Pengarah:
Moch. Tauchid Tjakra Amidjaja, Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta
Laksmi Wijayanti, Kementerian Lingkungan Hidup
Penanggung Jawab:
Ir. Rusman E. Sagala, MT, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta
Dra. Lien Rosalina, MM, Kementerian Lingkungan Hidup
Tim Penyusun:
Badan Pengelola Lingkungan Hidup : Ikoh Maufikoh, ST, Msi, Wita Sari, ST
Daerah Provinsi DKI Jakarta
Kementrian Lingkungan Hidup : Endah Tri Kurniawati, S.Hut, M.Si, Hendaryanto, ST, Msi
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan
“Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Provinsi DKI Jakarta” dengan baik.
Penyusunan “Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta” merupakan rangkaian kegiatan sebagai dasar penyusunan
Peraturan Daerah tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi
DKI Jakarta, dalam rangka melaksanakan mandat dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa pemerintah
provinsi menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
Penyusunan Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu asas dalam implementasi perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup wajib dilakukan secara terpadu dan bersinergi dengan penataan ruang, perlindungan
sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim; dengan
memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat
setempat, dan kearifan lokal. Arahan-arahan dalam Draft Naskah Akademis Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta diharapkan dapat
mendorong keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dalam rangka mengoptimalkan
produktivitas sumberdaya alam yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang
berkelanjutan.
Harapan kami, semoga “Draft Naskah Akademis Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta” ini selain digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam penyusunan RPPLH, juga dapat bermanfaat bagi para pihak untuk
memperkuat perencanaan dan penerapan pembangunan secara berkelanjutan.
Akhirnya, kami sampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan membantu penyusunan “Draft Naskah Akademis
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi DKI Jakarta” yang
sangat bermanfaat ini.
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Inventarisasi lingkungan hidup Provinsi DKI Jakarta meliputi informasi dan data mengenai:
a. Sumber daya alam (Hutan, Air permukaan, Air tanah, keanekaragaman hayati), terkait
dengan:
Potensi dan ketersediaan
jenis yang dimanfaatkan;
bentuk penguasaan;
pengetahuan pengelolaan;
bentuk kerusakan;
b. Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan: hutan & RTH, air permukaan,
air tanah, keanekaragaman hayati, tata guna lahan, geologi, udara, kependudukan dan sosial
ekonomi
Selain inventarisasi lingkungan hidup, ekoregion menjadi kekuatan RPPLH yang dapat
mewujudkan arah kebijakan perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai
dengan karakteristik ekoregion yang mempertimbangkan aspek darat dan laut.
Kajian penetapan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta menghasilkan ada 40 (empat
puluh) polygon ekoregion. Namun demikian, secara garis besar terkait dengan
iii
penyusunan RPPLH, ke 40 ekoregion tersebut dapat dikategorikan berdasarkan
karakteristik geomorfologinya menjadi 6 (enam) tipe ekoregion yaitu:
Di dalam buku Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia (KLH, 2013) wilayah perairan
laut Provinsi Daerah Khusus Ibukota (Provinsi DKI) tersebut berada di dalam Ekoregion
Laut Jawa dengan kode EL 6. Wilayah ini merupakan bagian kecil saja dari EL 6, sehingga
perlu dilakukan penetapan sub-ekoregion dari EL 6 atau ekoregion level 2. Hasil analisis
memperlihatkan bahwa wilayah laut Provinsi DKI terletak di sub-ekoregion level 3.
Wilayah laut DKI masuk dalam EL 6.2 dan EL 6.3, selanjutnya didelineasi ke dalam
ekoregion level 3. EL 6.3 dibagi dalam ke dalam 4 (empat) ekoregion level 3, yaitu EL 6.3.1
dengan delineator utama batimetri dan kualitas air; EL 6.3.2 dengan delineator utama
batimetri; EL 6.3.3 dengan delineator utama batimetri; dan EL 6.3.4 dengan delineator
iv
utama batimetri dan keanekaragaman hayati. Untuk EL 6.2, ekoregion level 3 wilayah
administrasi DKI Jakarta masuk dalam EL 6.2.2.
Total 4.933,400
v
C. Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi
DKI Jakarta
Jangka waktu RPPLH Daerah adalah 20 tahun dengan masa peninjauan kembali setiap lima
tahun sekali.
Menetapkan isu – isu strategis berdasarkan karakteristik ekoregion dan telaah terhadap
dokumen – dokumen perencanaan Provinsi DKI Jakarta
vi
h. Akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat.
3. Keterbatasan ketersediaan lahan
Ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan ketersediaan lahan adalah:
a. Peningkatan kekumuhan dan pencemaran lingkungan;
b. Peningkatan masalah kemacetan sehingga kota menjadi tidak produktif;
c. Pemenuhan kebutuhan lahan akan dilakukan melalui metode yang makin tidak
ramah lingkungan seperti reklamasi pantai, pemanfaatan ruang bawah tanah yang
tidak terkendali, penimbunan badan air, pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
peruntukkannya;
d. Menurunnya tingkat keamanan dan kenyamanan DKI Jakarta untuk hunian dan /
atau berinvestasi.
4. Keterbatasan sarana dan prasarana kota
Ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan sarana dan prasarana kota adalah:
a. permasalahan banjir akan makin sulit teratasi bahkan justru semakin meluas;
b. terjadi peningkatan pencemaran baik udara, air maupun tanah;
c. lingkungan kota secara menyeluruh menjadi kumuh
d. peningkatan pencemaran di wilayah perairan teluk dan laut
e. menurunnya keaneka ragaman hayati perairan teluk dan laut;
f. terhambatnya perkembangan sektor perekonomian
5. Pencemaran
Ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. makin meningkatnya tingkat pencemaran di perairan teluk dan laut;
b. makin punahnya keanekaragaman hayati perairan teluk dan laut;
c. menurunnya potensi keindahan alam dan kekayaan hayati yang mengganggu
perkembangan sektor pariwisata;
d. menurunnya potensi perikanan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
pendapatan masyarakat lokal.
vii
6. Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal
Ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. Kemiskinan makin bertambah yang menyebabkan makin rentannya penduduk di
ekoregion laut terhadap perubahan iklim dan bencana lainnya;
b. Makin punahnya keanekaragaman hayati karena pengelolaan SDA yang tidak
optimal
Menyusun arahan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Provinsi DKI Jakarta
Ruang lingkup materi RPPLH telah diatur dalam Pasal 10 Ayat 4 UU No. 32 Tahun 2009.
Muatan RPPLH mencakup 4 hal, yaitu:
a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam;
dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ii
RINGKASAN EKSEKUTIF iii
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN I–1
1.1. Latar Belakang I–3
1.2. Landasan Hukum I–5
1.3. Tujuan dan Manfaat / Kedudukan RPPLH I–6
1.4. Pendekatan I–7
1.5. Ruang Lingkup I–7
1.6. Ketentuan Umum
BAB II EKOREGION DAN KONDISI LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI DKI JAKARTA II – 1
2.1. Ekoregion Darat II – 1
2.1.1. Dataran Pasang Surut Berlumpur II – 1
2.1.2. Dataran Beting-gisik dan Lembah Antar Gisik II – 1
2.1.3. Dataran Rawa II – 1
2.1.4. Dataran Banjir II – 1
2.1.5. Dataran Fluvio-marin II – 1
2.1.6. Dataran Fluvio-vulkanik II – 1
2.2. Ekoregion Laut II – 1
BAB III ISU STRATEGIS III – 1
3.1. Perubahan Iklim III – 1
3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Alam yang Berlebih III – 2
3.2.1. Pemanfaatan Sumber Daya Air III – 2
3.2.2. Pemanfaatan Sumber Daya Alam Lainnya III – 6
3.3. Keterbatasan Ketersediaan Lahan III – 9
3.4. Keterbatasan Sarana dan Prasarana Kota III – 12
3.5. Pencemaran III – 14
3.6. Pengelolaan Potensi Bahari yang Belum Optimal III – 16
BAB IV ARAHAN RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN IV – 35
HIDUP
4.1. Arahan RPPLH berdasarkan Ekoregion Darat IV – 1
4.1.1. Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam Ekoregion IV – 1
Darat
ix
4.1.2. Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan IV – 7
Hidup Ekoregion Darat
4.1.3. Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian IV – 9
Sumber Daya Alam Ekoregion Darat
4.2. Arahan RPPLH berdasarkan Ekoregion Laut IV – 12
4.2.1. Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam Ekoregion Laut IV – 13
4.2.2. Pemeliharaan dan Perlindungan kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan IV – 31
Hidup Ekoregion Laut
4.2.3. Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian IV – 33
Sumber Daya Alam Ekoregion Laut
4.3. Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim IV – 35
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta, II – 7
1961-2013
Tabel 2.2. Proporsi Luasan Kawasan Menurut Penggunaan Lahan di DKI Jakarta II – 9
Tahun 2012
Tabel 2.3. Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 – 2010 II – 10
Tabel 2.4. Prosentase Penduduk Berdasarkan Sumber Air Minum II – 14
Tabel 2.5. Pelanggan Air Tanah Dalam dengan Sumur Artesis dan Sumur Pantek II – 15
Tabel 2.6. Perhitungan Perkiraan Potensi Air Tanah Dangkal II – 16
Tabel 2.7. Proyeksi Penduduk di Kabupaten Kepulauan Seribu II – 44
Tabel 2.8. Spesies Target Perikanan di Kepulauan Seribu II – 47
Tabel 2.9. Luasan Genangan per Jenis Lahan di Kawasan Jakarta Utara pada Tahun II – 56
2050 Berdasarkan Peramalan Dampak Kenaikan Muka Laut oleh Hadi et al.
(2008)
Tabel 3.1. Jumlah, Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta III – 10
Tabel 4.1. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau IV –2
Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Terbangun
Tabel 4.2. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau IV –5
Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Tidak Terbangun
Tabel 4.3. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemeliharaan dan IV –8
Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup” untuk Zona
Kawasan Lindung dan Kawasan Hijau Budidaya
Tabel 4.4. Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pengendalian, IV –10
Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian Sumber Daya Alam”
Tabel 4.5. Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut Berdasar Region (Spasial) IV –15
Laut DKI Jakarta terkait dengan Isu Kerawanan terhadap Perubahan Iklim
Tabel 4.6. Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta terkait IV –19
dengan Isu Strategis Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pesisir, Kepulauan
dan Perikanan
Tabel 4.7. Matriks Arahan RPPLH dalam Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait dengan IV –22
Isu Keterbatasan Lahan
Tabel 4.8. Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait dengan Isu IV –24
Keterbatasan Sarana dan Prasarana Kota
Tabel 4.9. Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pencemaran IV –27
Tabel 4.10. Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pengelolaan IV –30
Potensi Bahari yang Belum Optimal
Tabel 4.11. Kebijakan Adapatasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut IV –35
Tabel 4.12. Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut IV –36
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Persandingan Peta Banjir dengan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta II – 6
Gambar 2.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta, 1961 – 2013 II – 7
Gambar 2.3. Persebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2007 dan Tahun 2010 II – 8
Gambar 2.4. Tren Perubahan Kawasan Terbangun dan Non Terbangun DKI Jakarta II – 11
Gambar 2.5. Penggunaan Lahan DKI Jakarta Tahun 2000 II – 12
Gambar 2.6. Penggunaan Lahan DKI Jakarta Tahun 2010 II – 12
Gambar 2.7. Peta Penurunan Permukaan Tanah DKI Jakarta II – 16
Gambar 2.8. Peta Batimetri Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu II – 35
Gambar 2.9. Peta Kelerengan Dasar Laut Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta II – 36
Gambar 2.10. Distribusi Pasang Surut di Indonesia II – 37
Gambar 2.11. Sirkulasi Arus Termohalin yang Membawa Massa Air Mengalir dari Satu II – 50
Basin Samudera ke Basin Samudera yang Lain
Gambar 2.12. Skematik Sirkulasi Arus lintas Indonesia (Garis Tebal Merah), Arus II – 50
Lintas Laut China Selatan (Garis Merah Putus-putus) yang Membawa
Massa Air dari Samudera Pasifik ke Laut Jawa
Gambar 2.13. Grafik Variabilitas dan Trend Suhu Udara Rerata Tahunan dari 1976 II – 51
hingga 2012, yang Cenderung Meningkat, Berdasarkan Data dari Stasiun
Maritim BMKG di Pelabuhan Tanjung Priuk
Gambar 2.14. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Indonesia, dimana menunjukkan II – 52
Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga Kepulauan
Seribu Mempunyai Indeks yang Sangat Tinggi
Gambar 2.15. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Jakarta, dimana Menunjukkan Kawasan II – 52
Pesisir Jakarta Utara Terindikasi Cukup Bervariasi Tingkat
Kerentanannya, Kawasan yang Tertinggi adalah di Sekitar Kecamatan
Tanjung Priok, Kec. Koja dan Kec. Tarumajaya
Gambar 2.16. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Perairan Indonesia, dimana II – 54
Menunjukkan Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga
Kepulauan Seribu Mempunyai Kenaikan yang Tinggi 0,75-0,76 cm/tahun
Gambar 2.17. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Pesisir Jakarta, dimana II – 54
Menunjukkan Kawasan Pesisir Jakarta Utara Terindikasi cukup
Bervariasi Tingkat Kerentanannya, Kawasan yang Tertinggi adalah di
Sekitar Kec. Tarumajaya, Urutan Kedua Berada di Pesisir Kec. Tanjung
Priok dan Kec. Koja
Gambar 2.18. Bukti Adanya Kenaikan Muka Laut di Stasiun Pengamatan Altimetri II – 55
Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta
Utara
xii
Gambar 2.19. Peta Tinggi Gelombang Signifikan Rerata Perairan Indonesia. Dimana II – 57
menunjukkan Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga
Kepulauan Seribu mempunyai kenaikan yang tinggi 1,25-1,50 m
Gambar 3.1. Kondisi Neraca Air Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta III – 4
Gambar 3.2. Biota laut yang telah terancam di Kepulauan Seribu III – 8
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia memiliki tingkat
kepadatan per-km2 mencapai 14.512 jiwa dengan jumlah penduduk 9,6 juta jiwa. Jumlah
ini masih belum termasuk dengan jumlah komuter yang diperkirakan mencapai 30%
jumlah penduduk yang ada, sehingga total penduduk harian DKI Jakarta diperkirakan
mencapai 12,5 juta. Angka ini sebagian besar menjadi beban pelayanan utilitas publik.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai
dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan
komponen lingkungan hidup di kota Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas
dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam era otonomi daerah, pengelolaan
lingkungan hidup selain mengacu pada Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengamanatkan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik, melalui penetapan kewajiban
pemerintah untuk menerapkan sustainable development sebagai solusi untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan
ekonomi dan keadilan sosial.
Sampai saat ini Provinsi DKI Jakarta belum menetapkan Daya Dukung dan Daya
Tampung Lingkungan Hidupnya, oleh karena itu berdasarkan amanat Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009 maka pemerintah provinsi diwajibkan untuk menyusun Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) tingkat provinsi. RPPLH
adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta
upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup,
serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. Manfaat
dari RPPLH DKI Jakarta adalah arahan dan acuan dalam melaksanakan upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan:
a. melindungi wilayah DKI Jakarta sebagai bagian dari wilayah NKRI dari pencemaran
dan / atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian
dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Sesuai yang diatur dalam Pasar 10 ayat 5 UU No 32 Tahun 2009, RPPLH dalam sistem
perencanaan pembangunan adalah menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam
rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah.
1.4. Pendekatan
Penyusunan dokumen RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta dilakukan dalam 5 (lima)
tahapan sebagai berikut:
1) Inventarisasi Lingkungan Hidup
2) Penetapan Wilayah Ekoregion Darat
3) Penetapan Wilayah Ekoregion Laut
4) Penyusunan Naskah Akademis RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta
5) Penetapan RPPLH Daerah Provinsi DKI Jakarta
Ruang lingkup RPPLH DKI Jakarta meliputi seluruh wilayah daratan DKI Jakarta dan
wilayah laut sesuai dengan batas kewenangan provinsi yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan yang termaktub
dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 27 ayat (3), yaitu sejauh
12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
Ruang lingkup materi RPPLH telah diatur dalam Pasal 10 Ayat 4 UU No. 32 Tahun 2009.
Muatan RPPLH mencakup 4 hal, yaitu:
a. Pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. Pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. Pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya
alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Jangka waktu RPPLH Daerah adalah 20 tahun dengan masa peninjauan kembali setiap
lima tahun sekali.
Ketentuan umum dalam RPPLH mengatur tentang pengertian – pengertian dasar yang
termuat dalam RPPLH. Beberapa istilah yang dimaksud dalam RPPLH ini antara lain:
a. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk
hidup lain.
b. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
c. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
Kajian penetapan deliniasi Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta menghasilkan ada 40
(empat puluh) polygon ekoregion. Namun demikian, secara garis besar terkait dengan
penyusunan RPPLH, ke 40 ekoregion tersebut dapat dikategorikan berdasarkan
karakteristik geomorfologinya menjadi 6 (enam) tipe ekoregion yaitu:
Adalah suatu bentuk lahan (landform) dataran yang terbentang sepanjang garis pantai,
terbentuk oleh proses marin, yaitu penaikan dan penurunan permukaan air laut (efek
gravitasi bulan-matahari) dan dibarengi oleh adanya arus dan gelombang laut. Proses
deposisi marin umumnya lebih dominan daripada proses erosi (seperti abrasi) di
dataran ini. Anasir geomorfik (geomorphic agent) utama yang bekerja di dataran ini
adalah arus pasang-surut (tide) air laut yang membawa material/sedimen. Material
permukaan di dataran ini umumnya bertekstur halus (lumpur) merupakan hasil proses
deposisi marin dari sedimen halus yang terangkut dari sungai (yang bermuara di sekitar
dataran ini) kemudian disebarkan oleh arus sepanjang pantai (longshore drift) dan arus
pasang-surut. Dengan karakter bentuk lahan tersebut, dataran pasang surut berlumpur
biasanya:
Luas dataran pasang surut berlumpur Provinsi DKI Jakarta mencapai 62,84 km2 atau
sekitar 9,5% dari total wilayah.
Beting-gisik (beachridges) dan lembah antar beting-gisik (swales) adalah bentuk lahan
(landform) marin. Beting-gisik merupakan suatu timbunan pasir berbentuk
Luas dataran beting gisik dan lembah antar gisik Provinsi DKI Jakarta adalah seluas
50,88 km2 atau seluas 7,7% dari total wilayah.
Dataran ini terbentuk dari hasil proses deposisi fluvial (seperti banjir) yang
meninggalkan suatu dataran dengan cekungan-cekungan kecil yang tersebar secara
acak. Cekungan-cekungan ini sesuai dengan sifatnya mudah menampung air, sehingga
di dataran ini wajar banyak terdapat rawa-rawa. Dengan karakter bentuk lahan
tersebut, dataran rawa biasanya:
Luas dataran rawa Provinsi DKI Jakarta mencapai 16,76 km2 atau sekitar 2,5% dari total
wilayah.
Adalah suatu dataran yang terletak di sekitar alur sungai. Bentuklahan ini berada di
dalam lembah sungai (river valley) yang terbentuk akibat proses deposisi fluvial. Sesuai
dengan namanya dataran ini selalu tergenang banjir jika terjadi perluapan air sungai
(debit meningkat) terutama di musim hujan. Dengan karakter bentuk lahan tersebut,
dataran banjir biasanya:
Luas dataran banjir Provinsi DKI Jakarta mencapai 38,41 km2 atau sekitar 5,8% dari total
wilayah.
Dataran ini terbentuk oleh gabungan proses fluvial dan marin, seperti delta sungai atau
dataran estuarin lain dimana terbentuknya dipengaruhi oleh dua jenis proses
geomorfik, yaitu aliran sungai dan arus/gelombang laut. Lokasi dari bentuk lahan ini
biasanya sedikit agak jauh dari garis pantai atau berada di belakang dataran pasang-
surut berlumpur. Pengaruh proses marin pasang-surut masih dapat dirasakan, namun
jika pertumbuhan garis pantai (akresi) relatif cepat, maka pengaruh pasang-surut
semakin kecil. Dengan karakter tersebut, dataran fluvio-marin biasanya:
Luas dataran fluvio-marin Provinsi DKI Jakarta mencapai 189,48 km2 atau sekitar 28,6%
dari total wilayah.
