Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS NERACA PANGAN

Study Kasus: Supply Demand Beras di Kabupaten Madiun

Anoraga Jatayu
A156180218

ILMU PERENCANAAN WILAYAH


DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pangan merupakan kebutuhan dasar yang esensial bagi manusia yang perlu dipenuhi
terlebih dahulu sebelum kebutuhan lainnya dalam mempertahankan hidup dan kehidupan.
Ketahanan pangan dalam UU No.7 Tahun 1996 diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Badan Bimas
Ketahanan Pangan, 2001). Permasalahan ketahanan pangan erat kaitannya dengan ketahanan
sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasional secara
keseluruhan. Sehingga, pembangunan sistem ketahanan pangan nasional merupakan syarat
mutlak sebagai dasar dari pembangunan nasional.
Di Indonesia, masalah pangan dan ketahanan pangan tidak dapat dilepaskan dari
komoditas beras, mengingat beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh
97,07% masyarakat Indonesia (Susenas, 1999). Menyadari bahwa kecukupan pangan
merupakan langkah awal strategis bagi pembangunan nasional, maka program dan kebijakan
beras nasional telah dicanangkan semenjak awal kemerdekaan Indonesia. Sudah lebih dari tiga
dasawarsa beras ditempatkan sebagai komoditas utama dalam perekonomian Indonesia.
Kekurangan beras misalnya, masih dianggap sebagai ancaman terhadap kestabilan ekonomi
dan politik, serta masih dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah atau rezim
kepemimpinan (Baharsyah et al., 1998). Selanjutnya Timmer (1996) menyatakan bahwa
perekonomian beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak
tahun 1960. Dengan pertimbangan tersebut, kebijakan pembangunan pertanian selalu
didominasi oleh kebijakan perberasan (Kasryno dan Pasandaran, 2004).
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan
pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan
mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan
budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi
produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan
mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Di PP tersebut juga disebutkan dalam
rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan
melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan
keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan.
Pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2031, Kabupaten
Madiun dialokasikan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dalam WP (Wilayah
Pengembangan) Madiun yang memiliki fungsi utama sebagai: kawasan utama penyangga
pertanian tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, kehutanan, peternakan, pendidikan, dan
kesehatan. Dalam hal ini, Kabupaten Madiun, Magetan, dan Ngawi diarahkan sebagai sentra
produksi pertanian pangan terutama untuk tanaman padi, dalam rangka melayani dan
mencukupi kebutuhan pangan di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu, Kabupaten Madiun
tidak hanya harus mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara lokal, namun harus mampu
memenuhi kebutuhan pangan wilayah di sekitarnya.
Untuk mendukung kebijakan ketahanan pangan nasional dan lokal, pembahasan
makalah ini akan memperdalam mengenai analisis neraca pangan dan implikasinya dalam
mengurangi laju konversi lahan serta perlindungan sawah, proyeksi kebutuhan lahan dan
kebutuhan konsumsi beras, serta kebijakan dan strategi yang dapat diterapkan dalam
meningkatkan produksi dan ketahanan pangan lokal di Kabupaten Madiun
1.2 Rumusan Masalah
Seiring laju pertumbuhan penduduk yang semakin besar, maka permintaan lahan untuk
mengakomodasi berbagai kebutuhan penduduk juga akan semakin meningkat sementara luas
lahan yang tersedia di suatu wilayah akan tetap sama dan tidak mengalami perubahan. Dengan
demikian, terdapat berbagai tantangan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, serta alokasi
lahan untuk pertanian, permukiman, industri, hutan, dan peruntukan lainnya. Laju alih fungsi
lahan yang mayoritas mengkonversi lahan sawah dikhawatirkan akan mengancam keberadaan
sawah beserta kemampuannya untuk memproduksi dan memenuhi kebutuhan pangan
masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan dan strategi untuk memenuhi kebutuhan
pangan di Kabupaten Madiun selama 28 tahun kedepan, yaitu tahun 2017-2045. Beberapa
permasalahan yang harus dikaji antara lain:
1. Bagaimana proyeksi kebutuhan padi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan
Kabupaten Madiun
2. Bagaimana strategi yang dapat dilakukan terkait perwujudan ketahanan pangan
Kabupaten Madiun
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ketahanan pangan di Kabupaten Madiun ini
adalah:
1. Menganalisis proyeksi pertumbuhan penduduk, kebutuhan konsumsi beras, dan
kebutuhan lahan pertanian Kabupten Madiun
2. Merumuskan strategi-strategi yang dapat dilakukan dalam mewujudkan ketahanan
pangan di Kabupaten Madiun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ketahanan Pangan


FAO mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “situasi dimana setiap orang pada
setiap saat secara fisik dan ekonomis memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman dan
bergizi untuk dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang
aktif dan sehat”. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oelh Riely et al (1995) dalam
Dharmawan (2006) dimana ketahanan pangan dirumuskan sebagai “access for all people at all
times to enough food for an active and healthy life”. Hal penting dari kedua konsep diatas
adalah ketersediaan pangan sepanjang waktu, sehingga dalam pembahasan ketahanan pangan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai pola produksi dan distribusi di suatu daerah
serta sistem komunitas yang memanfaatkan sumber pangan tersebut.
Ketahanan pangan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan diartikan sebagai
“kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Pengertian
mengenai ketahanan pangan diatas secara lebih rinci dapat diartikan sebagai berikut (Badan
Bimas Ketahanan Pangan, 2001): (a) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang
cukup, diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas yang bermanfaat bagi
pertumbuhan kesehatan manusia, (b) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman,
diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama, (c)
terpenuhiya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap
saat dan merata di seluruh tanah air, (d) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang terjangkau,
diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Maxwell dan Frankenberger (1992) memberikan pandangan yang sedikit berbeda
dengan memberikan batasan ketahanan pangan menggunakan tolok ukur dimensi spasial dan
temporal sebagai faktor pembeda, yang dideskripsikan melalui dua situasi kerawanan pangan,
yaitu: (1) kerawanan pangan kronis: ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pangan sehari-hari dan (2) kerawanan pangan sementara atau transien: ketidakmampuan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan bersifat sementara. Kerawanan pangan terjadi
apabila rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan
untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para individu
anggotanya.
Konsep ketahanan pangan (food security) berkaitan dengan beberapa konsep
turunannya yaitu kemandirian pangan (food resilience) dan kedaulatan pangan (food
sovereignty). Dimana pengertian ketiganya sering dipertukarkan dalam penggunaannya
(Dharmawan dan Kinseng, 2006). Saad (1999) menyatakan indicator ketahanan pangan
dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) akses
pangan (food access), dan (3) pemanfaatan pangan (food utilization) yang saling berkaitan
membentuk suatu sistem. Komitmen nasional maupun dunia untuk mewujudkan ketahanan
pangan didasarkan atas peran strategis perwujudan ketahanan pangan dalam (1) memenuhi
salah satu hak asasi manusia, (2) membangun kualitas sumberdaya manusia, dan (3)
membangun salah satu pilar bagi ketahanan nasional.

