Anda di halaman 1dari 138

Draft Naskah Akademis

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi
DKI Jakarta

BADAN PENGELOLA LINGKUNGAN HIDUP


DAERAH
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA
TAHUN 2014
DRAFT NASKAH AKADEMIS
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pengarah:
Moch. Tauchid Tjakra Amidjaja, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta
Laksmi Wijayanti, Kementerian Lingkungan Hidup

Penanggung Jawab:
Ir. Rusman E. Sagala, MT, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta
Dra. Lien Rosalina, MM, Kementerian Lingkungan Hidup

Tim Penyusun:

Badan Pengelola Lingkungan Hidup : Ikoh Maufikoh, ST, Msi, Wita Sari, ST
Daerah Provinsi DKI Jakarta

Kementrian Lingkungan Hidup : Endah Tri Kurniawati, S.Hut, M.Si, Hendaryanto, ST, Msi

Badan Informasi Geospasial : Dr. Gatot H. Pramono

Kementerian Kelautan dan Perikanan : Dr.-Ing. Widodo S. Pranowo

Pakar/Narasumber : Dr. Endrawati Fatimah (Universitas Trisakti), Dr. Boedy


Tjahyono (Institut Pertanian Bogor), Dr. Ir. Etty Riani, MS
(Institut Pertanian Bogor), Dr. Handoko Adi Susanto (Institut
Pertanian Bogor), Dr. Malikusworo Hutomo (UI), Muhammad
Reza Cordova, SPi, MSi (Surya University), Rinto Andhi
Suncoko, SH, SSi, MSi (IPB), Dr. Anugerah Nontji, Ir. Syahrul
Anwar

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan
“Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Provinsi DKI Jakarta” dengan baik.
Penyusunan “Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta” merupakan rangkaian kegiatan sebagai dasar penyusunan
Peraturan Daerah tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi
DKI Jakarta, dalam rangka melaksanakan mandat dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa pemerintah
provinsi menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
Penyusunan Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu asas dalam implementasi perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup wajib dilakukan secara terpadu dan bersinergi dengan penataan ruang, perlindungan
sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim; dengan
memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal. Arahan-arahan dalam Draft Naskah Akademis Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta diharapkan dapat
mendorong keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dalam rangka mengoptimalkan
produktivitas sumberdaya alam yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang
berkelanjutan.
Harapan kami, semoga “Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta” ini selain digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam penyusunan RPPLH, juga dapat bermanfaat bagi para pihak untuk
memperkuat perencanaan dan penerapan pembangunan secara berkelanjutan.
Akhirnya, kami sampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan membantu penyusunan “Draft Naskah Akademis
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta” yang
sangat bermanfaat ini.

Jakarta, Desember 2014

Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah


Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,

Moh. Tauchid Tjakra Amidjaja

ii
RINGKASAN EKSEKUTIF

Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup (RPPLH) yang


diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup diharapkan mampu mengarahkan pembangunan agar fungsi lingkungan hidup
tetap terjaga. Sesuai amanat undang – undang tersebut pula, RPPLH dijadikan dasar dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah serta akan menjadi acuan induk bagi semua upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Untuk memperkuat perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup


tersebut, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 memandatkan bahwa untuk menyusun RPPLH
harus berdasarkan hasil inventarisasi lingkungan hidup yang dilaksanakan untuk memperoleh
data dan informasi mengenai sumber daya alam serta menetapkan wilayah ekoregion yang
mempertimbangkan keragaman dan karakteristik wilayah.

A. Inventarisasi Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta

Inventarisasi lingkungan hidup Provinsi DKI Jakarta meliputi informasi dan data mengenai:

a. Sumber daya alam (Hutan, Air permukaan, Air tanah, keanekaragaman hayati), terkait
dengan:
 Potensi dan ketersediaan
 jenis yang dimanfaatkan;
 bentuk penguasaan;
 pengetahuan pengelolaan;
 bentuk kerusakan;

b. Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan: hutan & RTH, air permukaan,
air tanah, keanekaragaman hayati, tata guna lahan, geologi, udara, kependudukan dan sosial
ekonomi

B. Penetapan Ekoregion Provinsi DKI Jakarta

Selain inventarisasi lingkungan hidup, ekoregion menjadi kekuatan RPPLH yang dapat
mewujudkan arah kebijakan perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai
dengan karakteristik ekoregion yang mempertimbangkan aspek darat dan laut.

 Penetapan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta

Kajian penetapan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta menghasilkan ada 40 (empat
puluh) polygon ekoregion. Namun demikian, secara garis besar terkait dengan

iii
penyusunan RPPLH, ke 40 ekoregion tersebut dapat dikategorikan berdasarkan
karakteristik geomorfologinya menjadi 6 (enam) tipe ekoregion yaitu:

1. Dataran pasang surut berlumpur, merupakan dataran yang terbentang sepanjang


garis pantai dan luas dataran pasang surut berlumpur Provinsi DKI Jakarta
mencapai 62,84 km2 atau sekitar 9,5% dari total wilayah Provinsi DKI Jakarta.
2. Dataran Beting-gisik dan Lembah Antar Gisik, merupakan dataran yang
memanjang sejajar garis pantai dan luas dataran beting gisik dan lembah antar gisik
Provinsi DKI Jakarta adalah seluas 50,88 km2 atau seluas 7,7% dari total wilayah.
3. Dataran Rawa, merupakan dataran yang terletak di sekitar alur sungai dan luas
dataran rawa Provinsi DKI Jakarta mencapai 16,76 km2 atau sekitar 2,5% dari total
wilayah
4. Dataran Fluvio-marin, merupakan dataran yang terbentuk oleh gabungan proses
fluvial dan marin, seperti delta sungai atau dataran estuarin lain dimana
terbentuknya dipengaruhi oleh dua jenis proses geomorfik, yaitu aliran sungai dan
arus/gelombang laut. Lokasi dari dataran ini biasanya sedikit agak jauh dari garis
pantai atau berada di belakang dataran pasang-surut berlumpur. Luas dataran
fluvio – marin Provinsi DKI Jakarta mencapai 189,48 km2 atau sekitar 28,6% dari total
wilayah.

5. Dataran Fluvio-vulkanik, merupakan suatu dataran yang terbentuk oleh proses


deposisi fluvial (aliran air sungai) dengan material dominan dari bahan vulkanik
(seperti abu, pasir, kerikil, dan bongkahan batu vulkanik). Luas dataran fluvio –
vulkanik Provinsi DKI Jakarta mencapai 298,25 km2 atau sekitar 45.03% dari total
wilayah.

 Penetapan Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta

Di dalam buku Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia (KLH, 2013) wilayah perairan
laut Provinsi Daerah Khusus Ibukota (Provinsi DKI) tersebut berada di dalam Ekoregion
Laut Jawa dengan kode EL 6. Wilayah ini merupakan bagian kecil saja dari EL 6, sehingga
perlu dilakukan penetapan sub-ekoregion dari EL 6 atau ekoregion level 2. Hasil analisis
memperlihatkan bahwa wilayah laut Provinsi DKI terletak di sub-ekoregion level 3.

Wilayah laut DKI masuk dalam EL 6.2 dan EL 6.3, selanjutnya didelineasi ke dalam
ekoregion level 3. EL 6.3 dibagi dalam ke dalam 4 (empat) ekoregion level 3, yaitu EL 6.3.1
dengan delineator utama batimetri dan kualitas air; EL 6.3.2 dengan delineator utama
batimetri; EL 6.3.3 dengan delineator utama batimetri; dan EL 6.3.4 dengan delineator

iv
utama batimetri dan keanekaragaman hayati. Untuk EL 6.2, ekoregion level 3 wilayah
administrasi DKI Jakarta masuk dalam EL 6.2.2.

Wilayah Ekoregion Laut DKI Jakarta

Ekoregion Nama Delineator utama Luas (km2)

EL 6.3.1 Pesisir Utara Jawa Batimetri dan Kualitas air 517,203

EL 6.3.2 Dangkalan Utara Jawa Batimetri 944,616

EL 6.3.3 Alur Utara Jawa Batimetri 691,155

EL 6.3.4 Perairan Kepulauan Seribu Batimetri dan Kehati 2.122,344

EL 6.2.2 Dangkalan Lampung Batimetri 658,086

Total 4.933,400

Ada beberapa parameter yang digunakan untuk mendeskripsikan ekoregion laut di


kawasan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Parameter untuk deskriptor


Kode Ekoregion Laut Geologi - Keanekaragaman Sosial
Oseanografi Pencemaran
morfologi Hayati ekonomi
6.2.2 Dangkalan Lampung √ √ - √ √
6.3.1 Pesisir Utara Jawa √ √ √ √ √
6.3.2 Dangkalan Utara Jawa √ √ √ √ √
6.3.3 Alur Utara Jawa - √ √ √ √
6.3.4 Perairan Kepulauan
√ √ √ √ √
Seribu

v
C. Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi
DKI Jakarta

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) adalah perencanaan


tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Manfaat dari RPPLH DKI Jakarta adalah arahan dan
acuan dalam melaksanakan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Jangka waktu RPPLH Daerah adalah 20 tahun dengan masa peninjauan kembali setiap lima
tahun sekali.

Dalam menyusun RPPLH, tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

 Menetapkan isu – isu strategis berdasarkan karakteristik ekoregion dan telaah terhadap
dokumen – dokumen perencanaan Provinsi DKI Jakarta

Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta


secara mendasar mempertimbangkan isu strategis yang dihadapi wilayah DKI Jakarta,
terutama yang memberikan implikasi secara signifikan terhadap daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup wilayah DKI Jakarta. Isu strategis tersebut meliputi:

1. Kerawanan terhadap perubahan iklim


Ancaman yang akan timbul dari isu kerawanan perubahan iklim adalah:
a. Beberapa wilayah terutama pada sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur,
dataran rawa, dataran banjir dan dataran lembah antar gisik akan mengalami
genangan sepanjang tahun;
b. Masalah banjir di DKI Jakarta makin meluas dan makin sulit teratasi;
c. Hilangnya pulau-pulau kecil;
d. Makin banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana.
2. Pemanfaatan sumber daya alam yang berlebih
Ancaman yang akan timbul dari isu pemanfaatan sumber daya alam yang berlebih
adalah:
a. Penurunan permukaan tanah akan terjadi lebih cepat;
b. Wilayah DKI Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut akan semakin meluas
dan potensi terjadi banjir serta genangan akan semakin besar dan meluas;
c. Kejadian amblesan tanah akan semakin banyak;
d. Pencemaran air tanah karena intrusi air laut akan meluas;
e. Akan terjadi krisis sumber daya air;
f. Degradasi habitat flora-fauna laut;
g. Penurunan hasil tangkapan nelayan;

vi
h. Akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat.
3. Keterbatasan ketersediaan lahan
Ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan ketersediaan lahan adalah:
a. Peningkatan kekumuhan dan pencemaran lingkungan;
b. Peningkatan masalah kemacetan sehingga kota menjadi tidak produktif;
c. Pemenuhan kebutuhan lahan akan dilakukan melalui metode yang makin tidak
ramah lingkungan seperti reklamasi pantai, pemanfaatan ruang bawah tanah yang
tidak terkendali, penimbunan badan air, pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
peruntukkannya;
d. Menurunnya tingkat keamanan dan kenyamanan DKI Jakarta untuk hunian dan /
atau berinvestasi.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana kota
Ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan sarana dan prasarana kota adalah:
a. permasalahan banjir akan makin sulit teratasi bahkan justru semakin meluas;
b. terjadi peningkatan pencemaran baik udara, air maupun tanah;
c. lingkungan kota secara menyeluruh menjadi kumuh
d. peningkatan pencemaran di wilayah perairan teluk dan laut
e. menurunnya keaneka ragaman hayati perairan teluk dan laut;
f. terhambatnya perkembangan sektor perekonomian
5. Pencemaran
Ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. makin meningkatnya tingkat pencemaran di perairan teluk dan laut;
b. makin punahnya keanekaragaman hayati perairan teluk dan laut;
c. menurunnya potensi keindahan alam dan kekayaan hayati yang mengganggu
perkembangan sektor pariwisata;
d. menurunnya potensi perikanan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
pendapatan masyarakat lokal.

vii
6. Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal
Ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. Kemiskinan makin bertambah yang menyebabkan makin rentannya penduduk di
ekoregion laut terhadap perubahan iklim dan bencana lainnya;
b. Makin punahnya keanekaragaman hayati karena pengelolaan SDA yang tidak
optimal
 Menyusun arahan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Provinsi DKI Jakarta
Ruang lingkup materi RPPLH telah diatur dalam Pasal 10 Ayat 4 UU No. 32 Tahun 2009.
Muatan RPPLH mencakup 4 hal, yaitu:
a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

viii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ii
RINGKASAN EKSEKUTIF iii
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN I–1
1.1. Latar Belakang I–3
1.2. Landasan Hukum I–5
1.3. Tujuan dan Manfaat / Kedudukan RPPLH I–6
1.4. Pendekatan I–7
1.5. Ruang Lingkup I–7
1.6. Ketentuan Umum
BAB II EKOREGION DAN KONDISI LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI DKI JAKARTA II – 1
2.1. Ekoregion Darat II – 1
2.1.1. Dataran Pasang Surut Berlumpur II – 1
2.1.2. Dataran Beting-gisik dan Lembah Antar Gisik II – 1
2.1.3. Dataran Rawa II – 1
2.1.4. Dataran Banjir II – 1
2.1.5. Dataran Fluvio-marin II – 1
2.1.6. Dataran Fluvio-vulkanik II – 1
2.2. Ekoregion Laut II – 1
BAB III ISU STRATEGIS III – 1
3.1. Perubahan Iklim III – 1
3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Berlebih III – 2
3.2.1. Pemanfaatan Sumber Daya Air III – 2
3.2.2. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Lainnya III – 6
3.3. Keterbatasan Ketersediaan Lahan III – 9
3.4. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Kota III – 12
3.5. Pencemaran III – 14
3.6. Pengelolaan Potensi Bahari yang Belum Optimal III – 16
BAB IV ARAHAN RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN IV – 35
HIDUP
4.1. Arahan RPPLH berdasarkan Ekoregion Darat IV – 1
4.1.1. Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam Ekoregion IV – 1
Darat

ix
4.1.2. Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan IV – 7
Hidup Ekoregion Darat
4.1.3. Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian IV – 9
Sumber Daya Alam Ekoregion Darat
4.2. Arahan RPPLH berdasarkan Ekoregion Laut IV – 12
4.2.1. Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam Ekoregion Laut IV – 13
4.2.2. Pemeliharaan dan Perlindungan kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan IV – 31
Hidup Ekoregion Laut
4.2.3. Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian IV – 33
Sumber Daya Alam Ekoregion Laut
4.3. Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim IV – 35
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii

x
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta, II – 7
1961-2013
Tabel 2.2. Proporsi Luasan Kawasan Menurut Penggunaan Lahan di DKI Jakarta II – 9
Tahun 2012
Tabel 2.3. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 – 2010 II – 10
Tabel 2.4. Prosentase Penduduk Berdasarkan Sumber Air Minum II – 14
Tabel 2.5. Pelanggan Air Tanah Dalam dengan Sumur Artesis dan Sumur Pantek II – 15
Tabel 2.6. Perhitungan Perkiraan Potensi Air Tanah Dangkal II – 16
Tabel 2.7. Proyeksi Penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu II – 44
Tabel 2.8. Spesies Target Perikanan di Kepulauan Seribu II – 47
Tabel 2.9. Luasan Genangan per Jenis Lahan di Kawasan Jakarta Utara pada Tahun II – 56
2050 Berdasarkan Peramalan Dampak Kenaikan Muka Laut oleh Hadi et al.
(2008)
Tabel 3.1. Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta III – 10
Tabel 4.1. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau IV –2
Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Terbangun
Tabel 4.2. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau IV –5
Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Tidak Terbangun
Tabel 4.3. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemeliharaan dan IV –8
Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup” untuk Zona
Kawasan Lindung dan Kawasan Hijau Budidaya
Tabel 4.4. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pengendalian, IV –10
Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian Sumber Daya Alam”
Tabel 4.5. Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut Berdasar Region (Spasial) IV –15
Laut DKI Jakarta terkait dengan Isu Kerawanan terhadap Perubahan Iklim
Tabel 4.6. Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta terkait IV –19
dengan Isu Strategis Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir, Kepulauan
dan Perikanan
Tabel 4.7. Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait dengan IV –22
Isu Keterbatasan Lahan
Tabel 4.8. Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait dengan Isu IV –24
Keterbatasan Sarana dan Prasarana Kota
Tabel 4.9. Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pencemaran IV –27
Tabel 4.10. Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pengelolaan IV –30
Potensi Bahari yang Belum Optimal
Tabel 4.11. Kebijakan Adapatasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut IV –35
Tabel 4.12. Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut IV –36

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Persandingan Peta Banjir dengan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta II – 6
Gambar 2.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta, 1961 – 2013 II – 7
Gambar 2.3. Persebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2007 dan Tahun 2010 II – 8
Gambar 2.4. Tren Perubahan Kawasan Terbangun dan Non Terbangun DKI Jakarta II – 11
Gambar 2.5. Penggunaan Lahan DKI Jakarta Tahun 2000 II – 12
Gambar 2.6. Penggunaan Lahan DKI Jakarta Tahun 2010 II – 12
Gambar 2.7. Peta Penurunan Permukaan Tanah DKI Jakarta II – 16
Gambar 2.8. Peta Batimetri Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu II – 35
Gambar 2.9. Peta Kelerengan Dasar Laut Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta II – 36
Gambar 2.10. Distribusi Pasang Surut di Indonesia II – 37
Gambar 2.11. Sirkulasi Arus Termohalin yang Membawa Massa Air Mengalir dari Satu II – 50
Basin Samudera ke Basin Samudera yang Lain
Gambar 2.12. Skematik Sirkulasi Arus lintas Indonesia (Garis Tebal Merah), Arus II – 50
Lintas Laut China Selatan (Garis Merah Putus-putus) yang Membawa
Massa Air dari Samudera Pasifik ke Laut Jawa
Gambar 2.13. Grafik Variabilitas dan Trend Suhu Udara Rerata Tahunan dari 1976 II – 51
hingga 2012, yang Cenderung Meningkat, Berdasarkan Data dari Stasiun
Maritim BMKG di Pelabuhan Tanjung Priuk
Gambar 2.14. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Indonesia, dimana menunjukkan II – 52
Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga Kepulauan
Seribu Mempunyai Indeks yang Sangat Tinggi
Gambar 2.15. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Jakarta, dimana Menunjukkan Kawasan II – 52
Pesisir Jakarta Utara Terindikasi Cukup Bervariasi Tingkat
Kerentanannya, Kawasan yang Tertinggi adalah di Sekitar Kecamatan
Tanjung Priok, Kec. Koja dan Kec. Tarumajaya
Gambar 2.16. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Perairan Indonesia, dimana II – 54
Menunjukkan Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga
Kepulauan Seribu Mempunyai Kenaikan yang Tinggi 0,75-0,76 cm/tahun
Gambar 2.17. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Pesisir Jakarta, dimana II – 54
Menunjukkan Kawasan Pesisir Jakarta Utara Terindikasi cukup
Bervariasi Tingkat Kerentanannya, Kawasan yang Tertinggi adalah di
Sekitar Kec. Tarumajaya, Urutan Kedua Berada di Pesisir Kec. Tanjung
Priok dan Kec. Koja
Gambar 2.18. Bukti Adanya Kenaikan Muka Laut di Stasiun Pengamatan Altimetri II – 55
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta
Utara

xii
Gambar 2.19. Peta Tinggi Gelombang Signifikan Rerata Perairan Indonesia. Dimana II – 57
menunjukkan Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga
Kepulauan Seribu mempunyai kenaikan yang tinggi 1,25-1,50 m
Gambar 3.1. Kondisi Neraca Air Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta III – 4
Gambar 3.2. Biota laut yang telah terancam di Kepulauan Seribu III – 8

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki tingkat
kepadatan per-km2 mencapai 14.512 jiwa dengan jumlah penduduk 9,6 juta jiwa. Jumlah
ini masih belum termasuk dengan jumlah komuter yang diperkirakan mencapai 30%
jumlah penduduk yang ada, sehingga total penduduk harian DKI Jakarta diperkirakan
mencapai 12,5 juta. Angka ini sebagian besar menjadi beban pelayanan utilitas publik.

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan sumberdaya alam berupa


tanah, air dan udara dan sumberdaya alam lain yang termasuk ke dalam sumberdaya
alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari
bahwa sumberdaya alam tersebut mempunyai keterbatasan didalam banyak hal, baik
menurut kuantitas maupun kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai
keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan
sumberdaya alam yang baik dan bijaksana.

Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai
dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan
komponen lingkungan hidup di kota Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas
dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam era otonomi daerah, pengelolaan
lingkungan hidup selain mengacu pada Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik, melalui penetapan kewajiban
pemerintah untuk menerapkan sustainable development sebagai solusi untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan
ekonomi dan keadilan sosial.

Pembangunan merupakan upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan


sumberdaya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat yang mengandung resiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kerusakan atau kepunahan salah satu
sumberdaya alam akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak
dapat dinilai dengan materi, namun pemulihan kembali ke keadaan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-1
semula tidak mungkin dilakukan. Persoalan lingkungan adalah persoalan semua, baik
pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu
pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dan bersinergi dengan
penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya
buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,
keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim.

Sampai saat ini Provinsi DKI Jakarta belum menetapkan Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidupnya, oleh karena itu berdasarkan amanat Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009 maka pemerintah provinsi diwajibkan untuk menyusun Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) tingkat provinsi. RPPLH
adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan ketentuan tersebut dan menunggu selesainya


pembuatan Peraturan Pemerintah tentang RPPLH, maka Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta melalui Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta
melakukan proses penyusunan RPPLH Daerah. Penyusunan RPPLH ini merupakan
bagian dari tahapan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan hidup, setelah
Pemerintah DKI Jakarta melakukan inventarisasi lingkungan hidup dan penetapan
wilayah ekoregion.

Dokumen inventarisasi lingkungan hidup memuat informasi potensi dan ketersediaan,


jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan, pengetahuan pengelolaan serta bentuk
kerusakan sumber daya alam DKI Jakarta, yang meliputi sumber daya alam hutan, air
permukaan, air tanah serta keanekagaman hayati. Selain itu, dokumen inventarisasi
lingkungan hidup juga memuat informasi tentang konflik dan penyebab konflik yang
timbul akibat pengelolaan hutan, ruang terbuka hijau, air permukaan, air tanah,
keanekagaman hayati, tata guna lahan, geologi, udara, kependudukan serta sosial
ekonomi.

Sedangkan penetapan wilayah ekoregion memuat pembagian wilayah DKI Jakarta ke


dalam 6 ekoregion darat dan terbagi menjadi 40 polygon serta 5 ekoregion laut sesuai
dengan karakteristik wilayah.

Ekoregion darat dideliniasi berdasarkan kesamaan dalam karakteristik bentang alam,


daerah aliran sungai, iklim serta batas administrasi (kecamatan). Sementara ekoregion

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-2
laut ditentukan berdasarkan karakteristik batimetri, kenakeragaman hayati, dan
pencemaran.

1.2. Landasan Hukum

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470);
c. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888);
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377);
e. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
f. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839),
sebagaimana diubah beberapa kali yang terakhir dengan Undang Undang Nomor
23 Tahun 2014;
g. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725);
h. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4739) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 1
Tahun 2014;
i. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4744);

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-3
j. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Tahun
2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4849);
k. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun
2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4849);
l. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran
Negara Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4851);
m. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5059);
n. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air
(Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3225);
o. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara
Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3445);
p. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3776);
q. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
r. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4737);
s. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761);
t. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4828);
u. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4833);

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-4
v. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian
dan Pengembangan Perikanan (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 55,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4840);
w. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4858);
x. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara
Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4859);
y. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
z. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pedoman Umum
Mitigasi Bencana;

1.3. Tujuan dan Manfaat / Kedudukan RPPLH

RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup,
serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Manfaat
dari RPPLH DKI Jakarta adalah arahan dan acuan dalam melaksanakan upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan:

a. melindungi wilayah DKI Jakarta sebagai bagian dari wilayah NKRI dari pencemaran
dan / atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian
dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Sesuai yang diatur dalam Pasar 10 ayat 5 UU No 32 Tahun 2009, RPPLH dalam sistem
perencanaan pembangunan adalah menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam
rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-5
Saat ini Provinsi DKI Jakarta telah memiliki RPJPD untuk periode 2005 – 2025 dan dalam
periode RPJMD 2013 -2017 yang merrupakan tahap II RPJPD. Oleh sebab itu, RPPLH DKI
Jakarta diharapkan dapat menjadi dasar dalam penyusunan RPJMD tahap III dan tahap
IV, dan/atau sebagai bahan dasar untuk penyempurnaan pelaksanaan RPJPD.

1.4. Pendekatan

Pendekatan perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup daerah


Provinsi DKI Jakarta pada prinsipnya memperhatikan:

a. Keragaman karakter dan fungsi ekologis;


b. Sebaran penduduk;
c. Sebaran potensi sumber daya alam;
d. Kearifan lokal;
e. Aspirasi masyarakat; dan
f. Perubahan iklim

Penyusunan dokumen RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta dilakukan dalam 5 (lima)
tahapan sebagai berikut:
1) Inventarisasi Lingkungan Hidup
2) Penetapan Wilayah Ekoregion Darat
3) Penetapan Wilayah Ekoregion Laut
4) Penyusunan Naskah Akademis RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta
5) Penetapan RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta

Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi


mengenai sumber daya alam DKI Jakarta, yang meliputi sumber daya alam (potensi dan
ketersediaan, jenis yang dimanfaatkan, bentuk penguasaan, pengetahuan pengelolaan,
bentuk kerusakan) dan, konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan
karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora dan fauna, sosial budaya,
ekonomi, kelembagaan masyarakat, dan hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Setiap tahapan penyusunan dokumen RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta


mengikutsertakan pemangku kepentingan melalui rapat koordinasi, diskusi kelompok
terfokus, lokakarya, dan konsultasi publik.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-6
1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup RPPLH DKI Jakarta meliputi seluruh wilayah daratan DKI Jakarta dan
wilayah laut sesuai dengan batas kewenangan provinsi yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang termaktub
dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 27 ayat (3), yaitu sejauh
12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.

Ruang lingkup materi RPPLH telah diatur dalam Pasal 10 Ayat 4 UU No. 32 Tahun 2009.
Muatan RPPLH mencakup 4 hal, yaitu:
a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

Jangka waktu RPPLH Daerah adalah 20 tahun dengan masa peninjauan kembali setiap
lima tahun sekali.

1.6. Ketentuan Umum

Ketentuan umum dalam RPPLH mengatur tentang pengertian – pengertian dasar yang
termuat dalam RPPLH. Beberapa istilah yang dimaksud dalam RPPLH ini antara lain:
a. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
b. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
c. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-7
untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
d. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya
disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.
e. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh
menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas,
dan produktivitas lingkungan hidup.
f. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
g. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar
keduanya.
h. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.
i. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya
hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
j. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
k. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan
hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
l. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
m. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-8
n. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak
langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim
alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.
o. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air,
flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
p. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
q. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disingkat Provinsi DKI Jakarta,
adalah provinsi yang mempunyai kekhususan dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
r. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, selanjutnya disebut
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, adalah Gubernur dan perangkat daerah
s. Kota administrasi/kabupaten administrasi adalah wilayah kerja walikota/bupati yang
terdiri atas kecamatan dan kelurahan.
t. Peraturan daerah adalah peraturan perundang undangan Provinsi DKI Jakarta yang
dibentuk oleh DPRD Provinsi DKI Jakarta dengan persetujuan bersama Gubernur.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta I-9
BAB II
EKOREGION DAN KONDISI LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI DKI JAKARTA

2.1. Ekoregion Darat

Kajian penetapan deliniasi Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta menghasilkan ada 40
(empat puluh) polygon ekoregion. Namun demikian, secara garis besar terkait dengan
penyusunan RPPLH, ke 40 ekoregion tersebut dapat dikategorikan berdasarkan
karakteristik geomorfologinya menjadi 6 (enam) tipe ekoregion yaitu:

2.1.1. Dataran Pasang Surut Berlumpur

Adalah suatu bentuk lahan (landform) dataran yang terbentang sepanjang garis pantai,
terbentuk oleh proses marin, yaitu penaikan dan penurunan permukaan air laut (efek
gravitasi bulan-matahari) dan dibarengi oleh adanya arus dan gelombang laut. Proses
deposisi marin umumnya lebih dominan daripada proses erosi (seperti abrasi) di
dataran ini. Anasir geomorfik (geomorphic agent) utama yang bekerja di dataran ini
adalah arus pasang-surut (tide) air laut yang membawa material/sedimen. Material
permukaan di dataran ini umumnya bertekstur halus (lumpur) merupakan hasil proses
deposisi marin dari sedimen halus yang terangkut dari sungai (yang bermuara di sekitar
dataran ini) kemudian disebarkan oleh arus sepanjang pantai (longshore drift) dan arus
pasang-surut. Dengan karakter bentuk lahan tersebut, dataran pasang surut berlumpur
biasanya:

 memiliki relief datar sehingga rentan terhadap konversi lahan


 habitat flora fauna nya spesifik
 banyak terjadi genangan air (rerawaan) yang dipengaruhi arus dari laut dan sungai
 memiliki kerentanan bencana banjir rob dan luapan sungai
 sesuai untuk pengembangan budidaya tambak
 tempat tumbuh mangrove, sehingga sesuai diperuntukan sebagai kawasan lindung

Luas dataran pasang surut berlumpur Provinsi DKI Jakarta mencapai 62,84 km2 atau
sekitar 9,5% dari total wilayah.

2.1.2. Dataran Beting-gisik dan Lembah Antar Gisik

Beting-gisik (beachridges) dan lembah antar beting-gisik (swales) adalah bentuk lahan
(landform) marin. Beting-gisik merupakan suatu timbunan pasir berbentuk

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-1
punggungan (beting) yang memanjang sejajar garis pantai. Punggungan ini semula
terbentuk di dasar laut dangkal tepi pantai sebagai hasil deposisi dari sedimen
terangkut di dasar air laut oleh arus laut sepanjang pantai (longshore current) dan
gelombang menuju ke pantai (littoral drift). Punggungan-punggungan ini terbentuk
berulang dan berjajar dengan pola sejajar garis pantai. Pada saat air laut turun atau
daratan terangkat, maka beting ini muncul ke permukaan membentuk beting-gisik.
Cekungan memanjang di antara dua beting-gisik disebut swale. Material yang umum
menyusun beting-gisik ini adalah pasir, sedangkan pada swale lebih bertekstur halus
karena merupakan lokasi pengendapan lokal permukaan lahan di sekitarnya. Dengan
karakter bentuk lahan tersebut, dataran beting – gisik biasanya:

 relatif aman dari genangan /banjir


 kelembaban tanah rendah
 sesuai untuk kawasan permukiman dan kawasan budidaya lainnya

Sementara, lembah antar beting – gisik biasanya:


 memiliki kelembaban tanah tinggi
 rentan terhadap terjadinya genangan
 sesuai untuk pertanian sawah dan tambak

Luas dataran beting gisik dan lembah antar gisik Provinsi DKI Jakarta adalah seluas
50,88 km2 atau seluas 7,7% dari total wilayah.

2.1.3. Dataran Rawa

Dataran ini terbentuk dari hasil proses deposisi fluvial (seperti banjir) yang
meninggalkan suatu dataran dengan cekungan-cekungan kecil yang tersebar secara
acak. Cekungan-cekungan ini sesuai dengan sifatnya mudah menampung air, sehingga
di dataran ini wajar banyak terdapat rawa-rawa. Dengan karakter bentuk lahan
tersebut, dataran rawa biasanya:

 memiliki kelembaban tanah tinggi


 rentan terhadap genangan atau banjir
 aksesibilitas rendah
 sesuai untuk budidaya ikan atau pertanian sawah

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-2
 tidak sesuai untuk pengembangan kawasan terbangun, oleh sebab itu penimbunan
pada dataran rawa sering dilakukan sebelum dilakukan konversi lahan untuk
pembangunan.

Luas dataran rawa Provinsi DKI Jakarta mencapai 16,76 km2 atau sekitar 2,5% dari total
wilayah.

2.1.4. Dataran Banjir

Adalah suatu dataran yang terletak di sekitar alur sungai. Bentuklahan ini berada di
dalam lembah sungai (river valley) yang terbentuk akibat proses deposisi fluvial. Sesuai
dengan namanya dataran ini selalu tergenang banjir jika terjadi perluapan air sungai
(debit meningkat) terutama di musim hujan. Dengan karakter bentuk lahan tersebut,
dataran banjir biasanya:

 memiliki tanah yang gembur dan subur


 rentan terhadap banjir
 sesuai untuk budidaya tanaman semusim terutama pada musim kemarau
 tidak sesuai untuk pengembangan kawasan terbangun, oleh sebab itu penimbunan
pada dataran banjir sering dilakukan sebelum dilakukan konversi lahan untuk
pembangunan

Luas dataran banjir Provinsi DKI Jakarta mencapai 38,41 km2 atau sekitar 5,8% dari total
wilayah.

2.1.5. Dataran Fluvio-marin

Dataran ini terbentuk oleh gabungan proses fluvial dan marin, seperti delta sungai atau
dataran estuarin lain dimana terbentuknya dipengaruhi oleh dua jenis proses
geomorfik, yaitu aliran sungai dan arus/gelombang laut. Lokasi dari bentuk lahan ini
biasanya sedikit agak jauh dari garis pantai atau berada di belakang dataran pasang-
surut berlumpur. Pengaruh proses marin pasang-surut masih dapat dirasakan, namun
jika pertumbuhan garis pantai (akresi) relatif cepat, maka pengaruh pasang-surut
semakin kecil. Dengan karakter tersebut, dataran fluvio-marin biasanya:

 memiliki tanah gembur dan agar subur


 rentan terhadap genangan, banjir dan rob
 sesuai untuk pengembangan budidaya tambak atau pertanian sawah

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-3
 sering kali dilakukan penimbunan dan rentan terhadap konversi lahan

Luas dataran fluvio-marin Provinsi DKI Jakarta mencapai 189,48 km2 atau sekitar 28,6%
dari total wilayah.

2.1.6. Dataran Fluvio-vulkanik

Merupakan suatu dataran yang terbentuk oleh proses deposisi fluvial (aliran air sungai)
dengan material dominan dari bahan vulkanik (seperti abu, pasir, kerikil, dan
bongkahan batu vulkanik). Material vulkanik tersebut pada umumnya mudah
termobilisasi (oleh hujan) sesaat setelah terjadinya erupsi gunung api. Sumber material
vulkanik di wilayah Provinsi DKI Jakarta secara dominan berasal dari gunungapi
Pangrango dan gunung api Salak yang terletak di bagian selatan Provinsi DKI Jakarta
atau di wilayah Bogor. Wilayah ini dikenal sebagai wilayah yang mempunyai curah
hujan tinggi, dan kedua gunung api tersebut pernah mengalami letusan cukup besar
(tipe plinian) dalam sejarahnya yang menghasilkan endapan vulkanik lepas
(pyroclastics) cukup melimpah. Hasil erupsi dari kedua gunung api tersebut kemudian
termobilisasi oleh aliran air membentuk aliran lahar, dan lahar tersebut terdeposisi di
lereng kaki utara membentuk dataran fluvio-vulkanik DKI. Dengan karakter bentuk
lahan tersebut, dataran fluvio-vulkanik biasanya:

 memiliki aksesibilitas tinggi karena relief datar


 memiliki kemampuan lahan tinggi
 tanahnya gembur dan subur
 sesuai untuk pengembangan budidaya pertanian dan kawasan terbangun lainnya
 lembah sungainya agak dalam
 cenderung terjadi konversi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian

Luas dataran fluvio-vulkanik Provinsi DKI Jakarta mencapai 298,25 km2 atau sekitar
45,03% dari total wilayah.

Deskripsi ke 6 tipe ekoregion DKI Jakarta tersebut menunjukkan bahwa secara alami
wilayah Provinsi DKI Jakarta memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak
perubahan iklim seperti banjir, rob dan genangan. Tipe ekoregion yang memiliki
kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim mencapai luasan sebesar lebih dari 55% dari
total wilayah yang mencakup ekoregion dataran pasang surut berlumpur, dataran rawa,
dataran banjir fluvio-marin serta dataran lembah antar gisik.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-4
Berdasarkan hasil kajian Economy and Environment Program for South East Asia (EEPSEA)
2010, program International Development Research Centre (IDRC) Kanada, dilaporkan
bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah yang paling rentan terhadap perubahan
iklim di Asia Tenggara. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji (Indonesia,
Thailand, Kamboja, Laos, Vienam, Malaysia dan Filipina), lima wilayah kota administrasi di
Provinsi DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim
dan menempati tiga urutan tertinggi, yaitu berturut-turut Jakarta Pusat, Jakarta Utara,
Jakarta Barat. dalam urutan kedelapan.

Bencana akibat dampak perubahan iklim ada yang bersifat “slow onset” seperti kenaikan
muka air laut, dan bencana hidro-meteorologi yang bersifat “rapid onset” seperti kondisi
cuaca ekstrim dan gelombang tinggi. Anomali curah hujan di wilayah Jakarta, Bogor dan
sekitarnya dari 1996 hingga 2005, dilaporkan oleh Susandi (2008), terjadi kenaikan curah
hujan pada musim hujan di bulan Januari di wilayah Jakarta sebesar 20-200 mm, dengan
kenaikan tertinggi di daerah Pulogadung. Kenaikan curah hujan tersebut juga
teridentifikasi pada musim peralihan di bulan Maret berkisar 60-540 mm, dengan
kenaikan tertinggi di daerah Jakarta Selatan dan Bogor. Kenaikan curah hujan tersebut
berpotensi menyebabkan air menggenang dan/atau banjir khususnya di kawasan pesisir
Jakarta Utara, baik karena curah hujan tinggi di kawasan tersebut ataupun akibat kiriman
dari wilayah Bogor dan Jakarta Utara.

Dari peta kejadian bencana banjir 2007, 2013 dan 2014, ekoregion yang mengalami banjir
terbanyak adalah di dataran pasang surut berlumpur, dataran banjir, dataran rawa dan
dataran lembah antar gisik. Selain karena faktor karakteristik ekoregion yang memang
memiliki kerawanan yang tinggi terhadap genangan, di Provinsi DKI Jakarta juga mengalir
13 aliran sungai yaitu Sungai Mookervart, Sungai Ciliwung, Sungai Angke, Sungai
Pesanggrahan, Sungai Krukut, Sungai Kalibaru Barat, Sungai Kalibaru Timur, Sungai Buaran,
Sungai Grogol, Sungai Cipinang, Sungai Jatikramat, Sungai Cakung dan Sungai Sunter yang
kondisinya terus mengalami pendangkalan dan penyempitan akibat adanya sampah dan
bangunan liar di sepanjang sungai. Pembangunan prasarana dan sarana pengendalian banjir
seperti pond, polder, pintu air, saluran drainase belum secara menyeluruh tersedia.
Persandingan antara peta kejadian bencana banjir 2007, 2013 dan 2014, dan peta
ekoregion, dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Sementara itu ditinjau dari perkembangan penduduk dan aktivitasnya, wilayah Provinsi
DKI Jakarta sudah sangat berkembang menjadi kawasan perkotaan yang sangat padat.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-5
Pesatnya perkembangan Provinsi DKI Jakarta erat kaitannya dengan fungsi kota sebagai
ibukota Negara dimana selain sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat kegiatan
ekonomi yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung kegiatan sosial ekonomi yang
lengkap dan memiliki jangkauan pelayanan skala nasional bahkan internasional. Daya
tarik Provinsi DKI Jakarta tersebut membawa konsekuensi pada tingginya tingkat
urbanisasi, sehingga saat ini Provinsi DKI Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar
dengan jumlah penduduk berkisar 10 juta jiwa.

Dataran Pasang Surut Berlumpur

Dataran Beting Gisik dan


Lembah Antar Gisik
Dataran Rawa

Dataran Flovio Marin

Dataran Banjir (sepanjang aliran


sungai)
Dataran Fluvio Vulkanik

Gambar 2.1. Persandingan Peta Banjir dengan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta

Sebagai gambaran tentang perkembangan jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan


penduduk di Provinsi DKI Jakarta dari tahun 1961-2013 dapat dilihat pada Tabel 2.1.dan
Gambar 2.2.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-6
Tabel 2.1.
Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta, 1961-2013

JUMLAH
PENDUDUK LAJU PERTUMBUHAN KEPADATAN PENDUDUK
TAHUN
PENDUDUK (persen) (JIWA/HA)
(ribu orang)

1961 2.906,5 6,65 43,89

1971 4.546,5 4,58 68,65

1980 6.503,4 4,02 98,20

1990 8.259,3 2,41 124,72

2000 8.385,6 0,14 126,63

2010 9.607,8 1,43 145,08

2013 9.932,1 1,65 149,98


Sumber : BPS Provinsi DKI DKI Jakarta, 2013
Keterangan : Sensus Penduduk 1961-2010, dan Proyeksi 2010-2013

Gambar 2.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta, 1961 – 2013

Dari data perkembangan penduduk tersebut, laju pertumbuhan penduduk memang tidak
sebesar periode tahun 1961 hingga 1990. Namun demikian dengan kondisi saat ini dimana
jumlah penduduk hampir mencapai 10 juta jiwa, wilayah DKI Jakarta saat ini dapat
dikategorikan sebagai wilayah perkotaan yang padat yaitu memiliki kepadatan penduduk
rata-rata hampir 150 jiwa/ha. Kepadatan penduduk tersebut diperkirakan akan meningkat
seperti tertuang dalam RTRW DKI Jakarta 2010 – 2030 dimana proyeksi penduduk tahun
2030 diperkirakan mencapai 12,5 juta jiwa. Persebaran penduduk DKI Jakarta juga tidak
merata, karena di beberapa kecamatan kepadatan penduduk sudah mencapai di atas 200

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-7
jiwa/ha bahkan terdapat 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Matraman, Jakarta Timur
dan Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, kepadatan penduduknya mencapai di atas 300
jiwa/ha seperti terlihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.3. Persebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2007 dan Tahun 2010
(Sumber: DPGP DKI, 2011)

Peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta dari waktu ke waktu akan membawa
konsekuensi pada makin tingginya tekanan pada pemanfaatan ruang kota. Makin
bertambahnya jumlah penduduk makin meningkat pula kebutuhan ruang terbangunnya.
Sementara itu, luas lahan kota relatif tetap, sehingga makin berkurangnya lahan tidak
terbangun yang memiliki fungsi ekologis. Selain untuk memenuhi kebutuhan hunian yang
peningkatan kebutuhan lahannya akan sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk,
perkembangan aktivitas perekonomian kota juga memerlukan alokasi ruang yang makin
meningkat.

Permasalahan makin berkurangnya kawasan tidak terbangun juga terjadi di wilayah DKI
Jakarta. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta tahun 2013, pada tahun 2012 pemanfaatan
lahan DKI Jakarta sangat didominasi oleh pemanfaatan kawasan terbangun. Proporsi
luasan kawasan tidak terbangun hanya mencapai 6,91% yang berupa pertanian lahan
kering, areal berhutan, perairan dan pertanian lahan sawah. Pemanfaatan ruang di DKI
Jakarta tersebut menunjukkan fungsi kota DKI Jakarta adalah sebagai pusat kegiatan
perekonomian, pemerintahan, industri dan sosial budaya.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-8
Tabel 2.2.
Proporsi Luasan Kawasan Menurut Penggunaan Lahan di DKI Jakarta Tahun 2012

JUMLAH (Ha)
NO KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN PROPORSI (%)
2012
1 Pemukiman/sosekbud dll 50,938.44 76.92
2 Perhubungan 6,550.63 9.89
2.1. Lapangan udara 157.25 0.24
2.2. Pelabuhan laut 657.8 0.99
2.3. Jalan 5,083.81 7.68
2.4. Jalan/jalur KA 595.09 0.90
2.5. Terminal bis 50.23 0.08
2.6. Perparkiran 6.45 0.01
3 Industri 4,032.37 6.09
3.1. Kawasan 825.34 1.25
3.2. Non-kawasan 3,207.03 4.84
TOTAL KAWASAN TERBANGUN 61,521.44 92.90
4 Pertanian lahan kering 1252 1.89
5 Pertanian lahan sawah 1001 1.51
5.1. Sawah irigasi 953 1.44
5.2. Sawah tadah hujan 48 0.07
6 Perikanan 125 0.19
6.1. Tambak air payau 66 0.10
6.2. Kolam/air tawar 59 0.09
7 Areal berhutan 1,224.57 1.85
7.1. Hutan alami 430.45 0.65
7.2. Hutan sejenis/kota 794.12 1.20
8 Perairan 1,098.99 1.66
8.1. Waduk/rawa 391.99 0.59
8.2. Sungai 532.5 0.80
8.3. Floodway 174.5 0.26
9 Lain-lain 125.0 0.19
TOTAL KAWASAN TIDAK TERBANGUN 4,576.56 6.91
JUMLAH 66,223.00 100.00

Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2013


Keterangan : Estimasi Tim SLHD Provinsi DKI Jakarta, 2013

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-9
Sementara itu, berdasarkan hasil interpretasi peta Citra Landsat tahun 2000 dan 2010,
penggunaan lahan di DKI Jakarta telah mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Meskipun tetap didominasi oleh penggunaan perumahan/permukiman, secara umum telah
terjadi peningkatan luasan kawasan terbangun baik berupa permukiman, perdagangan,
industri maupun fasilitas sosial ekonomi perkotaan. Perkembangan lahan terbangun
mencapai hampir 500 ha per tahunnya sejak tahun 2000 hingga tahun 2010. Gambaran
perubahan lahan DKI Jakarta tahun 2000 dan 2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3.
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 – 2010

Area (Ha)
Landuse Category
2000 2010 Converting
Perumahan Developer/ Formal 13,531.91 12,107.52 (1,424.39)
Permukiman Padat 19,707.40 20,133.40 426.01
Permukiman Renggang 4,435.93 3,766.31 (669.62)
Industri dan Pergudangan 4,597.06 5,715.89 1,118.83
Komersil dan Jasa 4,299.41 6,641.85 2,342.44
Pendidikan dan Fasilitas Publik 1,648.10 3,342.41 1,694.32
Fasilitas Pemerintah 602.11 1,737.57 1,135.46
Taman dan Pemakaman 577.50 1,757.87 1,180.37
Pertanian dan Tegalan 11,175.15 6,137.47 (5,037.67)
Rawa, Sungai, dan Kolam 2,351.23 1,397.91 (953.32)
Fasilitas Transportasi 395.81 324.33 (71.48)
Semak dan Hutan 6.85 5.38 (1.48)
Hutan Bakau 2.20 2.16 (0.03)
Tanah Berbatu - -
Fasilitas Rekreasi 1095.79 1534.38 438.59
No Landuse Code 0.10 0.00 (0.10)

Dari data pada Tabel 2.3. dapat dilihat bahwa peningkatan kawasan terbangun terbesar
adalah dimanfaatkan untuk kawasan komersial dan Jasa, kawasan pendidikan dan fasilitas
publik serta fasilitas pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pola perkembangan kota DKI
Jakarta mengarah pada pemantapan fungsinya sebagai Ibukota Negara dan fungsi
ekonominya sebagai pusat perdagangan dan jasa. Sebaliknya sebagai hunian terlihat bahwa
secara ditinjau dari luasannya, penggunaan lahan untuk permukiman relatif terjadi

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-10
penurunan. Penurunan lahan permukiman terjadi pada tipe kawasan permukiman formal
dan permukiman renggang namun sebaliknya terjadi peningkatan pada kawasan
permukiman padat. Mengingat pertumbuhan jumlah penduduk DKI Jakarta dalam kurun
waktu tersebut meningkat, perubahan pola penggunaan lahan permukiman ini menunjukkan
adanya kecenderungan menjadi semakin padatnya kondisi permukiman di DKI Jakarta
dan/atau terjadi efisiensi penggunaan lahan yang dilakukan antara lain dengan mengubah
perumahan horizontal menjadi perumahan vertikal.

Kawasan Terbangun

Gambar 2.4. Tren Perubahan Kawasan Terbangun dan Non Terbangun DKI Jakarta

Penambahan kawasan terbangun di DKI Jakarta dapat dilihat merupakan konversi lahan
yang berasal dari lahan pertanian dan tegalan dan badan air. Pengurangan lahan pertanian
dan tegalan dalam kurun waktu 10 tahun mencapai lebih dari 5000 ha atau mengalami
penurunan sekitar 500 ha per tahunnya. Sebaliknya, dari data tersebut dapat dilihat bahwa
RTH kota di DKI Jakarta baik berupa taman dan pemakaman mengalami peningkatan
sebesar 118 ha selama kurun waktu 10 tahun.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-11
TAHUN 2000

Gambar 2.5. Penggunaan Lahan DKI Jakarta Tahun 2000

TAHUN 2010

Gambar 2.6. Penggunaan Lahan DKI Jakarta Tahun 2010

Kondisi perkembangan pemanfaatan ruang di DKI Jakarta menunjukkan bahwa proses


perkembangan kota mengarah pada terjadinya proses intensifikasi ruang. Hal ini berarti

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-12
akan terjadi pemadatan bangunan dan/atau perkembangan kota ke arah vertikal seperti
pembangunan rumah susun, apartemen, gedung perkantoran dan perdagangan
berlantai banyak, maupun pemanfaatan ruang di bawah tanah. Dengan kata lain
pencadangan lahan untuk pengembangan kota DKI Jakarta di masa datang tidak lagi
tersedia. Upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaannya adalah mengoptimalkan
pemanfataan ruang yang diimbangi dengan peningkatan kualitas lingkungannya
termasuk dilengkapi dengan sarana dan prasarana kawasan yang memadai.

Sementara berkaitan dengan masih terbatasnya ruang terbuka hijau yang seharusnya
mencapai 30% dari total wilayah maka perlu dilakukan berbagai upaya antara lain:

1. Menetapkan hutan kota dan RTH kota menjadi kawasan lindung, sehingga tidak
dimungkinkan terjadi alih fungsi. Selain upaya perlindungan terhadap statusnya
sebagai kawasan lindung, upaya pemeliharaan perlu juga dilakukan dalam rangka
meningkatkan fungsi lindung dari kawasan;
2. Mengembangkan RTH baru yang antara lain dapat dilakukan dengan mengembalikan
fungsi ruang yang seharusnya termasuk dalam kategori lindung namun saat ini
dimanfaatkan untuk peruntukan lainnya. Di DKI Jakarta masih terdapat sempadan
sungai, sempadan rel kereta api maupun ruang di bawah SUTET yang seharusnya
termasuk kategori kawasan lindung setempat, saat ini dimanfaatkan untuk hunian
atau kegiatan lainnya. Dalam kaitannya dengan ekoregion, sempadan sungai di DKI
Jakarta sebenarnya masuk dalam ekoregion dataran banjir sehingga memang
seharusnya tidak dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya terutama hunian;
3. Menerapkan ketentuan KDH pada setiap kavling tanah untuk dapat memenuhi
kebutuhan RTH terutama melalui peningkatan RTH privat. Penerapan ini perlu
diimbangi dengan mekanisme monitoring, evaluasi maupun penerapan sanksi.

Peningkatan jumlah penduduk juga akan meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya lain
seperti air bersih, makanan, udara dan sebagainya dan meningkatkan limbah yang
dihasilkan. Kesemuanya itu merupakan beban yang harus didukung oleh lingkungan.

Pemenuhan kebutuhan air bagi kehidupan sehari-hari, biasanya bersumber dari air
permukaan, dan air tanah. Yang termasuk kategori sumber air permukaan antara lain
adalah air yang bersumber dari sungai, waduk, danau dan air hujan. Sumber air
perpipaan yang tersedia di perkotaan biasanya bersumber dari air permukaan yang
diolah menjadi air minum. Sementara, yang termasuk kategori sumber air tanah antara
lain adalah air yang dipompa dari sumber air aquifer bebas dan tertekan serta sumber

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-13
mata air. Air dalam kemasan juga masuk ke dalam kategori air tanah meskipun biasanya
pengambilannya tidak dalam wilayah perkotaan.

Berdasarkan hasil Sensus 2010, sebagian besar penduduk di DKI Jakarta menggunakan
air yang bersumber dari air tanah seperti yang dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 2.4
Prosentase Penduduk Berdasarkan Sumber Air Minum

Sumber Air Minum (%)


Sumber Air Tanah Sumber Air Permukaan
Wilayah Mata air Ledeng
Air Sumur Sumur tak Mata air Ledeng Air Air
Pompa tak TOTAL sampai Lainnya TOTAL
kemasan terlindung terlindung terlindung eceran sungai hujan
terlindung rumah
Kab Kep. Seribu 24.6 0.08 10.99 0.27 0 0 35.94 0 14.66 0 49.4 0 64.06

Jakarta Selatan 45.77 37.97 10.51 0.22 0.41 0.01 94.89 4.78 0.2 0 0 0.13 5.11

Jakarta Timur 47.68 29.73 9.38 0.19 0 0 86.98 12.27 0.74 0 0 0 13.01

Jakarta Pusat 45.64 6.56 2.02 0.05 0 0 54.27 35.71 10.01 0 0 0 45.72

Jakarta Barat 52.87 6.43 1.82 0.05 0 0 61.17 28.17 10.65 0 0 0 38.82

Jakarta Utara 61.42 0.48 0.27 0.02 0.05 0 62.24 28.87 8.73 0 0 0.15 37.75

Provinsi DKI
50.69 18.51 5.51 0.12 0.1 0 74.93 19.6 5.32 0 0.1 0.06 25.08
Jakarta

Sumber: Sensus 2010, BPS

Tabel di atas menunjukkan bahwa penggunaan air kemasan untuk sumber air minum
cukup besar. Kondisi ini berkaitan dengan kualitas dan kontinuitas air minum yang
disediakan oleh PDAM di DKI Jakarta masih belum memenuhi kriteria dan kebutuhan
masyarakat ataupun dikarenakan telah terjadi perubahan pola pemanfaatan
sumberdaya air dari air minum dimasak menjadi air minum tanpa dimasak.

Sementara itu, berdasarkan data dalam Jakarta Dalam Angka tahun 2011, jumlah Kepala
Keluarga yang tercatat sebagai pelanggan PDAM hanya sebanyak 698.420 KK dari total
Kepala Keluarga sebanyak 2,509.096 KK. Hal ini dapat diartikan hanya 27,8% penduduk
DKI Jakarta yang menggunakan sumber air perpipaan yang disuplai oleh PDAM atau
dengan kata lain sebagian besar masih menggunakan air tanah.

Data PDAM juga mencatat bahwa penggunaan air PDAM untuk keperluan domestic
adalah sebesar 168,77 juta m3 dalam kurun waktu satu tahun. Dengan rata-rata 1 Kepala
Keluarga terdiri dari 4 jiwa dan jumlah pelanggan sebanyak 698.420 KK, maka

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-14
konsumsi air per jiwa untuk DKI Jakarta adalah sebesar sekitar 175 liter/hari. Dengan
pola konsumsi air sebesar 175 liter/hari dan perkiraan jumlah penduduk sebesar 9,5 juta
maka kebutuhan aktual air domestik adalah sebesar 1.662.500 m3/hari sementara yang
dipasok oleh PDAM hanya sebesar 474.073 m3/hari. Hal ini dapat diartikan bahwa laju
pengambilan air tanah untuk kebutuhan domestik diperkirakan 1.188.427 m3/hari atau
sebesar 13,75 m3/detik.

Sumber air tanah di DKI Jakarta juga digunakan untuk keperluan non domestik. Data
dalam Jakarta Dalam Angka 2011 menyebutkan jumlah pelanggan pengguna air tanah
dalam dengan Sumur Artesis dan Sumur Pantek untuk keperluan air non domestik.
Total pemakaian air tanah dalam tahun 2010 adalah sebesar 10.049.814 m3 atau sekitar
0,33 m3/detik. Pengambilan air tanah dalam yang terus menerus dan tidak terkendali ini
dikawatirkan akan menyebabkan amblesan tanah maupun kelangkaan air tanah.

Tabel 2.5.
Pelanggan Air Tanah Dalam dengan Sumur Artesis dan Sumur Pantek

Instansi Non Niaga Niaga Industri Industri


Pelanggan Total
Pemerintah Niaga Kecil Besar kecil Besar

Jakarta Selatan 119 137 176 939 59 28 1458

Jakarta Timur 58 32 63 429 16 279 977

Jakarta Pusat 50 22 58 406 53 2 591

Jakarta Barat 10 56 78 394 38 91 667

Jakarta Utara 7 161 12 222 31 61 449

Total 244 263 387 2390 197 661 4142


Sumber: Jakarta Dalam Angka, 2011

Makin intensifnya perkembangan kota DKI Jakarta akan membawa konsekuensi pada
munculnya berbagai permasalahan lingkungan. Dampak terhadap lingkungan yang
terjadi antara lain:
1. Terbatasnya resapan air tanah dangkal sebagai akibat makin bertambahnya luasan
kawasan terbangun. Keterbatasan ketersediaan air tanah dangkal ini menjadi
masalah penting untuk DKI Jakarta mengingat sebagian besar penduduk DKI
Jakarta menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-15
Perhitungan potensi air tanah dangkal untuk DKI dengan kondisi penggunaan
lahan tahun 2012 dan dengan curah hujan bulanan sekitar 120 mm atau adalah
sebagai berikut:

Tabel 2.6.
Perhitungan Perkiraan Potensi Air Tanah Dangkal
Koefisien Intensitas Potensi Air
Luas
Penggunaan Lahan Resapan Air hujan Tanah
(104 m2)
Hujan (10-8 m/detik) (m3/detik)
Kawasan Terbangun 61.521,44 0,1 4,6 2,83
Kawasan Tidak Terbangun 4.576,56 0,7 4,6 1,47
Total Potensi Air Tanah Dangkal 4,30
Sumber: Hasil Analisis, 2014

Hasil perhitungan tentang potensi resapan air tanah dangkal DKI Jakarta
menunjukkan bahwa hanya 4,30 m3/detik imbuhan air hujan ke dalam tanah.
Sementara hasil perhitungan menunjukkan bahwa diperkirakan saat ini
pengambilan air tanah dangkal di DKI Jakarta adalah sebesar 13,75 m3/detik.

2. Terjadinya intrusi air laut. Pengambilan air tanah dangkal yang berlebihan
menyebabkan terjadinya intrusi air laut dan penurunan permukaan tanah. Saat ini
DKI Jakarta sudah mengalami masalah penurunan permukaan tanah seperti dapat
dilihat pada gambar berikut.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-16
Gambar 2.7. Peta Penurunan Permukaan Tanah DKI Jakarta
(Sumber: Inventarisasi RPPLH DKI Jakarta)

Gambar tersebut menunjukkan bahwa penurunan permukaan tanah di bagian


Utara DKI Jakarta mencapai hingga 3 meter, bahkan di beberapa titik mencapai 4
meter. Permasalahan tersebut terjadi di sub ekoregion dataran pasang surut
berlumpur, dataran bukit gisik dan lembah antar gisik, dataran rawa dan dataran
fluvio marin yang kesemuanya masih dipengaruhi oleh lingkungan perairan laut.
Hal ini mengindikasikan juga bahwa di wilayah tersebut dimungkinan sudah
mengalami pencemaran air tanah akibat intrusi air laut.
3. Munculnya kawasan permukiman kumuh. Dengan luasan lahan yang terbatas dan
tetap, penambahan jumlah penduduk akan menimbulkan peningkatan kepadatan
hunian. Data mengenai penggunaan lahan menunjukkan adanya peningkatan
luasan permukiman padat. Sementara salah satu faktor munculnya kekumuhan di
permukiman adalah kepadatan bangunan. Data dari BPS tahun 2012 dalam laporan
Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta 2012 menunjukkan bahwa dari 392 RW yang
dievaluasi terdapat 67,35% atau 264 RW yang masih dinyatakan kumuh.
Berdasarkan tingkat kekumuhannya, sebanyak 8 RW masih kumuh berat, 23 RW
kumuh sedang, 89 RW kumuh ringan dan 144 RW kumuh sangat ringan. Sementara

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-17
dilihat per wilayah kabupaten/kota, Jakarta Utara memiliki RW kumuh terbanyak
yaitu 67 RW dan Jakarta Barat 66 RW. Sementara Jakarta Selatan memiliki RW
kumuh sebanyak 35 RW, Jakarta Timur 44 RW, Jakarta Pusat 46 RW dan Kep.
Seribu 6 RW. Meskipun Kepulauan Seribu memiliki RW Kumuh paling sedikit namun
jumlah tersebut menunjukkan bahwa seluruh RW yang diteliti dinyatakan kumuh.
4. Pencemaran air di darat. Kegiatan baik domestik maupun non domestik selain
memanfaatkan sumberdaya juga akan menghasilkan limbah. Beban limbah ke
lingkungan yang tidak mampu diasimilasi oleh alam serta didukung ketersediaan
sarana prasarana pengolahan limbah yang handal akan menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan. Pencemaran 13 sungai yang ada di DKI Jakarta sebagian
besar diakibatkan oleh sampah baik yang tidak tertangani maupun sampah yang
dibuang sembarangan yang kemudian masuk ke badan air.
Kondisi yang sama juga akan terjadi pada pencemaran yang disebabkan limbah
cair. Hingga saat ini, secara umum permukiman yang tidak terencana tidak
memiliki instalasi pengolah air limbah cair dari kegiatan rumah tangga. Namun
demikian pada permukiman terencana sekalipun, jumlah kawasan yang sudah
memiliki IPAL masih sangat minim. Di wilayah Jabodetabek, limbah cair domestik
yang dihasilkan dari setiap kegiatan rumah tangga pada umumnya akanlangsung
masuk ke dalam drainase, selanjutnya dari drainase akan masuk ke selokan, ke anak
sungai bahkan hingga ke sungai besar. Oleh karena DKI Jakarta terletak di wilayah
DAS bagian hilir, pencemaran air yang terjadi di wilayah ini merupakan akumulasi
pencemaran yang berasal dari wilayah hulu hingga bagian hilirnya.
5. Pencemaran udara. Tingginya jumlah penduduk dan intensitas kegiatanekonomi di
wilayah Provinsi DKI Jakarta, mengakibatkan tingginya kegiatan antropogenik yang
semuanya membutuhkan sarana dan prasarana, seperti kebutuhannya akan
transportasi yang sangat tinggi. Data BPS (2014) menunjukkan bahwa dari 94,37
juta kendaraan bermotor di Indonesia, sebanyak 13,28 juta (14,08%-nya) berada di
DKI Jakarta. Sumber pencemaran udara terbesar di DKI Jakarta adalah bersumber
dari kegiatan transportasi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan WHO (2000)
yang menyatakan bahwa pencemaran yang terjadi di pusat kota sebanyak 95% CO,
70% NOx, 60% tembaga dan 50% HC berasal dari proses pembakaran bahan bakar
fosil yang dilakukan oleh mesin kendaraan. Hasil penelitian ITDP (2008)
menyebutkan bahwa emisi NOx di DKI Jakarta mencapai 1,53 ton/hari, Particulate
Matter (PM) 0,10 ton/hari, CO mencapai 11,25 ton/hari, CO2 mencapai 135,48

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-18
ton/hari dan hidrokarbon mencapai 2,63 ton/hari yang mencemari udara di wilayah
DKI Jakarta dan sekitarnya.
Tingginya pencemaran udara di DKI Jakarta ini juga telah dilaporkan oleh Badan
Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEP) pada bulan Oktober 1995,
yang menyatakan bahwa DKI Jakarta menduduki peringkat ketiga dalam
pencemaran udara terberat di dunia, setelah Mexico City dan Bangkok (Darmono,
2001). Mengingat setiap manusia dan semua makhluk hidup melakukan pernafasan
setiap saat, maka potensi untuk terpaparnya manusia dan makhluk lainnya yang
bernafas menjadi sangat tinggi; sehingga risiko kesehatan terutama terhadap
penyakit degeneratif di wilayah DKI Jakarta akibat inhalasi juga menjadi tinggi.

Permasalahan pencemaran tanah, air dan udara di DKI Jakarta akan diuraikan lebih lanjut untuk
setiap sub ekoregion, yaitu sebagai berikut:

1. Dataran pasang surut berlumpur


Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang cukup padat penduduknya, hasil
estimasi terhadap jumlah penduduk adalah 740.163 orang. Di wilayah ini juga terdapat
pelabuhan internasional yang di dalamnya banyak terdapat berbagai kegiatan
antropogenik, mulai dari jumlah penumpang yang sangat banyak, kegiatan perdagangan,
ekspor-impor dan berbagai kegiatan lainnya. Di wilayah ini juga terdapat kegiatan industri
yang cukup banyak, dan merupakan salah satu lokasi yang di dalamnya terdapat Kawasan
PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) dan berbagai industri lain serta berbagai kegiatan
antropogenik utama lainnya serta kegiatan antropogenik ikutannya yang semuanya
menghasilkan bahan pencemar. Bahan pencemar yang dihasilkan dari kegiatan
antropogenik tersebut adalah bahan pencemar yang mencemari lingkungan perairan dan
mencemari daratan, baik mencemari udara maupun mencemari tanah.

Kegiatan antropogenik di wilayah ini yang mencemari air diantaranya adalah semua
kegiatan seperti kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, kegiatan perkantoran, kegiatan
perkotaan, kegiatan rumah sakit dan berbagai kegiatan lainnya yang menghasilkan limbah
cair. Pada limbah cair terdapat berbagai bahan pencemar, seperti pada bahan pencemar
organik yang berasal dari kegiatan domestik yang merupakan bahan pencemar organik
mudah urai. Namun dari kegiatan industri dihasilkan pula limbah organik sulit urai
(persistant organic pollutant) yang merupakan bahan berbahaya dan beracun, sehingga
harus sangat diwaspadai keberadaannya. Pada limbah cair juga seringkali diperoleh bahan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-19
pencemar anorganik seperti logam berat yang juga bersifat akumulatif, bahkan pada
limbah cair rumah sakit seringkali juga diperoleh unsur radioaktif. Pada limbah cair
kegiatan domestik dan kegiatan rumah sakit juga sering didapatkan bahan pencemar
biologi terutama bakteri E.coli dan bahkan dari limbah cair rumah sakit seringkali terdapat
bakteri patogen.

Pada sub ekoregion ini juga terdapat banyak kegiatan transportasi dan kemacetan
kendaraan bermotor terutama pada jam berangkat serta jam pulang ke sekolah dan
kantor. Namun khusus di daerah yang menuju pelabuhan nasional dan internasional
antrian kendaraan seringkali terjadi tidak mengenal waktu. Oleh karena itu maka di wilayah
sub ekoregion ini potensi pencemaran udara terutama oleh karbon monoksida (CO), NOx,
logam berat seperti timbal, tembaga dan berbagai logam berat lainnya, hidrokarbon (HC)
terutama yang bersifat aromatik menjadi sangat besar. Selain hal tersebut adanya kegiatan
transportasi dan kemacetan kendaraan bermotor di ekoregion ini, ditambah dengan
kegiatan industri mengakibatkan terjadinya pencemaran fisik berupa kebisingan.

Tingginya potensi pencemaran udara di wilayah ini, walaupun beberapa penelitian dan
laporan kajian yang dilakukan di wilayah ini memperlihatkan bahwa pencemaran udara
tidak terdeteksi di wilayah sub ekoregion ini. Bahan pencemar tersebut akan segera turun
ke tanah, sebagai contoh logam berat, tingginya berat jenis logam berat dan adanya gaya
tarik bumi, mengakibatkan logam berat akan turun ke bumi, dan selanjutnya berpotensi
mengakibatkan terjadinya pencemaran tanah terutama oleh logam berat. Hal ini terlihat
dari terjadinya pencemaran tanah oleh logam berat timbal di wilayah Terminal Tanjung
Priok yang kandungan Pb-nya dalam tanah mencapai 14,9 ppm (Ruyani, 2014).

Selain pencemaran udara dan tanah, di wilayah sub ekoregion ini juga terjadi pencemaran
air sungai di wilayah ini. Pencemaran air sungai ini berasal dari kegiatan antropogenik yang
dilakukan di darat, terutama yang menghasilkan limbah cair. Limbah cair ini akan masuk ke
dalam sungai baik yang mengalami pengolahan terlebih dahulu maupun tidak mengalami
pengolahan terlebih dahulu. Limbah cair dari kegiatan domestik umumnya masuk ke dalam
sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, sedangkan limbah cair dari kegiatan
industri ada yang mengalami pengolahan terlebih dahulu dan ada juga yang tidak
mengalami pengolahan terlebih dahulu. Namun demikian menurut Napitupulu (2009),
jumlah industri yang berada di PT. KBN hanya kurang dari 5% yang sudah memiliki IPAL, dan
dari yang memiliki IPAL tersebut, tidak semua perusahaan mengoperasikan IPAL-nya setiap
hari, sehingga akan mencemari sungai yang menerima limbah cair tersebut. Selain hal

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-20
tersebut limbah cair yang masuk ke sungai yang melalui ekoregion ini juga membawa
limbah cair dan sampah dari hulu, sehingga menjadi mengakibatkan beban pencemaran di
wilayah sungai sangat tinggi, bahkan sudah jauh melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung
dan daya tampungnya. Hal tersebut juga semakin diperparah oleh kondisi sub ekoregion ini
yang terdapat di hilir sungai, sehingga beban pecemaran di wilayah sungai yang sebagian
besar berasal dari hulu. Kondisi ini pada akhirnya mengakibatkan kondisi pencemaran di
muara sungai yang berada di wilayah sub ekoregion ini menjadi sangat berat.

Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya sampah
yang sangat banyak di wilayah ekoregion ini. Dalam hal ini dari jumlah penduduk yang
mencapai 740.163 orang akan terkumpul sampah sebanyak 2.221 m3, sampah tersebut juga
masih ditambah dari kegiatan industri, kegiatan perkotaan, kegiatan perdagangan serta
berbagai kegiatan lainnya yang jumlahnya sangat banyak, serta berasal dari sampah yang
melimpas dari hulu ke wilayah sub ekoregion ini. Oleh karena itu maka jumlah sampah di
wilayah sub ekoregion ini menjadi sangat banyak. Di lain pihak dari sampah yang terkumpul
ini kurang lebih 15%-nya tidak terangkut ke TPA, sehingga sampah yang ada di lokasi ini
akan mencemari lingkungan, memperburuk estetika di sub ekoregion ini dan akan
mengakibatkan tingginya sumbangan gas rumah kaca yang berasal dari sampah. Oleh
karena itu maka potensi pencemaran di sub ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air
menjadi sangat tinggi.

Terjadinya pencemaran terutama pencemaran tanah dan pencemaran udara di wilayah ini
juga sulit untuk menghindarinya, mengingat minimnya sarana dan prasarana untuk
mencegah terjadinya pencemaran, serta kondisi lingkungan yang kurang mendukung
meningkatnya kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampung. Hal ini terlihat dari
tingginya penggunaan lahan di sub ekoregion ini namun tidak dibarengi dengan tingginya
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru.

2. Dataran beting-gisik dan lembah antar gisik


Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang cukup padat penduduknya, hasil
estimasi terhadap jumlah penduduk adalah 644.926 orang. Di wilayah ini juga merupakan
wilayah yang lebih diperuntukan bagi kegiatan industri, dan sekaligus merupakan wilayah
yang di dalamnya terdapat bagian dari kegiatan pelabuhan internasional. Di sub ekoregion
ini juga banyak terdapat berbagai kegiatan antropogenik, mulai dari kegiatan transportasi
dengan jumlah penumpang yang sangat banyak, kegiatan perdagangan, ekspor-impor,

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-21
pelabuhan perikanan, perhotelan, perkantoran dan berbagai kegiatan lainnya. Adapun
kegiatan industri yang terdapat di ekoregion ini antara lain adalah Kawasan PT. Kawasan
Berikat Nusantara dan berbagai industri lain. Kegiatan-kegiatan antropogenik yang ada di
ekoregion ini akan menghasilkan bahan pencemar, baik bahan pencemar yang akan
mencemari udara, mencemari tanah maupun mencemari perairan.

Seperti halnya pada sub ekoregion pasang surut berlumpur, pada sub ekoregion ini semua
kegiatan seperti kegiatan transportasi dengan jumlah penumpang yang sangat banyak,
kegiatan perdagangan, ekspor-impor, pelabuhan perikanan, perhotelan, perkantoran dan
berbagai kegiatan lainnya akan menghasilkan limbah cair, yang di dalamnya mengandung
berbagai bahan pencemar, baik berupa bahan pencemar organik mudah urai, bahan
organik sulit urai (persistant organic pollutant) dan bahan anorganik yang masuk pada
kategori bahan berbahaya dan beracun seperti logam berat serta bahan pencemar biologi
terutama bakteri E.coli dan berbagai jenis bakteri patogen, yang dapat menular ke manusia
yang sehat, serta terjadi pencemaran fisik terutama dalam bentuk kebisingan.

Pencemaran air tawar (terutama sungai) di wilayah ini terjadi karena adanya limbah cair
yang masuk ke dalam perairan baik yang berasal dari kegiatan domestik, kegiatan industri,
maupun dari kegiatan antropogenik lainnya, terutama limbah cair yang tidak mengalami
pengolahan terlebih dahulu, sehingga mencemari air permukaan, bahkan juga dapat
mencemari air tanah.Adanya kegiatan antropogenik yang sangat tinggi baik dari kegiatan
rumah tangga, kegiatan industri, kegiatan transportasi dan berbagai kegiatan
antropogenik lainnya, padahal pada kegiatan tersebut tidak memiliki IPAL, atau memiliki
IPAL namun tidak dioperasikan setiap hari, akan mengakibatkan sungai yang menerima
limbah cair tersebut tercemar berat. Kondisi tersebut bukan tidak mungkin sudah jauh
melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampungnya. Hal tersebut juga terlihat
dari pengamatan kasat mata, bahwa sungai yang melintas di wilayah sub ekoregion ini
berwarna hitam pekat dengan bau yang menusuk, sehingga mengindikasikan bahwa
perairan sungai di wilayah sub ekoregion ini tercemar berat.

Pada sub ekoregion ini yang merupakan wilayah dengan peruntukan utama untuk kegiatan
industri, selalu terjadi kegiatan transportasi yang cukup banyak, baik yang berasal dari
kegiatan industri seperti membawa bahan baku dan berbagai bahan lainnya,
mendistribusikan produk industri, transportasi pegawai, dan transportasi untuk berbagai
kegiatan lainnya. Oleh karena itu cukup wajar jika terjadi kemacetan kendaraan bermotor
terutama pada jam berangkat serta jam pulang kantor. Oleh karena itu maka di wilayah

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-22
ekoregion ini potensi pencemaran udara terutama oleh karbon monoksida (CO), NOx,
logam berat, senyawa hidrokarbon aromatik dan berbagai persistant organic pollutant
menjadi sangat besar, sehingga sangat perlu untuk diwaspadai. Adanya bahan pencemar di
udara ini mengakibatkan tanah menjadi tercemar oleh logam berat timbal, seperti yang
dinyatakan oleh Ruyani (2014) kandungan Pb dalam tanah yang berkisar antara 9 hingga
14,9 ppm dan di wilayah Terminal Tanjung Priok yang kandungan Pb-nya dalam tanah
mencapai 30,8 ppm. Selain terjadinya pencemaran kimia tersebut di atas, adanya kegiatan
industri dan ditambah dengan kegiatan transpotasi mengakibatkan terjadinya pencemaran
fisik terutama kebisingan.

Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya sampah
yang sangat banyak. Dalam hal ini dari jumlah penduduk yang mencapai 644.926 orang
akan terkumpul sampah sebanyak 1.935 m3 yang selalu meningkat dari tahun ke tahun
(BPS, 2009-2012). Jumlah sampah tersebut juga masih ditambah dari kegiatan industri,
kegiatan perkotaan, kegiatan perdagangan serta berbagai kegiatan lainnya yang jumlahnya
sangat banyak dan sayangnya tidak semua sampah terangkut ke TPA, sehingga sisa
sampah tersebut akan semakin mencemari lingkungan dan semakin memperburuk
estetika, sekaligus memberikan sumbangan gas rumah kaca yang berasal dari sampah
dalam jumlah yang cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka potensi pencemaran di
ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air menjadi sangat tinggi, sehingga melebihi
kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampung lingkungannya.

3. Dataran rawa
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang boleh dikatakan hampir tidak ada
kegiatan antropogenik, selain dari pergudangan yang jumlahnya sangat minim. Namun
demikian sulitnya mendapatkan lahan yang layak untuk membuat permukiman
mengakibatkan wilayah ini tetap dihuni oleh masyarakat dengan estimasi jumlah penduduk
di ekoregion ini yang mencapai 192.842 orang. Oleh karena itu, maka di wilayah ini potensi
pencemaran yang ada relatif lebih didominasi oleh kegiatan antropogenik berupa kegiatan
permukiman yang menghasilkan berbagai limbah baik berupa limbah cair, sampah,
maupun pencemaran udara yang berasal dari kegiatan domestik, yang semuanya masuk ke
dalam limbah domestik.

Kegiatan antropogenik berupa permukiman di wilayah ini juga berpotensi untuk


mencemari lingkungan baik mencemari air, tanah maupun udara. Hal ini disebabkan di

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-23
wilayah ini juga sarana dan prasarana yang sangat minim, sehingga cukup banyak
masyarakat yang langsung membuang limbah cair dan sampah yang dihasilkan dari
kegiatan rumah tangga langsung ke lingkungan, sehingga menjadi bahan yang mencemari
air, tanah dan udara.

Pada dasarnya wilayah sub ekoregion ini merupakan ruang terbuka biru yang tidak boleh
diganggu. Namun pada kenyataannya tetap dialih fungsikan untuk keperluan permukiman
dan pergudangan. Walau jumlah alih fungsi lahan masih sangat minim, namun tentunya
harus diperhatikan lebih seksama, jangan sampai terjadi alih fungsi lahan lagi, karena rawa
sebagai ruang terbuka biru yang sangat dibutuhkan sebagai daerah tangkapan air. Selain
itu juga adanya ruang terbuka biru juga akan menyerap berbagai bahan pencemar,
sehingga relatif akan menurunkan jumlah bahan pencemar yang beredar di lingkungan.

4. Dataran banjir
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang dipenuhi oleh permukiman ilegal yang
terdapat di sepanjang bantaran sungai. Wilayah ekoregion ini cukup padat penduduknya,
hasil estimasi terhadap jumlah penduduk adalah 591.587 orang. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Santoso (2009) di Bantaran Sungai Ciliwung - Jakarta, yang mengatakan bahwa
Bantaran Sungai Ciliwung berkelok-kelok dan dipenuhi oleh bangunan, yang tidak lain dari
ciri umum bantaran sungai-sungai lain di Wilayah Jakarta. Selanjutnya dikatakan bahwa
kepadatan (floor aspect ratio 90-100%) dengan tutupan yang sangat masif, sedangkan
ketinggian lantai bangunan permukiman rata-rata masih sangat rendah (kurang dari 2
lantai), padahal kawasan ini merupakan kawasan rawan banjir. Kawasan permukiman
kumuh dan padat terletak/diapit oleh Sungai Ciliwung dan Jalan Otista. Pola struktur
geometris di peri-peri jalan utama seperti Jalan Otista, Cassablanca dan MT Haryono, dan
organik dan tak teratur di sekitar Sungai Ciliwung.

Di wilayah ini permukiman yang ada di sepanjang sungai umumnya tidak beraturan, dengan
sanitasi yang juga tidak bagus. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suprijanto (1995),
bahwa karakterisktik umum permukiman di tepi sungai antara lain adalah:
 belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, sehingga pada kawasan
permukiman di atas air cenderung rapat dan kumuh;
 Tipologi bangunan yang berada di bantaran sungai umumnya menggunakan struktur
dan konstruksi tradisional dan konvensional seperti rumah-rumah kayu dengan
struktur sederhana;

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-24
 Karakteristik penduduk yang tinggal di bantaran sungai pada umumnya merupakan
golongan ekonomi yang lemah, dengan latar belakang pendidikan yang juga relatif
rendah, sehingga pengetahuan akan perumahan sehat cenderung masih kurang.

Kondisi tersebut, pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kecenderungan terjadinya


kebiasaan “tidak sadar lingkungan”. Hal tersebut pada umumnya terjadi karena adanya
kebiasaan dalam hal sifat mengotori dan mencemari sumber-sumber air, sifat mengotori
dan mencemari lingkungan, yang berpengaruh terhadap keadaan air permukaan, dan
memungkinkan penyebaran penyakit melalui pembuangan air limbah, serta terbatasnya
teknologi terapan untuk menangani berbagai masalah seperti tersebut di atas, yang terkait
dengan sistem pembuangan air limbah, pembuangan sampah, kegiatan pengolahan air
bersih, dan sebagainya.

Seperti dijelaskan oleh Suprijanto (1995), kenyataan yang terdapat di lapang identik
dengan pernyataan tersebut, yakni masyarakat yang tinggal di wilayah sub ekoregion ini
pada umumnya akan membuang limbah domestik cair, feses dan sampahnya langsung ke
sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu, di wilayah sub
ekoregion ini umumnya terlihat kekumuhan di sana sini, dengan estetika yang juga buruk.
Selain itu pada saat hujan cukup lebat atau bahkan pada saat di wilayah hulu sungai
tersebut hujan, seringkali wilayah tersebut juga mengalami musibah banjir. Walaupun
wilayah ini relatif lebih didominasi oleh permukiman ilegal, namun karena kesadaran
masyarakatnya terhadap kelestarian lingkungan cukup rendah, maka di wilayah ini cukup
banyak dihasilkan bahan pencemar yang dihasilkan dari berbagai jenis kegiatan
antropogenik yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di bantaran sungai tersebut,
selanjutnya bahan pencemar tersebut akan mencemari lingkungan perairan, sehingga akan
mencemari air, udara maupun tanah di sub ekoregion ini.

Kegiatan antropogenik terutama kegiatan rumah tangga di wilayah ini yang mencemari air
bukan hanya berasal dari limbah cair dan limbah padat saja, namun juga dari kegiatan
buang air besar. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pencemaran biologi terutama
pencemaran bakteri E.coli dan bakteri patogen. Pada kegiatan rumah tangga tersebut,
bukan hanya bahan organik mudah urai saja yang akan dihasilkan dari kegiatan rumah
tangga, seperti yang tercantum pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112
Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, yang di dalamnya hanya mengatur
empat parameter yang terdapat pada limbah domestik, yakni pH, BOD, TSS serta minyak
dan lemak. Namun menurut Riani et al. (2009) juga akan dihasilkan bahan-bahan berbahaya

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-25
dan beracun seperti logam berat dan pestisida; selain itu juga akan dihasilkan fenol dalam
jumlah yang cukup banyak, serta dihasilkan detergen dalam jumlah yang sangat banyak.

Pada sub ekoregion ini juga terdapat kegiatan transportasi yang relatif lebih didominasi
oleh kegiatan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Walau di lokasi ini relatif tidak terjadi
kemacetan kendaraan bermotor, namun kegiatan rumah tangga dan sampah yang
menumpuk di berbagai lokasi dan sampah yang dibuang langsung ke sungai
mengakibatkan adanya potensi untuk terjadinya pencemaran udara terutama oleh karbon
monoksida (CO), NOx, logam berat seperti timbal, tembaga dan berbagai logam berat
lainnya, hidrokarbon (HC) terutama yang bersifat aromatik serta pencemaran pestisida.

Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya kebiasaan
dari masyarakat yang membuang sampah apapun langsung ke dalam sungai tanpa
mengalami pengolahan apapun. Selain itu juga diperberat oleh sampah dan limbah yang
berasal dari bagian sungai yang lebih ke hulu. Oleh karena itu maka pencemaran air dan
tanah serta udara akibat dari pembuangan sampah di wilayah sub ekoregion ini menjadi
sangat banyak, dan sebagian besar tidak dibawa ke TPA, sehingga sampah yang ada di
lokasi ini mencemari lingkungan, memperburuk estetika dan mengakibatkan tingginya
sumbangan gas rumah kaca dan potensi pencemaran di ekoregion ini baik di udara, di
tanah dan di air menjadi tinggi.

Terjadinya pencemaran terutama pencemaran tanah, air dan pencemaran udara di wilayah
ini juga sulit untuk menghindarinya, mengingat permukiman tersebut merupakan
permukiman illegal, sehingga sarana dan prasarana yang ada di lokasi ini juga sangat
minim, sehingga kondisi lingkungan di wilayah sub ekoregion ini kurang mendukung dalam
meningkatkan kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampung pencemaran. Bahkan
kondisi ini juga semakin diperburuk dengan kondisi bantaran sungai yang seharusnya
dihijaukan (menjadi ruang terbuka hijau), berdasarkan keberadaan ruang terbuka hijau
eksisting dengan potensinya untuk menjadi ruang terbuka hijau, ada indikasi bahwa ruang
terbuka hijau eksisting yang ada umumnya kurang dari 50% dari potensi yang seharusnya
(Santoso, 2009).

5. Dataran fluviomarin
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang paling padat penduduknya. Hasil
estimasi terhadap jumlah penduduk adalah 3.040.016 orang. Di wilayah ini juga terdapat
berbagai kegiatan antropogenik, mulai dari transportasi yang sangat banyak, kegiatan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-26
perdagangan, ekspor-impor dan berbagai kegiatan lainnya. Wilayah ini juga merupakan
wilayah yang juga dititik beratkan untuk kegiatan industri yang sudah sejak lama (40
tahunan yang lalu) berdiri. Ada berbagai jenis kegiatan industri di wilayah ini seperti
industri berbagai jenis elektronik, industri sabun, industri plastik serta berbagai jenis
industri lainnya. Tingginya kegiatan industri di wilayah ini mengakibatkan banyaknya usaha
ikutan didirikan di wilayah ini seperti usaha kos-kosan, aneka jenis warung, laundry, dan
sebagainya. Kondisi tersebut mengakibatkan di wilayah ini terdapat berbagai jenis kegiatan
antropogenik yang semuanya menghasilkan bahan pencemar, yang dapat mencemari
lingkungan baik mencemari perairan maupun mencemari daratan. Adapun yang akan
tercemar di wilayah daratan, adalah udara dan tanah.

Kegiatan antropogenik di wilayah sub ekoregion ini yang mencemari air diantaranya adalah
kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, kegiatan perkantoran, kegiatan perkotaan,
kegiatan rumah sakit dan berbagai kegiatan lainnya yang secara keseluruhan akan
menghasilkan limbah cair. Pada limbah cair terdapat berbagai bahan pencemar, seperti
pada bahan pencemar organik dari kegiatan domestik yang mudah urai serta bahan
organik sulit urai (persistant organic pollutant), serta bahan pencemar anorganik seperti
logam berat, unsur radioaktif, dan sebagainya; juga sering terdapat bahan pencemar
biologi terutama bakteri E.coli dan berbagai biota lainnya.

Pada sub ekoregion ini juga terdapat banyak kegiatan transportasi dan kemacetan
kendaraan bermotor terutama pada jam berangkat serta jam pulang ke sekolah dan
kantor. Namun khusus di daerah yang menuju pelabuhan nasional dan internasional
antrian kendaraan yang melintas di sub ekoregion ini umumnya terjadi setiap saat. Selain
hal tersebut, pada wilayah yang digunakan untuk kegiatan industri juga terjadi kemacetan
yang selalu terjadi pada saat jam masuk dan keluar kantor. Oleh karena itu maka di wilayah
ekoregion ini potensi pencemaran udara terutama oleh pencemaran fisik terutama
kebisingan dan pencemaran kimia seperti karbon monoksida (CO), NOx, logam berat
seperti timbal, tembaga dan berbagai logam berat lainnya, hidrokarbon aromatik (HC)
menjadi sangat besar.

Tingginya potensi pencemaran udara di wilayah sub ekoregion ini, akan sangat
membahayakan kesehatan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Namun sesuai dengan
sifat bahan pencemar tersebut yang ada di udara, akan mengalami baik deposisi kering
maupun deposisi basah, sehingga bahan pencemar tersebut akan segera turun ke tanah,
sebagai contoh logam berat, tingginya berat jenis logam berat dan adanya gaya tarik bumi,

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-27
mengakibatkan logam berat akan turun ke bumi, dan selanjutnya berpotensi
mengakibatkan terjadinya pencemaran tanah terutama oleh logam berat. Oleh karena itu
apabila pada pemeriksaan pencemaran udara, pengambilan sampel udara dilakukan tidak
tepat, seringkali mengakibatkan tidak terdeteksinya berbagai parameter pencemar udara.
Namun bukti bahwa terjadinya pencemaran di wilayah sub ekoregion ini dapat terlihat dari
terjadinya pencemaran tanah oleh logam berat timbal di wilayah sub ekoregion ini yang
mencapai 44,9 ppm (Ruyani, 2014).

Selain pencemaran udara dan tanah, di wilayah sub ekoregion ini juga terjadi pencemaran
air, baik air sungai maupun air tanah di wilayah ini. Pencemaran air pada sungai-sungai yang
melintas pada sub ekoregion ini umumnya berasal dari kegiatan antropogenik yang
dilakukan di darat, terutama yang menghasilkan limbah cair. Limbah cair yang berasal dari
kegiatan antropogenik ini akan masuk ke dalam sungai, baik yang mengalami pengolahan
terlebih dahulu maupun tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu. Seperti dinyatakan
oleh Napitupulu (2009) limbah cair dari kegiatan industri cukup banyak yang langsung
masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Berbeda dengan
limbah cair industri, limbah cair domestik umumnya tidak mengalami pengolahan terlebih
dahulu (Riani, Sitepu, Cordova, 2009). Selain hal tersebut limbah cair yang masuk ke
sungai-sungai yang melintasi sub ekoregion ini, juga membawa limbah cair dan sampah
yang berasal dari wilayah hulunya, sehingga mengakibatkan sungai yang berada di wilayah
sub ekoregion ini menjadi tercemar sangat berat, dan beban pencemaran di wilayah sungai
tersebut juga menjadi sangat tinggi, jauh melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung dan
daya tampungnya. Selain pencemaran pada air permukaan potensi pencemaran pada air
tanah juga cukup tinggi di wilayah sub ekoregion ini. Hasil penelitian terhadap sumur-
sumur penduduk di sub ekoregion ini memperlihatkan bahwa kandungan bahan organik
terutama nitrogen dan posfor, dan bakteri E.coli yang terdapat pada air sumur penduduk
terutama di wilayah permukiman kumuh umumnya sudah jauh di atas ambang batas yang
ditentukan dengan kondisi air yang sudah tidak tawar lagi (Sunartopo, 2008).

Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya sampah
yang sangat banyak. Dalam hal ini dari jumlah penduduk yang sangat padat yakni mencapai
3.040.016 orang akan terkumpul sampah sebanyak 9.120 m3.Sampah tersebut juga masih
ditambah dari kegiatan industri, kegiatan perkotaan, kegiatan perdagangan, kegiatan
pasar, kegiatan rumah sakit serta berbagai kegiatan lainnya yang jumlahnya sangat banyak.
Selain itu juga berasal dari sampah yang melimpas dari hulu ke wilayah sub ekoregion ini.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-28
Oleh karena itu maka jumlah sampah di wilayah sub ekoregion ini menjadi sangat banyak,
dan dapat dikatakan terbanyak dibanding sub ekoregion lainnya. Seperti telah dijelaskan di
atas, rata-rata dari sampah yang terkumpul ini kurang lebih 15%-nya tidak terangkut ke TPA,
sehingga sampah yang ada di lokasi ini akan sangat mencemari lingkungan, memperburuk
estetika dan memberikan sumbangan gas rumah kaca yang cukup besar dari sampah. Oleh
karena itu maka potensi pencemaran di sub ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air
menjadi sangat tinggi.

Terjadinya pencemaran terutama pencemaran air, tanah dan pencemaran udara di wilayah
sub ekoregion ini juga sulit untuk menghindarinya, mengingat jumlah penduduk yang
sangat banyak, minimnya sarana dan prasarana untuk mencegah terjadinya pencemaran,
minimnya sarana dan prasarana transportasi, serta minimnya kendaraan atau angkutan
umum (public transportation) yang aman dan menjangkau semua wilayah, termasuk
wilayah hintherland-nya, sehingga mengakibatkan terjadinya kemacetan serta kondisi
lingkungan yang kurang mendukung meningkatnya kapasitas asimilasi, daya dukung dan
daya tampung. Hal ini terlihat dari tingginya penggunaan dan alih fungsi lahan di sub
ekoregion ini namun tidak dibarengi dengan tingginya ruang terbuka hijau dan ruang
terbuka biru.

6. Dataran fluvio-vulkanik
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang lebih didominasi oleh kegiatan
antropogenik permukiman. Kegiatan antropogenik lainnya adalah perdagangan dan jasa
serta perkantoran dan perhotelan. Hasil estimasi terhadap jumlah penduduk di sub
ekoregion ini berkisar 3 juta orang.Walaupun di sub ekoregion ini relatif tidak ada industri
(besar), namun kegiatan antropogenik permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran,
dan perhotelan serta berbagai kegiatan antropogenik lainnya tetap akan menimbulkan
tekanan pada lingkungan dan terjadinya pencemaran. Kegiatan-kegiatan antropogenik
tersebut akan menghasilkan bahan pencemar yang lebih didominasi oleh bahan pencemar
organik. Namun demikian di wilayah sub ekoregion ini juga akan tetap dihasilkan bahan
pencemar yang masuk ke dalam bahan berbahaya dan beracun yang biasa digunakan pada
kegiatan domestik seperti pestisida, logam berat (dari bahan elektronik), detergen, dan
sebagainya, yang selanjutnya akan mencemari lingkungan perairan dan mencemari
daratan, baik mencemari udara maupun mencemari tanah.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-29
Kegiatan antropogenik lain berupa jasa yang diduga akan mencemari wilayah ini
diantaranya adalah kegiatan industri rumahan, seperti laundry, penyamakan kulit,
peleburan logam, percetakan skala kecil, sablon skala kecil,dan sebagainya. Kegiatan
industri rumah tangga ini selain akan menghasilkan limbah padat dan limbah cair mudah
urai, juga akan menghasilkan limbah limbah cair yang di dalamnya mengandung bahan
berbahaya dan beracun, seperti logam berat, antiseptik, detergen sulit urai, dan
sebagainya. Kegiatan industri rumahan yang umumnya tidak memiliki sarana dan prasarana
yang memadai tersebut juga akan menghasilkan bahan-bahan yang mencemari udara,
misalnya pada peleburan logam akan dihasilkan logam berat dan bahan organik sulit urai
(persistant organic pollutant) yang akan masuk ke dalam atmosfir/udara. Di lain pihak
kedua bahan pencemar tersebut merupakan bahan berbahaya dan beracun, sehingga
harus sangat diwaspadai keberadaannya karena bersifat akumulatif. Tingginya kegiatan
transportasi dan adanya terminal antar kota dan antar provinsi di wilayah ekoregion ini
mengakibatkan tingginya pencemaran udara oleh bahan berbahaya dan beracun
terutanma logam berat, poliaromatik hidrokarbon, senyawa-senyaea organik sulit urai, dan
berbagai bahan pencemar lain yang sangat membahayakan kesehatan masyarakat. Bahkan
hasil penelitian Ruyani (2014) memperlihatkan bahwa tanah yang ada di kawasan yang
berdekatan dengan terminal Pulo Gadung tercemar oleh logam berat timbal (Pb) hingga
7,1 ppm.

Pada sub ekoregion ini, walaupun bukan merupakan wilayah dengan peruntukan sebagai
wilayah industri, namun juga terdapat banyak kegiatan transportasi dan kemacetan
kendaraan bermotor terutama pada jam berangkat serta jam pulang ke sekolah dan kantor
yang menyebabkan sangat tingginya potensi pencemaran udara di wilayah ini. Seperti
halnya di wilayah sub ekoregion yang lain, bahan pencemar yang mempunyai potensi
tinggi mencemari udara di ekoregion ini antara lain adalah karbon monoksida (CO), NOx,
logam berat, hidrokarbon aromatik, dan berbagai bahan lainnya seperti dioksin dan furan
serta kebisingan, sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat yang menghuni
ekoregion ini, atau yang dalam kesehariannya cukup lama tinggal di wilayah ini. Tingginya
kegiatan transportasi dan adanya terminal antar kota dan antar provinsi di wilayah sub
ekoregion ini mengakibatkan tingginya pencemaran udara oleh bahan berbahaya dan
beracun terutanma logam berat, poliaromatik hidrokarbon, senyawa-senyawa organik sulit
urai, dan berbagai bahan pencemar lain yang sangat membahayakan kesehatan
masyarakat. Bahkan hasil penelitian Ruyani (2014) memperlihatkan bahwa tanah yang ada

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-30
di kawasan yang berdekatan dengan terminal Pulo Gadung tercemar oleh logam berat
timbal (Pb) hingga 7,1 ppm.

Selain pencemaran udara dan tanah, di wilayah sub ekoregion ini juga terjadi pencemaran
air. Pencemaran air sungai di wilayah ini lebih didominasi oleh limbah domestik, baik yang
berasal dari kegiatan permukiman ataupun dari kegiatan domestik lainnya, seperti limbah
cair domestik dan sampah. Limbah cair domestik pada umumnya masuk ke dalam sungai
tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Adapun bahan-bahan kimia yang berpotensi
mencemari sungai dan mengakibatkan nilainya berada di luar batas ambang adalah BOD,
DO, COD, H2S, othofosfat, amonia, nitrit, nitrat, phenol, detergen, fecal coli, dan pH (Riani
et al. 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa limbah cair domestik juga seringkali
mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada air sumur, terutama terkontaminasi oleh
nitrat, phenol detergen dan fecal coli. Selain hal tersebut limbah cair yang masuk ke sungai
yang melalui sub ekoregion ini bukan hanya disumbang oleh limbah domestik cair dari
wilayah ini, namun juga membawa limbah cair dan sampah yang berasal dari hulu, yang
mengakibatkan beban pencemaran di wilayah sungai sangat tinggi, bahkan diduga sudah
jauh melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampungnya.

Pada dasarnya pencemaran di sub ekoregion ini semakin diperberat oleh adanya sampah
yang cukup banyak, terutama dari kegiatan rumah tangga, dari sampah yang berasal dari
sampah yang melimpas dari hulu. Di lain pihak dari sampah yang terkumpul, kurang lebih
15%-nya tidak terangkut ke TPA. Dari sampah yang tidak terangkut, akan mencemari
lingkungan (mengakibatkan tingginya pencemaran udara terutama oleh gas-gas beracun
seperti nitrit, amoniak dan H2S), memperburuk estetika serta akan memberi sumbangan
terhadap meningkatnya gas rumah kaca. Oleh karena itu maka potensi pencemaran di sub
ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air menjadi sangat tinggi.

Berdasarkan uraian tentang karakteristik ekoregion darat dan tren kondisi serta permasalahan
lingkungan di daratan DKI Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa driving factor permasalahan
lingkungan dan dalam kaitannya dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah faktor manusia yang mencakup baik jumlah maupun pola pemanfaatan SDA-nya.
Oleh sebab itu, di dalam RPPLH DKI Jakarta akandilengkapi dengan pengaturan hak,
kewajiban, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam melaksanakan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.Faktor manusia merupakan aspek kajian sosial dan ekonomi
dalam pola pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan ekoregion darat dan
laut Provinsi DKI Jakarta. Hasil kajian ini akan mengerucut pada dirumuskannya arahan mitigasi

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-31
dan adaptasi baik terhadap perubahan iklim maupun terhadap status daya dukung dan daya
tampung lingkungan secara menyeluruh.

Masalah sosial dan ekologi yang menjadi polemik adalah belum terpecahkannya masalah banjir
dan kemacetan yang melanda Jakarta. Pada Tahun 2010 merupakan peristiwa banjir terparah
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Kejadian ini membawa kita pada pemahaman terhadap
masalah utama yang dihadapi oleh kota Jakarta. Permasalahan kemacetan dan banjir di
wilayah Jakarta merupakan permasalahan lingkungan yang dilatari oleh pola perencanaan
pembangunan yang berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, alhasil kurang
mengindahkan aspek sosial dan ekologi sehingga tercipta pembangunan social error.

Apabila ditelaah lebih dalam dan dikaji secara sosial, akar utama dari berbagai permasalahan
sosial di Provinsi DKI Jakarta tidak terletak pada kendala teknologi, infrastruktur, atau aspek
finasial tetapi pada sistem tata kelola infrastruktur dan lingkungan. Konsekuensi ekologis dan
sosial sebagai akibat dari pembangunan di Jakarta yang begitu massif, menciptakan proses
pembangunan di Jakarta selama ini hanya didorong oleh penciptaan dan rekayasa proyek serta
anggaran, sehingga keberpihakan pada lingkungan dan masyarakat kecil belum menjadi
obyektif dari proses pembangunan di Jakarta.

Merujuk dari data infrastruktur Jakarta, daya dukung infrastruktur jalan DKI hanya mampu
menampung 1,05 juta kendaraan. Sedangkan panjang jalan yang dimilik kota Jakarta adalah
7.650 kilometer dan luas ruas jalan 40,1 kilometer atau sekitar 6,2 persen dari luas wilayah
Provinsi DKI Jakarta. Upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini
masih melakukan upaya pembangunan infrastruktur jalan untuk mengurangi permasalahan
kemacetan.Akan tetapi kemacetan tetap terjadi dikarenakan karena volume kendaraan yang
begitu banyak.

Demikian pula dengan permasalahan banjir juga bersumber dari paham antroposentris yang
dianut masyarakatnya. Kesenjangan pembangunan dalam dimensi sosial juga berdampak
langsung pada isu banjir di Jakarta. Pembangunan di Jakarta menjadi pull factor tersendiri bagi
masyarakat di berbagai penjuru tanah air untuk mencari peruntungan di ibukota. Isu disparitas
kemampuan ekonomi pun menjadi menarik berkaitan sebagai akar masalah penyebaran pola
pemukiman yang dapat menyebabkan banjir. Masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi
cukup mapan, area permukiman mereka terpusat pada pusat-pusat kota yang strategis dengan
kemampuan mereka menanggung beban ekonomi yang harus dikeluarkan sebagai
konsekuensi logis atas hak yang telah mereka dapatkan untuk menempati kawasan tersebut.
Namun sebaliknya bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang kurang, dengan jumlah

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-32
mayoritas dan umumnya kaum urban, mereka terpaksa tinggal di luar area permukiman yang
telah disediakan oleh pemerintah daerah. Akhirnya, mereka menggunakan kawasan non-
pemukiman sebagai kawasan tempat tinggalnya yang umumnya di DAS, kawasan penyerapan
air, dan sebagainya. Hal ini berdampak kurangnya daerah resapan air yang menyebabkan banjir
di Jakarta.

Keberadaan kawasan kumuh di DKI Jakarta tidak terlepas dari masalah pertambahan
penduduk yang pesat tanpa diimbangi dengan ketersediaan perumahan untuk menampung
penduduk tersebut. Kawasan kumuh di DKI Jakarta pada umumnya berada di bantaran sungai
(DAS), rel kereta api, sekitar terminal, stasiun dan lainnya dan pada umumnya dihuni oleh
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Jika permukiman kumuh ini terabaikan dalam
proses pembangunan maka lama kelamaan persoalan permukiman kumuh akan semakin luas
dan kompleks, baik dari sisi lingkungan fisik yang tidak sehat dan tidak nyaman, maupun sisi
sosial dan ekonomi.

Dari uraian di atas, berbagai permasalahan lingkungan di Provinsi DKI Jakarta terkait erat
dengan pola pemanfaatan, perlindungan, dan pengelolaan SDA yang tidak sesuai kapasitas
daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dimilikinya. Berdasarkan permasalahan –
permasalahan tersebut, isu-isu strategis ekoregion darat DKI Jakarta dapat teridentifikasi yaitu:
1. Kerawanan perubahan iklim
2. Pemanfaatan sumberdaya air yang berlebih
3. Keterbatasan ketersediaan lahan
4. Keterbatasan sarana dan prasarana kota

2.2. Ekoregion Laut


Kondisi perairan laut di provinsi DKI Jakarta dengan luas
4.933 km2 tergolong cukup beragam.Perairan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil DKI Jakarta menyimpan
sumberdaya yang berlimpah. Keanekaragaman ikan dan
keberadaan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang
menjadi daya tarik wisatawan lokal dan mancanegara.
Sementara itu, aktivitas manusia seperti limbah dari
daratan, keberadaan pelabuhan, dan jalur pelayaran
mempengaruhi kondisi perairan provinsi DKI Jakarta.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-33
Gugusan Kepulauan Seribu memanjang ke arah barat laut sepanjang 80 km dan 30 km ke arah
tenggara dari barat ke timur. Meskipun dikenal dengan sebutan Kepulauan Seribu, akan tetapi
jumlah tepatnya pulaunya 105 gugus pulau-pulau kecil yang membentuk gugusan dan dikenal
dengan sebutan Pulau Seribu (UNESCO, 2000).

Pada dasarnya masyarakat di Kepulauan Seribu mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan
yang pekerjaan utama mereka. Akan tetapi pergeseran mata pencaharian masyarakat
Kepulaun Seribu sebagai penyedia jasa untuk transportasi wisata dan penyedia jasa
penginapan wisata mulai pada Tahun 1970-an. Letak Kepulauan Seribu yang masuk dalam
daerah administrasi DKI Jakarta menjadikan Kepulaun Seribu sebagai obyek wisata yang ramai
di kunjungi warga Jakarta dan sekitarnya.

Besaran luasan pulau rata-rata memiliki 10 ha dan berada 3 meter dibawah permukaan air laut.
Secara administrasi wilayah Kepulauan Seribu masuk dalam kewenangan dan aturan regional
Provinsi DKI Jakarta. Kepulaun Seribu dijadikan sebagai berbagai lokasi kunjungan dan aktivitas
diantaranya: wisata, galian pasir untuk bangunan infrastruktur masyarakat dan rumah
masyarakat, pertambangan minyak bumi lepas pantai, transportasi laut dan perikanan tangkap
serta budidaya.

Kepulauan Seribu merupakan tempat mata pencaharian penduduk sekitar dari ratusan tahun
yang lalu. Aktivitas pada awalanya adalah untuk perikanan tangkap, walaupun daerah tangkap
jauh dari pulau pulau yang dihuninya. Pada saat penjajahan Kolonial Belanda, Kepulauan Seribu
digunakan sebagai benteng untuk melindungi kekuasaan Belanda yang ada di Batavia. Dengan
adanya benteng pertahanan yang ada di Pulau Kelor dan Karantina yang ada di Pulau Onrust
merupakan sisa sejarah bahwa Wilayah Kepulaun Seribu adalah last frontier pertahanan laut
Belanda yang digunakan untuk menghalau musuh yang datang dari perairan Malaka.
Berdirinya Pelabuhan Priok dan Sunda Kelapa merupakan bentuk tinggalan Pemerintah
Kolonial yang pada saat itu menggunakan alur laut dalam usaha kekuasaan dan perdagangan
pemerintah kolonial.

Kondisi ekosistem beberapa dekade akhir ini mengalami degradasi akibat berkembangnya
Jakarta sebagai kota metropolitan. Reklamasi pantai yang digunakan untuk pembangunan
kawasan industri, pemukiman dan pusat aktivitas masyarakat menyebabkan berubahnya
fungsi lahan dan konversi lahan, dalam hal ini kawasan perairan Kepulauan Seribu menjadi
daerah penyangga.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-34
Secara umum, keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsun
(monsoon) yang secara garis besar dapat dibagi menjadi monsun Barat (Desember – Maret)
dan monsun Timur (Juni – September). Musim peralihan atau pancaroba terjadi antara bulan
April – Mei dan Oktober – November. Pada monsun Barat sering terjadi hembusan angin kuat
yang kecepatannya lebih dari 20 knot, bahkan bisa sampai 26 knot walaupun durasinya
pendek.

Disamping angin monsun tersebut juga terdapat pengaruh pemanasan dan pendinginan
daratan di sebelah selatan (Pulau Jawa) yang secara harian menimbulkan angin laut dan angin
darat. Kecepatan angin bervariasi antara 10 – 15 knot yang umumnya berlangsung dari jam
12.00 sampai 19.00. Angin laut terkuat behembus sekitar jam 16.00, dimana angin ini sangat
aktif pada musim kemarau dan pengaruhnya bisa mencapai sampai 50 mil dari pantai. Suhu
udara maksimum mencapai 32oC dan suhu minimum 21oC, sementara suhu rata-rata mencapai
27oC. Kelembaban udara arata-rata 80 %.

Sementara, struktur geologi dasar laut di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, dapat
tercermin dari peta batimetri yang menggambarkan topografi dasar laut di kawasan ini. Sangat
jelas terlihat bahwa dasar laut di kawasan ini pada dasarnya landai, tetapi di sekitar pulau-pulau
karang kelerangannya makin curam. Sekitar Pulau Pari terdapat alur memanjang yang dalam
sampai sekitar 90 m.

Dasar laut di perairan DKI Jakarta ini sebagian besar wilayahnya memiliki kelerengan dasar laut
antara 0,060-0,170, sebagian lagi memiliki kelerengan antara 00 – 0,060 serta sebagian kecil
wilayahnya mempunyai kelerengan dasar laut berkisar antara 0-170 - 0,350. Keseluruhan lereng
dasar laut di ekoregion ini termasuk pada kategori kelas lereng datar-agak miring (00-10)
(Sulistyo danTriyono, 2009).

Adapun sedimen dasar di kawasan Ekoregion Laut Provinsi DKI ini terutama terdiri dari
komponen pasir dan lanau (31,07 %) dan lumpur (68,93 %). Yang dimaksud dengan lanau disini
adalah material granular dengan ukuran butir antara pasir dan lempung dengan mineral
dominan berupa kuarsa dan felspar. Lanau dapat berupa tanah atau campuran sedimen yang
terendapkan pada badan air.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-35
Gambar 2.8. Peta Batimetri Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu

Gambar 2.9. Peta Kelerengan Dasar Laut Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-36
Tipe pasang surut (pasut) di Kepulauan Seribu secara umum dipengaruhi oleh karakteristik
pasut Laut Jawa berupa tipe campuran cenderung harian tunggal, dengan periode pasut
selama 24 jam 50 menit. Ketinggian maksimum elevasi pasang surut tahunan dapat mencapai
sekitar 0,6 m di atas duduk tengah (mean sea level, MSL), dan minimum berkisar 0,5 m di
bawah duduk tengah. Kondisi rerata tunggang air pada saat Pasang Perbani (masa
pertengahan bulan) sekitar 0,9 m, sedangkan pada saat Pasang Mati (masa seperempat bulan
akhir) adalah sekitar 0,2 m.

Gambar 2.10. Distribusi Pasang Surut di Indonesia (Wyrtki, 1961)

Arah dan kekuatan arus di perairan DKI Jakarta dipengaruhi oleh angin Monsun. Pada Monsun
Barat (Desember-Februari) pergerakan arus sebagian besar bergerak dari arah barat ke arah
tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0,05 – 0,1 m/detik. Memasuki Monsun Peralihan I
(Maret-Mei) terjadi proses perubahan arah pergerakan arus yang semula menuju ke Timur
menjadi menuju ke Barat dengan kecepatan yang lebih rendah yaitu berkisar antara 0,01 – 0,08
m/detik. Pergerakan arus menuju ke arah barat terus berlangsung hingga memasuki Monsun
Timur (Juni-Agustus) dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni berkisar antara 0,01 –
0,1 m/detik. Pada Monsun Peralihan II (September-November) pergerakan arus di ekoregion ini
memiliki arah yang tidak beraturan dengan kecepatan arus yang cukup rendah yakni 0,01 –
0,05 m/detik.

Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata klimatologi dari massa air laut pada lapisan
permukaan di perairan ini memiliki nilai berkisar antara 29 – 29,75oC (Boyer et al., 2009). Suhu

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-37
rerata ini memiliki nilai yang lebih hangat dibandingkan dengan nilai suhu yang diukur oleh
Senoaji tahun 2009 yang menunjukkan bahwa suhu perairan di sekitar Teluk Jakarta memiliki
kisaran antara 27,65 – 28,75oC (Wiryawan & Djohar, 2014).

Berdasarkan turunan data dari HYCOM+NCODA NRL archieve dataset untuk periode tahun 2012
(Cummings & Smedstad, 2013), kadar salinitas pada perairan ini memiliki nilai berkisar antara 28
– 31,25 PSU, sedangkan berdasarkan pengukuran pada tahun 2009 pada musim kemarau
salinitas permukaan di Teluk Jakarta memiliki nilai berkisar antara 31,6 – 33 PSU (Wiryawan &
Djohar, 2014).

Boyer et al. (2012) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut berkisar antara 4,1 – 4,3 ml/liter
sedangkan berdasarkan pengukuran BPLHD tahun 2007 kadar oksigen terlarut di Teluk Jakarta
berkisar antara 4 – 6 ml/liter (Wiryawan & Djohar, 2014). Sementara itu, menurut Boyer et al.
(2009) kondisi sebaran nutrien di perairanini memiliki konsentrasi fosfat berkisar antara 0,5 –
0,8 µmol/liter; konsentrasi silikat berkisar antara 1 – 5 µmol/liter. Konsentrasi nitrat berdasarkan
pengukuran BPLHD tahun 2011 berkisar antara 0,01 – 0,35 mg/liter.

Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu mempunyai keanekaragaman hayati (kehati) yang cukup
tinggi. Ekosistem perairan tropis yang penting terdapat di kawasan ini seperti ekosistem
mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang.Tiap ekosistem ini dihuni oleh
beragam spesies. Dari berbagai sumber (Estradivarai et al. 2009, Setiawan et al. 2009) dapat
disarikan bahwa di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu terdapat karang keras (hard corals)
sebanyak 193 spesies, ikan karang 233 spesies, echinodermata 46 spesies; lamun 8 spesies.
Beberapa spesies termasuk telah dilindungi seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan
penyu hijau (Chelonia mydas).

Dalam konteks kewilayahan nasional, ekoregion laut Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam
Ekoregion Laut (EL-6). Secara umum, EL-6 yang merupakan bagian dari Laut Jawa adalah laut
dangkal yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Ini dimungkinkan karena
hembusan angin di atas laut dangkal dapat menyebabkan terjadinya percampuran air secara
vertikal (vertical mixing) pada seluruh kolom air dari permukaan sampai ke dasar, hingga
nutrien yang lebih kaya di dasar dapat terangkat dan dimanfaatkan dalam proses produksi
organik. Selain itu, Laut Jawa juga diapit oleh pulau-pulau besar seperti Pulau Jawa dan
Kalimantan yang melimpahkan air dari sungai-sungai yang membawa nutrient yang
memperkaya perairan tersebut. Tingginya produktivitas organik di suatu perairan, dalam
banyak hal menunjang tingginya keanekaragaman hayati (kehati). Di EL-6 misalnya terdapat
banyakekosistem lamun, terumbu karang dan mangrove yang mengandung kehati yang

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-38
sangat tinggi. Meskipun demikian, perairan Ekoregion Laut 6 pada kenyataannya kini
menghadapi berbagai ancaman lingkungan. Beberapa diantaranya karena eksplotasi
sumberdaya secara berlebihan, pencemaran, dan perusakan lingkungan pantai. Penyusunan
RPPLH ini dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi pemanfaatan, perlindungan,
pemeliharaan keanekaragaman hayati di ekoregion DKI Jakarta dalam rangka meminimalisasi
ancaman-ancaman tersebut.

Hasil studi penetapan wilayah ekoregion laut yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya,
menghasilkan pembagian wilayah ekoregion laut DKI Jakarta menjadi 5 ekoregion laut yaitu:
a. Ekoregion laut 6.3.1: Pesisir Utara Jawa
b. Ekoregion laut 6.3.2: Dangkalan Utara Jawa
c. Ekoregion laut 6.3.3: Alur Utara Jawa
d. Ekoregion laut 6.3.4: Perairan Kepulauan Seribu
e. Ekoregion laut 6.2.2: Dangkalan Lampung

Penjelasan terkait penyusunan dan informasi detail ekoregion laut dapat dilihat di buku
“Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta”. Berikut adalah penjelasan ringkas terkait kondisi
lingkungan hidup di setiap ekoregion laut:

1. Ekoregion laut 6.3.1: Pesisir Utara Jawa


Ekoregion Laut (EL) 6.3.1 meliputi perairan Teluk Jakarta yang mencakup Pulau Rambut,
Pulau Untung Jawa, Pulau Kelor, Pulau Onrus, Pulau Kayangan dan Pulau Laki. Ekoregion
ini memiliki kedalaman laut berkisar antara 0 – 18 m. Morfologi pantai di sepanjang Teluk
Jakarta sangat beragam. Ongkosongo (1981) membagi pantai Jakarta yang terbentuk
secara alami ke dalam tiga jenis pantai yakni pantai landai dengan lereng 0 o – 5 o, pantai
miring (5 o - 15 o) dan pantai terjal (15 o – 90o). Pantai landai terbentuk pada lingkungan
pantai yang ditumbuhi vegetasi mangrove. Akar tumbuhan bakau dapat berfungsi
menjerat material sedimen dan membentuk rataan lumpur. Pantai demikian dapat
ditemukan di daerah Kamal dan Angke. Pantai miring dijumpai pada daerah pantai yang
tersusun oleh material pasir dengan energi gelombang yang cukup besar. Jenis pantai
demikian dapat dijumpai di sepanjang pantai Marunda-Segara Makmur. Pantai terjal terjadi
pada wilayah pantai yang sekarang mengalami erosi. Lereng-lereng terjal sebenarnya
merupakan bekas-bekas erosi terutama pada dataran pantai yang tersusun oleh material
lempung membentuk gerongan. Jenis pantai demikian dijumpai di sepanjang pantai
Cilincing hingga Marunda.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-39
Ekoregion ini mempunyai peran penting karena langsung berhadapan dengan
metropolitan Jakarta yang terus berkembang, tidak saja sebagai ibu kota negara, tetapi
juga sebagai pusat perkembangan industri, perdagangan, wisata, pemukiman, dan
pendidikan. Pada teluk ini bermuara 13 sungai yang membawa dan menumpahkan limbah
domestik maupun industri serta pertanian. Perairan Teluk Jakarta juga memainkan peran
penting dalam lalu lintas pelayaran untuk berbagai kepentingan seperti untuk
perdagangan, perikanan, perminyakan, pariwisata, dan lainnya. Berbagai aktivitas baik
yang bersumber di darat maupun yang di laut, dapat memberikan dampak negatif pada
lingkungan perairan Teluk Jakarta.
Oleh karena, EL 6.3.1 merupakan perairan teluk yang menjadi muara dari 13 sungai yang
mengalir melewati metropolitan Jakarta dan daerah padat di belakangnya, tingkat
pencemaran di ekoregion laut ini menjadi sangat tinggi, baik oleh limbah padat maupun
limbah cair yang mengandung bahan beracun dan berbahaya. Dapat dikatakan bahwa
karena kedekatannya dengan Jakarta, pantai dan pulau-pulau di ekoregion ini juga paling
banyak mengalami degradasi habitat akibat ulah manusia. Beberapa pulau telah lenyap
atau hampir lenyap akibat penambangan pasir dan karang yang tak terkendali. Perubahan
geomorfologi juga terjadi di pantai daratan Jakarta, yang juga sering mengalami banjir rob.
Sumber air tawar di pulau-pulau kecil di Teluk ini umumnya telah dieksploitasi berlebihan
hingga menjadi payau atau asin karena intrusi air laut. Eksploitasi sumber daya hayatinya
pun sudah demikian parah hingga banyak jenis biota perairan yang dulunya umum
terdapat di perairan ini, sekarang sudah jarang atau tak dijumpai lagi. Di beberapa pulau,
penduduk setempat telah mengalihkan mata pencahariannya dari semula sebagai nelayan
kemudian ke aktivitas yang terkait dengan pariwisata. Namun pengelolaan menuju
pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) tampaknya masih menghadapi
berbagai kendala.

2. Ekoregion laut 6.3.2: Dangkalan Utara Jawa


Ekoregion Laut 6.3.2. terpisah dengan ekoregion disekitarnya dengan karakteristik yang
berbeda dengan wilayah perairan sebelahnya. Perairan ekoregion Dangkalan Utara Jawa
merupakan peralihan antara perairan pesisir utara Jawa yang dangkal dan keruh dibagian
selatan dan perairan dalam alur laut utara Jawa. Berdasarkan Peta Sedimen Permukaan
Dasar Laut wilayah ekoregion ini mempunyai sedimen dasar laut berupa lumpur (63,14%)
dan pasir dan lanau (36, 86%) dengan kedalaman laut berkisar antara 5 – 45 m.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-40
Ekoregion ini meliputi perairan Laut Jawa termasuk di dalamnya perairan sekitar Pulau
Damar Besar, Pulau Damar Kecil, Pulau Bokor, Pulau Lancang Besar dan Pulau Lancang
Kecil. EL 6.3.2 ini terletak tepat di sebelah utara dari ekoregion EL 6.3.1 hingga degradasi
lingkungan serta akibatnya pun sedikit lebih kecil, meskipun masalah utamanya masih
hampir sama. Beberapa pulau yang terletak di ekoregion ini tidak berpenghuni, karena
berfungsi sebagai cagar alam (Pulau Bokor) atau hanya dihuni oleh petugas mercu suar
(Pulau Damar Besar) hingga dampak sosialnya pun lebih kecil. Meskipun demikian,
beberapa pulau kecil di ekoregion ini telah dilaporkan telah lenyap atau mengalami
perubahan geomorfologi yang parah.

Pulau yang berpenghuni hanyalah Pulau Lancang Besar dan Pulau Lancang Kecil. Sampah
yang tak putus-putusnya hanyut dalam jumlah besar dari daratan Jakarta yang terdampar
di pulau ini merupakan masalah yang mengganggu lingkungan dan kegiatan nelayan. Pada
musim barat, bagan apung penangkap ikan dipindahkan lokasinya ke sebelah selatan
pulau, sedangkan pada musim timur bagan-bagan itu dipindahkan ke utara untuk
menghindari tekanan sampah dari Jakarta yang sangat mengganggu.Tampaknya belum
ada solusi terbaik untuk menangani masalah sampah kiriman ini. Penduduk Pulau Lancang
mulai mengalihkan mata pencaharian mereka ke kegiatan pariwisata, misalnya dengan
mengelola rumah singgah (home stay) tidak saja di pulau ini tetapi juga di pulau lainnya di
luar ekoregion ini, seperti di Pulau Pari.

3. Ekoregion laut 6.3.3: Alur Utara Jawa


Ekoregion Laut 6.3.3 terletak di sebelah Utara dari ekoregion 6.3.2. Ekoregion ini meliputi
tiga pulau besar yaitu P. Tidung, P. Payung dan gugus P. Pari yang didelineasi berdasarkan
parameter batimetri. Perairan EL 6.3.3 merupakan perairan dalam, berkisar antara 30 – 90
m, dan dapat dikatakan sebagai “pemisah” antara perairan pesisir Laut Jawa dengan
perairan Teluk Jakarta.

EL 6.3.3 terletak lebih jauh ke utara dari metropolitan Jakarta, dan karenanya pula
dampaknya terhadap ekoregion laut ini lebih kecil. Dengan adanya alur laut dalam sebelum
mencapai pulau-pulau lain dalam wilayah utara Kepulauan Seribu, maka pengaruh daratan
Jakarta hampir tidak dirasakan di ekoregion ini. Sebagai contoh, kondisi terumbu karang di
wilayah ekoregion 6.3.3 tidak mendapat pengaruh sedimentasi dari daratan Jakarta (Tuti et
al, 2010), dibandingkan dengan pulau Lancang (Ekoregion 6.3.2) dan pulau Onrust
(Ekoregion 6.3.1) yang telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di kedua pulau

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-41
tersebut. Pulau-pulau Tidung dan Payung, yang dipisahkan oleh perairan dalam dengan
Gugus Pulau Pari, Pulau Kongsi, Pulau Tengah, dan Pulau Burung, memiliki kesamaan dalam
hal keragaman hayatinya.

Meskipun demikian telah terdeteksi terjadinya pencemaran air, dan perubahan komposisi
dan tutupan karang keras seiring dengan berjalannya waktu. Pulau berpenghuni antara lain
Pulau Pari, Pulau Tidung dan Pulau Payung. Perkembangan penduduk di pulau-pulau ini
telah menyebabkan masalah ketersediaan air tawar terutama di musim kemarau,
sedangkan di perairan pantai telah menunjukkan adanya pencemaran. Penduduk pulau-
pulau ini semula adalah nelayan penangkap ikan, namun setelah bekembangnya budidaya
rumput laut yang sangat berhasil, penduduk mengalihkan mata pencahariannya ke
budidaya rumput laut. Tetapi keberhasilan ini kemudian berakhir collapse setelah budidaya
rumput laut terserang penyakit yang mengakibatkan runtuhnya seluruh budidaya rumput
laut ini. Kini sebagian besar penduduk telah beralih profesi dengan keterlibatan dalam
aktivitas pariwisata. Di pihak lain muncul pihak tertentu yang mendirikan resort di dalam
gugus Pulau Pari, yang melakukan pembangunan konstruksi pantai dan dermaga dengan
penggalian karang dan pembendugan pantai yang merusak lingkungan tanpa adanya
kontrol yang memadai dari pihak berwajib. Hal ini menunjukkan terjadinya konflik
pemanfaatan ruang dan lemahnya penegakan hukum.

4. Ekoregion laut 6.3.4: Perairan Kepulauan Seribu


Ekoregion Laut 6.3.4. memiliki kedalaman laut berkisar antara 0 - 40 m. Untuk kelerengan
dasar laut ekoregion ini mempunyai kelerengan dasar laut berkisar antara 0,350-0,640 dan
0,640-1,80. Sebagian wilayah lain mempunyai kelerengan antara 0,060-0,170, serta sebagian
kecil wilayah mempuyai kelerengan antara 00 – 0,060. Kelas lereng pada ekoregion ini
sebagian berkelas datar-agak miring (00-10) dan sebagian berkelas miring (10-30) (Sulistyo
dan Triyono, 2009). Berdasarkan Peta Sedimen Permukaan Dasar Laut wilayah ekoregion
EL 6.3.3 ini mempunyai sedimen dasar laut berupa lumpur (70,90%) dan pasir dan lanau
(29,10%).

EL 6.3.4.memiliki pulau terbanyak yang masuk dalam zona Taman Nasional Kepulauan
Seribu (TNKS) dan dideliniasi berdasarkan parameter batimetri dan keanekaragaman
hayati. Wilayah TNKS telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Perairan TNKS seluas 107.489 hektar. Adapun pembagian zonasi ditetapkan oleh Direktur

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-42
Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PHKA) dengan SK No 05/IV-KK/2004 tanggal
27 Januari 2004 tentang Zonasi Pengelolaan TNKS (Taman Nasional Kep.Seribu, 2013).
Meskipun TNKS berada di wilayah admintratif Provinsi DKI Jakarta namun pengelolaan
TNKS sendiri berada di bawah Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutan
dan Lingkungan Hidup). Hal ini merupakan kendala tersendiri dalam kordinasinya.
Keterbatasan kemampuan TNKS dalam kontrol wilayah masih meninggalkan masalah
dalam pengawasannya. Seperti halnya di ekoregion laut lainnya, ketersediaan air tawar di
pulau-pulau ini dan pencemaran antropogenik merupakan masalah tersendiri, terlebih
dengan semakin pesatnya kegiatan pariwisata.

Pertumbuhan pariwsiata di ekoregion ini dikhawatirkan telah mencapai kapasitas lebih


(over capacity). Eksploitasi sumberdaya hayati laut secara berlebihan telah mengancam
kelestarian berbagai jenis ikan, termasuk ikan-ikan hias. Potensi pencemaran tidak saja
bersumber dari kawasan pemukiman dan pariwisata, tetapi juga risiko buangan dari kapal
tanker yang lalu lalang di sekitar wilayah ini yang melepas limbah cucian air balastnya
berupa minyak mentah dalam bentuk gumpalan (tar ball) yang akhirnya terdampat dan
mencemari pantai. Pencemaran tar ball ini dilaporkan telah beberapa kali terjadi dan
melanda pulau-pulau di kawasan ekoregion ini. Dalam pengembangan pariwisata, resort
telah banyak yang dibangun tetapi acapkali menimbulkan konflik dengan nelayan
setempat, karena dirasakan membatasi kegiatan penangkapan ikan setempat. Masalah lain
yang dihadapi oleh nelayan setempat adalah konflik dengan nelayan pendatang dari luar
yang membawa alat tangkapnya yang merusak lingkngan seperti jaring muroami.

5. Ekoregion laut 6.2.2: Dangkalan Lampung


Ekoregion laut 6.2.2. ini memilki kedalaman laut berkisar antara 5 - 30 m. Kelerengan dasar
laut EL 6.2.2 ini sebagian besar wilayahnya mempunyai kelerengan dasar laut berkisar
antara 00-0,060, sebagian lagi antara 0,060-0,170 dan 0,170-0,350, serta sebagian kecil 0,350-
0,640. Kelas lereng pada ekoregion ini seluruhnya berkelas datar-agak miring (00-10).
Berdasarkan Peta Sedimen Permukaan Dasar Laut, wilayah ekoregion EL 6.2.2 ini
mempunyai sedimen dasar laut berupa lumpur (55,24 %) dan pasir dan lanau (44,76%).

EL 6.2.2 meliputi sebagian perairan Laut Jawa dan hanya mencakup satu pulau saja yaitu
Pulau Sebira (8 ha) dengan jumlah penduduk sekitar 500 jiwa. Pulau ini merupakan bagian
paling utara dari gugus Kepulauan Seribu. Pulau ini, telah berada di luar Taman Nasional
Kepulauan Seribu, dan bercirikan dengan adanya mercu suar yang vital untuk navigasi

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-43
pelayaran. Pulau kecil dan sangat terpencil ini menyebabkan masalah lingkungan yang
timbul di pulau ini juga minim. Kondisi terumbu karangnya masih dalam keadaan baik.
Penduduk setempat bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Karena tekanan
penduduk terhadap lingkungan masih kecil, masyarakat belum merasakan ketersediaan air
tawar sebagai masalah yang sudah sangat mengkhawatirkan. Sesekali terjadi konflik
dengan nelayan pendatang yang membawa alat tangkap yang merusak seperti muroami.
Dekat pulau Sebira terdapat tambang migas lepas pantai yang dioperasikan oleh CNOOC
(China National Offshore Oil Corporation), yang dapat berpotensi menimbulkan pencemaran
atau blowout yang bisa berimbas ke pulau ini.
Kondisi sosial ekonomi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang wilayahnya merupakan
ekoregion laut Provinsi DKI Jakarta sangat dipengaruhi oleh pola pemanfaatan SDA di perairan
telut dan laut. Kondisi sosial ekonomi di wilayah ini sangat dinamik, artinya bahwa penyebaran
pola kependudukan di Kepulauan Seribu terdiri atas multikultural dan etnisitas. Etnis dan suku
yang dominan adalah dari Betawi, akan tetapi terdapat banyak pendatang dari berbagai suku
yang meliputi Jawa, Sunda, Bugis, Madura dan beberapa dari Sumatera. Hal ini dikarenakan
wilayah Kepulauan Seribu pada awalnya merupakan merupakan open access untuk masyarakat
yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.Etnis bugis yang tinggal di wilayan
Kepulauan Seribu merupakan etnis yang sebagaian besar bermatapencaharian sebagai
nelayan.Etnis Bugis menempati Pulau Sebira sebagai komunitas, dikarenakan mempunyai pola
memisah dari etnis lainnya.

Keberagaman mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Seribu terlihat dari pola ekonomi
keseharian masyarakat di Kepulauan Seribu yang berprofesi sebagai nelayan, guide tourism,
pedagang serta penyedia home stay bagi wisatawan yang berkunjung ke wilayah Kepulauan
Seribu. Jumlah penduduk di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan seiring terdapatnya
dorongan faktor ekonomi yang berpotensi seperti aspek kepariwisataan dan aspek ekonomi
lainnya. Hal ini dapat dilihat dari Sensus Penduduk DKI Jakarta 2010 Proyeksi Penduduk 2030,
memperkirakan jumlah penduduk Kepulauan Seribu pada Tahun 2030 diperkirakan mencapai
31.757 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 3%. Data Proyeksi Kepadatan Penduduk
di Kepulauan Seribu dijelaskan pada tabel berikut.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-44
Tabel 2.7.
Proyeksi Penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu

Jumlah
Laju Penduduk Proyeksi Penduduk (Jiwa)
Kecamatan Pertumbuhan (Jiwa)
(%)
2010 2015 2020 2025 2030

Kep. Seribu Selatan 0.0276 8,329 9,544 10,935 12,530 14,357


Kep. Seribu Utara 0.0157 12,742 13,774 14,890 16,096 17,400

Sumber: Data Sensus Penduduk Jakarta 2010 Proyeksi 2030.

Struktur livelihood masyarakat Kepulauan Seribu dibedakan secara garis besar menjadi
beberapa kegiatan ekonomi sehari hari berbasis mata pencaharian masyarakat. Setidaknya dari
hasil kajian lapangan didapatkan ekonomi keluarga sektor nelayan, penyedia jasa pariwisata,
penyedia jasa angkutan dan perdagangan. Analisis hasil pendapatan rumah tangga dari hasil
kajian di lapangan yang dilakukan pada Bulan Mei 2014 mendapatkan beberapa sampel
pendapatan rumah tangga dari beberapa mata pencaharian seperti nelayan dan penyedia jasa
pariwisata. Masyarakat Kepulauan Seribu dalam aspek perikanan (nelayan) masih mengenal
pola patronase (patron-klien) dengan sistem pinjaman modal melaut dari palele (istilah untuk
middle man/patron memberikan pinjaman finansial kepada nelayannya sebagai client nya).
Sedangkan untuk sektor pariwisata, masyarakat sebagain besar sebagai penyedia angkutan
umum dan penyedia home stay untuk wisatawan. Belum terkelolanya sistem pariwisata
berbasis masyarakat menjadikan sektor pariwisata di Kepulauan Seribu yang bersumber dari
masyarakat setempat tertekan dan terhimpit oleh investor wisata swasta yang mempunyai
capital besar.

Berdasarkan hasil kajian inventarisasi data dan penetapan ekoregion laut Propinsi DkI Jakarta,
didapatkan bahwa rata rata pendapatan masyarakat Kepulauan Seribu adalah Rp. 500.000,-
sampai Rp. 3.000.000,- walaupun ada yang berpenghasilan tidak menentu dibawah rata-rata.
Pendapatan yang terendah didapat dari analisis hasil lapangan adalah sebagai nelayan.
Menurut sebagian besar nelayan Kepulauan Seribu, aktivitas hasil tangkapan ikan untuk saat ini
sudah tidak menentu, dikarenakan karena kemampuan modal melaut yang tidak ada dan
kapasitas daerah tangkapan ikan di wilayah perairan Kepulauan Seribu sudah menurun.
Nelayan yang hidup di Kepulauan Seribu menjadi mata pencaharian yang tidak menentu
hasilnya. Hal ini lain dengan masyarakat yang berprofesi sebagai guide wisatawan ataupun

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-45
sebagai penyedia jasa home stay untuk wisata, mempunyai pendapatan lumayan dibandingkan
dengan masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya dari hasil laut.

Pada umumnya masyarakat kepulaun seribu menangkap ikan dengan menggunakan kapal dan
perahu kecil. Alat tangkap yang digunakan adalah alat tangkap jaring payang, mourami, bagan,
bubu dan pancing. Kondisi mata pencaharian masyarakat Kepulauan Seribu saat ini sudah
mengalami pergeseran dari nelayan menjadi pemandu wisatawan atau menjual jasa resort
untuk wisata.

Namun demikian masih terdapat aktivitas mata pencaharian masyarakat Kepulauan Seribu
menjadi nelayan yang ditekuni sampai saat ini. Karakteristik nelayan di Kepulauan Seribu pun
berbeda diantara setiap pulau nya dan memiliki ciri khas. Misalnya untuk Pulau Lancang,
masyarakatnya menggunakan alat tangkap bubu untuk menangkap rajungan dan mempunyai
alat tangkap yang bersifat permanen seperti bagan tancap. Untuk masyarakat Pulau Tidung
masyarakatnya menggunakan alat tangkap jaring mourami yang jelajah daerah
penangkapannya sampai ke perairan Sumatera.

Berikut adalah beberapa pola pemanfaatan yang ditinjau dari beberapa kriteria karakterisitik
aktifitas penangkapan ikan diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Karakteristik Alat Tangkap


Klasifikasi peralatan tangkap berdasarkan atas pola penangkapan ikan seperti jenis ikan
target dan peralatan penangkapan. Alat tangkap pasif, berupa penangkapan ikan yang
didasarkan alat tangkap yang besifat tetap dan mengikuti gerakan ikan (bagang tancap
atau sero), sedangkan alat tangkap aktif, penangkap mengikuti gerakan ikan (habitat ikan)
seperti pukat. Secara garis besar ditemukan alat tangkap di wilayah desa Pesisir di
Kabupaten Kepulauan Seribu adalah Jaring/Payang, Pancing, Bubu, Bagang (Kapal), Bagang
Tancap, Pariah, dan Tombak.

b. Tipologi dan Karakteristik Nelayan


Warna dan tipologi perikanan di Kepulauan Seribu berkaitan dengan pola pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan perikanan mempunyai beragam pola sesuai dengan bentuk
pemanfaatan dan pengelolaan berdasarkan teknologi, komoditas dan kondisi fisik ekologi
kelautan. Charles (2001) dalam bukunya dengan judul Sustainable Fishery Systems,
menggambarkan hubungan human systems dengan aktivitas perikanan yang meliputi
(kelompok nelayan, teknologi penangkapan ikan, struktur komunitas nelayan dan rumah
tangga, serta pola penangkapan) dimana semuanya merupakan internal faktor sosial

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-46
ekonomi dan lingkungan sedangkan untuk eksternal faktor merupakan aspek kebijakan
pasar dan aturan perikanan.

Berdasarkan karakteristiknya, nelayan di Kepulauan Seribu untuk masing-masing ekoregion


adalah sebagai berikut:
1. Wilayah ekoregion Laut 6.3.2., tipe nelayannya adalah Nelayan Mancing, Nelayan Bubu,
Nelayan Budi Daya Rumput Laut, Nelayan Bagan Tancap, Nelayan Bagan, dan Nelayan
Jaring (payang);
2. Wilayah ekoregion Laut 6.3.3., tipe nelayannya adalah Nelayan Mancing dan Nelayan
Tombak;
3. Wilayah ekoregion Laut 6.3.4., tipe nelayannya adalah Nelayan Mancing, Nelayan Bubu
dapat dikategorikan menjadi nelayan Mancing, nelayan Bubu, Petanai Budidaya Rumput
Laut, Nelayan Bagan Tancap, Nelayan Bagan, Nelayan Jaring (payang), dan Nelayan Ikan
Hias.

c. Spesies Target
Pengunaaan alat tangkap mencerminkan spesies target apa yang ditangkap oleh nelayan.
Merujuk dari FAO (2002) pengertian spesies target adalah jenis ikan yang terdapat di laut
dilihat oleh nelayan kemudian di tangkap dengan alat tangkap yang sesuai. Alat tangkap
dan spesies target bagai pinang dibelah dua, sebuah ciri identitas yang tidak bisa
dipisahkan. Masyarakat pesisir akan mengetahui spesies target nelayan tertentu dilihat dari
jenis alat tangkapnya. Dalam perkembangannya, dinamika adopsi alat tangkap semakin
komplek. Hal ini disebabkan karena perkembangan teknologi, ketidakpastian cuaca dan
musim serta tidak dapat diprediksinya hasil tangkapan. Alat tangkap yang bersifat pasif
merupakan kategori small scale fishing, biasanya merupakan alat tangkap tradisional
maupun artisanal, sehingga disebut juga dengan “statinionary fishing gear”. Sedangkan alat
tangkap yang bersifat aktif, merupakan kombinasi dari beberapa alat tangkap (pasif)
dengan tujuan memburu spesies target. Alat tangkap aktif juga digunakan dalam kegiatan
perikanan tradisional, seperti penggunaan tombak (Bjordal, 2002).

Berdasarkan temuan di lapangan, ditemukan spesies target dari tipologi nelayan berbeda
disetiap pulau dan berdasarkan hasil di lapangan ditemukan kategori spesies target yang
dipengaruhi oleh adopsi teknologi, entisitas, jaringan pasar, kemampuan modal,
lingkungan nelayan dan kondisi perairan.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-47
Tabel 2.8.
Spesies Target Perikanan di Kepulauan Seribu

N Alat Klasifikasi
Komoditas/Species target Pulau/ Komunitas nelayan
o Tangkap alat tangkap
1. Ikan dasar/ikan karang, Ikan Jaring / Aktif Pulau Panggang, Pulau Harapan,
Hias Payang Pulau Kelapa, Pulau Pramuka,
Jaring Pulau Tidung (EL 6.3.4.)
Mourami
2. Ikan dasar/ikan karang Tombak, Aktif Pulau Tidung (EL 6.3.3.)
pancing,
bubu
3. Bagan congkel Jaring Aktif Pulau Lancang(EL 6.3.2.)
dan Bubu
4. Tongkol, Kurisi, Kembung Pancing Pasif P. Tidung (EL 6.3.3.).
(Bentong), Tenggiri, Tenggek, Pulau Pari (EL 6.3.2.)
Lingkis, Kalam Puteh, Tengkek,
Pulau Pramuka, Pulau Panggang,
Selar, Tambal, Kerapu, Como,
Pulau Kelapa, Pulau Harapan (EL
Kembung, Tuna, Cendro,
6.3.4.)
Kakap Merah, Lemuru,
Lawak/Salem, Kawe
5. Ikan dasar, seperti kerapu, Pancing Aktif P. Tidung (EL 6.3.3.),
sunu, napoleon, kakap, Pulau Pari (EL 6.3.2.),
kakaktua (perot fish)
Pulau Pramuka, Pulau Panggang,
Pulau Kelapa, Pulau Harapan (EL
6.3.4.)
6. Ikan halus Bagang Pasif P. Lancang (EL 6.3.2.)
tancap/
Jaring

7. Budidaya Rumput laut Tali Pasif Pulau Pari (EL 6.3.2.)


pengikat
Rumput
Laut dan
Kumbul
Sumber: Wawancara (Mei 2014)

d. Kalender Musim
Musim merupakan faktor eksternal yang memengaruhi produktifitas pemanfaatan dan
pengelolaan perikanan. Ketidakpastian cuaca yang berubah akhir-akhir ini membuat
ketidakpastian hasil nelayan pencari ikan. Berdasarkan survey di lapangan dan wawancara
dengan informan, sudah sekitar sepuluh tahun terakhir cuaca berubah tidak menentu.
Cuaca sangat memengaruhi aktifitas nelayan penangkap ikan yang merupakan pekerjaan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-48
cukup “beresiko”. Perubahan cuaca yang tidak dapat diprediksi juga memengaruhi pola
penangkapan nelayan tradisional dengan menggunakan alat tangkap bagan tancap.

Secara garis besar kalender musim perikanan di Kepulauan Seribu terbagi menjadi dua
yaitu Musim Barat yang merupakan musim penghujan dan Musim Timur yang merupakan
musim kemarau. Musim Barat merupakan musim panen ikan sedang Musim Timur
merupakan musim paceklik ikan. Pola pergantian musim akan sangat terasa pada
pembudidaya kerapu di Pulau Lancang (EL 6.3.2.) dan nelayan yang mempunyai Bagan
Tancap. Mereka harus berpindah lokasi bagan tancap disebelah utara ketika Musim Barat
dan sedangkan Musim Timur membuat jaring sampah karena mendapat kiriman sampah
dari Jakarta.

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa isu kritis pemanfaatan SDA di Ekoregion Laut yang
terjadi terkait dengan kegiatan perikanan antara lain adalah pengambilan karang, masuknya
nelayan luar, limbah pencemar dan cuaca tidak menentu, upaya penangkapan berlebih dengan
menggunakan Sianida, bom, jaring trol, jaring gardan, jaring tegur, jaring mourami, bagan
lampu, dan pukat harimau.

Sementara itu, pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan daerah Kepulauan Seribu
dimana banyak tempat wisata yang menjanjikan dan menyuguhkan keindahan pantai di
Kepulauan Seribu dan alam bawah lautnya. Dalam arti luas wisata adalah kegiatan rekreasi di
luar domisili untuk refreshing. Sebagai suatu aktivitas pariwisata telah menjadi bagian penting
dari kebutuhan dasar masyarakat negara maju dan sebagian kecil bagi masyarakat negara yang
sedang berkembang. Keuntungan sektor pariwisata untuk pendapatan suatu daerah dari sisi
ekonomi sangat besar.

Potensi wisata di Kabupaten Kepulauan Seribu yang berkaitan dengan pantai menjadi sektor
unggulan adalah di Pulau Pramuka, Pulau Putri, dan Pulau Harapan (wisata yang dikelola
masyarakat). Pulau Putri, merupakan tujuan wisatawan diving dan fishing. Tidak tercatatnya
secara jelas wisatawan mancanegara yang datang ke Kepulauan Seribu menyebabkan
pengelolaan pemanfaatan sumberdaya pesisir non perikanan menjadi jalan di tempat. Hal ini
ditemukan banyak infrastruktur yang belum diperhatikan oleh pemerintah di lokasi pariwisata.
Sistem perijinan mendirikan resort pun dipertanyakan, sehingga ada beberapa tanah dan
resort yang sudah menjadi hak milik asing. Tentunya untuk kedepan akan menjadi
permasalahan mengenai konflik kepemilikan sumberdaya.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-49
Pelaporan mengenai kunjungan wisata mancanegara juga tidak melalui pemerintah desa,
begitu pula mengenai kontrak tanah yang dilakukan orang asing terhadap masyarakat desa
setempat juga tanpa laporan terhadap pihak desa. Lemahnya kontrol pemerintah terhadap
pemanfaatan lahan untuk sektor pariwisata pantai/pesisir di Kepulauan Seribu menjadikan
pengaturan dan pengelolaan pariwisata tidak berjalan. Koordinasi antar SKPD menjadi
penyebab lemahnya pengaturan dan kontrol terhadap pengelolaan pariwisata di Kabupaten
Kepulauan Seribu.

Lain halnya dengan isu kritis pariwisata, isu kritis penambangan pasir menjadikan
permasalahan sendiri di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu. Isu
penambangan pasir laut untuk daerah kepulauan yang masuk di kawasan konservasi memang
menjadi masalah tersendiri. Hampir seluruh kawasan konservasi laut di Indonesia mempunyai
masalah yang sama. Ketiadaan stok pasir selain pasir pantai menjadi permasalahan sendiri,
apalagi untuk daerah yang baru mekar dan sedang dalam proses membangun. Material bahan
bangunan sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi seharusnya dipisahkan, penambangan pasir
untuk rakyat diperbolehkan dengan catatan kaidah memperhatikan ekosistem, hal ini
dipertimbangkan karena status ekonomi masyarakat yang tidak mampu mendatangkan pasir
bangunan dari daerah lain. Kontrol Dinas Perindustrian dan Energi terhadap penambangan
pasir pantai oleh rakyat harus dipertegas dan diadakan alternatif lainnya selain menggunakan
pasir pantai sebagai bahan bangunan. Sedangkan untuk kepentingan pembangunan publik
(daerah) seyogyanya tidak mengambil dari pasir pantai, akan tetapi mendatangkan dari
daratan Pulau Jawa atau daerah yang terdekat.

Terkait dengan fenomena kejadian perubahan iklim, pada wilayah ekoregion laut, diantaranya
adalah terjadinya kenaikan muka air laut sebagai akibat dari pemanasan global akan
meningkatkan potensi terjadinya banjir rob, abrasi pantai bahkan akan dimungkinkan
tenggelamnya pulau – pulau kecil. Potensi terjadinya masalah lingkungan sebagai akibat dari
kenaikan muka air laut tersebut berpotensi terjadi di semua sub ekoregion laut.

Ekoregion Laut DKI Jakarta adalah bagian dari lautan Indonesia yang berhubungan dengan
seluruh Samudera di bumi (Gambar2.11.). Massa air Samudera Pasifik Barat-Laut (Northwest)
yang masuk ke Laut China Selatan melalui Selat Luzon, kemudian akan mengalir melalui Selat
Karimata menuju Laut Jawa (EL-6), dimana tentunya akan mempengaruhi juga kondisi
Ekoregion Laut DKI Jakarta (Wyrtki, 1961; Gordon et al., 2012). Kondisi massa air tersebut
kemudian akan berkaitan erat dengan pengaruh sistem monsun di Indonesia, termasuk Laut
Jawa. Massa air dari Samudera Pasifik tersebut juga berlaku sebagai proksi pembawa

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-50
pengaruh dari Samudera Pasifik yang dikenal sebagai El Nino Southern Oscillation (ENSO),
yang lebih dikenal oleh khalayak umum sebagai fenomena El Nino dan La Nina.

Gambar 2.11. Sirkulasi Arus Termohalin yang Membawa Massa Air Mengalir dari Satu Basin
Samudera ke Basin Samudera yang Lain (Sumber Gambar: NASA, 2009)

Gambar 2.12. Skematik Sirkulasi Arus lintas Indonesia (Garis Tebal Merah), Arus Lintas Laut China
Selatan (Garis Merah Putus-putus) yang Membawa Massa Air dari Samudera Pasifik
ke Laut Jawa (Sumber Gambar: Gordon et al., 2012)

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-51
Gambar 2.13. Grafik Variabilitas dan Trend Suhu Udara Rerata Tahunan dari 1976 hingga 2012, yang
Cenderung Meningkat, berdasarkan Data dari Stasiun Maritim BMKG di Pelabuhan
Tanjung Priuk (sumber: http://ccis.klimat.bmkg.go.id)

Suhu udara Ekoregion Laut DKI Jakarta, berdasarkan data dari stasiun meteorologi maritim di
Pelabuhan Tanjung Priuk, cenderung mengalami peningkatan rerata 1 °C dalam kurun waktu 37
tahun (1976-2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadinya perubahan iklim di kawasan
Ekoregion Laut DKI Jakarta adalah nyata.

Kerentanan pesisir akibat perubahan iklim tidak dapat diidentifikasi hanya dari parameter suhu
udara, melainkan dari beberapa parameter geologi/geomoformologi dan oseanografi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang KKP),
dalam laporannya untuk Copenhagen Climate Change Conference (COP-15 UNFCCC), menyajikan
secara implisit bahwa indeks kerentanan pesisir (coastal vulnerability index, CVI) dari kawasan
Ekoregion Laut DKI Jakarta adalah sangat tinggi, dengan nilai indeks lebih dari 25, yang
diindikasikan warna kawasan berwarna merah pada peta CVI seperti terlihat pada gambar
berikut.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-52
Gambar 2.14. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Indonesia, Dimana menunjukkan Kawasan Pesisir Utara
Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga Kepulauan Seribu Mempunyai Indeks yang Sangat
Tinggi (Sumber: Badan Litbang KKP, 2009)

Gambar 2.15. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Jakarta, dimana menunjukkan Kawasan Pesisir Jakarta
Utara Terindikasi Cukup Bervariasi Tingkat Kerentanannya, Kawasan yang Tertinggi
adalah di Sekitar Kecamatan Tanjung Priok, Kec. Koja dan Kec. Tarumajaya (Sumber:
Badan Litbang KKP, 2009)

Adapun parameter geologi/geomorfologi dan oseanografi yang digunakan untuk menghitung


nilai CVI tersebut antara lain: kemiringan pantai (coastal slope), geomorfologi pantai (coastal

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-53
geomorfology), identifikasi erosi dan akresi (identified shoreline arosion and accretion), kisaran
pasang surut maksimum (maximum tidal range), tinggi gelombang signifikan rerata (mean
significant wave height), kenaikan muka laut relatif (relatif sea level rise), dimana formulasi yang
digunakan adalah merujuk dari Thieler & Hammar-Klose (2000).

Pemanasan global yang menyebabkan suhu permukaan laut meningkat, menyebabkan di


beberapa tempat di dunia yang mempunyai tutupan salju abadi menipis, seperti salju puncak
Jaya Wijaya di Papua, Kutub Selatan, dan Kutub Utara. Pengurangan lapisan es yang kemudian
menambahkan volume massa air laut, menjadikan bencana “slow onset” seperti kenaikan
muka air laut (sea level rise). Indonesia yang mempunyai lebih dari tujuh belas ribu lima ratus
pulau yang didalamanya termasuk pulau-pulau kecil, patut khawatir dengan hal tersebut. Akan
tetapi, menurut Hantoro et al. (2008), tidak semua kenaikan muka air laut disebabkan oleh
faktor perubahan iklim semata, pergerakan lempeng di lapisan kerak bumi yang kemudian
menyebabkan penyempitan basin-basin laut akan menaikkan muka air laut secara vertikal, dan
di beberapa lokasi pergerakan lempeng juga dapat menimbulkan penurunan muka tanah (land
subsidence).

Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang
KKP), dalam laporannya untuk Copenhagen Climate Change Conference (COP-15 UNFCCC),
menyajikan secara implisit bahwa kenaikan muka laut relatif untuk kawasan pesisir utara
Jakarta dan pesisir utara Jawa Barat serta kawasan perairan Kepulauan Seribu adalah tinggi
berkisar antara 0,75-0,76 cm/ tahun, lihat Gambar 2.16. Kawasan pesisir utara Jakarta
mempunyai tingkat kenaikan muka laut relatif yang bervariasi, dimana kawasan yang tertinggi
adalah di sekitar Kec. Tarumajaya, urutan kedua berada di pesisir Kec. Tanjung Priok dan Kec.
Koja, lihat Gambar 2.17.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-54
Gambar 2.16. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Perairan Indonesia, dimana Menunjukkan Kawasan
Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga Kepulauan Seribu Mempunyai Kenaikan
yang Tinggi 0,75-0,76 cm/tahun (Sumber: Badan Litbang KKP, 2009)

Gambar 2.17. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Pesisir Jakarta, dimana Menunjukkan Kawasan
Pesisir Jakarta Utara Terindikasi cukup Bervariasi Tingkat Kerentanannya, Kawasan
yang Tertinggi adalah di Sekitar Kec. Tarumajaya, Urutan Kedua Berada di Pesisir Kec.
Tanjung Priok dan Kec. Koja (Sumber: Badan Litbang KKP, 2009)

Kenaikan muka laut di pesisir utara Jakarta, menurut Abidin et al. (2008), juga dikontribusikan
oleh adanya penurunan tanah yang sudah lama berlangsung. Dilaporkan oleh Abidin et al.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-55
(2008) bahwa dalam periode 1982 hingga 1997 terjadi penurunan tanah 1,33 – 13,33 cm/tahun,
sedangkan pada periode 1997 – 2007 penurunan tanah di wilayah Jakarta Utara bagian barat
10-15 cm/tahun. Secara umum penurunan tanah tersebut disebabkan oleh pengambilan air
tanah yang berlebihan, beban bangunan, kompaksi sedimen, serta aktivitas tektonik. Kenaikan
muka laut di pesisir utara Jakarta tersebut, dapat dibuktikan dengan rekaman anomali tinggi
muka laut 2003-2010 di stasiun pengamatan Badan Litbang KKP di Pelabuhan Perikanan Nizam
Zachman Muara Baru dengan tunggang maksimum (sea level anomaly maximum range) sekitar
8,8 cm dan tinggi rerata 3 cm/tahun (Pranowo et al., 2014), lihat Gambar 2.18. Tinggi maksimum
muka laut saat banjir pasang “rob” yang menggenangi Kantor Balai Penelitian Perikanan Laut
di Muara Baru dalam kurun waktu 2007 hingga 2011 adalah sama dengan ketinggian saat laut
dalam kondisi tunggang pasang laut maksimum (maximum tidal range) yakni 0,9 – 1 meter,
sehingga genangan air “rob” yang terjadi adalah akibat adanya penurunan tanah (Poernomo
et al., 2013).

Gambar 2.18. Bukti Adanya Kenaikan Muka Laut di Stasiun Pengamatan Altimetri Pelabuhan Perikanan
Samudera Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara (Pranowo et al., 2014)

Institut Teknologi Bandung, melalui Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut-nya,
meramalkan bahwa pada tahun 2050 kawasan pesisir utara Jakarta akan terendam air laut
seluas lebih dari 900 hektar (tepatnya 966,326 hektar) akibat kenaikan muka air laut, dan
diperkirakan sebanyak 150 pulau dari total 241 pulau di Kepulauan Seribu akan tenggelam (Hadi
et al., 2008), lihat Tabel2.9 dan Tabel 2.10. Ramalan tersebut didasarkan kepada model proyeksi
genangan laut setinggi 0.57 cm/tahun dengan skenario perhitungan menggunakan Digital

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-56
Elevation Model (DEM) dan trend kenaikan muka laut hasil interpolasi data pasang surut di
stasiun Tanjung Priok 1925-2003.

Tabel 2.9.
Luasan Genangan per Jenis Lahan di Kawasan Jakarta Utara pada Tahun 2050 Berdasarkan
Peramalan Dampak Kenaikan Muka Laut oleh Hadi et al. (2008)

Jenis Lahan Kecamatan


No. tergenang pada Kelapa Tanjung
tahun 2050 Cilincing Koja Pademangan Penjaringan
Gading Priok
1. Industri/Kantor 8,327 7,921 0,117 62,787 57,457 7,023
2. Pemukiman 17,929 1,817 0,496 7,458 1,458 9,828
3. Jalan 0,573 0,768 0,090 0,921 3,396 5,390
4. Rel Kereta Api - - - 0,041 0,057 0,015
5. Kebun 0,324 0,055 0,102 - - 0,211
6. Ladang Garam 0,152 - - - - -
7. Sawah 2,805 0,085 0,054 - - 0,046
8. Tanah Kosong 25,312 2,993 0,658 12,213 12,608 141,986
9. Taman 1,564 0,319 0,389 0,842 7,438 30,354
10. Tubuh Air 77,942 26.457 9,685 159,383 59,026 198,551
TOTAL (Ha) 134,929 40,416 11,592 243,644 141,440 394,305

Ket.: Jenis lahan yang digunakan adalah berdasarkan peta lahan Prov. DKI Jakarta tahun 2003.

Tabel 2.10.
Luasan Genangan per Jenis Lahan di Kawasan Kepulauan Seribu Pada Tahun 2050 Berdasarkan
Peramalan Dampak Kenaikan Muka Laut oleh Hadi et al. (2008)

Kelurahan di Luasan genangan (Ha) akibat dampak kenaikan muka laut


No.
Kepulauan Seribu 2020 2030 2040 2050
1. Pulau Pari 14,39 16,95 19,52 22,01
2. Pulau Tidung 12,35 14,67 17,34 19,68
3. Pulau Untung Jawa 60,63 62,05 63,47 64,91
4. Pulau Harapan 70,45 75,54 80,07 84,57
5. Pulau Kelapa 45,00 48,94 52,62 55,95
6. Pulau Panggang 11,13 13,20 14,78 16,22
JUMLAH 214 231 248 263
Ket.: Kelurahan yang digunakan adalah berdasarkan peta administrasi Prov. DKI Jakarta tahun 2003

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-57
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang
KKP), dalam laporannya untuk Copenhagen Climate Change Conference (COP-15 UNFCCC),
menyajikan secara implisit bahwa tinggi gelombang signifikan rerata di kawasan pesisir Jakarta
Utara dan perairan Kepulauan Seribu (Ekoregion Laut DKI Jakarta) berkisar 1,25 hingga 1,50
meter, lihat Gambar 2.19. Kisaran tersebut termasuk dalam kategori gelombang tinggi yang
energinya berpotensi menyebabkan abrasi atau erosi di pantai, dan juga berpotensi merusak
struktur dan infrastuktur di pelabuhan umum maupun di pelabuhan perikanan.

Gambar 2.19. Peta Tinggi Gelombang Signifikan Rerata Perairan Indonesia. Dimana menunjukkan
Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga Kepulauan Seribu mempunyai
kenaikan yang tinggi 1,25-1,50 m (Sumber: Badan Litbang KKP, 2009)

Untuk penyusunan RPPLH ini, isu strategis Ekoregion Laut yang sangat spesifik adalah
Pencemaran perairan teluk dan laut dan Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal,
sehingga isu strategis secara keseluruhan untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah:
1. Kerawanan perubahan iklim;
2. Pemanfaatan sumberdaya air yang berlebih;
3. Keterbatasan ketersediaan lahan;
4. Keterbatasan sarana dan prasarana kota;
5. Pencemaran; dan
6. Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta II-58
BAB III
ISU STRATEGIS

Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta secara
mendasar mempertimbangkan isu strategis yang dihadapi wilayah DKI Jakarta, terutama yang
memberikan implikasi secara signifikan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup wilayah DKI Jakarta. Isu strategis tersebut meliputi:

3.1. Kerawanan terhadap Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi perhatian seluruh dunia, termasuk Indonesia. Indikasi
perubahan iklim antara lain dideteksi melalui pola curah hujan ekstrim, perubahan suhu,
kejadian badai, dan lainnya. Wilayah ekoregion DKI Jakarta yang mencakup Ekoregion
Darat dan Ekoregion Laut perlu mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui upaya
adaptasi dan mitigasi sebagaimana digariskan kebijakan Nasional tentang Perubahan
Iklim.

Isu perubahan iklim bagi DKI Jakarta terkait dengan kenaikan muka laut yang akan
melanda wilayah DKI Jakarta bagian Utara dan wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu
yang merupakan kabupaten pulau – pulau kecil. Pada wilayah ekoregion darat, dimana
sebagian besar wilayah ekoregion DKI Jakarta memiliki karakteristik alami yang rawan
genangan dan banjir, pemanasan global akan meningkatkan potensi terjadinya banjir rob
yang dipengaruhi pasang surut air laut maupun genangan pada wilayah-wilayah yang
lebih rendah dari permukaan air laut. Potensi terjadinya banjir rob dan genangan akibat
naiknya permukaan air laut berpotensi terjadi di wilayah:
 Sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur
 Sub ekoregion lembah antar gisik
 Sub ekoregion dataran fluvio marin

Potensi masalah tersebut juga diperparah oleh faktor antropogenik berkaitan dengan
pemanfaatan air tanah di wilayah DKI Jakarta yang melebihi daya dukungnya. Hampir
seluruh wilayah DKI Jakarta kecuali sub ekoregion fluvio vulkanik terjadi penurunan muka
air tanah secara terus menerus. Makin ke utara makin besar penurunan muka air
tanahnya, padahal makin ke utara resiko terhadap banjir rob dan genangan makin besar.

Sementara itu, pada wilayah ekoregion laut, kenaikan muka air laut sebagai akibat dari
pemanasan global akan meningkatkan potensi terjadinya banjir rob, abrasi pantai bahkan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 1
akan dimungkinkan tenggelamnya pulau – pulau kecil. Potensi terjadinya masalah
lingkungan sebagai akibat dari kenaikan muka air laut tersebut berpotensi terjadi di di
semua sub ekoregion laut.

Pemanasan global juga berdampak pada terjadinya pola iklim ekstrem maupun kejadian
badai yang akan meningkatkan curah hujan tinggi – sangat tinggi pada periode yang lebih
pendek dan sebagai akibatnya akan meningkatkan risiko kejadian banjir dan genangan.
Dampak pola iklim ekstrem tersebut sudah dirasakan di wilayah DKI Jakarta, antara lain
terjadinya banjir yang bukan lagi periode 10 tahunan atau 5 tahunan namun sudah terjadi
setiap tahun. Wilayah sub ekoregion yang mengalami kejadian banjir ataupun genangan
adalah seluruh wilayah sub ekoregion daratan selain pada sub ekoregion fluvio vulkanik.

Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu kerawanan perubahan
iklim adalah:
a. Beberapa wilayah terutama pada sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur,
dataran rawa, dataran banjir dan dataran lembah antar gisik akan mengalami
genangan sepanjang tahun;
b. Masalah banjir di DKI Jakarta makin meluas dan makin sulit teratasi;
c. Hilangnya pulau-pulau kecil;
d. Makin banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana.

3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Berlebih


3.2.1 Pemanfaatan Sumber Daya Air

DKI Jakarta dihadapkan pada kondisi yang sangat kritis berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya air, khususnya dalam hal ketersediaan air baku untuk sumber air bersih.
Padahal DKI Jakarta dilewati badan air penerima (BAP) dalam bentuk sungai/kali
sebanyak 13 sungai besar. Namun karena sangat minimnya kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan air limbah serta belum tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan air
limbah, telah menyebabkan kondisi kualitas badan air penerima tersebut dalam kondisi
tercemar dan tidak layak lagi untuk dapat digunakan sebagai sumber air baku untuk
keperluan PAM Jaya dan masyarakat langsung. Saat ini, penyediaan air bersih bagi DKI
Jakarta seluruhnya bersumber dari wilayah di luar Jakarta, yaitu dari Waduk Jatiluhur
dan Sungai Cisadane.

Meskipun demikian, berdasarkan data dalam Jakarta Dalam Angka tahun 2011 seperti
telah dibahas pada Bab II, hanya sekitar 27,8% penduduk DKI Jakarta menjadi pelanggan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 2
dan menggunakan sumber air perpipaan yang dipasok oleh PDAM. Sementara
infrastruktur penyediaan dan pelayanan air bersih DKI Jakarta sebenarnya sudah
menjangkau sekitar 62% wilayah DKI Jakarta. Kondisi ini menunjukkan bahwa preferensi
masyarakat terhadap sumber air bersih masih memilih menggunakan air tanah daripada
menjadi pelanggan PDAM. Hal ini mungkin disebabkan karena tingginya harga air
maupun berkaitan dengan kualitas dan kontinuitas ketersediaannya.

Gambaran pemanfaatan sumber air tersebut menunjukkan bahwa penggunaan air


tanah untuk kebutuhan domestik di DKI Jakarta masih sangat tinggi atau berkisar 70%
dari kebutuhan penduduknya. Perhitungan yang dilakukan dalam Bab II menunjukkan
sekitar 1.188.427 m3/hari atau sebesar 13,75 m3/detik air tanah diambil untuk memenuhi
kebutuhan domestik penduduk DKI Jakarta. Sementara dengan pola pemanfaatan
ruang DKI Jakarta yang didominasi kawasan terbangun diperkirakan air hujan yang
mampu diserap hanya berkisar 4,30 m3/detik. Berarti terjadi pemanfaatan sumber air
tanah berlebih sekitar 9,45 m3 setiap detik.

Selain penggunaan air tanah untuk domestik yang sebagian besar berasal dari air tanah
dangkal, aktifitas non domestik di DKI Jakarta juga memanfaatkan air tanah dalam.
Padahal pada dasarnya air tanah dalam bisa digolongkan sebagai sumber daya yang
tidak terbaharukan karena kecepatan masuknya aliran imbuhan air tanah di dalam
akuifer sangat lambat.

Wilayah DKI Jakarta termasuk dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta. Cakupan
wilayah CAT Jakarta meliputi seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, sebagian Provinsi
Jawa Barat dan sebagian Provinsi Banten. Potensi yang air tanah dalam yang dimiliki
CAT Jakarta adalah sebesar 52 juta m3/tahun. Berdasarkan peraturan yang ada,
pemanfaatan air tanah dalam hanya diperboleh maksimal 20% dari potensi air tanah
dalam. Artinya, pada CAT Jakarta hanya diperbolehkan pengambilan air tanah sebesar 11
juta m3/tahun. Berdasarkan data Jakarta dalam Angka 2011 menyebutkan bahwa total
pemakaian air tanah dalam sesuai ijin yang diberikan untuk tahun 2010 adalah sebesar
lebih dari 10 juta m3 sudah mendekati batas maksimal pengambilan air tanah dalam yang
diijinkan.

Sementara itu data dari ESDM, 2014 menyebutkan bahwa pengambilan air tanah dalam
di CAT Jakarta adalah sebesar 21 juta m3/tahun atau sudah mencapai 40% dari total
potensi air tanah dalam. Dengan kata lain sudah terjadi pemanfaatan yang berlebihan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 3
terhadap sumber daya air tanah dalam yang sebagian besar dimanfaatkan oleh DKI
Jakarta.

Gambar 3.1. Kondisi Neraca Air Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta (Sumber: ESDM, 2014)

Pengambilan air tanah baik dangkal maupun dalam yang berlebihan akan menimbulkan
masalah lingkungan. Pengambilan air tanah dangkal akan menyebabkan penurunan
muka air tanah, penurunan permukaan tanah maupun terjadinya intrusi air laut.
Sementara, pengambilan air tanah dalam akan menyebabkan amblesan tanah maupun
instrusi air laut. Terjadinya penurunan permukaan tanah mengindikasikan bahwa
kecepatan intrusi air laut lebih rendah dari kecepatan pengambilan air tanahnya.
Masalah penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta sudah terjadi di hampir seluruh
wilayah terutama yang masih dipengaruhi oleh lingkungan perairan laut seperti di sub
ekoregion dataran pasang surut berlumpur, dataran bukit gisik dan lembah antar gisik,
dataran rawa dan dataran fluvio marin yang kesemuanya masih dipengaruhi oleh
lingkungan perairan laut.

Permasalahan amblesan tanah sebagai akibat pengambilan air tanah dalam yang
berlebih juga sudah beberapa kali terjadi di wilayah DKI Jakarta. Debit pengambilan air
tanah yang melebihi debit imbuhan air tanah akan menyebabkan rongga di bawah
lapisan akuifer yang berpotensi untuk terjadi amblesan tanah.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 4
Pemanfaatan ruang bawah tanah pada bangunan untuk mendukung kegiatan di atasnya
yang hampir dilakukan di setiap bangunan bertingkat banyak di DKI Jakarta juga
mengganggu terjadinya keseimbangan aliran imbuhan ke dalam air tanah serta
menghambat aliran air dalam tanah. Pembangunan fondasi bangunan dan pemanfaatan
ruang bawah tanah untuk bangunan akan mengurangi kapasitas tanah dalam menyerap
dan menyimpan air. Akibatnya, di DKI Jakarta sudah pula terjadi penurunan muka air
tanah, akhirnya penduduk menambah kedalaman titik pengambilan air tanah. Makin
intensifnya pemanfaatan ruang bawah di DKI terkait erat dengan isu strategis RPPLH
yang ketiga yaitu keterbatasan ketersediaan lahan yang akan dibahas tersendiri.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfatan sumber daya air tanah di DKI
Jakarta sudah melebihi daya dukungnya. Kondisi ini antara lain disebabkan belum
terjangkaunya cakupan layanan jaringan air perpipaan dan belum terpenuhinya kualitas
maupun kontinuitas ketersediaan air oleh penyelenggara penyediaan air perkotaan DKI
Jakarta. Selain itu, tingkat pemanfaatan air penduduk DKI Jakarta sebagai kota
metropolitan cukup tinggi yaitu sebesar 175 liter/orang/hari. Hal ini berarti bahwa
peningkatan kesadaran serta budaya masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya air
perlu dilakukan.

Sementara pada wilayah laut DKI Jakarta yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil,
masalah pemanfaatan sumberdaya air yang berlebih juga terjadi. Masalah yang khas
pada pulau-pulau kecil pada umumnya adalah terbatasnya sumberdaya air tawar di
daratan pulau. Semakin bertumbuhnya penduduk di suatu pulau akan meningkatkan
pula konsumsi air tanah. Apabila penyedotan air tanah telah melebihi kapasitas air tanah
untuk pulih maka akan terjadi intrusi air laut hingga sumber air setempat akan menjadi
payau hingga asin. Sekali intrusi air laut terjadi maka akan sulit untuk pulih kembali
menjadi tawar (irreversible). Banyak contoh yang dapat diacu perihal terjadinya intrusi
air laut di banyak pulau-pulau di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Di Pulau Pari
misalnya, sumur yang dulu dapat diandalkan sebagai sumber air minum bagi penduduk
setempat, kini tidak lagi.

Untuk mengatasi semakin langkanya sumber air tanah di Kepulauan Seribu, penduduk
setempat memanfaatkan PAH (Penampung Air Hujan). Di beberapa pulau telah
diintroduksi teknologi RO (Reverse Osmosis) yang dapat mengubah air laut menjadi air
tawar. Tetapi teknologi ini cukup mahal untuk digunakan bagi semua penduduk pulau.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 5
3.2.2 Pemanfaatan Sumber Daya Alam Lainnya

Pemanfaatan sumberdaya alam selain air (air tanah) yang terdapat di wilayah Provinsi
DKI Jakarta, dalam hal ini wilayah laut, juga telah terjadi secara berlebihan. Beberapa
jenis pemanfaatan berlebihan dapat disarikan di bawah ini.

Penambangan pasir dan karang

Penambangan pasir dan karang telah terjadi di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu sejak
lama, terutama untuk keperluan bahan bangunan. Hasil penambangan pasir dan karang
tersebut tidak saja untuk keperluan masyarakat pulau setempat, tetapi ada pula yang
diangkut ke daratan Pulau Jawa.

Penambangan pasir dan karang di beberapa pulau tidak saja telah mengubah
geomorfologi pantai tetapi juga telah menyebabkan beberapa pulau telah lenyap.
Beberapa pulau yang telah lenyap misalnya Pulau Ubi Besar, Pulau Ayer Kecil, Pulau Ubi
Kecil dan Pulau Nyamuk Besar yang berada di Teluk Jakarta, ekoregion EL 6.3.1.
Beberapa pulau yang telah mengalami perubahan geomorfologi pantai yang cukup
signifikan dan sudah terancam lenyap terjadi misalnya di Pulau Dapur.

Pemanfaatan berlebihan biota laut

Berbagai jenis biota laut telah diekploitasi secara berlebihan hingga sekarang telah
langka di perairan setempat di ekoregion laut DKI Jakarta. Beberapa contoh
dikemukakan dibawah ini.

Ikan komsumsi. Beberapa jenis ikan konsumsi telah dieksploitasi secara berlebihan
hingga sekarang sudah sangat langka, dan mungkin telah punah setempat. Salah satu
contohnya adalah ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang dulu masih mudah dijumpai
di beberapa pulau, sekarang sudah tak pernah lagi dijumpai. Perburuan akan ikan
Napoleon ini menjadi-jadi karena harga jualnya sebagai ikan hidup di restoran-restoran
besar di luar negeri (mis: Hongkong) menjadi sangat tinggi. Ikan Napoleon kini telah
dilindungi undang-undang.

Ikan hias. Terumbu karang merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan hias yang indah,
dan karenanya menjadi objek buruan untuk diperdagangkan. Metode penangkapan hias
banyak yang menggunakan potas yang disemprotkan dalam air untuk membuat ikan
mabok. Banyaknya nelayan pemburu ikan hias ini telah menyebabkan populasi ikan hias
semakin merosot. Masyarakat di Pulau Tidung (EL 6.3.3) misalnya sudah banyak yang
mengeluh karena makin sulitnya kini untuk mendapatkan ikan hias. Perburuan ikan hias

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 6
ini dilakukan sampai ke pulau-pulau yang masuk dalam kawasan terlarang di Taman
Nasional Kepulauan Seribu.

Berbagai biota bentos. Berbagai jenis biota bentos yang hidup di dasar laut telah
dieksploitasi secara berlebihan hingga makin langka atau mungkin sudah punah
setempat. Kima raksasa (Tridacna gigas) dulu pernah dijumpai di Kepulauan Seribu
tetapi sekarang sudah habis. Demikian pula kima jenis lainnya, seperti kima sisik
(Tridacna squamosa), kima pasir (Hippopus hippopus), kima luang (Tridacna croacea),
sudah sangat langka atau lenyap. Padahal semua jenis kima telah dilindungi. Selain itu
kerang darah (Anadara), yang merupakan makanan bahari (seafood) yang populer, yang
dulu banyak terdapat banyak di Pulau Pari, kini sudah sangat sulit dijumpai. Selain itu,
berbagai biota bentos yang mempunyai nilai ekonomi kini sudah sukar dijumpai atau
mungin sudah lenyap di Kepulauan Seribu, misalnya teripang pasir (Holothuria scabra).

a b

c d

Gambar 3.2. Biota laut yang telah terancam di Kepulauan Seribu. (a) Ikan Napoleon
(Cheilinus undulatus; (b) Lepu ayam (Pterois volitans), (c) Teripang pasir
(Holothuria scabra); (d) Kima raksasa (Tridacna gigas)

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 7
Rumput laut. Sejarah budidaya rumput laut di Indonesia diawali di Gugus Pulau Pari (EL
6.3.3) di sekitar tahun 1960-an, yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Pada
dekade 1980-an hingga 1990-an budidaya rumput laut (terutama Euchema cottonii)
mengalami puncaknya hingga seluruh penduduk Pulau Pari terlibat dalam upaya
budidaya rumput laut yang sangat menguntungkan. Pada saat booming budidaya
rumput laut itu boleh dikatakan seluruh permukaan goba (lagoon) di Pulau Pari dipenuhi
oleh rakit atau untaian rumput laut yang dibudidaya. Keberhasilan budidaya rumput laut
di Pulau Pari kemudian diikuti pula oleh penduduk di pulau-pulau lainnya. Namun
pengembangan budidaya yang sifatnya monokultur ini rentan terhadap serangan
penyakit. Sekitar akhir tahun 1990-an mulai terjadi serangan penyakit ais-ais, yang
akhirnya mengakibatkan runtuhnya (collapse) semua usaha budidaya rumput laut yang
sebelumnya pernah sangat berjaya. Kini tak ada lagi budidaya rumput laut yang
bermakna di Pulau Pari, dan sebagai alternatifnya penduduk kemudian beralih profesi
ke bidang pariwisata bahari.

Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu pemanfaatan sumber
daya alam yang berlebih adalah:
a. Penurunan permukaan tanah akan terjadi lebih cepat;
b. Wilayah DKI Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut akan semakin
meluas dan potensi terjadi banjir serta genangan akan semakin besar dan meluas;
c. Kejadian amblesan tanah akan semakin banyak;
d. Pencemaran air tanah karena intrusi air laut akan meluas;
e. Akan terjadi krisis sumber daya air;
f. Degradasi habitat flora-fauna laut;
g. Penurunan hasil tangkapan nelayan;
h. Akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat.

3.3. Keterbatasan Ketersediaan Lahan

Permasalahan lahan di kawasan perkotaan metropolitan seperti DKI Jakarta sudah


menjadi masalah global. Berdasarkan Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan
kegiatan ekonomi. Sebagai konsekuensinya, lingkungan fisik kota didominasi kawasan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 8
terbangun non pertanian dan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi
dibandingkan perdesaan. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk perkotaan dari waktu
ke waktu akan membawa konsekuensi pada makin tingginya tekanan pada pemanfaatan
ruang kota. Makin bertambahnya jumlah penduduk makin meningkat pula kebutuhan
ruang terbangunnya, sementara luas lahan kota relatif tetap, sehingga makin
berkurangnya lahan tidak terbangun yang memiliki fungsi ekologis.

Perkembangan kota biasanya dipengaruhi oleh fungsi kota itu sendiri dan tercermin dari
penggunaan lahannya. DKI Jakarta sebagai ibukota Negara mengemban fungsi kota yang
beragam dan semua kegiatan sosial ekonomi berskala nasional bahkan internasional. Hal
ini terlihat dari pola pemanfaatan ruangnya dimana luasan untuk permukiman hanya
mencakup 56% dari luas wilayah, 10% untuk kawasan perdagangan, komersial dan jasa,
10% untuk fasilitas sosial publik dan pemerintahan, 9% untuk kawasan industri dan 1%
untuk fasilitas transportasi. Sedangkan sisanya (14%) merupakan kawasan tidak
terbangun yang memiliki kecenderungan makin berkurang, terutama kawasan pertanian
dan kawasan perairan darat seperti sungai, danau, dan rawa.

Penduduk DKI Jakarta tahun 2013 adalah berkisar 10 juta jiwa dengan kepadatan
penduduk rata-rata berkisar 150 jiwa/ha. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang
sangat nyata antara kepadatan penduduk di wilayah darat DKI Jakarta dan wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu yang merupakan wilayah pulau-pulau kecil seperti terlihat
pada tabel di berikut ini:

Tabel 3.1.

Di wilayah daratan, kepadatan penduduk untuk semua wilayah kota mencapai diatas 110
jiwa/ha bahkan kepadatan penduduk Jakarta Pusat mencapai 187 jiwa/ha. Sementara
kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Kepulauan seribu hanya mencapai 24 jiwa/ha.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 9
Penghitungan kepadatan penduduk wilayah daratan tersebut sebenarnya belum
mencerminkan kepadatan riil di wilayah permukiman. Jika hanya kawasan permukiman
yang dihitung dimana luas kawasan permukiman berkisar 37.000 ha, maka kepadatan
penduduk di permukiman mencapai 275 jiwa/ha atau termasuk kategori permukiman
sangat padat.

Sementara dilihat dari laju pertumbuhan penduduk terlihat bahwa wilayah Jakarta Pusat
yang merupakan wilayah paling padat memiliki laju yang paling rendah, sebaliknya
wilayah Jakarta Utara yang kepadatannya paling renggang memiliki laju paling tinggi. Hal
ini menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan lahan terhadap laju pertumbuhan. Di
wilayah Jakarta Pusat pertumbuhan relatif stagnan karena lahan untuk pengembanan
baru hampir sulit ditemukan. Hal yang perlu dicermati adalah pertumbuhan yang relatif
tinggi di wilayah Jakarta Utara yang berarti pemanfaatan lahan akan lebih intensif terjadi
di sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur, dataran rawa, dataran gesik dan
dataran lembah antar gesik yang kesemuanya memiliki kerawanan yang relatif tinggi
terhadap perubahan iklim.

Keterbatasan lahan di wilayah DKI Jakarta ini sudah menjadi isu strategis terkait bidang
perumahan dan permukiman seperti tertuang dalam RPJPD 2000 – 2025. Seperti
dinyatakan bahwa “Pemenuhan kebutuhan rumah dihadapkan pada keterbatasan lahan
di wilayah Jakarta. Sehingga penyediaan kebutuhan rumah oleh pemerintah dan swasta
lebih banyak dibangun secara vertikal dibandingkan dengan rumah horisontal yang
membutuhkan lahan besar”. Pembangunan secara vertical terkait dengan isu
keterbatasan lahan juga tertuang dalam RTRW DKI 2010 – 2030 terutama kebijakan dan
strategi dalam rangka pencapaian tujuan penataan ruang.

Padahal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, beban yang harus didukung
lingkungan adalah merupakan perkalian antara jumlah penduduk dengan pola
pemanfaatannya serta intensitas dan jenis kegiatan sosial ekonomi kota dengan
kebutuhan sumberdaya untuk mendukungnya. Hal ini dapat diartikan bahwa solusi
keterbatasan lahan melalui kebijakan dan strategi pembangunan secara vertikal hanya
akan mengatasi masalah keterbatasan lahan namun tidak berimplikasi pada masalah
besarnya tekanan atau beban terhadap lingkungan.

Permasalahan keterbatasan lahan juga terjadi di ekoregion laut yang wilayahnya berupa
gugusan pulau-pulau kecil. Pertumbuhan penduduk di wilayah ini mencapai lebih dari 2%
per tahun dan merupakan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan wilayah daratan.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 10
Sementara itu, perkembangan kegiatan pariwisata demikian pesat dan pemanfaatan
lahannya belum terkontrol dengan baik menyebabkan makin padatnya permukiman
penduduk lokal karena tergeser oleh kepentingan pemenuhan kebutuhan lahan untuk
sektor pariwisata. Bahkan di beberapa pulau di kabupaten Kepulauan Seribu,
pemanfaatan dan pengelolaan lahan sudah beralih sepenuhnya ke pihak swasta.

Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan kepadatan penduduk dan bangunan


akan menyebabkan terjadi berbagai permasalahan sosial, peningkatan kerawanan
kebakaran, serta menimbulkan kekumuhan. Selain itu, peningkatan intensitas
pemanfaatan ruang tanpa didukung pelayanan sarana prasarana lingkungan yang layak
akan menimbulkan berbagai masalah pencemaran lingkungan.

Selain pembangunan secara vertikal dengan memanfaatkan ruang udara, pemanfaatan


ruang DKI Jakarta tahun seperti tertuang dalam RTRW 2010 – 2030 juga mengarahkan
pada pemanfaatan ruang bawah tanah. Meskipun hal ini dapat dilakukan, namun perlu
dicermati pengendaliannya terkait dengan adanya kemungkinan terganggunya sistem
hidrologi seperti berkurangnya tanah untuk resapan, terganggunya aliran air tanah, dan
masalah intrusi air laut.

Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan ketersediaan
lahan adalah:
a. Peningkatan kekumuhan dan pencemaran lingkungan;
b. Peningkatan masalah kemacetan sehingga kota menjadi tidak produktif;
c. Pemenuhan kebutuhan lahan akan dilakukan melalui metode yang makin tidak ramah
lingkungan seperti reklamasi pantai, pemanfaatan ruang bawah tanah yang tidak
terkendali, penimbunan badan air, pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
peruntukkannya;
d. Menurunnya tingkat keamanan dan kenyamanan DKI Jakarta untuk hunian dan / atau
berinvestasi.

3.4. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Kota

Seperti telah dibahas sebelumnya, kejadian banjir dan genangan yang melanda Kota
Jakarta secara rutin merupakan persoalan utama yang hingga saat ini justru cenderung
semakin kompleks. Kota Jakarta merupakan bagian hilir dari beberapa sungai yang
mengalir menuju Teluk Jakarta, sehingga aliran permukaan yang berasal dari hulu akan
membebani sistem pematusan di Kota Jakarta.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 11
Di lain pihak hampir 40% wilayah Kota Jakarta berada di bawah muka laut, sehingga
dipengaruhi oleh pasang-surut laut. Perkembangan kini mengindikasikan potensi
kejadian ekstrim pada kondisi hidrooseanografis di perairan laut, sehingga terjadi
beberapa kali kejadian rob yang melanda wilayah bagian Utara Kota Jakarta. Secara
geologis Kota Jakarta juga rentan terhadap kejadian amblesan tanah (land subsidence)
sebagaimana tercatat berlangsung pada beberapa bagian wilayah kota. Kejadian
amblesan tanah diperburuk oleh pengambilan air tanah secara besar-besaran.

Karena posisi geografisnya dan dilalui oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara di DKI
Jakarta, maka secara teoritis ketersediaan sistem drainase menjadi sarana prasarana
yang sangat penting untuk tersedia dan dikelola dengan baik. Kejadian banjir yang terjadi
di wilayah ini salah satunya disebabkan belum tersedianya sistem dan jaringan drainase
yang mampu mendukung upaya pematusan aliran permukaan.

Buruknya sistem dan jaringan drainase DKI Jakarta berkaitan dengan kapasitas
pematusan yang tidak sebanding dengan debit dan volume air yang harus dialirkan.
Selain karena kapasitasnya, perilaku masyarakat juga menurunkan kemampuan fungsi
badan sungai dan situ dan waduk sebagai tempat retensi dan pengaliran aliran
permukaan menuju laut. Kecenderungan tersebut dapat diamati dari berkurangnya situ
dan waduk oleh invasi bangunan yang teridentifikasi melalui menurunnya rasio badan air
(water body ratio) serta beban sampah yang dibuang ke sungai sejak dari hulu hingga
muara.

Selain masalah drainase kota, penanganan limbah cair perkotaan atau air kotor
menghadapi kendala yang serius bagi DKI Jakarta. Hingga kini hanya sebagian kecil
wilayah DKI Jakarta yang terlayani oleh sistem dan jaringan pengelolaan air kotor yang
dilaksanakan secara parsial. Hal ini jelas akan meningkatkan potensi pencemaran tanah
dan air. Pada akhirnya akan makin sulit untuk memanfaatkan air permukaan sebagai
sumber air baku air bersih.

Dalam hal pelayanan pembuangan sampah di DKI Jakarta tercatat relatif memadai,
meskipun tercatat masih sekitar 15% yang belum tertangani. Namun dengan jumlah
penduduk yang mencapai sekitar 10 juta dan perkiraan volume sampah 0,003 m3/jiwa/hari
maka jumlah sampah yang tidak tertangani akan mencapai sekitar 4.500 m3/hari.
Sementara itu, DKI Jakarta juga masih dihadapi kendala terkait ketersediaan lahan bagi
lokasi pembuangan sampah serta keterbatasan daya tampung dan maupun kecepatan
angkut sarana persampahan menuju TPA yang berada di luar DKI Jakarta. Masalah

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 12
persampahan tidak tertangani ini merupakan salah satu penyebab berkurangnya
kapasitas drainase kota serta terjadinya pencemaran badan air di wilayah DKI Jakarta.

Sistem dan jaringan transportasi di DKI Jakarta juga belum seluruhnya terbangun dalam
struktur yang hirarkis, dimana sebagian jaringan jalan arteri belum terhubung satu
dengan lainnya dan didukung jaringan jalan kolektor dan jaringan jalan lokal yang
melayani pusat-pusat permukiman dan pusat kegiatan lokal. Sistem dan jaringan
transportasi juga masih menghadapi kendala dalam pembentukan sistem antar moda
transportasi yang terintegrasi guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan bagi
pergerakan lalu lintas. Ketersediaan prasarana angkutan massal yang terbatas dan belum
memadai juga menjadi salah satu permasalahan dalam pelayanan prasarana dan sarana
lalu lintas di DKI Jakarta.

Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan sarana dan
prasarana kota adalah:
a. permasalahan banjir akan makin sulit teratasi bahkan justru semakin meluas;
b. terjadi peningkatan pencemaran baik udara, air maupun tanah;
c. lingkungan kota secara menyeluruh menjadi kumuh;
d. peningkatan pencemaran di wilayah perairan teluk dan laut;
e. menurunnya keaneka ragaman hayati perairan teluk dan laut;
f. terhambatnya perkembangan sektor perekonomian.

3.5. Pencemaran

Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai yang menumpahkan airnya ke teluk ini
yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di hulunya. Sungai-sungai ini tidak saja
mengangkut limbah pencemar dari DKI Jakarta, tetapi juga dari daerah penyangga di
bagian hulunya yang melintasi wilayah adminsitrasi yang berbeda di Jawa Barat.

Air sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta mengalirkan berbagai limbah yang
menimbulkan pencemaran berat di perairan ini. Bahan pencemar ini dapat berupa limbah
padat dan limbah cair. Limbah padat terutama berupa sampah rumah tangga dan
industri, merupakan pencemar yang sangat mengganggu fungsi lingkungan.
Diperikirakan sekitar 30% limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai yang akhirnya
mengalir ke laut dan mencemari pantai-pantai.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 13
Limbah padat selain yang dapat terurai (biodegradable) juga banyak yang terdiri dari
bahan yang sulit terurai (non biodegradable) di lingkungan seperti plastik, kaleng, gelas
dan sebagainya. Limbah padat ini tidak saja terdampar di pantai perairan Teluk Jakarta
tetapi juga terbawa hanyut oleh arus laut hingga terdampar dan mencemari banyak
pulau-pulau di Kepulauan Seribu.

Limbah cair banyak dihasilkan dari produk industri, diantaranya mengandung bahan
beracun dan berbahaya (B3) yang akhirnya dilepas ke sungai dan selanjutnya sampai ke
perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Bahan pencemar logam berat seperti
merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn) telah terdeteksi di
perairan Teluk Jakarta, tidak saja di badan air tetapi juga di sedimen. Tingginya
kandungan pencemar dalam air juga telah terbukti menyebabkan berbagai logam berat
terserap dan terakumulasi dalam tubuh biota air seperti ikan, kerang, krustasea, hingga
dapat mengancam kesehatan pada manusia lewat makanan laut (sea food).

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa perairan dengan tingkat pencemaran tertinggi


terdapat di bagian tengah Teluk Jakarta, terutama di depan Sungai Ciliwung, dan semakin
jauh ke utara tingkat pencemarannya semakin menurun. Nutrien yang dialirkan masuk ke
Teluk Jakarta juga ternyata dapat memicu terjadinya ledakan populasi fitoplankton (red
tide) yang mengkomsusi oksigen dalam jumlah yang sangat besar hingga mengakibatkan
perairan kehabisan oksigen (oxygen depletion) yang mengakibatkan beberapa kali
terjadinya kematian misal ikan di Teluk Jakarta.

Di perairan Kepulauan Seribu, dampak pencemaran dari Teluk Jakarta masih terdeteksi
meskipun makin jauh ke utara dampaknya semakin kecil. Meskipun demikian perairan
Kepulauan Seribu juga bisa terancam pencemaran dari kegiatan angkutan migas,
misalnya terjadinya damparan gumpalan minyak (tar ball) yang bersumber dari buangan
minyak mentah dari kapal tanker yang lewat, yang telah berulang kali mencemari pantai-
pantai Kepulauan Seribu.

Secara umum, dapat dirangkum dari uraian sebelumya bahwa pencemaran yang terjadi di
seluruh ekoregion Provinsi DKI Jakarta yang pada akhirnya berdampak pada pencemaran
perairan teluk dan laut antara lain disebabkan oleh:
 Tingginya jumlah penduduk dan ketidak berhasilan DKI Jakarta dalam menekan
jumlah kelahiran dan jumlah urbanisasi (Riani, 2012). Mengingat jumlah manusia yang
tinggi mengakibatkan tingginya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
manusia, sehingga alih fungsi lahan menjadi sangat tinggi, pertumbuhan kegiatan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 14
ekonomi untuk memenuhi semua keinginan dan kebutuhan manusia juga menjadi
sangat tinggi, sehingga melampaui daya dukung lingkungannya;
 Kegiatan industri yang mulai dalam input dan dalam prosesnya seringkali memerlukan
bahan berbahaya dan beracun, baik sebagai bahan baku utama, bahan baku
tambahan, atau hanya sebagai katalisator;
 Minimnya instalasi pengolah air limbah, baik dari kegiatan industri, kegiatan rumah
tangga dan kegiatan antropogenik lainnya;
 Belum diterapkannya zerowaste sebagai kewajiban dari setiap kegiatan antropogenik;
 Lemahnya pengawasan dari pihak yang berwajib terhadap kegiatan yang berpotensi
untuk terjadinya pencemaran, dan terhadap bahan pencemar serta masih longgarnya
kebijakan yang sudah dibuat oleh pihak pemerintah. Di lain pihak kesadaran
masyarakat akan perlunya melestarikan lingkungan dan mencegah terjadinya
pencemaran serta upaya untuk menurunkan pencemaran masih sangat rendah;

Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. makin meningkatnya tingkat pencemaran di perairan teluk dan laut;
b. makin punahnya keanekaragaman hayati perairan teluk dan laut;
c. menurunnya potensi keindahan alam dan kekayaan hayati yang mengganggu
perkembangan sektor pariwisata;
d. menurunnya potensi perikanan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
pendapatan masyarakat lokal.

3.6. Pengelolaan Potensi Bahari yang Belum Optimal

Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan sektor wisata bahari dan sektor perikanan. Saat ini kedua sektor tersebut
menjadi tumpuan bagi penghidupan masyarakat lokal. Meskipun pada kenyataannya,
sektor ekonomi yang sangat dominan di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah
pertambangan. Namun sektor pertambangan ini tidak memberikan multiplier effect yang
berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Potensi pengembangan wisata bahari yang dimiliki ekoregion Laut DKI Jakarta antara lain
karena keberadaan ekosistem pantai, mangrove, lamun dan terumbu karang dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi dan daya tarik kehidupan masyarakat lokal. Selain itu,
kedekatan jarak dan kemudahan akses ke tujuan wisata ke Teluk Jakarta dan Kepulauan
Seribu dari Jakarta juga merupakan nilai tambah sendiri.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 15
Kegiatan parisiwata bahari yang dapat dikembangkan di ekoregion laut ini antara lain
wisata alam pantai, wisata selam (snorkelling dan scuba), boating, memancing, Selain itu,
di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu dijumpai pula potensi pengembangan wisata yang
lebih khusus sifatnya misalnya wisata budaya dan pendidikan bahari (peninggalan sejarah
di Pulau Kelor, Pulau Onrust), wisata konservasi (Suaka Margasatwa Muara Angke, Suaka
Margsatwa Pulau Rambut, Cagar Alam Pulau Bokor, Cagar Alam Pulau Penjaliran,
penangkaran penyu Pulau Pramuka, penangkaran elang bondol Pulau Kotok).

Meskipun memiliki potensi yang cukup besar, kegiatan pariwisata di wilayah ini belum
dikelola dengan baik sehingga pemanfaatannya tidak optimal. Bahkan justru terjadi
dampak negative kegiatan pariwisata seperti terjadi penumpukan sampah, hilangnya
mangrove, rusaknya karang dan lainnya. Sementara dampak pariwisata pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal juga belum terlihat secara nyata.

Kegiatan pariwisata yang dikembangkan di wilayah ini seyogyanya memenuhi prinsip


ekowisata bekelanjutan (sustainable ecotourism) yang pada dasarnya harus memenuhi
kriteria kelayakan secara ekonomi, tidak merusak lingkungan dan memberi manfaat serta
menghargai budaya masyarakat lokal. Pelaksanaan pengelolaan ekowisata menyangkut
aspek-aspek regulasi, operator, dan partisipasi masyarakat. Regulasi dikendalikan oleh
Pemerintah yang mengatur antara lain tentang tata ruang yang boleh dimanfaatkan,
serta ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan pariwisata secara
umum. Operator wisata dilaksanakan oleh perusahan wisata yang berkaitan dengan
promosi dan pelaksanaan kegiatan wisata, transportasi, penyediaan makanan dan
akomodasi, serta kunjungan ke objek wisata, sedangkan peran serta masyarakat antara
lain dapat dalam bentuk penyediaan jasa pemandu (guide), jasa kuliner, jasa transport
lokal dan pemondokan (home stay).

Sementara itu, potensi ekoregion laut DKI Jakarta untuk pengembangan sektor
perikanan juga belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan sudah mulai terjadi
pemanfaatan yang tidak bijaksana sehingga justru merusak atau menurunkan nilai
potensi perikanan yang dimiliki. Saat ini, sektor perikanan yang berkembang di ekoregion
laut DKI Jakarta menyangkut dua aspek utama yakni perikanan tangkap dan perikanan
budaya.

Perikanan tangkap di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu umumnya dilaksanakan oleh
nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap sederhana seperti payang, bagan,
pancing, dengan wilayah operasi (fishing ground) yang sangat terbatas. Perikanan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 16
dengan alat tangkap yang merusak seperti penggunaan bom, racun potas, dan trawl
sekarang boleh dikatakan sudah tidak lagi diterapkan, meskipun mungkin belum tuntas
sepenuhnya.

Perikanan budi daya di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu antara lain menyangkut
budidaya kerang-kerangan dan budidaya ikan. Budidaya kerang hijau (Perna viridis) dan
kerang dara (Anadara granosa) banyak diusahakan oleh nelayan kecil di pantai Teluk
Jakarta. Meskipun budidaya kerang hijau diusahakan oleh banyak nelayan pantai Teluk
Jakarta, namun lingkungan perairannya yang tercemar berat membuat produksi kerang
berpotensi mengandung logam berat atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan
risiko terhadap kesehatan manusia. Meskipun kualitas perairan ini sudah tidak layak
untuk budidaya laut, dan telah jauh melampaui kriteria yang ditetapkan, namun belum
ada kontrol yang memadai, hingga upaya budidaya kerang hijau masih terus berlanjut.
Perikanan budidaya lainnya yang telah dikembangkan adalah budidaya ikan, seperti budi
daya kerapu di Pulau Lancang, yang diusahakan oleh perusahan industri perikanan.

Sektor perikanan ini masih menjadi mata pencaharian utama masyarakat lokal. Pada
kenyataannya, tingkat kesejahteraan masyarakat di ekoregion laut ini masih jauh di
bawah kesejahteraan masyarakat di ekoregion darat. Tingkat kemiskinan penduduk di
wilayah ini paling tinggi dibandingkan penduduk di wilayah darat. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor perikanan belum mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kondisi ini
dapat dipahami mengingat pengelolaan sektor perikanan di ekoregion ini masih
tradisional, belum banyak dikembangkan industri perikanan lanjutan yang berbasis
pemberdayaan masyarakat yang mampu menambah nilai ekonomi hasil perikanan.

Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. Kemiskinan makin bertambah yang menyebabkan makin rentannya penduduk di
ekoregion laut terhadap perubahan iklim dan bencana lainnya;
b. Makin punahnya keanekaragaman hayati karena pengelolaan SDA yang tidak
optimal.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta III - 17
BAB IV
ARAHAN RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

4.1 Arahan RPPLH berdasarkan Ekoregion Darat

4.1.1 Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam Ekoregion Darat

Arahan RPPLH pada muatan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam ini
dibuat sesuai dengan karakteristik ekoregion dan rencana pemanfaatan ruang yang
tertuang dalam RTRW DKI. Selain itu arahan juga diselaraskan dengan isu strategis yang
ada di DKI. Isu strategis dipilah menjadi empat, yaitu (a) kerawanan perubahan iklim, (b)
keterbatasan ketersediaan air bersih, (c) keterbatasan ketersediaan lahan, dan (d)
keterbatasan sarana-prasarana.

Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagian besar
diperuntukan bagi pengembangan kawasan terbangun untuk kegiatan perkotaan
seperti permukiman; industri dan pergudangan; perdagangan dan jasa; serta
perkantoran. Pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan tersebut di ekoregion
darat hanya direkomendasikan di ekoregion fluvio vulkanilk, fluvio marin, serta dataran
beting gisik dan lembah antar gisik serta pemanfaatan terbatas untuk di dataran rawa.
Sementara berdasarkan hasil kajian ekoregion dan kondisi eksisting lingkungan, sumber
daya alam di DKI Jakarta tidak memiliki potensi untuk pencadangan.

Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, saat ini wilayah DKI Jakarta dapat dikatakan tidak
memiliki sumber daya alam baik lahan maupun air yang statusnya sebagai cadangan
sumber daya alam. Bahkan sebaliknya, keterbatasan sumber daya alam baik lahan dan
air justru sudah menjadi isu strategis untuk wilayah ini. Oleh sebab itu, arahan
pemanfaatan sumber daya alam akan difokuskan pada arahan untuk memanfaatkan
sumber daya alam yang sudah terbatas itu dengan sebijaksana dan seoptimal mungkin
sehingga kualitasnya tetap lestari serta mampu mendukung pembangunan secara
berkelanjutan.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 1
Arahan pemanfaatan sumber daya alam meliputi arahan pemanfaatan untuk kawasan terbangun dan arahan pemanfaatan untuk kawasan tidak
terbangun. Kawasan terbangun berupa kawasan permukiman, kawasan perdagangan dan kawasan industri. Sementara kawasan tidak terbangun
meliputi kawasan pertanian. Secara lebih rinci, arahan pemanfaatan sumber daya alam untuk masing-masing peruntukan pada setiap ekoregion
adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1.
Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Terbangun

EKOREGION
POLA RUANG ISU STRATEGIS
(RTRW) RPPLH Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin Vulkanik
Kawasan Kerawanan  Membangun  Pengaturan Pemakaian air  Membangun Tidak disarankan  Pembatasan
terbangun perubahan sistem rumah ketinggian sumur dangkal sistem rumah untuk: pengambilan air
(Zona iklim panggung bangunan (KLB) dan dalam secara panggung a. Zona tanah dalam
permukiman;  Pengaturan dan pembatasan terbatas (dengan luas zona permukiman  Membuat lubang
industri & ketinggian pemanfaatan permukiman yang resapan air untuk:
b. Zona industri
pergudangan; bangunan Ruang Bawah terbatas)
dan a. skala rumah tangga
perkantoran, (Koefisien Lantai Tanah  Tidak disarankan pergudangan (misal : biopori,
perdagangan Bangunan/KLB)  Pembatasan untuk: sumur resapan)
c. Zona
& jasa) dan pembatasan penggunaan air a. zona industri perkantoran, b. skala industri (misal
pemanfaatan tanah dan perdagangan, : lubang biopori,
Ruang Bawah pergudangan dan jasa kolam resapan)
Tanah
b. zona c. skala perkantoran
 Tidak disarankan perkantoran, (misal : lubang
menggunakan air perdagangan, biopori)
tanah dangkal dan jasa
dan dalam
 Tidak disarankan
menggunakan air
tanah dangkal dan
dalam

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 2
EKOREGION
POLA RUANG ISU STRATEGIS
(RTRW) RPPLH Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin Vulkanik
Pemanfaatan Membuat sistem Pemakaian air Pemakaian air  Membuat Tidak disarankan  Pemakaian air sumur
sumberdaya air penampungan air sumur dangkal sumur dangkal penampungan air untuk: dangkal dan dalam
yang berlebih hujan untuk secara terbatas dan dalam secara hujan untuk a. Zona secara terbatas
keperluan non-air terbatas keperluan non-air permukiman  Membuat lubang
minum minum resapan air untuk:
b. Zona industri
 Tidak disarankan dan a. skala rumah tangga
untuk: pergudangan (misal : biopori,
a. zona industri c. Zona sumur resapan)
dan perkantoran, b. skala industri (misal
pergudangan perdagangan, : lubang biopori,
b. zona dan jasa kolam resapan)
perkantoran, c. skala perkantoran
perdagangan, (misal : lubang
dan jasa biopori)
Keterbatasan  Pembangunan  Pembangunan  Pembangunan  Pengaturan Tidak disarankan  Pembangunan
ketersediaan permukiman, permukiman, permukiman, ketinggian untuk: permukiman, industri
lahan industri dan industri dan industri dan bangunan (KLB) a. Zona dan pergudangan dan
pergudangan dan pergudangan dan pergudangan dan pembatasan permukiman serta perkantoran
serta serta dan serta pemanfaatan secara vertikal
b. Zona industri
perkantoran perkantoran perkantoran Ruang Bawah  Pengaturan Koefisien
dan
secara vertikal secara vertikal secara vertikal Tanah Dasar bangunan
pergudangan
 Pengaturan  Pengaturan  Pengaturan  Tidak disarankan c. Zona (KDB) rendah dan
ketinggian ketinggian ketinggian untuk: perkantoran, Koefisien Dasar Hijau
bangunan (KLB) bangunan (KLB) bangunan a. zona industri perdagangan, (KDH) tinggi
dan pembatasan dan pembatasan (KLB) dan dan dan jasa  Pengaturan
pemanfaatan pemanfaatan pembatasan pergudangan ketinggian bangunan
Ruang Bawah Ruang Bawah pemanfaatan (KLB) dan
Tanah Tanah Ruang Bawah pembatasan
Tanah pemanfaatan Ruang

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 3
EKOREGION
POLA RUANG ISU STRATEGIS
(RTRW) RPPLH Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin Vulkanik
b. zona Bawah Tanah
perkantoran,  Pengaturan Koefisen
perdagangan, Basement
dan jasa
Keterbatasan Pembangunan Pembangunan Pembangunan  Pembangunan Tidak disarankan Pembangunan sarana-
sarana- sarana-prasarana sarana-prasarana sarana-prasarana sarana-prasarana untuk: prasarana yang
prasarana kota di atas elevasi air yang yang yang a. Zona memperhatikan aspek
pasang maksimum memperhatikan memperhatikan memperhatikan permukiman resapan air
rata-rata aspek resapan air aspek banjir aspek banjir
b. Zona industri
 Tidak disarankan dan
untuk: pergudangan
a. zona industri c. Zona
dan perkantoran,
pergudangan perdagangan,
b. zona dan jasa
perkantoran,
perdagangan,
dan jasa

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 4
Tabel 4.2.
Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Tidak Terbangun
ISU STRATEGIS EKOREGION
POLA RUANG
RPPLH Dataran Pasang Dataran Beting-Gisik & Dataran Dataran Fluvio-
(RTRW) Dataran Fluvio-Marin Dataran Rawa
Surut Berlumpur Swale Banjir Vulkanik
Kawasan tidak Kerawanan Lahan budidaya Hotikultura di bagian Lahan budidaya  Tidak disarankan Tidak Pembuatan lubang
terbangun perubahan iklim pasang surut beting-gisik perikanan darat dan untuk zona disarankan resapan air (misal :
(Zona (tambak) disertai (beachridges) dan budidaya tanaman pertanian untuk zona lubang biopori) pada
Pertanian) pembuatan tanaman pangan pangan/hortikultura yang  Perlu konservasi pertanian lahan budidaya
tanggul di atas (padi) di bagian swale memperhatikan aspek terhadap jenis-jenis tanaman pangan dan
rata-rata elevasi yang dukung oleh mitigasi perubahan iklim ikan rawa yang hortikultura
air maksimum sistem (misal : membuat dapat
(banjir) penanggulangan pematang dengan dimanfaatkan
terhadap banjir atau ketinggian di atas rata- namun secara
kekeringan. rata elevasi air banjir atau terbatas dan
pembuatan sumur dengan
dangkal untuk antisipasi penangkapan
musim kering) secara tradisional
Pemanfaatan Tambak dibuat Pemakaian air Memprioritaskan Tidak disarankan Tidak  Memprioritaskan
sumberdaya air sesuai dengan permukaan lebih pemakaian air permukaan untuk zona pertanian disarankan pemakaian air
yang berlebih kondisi ekologi diprioritaskan, baik dengan peningkatan untuk zona permukaan dengan
dan dikelola untuk Hotikultura di fungsi irigasi pertanian peningkatan fungsi
secara tradisional bagian beting-gisik irigasi
(beachridges) maupun  Membuat area
tanaman pangan resapan air (misal :
(padi) di bagian swale lubang biopori)
Keterbatasan Tambak dibuat Usaha penanaman Usaha penanaman Tidak disarankan Tidak Memanfaatkan lahan
ketersediaan sesuai dengan hotikultura pada suatu hotikultura pada suatu untuk zona pertanian disarankan pekarangan untuk
lahan kondisi ekologi wadah atau sistem wadah atau sistem untuk zona hortikultura
dan dikelola hidrofonik hidrofonik pertanian
secara tradisional

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 5
ISU STRATEGIS EKOREGION
POLA RUANG
RPPLH Dataran Pasang Dataran Beting-Gisik & Dataran Dataran Fluvio-
(RTRW) Dataran Fluvio-Marin Dataran Rawa
Surut Berlumpur Swale Banjir Vulkanik
Keterbatasan Membangun atau  Membangun atau  Membangun atau Tidak disarankan Tidak  Membangun atau
sarana- merawat sistem merawat sistem merawat sistem irigasi untuk zona pertanian disarankan merawat sistem
prasarana kota transpotasi untuk irigasi  Membangun atau untuk zona irigasi
pertanian tambak  Membangun/ merawat sistem pertanian  Membangun/
merawat sistem transpotasi untuk merawat sistem
transpotasi untuk pertanian transpotasi untuk
pertanian pertanian

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 6
Berdasarkan tabel 4.1. di atas terlihat bahwa arahan RPPLH untuk pemanfaatan
dan/atau pencadangan sumber daya alam cukup beragam sesuai dengan
keragaman ekoregion. Namun secara umum polanya tampak bahwa pada daerah
hulu (dataran fluvio-vulkanik) perlu memperhatikan pembuatan resapan air,
sebaliknya untuk daerah hilir (dataran pasut, beting-gisik dan swale, dataran
fluvio-marin, dan dataran rawa) perlu memperhatikan dinamika elevasi
permukaan air (banjir, rob) dan konservasi air tanah. Adapun pembangunan
rumah secara vertikal beserta pengaturan KLB (koefisien lantai bangunan) dan
pembatasan pemanfaatan ruang bawah tanah perlu diperhatikan pada semua
ekoregion. Dataran banjir merupakan satu-satunya ekoregion yang tidak
disarankan untuk dijadikan zona permukiman, perdagangan maupun industri,
sedangkan pada dataran rawa pemakaiannya sangat dibatasi agar tidak merusak
ekosistem rawa.

Sementara itu, arahan RPPLH terkait dengan muatan “pemanfaatan dan/atau


pencadangan sumber daya alam” untuk kawasan tidak terbangun juga cukup
beragam sesuai dengan keragaman ekoregion. Namun pola secara umum yang
terlihat adalah bahwa pada daerah hulu (dataran fluvio-vulkanik) lebih
diprioritaskan pada aspek konservasi air tanah dan pemakaian air permukaan
melalui perawatan/pembangunan saluran irigasi, sedangkan untuk daerah hilir
(dataran pasut, beting-gisik & swale, dataran fluvio-marin) perlu memperhatikan
aspek pemanfaatan dan adaptasi/mitigasi terhadap banjir dan kekeringan. Dataran
banjir dan dataran rawa merupakan ekoregion yang tidak disarankan untuk
dijadikan sebagai zona pertanian.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 7
4.1.2 Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup Ekoregion Darat

Muatan terkait pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup di wilayah Provinsi DKI Jakarta menjadi arahan RPPLH
untuk zona kawasan lindung dan kawasan hijau budidaya serta dibuat sesuai dengan karakteristik ekoregion. Secara lebih rinci, arahan
pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup untuk masing-masing peruntukan pada setiap ekoregion adalah sebagai
berikut:

Tabel 4.3.

Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup”
untuk Zona Kawasan Lindung dan Kawasan Hijau Budidaya

ISU EKOREGION
POLA RUANG STRATEGIS
(RTRW) Dataran Pasang Dataran Beting-Gisik Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
RPPLH Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur & Swale Marin Vulkanik
 Zona Kerawanan  Rehabilitasi atau reboisasi vegetasi dan fauna yang sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
Kawasan perubahan  Pemilihan jenis vegetasi yang memiliki perakaran dan tajuk yang memiliki kapasitas pemanenan air hujan tinggi
Lindung iklim
 Pemilihan jenis vegetasi yang memiiki kemampuan menyerap polusi udara tinggi
 Zona
 Membuat sumur resapan guna meningkatkan resapan air
kawasan
hijau Pemanfaatan  Penanaman vegetasi yang sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
budidaya sumberdaya  Pemilihan jenis vegetasi yang memiliki perakaran dan tajuk yang memiliki kapasitas pemanenan air hujan tinggi
air yang
berlebih  Membuat sumur resapan guna meningkatkan resapan air
 Membatasi penggunaan hard material yang bersifat masif

Keterbatasan  Penanaman vegetasi pada lahan yang tersedia sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
ketersediaan  Penetapan zona kawasan hijau budidaya sebagai kawasan lindung sehingga dapat mengendalian alih fungsi lahan
lahan
 Penetapan ecoregion dataran banjir sebagai kawasan lindung

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 8
ISU EKOREGION
POLA RUANG STRATEGIS
(RTRW) Dataran Pasang Dataran Beting-Gisik Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
RPPLH Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur & Swale Marin Vulkanik
 Pemanfataan ruang pada zona Kawasan Lindung dan Zona Kawasan Hijau Budidaya untuk kepentingan wisata alam, pendidikan dan
penelitian serta interaksi social masyarakat
Keterbatasan  Penanaman vegetasi yang sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
sarana-  Untuk zona kawasan hijau budidaya: Membuat taman kota dengan vegetasi yang sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau
prasarana lingkungan
kota
 Pemanfataan ruang pada zona Kawasan Lindung dan Zona Kawasan Hijau Budidaya untuk kepentingan wisata alam, pendidikan dan
penelitian serta interaksi social masyarakat

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 9
Berdasarkan Tabel 4.3. di atas terlihat bahwa arahan RPPLH terkait muatan
Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup hampir
sama untuk setiap ekoregion. Untuk zona kawasan lindung arahan lebih kepada
tujuan konservasi dan rehabilitasi terhadap ekosistem yang perlu dipertahankan
atau yang telah mengalami kerusakan. Pola arahan ini lebih mementingkan kepada
rehabilitasi, baik flora dan fauna, yang sesuai dengan karakteristik bentuk lahan
(landforms) di setiap ekoregion. Bentuk lahan merupakan satuan-satuan kecil
lahan yang mempunyai sifat homogen dari ekoregion dan yang menyusun bentang
lahan (landscape) dari sisi lingkungan abiotik. Dengan melihat kesesuaian ini, maka
diharapkan dapat membangun kembali suatu habitat yang sangat diperlukan bagi
ekosistem, sehingga dapat mengembalikan fungsi lingkungan hidup.

Sementara, untuk zona kawasan hijau budidaya arahan lebih ditekankan kepada
tujuan mengurangi tingkat polusi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup
melalui tindakan konservasi atau rehabilitasi terhadap ekosistem yang ada atau
yang telah mengalami kerusakan. Dengan pola arahan ini diharapkan dapat
memelihara dan melindungi fungsi lingkungan hidup.

4.1.3 Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian Sumber Daya


Alam Ekoregion Darat

Arahan pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber


daya alam di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagian besar diperuntukkan bagi
pengembangan kawasan terbangun untuk kegiatan perkotaan seperti
permukiman; industri dan pergudangan; perdagangan dan jasa; serta perkantoran
maupun untuk pengembangan kawasan tidak terbangun, yaitu pertanian.

Secara lebih rinci, arahan pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan


pelestarian sumber daya alam untuk masing-masing peruntukan pada setiap
ekoregion adalah sebagai berikut:

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 10
Tabel 4.4.
Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian Sumber Daya Alam”

ISU EKOREGION
STRATEGIS Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir Dataran Fluvio-Vulkanik
RPPLH Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin
Kerawanan  Penyusunan Peraturan Zonasi yang berdasarkan daya  Penerapan system  Tidak disarankan  Penerapan system perijinan IMB
perubahan dukung lingkungan perijinan IMB untuk zona: sesuai ketentuan
iklim  Penerapan system perijinan IMB sesuai ketentuan permukiman sesuai a. permukiman  Pemantauan terhadap pemanfaatan
ketentuan ruang hijau dalam kavling bangunan
 Pemantauan terhadap pemanfaatan ruang hijau dalam b. industri dan
kavling bangunan dan bangunannya  Pemantauan terhadap pergudangan dan bangunannya
pemanfaatan ruang  Pembangunan titik-titik resapan air
 Penerapan perijinan pemanfaatan air tanah dan c. perkantoran,
hijau dalam kavling (misal : lubang biopori, sumur
membangun sistem pemantauan terhadap pemakaian perdagangan, dan
bangunan dan resapan)
air tanah jasa
bangunannya
 Tidak memberikan ijin pengambilan air tanah oleh d. pertanian  Membangun sistem pemantauan
 Menetapkan alokasi terhadap pemakaian air tanah
industry untuk proses produksi  Penetapan kawasan
untuk ruang terbuka
 Menjaga kapasitas tampung drainase permukiman biru (rawa) dan ruang sebagai kawasan
melalui sistem pembersihan dan/pengerukan terbuka hijau (vegetasi lindung dan dijadikan
rawa) hutan kota
 Membangun sistem pemantauan terhadap kualitas
tanggul  Tidak memberikan ijin
pengambilan air tanah
Pemanfaatan  Membangun sistem supply air minum dari Perusahaan Air Minum (PAM)  Membangun sistem supply air
sumberdaya  Membuat penampungan air hujan untuk keperluan non-air minum minum dari Perusahaan Air Minum
air yang (PAM)
berlebih  Membangun sistem pemantauan terhadap pemakaian air tanah
 Membangun sistem pemantauan
terhadap pemakaian air tanah
Keterbatasan  Pembatasan perkembangan kegiatan yang intensif  Pembatasan  Pengaturan peraturan zonasi antara
ketersediaan pemanfaatan sumber daya alam perkembangan kegiatan lain Koefisien Dasar Bangunan
lahan  Penyusunan Peraturan Zonasi yang berdasarkan daya perumahan (KDB) rendah dan Koefisien Dasar
dukung lingkungan Hijau (KDH) tinggi dan Pengaturan
Koef . Basement

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 11
ISU EKOREGION
STRATEGIS Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir Dataran Fluvio-Vulkanik
RPPLH Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin
 Penerapan system perijinan IMB sesuai ketentuan  Penyusunan Peraturan  Penerapan system perijinan IMB
 Pemantauan terhadap pemanfaatan ruang hijau dalam Zonasi yang sesuai ketentuan
kavling bangunan berdasarkan daya  Pemantauan terhadap pemanfaatan
dukung lingkungan ruang hijau dalam kavling bangunan
 Penerapan system
perijinan IMB sesuai
ketentuan
Keterbatasan  Membangun sistem drainase, tanggul banjir, instalasi pengolahan air limbah (IPAL), sistem pengelolaan sampah dan transportasi
sarana-  Membuat sistem transpotasi publik yang efisien
prasarana
Catatan: perlu dilakukan pemantauan pencemaran secara periodik
kota

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 12
Berdasarkan Tabel 4.4. di atas terlihat pula bahwa arahan RPPLH untuk pengendalian,
pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam cukup beragam sesuai
dengan keragaman ekoregion. Berikut adalah ringkasannya:

1. Pada daerah hulu (dataran fluvio-vulkanik), arahan pengendalian, pemantauan, serta


pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam berupa:
 Pembangunan sistem konservasi/resapan air,
 Prioritas pemakaian air permukaan (atau air PAM),
 Pemantauan peraturan dimensi bangunan (KDB, KDH), dan
 Penegakkan sistem penanganan limbah cair dan sampah.
2. Pada daerah hilir (dataran pasang surut berlumpur, dataran beting-gisik dan lembah antar
gisik, dataran fluvio-marin dan dataran rawa) arahan lebih menitikberatkan kepada:
 adaptasi terhadap dinamika elevasi permukaan air (banjir, rob),
 konservasi air tanah, pengelolaan limbah dan sampah,
 pengaturan dimensi bangunan, serta
3. Dataran banjir merupakan satu-satunya ekoregion yang tidak disarankan untuk dijadikan
zona permukiman, zona industri dan pergudangan, zona perkantoran, perdagangan, dan
jasa,
4. Dataran rawa perlu dibuat menjadi zona ruang terbuka biru dan hijau untuk pelestarian
ekosistem rawa.

Selain itu, arahan RPPLH untuk pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam juga mengarahkan perlunya membangun sistem pemantauan dan
pengendalian terhadap pemakaian air tanah terutama di di daerah hulu (dataran fluvio-vulkanik)
sedangkan di daerah hilir (dataran pasut, beting-gisik & swale, dataran fluvio-marin),
membangun sistem pemantauan dan pengendalian ancaman banjir dan kekeringan, serta
membangun sistem pemantauan dan pengendalian terhadap pemanfaatan lahan. Adapun untuk
penegakan hukum terhadap larangan konversi lahan dan pemberian insentif bagi yang orang
mempertahankan lahan pertanian berlaku di semua ekoregion; begitu pula untuk pemenuhan
kebutuhan sarana-prasarana pertanian. Dataran banjir dan dataran rawa merupakan ekoregion
yang tidak disarankan untuk dijadikan zona pertanian meskipun pelestarian ikan rawa perlu
digalakkan.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 13
4.2. Arahan RPPLH berdasarkan Ekoregion Laut

Arahan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Ekoregion Laut
Provinsi DKI Jakarta terdapat isu strategis RPPLH wilayah laut yaitu:
a. Kerawanan Perubahan Iklim;
b. Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang berlebih;
c. Keterbatasan Ketersediaan Lahan;
d. Keterbatasan Sarana dan Prasarana;
e. Pencemaran; dan
f. Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal.

Gugusan Kepulauan Seribu merupakan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Merujuk dari
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui melalui
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), yang bersifat spasial.
Dijelaskan dalam Pasal 1 UU No 27 Tahun 2007 bahwa Rencana Zonasi adalah rencana
yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai
dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat
kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan lain yang hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin.

Dalam ekoregion laut, isu strategis RPPLH dibedakan berdasarkan dari pembagian alokasi
menurut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang menurut Pasal 10 dan
Pasal 11 UU No. 27 Tahun 2007, pengalokasian ruang dalam RZWP3K terbagi untuk
Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional
Tertentu, dan Alur Laut. Dari penjelasan pasal ini, disebutkan bahwa Kawasan
Pemanfaatan Umum disetarakan dengan Kawasan Budidaya dalam RTRW dan Kawasan
Konservasi dengan Kawasan Lindung. Adapun alur laut merupakan perairan yang
dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut,
sedangkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu ditetapkan dengan memperhatikan
beberapa kriteria seperti batas maritim kedaulatan negara dan situs warisan dunia.
Sementara seperti yang disebutkan di atas, untuk wilayah perairan, RZWP3K berposisi
sebagai dokumen pengelolaan tersendiri yang memuat alokasi detail dari kawasan laut
sesuai kebutuhan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 14
4.2.1. Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam Ekoregion Laut

Arahan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumberdaya alam ekoregion laut akan


berkaitan dengan isu-isu strategis adalah sebagai berikut:

a. Kerawanan Terhadap Perubahan Iklim


Secara umum, semua ekoregion dapat dimanfaatkan, namun perlu
mempertimbangkan emisi GRK yang dihasilkan dari kegiatan pemanfaaatan
tersebut. Selain itu perlu pula mengadopsi penggunaan teknologi zero waste.

Arahan untuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim cukup beragam
sesuai dengan lokasi ekoregion lautnya. Namun pola yang tampak secara umum
adalah pada ekoregion laut 6.3.1. sebagai zona non aktivitas dengan ditanaminya
tanaman mangrove sebagai buffer untuk mitigasi bencana sebagai benteng alam,
dan penguatan pembangunan infrastruktur dikhususkan di ekoregion laut 6.3.2.,
6.3.3., 6.3.4. dan 6.2.2. yang merupakan area dengan karakteristik pulau
berpenghuni. Bahkan lebih dari sekedar pembangunan fisik sebagai bagian dari
infrastruktur mitigasi bencana, juga diterapkan jalur evakuasi, munster place dan
early warning system apabila suatu waktu terjadi bencana alam.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 15
Tabel 4.5.
Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut Berdasar Region (Spasial) Laut DKI Jakarta terkait dengan Isu Kerawanan terhadap Perubahan Iklim

EKOREGION
Alokasi RZWP3K
E.L. 6.3.1 E.L. 6.3.2 E.L. 6.3.3 E.L. 6.3.4 E.L. 6.2.2
Kawasan  Lahan hijauan  Peningkatan kesadaran  Penanaman mangrove  Penanaman mangrove dan  Penanaman
Pemanfaatan tanaman mangrove masyarakat dalam : dan rahabilitasi rahabilitasi terumbu karang mangrove di
Umum: sebagai daerah buffer Rehabilitasi mangrove, terumbu karang di dan lamun di sekitar pulau sekitar pulau
dan banteng alam Rehabilitasi lamun dan sekitar pulau  Pembangunan infrastruktur  Pembangunan
untuk mencegah Rehablitiasi karang;  Pembangunan penghalau ombak; infrastruktur
Semua ekoregion
badai dan banjir rob;  Pelatihan dan bina infrastruktur penghalau
dapat dimanfaatkan,  Pembuatan jalur evakuasi
namun harus  Area konservasi yang kesadaran terhadap penghalau ombak; bencana; ombak;
memperhatikan diperuntukkan masyarakat di EL 6.3.2.  Pembuatan jalur  Pembuatan jalur
 Pembuatan munster place
emisi GRK yang sebagai ekoturisme dalam siaga terhadap evakuasi bencana; evakuasi bencana;
(tempat berkumpul bersama)
dihasilkan dari dan laboratorium bencana akibat perubahan
 Pembuatan munster untuk wisatawan dan  Pembuatan
kegiatan, alam untuk penelitian; iklim;
place (tempat masyarakat; munster place
pemanfaatan  Membangun  Terdapatnya zona berkumpul bersama)  Pembuatan shelter bencana (tempat
tersebut dan harus kesadaran masyarakat evakuasi disetiap pulau untuk wisatawan dan berkumpul
mengadopsi pesisir untuk tanggap yang berpenghuni;  Pelatihan dan pembuatan pos
masyarakat; bersama) untuk
teknologi zerowaste bencana badai dan sebagai bentuk masyarakat
 Terdapat early warning  Pembuatan shelter masyarakat;
banjir rob; tanggap bencana.
systems sebagai alarm bencana  Pembuatan
 Sebagai daerah no tanggap bencana;  Terdapat early warning
 Pelatihan dan shelter bencana
take zone, yang systems sebagai alarm
 Penguatan pembangunan pembuatan pos  Terdapat early
artinya tidak tanggap bencana
dan pengembangan sebagai bentuk warning systems
dipernakan sebagai infrastruktur terhadap  Pelatihan dan percontohan
masyarakat tanggap sebagai alarm
peruntukkan bencana, seperti tanggul rumah tanggap bencana
bencana. tanggap bencana
budidaya dikarenakan ataupun talud di sekitar banjir rob dengan konsep
merupakan zona  Terdapat early warning rumah panggung
pulau.
hyper euthrification. systems sebagai alarm
tanggap bencana

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 16
EKOREGION
Alokasi RZWP3K
E.L. 6.3.1 E.L. 6.3.2 E.L. 6.3.3 E.L. 6.3.4 E.L. 6.2.2
Kawasan Konservasi  Area mangrove  Penguatan sektor  Penguatan sektor  Penguatan sektor  Penguatan
Kawasan sebagai nursery kelembagaan masyarakat kelembagaan kelembagaan masyarakat kapasitas
grounds dan spawning penjaga tiga potensial masyarakat wisata wisata penjaga tiga potensial masyarakat
Hanya pada zona
grounds dan ekosistem perairan, yaitu penjaga tiga potensial ekosistem perairan, yaitu penjaga
pemanfaatan
penetapan closed area mangrove, lamun dan ekosistem perairan, mangrove, lamun dan mangrove;
kawasan konservasi
 Pemantauan kondisi terumbu karang; yaitu mangrove, lamun terumbu karang;  Tidak
di Semua ekoregion
ekosistem secara  Aturan lokal pulau atau dan terumbu karang;  Pro terhadap konsep wisata diperbolehkannya
yang dapat
dimanfaatkan secara periodik berbasis perdesa mengenai tidak  Pro terhadap konsep berbasis kelanjutan penggunaan alat
terbatas, dan masyarakat melalui diperbolehkannya wisata berbasis ekosistem; tangkap yang
kawasan konservasi jaringan komunitas kegiatan mengebom kelanjutan ekosistem;  Terdapatnya marine sanctuary merusak terumbu
harus mendukung konservasi karang, menggunakan  Terdapatnya marine yang merupakan zona no karang
penurunan emisi masyarakat kepulauan potas dalam menangkap sanctuary yang take zone untuk aktivitas
GRK ikan dan mengambil merupakan zona no manusia, dianjurkan 10 persen
karang untuk pondasi take zone untuk luasan pesisir yang di
rumah aktivitas manusia, dalamnya terdapat terumbu
 Adanya solusi alternative dianjurkan 10 persen karang untuk no take zone
dalam pemanfaatan pasir luasan pesisir yang di area;
laut dan batu karang dalamnya terdapat  Penguatan basis eko turisme
sebagai material terumbu karang untuk berbasis ekologi;
bangunan fisik. no take zone area;
 Pengaturan daya tampung
 Penguatan basis eko wisatawan berdasar status
turisme berbasis kritis kawasan
ekologi;
 Pelarangan destructive fishing
 Pengaturan
 Ekowisata berbasis spot
pembangungan
fishing dan diving
infrastruktur terhadap
cottage private
 Pelarangan destructive
fishing

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 17
EKOREGION
Alokasi RZWP3K
E.L. 6.3.1 E.L. 6.3.2 E.L. 6.3.3 E.L. 6.3.4 E.L. 6.2.2
Kawasan Strategis  Penetapan area 6.3.1.  Terdapatnya
Nasional Tertentu sebagai wilayah mercuar dan pos
Semua ekoregiondi sejarah dan LANAL sebagai
kawasan ini laboratorium alam border terluar
diarahkan untuk untuk kajian pesisir wilayah perairan
mendukung dan kelautan; DKI
pencegahan  Zona basis biru yang
terjadinya memfilter aktivitas
perubahan iklim daratan dan laut
Kawasan Alur  Pemantauan kondisi  Terdapatnya zonasi  Pusat pengembangan  Pusat pengembangan  Pusat
Kawasan alur di ekosistem secara wilayah perarian pulau penelitian rehabilatasi penelitian rehabilatasi pengembangan
semua ekoregion periodik mengenai yang merupakan zonasi karang, lamun dan karang, lamun dan mangrove; penelitian
tidak boleh pendataan alur migrasi ikan mangrove;  Terdapatnya zonasi wilayah rehabilatasi
dimanfaatkan untuk transportasi kapal  Terdapatnya zonasi perarian pulau yang karang, lamun dan
kegiatan lain dan yang melewati wilayah perarian pulau merupakan zonasi alur mangrove;
harus mendukung wilayah pesisir teluk yang merupakan migrasi ikan  Terdapatnya
emisi GRK yang Jakarta zonasi alur migrasi zonasi wilayah
minimal ikan perarian pulau
yang merupakan
zonasi alur
migrasi ikan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 18
b. Pemanfataan Sumberdaya yang Berlebih

Arahan untuk pemanfaatan sumber daya alam pesisir, kepulauan dan perikanan
lebih difokuskan pada wilayah ekoregion laut 6.3.2., 6.3.3. dan 6.3.4. yang
merupakan area fishing ground dengan ekosistem terumbu karang. Adanya aturan
mengenai jenis alat tangkap yang ramah lingkungan, membuat bank ikan dari
terumbu karang sebagai pencadangan sumber daya perikanan dan juga mengelola
sumberdaya perikanan dan pesisir di dalamnya termasuk buangan sampah maupun
limbah domestik dari rumah tangga.

Sementara, aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan


berbasis masyarakat pun di arahkan di dalam ketiga ekoregion laut tersebut. Pada
ketiga ekoregion ini sangat dianjurkan pengelolaan lingkungan yang
mengedepankan keberlanjutan, lebih lebih zona tersebut sebagai zona pariwisata
berbasis masyarakat dan privat. Di dalam ekoregion laut 6.3.4. terdapat zona inti
dari TN Kepulauan Seribu. Untuk ekoregion laut 6.3.1. merupakan zona no take zone
untuk pemanfaatan perikanan. Zona ini merupakan zona yang mempunyai kadar
pencemaran tertinggi, dikarenakan letaknya sebagai muara di Teluk Jakarta.
Sedangkan untuk ekoregion laut 6.2.2. merupakan zona terjauh dari daratan Jakarta
dan merupakan region laut dalam. Sehingga pada zona tersebut diarahkan pola
pemanfaatan perikanan yang berbasis masyarakat dan mempunyai aturan
keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan di wilayah tersebut.

Arahan pemanfataan dan/atau pencadangan terkait dengan isu strategis


pemanfaatan sumberdaya yang berlebih dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 19
Tabel 4.6.
Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut DKI Jakarta terkait dengan Isu Strategis Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir, Kepulauan dan Perikanan
EKOREGION
Alokasi RZWP3K
EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan  Merupakan zona no  Pemanfaatan  Pemanfaatan sumber daya  Pemanfaatan sumber  Pemanfaatan sumber
Pemanfaatan take zone untuk sumber daya ikan ikan berdasarkan MSY/ daya ikan berdasarkan daya ikan berdasarkan
Umum perikanan tangkap berdasarkan MSY/ MEY MSY/ MEY MSY/ MEY
Semua sumberdaya dan budidaya MEY  Pengaturan jenis dan  Pengaturan jenis dan  Pengaturan jenis dan
ikan dan  Sebagai zona  Pengaturan jenis dan ukuran alat tangkap serta ukuran alat tangkap serta ukuran alat tangkap
sumberdaya pemnafaatan wisata ukuran alat tangkap jalur penangkapan ikan jalur penangkapan ikan serta jalur penangkapan
lainnya di edukasi di Pulau Kelor serta jalur  Pengaturan perijinan  Pengaturan perijinan ikan
ekoregion ini dapat dan Pulau Onrust penangkapan ikan penangkapan ikan penangkapan ikan  Pengaturan perijinan
dimanfaatkan  Pengaturan perijinan penangkapan ikan
secara lestari  Pengaturan perijinan lokasi  Terdapatnya bank ikan
penangkapan ikan bagan tancap seperti mangrove  Terdapatnya bank ikan
dengan didasarkan
pada MSY dan MEY  Pengaturan perijinan  Terdapatnya bank ikan maupun terumbu karang seperti mangrove
lokasi bagan tancap seperti mangrove maupun yang tidak boleh dirusak maupun terumbu karang
 Terdapatnya bank terumbu karang yang tidak  Aturan tata ruang desa yang tidak boleh dirusak
ikan seperti boleh dirusak berkaitan dengan
mangrove maupun  Aturan tata ruang desa pembatasan bangunan
terumbu karang berkaitan dengan infrastruktur wisata;
yang tidak boleh pembatasan bangunan  Efektivitas dan Efiensi
dirusak infrastruktur wisata; terhadap incerator
 Efektivitas dan Efiensi sampah
terhadap incerator sampah
Kawasan  Identifikasi dan  Adanya TURF  Adanya TURF sebagai lokasi  Adanya TURF sebagai  Peningkatan peran
Konservasi penetapan closed sebagai lokasi konservasi masyarakat lokasi konservasi swasta dalam
Zona pada area sebagai nursery konservasi yang ramah lingkungan; masyarakat yang ramah optomalisasi
kawasan grounds dan masyarakat yang  Pelarangan adanya lingkungan; pemanfaatan
konservasi yang spawning grounds ramah lingkungan; penggunaan alat tangkap sumberdaya pesisir dan
boleh perikanan yang merusak pulau-pulau kecil
dimanfaatkan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 20
EKOREGION
Alokasi RZWP3K
EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
hanya pada zona  peningkatan  Pelarangan adanya  Penguatan aturan wisata  Pelarangan adanya  Aturan pola tangkap
pemanfaatan, pemahaman dan penggunaan alat berbasis ekologis penggunaan alat tangkap terhadap sumberdaya
sedangkan zona kepedulian tangkap bubu yang perikanan yang merusak perikanan dan nelayan
inti tidak boleh masyarakat pengguna merusak karang  Penguatan aturan wisata luar; dan
diganggu wisata di EL 6.3.1.  Pemantauan kondisi berbasis ekologis  Pengutan TURF dan
(terganggu) oleh  Pemantauan kondisi ekosistem secara zonasi perikanan
kegiatan apapun. ekosistem secara periodik mayarakat
periodik

Kawasan Strategis Semua kawasan Strategis Nasional yang boleh dimanfaatkan secara lestari, dan harus betul-betul menjaga agar tidak terjadi pemanfaatan yang
Nasional Tertentu berlebih
Kawasan Alur Semua kawasan alur tidak boleh digunakan untuk kegiatan selain alur dan tidak boleh mengganggu kegiatan alur dan harus mendukung agar tidak
terjadi pemanfaatan yang berlebih

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 21
c. Keterbatasan Ketersediaan Lahan

Arahan untuk terkait dengan muatan pemanfaatan sumber daya alam pesisir,
kepulauan dan perikanan difokuskan pada wilayah ekoregion laut 6.3.2., 6.3.3.,
6.3.4. dan 6.2.2. yang merupakan area wilayah berpenghuni sehingga aktifitas
manusia relatif tinggi terutama kebutuhan lahan akan pemukiman dan kegiatan
ekonomi lainnya seperti adanya pengembangan pariwisata kepulauan. Pada arahan
ini, difokuskan untuk mengatur mengenai adanya pembentukan tata ruang daerah
berkembang berbasis desa/kelurahan setempat. Kebutuhan lahan masyarakat di
pulau sangat vital, artinya ketersediaan lahan menjadikan ruang atau tempat untuk
penampung hasil dari kegiatan masyrakat seperti lahan untuk TPA. Sedangkan
untuk ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah yang diarahkan sebagai daerah yang
tidak boleh terdepat pembangunan, dikarenakan kondisi daya dukung
lingkungannya sudah tidak mencukupi guna mendukung kapasitas aktivitas
manusia. Di wilayah ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah wisata dan hutan
lindung.

Pada dasarnya, semua ekoregion mempunyai keterbatasan wilayah nursery ground,


feeding ground, dan spawning ground serta fishing ground (terutama bagi nelayan
tradisional) sehingga pemanfaatan sumberdaya harus benar-benar memperhatikan
prinsip pengelolaan lestari dan berdasarkan pada perhitungan MSY dan MEY. Di lain
pihak, semua ekoregion mempunyai keterbatasan dalam menyediakan lahan
konservasi yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya perairan laut. Adanya
permasalahan keterbatasan lahan di ekoregion laut ini menjadikan kawasan ini akan
mengalami hambatan pengembangan untuk kawasan strategis nasional.

Demikian pula untuk pengembangan kawasan alur. Semua ekoregion mempunyai


kawasan alur baik yang sudah ditentukan maupun yang belum ditentukan, namun di
kawasan ekoregion laut 6.3.1 lahannya amat sangat terbatas sehingga rawan
menimbulkan berbagai konflik kepentingan, yang berujung pada terganggunya
lingkungan dan sumber daya hayati laut.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 22
Tabel 4.7.
Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait dengan Isu Keterbatasan Lahan
Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan  Pengaturan area tidak  Pengaturan dan pengelolaan  Adanya aturan tingkat  Adanya aturan tingkat  Mengadopsi sistem rumah
Pemanfaatan boleh ada pembangungan kolam budidaya kerapu desa (di dalam desa (di dalam susun untuk pemukiman
Umum atau penambahan  Pengaturan lokasi bagan RPMJDes) tentang RPMJDes) tentang  Mengadopsi sistem rumah
bangunan fisik apung alokasi pembangunan alokasi pembangunan susun untuk pemukiman
 Merupakan area sebagai terbatas; terbatas;
 Adanya aturan tingkat desa
buffer dan sabuk hijau (di dalam RPMJDes) tentang  Mengadopsi sistem  Mengadopsi sistem
pesisir Jakarta alokasi pembangunan rumah susun untuk rumah susun untuk
terbatas; pemukiman pemukiman
 Mengadopsi sistem rumah  Mengadopsi sistem  Mengadopsi sistem
susun untuk pemukiman rumah susun untuk rumah susun untuk
wisatawan wisatwan
Kawasan  Perluasan lahan konservasi  Perluasan lahan konservasi  Perluasan lahan  Perluasan lahan  Perluasan lahan konservasi
Konservasi mangrove sebagai buffer mangrove sebagai buffer konservasi mangrove konservasi mangrove mangrove sebagai buffer
dan pollutan trap, serta dan pollutan trap, serta sebagai buffer dan sebagai buffer dan dan pollutan trap, serta
penjaga erosi dan badai. penjaga erosi dan badai. pollutan trap, serta pollutan trap, serta penjaga erosi dan badai.
 Terdapatnya lahan hijau di  Terdapatnya kawasan hijau penjaga erosi dan penjaga erosi dan  Terdapatnya kawasan hijau
setiap pulau disetiap pulau badai. badai. disetiap pulau
 Penanaman mangrove  Terdapatnya kawasan  Terdapatnya kawasan  Penanaman mangrove
tersier untuk menyimpan hijau disetiap pulau hijau disetiap pulau tersier untuk menyimpan
kondisi air tawar  Penanaman mangrove  Penanaman mangrove kondisi air tawar
tersier untuk tersier untuk
menyimpan kondisi air menyimpan kondisi air
tawar tawar
Kawasan Alur  Adanya sistem  Terdapatnya area khusus  Terdapatnya area  Terdapatnya area  Terdapatnya area khusus
pembangunan terpadu untuk jalur pelayaran yang khusus untuk jalur khusus untuk jalur untuk jalur pelayaran dan
sebagai basis kawasan alur bebas dari resiko mencemari pelayaran yang bebas pelayaran yang bebas pipa minyak yang bebas
tanpa merubah wajah masyarakat dan alam dari resiko mencemari dari resiko mencemari dari resiko mencemari
ekologisnya masyarakat dan alam masyarakat dan alam masyarakat dan alam

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 23
d. Keterbatasan sarana dan prasarana kota

Semua ekoregion yang digunakan untuk pemanfaatan umum, mempunyai


keterbatasan sarana dan prasarana. Ketersediaan sarana dan prasarana paling
lengkap adalah di ekoregion ekoregion laut 6.3.1.

Untuk menjamin kualitas kehidupan masyarakat menjadi layak diperlukan


penyediaan sarana dan prasarana dasar. Penyediaan ini diharapkan juga dapat
mencegah terjadinya kerusakan alam karena faktor manusia. Namun penyediaan
sarana dan prasarana tersebut tidak boleh justru sampai mengakibatkan
terganggunya kelestarian lingkungan dan sumberdaya yang ada di dalamnya.

Demikian pula yang terjadi di kawasan konservasi yang ada di ekoregion ekoregion
laut 6.3.1 dan 6.3.4. Penyediaan sarana-prasarana tersebut tidak boleh sampai
mengganggu kelestarian lingkungan dan kelestarian sumberdaya hayati laut

Sarana dan prasarana untuk mendukung kawasan alur juga masih terbatas. Semua
ekoregion di wilayah DKI Jakarta mempunyai kawasan alur. Adanya keterbatasan
sarana dan prasarana tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya konflik
kepentingan, yang dapat mengakibatkan terganggunya lingkungan dan sumber
daya hayati laut.

Arahan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam terkait dengan isu
keterbatasan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 24
Tabel 4.8.
Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait dengan Isu Keterbatasan Sarana dan Prasarana Kota

Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan  Peningkatan kapasitas  Peningkatan kapasitas  Peningkatan kapasitas  Peningkatan kapasitas  Peningkatan kapasitas
Pemanfaatan pemantauan kondisi pesisir pengolahan sampah; pengolahan sampah; pengolahan sampah; pengolahan sampah;
Umum sebagai border antara  Terdapatnya  Terdapatnya penampungan  Terdapatnya  Terdapatnya
ekosistem daratan dan penampungan air hujan air hujan sebagai cadangan penampungan air hujan penampungan air hujan
pesisir; sebagai cadangan air tawar air tawar sebagai cadangan air tawar sebagai cadangan air
 Terdapatnya  Terdapatnya akses lintas  Terdapatnya akses lintas  Terdapatnya akses lintas tawar
penampungan air hujan pulau regular yang pulau regular yang pulau regular yang  Terdapatnya akses lintas
sebagai cadangan air tawar menghubungkan akses menghubungkan akses menghubungkan akses pulau regular yang
 Perlu ditertibkan masalah aktivitas dan ekonomi aktivitas dan ekonomi aktivitas dan ekonomi menghubungkan akses
sampah wisatwan masyarakat masyarakat masyarakat aktivitas dan ekonomi
 Adanya sinergisitas area  Terdapatnya lembaga  Terdapatnya lembaga masyarakat
ekoregion 6.3.2. sebagai pengelola wisata berbasis pengelola wisata berbasis  Terdapatnya lembaga
penyuplai ikan kepada masyarakat masyarakat pengelola wisata
wisatawan yang  Penguatan jaringan antar  Penguatan jaringan antar berbasis masyarakat
berkunjung pulau yang bergerak di pulau yang bergerak di  Penguatan jaringan
 Terdapatnya distribusi konservasi konservasi antar pulau yang
pemasaran bibit mangrove  Penguatan aturan tatakelola  Penguatan aturan bergerak di konservasi
hasil dari budidaya Pulau berbasis masyarakat yang tatakelola berbasis  Penguatan aturan
Lancang ke Pulau lainnya. konsen terhadap konservasi masyarakat yang konsen tatakelola berbasis
dan keberlanjutan ekonomi terhadap konservasi dan masyarakat yang konsen
masyarakat keberlanjutan ekonomi terhadap konservasi dan
masyarakat keberlanjutan ekonomi
masyarakat
Kawasan  Adanya wadah  Adanya wadah  Adanya wadah kelembagaan  Adanya wadah  Adanya wadah
Konservasi kelembagaan masyarakat kelembagaan masyarakat masyarakat konservasi kelembagaan masyarakat kelembagaan
konservasi konservasi seperti  Penguatan komunitas konservasi masyarakat konservasi
 Sebagai laboratorium masyarakat penjaga pantai jaringan komunikasi antar
penelitian ekologi pulau tentang konservasi

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 25
Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
 Penguatan komunitas  Terbentuknya perdes  Penguatan komunitas  Penguatan komunitas
jaringan komunikasi antar konservasi terhadap aturan jaringan komunikasi antar jaringan komunikasi
pulau tentang konservasi wisata, pemanfaatan ikan pulau tentang konservasi antar pulau tentang
 Terbentuknya perdes dan hak siapa saja yang  Terbentuknya perdes konservasi
konservasi terhadap boleh mengakses kawasan konservasi terhadap aturan  Terbentuknya perdes
aturan wisata, konservasi berbasis wisata, pemanfaatan ikan konservasi terhadap
pemanfaatan ikan dan hak masyarakat dan hak siapa saja yang aturan wisata,
siapa saja yang boleh boleh mengakses kawasan pemanfaatan ikan dan
mengakses kawasan konservasi berbasis hak siapa saja yang
konservasi berbasis masyarakat boleh mengakses
masyarakat  Terdapat wadah kolaborasi kawasan konservasi
antara TNKPS dengan berbasis masyarakat
masyarakat di EL 6.3.4.  Terdapatnya CSR
 Terdapatnya lembaga investor swasta
fasilitator CSR investor pariwisata ekonomi
swasta pariwisata ekonomi masyarakat dan ekologi
masyarakat dan ekologi bagi lingkungan dan
bagi lingkungan dan masyarakat
masyarakat  Terdapatnya lembaga
fasilitator CSR CNOOC
ekonomi masyarakat
dan ekologi bagi
lingkungan dan
masyarakat
Kawasan Alur  Terdapatnya area khusus di  Pemantauan kondisi  Pemantauan kondisi  Pemantauan kondisi  Pemantauan kondisi
pesisir Jakarta untuk alur ekosistem secara periodik ekosistem secara periodik ekosistem secara periodik ekosistem secara
pelayaran periodik
 Tidak diperbolehkan
nelayan meng-”andong”
kapal di EL 6.3.1.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 26
Berdasarkan Tabel 4.8. di atas, terlihat bahwa arahan untuk terkait dengan
keterbatasan sarana dan prasarana difokuskan pada wilayah ekoregion laut 6.3.2.,
6.3.3., 6.3.4. dan 6.2.2. yang merupakan area wilayah berpenghuni sehingga aktifitas
manusia relatif tinggi terutama kebutuhan lahan akan pemukiman dan kegiatan
ekonomi lainnya seperti adanya pengembangan pariwisata kepulauan. Pada arahan
ini, difokuskan untuk mengatur mengenai adanya pembentukan kelembagaan yang
mengelola tentang sumberdaya alam pesisir, perikanan dan kepulauan guna
menopang kebutuhan hidup masyarakat yang terdapat di kepulauan tersebut.
Sarana dan prasarana tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang
kebutuhan ekonomi, usaha dan juga kelestarian lingkungan sekitarnya. Sinergisitas
dengan lembaga pengelola konservasi dibutuhkan untuk menumbuh kembangkan
kesadaran akan pentingnya menjaga alam berkaitan dengan sumberdaya pesisir,
perikanan dan kepulauan. Sedangkan untuk ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah
yang diarahkan sebagai daerah yang tidak boleh terdepat pembangunan,
dikarenakan kondisi daya dukung lingkungannya sudah tidak mencukupi guna
mendukung kapasitas aktivitas manusia. Di wilayah ekoregion laut 6.3.1. merupakan
daerah wisata dan hutan lindung yang digunakan sebagai area pemantauan dan
perlindungan sumber daya alam juga digunakan sebagai laboratorium alam
khususnya untuk penelitian penelitian mengenai pencemaran.

e. Pencemaran
Semua kawasan pemanfaatan umum rawan terjadi pencemaran akibat kegiatan
antropogenik, terutama ekoregion laut 6.3.1 (paling rawan) oleh kegiatan di darat
dari hulu hingga hilir, diikuti oleh ekoregion laut 6.2.2 oleh kegiatan penambangan
minyak dan alur kapal, dan ekoregion laut 6.3.4 oleh kegiatan wisata, sehingga
harus dilakukan pengelolaan terhadap bahan pencemar dari kegiatan antropogenik.
Demikian pula, pencemaran juga berpotensi terjadi di semua kawasan konservasi
laut. Walaupun merupakan kawasan yang dilindungi, namun tetap berpotensi
mengalami pencemaran akibat kegiatan antropogenik yang dilakukan di luar
kawasan. Potensi paling besar terjadi pada kawasan konservasi mangrove di
ekoregion laut 6.3.1 dengan pencemaran dari darat, sedang di ekoregion laut 6.3.4
oleh kegiatan wisata, kegiatan penambangan minyak dan alur kapal. Di kawasan
alur, pencemaran dapat mengakibatkan terganggunya kelestarian sumberdaya
hayati.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 27
Arahan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam terkait dengan isu pencemaran di ekoregion laut adalah sebagai berikut:

Tabel 4.9.
Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pencemaran

Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan  Sebagai daerah  Terdapatnya jaring atau  Terdapatnya jaring atau  Terdapatnya jaring atau  Terdapatnya jaring atau
Pemanfaatan absorbs pengikatan bangunan penghalau bangunan penghalau sampah bangunan penghalau sampah bangunan penghalau sampah
Umum logam berat melalui sampah kiriman dari kiriman dari daratan Jakarta kiriman dari daratan Jakarta kiriman dari daratan Jakarta
penanaman kerang daratan Jakarta  Tidak diperkenakannya  Tidak diperkenakannya  Tidak diperkenakannya
hijau sebagai biofilter  Tidak diperkenakannya penggunaan bahan kimia penggunaan bahan kimia penggunaan bahan kimia
 peningkatan penggunaan bahan dalam menangkap ikan dalam menangkap ikan dalam menangkap ikan
pemahaman dan kimia dalam menangkap  Peningkatan kesadaran  Peningkatan kesadaran  Peningkatan kesadaran
kepedulian ikan masyarakat dalam hal masyarakat dalam hal masyarakat dalam hal
masyarakat terhadap  Peningkatan kesadaran pencemaran sampah pencemaran sampah pencemaran sampah
pencermaran sampah masyarakat dalam hal  Terdapatnya satgas yang  Terdapatnya satgas yang  Terdapatnya satgas yang
 Sebagai area pencemaran sampah mengurusi sampah disetiap mengurusi sampah disetiap mengurusi sampah disetiap
mangrove untuk trap  Terdapatnya satgas pulau berpenghuni pulau berpenghuni pulau berpenghuni
pollution yang mengurusi sampah  Adanya aturan bersama yang  Adanya aturan bersama yang  Adanya aturan bersama yang
disetiap pulau diakomodasi melalui perdes diakomodasi melalui perdes diakomodasi melalui perdes
berpenghuni untuk program wisatawan untuk program wisatawan untuk program wisatawan
bebas mencemar, beserta bebas mencemar, beserta bebas mencemar, beserta
sanksi hukum bagi yang sanksi hukum bagi yang sanksi hukum bagi yang
melanggar melanggar melanggar
Kawasan  Di dalam kawasan  Tidak boleh  Tersedianya demplot  Tersedianya demplot buangan  Tidak boleh menggunakan
Konservasi cagar budaya tidak menggunakan bahan buangan limbah domestik, limbah domestik, sehingga bahan kimia dalam
diperkenakan untuk kimia dalam sehingga tidak bermuara ke tidak bermuara ke laut pembudidayaan ikan
mencemari lingkung, pembudidayaan ikan laut  Aturan perdes yang melarang  Terdapat aturan control
diakomodir melalui  Terdapat aturan control  Aturan perdes yang melarang perusakan habitat terumbu penggunaan pellet untuk
aturan wisata di Pulau penggunaan pellet perusakan habitat terumbu karang, padang lamun, budidaya
Onrust dan Kelor untuk budidaya karang, padang lamun, pengambilan pasir laut secara

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 28
Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
 Dilarang untuk  Tersedianya demplot pengambilan pasir laut massif dan penebangan pohon  Tersedianya demplot
menebang pohon buangan limah secara massif dan mangrove buangan limah domestic,
mangrove domestic, sehingga penebangan pohon  Aturan perdes, setiap cottage sehingga tidak bermuara ke
 Dilarang membuang tidak bermuara ke laut mangrove atau homestay wajib laut
sampah ke badan air  Aturan perdes yang  Aturan perdes, setiap cottage menyediakan dan mengelola  Aturan perdes yang melarang
yang bermuara ke melarang perusakan atau homestay wajib sampah dari wistawan yang perusakan habitat terumbu
laut habitat terumbu karang, menyediakan dan mengelola menginap karang, padang lamun,
padang lamun, sampah dari wistawan yang  Ada aturan wisatawan diving pengambilan pasir laut
pengambilan pasir laut menginap tidak merusak karang secara massif dan
secara massif dan  Ada aturan wisatawan diving penebangan pohon
 Adanya peran serta dan
penebangan pohon tidak merusak karang mangrove
control bagi pemandu wisata
mangrove  Terdapat aturan perdes
 Adanya peran serta dan untuk membina wisatwan
 Terdapat aturan perdes control bagi pemandu wisata diving untuk menjaga TURF atau
untuk menjaga TURF untuk membina wisatwan marine sanctuary
 Tidak dipernakan perahu atau
atau marine sanctuary diving  Terdapatnya lembaga
kapal bertambat di daerah
 Tidak dipernakan perahu karang fasilitator CSR CNOOC
atau kapal bertambat di ekonomi masyarakat dan
 Khusus untuk PT Fega Kultura
daerah karang ekologi bagi lingkungan dan
wajib adanya penggunaan
masyarakat
control pellet untuk kegiatan
budidaya
 Setiap resort swasta maupun
pemerintah wajib mempunyai
IPAL yang standar
Kawasan Alur  Terdapat aturan strict  Terdapat aturan strict  Terdapat aturan strict liability  Terdapat aturan strict liability  Terdapat aturan strict liability
liability bagi jasa liability bagi jasa bagi jasa angkutan atau bagi jasa angkutan atau bagi jasa angkutan atau
angkutan atau angkutan atau perusahaan minyak yang perusahaan minyak yang perusahaan minyak yang
perusahaan minyak perusahaan minyak mencemari lingkungan mencemari lingkungan mencemari lingkungan
yang mencemari yang mencemari
lingkungan lingkungan

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 29
Berdasarkan Tabel 4.9. di atas, terlihat bahwa arahan untuk terkait dengan muatan
pengendalian, pemantauan serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam
pesisir, kepulauan dan perikanan difokuskan pada semua wilayah ekoregion laut yang
meliputi ekoregion laut 6.3.1., 6.3.2., 6.3.3., 6.3.4. dan 6.2.2. Pemantauan adanya
pencemaran menjadi isu yang sangat penting dan krusial untuk wilayah Kepulauan
Seribu dikarenakan karena terdapatnya masalah kiriman sampah dari daratan Jakarta.
Ekoregion laut 6.3.1. merupakan wilayah buffer yang ditanami mangrove dan
terdapatnya kultur kerang hijau sebagai biofilter pencemaran. Mengingat daerah
ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah hypertrophication maka tidak diperbolehkan
untuk aktivitas budidaya, dikarenakan pencemaran logam berat yang begitu tinggi.
Untuk wilayah ekoregion laut 6.3.2., 6.3.3., dan 6.3.4. yang merupakan area wilayah
berpenghuni sehingga aktifitas manusia relatif tinggi sehingga diterapkan pola dan
pengelolaan sampah yang ada di pulaunya, sertanya adanya aturan mengenai ketaatan
menjaga kebersihan pulau baik untuk masyarakat dan wisatawan terhadap sampah.
Selain itu juga aturan mengenai perlindungan dan pelestaraian mangrove serta
terumbu karang yang melindungi pulau disekitarnya. Sedangkan untuk ekoregion laut
6.2.2. membentuk kelembagaan penjagaan terhadap sumberdaya karang dengan pola
pengelolaan area perikanan berbasis masyarakat (marine sanctuary) dan membentuk
pola sinergisitas dengan lembaga pengelola konservasi dibutuhkan untuk menumbuh
kembangkan kesadaran akan pentingnya menjaga alam berkaitan dengan sumberdaya
pesisir, perikanan dan terdapat lembaga fasilitator CSR CNOOC ekonomi masyarakat
dan ekologi bagi lingkungan dan masyarakat.

f. Pengelolaan Potensi Bahari yang Belum Optimal

Arahan untuk pemanfaatan sumber daya pesisir, kelautan, perikanan dan kepulauan
yang difokuskan ke arahan pemanfaatan umum dan konservasi untuk ekoregion laut
6.3.1., 6.3.2., 6.3.3., 6.3.4. dan 6.2.2. Secara umum, pada kawasan pemanfaatan umum
seringkali didapati adanya pengelolaan potensi bahari yang belum optimal, sehingga
pemanfaatanya masih dibawah batas MSY dan MEY. Sementara itu, pada ekoregion
laut 6.3.2., 6.3.3., dan 6.3.4 sebagai wilayah yang dikembangkan untuk pariwisata
memiliki arahan pola pengelolaan yang hampir sama. Di ketiga lokasi ekoregion laut
tersebut merupakan daerah dengan pola region laut berkarang. Sedangkan untuk
wilayah ekoregion laut 6.3.4. sebagian wilayahnya adalah masuk kedalam wilayah
konservasi TN Kepuluan Seribu. Sedangkan untuk ekoregion laut 6.2.2. lebih

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 30
difokuskan kepada penguatan di sektor kelembagaan untuk pengelolaan mangrove di
sekitar pulau dan penguatan sektor budidaya perikanan.

Arahan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam terkait dengan isu
belum optimalnya pengelolaan potensi bahari adalah sebagai berikut:

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 31
Tabel 4.10.
Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pengelolaan Potensi Bahari yang Belum Optimal
EKOREGION
Alokasi RZWP3K
EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan  Terdapatnya wadah  Terdapatnya wadah  Incentive premium awards untuk  Terdapatnya wadah
Pemanfaatan Umum pengelola ekowisata pengelola ekowisata guide wisata pengelola ekowisata
berbasis masyarakat berbasis masyarakat  Koperasi simpan pinjam nelayan berbasis masyarakat
 Incentive premium  Terdapatnya koperasi wisata yang dikelola forum  Terdapatnya koperasi
awards bagi pelaku simpan pinjam untuk masyarakat pesisir simpan pinjam untuk
pengelola lingkungan nelayan  Adanya lembaga masyarakat nelayan
 Penguatan dan pengelola terumbu karang dan  Penguatan dan
pengembangan di sector wisata pengembangan di sector
pembudidaya kerapu dan pembudidaya kerapu dan
mangrove mangrove
 Terdapat aturan  Terdapat kelembagaan  Terdapat kelembagaan  identifikasi dan Terdapat
kawasan konservasi di masyarakat yang masyarakat yang didukung oleh kelembagaan masyarakat
EL 6.3.1. dan lembaga mengelola mangrove pemerintah daerah untuk yang mengelola mangrove
kolaborasi pemerintah,  Terdapat lembaga menjada dan merehabilitasi  Terdapat lembaga control,
masyarakat dan control, pemantau dan karang, lamun dan mangrove; pemantau dan survallience
pengguna kawasan survallience kondisi  Terdapat lembaga control, kondisi ekosistem secara
ekosistem secara periodik pemantau dan survallience periodik
kondisi ekosistem secara periodik

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 32
4.2.2. Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup
Ekoregion Laut

Arahan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di ekoregion laut sangat


fleksibel. Hal ini yang membedakan pola arahan dengan ekoregion yang ada di darat.
Wilayah region laut tidak ada batas yang jelas, seperti batas ekologi. Pembedaan
region yang ada di ekoregion laut 6.3. berdasar dari kedalaman dan potensi ekosistem
yang ada. Ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah pesisir yang sangat erat kaitannya
dengan aktivitas manusia di darat. Ekoregion laut 6.3.2. merupakan laut yang dalam,
dan potensi terumbu karangnya sangat sedikit, sedangkan ekoregion laut 6.3.3. dan
ekoregion 6.3.4. merupakan daerah terumbu karang. Di wilayah ekoregion laut 6.3.3.
dan ekoregion laut 6.3.4. merupakan kawasan konservasi Taman Nasional Kepulauan
Seribu. Secara umum tekanan aktivitas manusia terhadap lingkungan dan laju populasi
di ekoregion laut 6.3.3. dan 6.3.4. sangat pesat dikarenakan merupakan tempat wisata
dan pusat kota administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu. Sedangkan di ekoregion laut
6.2.2. merupakan wilayah yang paling jauh dan berdekatan dengan aktivitas
pengeboran minyak lepas pantai.

Karena karakteristik wilayah ecoregion laut yang tidak memiliki batas yang jelas dan
adanya saling pengaruh mempengaruhi yang terjadi setiap saat dan sulit dikendalikan,
maka arahan pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup
ecoregion laut memuat arahan kebijakan yang harus dilakukan. Arahan kebijakan
pemeliharaan dan perlindungan ini berlaku untuk semua ecoregion laut. Arahan
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Rehabilitasi mangrove
Mangrove di pantai banyak yang rusak karena berbagai sebab antara lain karena
penebangan untuk mendapatkan kayu atau material lainnya, atau lahan
mangrovenya sendiri berubah fungsi misalnya untuk pemukiman, pertambakan,
atau industri. Rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan penanaman kembali bibit
mangrove di daerah yang telah rusak. Penyediaan bibit dapat diupayakan oleh
masyarakat setempat sedangkan penanaman bibit mangrove dapat dilaksanakan
dengan melibatkan masyarakat umum, anak sekolah, anggota masyarakat umum,
LSM, dan organisasi lainnya. Ekosistem yang telah bertumbuh dengan baik perlu
mendapatkan perlindungan oleh segenap pemangku kepentingan dengan regulasi

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 33
yang tegas, dan dipantau secara berkala. Segala upaya ini berpeluang berhasil bila
disertai dengan upaya penyadaran masyarakat (public awareness).

2. Rehabilitasi lamun
Kerusakan lamun dapat terjadi karena digali untuk pembangunan sarana pantai
seperti pelabuhan, industri atau pemukiman. Kekeruhan air yang terjadi ikut
menyebabkan terhambatnya atau matinya lamun. Upaya untuk rehabilitasi dapat
dilaksanakan dengan transplantasi lamun dengan melibatkan masyarakat umum.
Teknik transplantasi lamun telah dikembangkan antara lain oleh Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Telah direncanakan agar kegiatan transplantasi lamun ini
melibatkan masyrakat dan dapat dikemas pula sebagai salah satu atraksi wisata.

3. Rehabilitasi karang,
Karang yang rusak dapat terjadi karena berbagai sebab, baik karena sebab alami
maupun karena ulah kegiatan manusia. Pada umumnya kerusakan karena ulah
manusia dapat menimbulkan dampak yang lebih sulit untuk pulih. Beberapa
teknologi telah dikembangkan untuk transplantasi karang, untuk menumbuhkan
kembali karang di lokasi yang telah rusak. Pemantauan kondisi karang perlu
dilaksanakan secara berkala dengan melibatkan potensi lembaga penelitian,
perguruan tinggi atau LSM yang bekualifikasi.

4. Penanaman kerang hijau sebagai biofilter


Penanaman kerang hijau ini dumaksudkan sebagai biofilter, yang dapat menyerap
zat-zat dan logam beracun yang ada dalam perairan. Kerang hijau dalam konteks ini
bukan untuk kepentingan konsumsi. Dengan penanaman kerang hijau diharapkan
dapat mereduksi tingkat ketercemaran perairan DKI Jakarta.

5. Memelihara dan menumbuhkan kembali kearifan lokal


Kearifan lokal yang pernah dan masih ada di masyarakat sangat penting untuk
ditumbuhkembangkan kembali. Kearifan lokal ini dapat menjadi modal penting
dalam mendukung pemanfaatan sumberdaya alam yang optimal dan lestari.
Dukungan masyarakat akan semakin kuat ketika ada ikatan socio-culture di
dalamnya.

6. Memelihara dan menumbuhkan kembali pengetahuan tradisional terhadap bahan


aktif. Pengetahuan lokal terhadap bahan aktif, baik untuk kebutuhan pengobatan
alami atau pun nilai-nilai social lainnya, harus dikembangkan dengan baik.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 34
Pengembangan pengetahuan lokal ini juga akan mampu mendorong kohesivitas
antar kelompok masyarakat/sosial yang ada.

4.2.3. Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian Sumber Daya Alam
Ekoregion Laut

Arahan pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya


alam di Ekoregion Laut wilayah Provinsi DKI Jakarta difokuskan pada aspek penertiban
secara hukum, pematauan secara berkala serta pemberdayaan masyarakat untuk ikut
menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.

a. Penegakan hukum

Instrumen penegakan hukum lingkungan berdasarkan UU No. 32/2009 terdiri dari


administrasi, perdata, dan pidana. Jika terjadi pelanggaran baik itu perorangan
atau secara bersama, maka pelanggar dapat dituntut mulai dari segi administrasi,
kemudian perdata dan sampai pada pidana. Penerapan sanksi administrasi tidak
membebaskan pelanggar dari tanggung jawab pemulihan dan pidana (Pasal 78).

Penegakan hukum memiliki arti yang luas, meliputi segi preventif dan represif.
Pemerintah juga diharuskan turut aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat. Lebih jauh, peran masyarakat dalam penegakan hukum harus
ditingkatkan sehingga kegiatan penegakan hukum lebih efektif dan efisien. Hal ini
karena di banyak permasalahan klasik terkait keterbatasan sumberdaya (SDM dan
finansial). Yang penting dilakukan adalah dibuatkan mekanisme penegakan yang
dapat dijalankan bersama antara aparat penegak hukum dan msyarakat.

b. Pemantauan secara periodik terhadap kondisi ekosistem

Pemantauan secara periodic terhadap kondisi ekositem perlu dilakukan dalam


rangka evaluasi program-program perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Hasil pemantauan dapat digunakan untuk memperbaiki program-program
selanjutnya.

c. Peningkatan pemahaman masyarakat terkait pentingnya sumber daya

Pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan harus saling bekerjasama dalam
meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil yang ada di DKI Jakarta. Sumberdaya ini merupakan penopang

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 35
ekonomi masyarakat dan harus dijaga kelestariannya sehingga dapat dinikmati
dampai generasi berikutnya. Degradasi sumberdaya yang terjadi saat ini
merupakan tanggung jawab bersama untuk memulihkannya. Masyarakat harus
terlibat secara aktif dan intesif, sehingga rasa kepemilikan tumbuh dan akhirnya
saling bahu membahu menjaga sumberdaya tersebut.

4.3. Arahan Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim

Beberapa prinsip dasar untuk menghadapi perubahan iklim, risiko bencana dengan aksi
penangggulangan perubahan iklim dan resiko bencana, yaitu melalui:

1. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

Secara teori adaptasi perubahan iklim adalah proses menyesuaikan diri dengan
dampak dari perubahan iklim yang sudah tidak dapat dicegah. Adaptasi terhadap
perubahan iklim seharusnya tidak menjadi tantangan tambahan pada kebijakan dan
prioritas perencanaan yang sudah ada, namun menjadi kesempatan bagi pemerintah
Jakarta dan mitra utamanya untuk menerapkan fokus dan prioritas untuk masa
depan. Adapun kebijakan pemerintah terhadap adaptasi perubahan iklim adalah:

Tabel 4.11.
Kebijakan Adapatasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut

Kebijakan Pemerintah
Wilayah
berkaitan dengan Adaptasi Implementasi yang dilakukan
Ekoregion
Perubahan Iklim
Sebagai kebijakan alternative pengalokasian
Pemukiman rumah susun pemukiman masyarakat yang kurang mampu Ekoregion darat
dan bertempat tinggal di daerah aliran sungai
Kendaraan bermotor dilakukan uji emisi.
Kendaraan bermotor yang dapat beroperasi di
Pembatasan Populasi
Jakarta tidak melebihi dari 20 Tahun, misalnya Ekoregion darat
Kendaraan Bermotor
hanya kendaraan produksi Tahun 2000 ke atas
yang dapat beroperasi.
Peningkatan sarana Menciptakan kondisi transportasi umum yang
prasarana transportasi umum ramah lingkungan dan energy, seperti adanya Ekoregion darat
berbasis green transport. MRT.
Peningkatan teknologi Adanya pengolahan air konsumsi rumah tangga
Pendaur ulang air konsumsi dan dapat digunakan kembali dengan kualitas Ekoregion darat
rumah tangga kesehatan yang terjamin
Terdapatnya pola bentuk bangunan rumah
Konsep pola rumah panggung yang tahan badai dan banjir Ekoregion laut
panggung

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 36
Kebijakan Pemerintah
Wilayah
berkaitan dengan Adaptasi Implementasi yang dilakukan
Ekoregion
Perubahan Iklim
Pembuatan konsep Penguatan teknologi alternative energi dengan
renewable energy untuk memanfaatkan energi arus dan energi angin
Ekoregion laut
konsumsi energi masyarakat untuk kebutuhan energi masyarakat kepulauan.
kepulauan
Pembuatan jalur evakuasi Sebagai munster place tempat berkumpul ketika
Ekoregion laut
bencana dan shelter bencana ada bencana alam

2. Mitigasi terhadap Perubahan Iklim

Secara teori mitigasi adalah upaya untuk membuat keadaan untuk tidak lebih menjadi
buruk. Artinya mitigasi terhadap perubahan iklim adalah sebuah upaya yang dibuat
oleh manusia untuk menekan sekecil mungkin bahaya dan kerusakan yang
disebabkan oleh dampak perubahan iklim. Adapun kebijakan pemeritah tentang
mitigasi terhadap perubahan iklim adalah sebagai berikut:

Tabel 4.12.
Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut

Kebijakan Pemerintah berkaitan Wilayah


Implementasi yang dilakukan
dengan Mitigasi Perubahan Iklim Ekoregion
Pembuatan Taman Hijau Kota yang
Reforestasi Sabuk Hijau Ekoregion darat
bertujuan sebagai pengikat carbon sink
Pengalihan fungsi lahan tidur menjadi
Aforestasi Ekoregion darat
lahan hutan
Minimalisasi penggunaan energi
perkantoran dan pusat perbisnisan Ekoregion darat
Penghematan penggunaan listrik sebagai bentuk kompensasi adapatasi dan Ekoregion
perubahan iklim terhadap busseniss as laut
usual.
Terdapatnya aturan batas tata ruang
wilayah yang masih layak secara kapasitas
Kebijakan batasan tata ruang Ekoregion darat
menerima pembangunan dan batasan
pembangunan dan laut
wilayah yang sudah tidak dapat dibangun
kembali.
Penanaman kembali mangrove di setiap Ekoregion darat
Mangrove aforestasi
pulau dan pesisir Jakarta dan laut
Pembangunan talud alam dan tanggul
Pembuatan break water alamiah Ekoregion laut
bencana banjir rob serta badai
Penanaman kembali terumbu karang di
Reforestasi Terumbu karang setiap pulau Ekoregion laut

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 37
Kebijakan Pemerintah berkaitan Wilayah
Implementasi yang dilakukan
dengan Mitigasi Perubahan Iklim Ekoregion
Terdapatnya lahan hijau pulau sebagai
Lahan Hijau Pulau Ekoregion laut
penyedia air bersih dan hijuan pulau
Terdapatnya pola tata ruang pemukiman
Penataan dan Penertiban masyarakat dan resort di Kepuluan Seribu
Ekoregion laut
Bangunan Resort dan Masyarakat untuk meminimalisir adanya
pembangunan yang masif.
Permasalahan sampah harus ditangani
Efektivitas dan Efisiensi Incerator secepat mungkin. Incerator harus
Ekoregion laut
Sampah difungsikan kembali untuk meminimalisir
adanya pencemaran sampah

3. Kolaborasi Aspek Kelembagaan untuk Aspek Siaga Perubahan Iklim dan Bencana
Alam.

Kolaborasi aspek kelembagaan untuk aspek siaga perubahan iklim dan bencana alam
terdiri dari:

a. Membentuk Sektor Kelembagaan Siaga Perubahan Iklim dan Bencana Alam

Aspek kelembagaan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bertanggung jawab atas


upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan penanggulangan resiko
bencana alam yang terkoordinir adalah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD); Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI
Jakarta dan Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup bersama berbagai
elemen masyarakat dan NGO untuk membentuk kelembagaan siaga perubahan
iklim dan bencana alam Jakarta. Fungsi dan tujuan dari adanya lembaga siaga
bencana perubahan iklim dan bencana alam di Jakarta adalah:

1. Untuk memberikan kesadaran masyarakat dalam belajar bersama


menanggapi perubahan iklim termasuk adopsi teknologi ramah lingkungan;
2. Menguatkan peran serta masyarakat untuk terlibat dan tanggung jawab
terhadap lingkungannya dan advokasi masyarakat korban pasca bencana
alam;
3. Membentuk masyarakat tanggap bencana;
4. Menguatkan infrastruktur dan teknologi tentang informasi bencana.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 38
b. Membangun Konsep Ideologi Pembangunan yang Berbasis Lingkungan dan
Ekopopulis

Saat ini di Jakarta terkenal dengan sistem pembangunan yang kurang


memperhatikan aspek lingkungan apalagi pembangunan yang berpihak kepada
masyarakat kecil. Untuk saat ini pembangunan di Jakarta sangat jauh dari konsep
membangun yang berlanjut, membangun yang seusai dengan kaidah daya
dukung lingkungan dan membangun berbasis masyarakat. Hal ini harus
ditumbuh bangkitkan kembali ideologi pembangunan hijau dengan
menggunakan konsep ekonomi biru yang terbentuk secara holistik, kreatif, serta
inovasi dan adopsi teknologi yang tidak mengancam keberlangsungan
lingkungan. Penguatan pertisipasi masyarakat perlu diterapkan dalam
pembangunan di Jakarta. Terdapatnya lahan terbuka hijau di Jakarta merupakan
alternative solusi pembangunan yang berbasis lingkungan dan masyarakat.
Kolaborasi dengan wilayah regional ring luar Jakarta perlu dibangun untuk
membentuk dan membangun DAS yang bermuara di Jakarta.

c. Menciptakan Birokrasi yang Berbasis Green Democracy

Demokrasi percepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara


sedang berkembang menjadi model umum demokrasi liberal saat ini dan tidak
terbukti sebagai demokrasi yang ramah lingkungan. Menjadi sebuah bukti nyata
pembangunan DKI Jakarta saat ini telah gagal mengakomodasi kepentingan
lingkungan dan masyarakat. Konsep demokrasi yang membawa nuansa
keberpihakan terhadap lingkungan adalah eko-demokrasi ataupun demokrasi
hijau. Secara garis besar penawaran dari eko-demokrasi ataupun demokrasi hijau
adalah konsep pengintegrasian dimensi lingkungan ke dalam proses dan hasil
demokrasi yang mengakomodir lingkungan dan masyarakat akar rumput sebagai
ukuran tambahan untuk menilai kualitas praktek demokrasi. Implementasi dari
eko-demokrasi atau demokrasi hijau adalah terdapatnya bonding, bridging dan
creating antara rumusan kebijakan, pengambil kebijakan dan implementasi
kebijakan. Hal ihwal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Menguatkan partisipasi masyarakat dalam keterlibatannya membangun


(bonding) dalam hal merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 39
berpihak pada lingkungan dan masyarakat akar rumput (grass root
democracy);
2. Membangun fasilitas umum sebagai sarana jembatan (bridging) yang
mendorong perubahan gaya hidup masyarakat, seperti sektor trasportasi,
tata ruang dan tata tertib pemukiman, terdapatnya ruang pejalan kaki dan
pengguna sepeda, terdapatnya ruang hijau terbuka, dll.;
3. Memberikan rewards dan insentif (creating) kepada masyarakat yang
berhasil mengembangkan teknologi ramah lingkungan energi terbarukan;
4. Menyediakan tempat dan penampungan sampah plastik dan organik,
sehingga sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai kompos (konsep blue
economy);
5. Mengakui hak masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan yang
berlanjut dalam pengelolaan sumberdaya di wilayahnya.

Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


(RPPLH) Provinsi DKI Jakarta IV - 40

Anda mungkin juga menyukai