Merupakan suatu dataran yang terbentuk oleh proses deposisi fluvial (aliran air sungai)
dengan material dominan dari bahan vulkanik (seperti abu, pasir, kerikil, dan
bongkahan batu vulkanik). Material vulkanik tersebut pada umumnya mudah
termobilisasi (oleh hujan) sesaat setelah terjadinya erupsi gunung api. Sumber material
vulkanik di wilayah Provinsi DKI Jakarta secara dominan berasal dari gunungapi
Pangrango dan gunung api Salak yang terletak di bagian selatan Provinsi DKI Jakarta
atau di wilayah Bogor. Wilayah ini dikenal sebagai wilayah yang mempunyai curah
hujan tinggi, dan kedua gunung api tersebut pernah mengalami letusan cukup besar
(tipe plinian) dalam sejarahnya yang menghasilkan endapan vulkanik lepas
(pyroclastics) cukup melimpah. Hasil erupsi dari kedua gunung api tersebut kemudian
termobilisasi oleh aliran air membentuk aliran lahar, dan lahar tersebut terdeposisi di
lereng kaki utara membentuk dataran fluvio-vulkanik DKI. Dengan karakter bentuk
lahan tersebut, dataran fluvio-vulkanik biasanya:
Luas dataran fluvio-vulkanik Provinsi DKI Jakarta mencapai 298,25 km2 atau sekitar
45,03% dari total wilayah.
Deskripsi ke 6 tipe ekoregion DKI Jakarta tersebut menunjukkan bahwa secara alami
wilayah Provinsi DKI Jakarta memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak
perubahan iklim seperti banjir, rob dan genangan. Tipe ekoregion yang memiliki
kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim mencapai luasan sebesar lebih dari 55% dari
total wilayah yang mencakup ekoregion dataran pasang surut berlumpur, dataran rawa,
dataran banjir fluvio-marin serta dataran lembah antar gisik.
Bencana akibat dampak perubahan iklim ada yang bersifat “slow onset” seperti kenaikan
muka air laut, dan bencana hidro-meteorologi yang bersifat “rapid onset” seperti kondisi
cuaca ekstrim dan gelombang tinggi. Anomali curah hujan di wilayah Jakarta, Bogor dan
sekitarnya dari 1996 hingga 2005, dilaporkan oleh Susandi (2008), terjadi kenaikan curah
hujan pada musim hujan di bulan Januari di wilayah Jakarta sebesar 20-200 mm, dengan
kenaikan tertinggi di daerah Pulogadung. Kenaikan curah hujan tersebut juga
teridentifikasi pada musim peralihan di bulan Maret berkisar 60-540 mm, dengan
kenaikan tertinggi di daerah Jakarta Selatan dan Bogor. Kenaikan curah hujan tersebut
berpotensi menyebabkan air menggenang dan/atau banjir khususnya di kawasan pesisir
Jakarta Utara, baik karena curah hujan tinggi di kawasan tersebut ataupun akibat kiriman
dari wilayah Bogor dan Jakarta Utara.
Dari peta kejadian bencana banjir 2007, 2013 dan 2014, ekoregion yang mengalami banjir
terbanyak adalah di dataran pasang surut berlumpur, dataran banjir, dataran rawa dan
dataran lembah antar gisik. Selain karena faktor karakteristik ekoregion yang memang
memiliki kerawanan yang tinggi terhadap genangan, di Provinsi DKI Jakarta juga mengalir
13 aliran sungai yaitu Sungai Mookervart, Sungai Ciliwung, Sungai Angke, Sungai
Pesanggrahan, Sungai Krukut, Sungai Kalibaru Barat, Sungai Kalibaru Timur, Sungai Buaran,
Sungai Grogol, Sungai Cipinang, Sungai Jatikramat, Sungai Cakung dan Sungai Sunter yang
kondisinya terus mengalami pendangkalan dan penyempitan akibat adanya sampah dan
bangunan liar di sepanjang sungai. Pembangunan prasarana dan sarana pengendalian banjir
seperti pond, polder, pintu air, saluran drainase belum secara menyeluruh tersedia.
Persandingan antara peta kejadian bencana banjir 2007, 2013 dan 2014, dan peta
ekoregion, dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Sementara itu ditinjau dari perkembangan penduduk dan aktivitasnya, wilayah Provinsi
DKI Jakarta sudah sangat berkembang menjadi kawasan perkotaan yang sangat padat.
Gambar 2.1. Persandingan Peta Banjir dengan Ekoregion Darat Provinsi DKI Jakarta
JUMLAH
PENDUDUK LAJU PERTUMBUHAN KEPADATAN PENDUDUK
TAHUN
PENDUDUK (persen) (JIWA/HA)
(ribu orang)
Gambar 2.2. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta, 1961 – 2013
Dari data perkembangan penduduk tersebut, laju pertumbuhan penduduk memang tidak
sebesar periode tahun 1961 hingga 1990. Namun demikian dengan kondisi saat ini dimana
jumlah penduduk hampir mencapai 10 juta jiwa, wilayah DKI Jakarta saat ini dapat
dikategorikan sebagai wilayah perkotaan yang padat yaitu memiliki kepadatan penduduk
rata-rata hampir 150 jiwa/ha. Kepadatan penduduk tersebut diperkirakan akan meningkat
seperti tertuang dalam RTRW DKI Jakarta 2010 – 2030 dimana proyeksi penduduk tahun
2030 diperkirakan mencapai 12,5 juta jiwa. Persebaran penduduk DKI Jakarta juga tidak
merata, karena di beberapa kecamatan kepadatan penduduk sudah mencapai di atas 200
Gambar 2.3. Persebaran Kepadatan Penduduk Tahun 2007 dan Tahun 2010
(Sumber: DPGP DKI, 2011)
Peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta dari waktu ke waktu akan membawa
konsekuensi pada makin tingginya tekanan pada pemanfaatan ruang kota. Makin
bertambahnya jumlah penduduk makin meningkat pula kebutuhan ruang terbangunnya.
Sementara itu, luas lahan kota relatif tetap, sehingga makin berkurangnya lahan tidak
terbangun yang memiliki fungsi ekologis. Selain untuk memenuhi kebutuhan hunian yang
peningkatan kebutuhan lahannya akan sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk,
perkembangan aktivitas perekonomian kota juga memerlukan alokasi ruang yang makin
meningkat.
Permasalahan makin berkurangnya kawasan tidak terbangun juga terjadi di wilayah DKI
Jakarta. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta tahun 2013, pada tahun 2012 pemanfaatan
lahan DKI Jakarta sangat didominasi oleh pemanfaatan kawasan terbangun. Proporsi
luasan kawasan tidak terbangun hanya mencapai 6,91% yang berupa pertanian lahan
kering, areal berhutan, perairan dan pertanian lahan sawah. Pemanfaatan ruang di DKI
Jakarta tersebut menunjukkan fungsi kota DKI Jakarta adalah sebagai pusat kegiatan
perekonomian, pemerintahan, industri dan sosial budaya.
JUMLAH (Ha)
NO KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN PROPORSI (%)
2012
1 Pemukiman/sosekbud dll 50,938.44 76.92
2 Perhubungan 6,550.63 9.89
2.1. Lapangan udara 157.25 0.24
2.2. Pelabuhan laut 657.8 0.99
2.3. Jalan 5,083.81 7.68
2.4. Jalan/jalur KA 595.09 0.90
2.5. Terminal bis 50.23 0.08
2.6. Perparkiran 6.45 0.01
3 Industri 4,032.37 6.09
3.1. Kawasan 825.34 1.25
3.2. Non-kawasan 3,207.03 4.84
TOTAL KAWASAN TERBANGUN 61,521.44 92.90
4 Pertanian lahan kering 1252 1.89
5 Pertanian lahan sawah 1001 1.51
5.1. Sawah irigasi 953 1.44
5.2. Sawah tadah hujan 48 0.07
6 Perikanan 125 0.19
6.1. Tambak air payau 66 0.10
6.2. Kolam/air tawar 59 0.09
7 Areal berhutan 1,224.57 1.85
7.1. Hutan alami 430.45 0.65
7.2. Hutan sejenis/kota 794.12 1.20
8 Perairan 1,098.99 1.66
8.1. Waduk/rawa 391.99 0.59
8.2. Sungai 532.5 0.80
8.3. Floodway 174.5 0.26
9 Lain-lain 125.0 0.19
TOTAL KAWASAN TIDAK TERBANGUN 4,576.56 6.91
JUMLAH 66,223.00 100.00
Tabel 2.3.
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2000 – 2010
Area (Ha)
Landuse Category
2000 2010 Converting
Perumahan Developer/ Formal 13,531.91 12,107.52 (1,424.39)
Permukiman Padat 19,707.40 20,133.40 426.01
Permukiman Renggang 4,435.93 3,766.31 (669.62)
Industri dan Pergudangan 4,597.06 5,715.89 1,118.83
Komersil dan Jasa 4,299.41 6,641.85 2,342.44
Pendidikan dan Fasilitas Publik 1,648.10 3,342.41 1,694.32
Fasilitas Pemerintah 602.11 1,737.57 1,135.46
Taman dan Pemakaman 577.50 1,757.87 1,180.37
Pertanian dan Tegalan 11,175.15 6,137.47 (5,037.67)
Rawa, Sungai, dan Kolam 2,351.23 1,397.91 (953.32)
Fasilitas Transportasi 395.81 324.33 (71.48)
Semak dan Hutan 6.85 5.38 (1.48)
Hutan Bakau 2.20 2.16 (0.03)
Tanah Berbatu - -
Fasilitas Rekreasi 1095.79 1534.38 438.59
No Landuse Code 0.10 0.00 (0.10)
Dari data pada Tabel 2.3. dapat dilihat bahwa peningkatan kawasan terbangun terbesar
adalah dimanfaatkan untuk kawasan komersial dan Jasa, kawasan pendidikan dan fasilitas
publik serta fasilitas pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pola perkembangan kota DKI
Jakarta mengarah pada pemantapan fungsinya sebagai Ibukota Negara dan fungsi
ekonominya sebagai pusat perdagangan dan jasa. Sebaliknya sebagai hunian terlihat bahwa
secara ditinjau dari luasannya, penggunaan lahan untuk permukiman relatif terjadi
Kawasan Terbangun
Gambar 2.4. Tren Perubahan Kawasan Terbangun dan Non Terbangun DKI Jakarta
Penambahan kawasan terbangun di DKI Jakarta dapat dilihat merupakan konversi lahan
yang berasal dari lahan pertanian dan tegalan dan badan air. Pengurangan lahan pertanian
dan tegalan dalam kurun waktu 10 tahun mencapai lebih dari 5000 ha atau mengalami
penurunan sekitar 500 ha per tahunnya. Sebaliknya, dari data tersebut dapat dilihat bahwa
RTH kota di DKI Jakarta baik berupa taman dan pemakaman mengalami peningkatan
sebesar 118 ha selama kurun waktu 10 tahun.
TAHUN 2010
Sementara berkaitan dengan masih terbatasnya ruang terbuka hijau yang seharusnya
mencapai 30% dari total wilayah maka perlu dilakukan berbagai upaya antara lain:
1. Menetapkan hutan kota dan RTH kota menjadi kawasan lindung, sehingga tidak
dimungkinkan terjadi alih fungsi. Selain upaya perlindungan terhadap statusnya
sebagai kawasan lindung, upaya pemeliharaan perlu juga dilakukan dalam rangka
meningkatkan fungsi lindung dari kawasan;
2. Mengembangkan RTH baru yang antara lain dapat dilakukan dengan mengembalikan
fungsi ruang yang seharusnya termasuk dalam kategori lindung namun saat ini
dimanfaatkan untuk peruntukan lainnya. Di DKI Jakarta masih terdapat sempadan
sungai, sempadan rel kereta api maupun ruang di bawah SUTET yang seharusnya
termasuk kategori kawasan lindung setempat, saat ini dimanfaatkan untuk hunian
atau kegiatan lainnya. Dalam kaitannya dengan ekoregion, sempadan sungai di DKI
Jakarta sebenarnya masuk dalam ekoregion dataran banjir sehingga memang
seharusnya tidak dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya terutama hunian;
3. Menerapkan ketentuan KDH pada setiap kavling tanah untuk dapat memenuhi
kebutuhan RTH terutama melalui peningkatan RTH privat. Penerapan ini perlu
diimbangi dengan mekanisme monitoring, evaluasi maupun penerapan sanksi.
Peningkatan jumlah penduduk juga akan meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya lain
seperti air bersih, makanan, udara dan sebagainya dan meningkatkan limbah yang
dihasilkan. Kesemuanya itu merupakan beban yang harus didukung oleh lingkungan.
Pemenuhan kebutuhan air bagi kehidupan sehari-hari, biasanya bersumber dari air
permukaan, dan air tanah. Yang termasuk kategori sumber air permukaan antara lain
adalah air yang bersumber dari sungai, waduk, danau dan air hujan. Sumber air
perpipaan yang tersedia di perkotaan biasanya bersumber dari air permukaan yang
diolah menjadi air minum. Sementara, yang termasuk kategori sumber air tanah antara
lain adalah air yang dipompa dari sumber air aquifer bebas dan tertekan serta sumber
Berdasarkan hasil Sensus 2010, sebagian besar penduduk di DKI Jakarta menggunakan
air yang bersumber dari air tanah seperti yang dapat dilihat pada table berikut ini:
Tabel 2.4
Prosentase Penduduk Berdasarkan Sumber Air Minum
Jakarta Selatan 45.77 37.97 10.51 0.22 0.41 0.01 94.89 4.78 0.2 0 0 0.13 5.11
Jakarta Timur 47.68 29.73 9.38 0.19 0 0 86.98 12.27 0.74 0 0 0 13.01
Jakarta Pusat 45.64 6.56 2.02 0.05 0 0 54.27 35.71 10.01 0 0 0 45.72
Jakarta Barat 52.87 6.43 1.82 0.05 0 0 61.17 28.17 10.65 0 0 0 38.82
Jakarta Utara 61.42 0.48 0.27 0.02 0.05 0 62.24 28.87 8.73 0 0 0.15 37.75
Provinsi DKI
50.69 18.51 5.51 0.12 0.1 0 74.93 19.6 5.32 0 0.1 0.06 25.08
Jakarta
Tabel di atas menunjukkan bahwa penggunaan air kemasan untuk sumber air minum
cukup besar. Kondisi ini berkaitan dengan kualitas dan kontinuitas air minum yang
disediakan oleh PDAM di DKI Jakarta masih belum memenuhi kriteria dan kebutuhan
masyarakat ataupun dikarenakan telah terjadi perubahan pola pemanfaatan
sumberdaya air dari air minum dimasak menjadi air minum tanpa dimasak.
Sementara itu, berdasarkan data dalam Jakarta Dalam Angka tahun 2011, jumlah Kepala
Keluarga yang tercatat sebagai pelanggan PDAM hanya sebanyak 698.420 KK dari total
Kepala Keluarga sebanyak 2,509.096 KK. Hal ini dapat diartikan hanya 27,8% penduduk
DKI Jakarta yang menggunakan sumber air perpipaan yang disuplai oleh PDAM atau
dengan kata lain sebagian besar masih menggunakan air tanah.
Data PDAM juga mencatat bahwa penggunaan air PDAM untuk keperluan domestic
adalah sebesar 168,77 juta m3 dalam kurun waktu satu tahun. Dengan rata-rata 1 Kepala
Keluarga terdiri dari 4 jiwa dan jumlah pelanggan sebanyak 698.420 KK, maka
Sumber air tanah di DKI Jakarta juga digunakan untuk keperluan non domestik. Data
dalam Jakarta Dalam Angka 2011 menyebutkan jumlah pelanggan pengguna air tanah
dalam dengan Sumur Artesis dan Sumur Pantek untuk keperluan air non domestik.
Total pemakaian air tanah dalam tahun 2010 adalah sebesar 10.049.814 m3 atau sekitar
0,33 m3/detik. Pengambilan air tanah dalam yang terus menerus dan tidak terkendali ini
dikawatirkan akan menyebabkan amblesan tanah maupun kelangkaan air tanah.
Tabel 2.5.
Pelanggan Air Tanah Dalam dengan Sumur Artesis dan Sumur Pantek
Makin intensifnya perkembangan kota DKI Jakarta akan membawa konsekuensi pada
munculnya berbagai permasalahan lingkungan. Dampak terhadap lingkungan yang
terjadi antara lain:
1. Terbatasnya resapan air tanah dangkal sebagai akibat makin bertambahnya luasan
kawasan terbangun. Keterbatasan ketersediaan air tanah dangkal ini menjadi
masalah penting untuk DKI Jakarta mengingat sebagian besar penduduk DKI
Jakarta menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih.
Tabel 2.6.
Perhitungan Perkiraan Potensi Air Tanah Dangkal
Koefisien Intensitas Potensi Air
Luas
Penggunaan Lahan Resapan Air hujan Tanah
(104 m2)
Hujan (10-8 m/detik) (m3/detik)
Kawasan Terbangun 61.521,44 0,1 4,6 2,83
Kawasan Tidak Terbangun 4.576,56 0,7 4,6 1,47
Total Potensi Air Tanah Dangkal 4,30
Sumber: Hasil Analisis, 2014
Hasil perhitungan tentang potensi resapan air tanah dangkal DKI Jakarta
menunjukkan bahwa hanya 4,30 m3/detik imbuhan air hujan ke dalam tanah.
Sementara hasil perhitungan menunjukkan bahwa diperkirakan saat ini
pengambilan air tanah dangkal di DKI Jakarta adalah sebesar 13,75 m3/detik.
2. Terjadinya intrusi air laut. Pengambilan air tanah dangkal yang berlebihan
menyebabkan terjadinya intrusi air laut dan penurunan permukaan tanah. Saat ini
DKI Jakarta sudah mengalami masalah penurunan permukaan tanah seperti dapat
dilihat pada gambar berikut.
Permasalahan pencemaran tanah, air dan udara di DKI Jakarta akan diuraikan lebih lanjut untuk
setiap sub ekoregion, yaitu sebagai berikut:
Kegiatan antropogenik di wilayah ini yang mencemari air diantaranya adalah semua
kegiatan seperti kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, kegiatan perkantoran, kegiatan
perkotaan, kegiatan rumah sakit dan berbagai kegiatan lainnya yang menghasilkan limbah
cair. Pada limbah cair terdapat berbagai bahan pencemar, seperti pada bahan pencemar
organik yang berasal dari kegiatan domestik yang merupakan bahan pencemar organik
mudah urai. Namun dari kegiatan industri dihasilkan pula limbah organik sulit urai
(persistant organic pollutant) yang merupakan bahan berbahaya dan beracun, sehingga
harus sangat diwaspadai keberadaannya. Pada limbah cair juga seringkali diperoleh bahan
Pada sub ekoregion ini juga terdapat banyak kegiatan transportasi dan kemacetan
kendaraan bermotor terutama pada jam berangkat serta jam pulang ke sekolah dan
kantor. Namun khusus di daerah yang menuju pelabuhan nasional dan internasional
antrian kendaraan seringkali terjadi tidak mengenal waktu. Oleh karena itu maka di wilayah
sub ekoregion ini potensi pencemaran udara terutama oleh karbon monoksida (CO), NOx,
logam berat seperti timbal, tembaga dan berbagai logam berat lainnya, hidrokarbon (HC)
terutama yang bersifat aromatik menjadi sangat besar. Selain hal tersebut adanya kegiatan
transportasi dan kemacetan kendaraan bermotor di ekoregion ini, ditambah dengan
kegiatan industri mengakibatkan terjadinya pencemaran fisik berupa kebisingan.
Tingginya potensi pencemaran udara di wilayah ini, walaupun beberapa penelitian dan
laporan kajian yang dilakukan di wilayah ini memperlihatkan bahwa pencemaran udara
tidak terdeteksi di wilayah sub ekoregion ini. Bahan pencemar tersebut akan segera turun
ke tanah, sebagai contoh logam berat, tingginya berat jenis logam berat dan adanya gaya
tarik bumi, mengakibatkan logam berat akan turun ke bumi, dan selanjutnya berpotensi
mengakibatkan terjadinya pencemaran tanah terutama oleh logam berat. Hal ini terlihat
dari terjadinya pencemaran tanah oleh logam berat timbal di wilayah Terminal Tanjung
Priok yang kandungan Pb-nya dalam tanah mencapai 14,9 ppm (Ruyani, 2014).
Selain pencemaran udara dan tanah, di wilayah sub ekoregion ini juga terjadi pencemaran
air sungai di wilayah ini. Pencemaran air sungai ini berasal dari kegiatan antropogenik yang
dilakukan di darat, terutama yang menghasilkan limbah cair. Limbah cair ini akan masuk ke
dalam sungai baik yang mengalami pengolahan terlebih dahulu maupun tidak mengalami
pengolahan terlebih dahulu. Limbah cair dari kegiatan domestik umumnya masuk ke dalam
sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu, sedangkan limbah cair dari kegiatan
industri ada yang mengalami pengolahan terlebih dahulu dan ada juga yang tidak
mengalami pengolahan terlebih dahulu. Namun demikian menurut Napitupulu (2009),
jumlah industri yang berada di PT. KBN hanya kurang dari 5% yang sudah memiliki IPAL, dan
dari yang memiliki IPAL tersebut, tidak semua perusahaan mengoperasikan IPAL-nya setiap
hari, sehingga akan mencemari sungai yang menerima limbah cair tersebut. Selain hal
Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya sampah
yang sangat banyak di wilayah ekoregion ini. Dalam hal ini dari jumlah penduduk yang
mencapai 740.163 orang akan terkumpul sampah sebanyak 2.221 m3, sampah tersebut juga
masih ditambah dari kegiatan industri, kegiatan perkotaan, kegiatan perdagangan serta
berbagai kegiatan lainnya yang jumlahnya sangat banyak, serta berasal dari sampah yang
melimpas dari hulu ke wilayah sub ekoregion ini. Oleh karena itu maka jumlah sampah di
wilayah sub ekoregion ini menjadi sangat banyak. Di lain pihak dari sampah yang terkumpul
ini kurang lebih 15%-nya tidak terangkut ke TPA, sehingga sampah yang ada di lokasi ini
akan mencemari lingkungan, memperburuk estetika di sub ekoregion ini dan akan
mengakibatkan tingginya sumbangan gas rumah kaca yang berasal dari sampah. Oleh
karena itu maka potensi pencemaran di sub ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air
menjadi sangat tinggi.
Terjadinya pencemaran terutama pencemaran tanah dan pencemaran udara di wilayah ini
juga sulit untuk menghindarinya, mengingat minimnya sarana dan prasarana untuk
mencegah terjadinya pencemaran, serta kondisi lingkungan yang kurang mendukung
meningkatnya kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampung. Hal ini terlihat dari
tingginya penggunaan lahan di sub ekoregion ini namun tidak dibarengi dengan tingginya
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru.
Seperti halnya pada sub ekoregion pasang surut berlumpur, pada sub ekoregion ini semua
kegiatan seperti kegiatan transportasi dengan jumlah penumpang yang sangat banyak,
kegiatan perdagangan, ekspor-impor, pelabuhan perikanan, perhotelan, perkantoran dan
berbagai kegiatan lainnya akan menghasilkan limbah cair, yang di dalamnya mengandung
berbagai bahan pencemar, baik berupa bahan pencemar organik mudah urai, bahan
organik sulit urai (persistant organic pollutant) dan bahan anorganik yang masuk pada
kategori bahan berbahaya dan beracun seperti logam berat serta bahan pencemar biologi
terutama bakteri E.coli dan berbagai jenis bakteri patogen, yang dapat menular ke manusia
yang sehat, serta terjadi pencemaran fisik terutama dalam bentuk kebisingan.
Pencemaran air tawar (terutama sungai) di wilayah ini terjadi karena adanya limbah cair
yang masuk ke dalam perairan baik yang berasal dari kegiatan domestik, kegiatan industri,
maupun dari kegiatan antropogenik lainnya, terutama limbah cair yang tidak mengalami
pengolahan terlebih dahulu, sehingga mencemari air permukaan, bahkan juga dapat
mencemari air tanah.Adanya kegiatan antropogenik yang sangat tinggi baik dari kegiatan
rumah tangga, kegiatan industri, kegiatan transportasi dan berbagai kegiatan
antropogenik lainnya, padahal pada kegiatan tersebut tidak memiliki IPAL, atau memiliki
IPAL namun tidak dioperasikan setiap hari, akan mengakibatkan sungai yang menerima
limbah cair tersebut tercemar berat. Kondisi tersebut bukan tidak mungkin sudah jauh
melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampungnya. Hal tersebut juga terlihat
dari pengamatan kasat mata, bahwa sungai yang melintas di wilayah sub ekoregion ini
berwarna hitam pekat dengan bau yang menusuk, sehingga mengindikasikan bahwa
perairan sungai di wilayah sub ekoregion ini tercemar berat.
Pada sub ekoregion ini yang merupakan wilayah dengan peruntukan utama untuk kegiatan
industri, selalu terjadi kegiatan transportasi yang cukup banyak, baik yang berasal dari
kegiatan industri seperti membawa bahan baku dan berbagai bahan lainnya,
mendistribusikan produk industri, transportasi pegawai, dan transportasi untuk berbagai
kegiatan lainnya. Oleh karena itu cukup wajar jika terjadi kemacetan kendaraan bermotor
terutama pada jam berangkat serta jam pulang kantor. Oleh karena itu maka di wilayah
Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya sampah
yang sangat banyak. Dalam hal ini dari jumlah penduduk yang mencapai 644.926 orang
akan terkumpul sampah sebanyak 1.935 m3 yang selalu meningkat dari tahun ke tahun
(BPS, 2009-2012). Jumlah sampah tersebut juga masih ditambah dari kegiatan industri,
kegiatan perkotaan, kegiatan perdagangan serta berbagai kegiatan lainnya yang jumlahnya
sangat banyak dan sayangnya tidak semua sampah terangkut ke TPA, sehingga sisa
sampah tersebut akan semakin mencemari lingkungan dan semakin memperburuk
estetika, sekaligus memberikan sumbangan gas rumah kaca yang berasal dari sampah
dalam jumlah yang cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka potensi pencemaran di
ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air menjadi sangat tinggi, sehingga melebihi
kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampung lingkungannya.
3. Dataran rawa
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang boleh dikatakan hampir tidak ada
kegiatan antropogenik, selain dari pergudangan yang jumlahnya sangat minim. Namun
demikian sulitnya mendapatkan lahan yang layak untuk membuat permukiman
mengakibatkan wilayah ini tetap dihuni oleh masyarakat dengan estimasi jumlah penduduk
di ekoregion ini yang mencapai 192.842 orang. Oleh karena itu, maka di wilayah ini potensi
pencemaran yang ada relatif lebih didominasi oleh kegiatan antropogenik berupa kegiatan
permukiman yang menghasilkan berbagai limbah baik berupa limbah cair, sampah,
maupun pencemaran udara yang berasal dari kegiatan domestik, yang semuanya masuk ke
dalam limbah domestik.
Pada dasarnya wilayah sub ekoregion ini merupakan ruang terbuka biru yang tidak boleh
diganggu. Namun pada kenyataannya tetap dialih fungsikan untuk keperluan permukiman
dan pergudangan. Walau jumlah alih fungsi lahan masih sangat minim, namun tentunya
harus diperhatikan lebih seksama, jangan sampai terjadi alih fungsi lahan lagi, karena rawa
sebagai ruang terbuka biru yang sangat dibutuhkan sebagai daerah tangkapan air. Selain
itu juga adanya ruang terbuka biru juga akan menyerap berbagai bahan pencemar,
sehingga relatif akan menurunkan jumlah bahan pencemar yang beredar di lingkungan.
4. Dataran banjir
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang dipenuhi oleh permukiman ilegal yang
terdapat di sepanjang bantaran sungai. Wilayah ekoregion ini cukup padat penduduknya,
hasil estimasi terhadap jumlah penduduk adalah 591.587 orang. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Santoso (2009) di Bantaran Sungai Ciliwung - Jakarta, yang mengatakan bahwa
Bantaran Sungai Ciliwung berkelok-kelok dan dipenuhi oleh bangunan, yang tidak lain dari
ciri umum bantaran sungai-sungai lain di Wilayah Jakarta. Selanjutnya dikatakan bahwa
kepadatan (floor aspect ratio 90-100%) dengan tutupan yang sangat masif, sedangkan
ketinggian lantai bangunan permukiman rata-rata masih sangat rendah (kurang dari 2
lantai), padahal kawasan ini merupakan kawasan rawan banjir. Kawasan permukiman
kumuh dan padat terletak/diapit oleh Sungai Ciliwung dan Jalan Otista. Pola struktur
geometris di peri-peri jalan utama seperti Jalan Otista, Cassablanca dan MT Haryono, dan
organik dan tak teratur di sekitar Sungai Ciliwung.
Di wilayah ini permukiman yang ada di sepanjang sungai umumnya tidak beraturan, dengan
sanitasi yang juga tidak bagus. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Suprijanto (1995),
bahwa karakterisktik umum permukiman di tepi sungai antara lain adalah:
belum adanya panduan penataan permukiman yang baku, sehingga pada kawasan
permukiman di atas air cenderung rapat dan kumuh;
Tipologi bangunan yang berada di bantaran sungai umumnya menggunakan struktur
dan konstruksi tradisional dan konvensional seperti rumah-rumah kayu dengan
struktur sederhana;
Seperti dijelaskan oleh Suprijanto (1995), kenyataan yang terdapat di lapang identik
dengan pernyataan tersebut, yakni masyarakat yang tinggal di wilayah sub ekoregion ini
pada umumnya akan membuang limbah domestik cair, feses dan sampahnya langsung ke
sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu, di wilayah sub
ekoregion ini umumnya terlihat kekumuhan di sana sini, dengan estetika yang juga buruk.
Selain itu pada saat hujan cukup lebat atau bahkan pada saat di wilayah hulu sungai
tersebut hujan, seringkali wilayah tersebut juga mengalami musibah banjir. Walaupun
wilayah ini relatif lebih didominasi oleh permukiman ilegal, namun karena kesadaran
masyarakatnya terhadap kelestarian lingkungan cukup rendah, maka di wilayah ini cukup
banyak dihasilkan bahan pencemar yang dihasilkan dari berbagai jenis kegiatan
antropogenik yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di bantaran sungai tersebut,
selanjutnya bahan pencemar tersebut akan mencemari lingkungan perairan, sehingga akan
mencemari air, udara maupun tanah di sub ekoregion ini.
Kegiatan antropogenik terutama kegiatan rumah tangga di wilayah ini yang mencemari air
bukan hanya berasal dari limbah cair dan limbah padat saja, namun juga dari kegiatan
buang air besar. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pencemaran biologi terutama
pencemaran bakteri E.coli dan bakteri patogen. Pada kegiatan rumah tangga tersebut,
bukan hanya bahan organik mudah urai saja yang akan dihasilkan dari kegiatan rumah
tangga, seperti yang tercantum pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 112
Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, yang di dalamnya hanya mengatur
empat parameter yang terdapat pada limbah domestik, yakni pH, BOD, TSS serta minyak
dan lemak. Namun menurut Riani et al. (2009) juga akan dihasilkan bahan-bahan berbahaya
Pada sub ekoregion ini juga terdapat kegiatan transportasi yang relatif lebih didominasi
oleh kegiatan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Walau di lokasi ini relatif tidak terjadi
kemacetan kendaraan bermotor, namun kegiatan rumah tangga dan sampah yang
menumpuk di berbagai lokasi dan sampah yang dibuang langsung ke sungai
mengakibatkan adanya potensi untuk terjadinya pencemaran udara terutama oleh karbon
monoksida (CO), NOx, logam berat seperti timbal, tembaga dan berbagai logam berat
lainnya, hidrokarbon (HC) terutama yang bersifat aromatik serta pencemaran pestisida.
Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya kebiasaan
dari masyarakat yang membuang sampah apapun langsung ke dalam sungai tanpa
mengalami pengolahan apapun. Selain itu juga diperberat oleh sampah dan limbah yang
berasal dari bagian sungai yang lebih ke hulu. Oleh karena itu maka pencemaran air dan
tanah serta udara akibat dari pembuangan sampah di wilayah sub ekoregion ini menjadi
sangat banyak, dan sebagian besar tidak dibawa ke TPA, sehingga sampah yang ada di
lokasi ini mencemari lingkungan, memperburuk estetika dan mengakibatkan tingginya
sumbangan gas rumah kaca dan potensi pencemaran di ekoregion ini baik di udara, di
tanah dan di air menjadi tinggi.
Terjadinya pencemaran terutama pencemaran tanah, air dan pencemaran udara di wilayah
ini juga sulit untuk menghindarinya, mengingat permukiman tersebut merupakan
permukiman illegal, sehingga sarana dan prasarana yang ada di lokasi ini juga sangat
minim, sehingga kondisi lingkungan di wilayah sub ekoregion ini kurang mendukung dalam
meningkatkan kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampung pencemaran. Bahkan
kondisi ini juga semakin diperburuk dengan kondisi bantaran sungai yang seharusnya
dihijaukan (menjadi ruang terbuka hijau), berdasarkan keberadaan ruang terbuka hijau
eksisting dengan potensinya untuk menjadi ruang terbuka hijau, ada indikasi bahwa ruang
terbuka hijau eksisting yang ada umumnya kurang dari 50% dari potensi yang seharusnya
(Santoso, 2009).
5. Dataran fluviomarin
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang paling padat penduduknya. Hasil
estimasi terhadap jumlah penduduk adalah 3.040.016 orang. Di wilayah ini juga terdapat
berbagai kegiatan antropogenik, mulai dari transportasi yang sangat banyak, kegiatan
Kegiatan antropogenik di wilayah sub ekoregion ini yang mencemari air diantaranya adalah
kegiatan industri, kegiatan rumah tangga, kegiatan perkantoran, kegiatan perkotaan,
kegiatan rumah sakit dan berbagai kegiatan lainnya yang secara keseluruhan akan
menghasilkan limbah cair. Pada limbah cair terdapat berbagai bahan pencemar, seperti
pada bahan pencemar organik dari kegiatan domestik yang mudah urai serta bahan
organik sulit urai (persistant organic pollutant), serta bahan pencemar anorganik seperti
logam berat, unsur radioaktif, dan sebagainya; juga sering terdapat bahan pencemar
biologi terutama bakteri E.coli dan berbagai biota lainnya.
Pada sub ekoregion ini juga terdapat banyak kegiatan transportasi dan kemacetan
kendaraan bermotor terutama pada jam berangkat serta jam pulang ke sekolah dan
kantor. Namun khusus di daerah yang menuju pelabuhan nasional dan internasional
antrian kendaraan yang melintas di sub ekoregion ini umumnya terjadi setiap saat. Selain
hal tersebut, pada wilayah yang digunakan untuk kegiatan industri juga terjadi kemacetan
yang selalu terjadi pada saat jam masuk dan keluar kantor. Oleh karena itu maka di wilayah
ekoregion ini potensi pencemaran udara terutama oleh pencemaran fisik terutama
kebisingan dan pencemaran kimia seperti karbon monoksida (CO), NOx, logam berat
seperti timbal, tembaga dan berbagai logam berat lainnya, hidrokarbon aromatik (HC)
menjadi sangat besar.
Tingginya potensi pencemaran udara di wilayah sub ekoregion ini, akan sangat
membahayakan kesehatan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Namun sesuai dengan
sifat bahan pencemar tersebut yang ada di udara, akan mengalami baik deposisi kering
maupun deposisi basah, sehingga bahan pencemar tersebut akan segera turun ke tanah,
sebagai contoh logam berat, tingginya berat jenis logam berat dan adanya gaya tarik bumi,
Selain pencemaran udara dan tanah, di wilayah sub ekoregion ini juga terjadi pencemaran
air, baik air sungai maupun air tanah di wilayah ini. Pencemaran air pada sungai-sungai yang
melintas pada sub ekoregion ini umumnya berasal dari kegiatan antropogenik yang
dilakukan di darat, terutama yang menghasilkan limbah cair. Limbah cair yang berasal dari
kegiatan antropogenik ini akan masuk ke dalam sungai, baik yang mengalami pengolahan
terlebih dahulu maupun tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu. Seperti dinyatakan
oleh Napitupulu (2009) limbah cair dari kegiatan industri cukup banyak yang langsung
masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Berbeda dengan
limbah cair industri, limbah cair domestik umumnya tidak mengalami pengolahan terlebih
dahulu (Riani, Sitepu, Cordova, 2009). Selain hal tersebut limbah cair yang masuk ke
sungai-sungai yang melintasi sub ekoregion ini, juga membawa limbah cair dan sampah
yang berasal dari wilayah hulunya, sehingga mengakibatkan sungai yang berada di wilayah
sub ekoregion ini menjadi tercemar sangat berat, dan beban pencemaran di wilayah sungai
tersebut juga menjadi sangat tinggi, jauh melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung dan
daya tampungnya. Selain pencemaran pada air permukaan potensi pencemaran pada air
tanah juga cukup tinggi di wilayah sub ekoregion ini. Hasil penelitian terhadap sumur-
sumur penduduk di sub ekoregion ini memperlihatkan bahwa kandungan bahan organik
terutama nitrogen dan posfor, dan bakteri E.coli yang terdapat pada air sumur penduduk
terutama di wilayah permukiman kumuh umumnya sudah jauh di atas ambang batas yang
ditentukan dengan kondisi air yang sudah tidak tawar lagi (Sunartopo, 2008).
Kondisi pencemaran di sub ekoregion ini juga semakin diperberat oleh adanya sampah
yang sangat banyak. Dalam hal ini dari jumlah penduduk yang sangat padat yakni mencapai
3.040.016 orang akan terkumpul sampah sebanyak 9.120 m3.Sampah tersebut juga masih
ditambah dari kegiatan industri, kegiatan perkotaan, kegiatan perdagangan, kegiatan
pasar, kegiatan rumah sakit serta berbagai kegiatan lainnya yang jumlahnya sangat banyak.
Selain itu juga berasal dari sampah yang melimpas dari hulu ke wilayah sub ekoregion ini.
Terjadinya pencemaran terutama pencemaran air, tanah dan pencemaran udara di wilayah
sub ekoregion ini juga sulit untuk menghindarinya, mengingat jumlah penduduk yang
sangat banyak, minimnya sarana dan prasarana untuk mencegah terjadinya pencemaran,
minimnya sarana dan prasarana transportasi, serta minimnya kendaraan atau angkutan
umum (public transportation) yang aman dan menjangkau semua wilayah, termasuk
wilayah hintherland-nya, sehingga mengakibatkan terjadinya kemacetan serta kondisi
lingkungan yang kurang mendukung meningkatnya kapasitas asimilasi, daya dukung dan
daya tampung. Hal ini terlihat dari tingginya penggunaan dan alih fungsi lahan di sub
ekoregion ini namun tidak dibarengi dengan tingginya ruang terbuka hijau dan ruang
terbuka biru.
6. Dataran fluvio-vulkanik
Wilayah sub ekoregion ini merupakan wilayah yang lebih didominasi oleh kegiatan
antropogenik permukiman. Kegiatan antropogenik lainnya adalah perdagangan dan jasa
serta perkantoran dan perhotelan. Hasil estimasi terhadap jumlah penduduk di sub
ekoregion ini berkisar 3 juta orang.Walaupun di sub ekoregion ini relatif tidak ada industri
(besar), namun kegiatan antropogenik permukiman, perdagangan dan jasa, perkantoran,
dan perhotelan serta berbagai kegiatan antropogenik lainnya tetap akan menimbulkan
tekanan pada lingkungan dan terjadinya pencemaran. Kegiatan-kegiatan antropogenik
tersebut akan menghasilkan bahan pencemar yang lebih didominasi oleh bahan pencemar
organik. Namun demikian di wilayah sub ekoregion ini juga akan tetap dihasilkan bahan
pencemar yang masuk ke dalam bahan berbahaya dan beracun yang biasa digunakan pada
kegiatan domestik seperti pestisida, logam berat (dari bahan elektronik), detergen, dan
sebagainya, yang selanjutnya akan mencemari lingkungan perairan dan mencemari
daratan, baik mencemari udara maupun mencemari tanah.
Pada sub ekoregion ini, walaupun bukan merupakan wilayah dengan peruntukan sebagai
wilayah industri, namun juga terdapat banyak kegiatan transportasi dan kemacetan
kendaraan bermotor terutama pada jam berangkat serta jam pulang ke sekolah dan kantor
yang menyebabkan sangat tingginya potensi pencemaran udara di wilayah ini. Seperti
halnya di wilayah sub ekoregion yang lain, bahan pencemar yang mempunyai potensi
tinggi mencemari udara di ekoregion ini antara lain adalah karbon monoksida (CO), NOx,
logam berat, hidrokarbon aromatik, dan berbagai bahan lainnya seperti dioksin dan furan
serta kebisingan, sehingga akan mengganggu kesehatan masyarakat yang menghuni
ekoregion ini, atau yang dalam kesehariannya cukup lama tinggal di wilayah ini. Tingginya
kegiatan transportasi dan adanya terminal antar kota dan antar provinsi di wilayah sub
ekoregion ini mengakibatkan tingginya pencemaran udara oleh bahan berbahaya dan
beracun terutanma logam berat, poliaromatik hidrokarbon, senyawa-senyawa organik sulit
urai, dan berbagai bahan pencemar lain yang sangat membahayakan kesehatan
masyarakat. Bahkan hasil penelitian Ruyani (2014) memperlihatkan bahwa tanah yang ada
Selain pencemaran udara dan tanah, di wilayah sub ekoregion ini juga terjadi pencemaran
air. Pencemaran air sungai di wilayah ini lebih didominasi oleh limbah domestik, baik yang
berasal dari kegiatan permukiman ataupun dari kegiatan domestik lainnya, seperti limbah
cair domestik dan sampah. Limbah cair domestik pada umumnya masuk ke dalam sungai
tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Adapun bahan-bahan kimia yang berpotensi
mencemari sungai dan mengakibatkan nilainya berada di luar batas ambang adalah BOD,
DO, COD, H2S, othofosfat, amonia, nitrit, nitrat, phenol, detergen, fecal coli, dan pH (Riani
et al. 2009). Selanjutnya dikatakan bahwa limbah cair domestik juga seringkali
mengakibatkan terjadinya kontaminasi pada air sumur, terutama terkontaminasi oleh
nitrat, phenol detergen dan fecal coli. Selain hal tersebut limbah cair yang masuk ke sungai
yang melalui sub ekoregion ini bukan hanya disumbang oleh limbah domestik cair dari
wilayah ini, namun juga membawa limbah cair dan sampah yang berasal dari hulu, yang
mengakibatkan beban pencemaran di wilayah sungai sangat tinggi, bahkan diduga sudah
jauh melebihi kapasitas asimilasi, daya dukung dan daya tampungnya.
Pada dasarnya pencemaran di sub ekoregion ini semakin diperberat oleh adanya sampah
yang cukup banyak, terutama dari kegiatan rumah tangga, dari sampah yang berasal dari
sampah yang melimpas dari hulu. Di lain pihak dari sampah yang terkumpul, kurang lebih
15%-nya tidak terangkut ke TPA. Dari sampah yang tidak terangkut, akan mencemari
lingkungan (mengakibatkan tingginya pencemaran udara terutama oleh gas-gas beracun
seperti nitrit, amoniak dan H2S), memperburuk estetika serta akan memberi sumbangan
terhadap meningkatnya gas rumah kaca. Oleh karena itu maka potensi pencemaran di sub
ekoregion ini baik di udara, di tanah dan di air menjadi sangat tinggi.
Berdasarkan uraian tentang karakteristik ekoregion darat dan tren kondisi serta permasalahan
lingkungan di daratan DKI Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa driving factor permasalahan
lingkungan dan dalam kaitannya dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup adalah faktor manusia yang mencakup baik jumlah maupun pola pemanfaatan SDA-nya.
Oleh sebab itu, di dalam RPPLH DKI Jakarta akandilengkapi dengan pengaturan hak,
kewajiban, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam melaksanakan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.Faktor manusia merupakan aspek kajian sosial dan ekonomi
dalam pola pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat dalam kawasan ekoregion darat dan
laut Provinsi DKI Jakarta. Hasil kajian ini akan mengerucut pada dirumuskannya arahan mitigasi
Masalah sosial dan ekologi yang menjadi polemik adalah belum terpecahkannya masalah banjir
dan kemacetan yang melanda Jakarta. Pada Tahun 2010 merupakan peristiwa banjir terparah
dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Kejadian ini membawa kita pada pemahaman terhadap
masalah utama yang dihadapi oleh kota Jakarta. Permasalahan kemacetan dan banjir di
wilayah Jakarta merupakan permasalahan lingkungan yang dilatari oleh pola perencanaan
pembangunan yang berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, alhasil kurang
mengindahkan aspek sosial dan ekologi sehingga tercipta pembangunan social error.
Apabila ditelaah lebih dalam dan dikaji secara sosial, akar utama dari berbagai permasalahan
sosial di Provinsi DKI Jakarta tidak terletak pada kendala teknologi, infrastruktur, atau aspek
finasial tetapi pada sistem tata kelola infrastruktur dan lingkungan. Konsekuensi ekologis dan
sosial sebagai akibat dari pembangunan di Jakarta yang begitu massif, menciptakan proses
pembangunan di Jakarta selama ini hanya didorong oleh penciptaan dan rekayasa proyek serta
anggaran, sehingga keberpihakan pada lingkungan dan masyarakat kecil belum menjadi
obyektif dari proses pembangunan di Jakarta.
Merujuk dari data infrastruktur Jakarta, daya dukung infrastruktur jalan DKI hanya mampu
menampung 1,05 juta kendaraan. Sedangkan panjang jalan yang dimilik kota Jakarta adalah
7.650 kilometer dan luas ruas jalan 40,1 kilometer atau sekitar 6,2 persen dari luas wilayah
Provinsi DKI Jakarta. Upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini
masih melakukan upaya pembangunan infrastruktur jalan untuk mengurangi permasalahan
kemacetan.Akan tetapi kemacetan tetap terjadi dikarenakan karena volume kendaraan yang
begitu banyak.
Demikian pula dengan permasalahan banjir juga bersumber dari paham antroposentris yang
dianut masyarakatnya. Kesenjangan pembangunan dalam dimensi sosial juga berdampak
langsung pada isu banjir di Jakarta. Pembangunan di Jakarta menjadi pull factor tersendiri bagi
masyarakat di berbagai penjuru tanah air untuk mencari peruntungan di ibukota. Isu disparitas
kemampuan ekonomi pun menjadi menarik berkaitan sebagai akar masalah penyebaran pola
pemukiman yang dapat menyebabkan banjir. Masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi
cukup mapan, area permukiman mereka terpusat pada pusat-pusat kota yang strategis dengan
kemampuan mereka menanggung beban ekonomi yang harus dikeluarkan sebagai
konsekuensi logis atas hak yang telah mereka dapatkan untuk menempati kawasan tersebut.
Namun sebaliknya bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang kurang, dengan jumlah
Keberadaan kawasan kumuh di DKI Jakarta tidak terlepas dari masalah pertambahan
penduduk yang pesat tanpa diimbangi dengan ketersediaan perumahan untuk menampung
penduduk tersebut. Kawasan kumuh di DKI Jakarta pada umumnya berada di bantaran sungai
(DAS), rel kereta api, sekitar terminal, stasiun dan lainnya dan pada umumnya dihuni oleh
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Jika permukiman kumuh ini terabaikan dalam
proses pembangunan maka lama kelamaan persoalan permukiman kumuh akan semakin luas
dan kompleks, baik dari sisi lingkungan fisik yang tidak sehat dan tidak nyaman, maupun sisi
sosial dan ekonomi.
Dari uraian di atas, berbagai permasalahan lingkungan di Provinsi DKI Jakarta terkait erat
dengan pola pemanfaatan, perlindungan, dan pengelolaan SDA yang tidak sesuai kapasitas
daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dimilikinya. Berdasarkan permasalahan –
permasalahan tersebut, isu-isu strategis ekoregion darat DKI Jakarta dapat teridentifikasi yaitu:
1. Kerawanan perubahan iklim
2. Pemanfaatan sumberdaya air yang berlebih
3. Keterbatasan ketersediaan lahan
4. Keterbatasan sarana dan prasarana kota
Pada dasarnya masyarakat di Kepulauan Seribu mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan
yang pekerjaan utama mereka. Akan tetapi pergeseran mata pencaharian masyarakat
Kepulaun Seribu sebagai penyedia jasa untuk transportasi wisata dan penyedia jasa
penginapan wisata mulai pada Tahun 1970-an. Letak Kepulauan Seribu yang masuk dalam
daerah administrasi DKI Jakarta menjadikan Kepulaun Seribu sebagai obyek wisata yang ramai
di kunjungi warga Jakarta dan sekitarnya.
Besaran luasan pulau rata-rata memiliki 10 ha dan berada 3 meter dibawah permukaan air laut.
Secara administrasi wilayah Kepulauan Seribu masuk dalam kewenangan dan aturan regional
Provinsi DKI Jakarta. Kepulaun Seribu dijadikan sebagai berbagai lokasi kunjungan dan aktivitas
diantaranya: wisata, galian pasir untuk bangunan infrastruktur masyarakat dan rumah
masyarakat, pertambangan minyak bumi lepas pantai, transportasi laut dan perikanan tangkap
serta budidaya.
Kepulauan Seribu merupakan tempat mata pencaharian penduduk sekitar dari ratusan tahun
yang lalu. Aktivitas pada awalanya adalah untuk perikanan tangkap, walaupun daerah tangkap
jauh dari pulau pulau yang dihuninya. Pada saat penjajahan Kolonial Belanda, Kepulauan Seribu
digunakan sebagai benteng untuk melindungi kekuasaan Belanda yang ada di Batavia. Dengan
adanya benteng pertahanan yang ada di Pulau Kelor dan Karantina yang ada di Pulau Onrust
merupakan sisa sejarah bahwa Wilayah Kepulaun Seribu adalah last frontier pertahanan laut
Belanda yang digunakan untuk menghalau musuh yang datang dari perairan Malaka.
Berdirinya Pelabuhan Priok dan Sunda Kelapa merupakan bentuk tinggalan Pemerintah
Kolonial yang pada saat itu menggunakan alur laut dalam usaha kekuasaan dan perdagangan
pemerintah kolonial.
Kondisi ekosistem beberapa dekade akhir ini mengalami degradasi akibat berkembangnya
Jakarta sebagai kota metropolitan. Reklamasi pantai yang digunakan untuk pembangunan
kawasan industri, pemukiman dan pusat aktivitas masyarakat menyebabkan berubahnya
fungsi lahan dan konversi lahan, dalam hal ini kawasan perairan Kepulauan Seribu menjadi
daerah penyangga.
Disamping angin monsun tersebut juga terdapat pengaruh pemanasan dan pendinginan
daratan di sebelah selatan (Pulau Jawa) yang secara harian menimbulkan angin laut dan angin
darat. Kecepatan angin bervariasi antara 10 – 15 knot yang umumnya berlangsung dari jam
12.00 sampai 19.00. Angin laut terkuat behembus sekitar jam 16.00, dimana angin ini sangat
aktif pada musim kemarau dan pengaruhnya bisa mencapai sampai 50 mil dari pantai. Suhu
udara maksimum mencapai 32oC dan suhu minimum 21oC, sementara suhu rata-rata mencapai
27oC. Kelembaban udara arata-rata 80 %.
Sementara, struktur geologi dasar laut di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, dapat
tercermin dari peta batimetri yang menggambarkan topografi dasar laut di kawasan ini. Sangat
jelas terlihat bahwa dasar laut di kawasan ini pada dasarnya landai, tetapi di sekitar pulau-pulau
karang kelerangannya makin curam. Sekitar Pulau Pari terdapat alur memanjang yang dalam
sampai sekitar 90 m.
Dasar laut di perairan DKI Jakarta ini sebagian besar wilayahnya memiliki kelerengan dasar laut
antara 0,060-0,170, sebagian lagi memiliki kelerengan antara 00 – 0,060 serta sebagian kecil
wilayahnya mempunyai kelerengan dasar laut berkisar antara 0-170 - 0,350. Keseluruhan lereng
dasar laut di ekoregion ini termasuk pada kategori kelas lereng datar-agak miring (00-10)
(Sulistyo danTriyono, 2009).
Adapun sedimen dasar di kawasan Ekoregion Laut Provinsi DKI ini terutama terdiri dari
komponen pasir dan lanau (31,07 %) dan lumpur (68,93 %). Yang dimaksud dengan lanau disini
adalah material granular dengan ukuran butir antara pasir dan lempung dengan mineral
dominan berupa kuarsa dan felspar. Lanau dapat berupa tanah atau campuran sedimen yang
terendapkan pada badan air.
Gambar 2.9. Peta Kelerengan Dasar Laut Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta
Arah dan kekuatan arus di perairan DKI Jakarta dipengaruhi oleh angin Monsun. Pada Monsun
Barat (Desember-Februari) pergerakan arus sebagian besar bergerak dari arah barat ke arah
tenggara dengan kecepatan berkisar antara 0,05 – 0,1 m/detik. Memasuki Monsun Peralihan I
(Maret-Mei) terjadi proses perubahan arah pergerakan arus yang semula menuju ke Timur
menjadi menuju ke Barat dengan kecepatan yang lebih rendah yaitu berkisar antara 0,01 – 0,08
m/detik. Pergerakan arus menuju ke arah barat terus berlangsung hingga memasuki Monsun
Timur (Juni-Agustus) dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni berkisar antara 0,01 –
0,1 m/detik. Pada Monsun Peralihan II (September-November) pergerakan arus di ekoregion ini
memiliki arah yang tidak beraturan dengan kecepatan arus yang cukup rendah yakni 0,01 –
0,05 m/detik.
Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata klimatologi dari massa air laut pada lapisan
permukaan di perairan ini memiliki nilai berkisar antara 29 – 29,75oC (Boyer et al., 2009). Suhu
Berdasarkan turunan data dari HYCOM+NCODA NRL archieve dataset untuk periode tahun 2012
(Cummings & Smedstad, 2013), kadar salinitas pada perairan ini memiliki nilai berkisar antara 28
– 31,25 PSU, sedangkan berdasarkan pengukuran pada tahun 2009 pada musim kemarau
salinitas permukaan di Teluk Jakarta memiliki nilai berkisar antara 31,6 – 33 PSU (Wiryawan &
Djohar, 2014).
Boyer et al. (2012) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut berkisar antara 4,1 – 4,3 ml/liter
sedangkan berdasarkan pengukuran BPLHD tahun 2007 kadar oksigen terlarut di Teluk Jakarta
berkisar antara 4 – 6 ml/liter (Wiryawan & Djohar, 2014). Sementara itu, menurut Boyer et al.
(2009) kondisi sebaran nutrien di perairanini memiliki konsentrasi fosfat berkisar antara 0,5 –
0,8 µmol/liter; konsentrasi silikat berkisar antara 1 – 5 µmol/liter. Konsentrasi nitrat berdasarkan
pengukuran BPLHD tahun 2011 berkisar antara 0,01 – 0,35 mg/liter.
Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu mempunyai keanekaragaman hayati (kehati) yang cukup
tinggi. Ekosistem perairan tropis yang penting terdapat di kawasan ini seperti ekosistem
mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang.Tiap ekosistem ini dihuni oleh
beragam spesies. Dari berbagai sumber (Estradivarai et al. 2009, Setiawan et al. 2009) dapat
disarikan bahwa di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu terdapat karang keras (hard corals)
sebanyak 193 spesies, ikan karang 233 spesies, echinodermata 46 spesies; lamun 8 spesies.
Beberapa spesies termasuk telah dilindungi seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan
penyu hijau (Chelonia mydas).
Dalam konteks kewilayahan nasional, ekoregion laut Provinsi DKI Jakarta termasuk dalam
Ekoregion Laut (EL-6). Secara umum, EL-6 yang merupakan bagian dari Laut Jawa adalah laut
dangkal yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Ini dimungkinkan karena
hembusan angin di atas laut dangkal dapat menyebabkan terjadinya percampuran air secara
vertikal (vertical mixing) pada seluruh kolom air dari permukaan sampai ke dasar, hingga
nutrien yang lebih kaya di dasar dapat terangkat dan dimanfaatkan dalam proses produksi
organik. Selain itu, Laut Jawa juga diapit oleh pulau-pulau besar seperti Pulau Jawa dan
Kalimantan yang melimpahkan air dari sungai-sungai yang membawa nutrient yang
memperkaya perairan tersebut. Tingginya produktivitas organik di suatu perairan, dalam
banyak hal menunjang tingginya keanekaragaman hayati (kehati). Di EL-6 misalnya terdapat
banyakekosistem lamun, terumbu karang dan mangrove yang mengandung kehati yang
Hasil studi penetapan wilayah ekoregion laut yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya,
menghasilkan pembagian wilayah ekoregion laut DKI Jakarta menjadi 5 ekoregion laut yaitu:
a. Ekoregion laut 6.3.1: Pesisir Utara Jawa
b. Ekoregion laut 6.3.2: Dangkalan Utara Jawa
c. Ekoregion laut 6.3.3: Alur Utara Jawa
d. Ekoregion laut 6.3.4: Perairan Kepulauan Seribu
e. Ekoregion laut 6.2.2: Dangkalan Lampung
Penjelasan terkait penyusunan dan informasi detail ekoregion laut dapat dilihat di buku
“Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta”. Berikut adalah penjelasan ringkas terkait kondisi
lingkungan hidup di setiap ekoregion laut:
Pulau yang berpenghuni hanyalah Pulau Lancang Besar dan Pulau Lancang Kecil. Sampah
yang tak putus-putusnya hanyut dalam jumlah besar dari daratan Jakarta yang terdampar
di pulau ini merupakan masalah yang mengganggu lingkungan dan kegiatan nelayan. Pada
musim barat, bagan apung penangkap ikan dipindahkan lokasinya ke sebelah selatan
pulau, sedangkan pada musim timur bagan-bagan itu dipindahkan ke utara untuk
menghindari tekanan sampah dari Jakarta yang sangat mengganggu.Tampaknya belum
ada solusi terbaik untuk menangani masalah sampah kiriman ini. Penduduk Pulau Lancang
mulai mengalihkan mata pencaharian mereka ke kegiatan pariwisata, misalnya dengan
mengelola rumah singgah (home stay) tidak saja di pulau ini tetapi juga di pulau lainnya di
luar ekoregion ini, seperti di Pulau Pari.
EL 6.3.3 terletak lebih jauh ke utara dari metropolitan Jakarta, dan karenanya pula
dampaknya terhadap ekoregion laut ini lebih kecil. Dengan adanya alur laut dalam sebelum
mencapai pulau-pulau lain dalam wilayah utara Kepulauan Seribu, maka pengaruh daratan
Jakarta hampir tidak dirasakan di ekoregion ini. Sebagai contoh, kondisi terumbu karang di
wilayah ekoregion 6.3.3 tidak mendapat pengaruh sedimentasi dari daratan Jakarta (Tuti et
al, 2010), dibandingkan dengan pulau Lancang (Ekoregion 6.3.2) dan pulau Onrust
(Ekoregion 6.3.1) yang telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di kedua pulau
Meskipun demikian telah terdeteksi terjadinya pencemaran air, dan perubahan komposisi
dan tutupan karang keras seiring dengan berjalannya waktu. Pulau berpenghuni antara lain
Pulau Pari, Pulau Tidung dan Pulau Payung. Perkembangan penduduk di pulau-pulau ini
telah menyebabkan masalah ketersediaan air tawar terutama di musim kemarau,
sedangkan di perairan pantai telah menunjukkan adanya pencemaran. Penduduk pulau-
pulau ini semula adalah nelayan penangkap ikan, namun setelah bekembangnya budidaya
rumput laut yang sangat berhasil, penduduk mengalihkan mata pencahariannya ke
budidaya rumput laut. Tetapi keberhasilan ini kemudian berakhir collapse setelah budidaya
rumput laut terserang penyakit yang mengakibatkan runtuhnya seluruh budidaya rumput
laut ini. Kini sebagian besar penduduk telah beralih profesi dengan keterlibatan dalam
aktivitas pariwisata. Di pihak lain muncul pihak tertentu yang mendirikan resort di dalam
gugus Pulau Pari, yang melakukan pembangunan konstruksi pantai dan dermaga dengan
penggalian karang dan pembendugan pantai yang merusak lingkungan tanpa adanya
kontrol yang memadai dari pihak berwajib. Hal ini menunjukkan terjadinya konflik
pemanfaatan ruang dan lemahnya penegakan hukum.