2.2 Alih Fungsi Lahan (Land Use/Cover Change)


Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian cenderung terus meningkat.
Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa
kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak
lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal
tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan
perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut
menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya
mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat
merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan
bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan
terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah.
Hal tersebut disebabkan oleh : (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai
agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem
lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan
banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di
masa sebelumnya, infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada
wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan
industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana
pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya
dominan areal persawahan.
Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kendala mendasar
yang menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu:
1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang terjadinya
alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut
melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang
dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi lahan
baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan atau badan
hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke nonpertanian.
Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara
individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan
lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.
3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan
mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk
mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya,
banyak RTRW yang justru merencana-kan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi
teknis menjadi nonpertanian.
Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah ada, juga
dipengaruhi oleh: (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang kuatnya koordinasi antar
lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang wilayah.
Di samping itu, persepsi pemerintah tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung
bias ke bawah (under estimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut
kurang dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.
BAB III
METODE

3.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah menggunakan software
Microsoft Office (Word dan Excel) untuk mengolah data tabular dan numerik produksi beras
dan data kependudukan serta software ArcGIS untuk mengolah data spasial penggunaan lahan.
Sedangkan bahan yang digunakan adalah data statistic pada buku Kabupaten Madiun Dalam
Angka secara time-series tahun 2015-2018, data profil pertanian Kabupaten Madiun tahun
2018, data spasial RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kabupaten Madiun Tahun 2011-
2031. Pengolahan data dilakukan di software Microsoft Excel dan ArcGIS, kemudian
dijabarkan dan diinterpretasikan hasilnya secara deskriptif. Analisis dan proyeksi dilakukan
berdasarkan tren pertumbuhan pada tahun 2015-2017 dan dilakukan proyeksi sampai dengan
tahun 2045.
3.2 Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Madiun
Dalam mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan pada suatu wilayah dapat
digunakan 2 buah metode, yaitu menggunakan teknik observasi langsung dan menggunakan
teknik observasi melalui data spasial. Penggunaan teknik observasi langsung dirasa kurang
efektif karena wilayahnya yang luas serta keterbatasan waktu. Dalam pembahasan makalah ini,
identifikasi perubahan lahan menggunakan metode observasi melalui data spasial dengan tools
analisis overlay GIS. Analisis overlay GIS merupakan salah satu teknik analisis dengan
software pengolahan data spasial ArcGIS. Teknik analisis overlay dilakukan dengan cara
meletakkan sebuah peta beserta seluruh atribut di dalamnya di atas sebuah peta lain untuk
kemudian ditampilkan hasilnya. Pada makalah ini, kedua buah peta tersebut adalah peta
penggunaan lahan secara time series atau peta penggunaan lahan dalam waktu yang berbeda,
yaitu tahun 2010-2017.
Pada software ArcGIS terdapat beberapa pilihan kategori overlay yang dapat dilakukan,
yaitu: identify, intersect, symmetrical difference, union, dan update. Pada makalah ini
digunakan overlay dengan metode Intersect. Intersect merupakan metode overlay dimana
kedua buah data input yang akan dilakukan overlay tidak sama, maka kedua buah data tersebut
akan menghasilkan output dengan atribut dari kedua buah input awal yang berpotongan di titik-
titik tempat terdapatnya perbedaan. Dengan metode Intersect, maka input dan overlay feature
pada data-data yang dianalisis akan tetap tersimpan informasinya dan terlihat area-area yang
mengalami perubahan, kemudian dilakukan identifikasi lebih lanjut untuk mengetahui area-
area yang mengalami perubahan penggunaan lahan melalui pengelolaan dan manipulasi data
atribut pada hasil overlay data penggunaan lahan.
Gambar 3.1. Analisis Overlay Kategori Intersect
Dalam melakukan analisis overlay, perlu dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
• Input peta penggunaan lahan pada tahun awal (tahun x)
• Input peta penggunaan lahan pada tahun akhir (tahun y)
• Proses analisis overlay pada software ArcGIS
• Identifikasi perubahan penggunaan lahan yang tampak beserta luasan dan lokasi
perubahan
3.3 Analisis Proyeksi Penduduk dan Proyeksi Kebutuhan Beras Kabupaten Madiun
A. Analisis Proyeksi Penduduk
Analisis proyeksi penduduk dilakukan sebagai dasar untuk menghitung kebutuhan
beras berdasarkan angka konsumsi beras per kapita yang didapatkan dari profil pertanian
Kabupaten Madiun. Analisis proyeksi penduduk dilakukan berdasarkan tingkat pertumbuhan
penduduk pada data dasar, yaitu tahun 2015-2017 kemudian di analisis menggunakan metode
eksponensial atau geometrik. Asumsi dasar penggunaan model eksponensial/geometrik adalah
bahwa tingkat pertumbuhan penduduk tiap tahun akan selalu proporsional dengan jumlah
penduduk pada tahun sebelumnya. Ada suatu variabel yang bersifat konstan, yaitu laju
pertumbuhan penduduk, bukan jumlah pertumbuhan penduduk. Dapat dikatakan, semakin
besar jumlah penduduk maka semakin cepat pula pertumbuhannya. Berikut model
matematisnya :

Pn = Po (1+r)n

Dimana : Pn = Jumlah penduduk pada tahun ke n


Po = Jumlah penduduk pada tahun dasar pengamatan
n = Tambahan tahun terhitung dari tahun dasar
r = Rata-rata laju pertumbuhan tiap tahun
B. Analisis Demand Kebutuhan Beras
Demand untuk kebutuhan beras ditentukan berdasarkan jumlah penduduk pada tahun
proyeksi dengan konsumsi beras per kapita per tahun. Dalam hal ini, konsumsi beras per kapita
per tahun mengacu pada data yang terdapat di buku profil pertanian Kabupaten Madiun, yaitu:
115,58 kg/kapita/tahun. Proyeksi kebutuhan beras dilakukan sampai dengan tahun 2045
dengan metode sebagai berikut:
Kebutuhan beras total (Ton) = jumlah penduduk tahun n (jiwa) X konsumsi beras per kapita
(kg/kapita/tahun)

Setelah didapatkan hasil kebutuhan beras, dilakukan perhitungan terhadap kebutuhan


luas lahan pertanian untuk tanaman padi. Untuk menghitung kebutuhan lahan pertanian,
dilakukan konversi kebutuhan beras menjadi GKG (Gabah Kering Giling) dikarenakan nilai
produksi tanaman padi pada data BPS memiliki satuan ton GKG bukan ton beras. Kemudian
dari hasil produksi ton GKG dihitung luas panen dan berdasarkan indeks pertanamannya akan
didapatkan nilai kebutuhan lahan pertanian. Cara perhitungan tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:
Produksi padi tahun n (ton GKG) = Produksi padi tahun n (ton beras) X 100/62,74
*nilai konversi dari GKG ke beras adalah 62,74% berdasarkan data BPS

Luas panen tahun n (Ha) = produksi padi tahun n (ton GKG) / produktivitas (ton/ha)

Kebutuhan lahan pertanian tahun n (Ha) = luas panen tahun n (Ha) / Indeks pertanaman
C. Analisis Supply Produksi Beras
Analisis supply produksi beras merupakan nilai produksi beras tiap tahunnya
berdasarkan luas lahan pertanian, luas panen, indeks pertanaman, dan produktivitas lahan
sawah. Proses analisis supply produksi beras dilakukan menggunakan 2 skenario, yaitu:
1. Skenario I: Luas lahan pertanian mengalami penurunan berdasarkan tren konversi
lahan pertanian yang didapatkan dari hasil analisis perubahan penggunaan lahan
Kabupaten Madiun tahun 2010-2017.
2. Skenario II: Luas lahan pertanian konstan berdasarkan rencana pola ruang
kawasan pertanian dan kawasan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)
pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Madiun Tahun 2011-2031.
Perhitungan analisis supply produksi beras dilakukan sebagai berikut:
Luas Panen tahun n (Ha) = luas lahan pertanian sawah tahun n (Ha) X 84,41%
*nilai perbandingan antara luas tanam dengan luas panen adalah 84,41% berdasarkan data
BPS Profil Pertanian Kabupaten Madiun

Produksi Padi tahun n (Ton GKG) = luas panen tahun n (Ha) X produktivitas (ton/Ha)

Produksi padi tahun n (ton beras) = Produksi padi tahun n(ton GKG) X 62,74/100
*nilai konversi dari GKG ke beras adalah 62,74% berdasarkan data BPS

Apabila didapatkan nilai produksi padi (dalam ton beras) dan luas lahan pertanian pada
supply produksi beras lebih besar daripada kebutuhan konsumsi beras dan kebutuhan lahan
pertanian, maka dapat dikatakan bahwa status neraca pangan di suatu wilayah adalah surplus.
Sedangkan apabila nilai produksi padi dan luas lahan pertanian pada tahun proyeksi lebih
rendah daripada kebutuhan konsumsi beras dan kebutuhan lahan pertanian, dapat dikatakan
bahwa status neraca pangan di wilayah tersebut adalah defisit.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Lahan Kabupaten Madiun


4.1.1. Kondisi Geografis
Secara astronomis, Kabupaten Madiun terletak diantara 7o12’ – 7o-48’ Lintang Selatan
dan 111o25’ – 111o51’ Bujur Timur. Berdasarkan lokasi geografisnya, Kabupaten Madiun
memiliki beberapa batas dengan wilayah lain sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Bojonegoro Selatan : Kabupaten Ponorogo
Timur : Kabupaten Nganjuk Barat : Kabupaten Magetan and Ngawi
Kabupaten Madiun memiliki 15 kecamatan, yaitu Kecamatan Kebonsari, Geger,
Dolopo, Dagangan, Wungu, Kare, Gemarang, Saradan, Pilangkenceng, Mejayan, Wonoasri,
Balerejo, Madiun, Sawahan dan Jiwan. Dengan Kecamatan Kare yang merupakan kecamatan
terluas, dengan karakteristik berupa dataran tinggi dan sebagian wilayahnya merupakan
kawasan hutan, dan Kecamatan Sawahan yang merupakan kecamatan terkecil dengan sebagian
wilayahnya berupa wilayah pertanian.
4.1.2. Topografi dan Lereng
Kabupaten Madiun memiliki kondisi permukaan wilayah yang didominasi dengan
wilayah datar dan agak berombak, dengan ketinggian sekitar 100 – 500 mdpl. Pada bagian
selatan wilayah Kabupaten Madiun, kemiringan lereng menjadi lebih terjal diiringi dengan
kenaikan ketinggiannya pada kawasan pegunungan Gunung Wilis
Tabel 4.1. Kondisi Ketinggian Kabupaten Madiun
Luas Presentase
Topografi
(Ha) (%)
0 - 100 meter 39293.37 35.14
100 - 500 meter 60730.92 54.32
500 - 1.000 meter 8343.48 7.46
1.000 - 1.500 meter 2807.36 2.51
1.500 - 2.000 meter 574.73 0.51
2.000 - 2.500 meter 56.53 0.05
Total 111806.39 100.00
Tabel 4.2. Kondisi Kelerengan Kabupaten Madiun
Lereng Luas (Ha) Presentase (%)
0-2% 40785.78 36.48
2-5% 21788.99 19.49
5 - 15 % 33953.74 30.37
15 - 40
% 13122.10 11.74
> 40 % 2155.78 1.93
Total 111806.39 100.00

4.2 Profil Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Madiun


Kabupaten Madiun merupakan salah satu wilayah yang diproyeksikan menjadi salah
satu penyangga pertanian tanaman pangan di Jawa Timur, terutama untuk jenis tanaman padi.
Pada tahun 2017, luas panen dan produksi padi Kabupaten Madiun berada di peringkat ke 9
dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Pada tahun 2017 luas panen padi di Kabupaten Madiun
adalah 81.498 Ha, dengan angka produksi 524.281 ton. Berdasarkan data pada profil pertanian
Kabupaten Madiun tahun 2018, didapatkan bahwa terdapat kecenderungan penurunan luas
panen dan produksi pada tiap subround. Apabila dibandingkan luas panen padi antara subround
1 (Januari-April) dan 2 (Mei-Agustus), maka diperoleh angka penurunan sebesar 2,2%,
sedangkan subround 3 (September-Desember) mengalami penurunan sebesar 38%
dibandingkan subround 2. Luas panen padi pada subround 3 merupakan yang terkecil pada
tahun 2017. Sejalan dengan penurunan yang terjadi pada luas panen, hasil produksi padi di
Kabupaten Madiun juga mengalami penurunan. Apabila dibandingkan antar subround, hasil
produksi padi subround 3 adalah yang terendah. Penurunan terjadi pada subround 2 sebesar
14% dibandingkan dengan subround 1, sedangkan subround 3 sebesar 28% dibandingkan
subround 2.
Gambar 4.1. Luas Panen dan Produksi Padi Kabupaten Madiun

Penurunan luas panen dan hasil produksi di Kabuapten Madiun dipengaruhi banyak
faktor, diantaranya adalah kondisi cuaca yang tiadk menentu. Curah hujan dan jumlah hari
hujan yang tidak dapat diprediksi memberi pengaruh terhadap perkembangan tanaman padi.
Hal tersebut juga mendorong petani untuk beralih jenis tanaman selain padi, khususnya
tanaman palawija. Penurunan luas panen dan hasil produksi padi yang terjadi di Kabupaten
Madiun selama tahun 2017, secara umum juga dialami sebagian besar wilayah di Jawa Timur.
Angka luas panen dan produksi padi Provinsi Jawa Timur juga mengalami penurunan di setiap
subroundnya.

Tabel 4.3. Produksi, Produktivitas, dan Luas Panen Padi Kabupaten Madiun (dalam
GKG)
Subround 1 (Jan-Apr) Subround 2 (Mei-Agt) Subround 3 (Sep-Des)
Wilaya Produk Produk Produk
h Luas Luas Luas
tivitas Produk tivitas Produk tivitas Produk
Panen Panen Panen
(Ton/H si (Ton) (Ton/H si (Ton) (Ton/H si (Ton)
(Ha) (Ha) (Ha)
a) a) a)
Madiun 31.488 6,74 212.111 30.795 5,91 181.893 19.215 6,78 130.277
Jawa 6.372.5 4.582.5 2.199.8
1.018.490 6,26 796.461 5,74 337.119 6,52
Timur 10 97 60
Tabel 4.4. Produksi Panen Padi Kabupaten Madiun
Hasil Panen Padi Kabupaten Produksi
Madiun (Ton)
Padi Gagang Basah 922.382.64
Gabah Basah Panen 710.234.63
Gabah Kering Panen 639.211.17
Gabah Kering Giling 524.281
Beras 328.933.89

Tidak seperti padi, pertanian palawija di Kabupaten Madiun bukan merupakan


penyangga pertanian di Jawa Timur. Tanaman palawija dibudidayakan sebagai sampingan atau
pengganti dari tanaman padi apabila kondisi ketersediaan air ataupun kondisi geografis lebih
mendukung untuk menanam palawija. Sepanjang tahun 2017, luas panen dan produksi tanaman
paalwija (jagung, kedelai, akcang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar) Kabupaten Madiun tidak
termasuk unggulan di Jawa Timur. Semua jenis tanaman palawija mencatatkan hasil yang jauh
jika dibandingkan dengan angka Jawa Timur, baik luas panen maupun produksi. Khusus
tanaman kedelai, luas panen dan produksinya mendekati angka rata-rata di Jawa Timur.
Berbeda dengan tanaman padi, perbandingan antar subround tanaman palawija
mencatatkan perbandingan yang lebih positif. Pada subround 2 tercatat hanya jagung yang
mengalami penurunan jika dibandinkgan dengan subround 1, sedangkan pada subround 3
tanaman ubi jalar mengalami penurunan.
Gambar 4.2. Luas Panen Tanaman Palawija Kabupaten Madiun

Gambar 4.3. Produksi Tanaman Palawija Kabupaten Madiun


4.1 Perubahan Lahan Kabupaten Madiun Tahun 2010-2017
Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada Kabupaten dalam
periode tahun 2010-2017, dilakukan analisis perubahan penggunaan lahan dengan
menggunakan metode overlay vector dalam software ArcGIS. Input data yang digunakan
dalam analisis ini adalah data penggunaan lahan secara time-series. Analisis overlay yang
digunakan dalam pembahasan ini adalah analisis overlay intersect. Overlay intersect dipilih
karena metode ini dapat menggabungkan informasi penggunaan lahan pada beberapa periode
yang berbeda maupun untuk mempermudah dalam melakukan pengamatan komparatif dan
menentukan besaran perubahan/konversi lahan yang terjadi.
Tablel 4.5. Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Madiun
Landuse 2010 Landuse 2017 Area (Ha) Presentase (%)
Hutan Lindung Hutan Produksi 183.75 1.25
Permukiman Industri 84.04 0.57
Pertanian Sawah Industri 898.86 6.12
Perkebunan/Ladang Industri 64.02 0.44
Hutan Produksi Permukiman 4,777.26 32.50
Pertanian Sawah Permukiman 6,490.08 44.16
Perkebunan/Ladang Permukiman 1,612.69 10.97
Pertanian Sawah Perkebunan/Ladang 587.15 3.99
Total 14,697.85 100.00

Gambar 4.4. Penggunaan Lahan Tahun 2010 Kabupaten Madiun


Gambar 4.5. Penggunaan Lahan Tahun 2017 Kabupaten Madiun

Gambar 4.6. Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Madiun


Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan, didapatkan hasil bahwa
perubahan yang paling besar terjadi adalah konversi lahan pertanian sawah menjadi lahan
permukiman dan konversi lahan hutan produksi menjadi lahan permukiman secara berturut-
turut sebesar 6.490 dan 4.777 Ha atau sebesar 44,16 dan 32,50%. Perubahan lahan pertanian
menjadi peruntukan lain pada kurun waktu tahun 2010-2017 atau selama 7 tahun tersebut
adalah sebesar 7976.09 Ha atau sebesar 54,27%. Apabila hasil tersebut dijadikan asumsi dasar
untuk tren konversi lahan sawah di masa yang akan datang, maka akan didapatkan angka
perubahan lahan sawah per tahun sebesar 1139,44 Ha atau sebesar 2,5% dari keseluruhan lahan
pertanian. Tren perubahan penggunaan lahan ini dapat mengancam ketahanan pangan lokal di
Kabupaten Madiun, kemudian apabila mempertimbangkan wilayah Kabupaten Madiun
sebagai salah satu penyangga pertanian pangan di Jawa Timur, maka konversi lahan pertanian
dapat menjadi permasalahan yang cukup besar dan perlu diperhatikan penyelesaiannya.

4.2 Proyeksi Kebutuhan Pangan Kabupaten Madiun Tahun 2017-2037


Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu penyebab utama peningkatan kebutuhan
pangan yang diikuti dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pertanian pangan.
Pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan pangan akan diproyeksikan sampai dengan 20
tahun dari data yang tersedia yaitu tahun 2017-2045. Pertumbuhan penduduk akan
diproyeksikan berdasarkan perhitungan menggunakan metode geometrik sebagai berikut:

Dimana:
Pn: Penduduk pada tahun akhir
Po: Penduduk pada tahun awal
r: Angka pertumbuhan penduduk
n: Jumlah tahun proyeksi

Tabel 4.6. Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Madiun


Jumlah Penduduk Pertumbuhan Penduduk (%)
Kecamatan
2015 2016 2017 2045 2015-2016 2016-2017
Kebonsari 51,975.00 52,405.00 52,719.00 64,234 0.82 0.60
Geger 58,331.00 58,998.00 59,392.00 76,263 1.13 0.66
Dolopo 52,186.00 52,138.00 52,289.00 53,748 -0.09 0.29
Dagangan 44,987.00 44,769.00 44,863.00 43,153 -0.49 0.21
Wungu 55,611.00 56,795.00 57,367.00 88,026 2.08 1.00
Kare 29,981.00 29,452.00 29,442.00 22,761 -1.80 -0.03
Gemarang 31,423.00 31,234.00 31,338.00 30,161 -0.61 0.33
Saradan 61,341.00 64,603.00 64,424.00 124,667 1.05 -0.28
Pilangkenceng 50,576.00 49,977.00 49,944.00 41,817 -1.20 -0.07
Mejayan 42,487.00 42,476.00 42,641.00 44,850 -0.03 0.39
Wonoasri 31,872.00 31,399.00 31,408.00 25,519 -1.51 0.03
Balerejo 41,386.00 40,731.00 40,680.00 31,880 -1.61 -0.13
Madiun 37,463.00 37,456.00 37,622.00 39,912 -0.02 0.44
Sawahan 24,277.00 23,999.00 24,073.00 21,364 -1.16 0.31
Jiwan 57,080.00 57,556.00 57,885.00 70,325 0.83 0.57
Total 670,976.00 673,988.00 676,087.00 751,560 0.45 0.31
Pada selang 20 tahun sampai dengan tahun 2045, jumlah penduduk di Kabupaten
Madiun diperkirakan akan tumbuh sebanyak 75.473,15 jiwa atau sekitar 10,04% dari jumlah
penduduk. Kecamatan dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kecamatan
Wungu dengan angka tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,5% sedangkan kecamatan
dengan tingkat pertumbuhan penduduk terendah adalah Kecamatan Kare dengan tingkat
pertumbuhan sebesar -1,8%. Pertumbuhan penduduk yang terus bertambah suatu saat akan
mampu mengancam ketahanan pangan di Kabupaten Madiun. Pada pembahasan makalah ini
dilakukan penghitungan neraca pangan terhadap kebutuhan beras, dikarenakan beras
merupakan komoditas utama serta merupakan konsumsi pokok masyarakat Kabupaten
Madiun.
Tabel 4.7. Neraca Beras Demand Kabupaten Madiun

Konsumsi
Kebutuhan Kebutuhan
Jumlah Konsumsi Beras Panen Gabah
Tahun Luas Panen Lahan Sawah
Penduduk (Ton) Kering Giling
(Ha) (Ha)
(Ton)

2015 670,976 77,551.41 123,607.60 19,223.58 7,591.35


2016 673,988 77,899.53 124,162.47 19,309.87 7,625.43
2017 676,087 78,142.14 124,549.15 19,370.01 7,649.18
2018 678,648 78,438.14 125,020.94 19,443.38 7,678.15
2019 681,218 78,735.18 125,494.38 19,517.01 7,707.23
2020 683,798 79,033.37 125,969.67 19,590.93 7,736.42
2021 686,388 79,332.73 126,446.80 19,665.13 7,765.72
2022 688,988 79,633.23 126,925.78 19,739.62 7,795.14
2023 691,598 79,934.90 127,406.59 19,814.40 7,824.67
2024 694,217 80,237.60 127,889.07 19,889.44 7,854.30
2025 696,846 80,541.46 128,373.38 19,964.76 7,884.04
2026 699,485 80,846.48 128,859.54 20,040.36 7,913.90
2027 702,134 81,152.65 129,347.54 20,116.26 7,943.87
2028 704,793 81,459.97 129,837.38 20,192.44 7,973.95
2029 707,462 81,768.46 130,329.07 20,268.91 8,004.15
2030 710,142 82,078.21 130,822.78 20,345.69 8,034.47
2031 712,832 82,389.12 131,318.33 20,422.76 8,064.90
2032 715,532 82,701.19 131,815.73 20,500.11 8,095.45
2033 718,242 83,014.41 132,314.97 20,577.76 8,126.11
2034 720,962 83,328.79 132,816.05 20,655.68 8,156.89
2035 723,693 83,644.44 133,319.15 20,733.93 8,187.78
2036 726,434 83,961.24 133,824.10 20,812.46 8,218.80
2037 729,185 84,279.20 134,330.89 20,891.27 8,249.92
2038 731,947 84,598.43 134,839.71 20,970.41 8,281.17
2039 734,719 84,918.82 135,350.37 21,049.82 8,312.53
2040 737,502 85,240.48 135,863.06 21,129.56 8,344.02
2041 740,295 85,563.30 136,377.58 21,209.58 8,375.62
2042 743,099 85,887.38 136,894.14 21,289.91 8,407.34
2043 745,913 86,212.62 137,412.54 21,370.53 8,439.18
2044 748,738 86,539.14 137,932.96 21,451.47 8,471.14
2045 751,574 86,866.92 138,455.41 21,532.72 8,503.23

Tabel 4.8. Neraca Beras Supply Kabupaten Madiun Skenario 1


Proyeksi
Proyeksi Proyeksi
Luas
Indeks Luas Produksi Proyeksi
Lahan Produkt
Tahun Pertanaman Lahan Padi Gabah Produksi
Sawah ivitas
(IP) Panen Kering Beras (Ton)
Eksisting
(Ha) Giling (Ton)
(Ha)
2015 34,500.90 6.43 3 87,366.63 561,767.46 352,452.90
2016 33,321.12 6.43 3 84,379.06 542,557.38 340,400.50
2017 32,181.68 6.43 3 81,493.66 524,004.21 328,760.24
2018 31,042.23 6.43 3 78,608.25 505,451.04 317,119.98
2019 29,943.14 6.43 3 75,825.00 487,554.77 305,891.87
2020 28,882.95 6.43 3 73,140.30 470,292.15 295,061.30
2021 27,860.31 6.43 3 70,550.66 453,640.74 284,614.20
2022 26,873.87 6.43 3 68,052.71 437,578.89 274,537.00
2023 25,922.36 6.43 3 65,643.20 422,085.74 264,816.60
2024 25,004.54 6.43 3 63,319.00 407,141.15 255,440.36
2025 24,119.22 6.43 3 61,077.09 392,725.70 246,396.10
2026 23,265.24 6.43 3 58,914.56 378,820.64 237,672.07
2027 22,441.50 6.43 3 56,828.60 365,407.92 229,256.93
2028 21,646.92 6.43 3 54,816.50 352,470.09 221,139.74
2029 20,880.48 6.43 3 52,875.64 339,990.35 213,309.95
2030 20,141.17 6.43 3 51,003.50 327,952.47 205,757.38
2031 19,428.04 6.43 3 49,197.64 316,340.81 198,472.23
2032 18,740.17 6.43 3 47,455.72 305,140.28 191,445.01
2033 18,076.64 6.43 3 45,775.48 294,336.33 184,666.61
2034 17,436.61 6.43 3 44,154.73 283,914.90 178,128.21
2035 16,819.24 6.43 3 42,591.36 273,862.46 171,821.31
2036 16,223.73 6.43 3 41,083.35 264,165.94 165,737.71
2037 15,649.30 6.43 3 39,628.73 254,812.74 159,869.51
2038 15,095.22 6.43 3 38,225.61 245,790.70 154,209.09
2039 14,560.75 6.43 3 36,872.18 237,088.11 148,749.08
2040 14,045.20 6.43 3 35,566.66 228,693.64 143,482.39
2041 13,547.91 6.43 3 34,307.37 220,596.39 138,402.18
2042 13,068.22 6.43 3 33,092.67 212,785.84 133,501.84
2043 12,605.52 6.43 3 31,920.97 205,251.83 128,775.00
2044 12,159.21 6.43 3 30,790.76 197,984.58 124,215.52
2045 11,728.69 6.43 3 29,700.56 190,974.63 119,817.48
Tabel 4.9. Neraca Beras Supply Kabupaten Madiun Skenario 2
Proyeksi Proyeksi
Proyeksi
Luas Produksi Proyeksi
Indeks Luas
Lahan Padi Gabah Produksi
Tahun Produktivitas Pertanaman Lahan
Sawah Kering Beras
(IP) Panen
Eksisting Giling (Ton)
(Ha)
(Ha) (Ton)
2015 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2016 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2017 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2018 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2019 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2020 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2021 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2022 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2023 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2024 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2025 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2026 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2027 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2028 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2029 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2030 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2031 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2032 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2033 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2034 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2035 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2036 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2037 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2038 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2039 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2040 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2041 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2042 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2043 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2044 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
2045 22,800.65 6.43 3 57,738.09 371,255.89 232,925.95
Tabel 4.10. Neraca Beras Supply dan Demand Kabupaten Madiun Skenario 1

Supply Demand

Proyeksi
Tahun
Proyeksi Kebutuhan Keterangan
Luas Konsumsi Beras
Produksi Lahan Sawah
Lahan (Ha)
(Ton)
Beras (Ton)
Sawah(Ha)
2015 34,500.90 352,452.90 7,591.35 77,551.41 Surplus
2016 33,321.12 340,400.50 7,625.43 77,899.53 Surplus
2017 32,181.68 328,760.24 7,649.18 78,142.14 Surplus
2018 31,042.23 317,119.98 7,678.15 78,438.14 Surplus
2019 29,943.14 305,891.87 7,707.23 78,735.18 Surplus
2020 28,882.95 295,061.30 7,736.42 79,033.37 Surplus
2021 27,860.31 284,614.20 7,765.72 79,332.73 Surplus
2022 26,873.87 274,537.00 7,795.14 79,633.23 Surplus
2023 25,922.36 264,816.60 7,824.67 79,934.90 Surplus
2024 25,004.54 255,440.36 7,854.30 80,237.60 Surplus
2025 24,119.22 246,396.10 7,884.04 80,541.46 Surplus
2026 23,265.24 237,672.07 7,913.90 80,846.48 Surplus
2027 22,441.50 229,256.93 7,943.87 81,152.65 Surplus
2028 21,646.92 221,139.74 7,973.95 81,459.97 Surplus
2029 20,880.48 213,309.95 8,004.15 81,768.46 Surplus
2030 20,141.17 205,757.38 8,034.47 82,078.21 Surplus
2031 19,428.04 198,472.23 8,064.90 82,389.12 Surplus
2032 18,740.17 191,445.01 8,095.45 82,701.19 Surplus
2033 18,076.64 184,666.61 8,126.11 83,014.41 Surplus
2034 17,436.61 178,128.21 8,156.89 83,328.79 Surplus
2035 16,819.24 171,821.31 8,187.78 83,644.44 Surplus
2036 16,223.73 165,737.71 8,218.80 83,961.24 Surplus
2037 15,649.30 159,869.51 8,249.92 84,279.20 Surplus
2038 15,095.22 154,209.09 8,281.17 84,598.43 Surplus
2039 14,560.75 148,749.08 8,312.53 84,918.82 Surplus
2040 14,045.20 143,482.39 8,344.02 85,240.48 Surplus
2041 13,547.91 138,402.18 8,375.62 85,563.30 Surplus
2042 13,068.22 133,501.84 8,407.34 85,887.38 Surplus
2043 12,605.52 128,775.00 8,439.18 86,212.62 Surplus
2044 12,159.21 124,215.52 8,471.14 86,539.14 Surplus
2045 11,728.69 119,817.48 8,503.23 86,866.92 Surplus
Tabel 4.11. Neraca Beras Supply dan Demand Kabupaten Madiun Skenario 2

Supply Demand

Proyeksi Konsumsi Beras


Tahun
Proyeksi Kebutuhan Keterangan
Luas Perkapita
Produksi Lahan Sawah
Lahan (Ha)
(115,58/kg/tahun/
Beras (Ton) Jiwa) x Ton
Sawah(Ha)
2015 22,800.65 232,925.95 7,591.35 77,551.41 Surplus
2016 22,800.65 232,925.95 7,625.43 77,899.53 Surplus
2017 22,800.65 232,925.95 7,649.18 78,142.14 Surplus
2018 22,800.65 232,925.95 7,678.15 78,438.14 Surplus
2019 22,800.65 232,925.95 7,707.23 78,735.18 Surplus
2020 22,800.65 232,925.95 7,736.42 79,033.37 Surplus
2021 22,800.65 232,925.95 7,765.72 79,332.73 Surplus
2022 22,800.65 232,925.95 7,795.14 79,633.23 Surplus
2023 22,800.65 232,925.95 7,824.67 79,934.90 Surplus
2024 22,800.65 232,925.95 7,854.30 80,237.60 Surplus
2025 22,800.65 232,925.95 7,884.04 80,541.46 Surplus
2026 22,800.65 232,925.95 7,913.90 80,846.48 Surplus
2027 22,800.65 232,925.95 7,943.87 81,152.65 Surplus
2028 22,800.65 232,925.95 7,973.95 81,459.97 Surplus
2029 22,800.65 232,925.95 8,004.15 81,768.46 Surplus
2030 22,800.65 232,925.95 8,034.47 82,078.21 Surplus
2031 22,800.65 232,925.95 8,064.90 82,389.12 Surplus
2032 22,800.65 232,925.95 8,095.45 82,701.19 Surplus
2033 22,800.65 232,925.95 8,126.11 83,014.41 Surplus
2034 22,800.65 232,925.95 8,156.89 83,328.79 Surplus
2035 22,800.65 232,925.95 8,187.78 83,644.44 Surplus
2036 22,800.65 232,925.95 8,218.80 83,961.24 Surplus
2037 22,800.65 232,925.95 8,249.92 84,279.20 Surplus
2038 22,800.65 232,925.95 8,281.17 84,598.43 Surplus
2039 22,800.65 232,925.95 8,312.53 84,918.82 Surplus
2040 22,800.65 232,925.95 8,344.02 85,240.48 Surplus
2041 22,800.65 232,925.95 8,375.62 85,563.30 Surplus
2042 22,800.65 232,925.95 8,407.34 85,887.38 Surplus
2043 22,800.65 232,925.95 8,439.18 86,212.62 Surplus
2044 22,800.65 232,925.95 8,471.14 86,539.14 Surplus
2045 22,800.65 232,925.95 8,503.23 86,866.92 Surplus
Gambar 4.7. Peta Rencana LP2B Kabupaten Madiun

Berdasarkan hasil proyeksi neraca pangan terkait kebutuhan beras dan kebutuhan lahan
pertanian untuk tanaman padi di Kabupaten Madiun, sepanjang tahun proyeksi 2017-2045
kebutuhan pangan di Kabupaten Madiun masih akan tercukupi baik dari sisi produksi beras
maupun ketersediaan lahan pertanian untuk tanaman padi sehingga Kabupaaten Madiun masih
mampu menjadi kawasan penyangga pertanian padi di Provinsi Jawa Timur. Asumsi yang
digunakan pada perhitungan neraca pangan tanaman padi antara lain:
1. Luas sawah yang digunakan untuk perhitungan faktor produksi atau supply sampai
dengan tahun 2017-2045 pada skenario 1 adalah luas sawah hasil analisis tren
perubahan penggunaan lahan. Tren perubahan penggunaan lahan pada lahan pertanian
Kabupaten Madiun memiliki kecenderungan untuk mengkonversi lahan pertanian
sebesar 2,5% setiap tahunnya.
2. Luas sawah yang digunakan untuk perhitungan faktor produksi atau supply sampai
dengan taun 2037 pada skenario 2 adalah berdasarkan rencana pola ruang pada RTRW
Kabupaten Madiun tahun 2011-2031 dengan mempertimbangkan rencana alokasi
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
3. Luas lahan panen didapatkan berdasarkan luas sawah dikalikan dengan presentase luas
panen dibandingkan luas sawah eksistingnya yaitu sebesar 84,41%. Presentase tersebut
menunjukkan bahwa setiap kali masa tanam, sebanyak 84,41% lahan pertanian berhasil
panen dan merupakan lahan produktif. Hasil perkalian tersebut kemudian dikalikan lagi
dengan jumlah masa tanam dan panen.
4. Konsumsi beras per kapita didasarkan pada nilai konsumsi beras per kapita di
Kabupaten Madiun. Data konsumsi beras per kapita didapatkan dari data BPS
Kabupaten Madiun dalam angka dan profil pertanian Kabupaten Madiun.
5. Prediksi jumlah penduduk Kabupaten Madiun tahun 2017-2045 didapatkan
berdasarkan rata-rata pertumbuhan penduduk pada tahun 2015-2017.
6. Konversi gabah kering giling (GKG) ke beras didapatkan dari hasil rata-rata konversi
GKG ke beras nasional tahun 2015, yaitu 62,74%

Gambar 4.8. Grafik Neraca Supply dan Demand Kebutuhan Lahan Sawah Skenario I
Neraca Supply dan Demand Kebutuhan Lahan Sawah (Ha)
40,000.00

35,000.00

30,000.00

25,000.00

20,000.00

15,000.00

10,000.00

5,000.00

0.00
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
2036
2037
2038
2039
2040
2041
2042
2043
2044
2045
Proyeksi Luas Lahan Sawah Kebutuhan Lahan Sawah

Gambar 4.9. Grafik Neraca Supply dan Demand Kebutuhan Lahan Sawah Skenario 2
Neraca Supply dan Demand Kebutuhan Lahan Sawah (Ha)
25,000.00

20,000.00

15,000.00

10,000.00

5,000.00

0.00
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
2036
2037
2038
2039
2040
2041
2042
2043
2044
2045

Proyeksi Luas Lahan Sawah Kebutuhan Lahan Sawah


Gambar 4.10. Grafik Neraca Supply dan Demand Konsumsi Beras Skenario 1
Neraca Supply dan Demand Konsumsi Beras (Ton)
400,000.00

350,000.00

300,000.00

250,000.00

200,000.00

150,000.00

100,000.00

50,000.00

0.00
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
2036
2037
2038
2039
2040
2041
2042
2043
2044
2045
Proyeksi Produksi Beras Proyeksi Kebutuhan Beras

Gambar 4.11. Grafik Neraca Supply dan Demand Konsumsi Beras Skenario II
Neraca Supply dan Demand Konsumsi Beras (Ton)
250,000.00

200,000.00

150,000.00

100,000.00

50,000.00

0.00
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
2033
2034
2035
2036
2037
2038
2039
2040
2041
2042
2043
2044
2045

Proyeksi Produksi Beras Proyeksi Kebutuhan Beras

Hasil perhitungan skenario I proyeksi neraca beras di Kabupaten Madiun tahun 2017-
2045 didapatkan bahwa neraca pangan di Kabupaten Madiun untuk komoditas padi
diprediksi masih berstatus surplus, luas sawah diprediksi mengalami penurunan sebesar
2,5% mengikuti tren konversi lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Madiun. Hasil
perhitungan berdasarkan skenario II proyeksi neraca beras Kabupaten Madiun tahun 2017-
2045 juga menunjukkan status surplus. Berdasarkan dua model neraca pangan berdasarkan
dua skenario diatas, dapat disimpulkan bahwa kebutuhan pangan (dalam hal ini kebutuhan
beras dan kebutuhan lahan pertanian sawah di Kabupaten Madiun dapat terpenuhi sampai
dengan tahun 2045. Namun, berdasarkan hasil dari proyeksi di skenario I, apabila konversi
lahan terjadi terus menerus, maka pada tahun 2054 akan terjadi defisit kebutuhan beras dan
lahan pertanian di Kabupaten Madiun. Konversi lahan memang sesuatu yang tidak dapat
dihindari dalam perkembangan suatu wilayah, namun hal tersebut perlu dikendalikan untuk
meminimalisir dampak yang ditimbulkan. Untuk itu perlu adanya kebijakan yang tepat
untuk menyelaraskan pembangunan wilayah dengan tetap memperhatikan ketersediaan
lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Berdasarkan hasil analisis proyeksi
kebutuhan pangan tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa sampai dengan tahun 2045
Kabupaten Madiun masih dinilai surplus untuk kebutuhan beras, sehingga Kabupaten
Madiun masih dapat menjadi kawasan penyangga pertanian terutama untuk komoditas padi
di Provinsi Jawa Timur.

4.3 Strategi Ketahanan Pangan Kabupaten Madiun


Berdasarkan hasil analisis dan proyeksi neraca pangan terhadap kebutuhan beras. Dapat
diusulkan beberapa strategi ketahanan pangan yang dapat diterapkan oleh Pemerintah
Kabupaten Madiun untuk meningkatkan produksi, meminimalisir laju konversi lahan, maupun
menekan laju pertumbuhan penduduk untuk mempertahankan ketahanan pangan di Kabupaten
Madiun. Strategi tersebut antara lain:
1. Mengimplementasikan rencana pola ruang dan struktur ruang sebagaimana telah
direncanakan pada Rencana Tata Ruang Kabupaten Madiun. Dalam RTRW Kabupaten
Madiun Tahun 2011-2031 telah direncanakan peruntukan lahan pertanian pangan
berkelanjutan seluas 22.800,65 Ha. Apabila peruntukan LP2B dipertahankan dan tidak
dikonversi lebih lanjut, maka ketahanan pangan di wilayah Kabupaten Madiun akan
dapat terjaga.
2. Penyediaan, perbaikan, pemeliharaan, dan peningkatan infrastruktur pertanian terutama
pada lahan pertanian dengan irigasi teknis yang memerlukan infrastruktur yang
memadai. Penyediaan infrastruktur pertanian juga harus tersebar secara merata di
wilayah Kabupaten Madiun.
3. Peningkatan mutu intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas melalui upaya
penerapan teknologi tepat guna, peningkatan kualitas SDM petani (pengetahuan dan
keterampilan) melalui pelatihan dan penyuluhan. Peningkatan ini dilakukan untuk
meningkatkan efektifitas lahan tanam dan lahan panen.
4. Penerapan pengamanan produksi melalui penggunaan teknologi panen dan teknologi
penyimpanan pasca panen, pengendalian organisme pengganggu tanaman dan bantuan
sarana produksi pada petani yang lahannya mengalami puso (faktor yang membuat padi
berkurang produksinya, missal, banjir, kekeringan dan gangguan hama).
5. Menekan tingkat pertumbuhan populasi penduduk melalui program Keluarga
Berencana (KB) disertai dengan usaha dan komitmen masyarakat dan berbagai
stakeholder pemangku kepentingan di Kabupaten Madiun.
6. Meningkatkan kapasitas organisasi petani sebagai pemeran utama dalam
mempertahankan serta meningkatkan produksi berbagai komoditas pertanian di
Kabupaten Madiun.
7. Menerapkan UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (PLPPB) dengan semaksimal mungkin untuk melindungi dan
menghambat laju konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian.
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari hasil pembahasan makalah ini adalah:
1. Kabupaten Madiun merupakan salah satu wilayah yang diproyeksikan menjadi
salah satu penyangga pertanian tanaman pangan di Jawa Timur, terutama untuk
jenis tanaman padi. Pada tahun 2017, luas panen dan produksi padi Kabupaten
Madiun berada di peringkat ke 9 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
2. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa pada tahun 2045 akan terjadi
peningkatan jumlah penduduk sebesar 75.473,15 jiwa atau sekitar 10,04% dari
jumlah penduduk keseluruhan. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Madiun
sangat beragam dari satu kecamaatan dan kecamatan lainnya. Terdapat 7 kecamatan
dengan tingkat pertumbuhan yang negatif dan 8 kecamatan dengan tingkat
pertumbuhan positif. Namun, secara keseluruhan tingkat pertumbuhan penduduk
rata-rata di Kabupaten Madiun adalah sebesar 0,31%
3. Berdasarkan hasil analisis perubahan penggunaan lahan, terdapat konversi lahan
pertanian sebesar 7976.09 Ha atau sebesar 54,27% dari keseluruhan perubahan
lahan di Kabupaten Madiun. Konversi lahan pertanian tersebut sebagian besar
menjadi lahan permukiman dan industri, kemudian terdapat sebagian kecil lahan
pertanian yang terkonversi menjadi lahan perkebunan/ladang.
4. Berdasarkan hasil proyeksi neraca pangan untuk kebutuhan konsumsi beras dan
lahan pertanian sawah, ditetapkan dua buah skenario dimana skenario I
memberikan asumsi bahwa terjadi perubahan lahan pertanian berdasarkan tren
konversi lahan dan skenario II tidak terjadi perubahan lahan pertanian dan luas
lahan pertanian didasarkan pada rencana pola ruang kawasan pertanian Kabupaten
Madiun. Berdasarkan hasil analisis kedua skenario tersebut, didapatkan bahwa
Kabupaten Madiun masih dinilai surplus produksi beras sampai dengan tahun 2045.
Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Madiun masih dapat menjadi kawasan
penyangga untuk pertanian padi di Provinsi Jawa Timur dengan hasil produksinya
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan wilayah-wilayah lain di sekitarnya.
5. Untuk mempertahankan ketahanan pangan disusun beberapa strategi antara lain:
peningkatan kapasitas petani dan organisasi tani, penyediaan infrastruktur pertanian
dan teknologi tepat guna untuk produksi dan pasca panen, serta pelaksanaan
peraturan terkait lahan pertanian pangan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja A. 2006. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian Indonesia.Jurnal


Litbang Pertanian. 25(3).
Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2018. Jawa Timur dalam Angka 2015-2018. Surabaya.
Badan Pusat Statistik. 2018. Kabupaten Madiun Dalam Angka 2015-2018. Kabupaten Madiun.
Badan Pusat Statistik. 2018. Profil Pertanian Kabupaten Madiun 2018. Kabupaten Madiun.
Bappenas. 2013. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Pangan
dan Pertanian 2015-2019. Jakarta.
Baharsyah, S., F. Kasryno, dan D. H. Darmawan. 1998. Kedudukan Padi Dalam Perekonomian
Indoensia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Darwanto, Dwijono H. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani.
Jurnal Ilmu Pertanian Vol 12 No.2, 2005: 152-164.
Dharmawan, A.H. dan R. Kinseng. 2006. Aspek Sosial Budaya Dalam Rekonstruksi
Kelembagaan Sosial Penanganan dan Pencegahan Rawan Pangan dan Gizi Buruk. Forum
Kerja Penganekaragaman Pangan. Jakarta.
Kasryno, F., dan E. Pasadaran. 2004 Reposisi Padi dan Beras Dalam Perekonomian Nasional.
Ekonomi Padi dan BEras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. Jakarta.
Maxwell, S. dan R. F.Timothy. 1992. Household Food Security: Concepts, Indicators,
Reasurements, A Technical Review. International Fund for Agriculture Development,
Rome. Italy.
Peraturan Daerah Kabupaten Madiun No 6 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Madiun Tahun 2011-2031.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 5 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Timur Tahun 2011-2031.
Saad, M. B. 1999. Food Security for the Food Insecure; New Challenges and Renewed
Commitment. Centre for Development Studies, University College Dublin. Ireland.
Timmer, C. P. 1996. Does Bulog Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should it Try?
Economical Agriculture Studies. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai