Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus yang menyerang/
menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS
atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul
karena turunnya kekebalan tubuh yang disebaban infeksi oleh HIV. Akibat menurunnya
kekebalan tubuh maka orang tersebut sangat mudah terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi
opurtunistik) yang sering berakibat fatal. Pengidap HIV memerlukan pengobatan dengan
Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV didalam tubuh agar tidak masuk
ke dalam stadium AIDS, sedangkan pengidap AIDS memerlukan pengobatan ARV untuk
mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.1
Diseluruh dunia pada tahun 2013 ada 35 juta orang hidup dengan HIV meliputi 16
juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia < 15 tahun. Jumlah infeksi baru HIV pada tahun
2013 sebesar 2,1 juta terdiri dari 1,9 juta dewasa dan 240.000 anak berusia < 15 tahun.
Jumlah kematian akibat AIDS sebanyak 1,5 juta yang terdiri dari 1,3 juta dewasa dan
190.000 anak berusia < 15 tahun.1
Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Provinsi Bali pada tahun 1987.
Hingga saat ini, HIV/AIDS sudah menyebar di 386 kabupaten/kota diseluruh provinsi di
Indonesia. Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan pemerintah bekerjasama dengan
berbagai lembaga di dalam negeri dan luar negeri. Berikut ini ditampilkan situasi HIV/AIDS
yang bersumber dari Ditjen PP-PL melalui Aplikasi Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS
(SIHA).1

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau
penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi
oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.2

2.2. MORFOLOGI VIRUS


a. Struktur HIV
Virus HIV termasuk golongan RNA yang berbentuk sferis dengan inti
kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes
diameter 1000 angstrom. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu p24,
protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu
protease, reverse transcriptase dan integrase . Protein p24 adalah antigen virus yang
cepat terdeteksi dan merupakan target antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus
dikelilingi oleh matriks protein p17, yang merupakan lapisan di bawah selubung
lipid. Sedangkan selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat
penting dalam proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus
yang berisi gen gag, pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi
berupa protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi
protein matang.3,4,5,6
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA,
famili: Retroviridae, sub famili : Lentivirinae, genus : Lentivirus, spesies : Human
Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1) dan Human Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2).
Terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik
(evolusioner) dengan lentivirus primata lainnya. Perbedaan struktur genom ini
walaupun sedikit, diperkirakan mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas
dan perbedaan perjalanan penyakit diantara kedua tipe HIV tersebut. Human
Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1) yang lebih sering ditemukan, maka penelitian-
penelitian klinis dan laboratoris lebih sering dilakukan terhadap HIV-.3

2
Morfologi virus HIV 5

b. Siklus Human Immunodeficiency Virus


Human Immunodeficiency Virus merupakan retrovirus obligat intraselular
dengan replikasi sepenuhnya di dalam sel host. Perjalanan infeksi HIV di dalam
tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 pada selubung HIV berikatan dengan
reseptor spesifik CD4 yang terdapat pada permukaan membran sel target
(kebanyakan limfosit T-CD4+). Sel target utama adalah sel yang mampu
mengekspresikan reseptor CD4 (astrosit, mikroglia, monosit-makrofag, limfosit,
Langerhan’s dendritik).6 Glikoprotein terdiri dari dua sub-unit gp120 dan gp41.7 Sub
unit 120 mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor CD4 dan bertanggung jawab
untuk ikatan awal virus pada sel. Perlekatan ini menginduksi perubahan konfirmasi
yang memicu perlekatan kedua pada koreseptor. Dua reseptor kemokin utama yang
digunakan oleh HIV adalah CCR5 dan CXCR4.8 Ikatan dengan kemoreseptor ini
menginduksi perubahan konformasi pada sub unit glikoprotein 41 (gp41) yang
mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam membran target yang
memfasilitasi fusi virus. Setelah terjadinya fusi, virus tidak berselubung
mempersiapkan untuk mengadakan replikasi.5
Material genetik virus adalah RNA single stand-sense positif (ssRNA), virus
harus mentranskripsi RNA ini dalam DNA secara optimal pada replikasi sel manusia
(transkripsi normal terjadi dari DNA ke RNA, HIV bekerja mundur sehingga diberi
nama retrovirus). Untuk melakukannya HIV dilengkapi dengan enzim unik RNA-
dependent DNA polymerase (reverse transcriptase). Reverse transcriptase pertama
membentuk rantai DNA komplementer, menggunakan RNA virus sebagai templet.

3
Hasil sintesa lengkap molekul double-strand DNA (dsDNA) dipindahkan ke dalam
inti dan berintegrasi ke dalam kromoson sel tuan rumah oleh enzim integrase.
Integrasi ini menimbulkan beberapa masalah, pertama HIV dapat menyebabkan
infeksi kronik dan persisten, umumnya dalam sel sistem imun yang berumur panjang
seperti T limfosit memori. Kedua, pengintegrasian acak menyebabkan kesulitan
target. Selanjutnya integrasi acak pada HIV ini menyebabkan kelainan seluler dan
mempengaruhi apoptosis. Gabungan DNA virus dan DNA sel inang akan
mengalami replikasi, transkripsi dan translasi. DNA polimerase mencatat dan
mengintegrasi provirus DNA ke mRNA, dan mentranslasikan pada mRNA sehingga
terjadi pembentukan protein virus. Pertama, transkripsi dan translasi dilakukan
dalam tingkat rendah menghasilkan berbagai protein virus seperti Tat, Nef dan Rev.
Protein Tat sangat berperan untuk ekspresi gen HIV, mengikat pada bagian DNA
spesifik yang memulai dan menstabilkan perpanjangan transkripsi. Belum ada fungsi
yang jelas protein Nef. Protein Rev mengatur aktivitas post transkripsional dan
sangat dibutuhkan untuk reflikasi HIV. Perakitan partikel virion baru dimulai
dengan penyatuan protein HIV dalam sel inang. Nukleokapsid yang sudah terbentuk
oleh ssRNA virus disusun dalam satu kompleks. Kompleks nukleoprotein ini
kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel
pejamu melalui proses “budding” dari membran plasma. Kecepatan produksi virus
dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel.5,9

2.3. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi HIV/AIDS di seluruh dunia terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) Global Statistics
(2015), bahwa prevalensi HIV/AIDS di dunia mencapai 36,9 juta penderita.
Diperkirakan 0,8% [0,6-0,9%] orang dewasa berusia 15-49 tahun di seluruh dunia
hidup dengan HIV, meskipun jumlah epidemiologi atau penyebarannya terus bervariasi
antara negara dan wilayah di dunia. Pada akhir tahun 2014 tercatat penderita baru
sebanyak 2 juta penderita. Dan di akhir tahun 2014 sebanyak 1,2 orang meninggal
karena AIDS. Pada tahun 2014 terdapat 35 juta penderita. Penderita terbanyak berada
di wilayah Afrika sebanyak 24,7 juta penderita. Sedangkan di Asia tercatat 4,8 juta
penderita HIV/AIDS. Asia diperkirakan memiliki laju infeksi HIV tertinggi di dunia.
Menurut laporan WHO dan UNAIDS, ketiga negara yang memiliki laju infeksi HIV

4
tertinggi di dunia adalah China, India, dan Indonesia. Ketiga negara itu memiliki
populasi penduduk terbesar di dunia.7
HIV/AIDS pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1987. Sejak tahun
1987 sampai dengan tahun 2014, HIV/AIDS tersebar di 386 (77,5%) dari 498
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif kasus HIV yang
ditemukan sampai dengan tahun 2014 sebesar 160.138 kasus, sedangkan jumlah
kumulatif penderita AIDS sebanyak 65.790 orang. Kasus HIV yang baru ditemukan
pada tahun 2014 sebesar 32.711 kasus, sedangkan penderita AIDS sebanyak 5.494
orang. Kasus HIV terbesar setiap tahun ditemukan pada kelompok umur produktif yaitu
25-49 tahun dan faktor resiko terbesar dari penderita AIDS yang ditemukan dari tahun
2010 hingga 2014 secara konsisten adalah heteroseksual. (Ditjen PP & PL Kementerian
Kesehatan RI, 2015).1

2.4. STADIUM KLINIS


WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I
(asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV
(sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T
CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi
profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja
merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut,
system imun individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka
terus menerus menderita penyakit minor dan mayor Karena tubuhnya tidak mampu
memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang
tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang
tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare.
Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak
memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang,
penurunan berat badan secara mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi
pembengkakan didaerah kelenjar getah bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis,
gejala PMS akan berakibat fatal.

5
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai
dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit
lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan
dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum
diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan
terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya
hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk.
Keadaan yang buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga
peningkatan I9A.
Perjalanan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan.
Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia,
malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada,
nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal
(nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi
viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis
yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP),
meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostik dan tidak terpengaruh bagi
hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai
petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas pemderita.

6
Tabel 2.1. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

7
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

2.5. PATOFISILOGI
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan sebagian
oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronik progresif pada jaringan
limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan mengukur jumlah virus
dalam serum pasien dan menghitung jumlah sel T CD4+ dalam darah tepi. Bergantung
pada lokasi masuknya virus ke dalam tubuh, sel T CD4+ dan monosit dalam darah atau
sel T CD4+ dan makrofag dalam jaringan mukosa merupakan sel – sel pertama yang
terinfeksi. Besar kemungkinan bahwa sel dendritik berperan dalam penyebaran awal
HIV dalam jaringan limfoid, karena fungsi normal sel dendritik adalah menangkap
antigen dalam epitel lalu masuk ke dalam kelenjar getah bening. Setelah berada dalam
kelenjar getah bening, sel dendritik meneruskan virus kepada sel T melalui kontak antar
sel. Dalam beberapa hari saja jumlah virus dalam kelenjar berlipat ganda dan
mengakibatkan viremia. Pada saat itu, jumlah partikel HIV dalam darah banyak sekali
disertai sindrome HIV akut. Viremia menyebabkan virus menyebar di seluruh tubuh
dan menginfeksi sel T, monosit maupun makrofag dalam jaringan linfoid perifer.
Sistem imun spesifik kemudian akan berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dari
menurunnya kadar viremia, walaupun masih tetap dapat dideteksi.5,8,9
Infeksi akut awal ditandai oleh infeksi sel T CD4+ memori (yang
mengekspresikan Chemokine (C-C motif) reseptor 5 (CCR5) dalam jaringan limfoid
mukosa dan kematian banyak sel terinfeksi. Setelah infeksi akut, berlangsunglah fase

8
kedua dimana kelenjar getah bening dan limfa merupakan tempat replikasi virus dan
destruksi jaringan secara terus menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat
banyak dan jumlah sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa
minggu sampai beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, gatal –
gatal. Selama periode ini sistem imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi,
karena itu fase ini disebut fase laten.8,9
Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan infeksi HIV yang
asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala atau simptom
untuk beberapa tahun yang akan datang. Di fase ini juga hanya sedikit virus yang
diproduksi dan sebagian besar sel T dalam darah tidak mengandung virus. Walaupun
demikian, destruksi sel T dalam jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel
T makin lama makin menurun hingga 500-200 sel/mm3. Jumlah sel T dalam jaringan
limfoid adalah 90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah
perifer yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel
oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten akan
menurunkan jumlah sel T dalam darah tepi.8,10
Selama masa kronik progresif, respon imun terhadap infeksi lain akan
merangsang produksi HIV dan mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya penyakit
menjadi progresif dan mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat mana destruksi
sel T dalam jaringan limfoid perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi
menurun hingga dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di
bagian lain dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi opportunistik, cachexia,
keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit Th menyebabkan
pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukkan respon imun yang infektif
terhadap virus onkogenik. 10
Selain tiga fase tersebut ada masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes
antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah
pasien dengan jumlah yang cukup banyak. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul
dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat
penting diperhatikan karena pada perode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial
menularkan HIV kepada orang lain.8, 10

9
Patogenesis penyakit HIV 8
2.6. CARA MENDIAGNOSA
A. ANAMNESIS
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk
menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan
laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini
mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA
(table 2.2. dan table 2.3.).

10
Tabel 2.2. Faktor risiko infeksi HIV
- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2007

Tabel 2.3. Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

11
B. PEMERIKSAAN FISIK
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat
dilihat pada tabel 2.4. :
Tabel 2.4. Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

12
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau
kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan
karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan
kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo
(RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa
demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti
pada tabel 2.5.
Tabel 2.5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan
pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR
untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk
kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 2.6.) . (Depkes RI,
2007)

13
Tabel 2.6. Anjuran Pemeriksaan Laboratorium yang Perlu Dilakukan pada
Odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);

Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);

HIV RNA plasma (viral load) (AI);

Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);

Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Sumber : Yayasan Spiritia 2006.

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan


biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang
tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan
pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif,
serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada
akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi,
pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential
(rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan
informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki
sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang
reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini
adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil
tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular
mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat
bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia
anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

14
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan
tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan
secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari
pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi.
Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan
penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes
pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai
indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki
risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z
dkk,2006).
Alogaritma pemeriksaan HIV

15
2.7. PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total.
Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa
pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV.2
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan
pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan
yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan
kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni :11
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti
evafirens dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir,
amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV
meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan
pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence,
toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau
sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan
untuk memulai terapi ARV.12
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara

16
seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau
manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS
berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10.12

Tabel 2.7. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh,
TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV
(Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik.
Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh
diterapi karena pada saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah
dengan sumber daya terbatas.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi
ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama.

17
Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 <
200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila
tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari
200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4
antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut
perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi ARV dianjurkan
pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga
pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk
memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan
klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat
memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.12
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik
yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan
sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,
demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan
pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari
bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk mencegah atau meminimalisir
sindrom restorasi imun atau IRIS.12

Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula,
terapi HIV menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun
hanya memberikan manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.13
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2
NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah
AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah
nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ).12
Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel.

18
Tabel 2.8. Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC
+ NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat
menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan
adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh
karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer.
Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan.
Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan.3
Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kekurangan masing-masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan
seperti pada tabel 2.9.

19
Tabel 2.9. Pilihan obat ARV golongan NR

20
Tabel 2.10. Kombinasi ARV

Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau
mati) dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon
imun terhadap antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus
IRIS. Frekuensinya 10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari
pasien yang mulai terapi ARV dengan CD4 <50 / mm3. Berikut pedoman tatalaksana
IRIS di Indonesia, seperti pada skema berikut :

21
Pedoman Tatalaksana Iris

Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan
tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari

22
luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan
normal terkendali oleh kekebalan tubuh.13
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang
ditandai dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L ataupun
> 200 sel/ L. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila
kekebalan tubuh tetap rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau
juga dapat timbul oportunistik yang lain. Pada umumnya kematian pada odha
disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga infeksi ini perlu dikenal dan diobati.
Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh ( CD4 ) dapat dicapai sehingga
risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak penyakit yang digolongkan
infeksi oportunistik seperti terlihat pada tabel 2.11.
Tabel 2.11. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis
AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu

23
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c

a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.

Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di
Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan replikasi
HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering pada odha.13
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada infeksi
HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L sedangkan TB ekstraparu atau
diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih rendah.13
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu,
demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada
waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang
tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis.
Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih sulit.13
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang bukan odha.
Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar 50% dan tes
tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru pada

24
odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV berupa infiltrat pada
lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran
yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus
bawah. Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis
pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan
ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala
setelah terapi kombinasi OAT.13
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada
kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16.
Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 <
200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia
pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan TB.
Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan
untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.13

Tabel 2.12 Obat yang dipakai dan lama pengobatan


Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT
adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi
berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 2.13. Untuk itu, perlu dilakukan
tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB.13

25
Tabel 2.13 Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai

Pencegahan Infeksi Oportunistik


Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni :11
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat
mengurangi risiko PCP.

26
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan
(dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah
sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko
terkena infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi
oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A.11

Tabel 2.14. Pencegahan infeksi oportunistik


Penyakit Mulai Obat yang digunakan
PCP 1o CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)

27
DAFTAR PUSTAKA

1. RI Kementrian Kesehatan dan Ditjen PP. Infodatin Situasi dan Analisis


HIV/AIDS.2015
2. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
3. World Health Organization. Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: data by
WHO region by WHO region. WHO. 2012.
4. World Health Organization. Data on the size of the HIV/AIDS epidemic: Number
of people (all ages) living with HIV by country. WHO. 2012.
5. AIDS dan Lentivirus. In: Brooks GF, Butel JS, Morse SA, editor. Jawetz, Melnick,
& Adelberg Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2008. p. 617-33.
6. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and Related
Disorder. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Localzp J,
editor. Harrison Principles of Internal Medicine. Jilid I. Edisi 18. New York : Mc
Graw Hill Medical; 2012 p. 1506-87.
7. WHO. Global Health Observatory HIV/AIDS. 2017
8. Baratawidjaja KG & Rengganis Iris. Imunologi Dasar. Edisi 11. Jakarta : Badan
Penerbit Buku FKUI. 2014 p 449- 59
9. Nasronudin. Perjalanan Infeksi HIV. In : Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan
Sosial. Editor : Jusuf Barakbah, Eddy Soewandojo, Suharto, Usman Hadi, Wahyu
Dwi Astuti. Surabaya : Airlangga Universty. 2007; 19 – 20.
10. Nasronudin. Manifestasi Klinis. In : Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis dan
Sosial. Editor : Jusuf Barakbah, Eddy Soewandojo, Suharto, Usman Hadi, Wahyu
Dwi Astuti. Surabaya : Airlangga Universty. 2007; 21-22.
11. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

28
12. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,
editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.
13. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2007

29

Anda mungkin juga menyukai