira%20fotineri

Husnul, M. (2015). Bimbingan Perkawinan Islam dan Katolik. Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Yogyakarta. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 11.00. http://digilib.uin-
suka.ac.id/17419/1/BAB%20I%2C%20V%2C%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

Kumaidi & Amperaningsih, Y. (2014). Sikap Dan Status Ekonomi Dengan Pernikahan Dini
Pada Remaja Putri. Lampung: Jurnal Kesehatan. Vol, 5, No.2, Hal 131-136. Diunduh pada
tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.12. http://poltekkes-
tjk.ac.id/ejurnal/index.php/JK/article/download/44/39
Lutfiyah. (2014). Relasi Budaya dan Agama Dalam Pernikahan. Semarang: Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan IAIN Semarang. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul
10.40. https://media.neliti.com/media/publications/201842-relasi-budaya-dan-agama-
dalam-pernikahan.pdf

Maleha, S. (2010). Dampak Psikologis Pernikahan Dini dan Solusinya dalam Perspektif
Bimbingan Konseling Islam. Semarang: Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.30
http://eprints.walisongo.ac.id/2936/

Minarni, M., Andayani, R., dan Haryani, S. (2014). Gambaran Dampak Biologis Dan Psikologis
Remaja yang Menikah Dini Di Desa Munding Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang.
Semarang: Jurnal Keperawatan Anak. Vol.2, No.2, Hal 95-101. Diunduh pada tanggal 29
Januari 2018 Pukul 10.33. https://ppnijateng.org/wp-
content/uploads/2017/01/Keperawatan-Anak_-place-VOL-2-no-2.35-41.pdf

Napitupulu, S.M. (2017). Hubungan Keluarga, Ekonomi Keluarga, Suku, Terhadap Pernikahan
Usia Muda Pada Remaja Perempuan. Lampung: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Lampung. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.14.
http://digilib.unila.ac.id/28497/10/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pd
f

Novitasari, I. (2015). Dampak Psikis Pernikahan Dini dan Pentingnya Bimbingan Pra Nikah
Oleh Badan Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Kantor Urusan Agama
Kecamatan Cluwak Kabupaten Pati. Semarang: Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018
Pukul 10.18. http://eprints.walisongo.ac.id/4796/1/101111065.pdf

Oktaviani, N. (2016). Hubungan Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Terhadap


Pasangan pada Perkawinan Usia Muda. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang. Diunduh pada tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.16.
http://lib.unnes.ac.id/28637/1/1511412026.pdf
Puspitasari, R.S. (2015). Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan Yang Menikah Dengan Cara
Ta’aruf. Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Diunduh pada
tanggal 29 Januari 2018 Pukul 10.04. http://lib.unnes.ac.id/21879/1/1511410021-s.pdf

Anda mungkin juga menyukai