EL 6.3.4.memiliki pulau terbanyak yang masuk dalam zona Taman Nasional Kepulauan
Seribu (TNKS) dan dideliniasi berdasarkan parameter batimetri dan keanekaragaman
hayati. Wilayah TNKS telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
6310/Kpts-II/2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Perairan TNKS seluas 107.489 hektar. Adapun pembagian zonasi ditetapkan oleh Direktur
EL 6.2.2 meliputi sebagian perairan Laut Jawa dan hanya mencakup satu pulau saja yaitu
Pulau Sebira (8 ha) dengan jumlah penduduk sekitar 500 jiwa. Pulau ini merupakan bagian
paling utara dari gugus Kepulauan Seribu. Pulau ini, telah berada di luar Taman Nasional
Kepulauan Seribu, dan bercirikan dengan adanya mercu suar yang vital untuk navigasi
Keberagaman mata pencaharian masyarakat di Kepulauan Seribu terlihat dari pola ekonomi
keseharian masyarakat di Kepulauan Seribu yang berprofesi sebagai nelayan, guide tourism,
pedagang serta penyedia home stay bagi wisatawan yang berkunjung ke wilayah Kepulauan
Seribu. Jumlah penduduk di Kepulauan Seribu mengalami peningkatan seiring terdapatnya
dorongan faktor ekonomi yang berpotensi seperti aspek kepariwisataan dan aspek ekonomi
lainnya. Hal ini dapat dilihat dari Sensus Penduduk DKI Jakarta 2010 Proyeksi Penduduk 2030,
memperkirakan jumlah penduduk Kepulauan Seribu pada Tahun 2030 diperkirakan mencapai
31.757 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 3%. Data Proyeksi Kepadatan Penduduk
di Kepulauan Seribu dijelaskan pada tabel berikut.
Jumlah
Laju Penduduk Proyeksi Penduduk (Jiwa)
Kecamatan Pertumbuhan (Jiwa)
(%)
2010 2015 2020 2025 2030
Struktur livelihood masyarakat Kepulauan Seribu dibedakan secara garis besar menjadi
beberapa kegiatan ekonomi sehari hari berbasis mata pencaharian masyarakat. Setidaknya dari
hasil kajian lapangan didapatkan ekonomi keluarga sektor nelayan, penyedia jasa pariwisata,
penyedia jasa angkutan dan perdagangan. Analisis hasil pendapatan rumah tangga dari hasil
kajian di lapangan yang dilakukan pada Bulan Mei 2014 mendapatkan beberapa sampel
pendapatan rumah tangga dari beberapa mata pencaharian seperti nelayan dan penyedia jasa
pariwisata. Masyarakat Kepulauan Seribu dalam aspek perikanan (nelayan) masih mengenal
pola patronase (patron-klien) dengan sistem pinjaman modal melaut dari palele (istilah untuk
middle man/patron memberikan pinjaman finansial kepada nelayannya sebagai client nya).
Sedangkan untuk sektor pariwisata, masyarakat sebagain besar sebagai penyedia angkutan
umum dan penyedia home stay untuk wisatawan. Belum terkelolanya sistem pariwisata
berbasis masyarakat menjadikan sektor pariwisata di Kepulauan Seribu yang bersumber dari
masyarakat setempat tertekan dan terhimpit oleh investor wisata swasta yang mempunyai
capital besar.
Berdasarkan hasil kajian inventarisasi data dan penetapan ekoregion laut Propinsi DkI Jakarta,
didapatkan bahwa rata rata pendapatan masyarakat Kepulauan Seribu adalah Rp. 500.000,-
sampai Rp. 3.000.000,- walaupun ada yang berpenghasilan tidak menentu dibawah rata-rata.
Pendapatan yang terendah didapat dari analisis hasil lapangan adalah sebagai nelayan.
Menurut sebagian besar nelayan Kepulauan Seribu, aktivitas hasil tangkapan ikan untuk saat ini
sudah tidak menentu, dikarenakan karena kemampuan modal melaut yang tidak ada dan
kapasitas daerah tangkapan ikan di wilayah perairan Kepulauan Seribu sudah menurun.
Nelayan yang hidup di Kepulauan Seribu menjadi mata pencaharian yang tidak menentu
hasilnya. Hal ini lain dengan masyarakat yang berprofesi sebagai guide wisatawan ataupun
Pada umumnya masyarakat kepulaun seribu menangkap ikan dengan menggunakan kapal dan
perahu kecil. Alat tangkap yang digunakan adalah alat tangkap jaring payang, mourami, bagan,
bubu dan pancing. Kondisi mata pencaharian masyarakat Kepulauan Seribu saat ini sudah
mengalami pergeseran dari nelayan menjadi pemandu wisatawan atau menjual jasa resort
untuk wisata.
Namun demikian masih terdapat aktivitas mata pencaharian masyarakat Kepulauan Seribu
menjadi nelayan yang ditekuni sampai saat ini. Karakteristik nelayan di Kepulauan Seribu pun
berbeda diantara setiap pulau nya dan memiliki ciri khas. Misalnya untuk Pulau Lancang,
masyarakatnya menggunakan alat tangkap bubu untuk menangkap rajungan dan mempunyai
alat tangkap yang bersifat permanen seperti bagan tancap. Untuk masyarakat Pulau Tidung
masyarakatnya menggunakan alat tangkap jaring mourami yang jelajah daerah
penangkapannya sampai ke perairan Sumatera.
Berikut adalah beberapa pola pemanfaatan yang ditinjau dari beberapa kriteria karakterisitik
aktifitas penangkapan ikan diantaranya adalah sebagai berikut:
c. Spesies Target
Pengunaaan alat tangkap mencerminkan spesies target apa yang ditangkap oleh nelayan.
Merujuk dari FAO (2002) pengertian spesies target adalah jenis ikan yang terdapat di laut
dilihat oleh nelayan kemudian di tangkap dengan alat tangkap yang sesuai. Alat tangkap
dan spesies target bagai pinang dibelah dua, sebuah ciri identitas yang tidak bisa
dipisahkan. Masyarakat pesisir akan mengetahui spesies target nelayan tertentu dilihat dari
jenis alat tangkapnya. Dalam perkembangannya, dinamika adopsi alat tangkap semakin
komplek. Hal ini disebabkan karena perkembangan teknologi, ketidakpastian cuaca dan
musim serta tidak dapat diprediksinya hasil tangkapan. Alat tangkap yang bersifat pasif
merupakan kategori small scale fishing, biasanya merupakan alat tangkap tradisional
maupun artisanal, sehingga disebut juga dengan “statinionary fishing gear”. Sedangkan alat
tangkap yang bersifat aktif, merupakan kombinasi dari beberapa alat tangkap (pasif)
dengan tujuan memburu spesies target. Alat tangkap aktif juga digunakan dalam kegiatan
perikanan tradisional, seperti penggunaan tombak (Bjordal, 2002).
Berdasarkan temuan di lapangan, ditemukan spesies target dari tipologi nelayan berbeda
disetiap pulau dan berdasarkan hasil di lapangan ditemukan kategori spesies target yang
dipengaruhi oleh adopsi teknologi, entisitas, jaringan pasar, kemampuan modal,
lingkungan nelayan dan kondisi perairan.
N Alat Klasifikasi
Komoditas/Species target Pulau/ Komunitas nelayan
o Tangkap alat tangkap
1. Ikan dasar/ikan karang, Ikan Jaring / Aktif Pulau Panggang, Pulau Harapan,
Hias Payang Pulau Kelapa, Pulau Pramuka,
Jaring Pulau Tidung (EL 6.3.4.)
Mourami
2. Ikan dasar/ikan karang Tombak, Aktif Pulau Tidung (EL 6.3.3.)
pancing,
bubu
3. Bagan congkel Jaring Aktif Pulau Lancang(EL 6.3.2.)
dan Bubu
4. Tongkol, Kurisi, Kembung Pancing Pasif P. Tidung (EL 6.3.3.).
(Bentong), Tenggiri, Tenggek, Pulau Pari (EL 6.3.2.)
Lingkis, Kalam Puteh, Tengkek,
Pulau Pramuka, Pulau Panggang,
Selar, Tambal, Kerapu, Como,
Pulau Kelapa, Pulau Harapan (EL
Kembung, Tuna, Cendro,
6.3.4.)
Kakap Merah, Lemuru,
Lawak/Salem, Kawe
5. Ikan dasar, seperti kerapu, Pancing Aktif P. Tidung (EL 6.3.3.),
sunu, napoleon, kakap, Pulau Pari (EL 6.3.2.),
kakaktua (perot fish)
Pulau Pramuka, Pulau Panggang,
Pulau Kelapa, Pulau Harapan (EL
6.3.4.)
6. Ikan halus Bagang Pasif P. Lancang (EL 6.3.2.)
tancap/
Jaring
d. Kalender Musim
Musim merupakan faktor eksternal yang memengaruhi produktifitas pemanfaatan dan
pengelolaan perikanan. Ketidakpastian cuaca yang berubah akhir-akhir ini membuat
ketidakpastian hasil nelayan pencari ikan. Berdasarkan survey di lapangan dan wawancara
dengan informan, sudah sekitar sepuluh tahun terakhir cuaca berubah tidak menentu.
Cuaca sangat memengaruhi aktifitas nelayan penangkap ikan yang merupakan pekerjaan
Secara garis besar kalender musim perikanan di Kepulauan Seribu terbagi menjadi dua
yaitu Musim Barat yang merupakan musim penghujan dan Musim Timur yang merupakan
musim kemarau. Musim Barat merupakan musim panen ikan sedang Musim Timur
merupakan musim paceklik ikan. Pola pergantian musim akan sangat terasa pada
pembudidaya kerapu di Pulau Lancang (EL 6.3.2.) dan nelayan yang mempunyai Bagan
Tancap. Mereka harus berpindah lokasi bagan tancap disebelah utara ketika Musim Barat
dan sedangkan Musim Timur membuat jaring sampah karena mendapat kiriman sampah
dari Jakarta.
Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa isu kritis pemanfaatan SDA di Ekoregion Laut yang
terjadi terkait dengan kegiatan perikanan antara lain adalah pengambilan karang, masuknya
nelayan luar, limbah pencemar dan cuaca tidak menentu, upaya penangkapan berlebih dengan
menggunakan Sianida, bom, jaring trol, jaring gardan, jaring tegur, jaring mourami, bagan
lampu, dan pukat harimau.
Sementara itu, pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan daerah Kepulauan Seribu
dimana banyak tempat wisata yang menjanjikan dan menyuguhkan keindahan pantai di
Kepulauan Seribu dan alam bawah lautnya. Dalam arti luas wisata adalah kegiatan rekreasi di
luar domisili untuk refreshing. Sebagai suatu aktivitas pariwisata telah menjadi bagian penting
dari kebutuhan dasar masyarakat negara maju dan sebagian kecil bagi masyarakat negara yang
sedang berkembang. Keuntungan sektor pariwisata untuk pendapatan suatu daerah dari sisi
ekonomi sangat besar.
Potensi wisata di Kabupaten Kepulauan Seribu yang berkaitan dengan pantai menjadi sektor
unggulan adalah di Pulau Pramuka, Pulau Putri, dan Pulau Harapan (wisata yang dikelola
masyarakat). Pulau Putri, merupakan tujuan wisatawan diving dan fishing. Tidak tercatatnya
secara jelas wisatawan mancanegara yang datang ke Kepulauan Seribu menyebabkan
pengelolaan pemanfaatan sumberdaya pesisir non perikanan menjadi jalan di tempat. Hal ini
ditemukan banyak infrastruktur yang belum diperhatikan oleh pemerintah di lokasi pariwisata.
Sistem perijinan mendirikan resort pun dipertanyakan, sehingga ada beberapa tanah dan
resort yang sudah menjadi hak milik asing. Tentunya untuk kedepan akan menjadi
permasalahan mengenai konflik kepemilikan sumberdaya.
Lain halnya dengan isu kritis pariwisata, isu kritis penambangan pasir menjadikan
permasalahan sendiri di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu. Isu
penambangan pasir laut untuk daerah kepulauan yang masuk di kawasan konservasi memang
menjadi masalah tersendiri. Hampir seluruh kawasan konservasi laut di Indonesia mempunyai
masalah yang sama. Ketiadaan stok pasir selain pasir pantai menjadi permasalahan sendiri,
apalagi untuk daerah yang baru mekar dan sedang dalam proses membangun. Material bahan
bangunan sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi seharusnya dipisahkan, penambangan pasir
untuk rakyat diperbolehkan dengan catatan kaidah memperhatikan ekosistem, hal ini
dipertimbangkan karena status ekonomi masyarakat yang tidak mampu mendatangkan pasir
bangunan dari daerah lain. Kontrol Dinas Perindustrian dan Energi terhadap penambangan
pasir pantai oleh rakyat harus dipertegas dan diadakan alternatif lainnya selain menggunakan
pasir pantai sebagai bahan bangunan. Sedangkan untuk kepentingan pembangunan publik
(daerah) seyogyanya tidak mengambil dari pasir pantai, akan tetapi mendatangkan dari
daratan Pulau Jawa atau daerah yang terdekat.
Terkait dengan fenomena kejadian perubahan iklim, pada wilayah ekoregion laut, diantaranya
adalah terjadinya kenaikan muka air laut sebagai akibat dari pemanasan global akan
meningkatkan potensi terjadinya banjir rob, abrasi pantai bahkan akan dimungkinkan
tenggelamnya pulau – pulau kecil. Potensi terjadinya masalah lingkungan sebagai akibat dari
kenaikan muka air laut tersebut berpotensi terjadi di semua sub ekoregion laut.
Ekoregion Laut DKI Jakarta adalah bagian dari lautan Indonesia yang berhubungan dengan
seluruh Samudera di bumi (Gambar2.11.). Massa air Samudera Pasifik Barat-Laut (Northwest)
yang masuk ke Laut China Selatan melalui Selat Luzon, kemudian akan mengalir melalui Selat
Karimata menuju Laut Jawa (EL-6), dimana tentunya akan mempengaruhi juga kondisi
Ekoregion Laut DKI Jakarta (Wyrtki, 1961; Gordon et al., 2012). Kondisi massa air tersebut
kemudian akan berkaitan erat dengan pengaruh sistem monsun di Indonesia, termasuk Laut
Jawa. Massa air dari Samudera Pasifik tersebut juga berlaku sebagai proksi pembawa
Gambar 2.11. Sirkulasi Arus Termohalin yang Membawa Massa Air Mengalir dari Satu Basin
Samudera ke Basin Samudera yang Lain (Sumber Gambar: NASA, 2009)
Gambar 2.12. Skematik Sirkulasi Arus lintas Indonesia (Garis Tebal Merah), Arus Lintas Laut China
Selatan (Garis Merah Putus-putus) yang Membawa Massa Air dari Samudera Pasifik
ke Laut Jawa (Sumber Gambar: Gordon et al., 2012)
Suhu udara Ekoregion Laut DKI Jakarta, berdasarkan data dari stasiun meteorologi maritim di
Pelabuhan Tanjung Priuk, cenderung mengalami peningkatan rerata 1 °C dalam kurun waktu 37
tahun (1976-2012). Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadinya perubahan iklim di kawasan
Ekoregion Laut DKI Jakarta adalah nyata.
Kerentanan pesisir akibat perubahan iklim tidak dapat diidentifikasi hanya dari parameter suhu
udara, melainkan dari beberapa parameter geologi/geomoformologi dan oseanografi. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang KKP),
dalam laporannya untuk Copenhagen Climate Change Conference (COP-15 UNFCCC), menyajikan
secara implisit bahwa indeks kerentanan pesisir (coastal vulnerability index, CVI) dari kawasan
Ekoregion Laut DKI Jakarta adalah sangat tinggi, dengan nilai indeks lebih dari 25, yang
diindikasikan warna kawasan berwarna merah pada peta CVI seperti terlihat pada gambar
berikut.
Gambar 2.15. Peta Indeks Kerentanan Pesisir Jakarta, dimana menunjukkan Kawasan Pesisir Jakarta
Utara Terindikasi Cukup Bervariasi Tingkat Kerentanannya, Kawasan yang Tertinggi
adalah di Sekitar Kecamatan Tanjung Priok, Kec. Koja dan Kec. Tarumajaya (Sumber:
Badan Litbang KKP, 2009)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Badan Litbang
KKP), dalam laporannya untuk Copenhagen Climate Change Conference (COP-15 UNFCCC),
menyajikan secara implisit bahwa kenaikan muka laut relatif untuk kawasan pesisir utara
Jakarta dan pesisir utara Jawa Barat serta kawasan perairan Kepulauan Seribu adalah tinggi
berkisar antara 0,75-0,76 cm/ tahun, lihat Gambar 2.16. Kawasan pesisir utara Jakarta
mempunyai tingkat kenaikan muka laut relatif yang bervariasi, dimana kawasan yang tertinggi
adalah di sekitar Kec. Tarumajaya, urutan kedua berada di pesisir Kec. Tanjung Priok dan Kec.
Koja, lihat Gambar 2.17.
Gambar 2.17. Peta Kenaikan Muka Air Laut Relatif Pesisir Jakarta, dimana Menunjukkan Kawasan
Pesisir Jakarta Utara Terindikasi cukup Bervariasi Tingkat Kerentanannya, Kawasan
yang Tertinggi adalah di Sekitar Kec. Tarumajaya, Urutan Kedua Berada di Pesisir Kec.
Tanjung Priok dan Kec. Koja (Sumber: Badan Litbang KKP, 2009)
Kenaikan muka laut di pesisir utara Jakarta, menurut Abidin et al. (2008), juga dikontribusikan
oleh adanya penurunan tanah yang sudah lama berlangsung. Dilaporkan oleh Abidin et al.
Gambar 2.18. Bukti Adanya Kenaikan Muka Laut di Stasiun Pengamatan Altimetri Pelabuhan Perikanan
Samudera Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara (Pranowo et al., 2014)
Institut Teknologi Bandung, melalui Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut-nya,
meramalkan bahwa pada tahun 2050 kawasan pesisir utara Jakarta akan terendam air laut
seluas lebih dari 900 hektar (tepatnya 966,326 hektar) akibat kenaikan muka air laut, dan
diperkirakan sebanyak 150 pulau dari total 241 pulau di Kepulauan Seribu akan tenggelam (Hadi
et al., 2008), lihat Tabel2.9 dan Tabel 2.10. Ramalan tersebut didasarkan kepada model proyeksi
genangan laut setinggi 0.57 cm/tahun dengan skenario perhitungan menggunakan Digital
Tabel 2.9.
Luasan Genangan per Jenis Lahan di Kawasan Jakarta Utara pada Tahun 2050 Berdasarkan
Peramalan Dampak Kenaikan Muka Laut oleh Hadi et al. (2008)
Ket.: Jenis lahan yang digunakan adalah berdasarkan peta lahan Prov. DKI Jakarta tahun 2003.
Tabel 2.10.
Luasan Genangan per Jenis Lahan di Kawasan Kepulauan Seribu Pada Tahun 2050 Berdasarkan
Peramalan Dampak Kenaikan Muka Laut oleh Hadi et al. (2008)
Gambar 2.19. Peta Tinggi Gelombang Signifikan Rerata Perairan Indonesia. Dimana menunjukkan
Kawasan Pesisir Utara Jawa Barat dan DKI Jakarta hingga Kepulauan Seribu mempunyai
kenaikan yang tinggi 1,25-1,50 m (Sumber: Badan Litbang KKP, 2009)
Untuk penyusunan RPPLH ini, isu strategis Ekoregion Laut yang sangat spesifik adalah
Pencemaran perairan teluk dan laut dan Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal,
sehingga isu strategis secara keseluruhan untuk wilayah Provinsi DKI Jakarta adalah:
1. Kerawanan perubahan iklim;
2. Pemanfaatan sumberdaya air yang berlebih;
3. Keterbatasan ketersediaan lahan;
4. Keterbatasan sarana dan prasarana kota;
5. Pencemaran; dan
6. Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal.
Perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta secara
mendasar mempertimbangkan isu strategis yang dihadapi wilayah DKI Jakarta, terutama yang
memberikan implikasi secara signifikan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup wilayah DKI Jakarta. Isu strategis tersebut meliputi:
Perubahan iklim telah menjadi perhatian seluruh dunia, termasuk Indonesia. Indikasi
perubahan iklim antara lain dideteksi melalui pola curah hujan ekstrim, perubahan suhu,
kejadian badai, dan lainnya. Wilayah ekoregion DKI Jakarta yang mencakup Ekoregion
Darat dan Ekoregion Laut perlu mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui upaya
adaptasi dan mitigasi sebagaimana digariskan kebijakan Nasional tentang Perubahan
Iklim.
Isu perubahan iklim bagi DKI Jakarta terkait dengan kenaikan muka laut yang akan
melanda wilayah DKI Jakarta bagian Utara dan wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu
yang merupakan kabupaten pulau – pulau kecil. Pada wilayah ekoregion darat, dimana
sebagian besar wilayah ekoregion DKI Jakarta memiliki karakteristik alami yang rawan
genangan dan banjir, pemanasan global akan meningkatkan potensi terjadinya banjir rob
yang dipengaruhi pasang surut air laut maupun genangan pada wilayah-wilayah yang
lebih rendah dari permukaan air laut. Potensi terjadinya banjir rob dan genangan akibat
naiknya permukaan air laut berpotensi terjadi di wilayah:
Sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur
Sub ekoregion lembah antar gisik
Sub ekoregion dataran fluvio marin
Potensi masalah tersebut juga diperparah oleh faktor antropogenik berkaitan dengan
pemanfaatan air tanah di wilayah DKI Jakarta yang melebihi daya dukungnya. Hampir
seluruh wilayah DKI Jakarta kecuali sub ekoregion fluvio vulkanik terjadi penurunan muka
air tanah secara terus menerus. Makin ke utara makin besar penurunan muka air
tanahnya, padahal makin ke utara resiko terhadap banjir rob dan genangan makin besar.
Sementara itu, pada wilayah ekoregion laut, kenaikan muka air laut sebagai akibat dari
pemanasan global akan meningkatkan potensi terjadinya banjir rob, abrasi pantai bahkan
Pemanasan global juga berdampak pada terjadinya pola iklim ekstrem maupun kejadian
badai yang akan meningkatkan curah hujan tinggi – sangat tinggi pada periode yang lebih
pendek dan sebagai akibatnya akan meningkatkan risiko kejadian banjir dan genangan.
Dampak pola iklim ekstrem tersebut sudah dirasakan di wilayah DKI Jakarta, antara lain
terjadinya banjir yang bukan lagi periode 10 tahunan atau 5 tahunan namun sudah terjadi
setiap tahun. Wilayah sub ekoregion yang mengalami kejadian banjir ataupun genangan
adalah seluruh wilayah sub ekoregion daratan selain pada sub ekoregion fluvio vulkanik.
Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu kerawanan perubahan
iklim adalah:
a. Beberapa wilayah terutama pada sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur,
dataran rawa, dataran banjir dan dataran lembah antar gisik akan mengalami
genangan sepanjang tahun;
b. Masalah banjir di DKI Jakarta makin meluas dan makin sulit teratasi;
c. Hilangnya pulau-pulau kecil;
d. Makin banyaknya penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana.
DKI Jakarta dihadapkan pada kondisi yang sangat kritis berkaitan dengan pengelolaan
sumber daya air, khususnya dalam hal ketersediaan air baku untuk sumber air bersih.
Padahal DKI Jakarta dilewati badan air penerima (BAP) dalam bentuk sungai/kali
sebanyak 13 sungai besar. Namun karena sangat minimnya kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan air limbah serta belum tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan air
limbah, telah menyebabkan kondisi kualitas badan air penerima tersebut dalam kondisi
tercemar dan tidak layak lagi untuk dapat digunakan sebagai sumber air baku untuk
keperluan PAM Jaya dan masyarakat langsung. Saat ini, penyediaan air bersih bagi DKI
Jakarta seluruhnya bersumber dari wilayah di luar Jakarta, yaitu dari Waduk Jatiluhur
dan Sungai Cisadane.
Meskipun demikian, berdasarkan data dalam Jakarta Dalam Angka tahun 2011 seperti
telah dibahas pada Bab II, hanya sekitar 27,8% penduduk DKI Jakarta menjadi pelanggan
Selain penggunaan air tanah untuk domestik yang sebagian besar berasal dari air tanah
dangkal, aktifitas non domestik di DKI Jakarta juga memanfaatkan air tanah dalam.
Padahal pada dasarnya air tanah dalam bisa digolongkan sebagai sumber daya yang
tidak terbaharukan karena kecepatan masuknya aliran imbuhan air tanah di dalam
akuifer sangat lambat.
Wilayah DKI Jakarta termasuk dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta. Cakupan
wilayah CAT Jakarta meliputi seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta, sebagian Provinsi
Jawa Barat dan sebagian Provinsi Banten. Potensi yang air tanah dalam yang dimiliki
CAT Jakarta adalah sebesar 52 juta m3/tahun. Berdasarkan peraturan yang ada,
pemanfaatan air tanah dalam hanya diperboleh maksimal 20% dari potensi air tanah
dalam. Artinya, pada CAT Jakarta hanya diperbolehkan pengambilan air tanah sebesar 11
juta m3/tahun. Berdasarkan data Jakarta dalam Angka 2011 menyebutkan bahwa total
pemakaian air tanah dalam sesuai ijin yang diberikan untuk tahun 2010 adalah sebesar
lebih dari 10 juta m3 sudah mendekati batas maksimal pengambilan air tanah dalam yang
diijinkan.
Sementara itu data dari ESDM, 2014 menyebutkan bahwa pengambilan air tanah dalam
di CAT Jakarta adalah sebesar 21 juta m3/tahun atau sudah mencapai 40% dari total
potensi air tanah dalam. Dengan kata lain sudah terjadi pemanfaatan yang berlebihan
Gambar 3.1. Kondisi Neraca Air Cekungan Air Tanah (CAT) Jakarta (Sumber: ESDM, 2014)
Pengambilan air tanah baik dangkal maupun dalam yang berlebihan akan menimbulkan
masalah lingkungan. Pengambilan air tanah dangkal akan menyebabkan penurunan
muka air tanah, penurunan permukaan tanah maupun terjadinya intrusi air laut.
Sementara, pengambilan air tanah dalam akan menyebabkan amblesan tanah maupun
instrusi air laut. Terjadinya penurunan permukaan tanah mengindikasikan bahwa
kecepatan intrusi air laut lebih rendah dari kecepatan pengambilan air tanahnya.
Masalah penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta sudah terjadi di hampir seluruh
wilayah terutama yang masih dipengaruhi oleh lingkungan perairan laut seperti di sub
ekoregion dataran pasang surut berlumpur, dataran bukit gisik dan lembah antar gisik,
dataran rawa dan dataran fluvio marin yang kesemuanya masih dipengaruhi oleh
lingkungan perairan laut.
Permasalahan amblesan tanah sebagai akibat pengambilan air tanah dalam yang
berlebih juga sudah beberapa kali terjadi di wilayah DKI Jakarta. Debit pengambilan air
tanah yang melebihi debit imbuhan air tanah akan menyebabkan rongga di bawah
lapisan akuifer yang berpotensi untuk terjadi amblesan tanah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfatan sumber daya air tanah di DKI
Jakarta sudah melebihi daya dukungnya. Kondisi ini antara lain disebabkan belum
terjangkaunya cakupan layanan jaringan air perpipaan dan belum terpenuhinya kualitas
maupun kontinuitas ketersediaan air oleh penyelenggara penyediaan air perkotaan DKI
Jakarta. Selain itu, tingkat pemanfaatan air penduduk DKI Jakarta sebagai kota
metropolitan cukup tinggi yaitu sebesar 175 liter/orang/hari. Hal ini berarti bahwa
peningkatan kesadaran serta budaya masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya air
perlu dilakukan.
Sementara pada wilayah laut DKI Jakarta yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil,
masalah pemanfaatan sumberdaya air yang berlebih juga terjadi. Masalah yang khas
pada pulau-pulau kecil pada umumnya adalah terbatasnya sumberdaya air tawar di
daratan pulau. Semakin bertumbuhnya penduduk di suatu pulau akan meningkatkan
pula konsumsi air tanah. Apabila penyedotan air tanah telah melebihi kapasitas air tanah
untuk pulih maka akan terjadi intrusi air laut hingga sumber air setempat akan menjadi
payau hingga asin. Sekali intrusi air laut terjadi maka akan sulit untuk pulih kembali
menjadi tawar (irreversible). Banyak contoh yang dapat diacu perihal terjadinya intrusi
air laut di banyak pulau-pulau di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Di Pulau Pari
misalnya, sumur yang dulu dapat diandalkan sebagai sumber air minum bagi penduduk
setempat, kini tidak lagi.
Untuk mengatasi semakin langkanya sumber air tanah di Kepulauan Seribu, penduduk
setempat memanfaatkan PAH (Penampung Air Hujan). Di beberapa pulau telah
diintroduksi teknologi RO (Reverse Osmosis) yang dapat mengubah air laut menjadi air
tawar. Tetapi teknologi ini cukup mahal untuk digunakan bagi semua penduduk pulau.
Pemanfaatan sumberdaya alam selain air (air tanah) yang terdapat di wilayah Provinsi
DKI Jakarta, dalam hal ini wilayah laut, juga telah terjadi secara berlebihan. Beberapa
jenis pemanfaatan berlebihan dapat disarikan di bawah ini.
Penambangan pasir dan karang telah terjadi di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu sejak
lama, terutama untuk keperluan bahan bangunan. Hasil penambangan pasir dan karang
tersebut tidak saja untuk keperluan masyarakat pulau setempat, tetapi ada pula yang
diangkut ke daratan Pulau Jawa.
Penambangan pasir dan karang di beberapa pulau tidak saja telah mengubah
geomorfologi pantai tetapi juga telah menyebabkan beberapa pulau telah lenyap.
Beberapa pulau yang telah lenyap misalnya Pulau Ubi Besar, Pulau Ayer Kecil, Pulau Ubi
Kecil dan Pulau Nyamuk Besar yang berada di Teluk Jakarta, ekoregion EL 6.3.1.
Beberapa pulau yang telah mengalami perubahan geomorfologi pantai yang cukup
signifikan dan sudah terancam lenyap terjadi misalnya di Pulau Dapur.
Berbagai jenis biota laut telah diekploitasi secara berlebihan hingga sekarang telah
langka di perairan setempat di ekoregion laut DKI Jakarta. Beberapa contoh
dikemukakan dibawah ini.
Ikan komsumsi. Beberapa jenis ikan konsumsi telah dieksploitasi secara berlebihan
hingga sekarang sudah sangat langka, dan mungkin telah punah setempat. Salah satu
contohnya adalah ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) yang dulu masih mudah dijumpai
di beberapa pulau, sekarang sudah tak pernah lagi dijumpai. Perburuan akan ikan
Napoleon ini menjadi-jadi karena harga jualnya sebagai ikan hidup di restoran-restoran
besar di luar negeri (mis: Hongkong) menjadi sangat tinggi. Ikan Napoleon kini telah
dilindungi undang-undang.
Ikan hias. Terumbu karang merupakan rumah bagi berbagai jenis ikan hias yang indah,
dan karenanya menjadi objek buruan untuk diperdagangkan. Metode penangkapan hias
banyak yang menggunakan potas yang disemprotkan dalam air untuk membuat ikan
mabok. Banyaknya nelayan pemburu ikan hias ini telah menyebabkan populasi ikan hias
semakin merosot. Masyarakat di Pulau Tidung (EL 6.3.3) misalnya sudah banyak yang
mengeluh karena makin sulitnya kini untuk mendapatkan ikan hias. Perburuan ikan hias
Berbagai biota bentos. Berbagai jenis biota bentos yang hidup di dasar laut telah
dieksploitasi secara berlebihan hingga makin langka atau mungkin sudah punah
setempat. Kima raksasa (Tridacna gigas) dulu pernah dijumpai di Kepulauan Seribu
tetapi sekarang sudah habis. Demikian pula kima jenis lainnya, seperti kima sisik
(Tridacna squamosa), kima pasir (Hippopus hippopus), kima luang (Tridacna croacea),
sudah sangat langka atau lenyap. Padahal semua jenis kima telah dilindungi. Selain itu
kerang darah (Anadara), yang merupakan makanan bahari (seafood) yang populer, yang
dulu banyak terdapat banyak di Pulau Pari, kini sudah sangat sulit dijumpai. Selain itu,
berbagai biota bentos yang mempunyai nilai ekonomi kini sudah sukar dijumpai atau
mungin sudah lenyap di Kepulauan Seribu, misalnya teripang pasir (Holothuria scabra).
a b
c d
Gambar 3.2. Biota laut yang telah terancam di Kepulauan Seribu. (a) Ikan Napoleon
(Cheilinus undulatus; (b) Lepu ayam (Pterois volitans), (c) Teripang pasir
(Holothuria scabra); (d) Kima raksasa (Tridacna gigas)
Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu pemanfaatan sumber
daya alam yang berlebih adalah:
a. Penurunan permukaan tanah akan terjadi lebih cepat;
b. Wilayah DKI Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut akan semakin
meluas dan potensi terjadi banjir serta genangan akan semakin besar dan meluas;
c. Kejadian amblesan tanah akan semakin banyak;
d. Pencemaran air tanah karena intrusi air laut akan meluas;
e. Akan terjadi krisis sumber daya air;
f. Degradasi habitat flora-fauna laut;
g. Penurunan hasil tangkapan nelayan;
h. Akan mempengaruhi kinerja sosial dan ekonomi masyarakat.
Perkembangan kota biasanya dipengaruhi oleh fungsi kota itu sendiri dan tercermin dari
penggunaan lahannya. DKI Jakarta sebagai ibukota Negara mengemban fungsi kota yang
beragam dan semua kegiatan sosial ekonomi berskala nasional bahkan internasional. Hal
ini terlihat dari pola pemanfaatan ruangnya dimana luasan untuk permukiman hanya
mencakup 56% dari luas wilayah, 10% untuk kawasan perdagangan, komersial dan jasa,
10% untuk fasilitas sosial publik dan pemerintahan, 9% untuk kawasan industri dan 1%
untuk fasilitas transportasi. Sedangkan sisanya (14%) merupakan kawasan tidak
terbangun yang memiliki kecenderungan makin berkurang, terutama kawasan pertanian
dan kawasan perairan darat seperti sungai, danau, dan rawa.
Penduduk DKI Jakarta tahun 2013 adalah berkisar 10 juta jiwa dengan kepadatan
penduduk rata-rata berkisar 150 jiwa/ha. Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang
sangat nyata antara kepadatan penduduk di wilayah darat DKI Jakarta dan wilayah
Kabupaten Kepulauan Seribu yang merupakan wilayah pulau-pulau kecil seperti terlihat
pada tabel di berikut ini:
Tabel 3.1.
Di wilayah daratan, kepadatan penduduk untuk semua wilayah kota mencapai diatas 110
jiwa/ha bahkan kepadatan penduduk Jakarta Pusat mencapai 187 jiwa/ha. Sementara
kepadatan penduduk di wilayah Kabupaten Kepulauan seribu hanya mencapai 24 jiwa/ha.
Sementara dilihat dari laju pertumbuhan penduduk terlihat bahwa wilayah Jakarta Pusat
yang merupakan wilayah paling padat memiliki laju yang paling rendah, sebaliknya
wilayah Jakarta Utara yang kepadatannya paling renggang memiliki laju paling tinggi. Hal
ini menunjukkan adanya pengaruh ketersediaan lahan terhadap laju pertumbuhan. Di
wilayah Jakarta Pusat pertumbuhan relatif stagnan karena lahan untuk pengembanan
baru hampir sulit ditemukan. Hal yang perlu dicermati adalah pertumbuhan yang relatif
tinggi di wilayah Jakarta Utara yang berarti pemanfaatan lahan akan lebih intensif terjadi
di sub ekoregion dataran pasang surut berlumpur, dataran rawa, dataran gesik dan
dataran lembah antar gesik yang kesemuanya memiliki kerawanan yang relatif tinggi
terhadap perubahan iklim.
Keterbatasan lahan di wilayah DKI Jakarta ini sudah menjadi isu strategis terkait bidang
perumahan dan permukiman seperti tertuang dalam RPJPD 2000 – 2025. Seperti
dinyatakan bahwa “Pemenuhan kebutuhan rumah dihadapkan pada keterbatasan lahan
di wilayah Jakarta. Sehingga penyediaan kebutuhan rumah oleh pemerintah dan swasta
lebih banyak dibangun secara vertikal dibandingkan dengan rumah horisontal yang
membutuhkan lahan besar”. Pembangunan secara vertical terkait dengan isu
keterbatasan lahan juga tertuang dalam RTRW DKI 2010 – 2030 terutama kebijakan dan
strategi dalam rangka pencapaian tujuan penataan ruang.
Padahal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, beban yang harus didukung
lingkungan adalah merupakan perkalian antara jumlah penduduk dengan pola
pemanfaatannya serta intensitas dan jenis kegiatan sosial ekonomi kota dengan
kebutuhan sumberdaya untuk mendukungnya. Hal ini dapat diartikan bahwa solusi
keterbatasan lahan melalui kebijakan dan strategi pembangunan secara vertikal hanya
akan mengatasi masalah keterbatasan lahan namun tidak berimplikasi pada masalah
besarnya tekanan atau beban terhadap lingkungan.
Permasalahan keterbatasan lahan juga terjadi di ekoregion laut yang wilayahnya berupa
gugusan pulau-pulau kecil. Pertumbuhan penduduk di wilayah ini mencapai lebih dari 2%
per tahun dan merupakan pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan wilayah daratan.
Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan ketersediaan
lahan adalah:
a. Peningkatan kekumuhan dan pencemaran lingkungan;
b. Peningkatan masalah kemacetan sehingga kota menjadi tidak produktif;
c. Pemenuhan kebutuhan lahan akan dilakukan melalui metode yang makin tidak ramah
lingkungan seperti reklamasi pantai, pemanfaatan ruang bawah tanah yang tidak
terkendali, penimbunan badan air, pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
peruntukkannya;
d. Menurunnya tingkat keamanan dan kenyamanan DKI Jakarta untuk hunian dan / atau
berinvestasi.
Seperti telah dibahas sebelumnya, kejadian banjir dan genangan yang melanda Kota
Jakarta secara rutin merupakan persoalan utama yang hingga saat ini justru cenderung
semakin kompleks. Kota Jakarta merupakan bagian hilir dari beberapa sungai yang
mengalir menuju Teluk Jakarta, sehingga aliran permukaan yang berasal dari hulu akan
membebani sistem pematusan di Kota Jakarta.
Karena posisi geografisnya dan dilalui oleh 13 sungai yang kesemuanya bermuara di DKI
Jakarta, maka secara teoritis ketersediaan sistem drainase menjadi sarana prasarana
yang sangat penting untuk tersedia dan dikelola dengan baik. Kejadian banjir yang terjadi
di wilayah ini salah satunya disebabkan belum tersedianya sistem dan jaringan drainase
yang mampu mendukung upaya pematusan aliran permukaan.
Buruknya sistem dan jaringan drainase DKI Jakarta berkaitan dengan kapasitas
pematusan yang tidak sebanding dengan debit dan volume air yang harus dialirkan.
Selain karena kapasitasnya, perilaku masyarakat juga menurunkan kemampuan fungsi
badan sungai dan situ dan waduk sebagai tempat retensi dan pengaliran aliran
permukaan menuju laut. Kecenderungan tersebut dapat diamati dari berkurangnya situ
dan waduk oleh invasi bangunan yang teridentifikasi melalui menurunnya rasio badan air
(water body ratio) serta beban sampah yang dibuang ke sungai sejak dari hulu hingga
muara.
Selain masalah drainase kota, penanganan limbah cair perkotaan atau air kotor
menghadapi kendala yang serius bagi DKI Jakarta. Hingga kini hanya sebagian kecil
wilayah DKI Jakarta yang terlayani oleh sistem dan jaringan pengelolaan air kotor yang
dilaksanakan secara parsial. Hal ini jelas akan meningkatkan potensi pencemaran tanah
dan air. Pada akhirnya akan makin sulit untuk memanfaatkan air permukaan sebagai
sumber air baku air bersih.
Dalam hal pelayanan pembuangan sampah di DKI Jakarta tercatat relatif memadai,
meskipun tercatat masih sekitar 15% yang belum tertangani. Namun dengan jumlah
penduduk yang mencapai sekitar 10 juta dan perkiraan volume sampah 0,003 m3/jiwa/hari
maka jumlah sampah yang tidak tertangani akan mencapai sekitar 4.500 m3/hari.
Sementara itu, DKI Jakarta juga masih dihadapi kendala terkait ketersediaan lahan bagi
lokasi pembuangan sampah serta keterbatasan daya tampung dan maupun kecepatan
angkut sarana persampahan menuju TPA yang berada di luar DKI Jakarta. Masalah
Sistem dan jaringan transportasi di DKI Jakarta juga belum seluruhnya terbangun dalam
struktur yang hirarkis, dimana sebagian jaringan jalan arteri belum terhubung satu
dengan lainnya dan didukung jaringan jalan kolektor dan jaringan jalan lokal yang
melayani pusat-pusat permukiman dan pusat kegiatan lokal. Sistem dan jaringan
transportasi juga masih menghadapi kendala dalam pembentukan sistem antar moda
transportasi yang terintegrasi guna meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan bagi
pergerakan lalu lintas. Ketersediaan prasarana angkutan massal yang terbatas dan belum
memadai juga menjadi salah satu permasalahan dalam pelayanan prasarana dan sarana
lalu lintas di DKI Jakarta.
Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu keterbatasan sarana dan
prasarana kota adalah:
a. permasalahan banjir akan makin sulit teratasi bahkan justru semakin meluas;
b. terjadi peningkatan pencemaran baik udara, air maupun tanah;
c. lingkungan kota secara menyeluruh menjadi kumuh;
d. peningkatan pencemaran di wilayah perairan teluk dan laut;
e. menurunnya keaneka ragaman hayati perairan teluk dan laut;
f. terhambatnya perkembangan sektor perekonomian.
3.5. Pencemaran
Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai yang menumpahkan airnya ke teluk ini
yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) di hulunya. Sungai-sungai ini tidak saja
mengangkut limbah pencemar dari DKI Jakarta, tetapi juga dari daerah penyangga di
bagian hulunya yang melintasi wilayah adminsitrasi yang berbeda di Jawa Barat.
Air sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta mengalirkan berbagai limbah yang
menimbulkan pencemaran berat di perairan ini. Bahan pencemar ini dapat berupa limbah
padat dan limbah cair. Limbah padat terutama berupa sampah rumah tangga dan
industri, merupakan pencemar yang sangat mengganggu fungsi lingkungan.
Diperikirakan sekitar 30% limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai yang akhirnya
mengalir ke laut dan mencemari pantai-pantai.
Limbah cair banyak dihasilkan dari produk industri, diantaranya mengandung bahan
beracun dan berbahaya (B3) yang akhirnya dilepas ke sungai dan selanjutnya sampai ke
perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Bahan pencemar logam berat seperti
merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), tembaga (Cu), seng (Zn) telah terdeteksi di
perairan Teluk Jakarta, tidak saja di badan air tetapi juga di sedimen. Tingginya
kandungan pencemar dalam air juga telah terbukti menyebabkan berbagai logam berat
terserap dan terakumulasi dalam tubuh biota air seperti ikan, kerang, krustasea, hingga
dapat mengancam kesehatan pada manusia lewat makanan laut (sea food).
Di perairan Kepulauan Seribu, dampak pencemaran dari Teluk Jakarta masih terdeteksi
meskipun makin jauh ke utara dampaknya semakin kecil. Meskipun demikian perairan
Kepulauan Seribu juga bisa terancam pencemaran dari kegiatan angkutan migas,
misalnya terjadinya damparan gumpalan minyak (tar ball) yang bersumber dari buangan
minyak mentah dari kapal tanker yang lewat, yang telah berulang kali mencemari pantai-
pantai Kepulauan Seribu.
Secara umum, dapat dirangkum dari uraian sebelumya bahwa pencemaran yang terjadi di
seluruh ekoregion Provinsi DKI Jakarta yang pada akhirnya berdampak pada pencemaran
perairan teluk dan laut antara lain disebabkan oleh:
Tingginya jumlah penduduk dan ketidak berhasilan DKI Jakarta dalam menekan
jumlah kelahiran dan jumlah urbanisasi (Riani, 2012). Mengingat jumlah manusia yang
tinggi mengakibatkan tingginya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
manusia, sehingga alih fungsi lahan menjadi sangat tinggi, pertumbuhan kegiatan
Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. makin meningkatnya tingkat pencemaran di perairan teluk dan laut;
b. makin punahnya keanekaragaman hayati perairan teluk dan laut;
c. menurunnya potensi keindahan alam dan kekayaan hayati yang mengganggu
perkembangan sektor pariwisata;
d. menurunnya potensi perikanan yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat
pendapatan masyarakat lokal.
Ekoregion Laut Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi yang cukup besar untuk
pengembangan sektor wisata bahari dan sektor perikanan. Saat ini kedua sektor tersebut
menjadi tumpuan bagi penghidupan masyarakat lokal. Meskipun pada kenyataannya,
sektor ekonomi yang sangat dominan di Kabupaten Kepulauan Seribu adalah
pertambangan. Namun sektor pertambangan ini tidak memberikan multiplier effect yang
berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.
Potensi pengembangan wisata bahari yang dimiliki ekoregion Laut DKI Jakarta antara lain
karena keberadaan ekosistem pantai, mangrove, lamun dan terumbu karang dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi dan daya tarik kehidupan masyarakat lokal. Selain itu,
kedekatan jarak dan kemudahan akses ke tujuan wisata ke Teluk Jakarta dan Kepulauan
Seribu dari Jakarta juga merupakan nilai tambah sendiri.
Meskipun memiliki potensi yang cukup besar, kegiatan pariwisata di wilayah ini belum
dikelola dengan baik sehingga pemanfaatannya tidak optimal. Bahkan justru terjadi
dampak negative kegiatan pariwisata seperti terjadi penumpukan sampah, hilangnya
mangrove, rusaknya karang dan lainnya. Sementara dampak pariwisata pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal juga belum terlihat secara nyata.
Sementara itu, potensi ekoregion laut DKI Jakarta untuk pengembangan sektor
perikanan juga belum dimanfaatkan secara optimal. Bahkan sudah mulai terjadi
pemanfaatan yang tidak bijaksana sehingga justru merusak atau menurunkan nilai
potensi perikanan yang dimiliki. Saat ini, sektor perikanan yang berkembang di ekoregion
laut DKI Jakarta menyangkut dua aspek utama yakni perikanan tangkap dan perikanan
budaya.
Perikanan tangkap di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu umumnya dilaksanakan oleh
nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap sederhana seperti payang, bagan,
pancing, dengan wilayah operasi (fishing ground) yang sangat terbatas. Perikanan
Perikanan budi daya di Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu antara lain menyangkut
budidaya kerang-kerangan dan budidaya ikan. Budidaya kerang hijau (Perna viridis) dan
kerang dara (Anadara granosa) banyak diusahakan oleh nelayan kecil di pantai Teluk
Jakarta. Meskipun budidaya kerang hijau diusahakan oleh banyak nelayan pantai Teluk
Jakarta, namun lingkungan perairannya yang tercemar berat membuat produksi kerang
berpotensi mengandung logam berat atau bahan berbahaya yang dapat menimbulkan
risiko terhadap kesehatan manusia. Meskipun kualitas perairan ini sudah tidak layak
untuk budidaya laut, dan telah jauh melampaui kriteria yang ditetapkan, namun belum
ada kontrol yang memadai, hingga upaya budidaya kerang hijau masih terus berlanjut.
Perikanan budidaya lainnya yang telah dikembangkan adalah budidaya ikan, seperti budi
daya kerapu di Pulau Lancang, yang diusahakan oleh perusahan industri perikanan.
Sektor perikanan ini masih menjadi mata pencaharian utama masyarakat lokal. Pada
kenyataannya, tingkat kesejahteraan masyarakat di ekoregion laut ini masih jauh di
bawah kesejahteraan masyarakat di ekoregion darat. Tingkat kemiskinan penduduk di
wilayah ini paling tinggi dibandingkan penduduk di wilayah darat. Hal ini menunjukkan
bahwa sektor perikanan belum mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kondisi ini
dapat dipahami mengingat pengelolaan sektor perikanan di ekoregion ini masih
tradisional, belum banyak dikembangkan industri perikanan lanjutan yang berbasis
pemberdayaan masyarakat yang mampu menambah nilai ekonomi hasil perikanan.
Berdasarkan uraian diatas, ancaman yang akan timbul dari isu pencemaran adalah:
a. Kemiskinan makin bertambah yang menyebabkan makin rentannya penduduk di
ekoregion laut terhadap perubahan iklim dan bencana lainnya;
b. Makin punahnya keanekaragaman hayati karena pengelolaan SDA yang tidak
optimal.
Arahan RPPLH pada muatan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam ini
dibuat sesuai dengan karakteristik ekoregion dan rencana pemanfaatan ruang yang
tertuang dalam RTRW DKI. Selain itu arahan juga diselaraskan dengan isu strategis yang
ada di DKI. Isu strategis dipilah menjadi empat, yaitu (a) kerawanan perubahan iklim, (b)
keterbatasan ketersediaan air bersih, (c) keterbatasan ketersediaan lahan, dan (d)
keterbatasan sarana-prasarana.
Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagian besar
diperuntukan bagi pengembangan kawasan terbangun untuk kegiatan perkotaan
seperti permukiman; industri dan pergudangan; perdagangan dan jasa; serta
perkantoran. Pemanfaatan sumber daya alam untuk kegiatan tersebut di ekoregion
darat hanya direkomendasikan di ekoregion fluvio vulkanilk, fluvio marin, serta dataran
beting gisik dan lembah antar gisik serta pemanfaatan terbatas untuk di dataran rawa.
Sementara berdasarkan hasil kajian ekoregion dan kondisi eksisting lingkungan, sumber
daya alam di DKI Jakarta tidak memiliki potensi untuk pencadangan.
Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, saat ini wilayah DKI Jakarta dapat dikatakan tidak
memiliki sumber daya alam baik lahan maupun air yang statusnya sebagai cadangan
sumber daya alam. Bahkan sebaliknya, keterbatasan sumber daya alam baik lahan dan
air justru sudah menjadi isu strategis untuk wilayah ini. Oleh sebab itu, arahan
pemanfaatan sumber daya alam akan difokuskan pada arahan untuk memanfaatkan
sumber daya alam yang sudah terbatas itu dengan sebijaksana dan seoptimal mungkin
sehingga kualitasnya tetap lestari serta mampu mendukung pembangunan secara
berkelanjutan.
Tabel 4.1.
Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemanfaatan dan/atau Pencadangan Sumber Daya Alam” untuk Kawasan Terbangun
EKOREGION
POLA RUANG ISU STRATEGIS
(RTRW) RPPLH Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin Vulkanik
Kawasan Kerawanan Membangun Pengaturan Pemakaian air Membangun Tidak disarankan Pembatasan
terbangun perubahan sistem rumah ketinggian sumur dangkal sistem rumah untuk: pengambilan air
(Zona iklim panggung bangunan (KLB) dan dalam secara panggung a. Zona tanah dalam
permukiman; Pengaturan dan pembatasan terbatas (dengan luas zona permukiman Membuat lubang
industri & ketinggian pemanfaatan permukiman yang resapan air untuk:
b. Zona industri
pergudangan; bangunan Ruang Bawah terbatas)
dan a. skala rumah tangga
perkantoran, (Koefisien Lantai Tanah Tidak disarankan pergudangan (misal : biopori,
perdagangan Bangunan/KLB) Pembatasan untuk: sumur resapan)
c. Zona
& jasa) dan pembatasan penggunaan air a. zona industri perkantoran, b. skala industri (misal
pemanfaatan tanah dan perdagangan, : lubang biopori,
Ruang Bawah pergudangan dan jasa kolam resapan)
Tanah
b. zona c. skala perkantoran
Tidak disarankan perkantoran, (misal : lubang
menggunakan air perdagangan, biopori)
tanah dangkal dan jasa
dan dalam
Tidak disarankan
menggunakan air
tanah dangkal dan
dalam
Muatan terkait pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup di wilayah Provinsi DKI Jakarta menjadi arahan RPPLH
untuk zona kawasan lindung dan kawasan hijau budidaya serta dibuat sesuai dengan karakteristik ekoregion. Secara lebih rinci, arahan
pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup untuk masing-masing peruntukan pada setiap ekoregion adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.3.
Matriks Arahan RPPLH Terkait dengan Muatan “Pemeliharaan dan Perlindungan Kualitas dan/atau Fungsi Lingkungan Hidup”
untuk Zona Kawasan Lindung dan Kawasan Hijau Budidaya
ISU EKOREGION
POLA RUANG STRATEGIS
(RTRW) Dataran Pasang Dataran Beting-Gisik Dataran Fluvio- Dataran Fluvio-
RPPLH Dataran Rawa Dataran Banjir
Surut Berlumpur & Swale Marin Vulkanik
Zona Kerawanan Rehabilitasi atau reboisasi vegetasi dan fauna yang sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
Kawasan perubahan Pemilihan jenis vegetasi yang memiliki perakaran dan tajuk yang memiliki kapasitas pemanenan air hujan tinggi
Lindung iklim
Pemilihan jenis vegetasi yang memiiki kemampuan menyerap polusi udara tinggi
Zona
Membuat sumur resapan guna meningkatkan resapan air
kawasan
hijau Pemanfaatan Penanaman vegetasi yang sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
budidaya sumberdaya Pemilihan jenis vegetasi yang memiliki perakaran dan tajuk yang memiliki kapasitas pemanenan air hujan tinggi
air yang
berlebih Membuat sumur resapan guna meningkatkan resapan air
Membatasi penggunaan hard material yang bersifat masif
Keterbatasan Penanaman vegetasi pada lahan yang tersedia sesuai dengan karakter bentuk lahan (landform) atau lingkungan
ketersediaan Penetapan zona kawasan hijau budidaya sebagai kawasan lindung sehingga dapat mengendalian alih fungsi lahan
lahan
Penetapan ecoregion dataran banjir sebagai kawasan lindung
Sementara, untuk zona kawasan hijau budidaya arahan lebih ditekankan kepada
tujuan mengurangi tingkat polusi dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup
melalui tindakan konservasi atau rehabilitasi terhadap ekosistem yang ada atau
yang telah mengalami kerusakan. Dengan pola arahan ini diharapkan dapat
memelihara dan melindungi fungsi lingkungan hidup.
ISU EKOREGION
STRATEGIS Dataran Pasang Dataran Beting- Dataran Fluvio-
Dataran Rawa Dataran Banjir Dataran Fluvio-Vulkanik
RPPLH Surut Berlumpur Gisik dan Swale Marin
Kerawanan Penyusunan Peraturan Zonasi yang berdasarkan daya Penerapan system Tidak disarankan Penerapan system perijinan IMB
perubahan dukung lingkungan perijinan IMB untuk zona: sesuai ketentuan
iklim Penerapan system perijinan IMB sesuai ketentuan permukiman sesuai a. permukiman Pemantauan terhadap pemanfaatan
ketentuan ruang hijau dalam kavling bangunan
Pemantauan terhadap pemanfaatan ruang hijau dalam b. industri dan
kavling bangunan dan bangunannya Pemantauan terhadap pergudangan dan bangunannya
pemanfaatan ruang Pembangunan titik-titik resapan air
Penerapan perijinan pemanfaatan air tanah dan c. perkantoran,
hijau dalam kavling (misal : lubang biopori, sumur
membangun sistem pemantauan terhadap pemakaian perdagangan, dan
bangunan dan resapan)
air tanah jasa
bangunannya
Tidak memberikan ijin pengambilan air tanah oleh d. pertanian Membangun sistem pemantauan
Menetapkan alokasi terhadap pemakaian air tanah
industry untuk proses produksi Penetapan kawasan
untuk ruang terbuka
Menjaga kapasitas tampung drainase permukiman biru (rawa) dan ruang sebagai kawasan
melalui sistem pembersihan dan/pengerukan terbuka hijau (vegetasi lindung dan dijadikan
rawa) hutan kota
Membangun sistem pemantauan terhadap kualitas
tanggul Tidak memberikan ijin
pengambilan air tanah
Pemanfaatan Membangun sistem supply air minum dari Perusahaan Air Minum (PAM) Membangun sistem supply air
sumberdaya Membuat penampungan air hujan untuk keperluan non-air minum minum dari Perusahaan Air Minum
air yang (PAM)
berlebih Membangun sistem pemantauan terhadap pemakaian air tanah
Membangun sistem pemantauan
terhadap pemakaian air tanah
Keterbatasan Pembatasan perkembangan kegiatan yang intensif Pembatasan Pengaturan peraturan zonasi antara
ketersediaan pemanfaatan sumber daya alam perkembangan kegiatan lain Koefisien Dasar Bangunan
lahan Penyusunan Peraturan Zonasi yang berdasarkan daya perumahan (KDB) rendah dan Koefisien Dasar
dukung lingkungan Hijau (KDH) tinggi dan Pengaturan
Koef . Basement
Selain itu, arahan RPPLH untuk pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam juga mengarahkan perlunya membangun sistem pemantauan dan
pengendalian terhadap pemakaian air tanah terutama di di daerah hulu (dataran fluvio-vulkanik)
sedangkan di daerah hilir (dataran pasut, beting-gisik & swale, dataran fluvio-marin),
membangun sistem pemantauan dan pengendalian ancaman banjir dan kekeringan, serta
membangun sistem pemantauan dan pengendalian terhadap pemanfaatan lahan. Adapun untuk
penegakan hukum terhadap larangan konversi lahan dan pemberian insentif bagi yang orang
mempertahankan lahan pertanian berlaku di semua ekoregion; begitu pula untuk pemenuhan
kebutuhan sarana-prasarana pertanian. Dataran banjir dan dataran rawa merupakan ekoregion
yang tidak disarankan untuk dijadikan zona pertanian meskipun pelestarian ikan rawa perlu
digalakkan.
Arahan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Ekoregion Laut
Provinsi DKI Jakarta terdapat isu strategis RPPLH wilayah laut yaitu:
a. Kerawanan Perubahan Iklim;
b. Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang berlebih;
c. Keterbatasan Ketersediaan Lahan;
d. Keterbatasan Sarana dan Prasarana;
e. Pencemaran; dan
f. Pengelolaan potensi bahari yang belum optimal.
Gugusan Kepulauan Seribu merupakan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil. Merujuk dari
Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui melalui
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), yang bersifat spasial.
Dijelaskan dalam Pasal 1 UU No 27 Tahun 2007 bahwa Rencana Zonasi adalah rencana
yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai
dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat
kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan lain yang hanya
dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
Dalam ekoregion laut, isu strategis RPPLH dibedakan berdasarkan dari pembagian alokasi
menurut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang menurut Pasal 10 dan
Pasal 11 UU No. 27 Tahun 2007, pengalokasian ruang dalam RZWP3K terbagi untuk
Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional
Tertentu, dan Alur Laut. Dari penjelasan pasal ini, disebutkan bahwa Kawasan
Pemanfaatan Umum disetarakan dengan Kawasan Budidaya dalam RTRW dan Kawasan
Konservasi dengan Kawasan Lindung. Adapun alur laut merupakan perairan yang
dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut,
sedangkan Kawasan Strategis Nasional Tertentu ditetapkan dengan memperhatikan
beberapa kriteria seperti batas maritim kedaulatan negara dan situs warisan dunia.
Sementara seperti yang disebutkan di atas, untuk wilayah perairan, RZWP3K berposisi
sebagai dokumen pengelolaan tersendiri yang memuat alokasi detail dari kawasan laut
sesuai kebutuhan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil.
Arahan untuk adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim cukup beragam
sesuai dengan lokasi ekoregion lautnya. Namun pola yang tampak secara umum
adalah pada ekoregion laut 6.3.1. sebagai zona non aktivitas dengan ditanaminya
tanaman mangrove sebagai buffer untuk mitigasi bencana sebagai benteng alam,
dan penguatan pembangunan infrastruktur dikhususkan di ekoregion laut 6.3.2.,
6.3.3., 6.3.4. dan 6.2.2. yang merupakan area dengan karakteristik pulau
berpenghuni. Bahkan lebih dari sekedar pembangunan fisik sebagai bagian dari
infrastruktur mitigasi bencana, juga diterapkan jalur evakuasi, munster place dan
early warning system apabila suatu waktu terjadi bencana alam.
EKOREGION
Alokasi RZWP3K
E.L. 6.3.1 E.L. 6.3.2 E.L. 6.3.3 E.L. 6.3.4 E.L. 6.2.2
Kawasan Lahan hijauan Peningkatan kesadaran Penanaman mangrove Penanaman mangrove dan Penanaman
Pemanfaatan tanaman mangrove masyarakat dalam : dan rahabilitasi rahabilitasi terumbu karang mangrove di
Umum: sebagai daerah buffer Rehabilitasi mangrove, terumbu karang di dan lamun di sekitar pulau sekitar pulau
dan banteng alam Rehabilitasi lamun dan sekitar pulau Pembangunan infrastruktur Pembangunan
untuk mencegah Rehablitiasi karang; Pembangunan penghalau ombak; infrastruktur
Semua ekoregion
badai dan banjir rob; Pelatihan dan bina infrastruktur penghalau
dapat dimanfaatkan, Pembuatan jalur evakuasi
namun harus Area konservasi yang kesadaran terhadap penghalau ombak; bencana; ombak;
memperhatikan diperuntukkan masyarakat di EL 6.3.2. Pembuatan jalur Pembuatan jalur
Pembuatan munster place
emisi GRK yang sebagai ekoturisme dalam siaga terhadap evakuasi bencana; evakuasi bencana;
(tempat berkumpul bersama)
dihasilkan dari dan laboratorium bencana akibat perubahan
Pembuatan munster untuk wisatawan dan Pembuatan
kegiatan, alam untuk penelitian; iklim;
place (tempat masyarakat; munster place
pemanfaatan Membangun Terdapatnya zona berkumpul bersama) Pembuatan shelter bencana (tempat
tersebut dan harus kesadaran masyarakat evakuasi disetiap pulau untuk wisatawan dan berkumpul
mengadopsi pesisir untuk tanggap yang berpenghuni; Pelatihan dan pembuatan pos
masyarakat; bersama) untuk
teknologi zerowaste bencana badai dan sebagai bentuk masyarakat
Terdapat early warning Pembuatan shelter masyarakat;
banjir rob; tanggap bencana.
systems sebagai alarm bencana Pembuatan
Sebagai daerah no tanggap bencana; Terdapat early warning
Pelatihan dan shelter bencana
take zone, yang systems sebagai alarm
Penguatan pembangunan pembuatan pos Terdapat early
artinya tidak tanggap bencana
dan pengembangan sebagai bentuk warning systems
dipernakan sebagai infrastruktur terhadap Pelatihan dan percontohan
masyarakat tanggap sebagai alarm
peruntukkan bencana, seperti tanggul rumah tanggap bencana
bencana. tanggap bencana
budidaya dikarenakan ataupun talud di sekitar banjir rob dengan konsep
merupakan zona Terdapat early warning rumah panggung
pulau.
hyper euthrification. systems sebagai alarm
tanggap bencana
Arahan untuk pemanfaatan sumber daya alam pesisir, kepulauan dan perikanan
lebih difokuskan pada wilayah ekoregion laut 6.3.2., 6.3.3. dan 6.3.4. yang
merupakan area fishing ground dengan ekosistem terumbu karang. Adanya aturan
mengenai jenis alat tangkap yang ramah lingkungan, membuat bank ikan dari
terumbu karang sebagai pencadangan sumber daya perikanan dan juga mengelola
sumberdaya perikanan dan pesisir di dalamnya termasuk buangan sampah maupun
limbah domestik dari rumah tangga.
Kawasan Strategis Semua kawasan Strategis Nasional yang boleh dimanfaatkan secara lestari, dan harus betul-betul menjaga agar tidak terjadi pemanfaatan yang
Nasional Tertentu berlebih
Kawasan Alur Semua kawasan alur tidak boleh digunakan untuk kegiatan selain alur dan tidak boleh mengganggu kegiatan alur dan harus mendukung agar tidak
terjadi pemanfaatan yang berlebih
Arahan untuk terkait dengan muatan pemanfaatan sumber daya alam pesisir,
kepulauan dan perikanan difokuskan pada wilayah ekoregion laut 6.3.2., 6.3.3.,
6.3.4. dan 6.2.2. yang merupakan area wilayah berpenghuni sehingga aktifitas
manusia relatif tinggi terutama kebutuhan lahan akan pemukiman dan kegiatan
ekonomi lainnya seperti adanya pengembangan pariwisata kepulauan. Pada arahan
ini, difokuskan untuk mengatur mengenai adanya pembentukan tata ruang daerah
berkembang berbasis desa/kelurahan setempat. Kebutuhan lahan masyarakat di
pulau sangat vital, artinya ketersediaan lahan menjadikan ruang atau tempat untuk
penampung hasil dari kegiatan masyrakat seperti lahan untuk TPA. Sedangkan
untuk ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah yang diarahkan sebagai daerah yang
tidak boleh terdepat pembangunan, dikarenakan kondisi daya dukung
lingkungannya sudah tidak mencukupi guna mendukung kapasitas aktivitas
manusia. Di wilayah ekoregion laut 6.3.1. merupakan daerah wisata dan hutan
lindung.
Demikian pula yang terjadi di kawasan konservasi yang ada di ekoregion ekoregion
laut 6.3.1 dan 6.3.4. Penyediaan sarana-prasarana tersebut tidak boleh sampai
mengganggu kelestarian lingkungan dan kelestarian sumberdaya hayati laut
Sarana dan prasarana untuk mendukung kawasan alur juga masih terbatas. Semua
ekoregion di wilayah DKI Jakarta mempunyai kawasan alur. Adanya keterbatasan
sarana dan prasarana tersebut berpotensi untuk memicu terjadinya konflik
kepentingan, yang dapat mengakibatkan terganggunya lingkungan dan sumber
daya hayati laut.
Arahan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam terkait dengan isu
keterbatasan sarana dan prasarana adalah sebagai berikut:
Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan Peningkatan kapasitas Peningkatan kapasitas Peningkatan kapasitas Peningkatan kapasitas Peningkatan kapasitas
Pemanfaatan pemantauan kondisi pesisir pengolahan sampah; pengolahan sampah; pengolahan sampah; pengolahan sampah;
Umum sebagai border antara Terdapatnya Terdapatnya penampungan Terdapatnya Terdapatnya
ekosistem daratan dan penampungan air hujan air hujan sebagai cadangan penampungan air hujan penampungan air hujan
pesisir; sebagai cadangan air tawar air tawar sebagai cadangan air tawar sebagai cadangan air
Terdapatnya Terdapatnya akses lintas Terdapatnya akses lintas Terdapatnya akses lintas tawar
penampungan air hujan pulau regular yang pulau regular yang pulau regular yang Terdapatnya akses lintas
sebagai cadangan air tawar menghubungkan akses menghubungkan akses menghubungkan akses pulau regular yang
Perlu ditertibkan masalah aktivitas dan ekonomi aktivitas dan ekonomi aktivitas dan ekonomi menghubungkan akses
sampah wisatwan masyarakat masyarakat masyarakat aktivitas dan ekonomi
Adanya sinergisitas area Terdapatnya lembaga Terdapatnya lembaga masyarakat
ekoregion 6.3.2. sebagai pengelola wisata berbasis pengelola wisata berbasis Terdapatnya lembaga
penyuplai ikan kepada masyarakat masyarakat pengelola wisata
wisatawan yang Penguatan jaringan antar Penguatan jaringan antar berbasis masyarakat
berkunjung pulau yang bergerak di pulau yang bergerak di Penguatan jaringan
Terdapatnya distribusi konservasi konservasi antar pulau yang
pemasaran bibit mangrove Penguatan aturan tatakelola Penguatan aturan bergerak di konservasi
hasil dari budidaya Pulau berbasis masyarakat yang tatakelola berbasis Penguatan aturan
Lancang ke Pulau lainnya. konsen terhadap konservasi masyarakat yang konsen tatakelola berbasis
dan keberlanjutan ekonomi terhadap konservasi dan masyarakat yang konsen
masyarakat keberlanjutan ekonomi terhadap konservasi dan
masyarakat keberlanjutan ekonomi
masyarakat
Kawasan Adanya wadah Adanya wadah Adanya wadah kelembagaan Adanya wadah Adanya wadah
Konservasi kelembagaan masyarakat kelembagaan masyarakat masyarakat konservasi kelembagaan masyarakat kelembagaan
konservasi konservasi seperti Penguatan komunitas konservasi masyarakat konservasi
Sebagai laboratorium masyarakat penjaga pantai jaringan komunikasi antar
penelitian ekologi pulau tentang konservasi
e. Pencemaran
Semua kawasan pemanfaatan umum rawan terjadi pencemaran akibat kegiatan
antropogenik, terutama ekoregion laut 6.3.1 (paling rawan) oleh kegiatan di darat
dari hulu hingga hilir, diikuti oleh ekoregion laut 6.2.2 oleh kegiatan penambangan
minyak dan alur kapal, dan ekoregion laut 6.3.4 oleh kegiatan wisata, sehingga
harus dilakukan pengelolaan terhadap bahan pencemar dari kegiatan antropogenik.
Demikian pula, pencemaran juga berpotensi terjadi di semua kawasan konservasi
laut. Walaupun merupakan kawasan yang dilindungi, namun tetap berpotensi
mengalami pencemaran akibat kegiatan antropogenik yang dilakukan di luar
kawasan. Potensi paling besar terjadi pada kawasan konservasi mangrove di
ekoregion laut 6.3.1 dengan pencemaran dari darat, sedang di ekoregion laut 6.3.4
oleh kegiatan wisata, kegiatan penambangan minyak dan alur kapal. Di kawasan
alur, pencemaran dapat mengakibatkan terganggunya kelestarian sumberdaya
hayati.
Tabel 4.9.
Matriks Arahan RPPLH Ekoregion Laut DKI Jakarta Terkait Isu Pencemaran
Alokasi EKOREGION
RZWP3K EL 6.3.1. EL 6.3.2. EL 6.3.3. EL 6.3.4. EL 6.2.2.
Kawasan Sebagai daerah Terdapatnya jaring atau Terdapatnya jaring atau Terdapatnya jaring atau Terdapatnya jaring atau
Pemanfaatan absorbs pengikatan bangunan penghalau bangunan penghalau sampah bangunan penghalau sampah bangunan penghalau sampah
Umum logam berat melalui sampah kiriman dari kiriman dari daratan Jakarta kiriman dari daratan Jakarta kiriman dari daratan Jakarta
penanaman kerang daratan Jakarta Tidak diperkenakannya Tidak diperkenakannya Tidak diperkenakannya
hijau sebagai biofilter Tidak diperkenakannya penggunaan bahan kimia penggunaan bahan kimia penggunaan bahan kimia
peningkatan penggunaan bahan dalam menangkap ikan dalam menangkap ikan dalam menangkap ikan
pemahaman dan kimia dalam menangkap Peningkatan kesadaran Peningkatan kesadaran Peningkatan kesadaran
kepedulian ikan masyarakat dalam hal masyarakat dalam hal masyarakat dalam hal
masyarakat terhadap Peningkatan kesadaran pencemaran sampah pencemaran sampah pencemaran sampah
pencermaran sampah masyarakat dalam hal Terdapatnya satgas yang Terdapatnya satgas yang Terdapatnya satgas yang
Sebagai area pencemaran sampah mengurusi sampah disetiap mengurusi sampah disetiap mengurusi sampah disetiap
mangrove untuk trap Terdapatnya satgas pulau berpenghuni pulau berpenghuni pulau berpenghuni
pollution yang mengurusi sampah Adanya aturan bersama yang Adanya aturan bersama yang Adanya aturan bersama yang
disetiap pulau diakomodasi melalui perdes diakomodasi melalui perdes diakomodasi melalui perdes
berpenghuni untuk program wisatawan untuk program wisatawan untuk program wisatawan
bebas mencemar, beserta bebas mencemar, beserta bebas mencemar, beserta
sanksi hukum bagi yang sanksi hukum bagi yang sanksi hukum bagi yang
melanggar melanggar melanggar
Kawasan Di dalam kawasan Tidak boleh Tersedianya demplot Tersedianya demplot buangan Tidak boleh menggunakan
Konservasi cagar budaya tidak menggunakan bahan buangan limbah domestik, limbah domestik, sehingga bahan kimia dalam
diperkenakan untuk kimia dalam sehingga tidak bermuara ke tidak bermuara ke laut pembudidayaan ikan
mencemari lingkung, pembudidayaan ikan laut Aturan perdes yang melarang Terdapat aturan control
diakomodir melalui Terdapat aturan control Aturan perdes yang melarang perusakan habitat terumbu penggunaan pellet untuk
aturan wisata di Pulau penggunaan pellet perusakan habitat terumbu karang, padang lamun, budidaya
Onrust dan Kelor untuk budidaya karang, padang lamun, pengambilan pasir laut secara
Arahan untuk pemanfaatan sumber daya pesisir, kelautan, perikanan dan kepulauan
yang difokuskan ke arahan pemanfaatan umum dan konservasi untuk ekoregion laut
6.3.1., 6.3.2., 6.3.3., 6.3.4. dan 6.2.2. Secara umum, pada kawasan pemanfaatan umum
seringkali didapati adanya pengelolaan potensi bahari yang belum optimal, sehingga
pemanfaatanya masih dibawah batas MSY dan MEY. Sementara itu, pada ekoregion
laut 6.3.2., 6.3.3., dan 6.3.4 sebagai wilayah yang dikembangkan untuk pariwisata
memiliki arahan pola pengelolaan yang hampir sama. Di ketiga lokasi ekoregion laut
tersebut merupakan daerah dengan pola region laut berkarang. Sedangkan untuk
wilayah ekoregion laut 6.3.4. sebagian wilayahnya adalah masuk kedalam wilayah
konservasi TN Kepuluan Seribu. Sedangkan untuk ekoregion laut 6.2.2. lebih
Arahan pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam terkait dengan isu
belum optimalnya pengelolaan potensi bahari adalah sebagai berikut:
Karena karakteristik wilayah ecoregion laut yang tidak memiliki batas yang jelas dan
adanya saling pengaruh mempengaruhi yang terjadi setiap saat dan sulit dikendalikan,
maka arahan pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup
ecoregion laut memuat arahan kebijakan yang harus dilakukan. Arahan kebijakan
pemeliharaan dan perlindungan ini berlaku untuk semua ecoregion laut. Arahan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Rehabilitasi mangrove
Mangrove di pantai banyak yang rusak karena berbagai sebab antara lain karena
penebangan untuk mendapatkan kayu atau material lainnya, atau lahan
mangrovenya sendiri berubah fungsi misalnya untuk pemukiman, pertambakan,
atau industri. Rehabilitasi dapat dilaksanakan dengan penanaman kembali bibit
mangrove di daerah yang telah rusak. Penyediaan bibit dapat diupayakan oleh
masyarakat setempat sedangkan penanaman bibit mangrove dapat dilaksanakan
dengan melibatkan masyarakat umum, anak sekolah, anggota masyarakat umum,
LSM, dan organisasi lainnya. Ekosistem yang telah bertumbuh dengan baik perlu
mendapatkan perlindungan oleh segenap pemangku kepentingan dengan regulasi
2. Rehabilitasi lamun
Kerusakan lamun dapat terjadi karena digali untuk pembangunan sarana pantai
seperti pelabuhan, industri atau pemukiman. Kekeruhan air yang terjadi ikut
menyebabkan terhambatnya atau matinya lamun. Upaya untuk rehabilitasi dapat
dilaksanakan dengan transplantasi lamun dengan melibatkan masyarakat umum.
Teknik transplantasi lamun telah dikembangkan antara lain oleh Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Telah direncanakan agar kegiatan transplantasi lamun ini
melibatkan masyrakat dan dapat dikemas pula sebagai salah satu atraksi wisata.
3. Rehabilitasi karang,
Karang yang rusak dapat terjadi karena berbagai sebab, baik karena sebab alami
maupun karena ulah kegiatan manusia. Pada umumnya kerusakan karena ulah
manusia dapat menimbulkan dampak yang lebih sulit untuk pulih. Beberapa
teknologi telah dikembangkan untuk transplantasi karang, untuk menumbuhkan
kembali karang di lokasi yang telah rusak. Pemantauan kondisi karang perlu
dilaksanakan secara berkala dengan melibatkan potensi lembaga penelitian,
perguruan tinggi atau LSM yang bekualifikasi.
4.2.3. Pengendalian, Pemantauan, serta Pendayagunaan dan Pelestarian Sumber Daya Alam
Ekoregion Laut
a. Penegakan hukum
Penegakan hukum memiliki arti yang luas, meliputi segi preventif dan represif.
Pemerintah juga diharuskan turut aktif dalam meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat. Lebih jauh, peran masyarakat dalam penegakan hukum harus
ditingkatkan sehingga kegiatan penegakan hukum lebih efektif dan efisien. Hal ini
karena di banyak permasalahan klasik terkait keterbatasan sumberdaya (SDM dan
finansial). Yang penting dilakukan adalah dibuatkan mekanisme penegakan yang
dapat dijalankan bersama antara aparat penegak hukum dan msyarakat.
Pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan harus saling bekerjasama dalam
meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil yang ada di DKI Jakarta. Sumberdaya ini merupakan penopang
Beberapa prinsip dasar untuk menghadapi perubahan iklim, risiko bencana dengan aksi
penangggulangan perubahan iklim dan resiko bencana, yaitu melalui:
Secara teori adaptasi perubahan iklim adalah proses menyesuaikan diri dengan
dampak dari perubahan iklim yang sudah tidak dapat dicegah. Adaptasi terhadap
perubahan iklim seharusnya tidak menjadi tantangan tambahan pada kebijakan dan
prioritas perencanaan yang sudah ada, namun menjadi kesempatan bagi pemerintah
Jakarta dan mitra utamanya untuk menerapkan fokus dan prioritas untuk masa
depan. Adapun kebijakan pemerintah terhadap adaptasi perubahan iklim adalah:
Tabel 4.11.
Kebijakan Adapatasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut
Kebijakan Pemerintah
Wilayah
berkaitan dengan Adaptasi Implementasi yang dilakukan
Ekoregion
Perubahan Iklim
Sebagai kebijakan alternative pengalokasian
Pemukiman rumah susun pemukiman masyarakat yang kurang mampu Ekoregion darat
dan bertempat tinggal di daerah aliran sungai
Kendaraan bermotor dilakukan uji emisi.
Kendaraan bermotor yang dapat beroperasi di
Pembatasan Populasi
Jakarta tidak melebihi dari 20 Tahun, misalnya Ekoregion darat
Kendaraan Bermotor
hanya kendaraan produksi Tahun 2000 ke atas
yang dapat beroperasi.
Peningkatan sarana Menciptakan kondisi transportasi umum yang
prasarana transportasi umum ramah lingkungan dan energy, seperti adanya Ekoregion darat
berbasis green transport. MRT.
Peningkatan teknologi Adanya pengolahan air konsumsi rumah tangga
Pendaur ulang air konsumsi dan dapat digunakan kembali dengan kualitas Ekoregion darat
rumah tangga kesehatan yang terjamin
Terdapatnya pola bentuk bangunan rumah
Konsep pola rumah panggung yang tahan badai dan banjir Ekoregion laut
panggung
Secara teori mitigasi adalah upaya untuk membuat keadaan untuk tidak lebih menjadi
buruk. Artinya mitigasi terhadap perubahan iklim adalah sebuah upaya yang dibuat
oleh manusia untuk menekan sekecil mungkin bahaya dan kerusakan yang
disebabkan oleh dampak perubahan iklim. Adapun kebijakan pemeritah tentang
mitigasi terhadap perubahan iklim adalah sebagai berikut:
Tabel 4.12.
Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim di Wilayah Ekoregion Darat dan Laut
3. Kolaborasi Aspek Kelembagaan untuk Aspek Siaga Perubahan Iklim dan Bencana
Alam.
Kolaborasi aspek kelembagaan untuk aspek siaga perubahan iklim dan bencana alam
terdiri dari: