Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENGGANGGU
Disusun oleh :
Kelompok 6
1. Amelia Damayanti
2. Farras Arvinendi
3. Gita Ovi Dwi Astuti
4. Nurina Dwi Hastanti
Dosen Pebimbing :
Program Studi :
· Virulensi/srain virus
Setelah tergigit, virus rabies akan tetap berada pada lokasi gigitan sampai selama + 2
minggu, kemudian virus akan bergerak menuju ujung syaraf posterior untuk menuju ke otak.
Dalam perjalanannya, Virus akan bereplikasi (memperbanyak diri). Di otak, Virus akan
menempati bagian neuron saraf pusat terutama di hipotalamus, bagian otak , dan pada system
limbic.
Selanjutnya, virus akan bergerak menuju saraf tepi melalui saraf eferen, volunteer, dan
otonom, untuk mencapai hamper semua organ, terutama pada kelenjar air liur, air mata dan
ginjal. Pergerakan virus tidak melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe. Pada saat perjalanan
virus ke otak , tubuh penderita belum menunjukkan gejala-gejala terserang penyakit. Setelah
berkembang biak di otak, Jumlah virus akan cukup signifikan untuk menyebabkan gangguan
fungsi. Adanya virus pada system limbik yang mengontrol emosi yang menyebabkan penderita
kehilangan control kesadaran emosinya. Pada hewan, hal ini dapat menyebabkan serangan pada
pihak lain secara tiba-tiba tanpa provokasi sebelumnya.
B. Gejala dan Tanda penyakit rabies
Pada Manusia :
Gejala awal biasanya tidak jelas. Pasien merasa tidak enak dan gelisah. Gejala yang
menonjol adalah rasa nyeri, panas, dan gatal disekitar luka, kemudian bias diikuti kejang, sakit
kepala demam, dan sulit menelan. Apabila telah terjadi kelumpuhan otot pernapasan,
Maka penderita dapat terancam meninggal. Gejala khas lainnya adalah hidrofobia, yaitu
ketakutan penderita terhadap air yang bias sampai terjadi kejang apabila berdekatan dengan air.
Gejala aerofobia dapat juga terjadi yaitu rangsangan aliran udara seperti dari kipas angin pada
muka pasien yang dapat menyebabkan spasme.
Hewan terinfeksi mengeluarkan banyak liur karena sulit menelan. Anjing seringkali
menjepit ekor diantara kedua kakinya atau bertingkah laku aneh seperti tidak mengenal
majikannya. Selain itu, anjing yang biasa keluar malam akan lebih sering keluar pada siang hari.
Anjing yang tadinya jinak bisa menjadi ganas. Ia akan menyerang apasaja yang bergerak dan
takut pada air (Hidrofobia).
Jika terdapat tanda-tanda diatas maka yang kharus dilakukan adalah menangkap anjing tersebut
untuk diisolasi dan diobservasi selam 10 hari. Apabila anjing yang diobservasi mati, maka anjing
tersebut kemungkinan besar terkena rabies dan harus segera dibawa ke laboratorium agar
diotobsi untuk memastikan diagnosis. Jika anjing masih hidup, maka anjing tersebut tidak
terkena rabies.
Diagnosis rabies Pada manusia ditegakkan berdasarkan 2 cara yaitu:
a. Klinis, Terbagi menjadi 3 stadium yaitu:
Prodromal, dengan gejala nyeri kepala, demam, hipersalivasi, dan fotofobia.
Eksitasi, dimana reflex mulai meningkat, sulit menelan, agresif, dan hidrofobia.
Paralitik, dimulai dengan munculnya kelumpuhan flasid di tempat gigitan, kelumpuhan yang
dimulai dari ujung anggota gerak terus kea rah pangkal, dan bisa sampai terjadi kelumpuhan
otot-otot pernapasan.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Isolasi Virus Rabies yang didapatkan dari specimen air liur, cairan serebrospinal, air mata,
jaringan mukosa mulut atau urin penderita.
FAT (fluorencent antibody test) adalah pemeriksaan berdasarkan antigen virus pada specimen
tersebut diatas, hasilnya bisa negative bila antibody sudah terbentuk.
Mikroskopis seller, adalah pemeriksaan mikroskopik untuk menemukan negry body dimana
negry body adalah tanda khas inveksi virus rabies pada sel tubuh.
Biologis, adalah inokulasi specimen ke dalam jarigan otak tikus putih. Setelah tikus mati,
dilanjutkan pemeriksaan ulang dengan metode FAT dan mikroskopis seller.
Pengobatan dan tata laksana kasus
a. Identifikasi luka
Luka risiko rendah, adalah jilatan pada luka kecil di kulit badan dan anggota gerak atau Jilatan
pada luka lecet akibat garukan.
Luka Risiko Tinggi, adalah jilatan pada mukosa (selaput lender) utuh; jilatan pada luka leher,
muka dan luka, luka gigitan pada leher, muka dan kepala; luka gigitan pada jari tangan dan kaki;
luka gigitan pada daerah genitalia dan luka gigitan yang dalam, lebar, atau banyak.
b. Tata Laksana Luka
Pencucian luka: Karena virus rabies masih akan menetap pada luka gigitan selama 2 minggu
sebelum kemudian bergerak ke ujung saraf posterior, maka pencucian sangat penting untuk
mencegah infeksi. Pencucian dilakukan dengan air mengalir, memakai sabun/ detergen selama
15 menit.
Pemberian antiseptic : Setelah dicuci, luka diberi antiseptic seperti alcohol 70%, povidon iodine,
obat merah, dan sebagainya.
Tindakan penunjang : Dilakukan jahit situasi pada luka yang dalam dan lebar untuk
menghentikan pendarahan. Sebelum dijahit harus diberikan suntikan SAR terlebih dahulu.
c. Pemberian VAR (Vaksin anti-Rabies), atau VAR dan SAR (Serum anti-Rabies)
Pada luka resiko rendah: Var diberikan pada semua kasus penderita gigitan HPR yang belum
pernah mendapatkan VAR. Sejumlah 0,5 mL VAR disuntikkan IM pada region deltoideusanak
kanan dan kiri. Sedangkan pada bayi disuntikkan dipangkal paha. Penyuntikan diberikan 4X
(hari ke-0 2x pada pangkal lengan kanan kiri, hari ke-7 1x, dan hari ke-21 1x); sedangkan pada
penderita yang sudah pernah mendapat VAR lengkap sebelum tiga bulan tidak perlu diberi VAR,
bila sudah berusia 3 bulan sampai satu tahun maka perlu diberikan VAR 1x, dan bila sudah
berusia lebih dari satu yahun maka perlu diberikan VAR lengkap karena dianggap sebagai
penderita baru.
Pada Luka Risiko Tinggi: Perlu diberikan VAR dn SAR. VAR disuntikkan sebagaimana pada
luka risiko rendah ditambah dengan 1x pada hari ke-90. SAR disuntikkan disekitar luka guigitan
dan sisanya secara IM dengan dosis 0,1 mL/kgBB pada hari ke-0, bersamaan dengan pemberian
VAR.
d. Perawatan Kasus
Penderita yang menunjukkan gejala rabies harus dirawat di rumah sakit di ruang isolasi.
Ruangan sebaiknya gelap dan tenang. Pengobatan dan perawatan ditujukan untuk
mempertahankan hidup penderita. Petugas kesehatan (dokter dan perawat)yang menangani
seharusnya memakai alat perlindungan diri dari kemungkinan tertular seperti: kacamata plastik,
sarung tangan karet, masker, dan jas laboratorium lengan panjang. Apabila diperlukan, vaksinasi
pencegahan dapat diberikan untuk petugas kesehatan dengan VAR 2x (hari ke-0 dan hari ke-28)
dengan dosis dan cara pemberian yang sama dengan pemberian VAR pada luka. Ulangan dapat
diberikan 1 tahun setelah pemberian 1 dan setiap 3 tahun.
Leptospirosis
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Leptospira interrogans
semua serotipe. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena
sering menyebabkan terjadinya wabah pada saat banjir. Menurut International Leptospirosis
Society (ILS), Indonesia merupakan negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi, serta
menempati peringkat ketiga di dunia untuk tingkat mortalitas. Penyakit ini ditemukan pertama
kali oleh Weil pada tahun 1886, tetapi pada tahun 1915 Inada menemukan penyebab-nya yaitu
spirochaeta dari genus leptospira. Di antara genus leptospira, hanya spesies interogans yang
patogen untuk binatang dan manusia. Sekurang-kurangnya terdapat 180 serotipe dan 18
serogrup. Satu jenis serotipe dapat menimbulkan gambaran klinis yang berbeda, sebaliknya,
suatu gambaran klinis, misalnya meningitis aseptik, dapat disebab-kan oleh berbagai serotipe.
Leptospirosis memiliki manifestasi klinis yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan
dapat terjadi gejala seperti influenza dengan nueri kepala dan mialgia. Leptospirosis berat
ditandai oleh ikterus, gangguan ginjal, dan perdarahan, dikenal sebagai sindrom Weil.
A. Epidemiologi
Penularan leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang tersebar diseluruh dunia dan
ditransmisikan baik secara langsung ataupun tidak langsung dari binatang ke manusia (zoonosis).
Transmisi dari manusia ke manusia dapat terjadi, namun sangat jarang. Transmisi
leptospira ke manusia terjadi karena kontak dengan urin, darah, atau organ dari binatang
terinfeksi; serta kontak dengan lingkungan (tanah, air) yang terkontaminasi leptospira.
Leptospira dapat hidup beberapa waktu dalam air dan alam terbuka. Iklim yang sesuai untuk
perkembangan leptospira ialah udara hangat (25oC), tanah basah/ lembab, dan pH tanah 6,2-8.
Leptospira dapat bertahan hidup di tanah yang sesuai sampai 43 hari dan di dalam air dapat
hidup berminggu-minggu lamanya. Hal ini dapat dijumpai sepanjang tahun di negara tropis
sehingga kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan negara sub-tropis, dengan
risiko penyakit yang lebih berat.Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan sebanyak
5-20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok risiko tinggi paparan,
insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per 100.000 penduduk. Di Indonesia,
leptospirosis tersebar di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.Jumlah pasien laki-
laki dengan leptospirosis lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin mencermin-kan
paparan dalam kegiatan yang didominasi laki-laki. Untuk alasan yang sama, laki-laki remaja dan
setengah baya memiliki prevalensi lebih tinggi dibanding-kan anak laki-laki dan orang usia
lanjut. Angka kematian akibat leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5%-16,4%
dan hal ini tergantung sistem organ yang terinfeksi. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%.
B. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili Leptospiraceae, ordo
Spirochaetales. Pewarnaan untuk kuman ini ialah impregnasi perak. Leptospira tumbuh baik
pada kondisi aerobik di suhu 28°C-30°C. Genus Leptospira terdiri dari dua spesies yaitu L.
interrogans (bersifat patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-patogen). Leptospira patogen
terpelihara dalam tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan
basah atau lembab mulai dari air permukaan,tanah lembab, serta air keran.
C. Faktor risiko
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau air, lumpur, tanah, dan
tanaman yang telah dicemari air kencing binatang yang terkontaminasi leptospirosis. Beberapa
pekerjaan yang berisiko seperti petani sawah, pekerja pejagalan, peternak, pekerja tambang,
industri perikanan, serta petani tebu dan pisang. Dokter hewan maupun staf laboratorium yang
kontak dengan kultur leptospirosis juga memiliki risiko terpapar leptospirosis. Beberapa
kegemaran yang bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar juga bisa menularkan lepto-
spirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di hutan, berakit di air berjeram, dan olahraga air
lainnya (Gambar 2). Meskipun leptospirosis sering dianggap sebagai penyakit pedesaan, orang
yang tinggal di kota juga dapat terkena, tergantung pada kondisi hidup dan tingkat kebersihan
baik di rumah maupun lingkungan terdekatnya. Wabah leptospirosis telah dilaporkan mengikuti
terjadinya bencana alam seperti banjir dan badai.
D. Kriteria dan gejala klinis
Terdapat tiga kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis, yaitu:
1. Kasus suspek: Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah
(malaise), conjungtival suffusion, dan riwayat terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu
2 minggu.
2. Kasus probable: Dinyatakan probable disaat kasus suspek memiliki dua gejala klinis di
antara berikut: nyeri betis, ikterus, manifestasi pendarahan, sesak nafas, oliguria atau anuria,
aritmia jantung, batuk dengan atau tanpahemoptisis, dan ruam kulit. Selain itu, memiliki
3
gambaran laboratorium: trombositopenia <100.000 sel/mm , leukositosis dengan neutrofil
>80%, kenaikan jumlah bilirubin total >2 g% atau peningkatan SGPT, amilase, lipase, dan
creatine phosphokinase (CPK), penggunaan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi
IgM anti-leptospira
3. Kasus konfirmasi: Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi saat kasus probable disertai salah
satu dari: isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik, hasil polymerase chain reaction
(PCR) positif, dan serokonversi macroscopic agglutination test (MAT) dari negatif menjadi
positif.
E. Pencegahan
Pemberian doksisiklin 200 mg/minggu dapat memberikan pencegahan sekitar 95% pada
orang dewasa yang berisiko tinggi, namun profilaksis pada anak belumditemukan. Pengontrolan
lingkungan rumah dan penggunaan alat pelindung diri terutama di daerah endemik dapat
memberikan pencegahan pada penduduk berisiko tinggi walaupun hanya sedikit manfaatnya.
Imunisasi hanya memberikan sedikit perlindungan karena terdapat serotipe kuman yang berbeda.
http://akurniaaa.blogspot.com/2014/04/makalah-rabies.html?m=1