Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN ANAK

Disusun Oleh :

Nicholas Gabriel

01073170046

Pembimbing:

dr. Fransisca, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE JANUARI 2019 – MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE - RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
TANGERANG
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : An. S H M
Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 05 April 2018
Usia : 10 bulan
Agama : Islam
Nomor rekam medis : SHLV. 00-86-51-XX
Tanggal masuk RS : 06 Februari 2019 jam 15.14
Informasi diperoleh dengan lloanamnesis dari ibu kandung pasien

ANAMNESIS
Keluhan Utama: Melepuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan melepuh pada seluruh tubuh, Keluhan diawali dari 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, dengan adanya mata yang membengkak secara tiba – tiba, yang
terlihat semakin membesar seiring berjalannya waktu. Mata yang membengkak tidak
disertai dengan sekret, maupun air mata berlebih. 2 hari sebelum masuk rumah sakit ibu
pasien mulai melihat ada kemerahan disekitar mulut anaknya. Kemerahan muncul tiba –
tiba tanpa adanya kontak dengan iritan. Kemerahan yang muncul kemudian mulai menyebar
menjadi lebih luas ke wajah, dan berubah menjadi seperti melepuh, yang kemudian pecah
dan mengering. Lesi tersebut menyebar ke seluruh tubuh pada hari yang sama.
Ibu pasien juga mengatakan bahwa setelah lesi kulit tersebut menyebar ke seluruh tubuh,
pasien sempat terlihat lemas, yang sudah membaik setelah mendapat perawatan di rumah
sakit.
Keluhan lain disangkal, mual, muntah, sesak disangkal. Buang air besar dan buang air kecil
normal, tidak ada perubahan. Riwayat penggunaan obat dalam waktu dekat disangkal oleh
keluarga pasien.
Pasien masih terlihat ingin makan, tetapi makannya berkurang karena mulut terluka.
Pasien lalu dirawat di rumah sakit Siloam Lippo Village dan mendapatkan suatu diagnosis
berupa Steven Johnson Syndrome.
Setelah pasien mendapatkan perawatan selama 3 hari di rumah sakit, pasien dikonsultasikan
ke spesialis kulit dan kelamin. Setelah dikonsultasikan, hasil dari konsultasi tersebut adalah
bahwa pasien menderita suatu staphylococcal scalded skin syndrome. Dimana pasien
diketahui ternyata memiliki riwayat jatuh dan terbentur bibirnya sampai luka sebelum
semua keluhan muncul.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien tidak pernah memiliki sakit yang serupa. Selama satu bulan terakhir pasien sering
batuk yang sembuh secara spontan.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Ayah dan kakek dari sisi ayah pasien memiliki alergi terhadap seafood. Apabila makan
seafood akan timbul luka pada kulitnya (“borokan”)

Riwayat Kehamilan:
Anak pertama dari kehamilan pertama. Kontrol setiap bulan, Usg lebih dari 2 kali. Minum
suplement secara teratur. Tidak ada riwayat penyakit pada saat kehamilan.
Kesan : Riwayat kehamilan baik

Riwayat Persalinan dan masa perinatal:


Lahir melalui sesio cesaria pada usia kehamilan 41 minggu, atas indikasi lilitan tali pusat.
Tidak ada komplikasi paska melahirkan baik pada ibu maupun bayi.

Kesan : Riwayat persalinan dan masa perinatal baik, tidak ada masalah

Riwayat Nutrisi:
ASI ekslusif selama 6 bulan pertama. Setelah 6 bulan dilanjutkan dengan MPASI berupa
bubur saring dan buah – buahan yang digerus, lalu lanjut potongan buah kecil sampai saat
ini. MPASI diberikan 3 – 4x sehari (semau anaknya), dan ASI diberikan setiap anaknya
meminta (tidak dihitung dalam satu hari berapa kali, tetapi lebih dari 4 kali).
Kesan : Asupan nutrisi baik secara kualitas dan kuantitas.
Riwayat Tumbuh Kembang:
Pertambahan berat badan sesuai dengan kurva pertumbuhan dan tidak ada penurunan atau
kegagalan pertambahan berat badan sebelumnnya.
Saat ini pasien bisa:
Mengambil makanan sendiri dan memasukan ke mulut
Dapat merangkak dan duduk
Dapat berbicara 1 kata 1 kata dan mengerti artinya
Dapat mengenali orang

Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan pasien normal sesuai usia.

Riwayat Imunisasi:

  
  


 
 
 


Kesan : Imunisasi lengkap sesuai usia

Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kondisi Lingkungan:


Anak tinggal bertiga bersama dengan ibu dan ayahnya. Rumah merupakan rumah cluster
dengan sumber air bersih berupa pompa. Ventilasi dan sirkulasi udara baik.
Pasien membayar dengan asuransi.
Kesan : keadaan sosial dan kondisi lingkungan baik, ekonomi menengah keatas.
PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan di kamar 757-2 tanggal 8 Februari 2019 jam 07.00 WIB
Keadaan umum: Tampak sakit sedang, rewel tetapi aktif
Kesadaran : CM (GCS E4M6V5)

Tanda Vital
Laju nadi : 146x/menit, kuat angkat, reguler
Laju napas : 60x/menit, spontan
Suhu : 37.2˚C
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Sp O2 : 99% (dengan room air)

Status Gizi dan Antropometri


Berat badan = 8,1 kg BB/U = 92% (50th percentile)
Tinggi badan = 68 cm TB/U = 95% (50-75th percentile)
Berat badan ideal = 8,4 kg BB/TB = 96%
Lingkar kepala = 45 cm

Kesan: berat badan baik, perawakan normal, gizi baik, normosefali

Status Generalis

Sistem Deskripsi

Warna sawo matang


BCG scar (+) lengan kanan
Terdapat vesikel – vesikel pada seluruh tubuh, dengan beberapa
Kulit
sudah pecah dan menjadi krustae disertai dengan kulit kulit yang
eksfoliasi
turgor kulit normal

normosefali
Kepala
rambut hitam dan tipis, tersebar merata, tidak mudah dicabut
simetris, pucat (-), wajah orang tua (-), edema (-), Krusta (+), Eritema
Wajah
(+)
konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
Mata pupil bulat, reaktif, isokor, 3.0mm/3.0mm
reflek cahaya langsung (+/+)
reflek cahaya tidak langsung (+/+)
Hidung cuping hidung(-/-)
mata cekung (-), sekret (-), simetris
sekret (-/-),(-/-)
strabismus serumen (-/-), nyeri tarik pinna (-), tidak dilakukan
Telinga
pemeriksaan otoskop
bibir dan mukosa lembap, sianosis (-), pucat (-)
lidah normoglossia, berwarna merah-pink, tremor (-), sianosis (-)
Mulut
gusi berdarah (-), hipertrofi (-)
karies gigi (-)
tonsil T1/T1, hiperemis (-), detritus(-)
Tenggorokan bau pernafasan (-)
faring hiperemis (-)
kaku kuduk (-)
Leher pembesaran KGB (-)
retraksi supraklavikular (-), otot bantu pernafasan (-)
bentuk normal simetris, barrel chest (-)
Dada pektus ekskavatum (-), pektus karinatum (-)
retraksi interkostal (-), suprasternal (-), subkostal (-)
precordial
Inspeksi bulging (-) rongga dada simetris
: perkembangan
Palpasi : pengembangan dada simetris, taktil fremitus kanan dan kiri
Paru-paru simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler +/+, ronki -/- pada seluruh lapang paru,
wheezing -/-,tidak
iktus kordis stridor -/-
terlihat
Jantung thrill (-), heaving (-)
bunyi jantung S1 & S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Inspeksi : datar, lemas, lesi (-), retraksi subkostal (-)
Auskultasi : bising usus (+) 5x/min
Abdomen Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-), muscle guarding (-), massa (-)

Genitalia tidak diperiksa


KGB pembesaran KGB (-)
akral hangat, CRT <2 detik
Ekstremitas nadi reguler, kuat angkat, simetris
edema (-)

Punggung massa (-), lesi (-), deformitas (-)

Neurologis kaku kuduk (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium (06/02/2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HEMATOLOGY
Full Blood Count
Hemoglobin 11.3 g/dL 11.3-14.1
Hematocrit 36.10 % 31-41
Eritrosit 4.65 10^6/µL 3.9-5.5
Leukosit 17.67 ↑ 10^3/µL 5.00-10.00
Differential Count
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 6 % 1-3
Neutrofil batang 3 % 2-6
Neutrofil segmen 39 % 50-70
Limfosit 46 % 20-40
Monosit 6 % 2-8
Trombosit 568 10^3/ µL 150-400
ESR 20 ↑ mm/jam 0-10
MCV, MCH, MCHC
MCV 77.6 fL 80-100
MCH 24.3 Pg 26-34
MCHC 31.3 g/dL 32-36
BIOCHEMISTRY
SGOT 49 U/L 0-32
SGPT 31 U/L 0-33
Ureum 8.0 mg/dL <50
Creatinine 0,27 Mg/dL 0,5 – 1,1

Kesan:
Leukositosis dengan shift to the right (limfositosis), thrombositosis (suspek reaktif),
ESR meningkat

RESUME
Pasien datang dengan keluhan melepuh pada seluruh tubuh yang didahului dengan lesi
kemerahan pada daerah mulut dan juga pembengkakan pada kelopak mata. Keluhan
muncul secara tiba – tiba. Sebelum muncul, keluhan didahului dengan mulut yang
terbentur dan lecet.
Pada pemeriksaan ditemukan lesi kulit berupa vesikel yang sebagian besar sudah pecah
dan mengering menjadi krusta. Lesi tersebar di seluruh tubuh, terutama pada bagian
mulut, abdomen, dan ekstremitas atas dan bawah
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan pada sel darah putih, dengan
predominansi pada limfosit, serta peningkatan dari trombosit.

DIAGNOSIS KERJA
Staphylococcal Scalded Skin syndrome

DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Toxic epidermal necrolysis
Steven Johnson Syndrome
TATA LAKSANA
Injeksi Ceftriaxone 1 x 400 mg
Inejeksi Sagestam (gentamicin) 2 x 40mg
Histrine (cetirizine) 2 x 0,2 mg
Sanmol (paracetamol) 4 x 0,8 ml
Cravit eye drop (levofloxacin) 1 x 8
Fenicol eye drop(chloramphenicol) 1 x 3
Progenta (Gentamicin dan betamethasone) 1 x 6

FOLLOW UP
Tanggal Follow Up
06/02/2018 S:
Pasien rewel dan tidak tenang. ASI (+ tapi sangat berkurang) makan
pk. 06.30 (-) minum (+-) krusta (+), BAK (+)

O:
TSB, CM
HR : 140 x/menit, isi cukup, kuat angkat, regular
RR: 40 x/menit
Suhu : 36.8oC
SpO2 : 99% (room air)

Kulit: Sawo matang, terdapat lesi berupa krusta di seluruh tubuh


Kepala : Normosefali
Mata : edema palpebra (+) CA (-/-), SI (-/-), pupil 3mm / 3mm
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
THT : Sekret telinga (-), sekret hidung (-/-), mukosa mulut dan bibir
lembap. Terdapat lesi krusta disekitar mulut
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks : lesi krusta (+) retraksi interkosta (-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :cembung, dengan lesi – lesi berupa krusta. Bising usus
(+) 3x/menit, turgor kulit baik, hepatosplenomegaly (-)
Ekstremitas : :Lesi krusta pada ekstremitas atas dan bawah, akral
hangat, CRT <2 detik
Neurologis : Kaku kuduk (-), lasague (-), kernig (-)

A:
Steven Johnson Syndrome
Dd SSSS
Dd DRESS
P:
IVFD D5 1/4 NS 800 ml / 24 jam
Injeksi Metilprednisolone 1 x 10mg
Injeksi Ceftriaxone 1 x 400 mg
Inejeksi Sagestam 2 x 40mg
Hstrine 2 x 0,2 mg
Sanmol 4 x 0,8 ml
Cravit 1 x 8
Fenicol 1 x 3
Progenta 1 x 6
Konsul Sp.KK

Tanggal Follow Up
09/02/2018 S:
pk. 06.30 Pasien sudah lebih tenang. Makan (-) krusta (+) tetapi sudah mulai
mengering dan kulit mengelupas, BAK (+)

O:
TSB, CM
HR : 140 x/menit, isi cukup, kuat angkat, regular
RR: 40 x/menit
Suhu : 36.8oC
SpO2 : 99% (room air)

Kulit: Sawo matang, terdapat lesi berupa krusta yang sudah mulai
hilang dan mengelupas di seluruh tubuh
Kepala : Normosefali
Mata : edema palpebra (+) CA (-/-), SI (-/-), pupil 3mm / 3mm
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
THT : Sekret telinga (-), sekret hidung (-/-), mukosa mulut dan bibir
lembap. Terdapat lesi krusta yang sudah mulai sembuh disekitar
mulut
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks : lesi krusta (+) retraksi interkosta (-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :cembung, dengan lesi – lesi berupa krusta. Bising usus
(+) 3x/menit, turgor kulit baik, hepatosplenomegaly (-)
Ekstremitas : :Lesi krusta pada ekstremitas atas dan bawah, akral
hangat, CRT <2 detik
Neurologis : Kaku kuduk (-), lasague (-), kernig (-)

A:
Staphylococcal scalded skin syndrome

P:
IVFD D5 1/4 NS 500 ml / 24 jam
Injeksi Ceftriaxone 1 x 400 mg
Inejeksi Sagestam 2 x 40mg
Histrine 2 x 0,2 mg
Sanmol 4 x 0,8 ml
Cravit 1 x 8
Fenicol 1 x 3
Progenta 1 x 6
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) atau nama lainnya adalah
Ritter’s disease, Lyell disease atau Pemphigus neonatorum (terutama pada anak-anak)
adalah penyakit epidermolitik yang gawat darurat disebabkan oleh toksin yang ditandai
dengan eksantema generalisata, lepuh yang luas disertai erosi dan deskuamasi
superfisial. Penyakit ini umumnya terjadi pada bayi yang baru lahir, dengan timbulnya
lepuh yang luas di seluruh permukaan kulit yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif
yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus1

2.2 Etiologi

Bakteri Staphylococcus merupakan penyebab infeksi piogenik kulit yang sering dan
merupakan spesies yang sangat patogen. Bakteri ini mampu menimbulkan penyakit-
penyakit yang berspektrum luas pada manusia dimulai dari penyakit yang disebabkan
oleh toksin seperti toxic shock syndrome, sampai penyakit seperti septicemia,
endocarditis, pneumonia dan osteomyelitis. Tidak seperti bakteri pada umumnya,
Staphylococcus aureus mengeluarkan protein ekstraselular yang beragam, yang
memperkuat virulensi pada bakteri ini. Beberapa faktor virulen yang dihasilkan
menyebabkan toksin yang sering ditemukan antara lain Toxic Shock Syndrome Toxin
1 (TSST-1), enterotoxins dan exfoliative toxins (ETs).2

2.3 Patofisiologi
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom
merupakan bagian dari sel kulit yang bertanggung jawab sebagai perekat sel-sel kulit.
Desmosome adalah intercelluler adhesive junction yang diekspresikan oleh sel epitel
dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress
mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.
Desmosom disusun oleh struktur yang dikenal dengan desmoglein (Dsg). Dsg
memiliki tiga isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3.
Toksin eksfoliatif (ETs) dari bakteri Staphylococcus merupakan serin protease, dimana
merupakan enzim yang melisiskan desmoglein 1 sehingga kulit menjadi tidak utuh
terutama di bagian epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum. Proses ini
menyebabkan terbentuknya bula berdinding tipis yang mudah pecah sehingga
menunjukkan Nikolsky’s sign yang positif. 3,4

Pada SSSS, lesi yang timbul hanya terbatas pada permukaan kulit dan tidak
mengganggu susunan di mukosa dan bagian kulit yang lebih dalam. Fenomena ini dapat
dijelaskan bahwa penghancuran dari desmoglein sangat selektif, dimana toksin tersebut
hanya menghidrolisis Dsg-1. Ekspresi dari Dsg-1 terdapat di semua lapisan kulit,
namun Dsg-3 hanya diekspresikan di strata yang lebih dalam. Sehingga, jika terjadinya
gangguan pada Dsg-1 pada strata yang lebih dalam, dapat dikompensasi oleh Dsg-3,
dan eksfoliasi hanya terjadi pada stratum granulosum dimana tidak ditemukan Dsg-3.

2.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif ini dapat digolongkan menjadi
manifestasi klinis dalam bentuk lokal dan generalisata. Lesi lokal, atau yang dikenal
dengan bullous impetigo, terjadi saat bakteri S. aureus masuk melalui permukaan kulit
dan menghasilkan toksin secara lokal sehingga membentuk vesikel/bula

Namun, toksin eksfoliatif dari S. aureus dapat membentuk lesi sistemik, seperti
pada SSSS. Pada umumnya, SSSS diawali dengan infeksi dan gejala prodromal yang berkembang
dalam waktu yang cepat dan menimbulkan lesi khas di kulit. Gejala infeksi seperti pada konjungtivitis,
otitis media, infeksi salurah pernafasan atas atau disebabkan oleh infeksi kulit seperti impetigo dapat
menjadi pencetus. Pada anak yang baru lahir, infeksi tali pusat dapat mencetus keadaan SSSS. Infeksi
menjadi sarang utama bakteri Staphylococcus menghasilkan toksin kedalam tubuh penderita.5

Keluhan infeksi ini disertai dengan gejala prodromal seperti gelisah, malaise, dan demam

Timbulnya bercak merah tanpa batas tegas disertai dengan nyeri tekan pada kulit

Bercak merah dan

nyeri meluas pada kulit terutama di daerah lipatan, leher, axilla, selangkangan dan
muka yang kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam.5

Dalam waktu 24-48 jam, permukaan kulit membentuk bula yang luas dengan dinding
yang keruh, dimana mudah pecah. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan
digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolsky positif. Jika
bula pecah akan meninggalkan kesan seperti terbakar.5

Dua sampai tiga hari kemudian, lapisan paling atas kulit mengeriput dan terjadi
pengelupasan lembaran kulit

. Tanda-tanda erosif seperti luka terbuka yang lembab, merah serta nyeri. Pada tahap
ini lesi kulit yang terkelupas dapat dikatakan luas dan tampak membahayakan untuk
penderita, namun yang lebih membahaykan jika penderita mengalami komplikasi
seperti septisemia dan pneumonia. Kulit yang terkelupas ini merupakan sumber
penyebab dehidrasi, gangguan pengaturan suhu tubuh dan penyebab utama infeksi
sekunder. Luka terbuka ini akan mengering dan terjadi deskuamasi. Kondisi seperti ini
dapat sembuh dalam waktu 7-14 hari tanpa adanya sikatriks.5

2.5 Pemeriksaan penunjang


Diagnosis dari Staphylococcus Scalded Skin Syndrome (SSSS) dapat
ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan dipastikan dari beberapa
pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan laboratorium darah, ditemukan laju endap
darah/ ESR yang meningkat, yang kadang disertai dengan peningkatan sel darah putih.
Pemeriksaan kadar elektrolit dan fungsi ginjal diperlukan sebagai pemeriksaan rutin
terutama pada kasus dengan dehidrasi.22 Pada umumnya S. aureus jarang ditemukan
pada lesi di kulit dan ditemukan pada lokasi utama infeksi, seperti pada nasofaring.
Biopsi kulit/ pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan penunjang yang definit,
dimana dapat ditemukan celah di antara lapisan stratum granulosum dan ditemukannya
sel-sel akantolitik. Lapisan epidermis dan dermis tampak normal dan tidak
ditemukannya sel- sel inflamasi. 5,6

2.6 Diagnosis banding


 Stevens Johnson Syndrome /Toxic Epidermal Necrolysis (SJS/TEN)
Sindroma steven Johnson atau Nekrolisis Epidermal toksik merupakan salah satu
penyakit yang mengancam nyawa dan memiliki keadaan hampir serupa, namun pada
pasien dengan TEN didapatkan anamnesis dengan adanya riwayat pajanan obat.5
Sebuah studi menunjukan bahwa sebesar 64% dari pasien yang terdiagnosis SJS pernah
terpapar oleh obat, dan kurang lebih seperlima hingga sepertiga dari kasus SJS
mempunyai penyebab yang idiopatik. Penyebab kedua tersering SJS/TEN adalah
infeksi. Organisme yang paling sering menyebabkan penyakit SJS/TEN adalah infeksi
oleh Mycoplasma pneumoniae, dan virus Herpes Simpleks. Dibandingkan dengan
orang dewasa, infeksi menjadi penyebab tersering terjadinya SJS/TEN pada anak-anak.
Pada pasien dengan SSSS juga akan timbul gejala yang serupa pada SJS/TEN namun
pada SSSS tidak adanya riwayat konsumsi obat – obatan(17). Pada lesi kulit keduanya
akan berawal dari kemerahan, lalu menjadi merah kehitaman, lalu macula berbentuk
ireguler yang seiring waktu menyatu dan membentuk lesi berbentuk target dengan
hitam pada tengahnya. Setelah tahap kemerahan, lesi akan berkembang menjadi lepuh
lembut yang menyebar luas pada hampir seluruh permukaan tubuh dan bersifat mudah
pecah. 5,
Pada pasien dengan SSSS lesi kulit akan diawali dengan kemerahan yang luas yang
tidak berbatas tegas dan nyeri terutama pada bagian – bagian lipatan dan dalam waktu
24 – 48 jam akan timbul bula – bula dengan nikolsky’s sign positif, dari lesi kulit dapat
dibedakan bahwa pada SSSS tidak terdapat lesi target/ targetoid namun hal tersebut
belum kuat untuk membedakan keduanya dikarenakan beberapa kasus mungkin tidak
didapatkannya lesi yang sesuai dengan teori 5

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelainan ini adalah tes
Tzanck ataupun pemeriksaan histopatologis. Tes Tzanck merupakan pemeriksaan yang
biasanya dilakukan untuk mendeteksi infeksi herpes, namun pada beberapa keadaan tes
ini dapat digunakan untuk membedakan lesi – lesi bula seperti pada SSSS dan
SJS/TEN, pada SSSS akan ditemukannya sel akantolisis yang mana tidak akan
ditemukan pada pasien dengan SJS/TEN. Setelah ditemukannya pemeriksaan
histopatologis, pemeriksaan tzanck semakin ditinggalkan sehingga pemeriksaan
histopatologis lebih sering dilakukan pada klinis. Secara histopatologis pada SSSS
ditemukan adanya pemisahan yang terjadi pada lapisan stratum granulosum dan
ditemukannya akantolisis subgranular superfisial sementara pada SJS/TEN ditemukan
terjadinya nekrosis total pada bagian epidermis 5,7
 Impetigo bulosa
Impetigo bulosa merupakan salah satu bentuk atau varian dari impetigo, impetigo
merupakan suatu infeksi bakteri superfisial yang menyerang pada bagian epidermis
dimana penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Sama halnya dengan SSSS, impetigo bulosa juga diakibatkan pada pengeluaran racun
oleh bakteri yang mengakibatkan reaksi pada kulit, namun pada impetigo infeksi hanya
sebatas local berbeda dengan SSSS yang sistemik.5

2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan kasus SSSS membutuhkan terapi
kombinasi yang digunakan tidak hanya untuk mengobati masalah utama pada pasien
namun juga untuk mengobati gejala simtomatis dan juga komplikasi yang dapat terjadi
hingga pengobatan yang bersifat pendukung.8

Pemeriksaan awal seperti kultur dan sensitivitas antibiotik dapat dilakukan untuk
membantu pilihan terapi obat jika penanganan awal pada antibiotik tidak menunjukkan
perbaikan, selain itu pemeriksaan spesifik untuk skrining Methicillin - Resistant S.
aureus (MRSA) juga dapat dilakukan.8

 Terapi Cairan dan elektrolit


Terapi cairan sangat penting dilakukan sebagai penanganan awal pada pasien dengan
SSSS dikarenakan kehilangan cairan pada proses transepidermal water loss (TEW).
Yang cepat dapat memperburuk keadaan umum pasien. Pemasangan jarum akses vena
untuk sebagai akses terapi dan pemasangan kateter urin dilakukan untuk mengobservasi
cairan. Penatalaksanaan awal cairan akan berbeda dengan pasien dengan luka bakar,
penanganan awal diberikannya Fresh Frozen Plasma (FFP) secara bolus sebanyak 10%
dari volume tubuh dengan perhitungan 70ml/Kg, pemberian FFP ini atas dasar antibodi
yang terdapat pada FFP dapat membantu untuk menetralisir eksotoksin, namun
pemberian ini dilakukan pada anak - anak dikarenakan sebanyak 91% pasien diatas 40
tahun memiliki antibodi sendiri untuk melawan eksotoksin11.
pada anak - anak dengan kontraindikasi dengan FFP maka perhitungan untuk resusitasi
2 cc x BB x luas Luka Bakar (%) + kebutuhan faali (Kebutuhan Faali : <1 th : BB x
100 cc 1- 3 th : BB x 75 cc 3 - 5 th : BB x 50 cc). Pemberiannya dengan RL : dekstran
= 17 : 3 dan dibagi menjadi 2 setengahnya diberikan dalam waktu 8 jam pertama dan
setengahnya lagi diberikan dalam waktu 16 jam.8,9

Terapi cairan rumatan dengan 0,45% saline dalam 5% dekstrosa disarankan


dikarenakan adanya resiko terjadinya hiponatremia dengan perhitungan dengan
Holliday segar yaitu 4 - 2 - 1 perharinya.8,9

 Antibiotik
Pada SSSS progresivitas dari penyakit akan terus berlanjut dalam waktu
24 sampai 48 jam setelah serangan dan bersifat cepat sampai eksotoksin yang
tersebar secara sistemik akan dinetralisasi atau dikeluarkan oleh ginjal,
Sehingga pemberian antibiotik awal secepat mungkin sangat penting dilakukan.
Penggunaan Systemic penicilinase - resistant penicillin dianjurkan pada semua
pasien dengan SSSS, hal tersebut dikarenakan pada penggunaannya juga akan
bekerja pada infeksi dengan methicillin-sensitive S. aureus.

Pasien yang memiliki alergi terhadap penisilin maka pemberian


antibiotik dapat di subtitusi dengan golongan sefalosporin generasi 2
cefuroxime atau golongan makrolid klarithromycin

 Perawatan kulit
Perawatan kulit pada pasien dengan SSSS juga sangat penting
dikarenakan perawatan kulit akan membantu untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan juga membantu kulit untuk proses penyembuhan. Menjaga
kebersihan dengan membersihkan luka dengan steril akan membantu untuk
mencegah infeksi sekunder, pada area yang terkelupas harus dibalut dengan
kain kasa yang diberikan campuran sulfadiazine cream dan parafin secara
lembab, namun pemberian ini hanya dilakukan jika luka kecil, jika luka luas
maka pemberian sulfadiazine direkomendasikan untuk dihindarkan
dikarenakan dapat mengakibatkan racun yang diserap pada kuli.8

 Terapi suportif
Pada pasien dengan SSSS pasien sangat disarankan untuk menjaga
nutrisinya agar dapat menghindari penurunan berat badan, kehilangan protein
dan dapat membantu dalam proses penyembuhan agar pasien dapat memiliki
daya tahan tubuh dalam proses penyembuhan. Hal yang perlu diperhatikan juga
adalah mengondisikan pasien senyaman mungkin dengan menjaga suhu 37 - 38
C agar tidak terjadinya kehilangan cairan yang berlebih dikarenakan tubuh
harus menjaga suhu tubunya. Pengendalian atau penanganan pasien dengan
SSSS juga harus memperhatikan kebersihan sehingga penanganan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, selain itu juga penanganan kontak
dengan pasien dikurangi sebisa mungkin untuk mencegah kerusakan kulit lebih
luas dan mencegah provokasi nyeri pada pasien10

2.7 Pembahasan kasus


Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan berupa melepuh pada sekujur tubuh yang
muncul sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Tetapi apabila ditelusuri, melepuh ini
diawali sekitar 3 hari sebelum masuk rumah sakit dimana gejala pertama yang muncul
adalah mata yang terlihat membengkak. Mata membengkak tersebut muncul pada hari
sabtu malam secara tiba – tiba. Satu hari setelah mata membengkak, diikuti dengan
kemerahan pada daerah mulut, yang kemudian menyebar ke wajah, dan lalu ke seluruh
tubuh. Lesi merah tersebut kemudian menjadi lepuh – lepuh, yang saat ini sudah pecah
dan menjadi kering.
Sementara diagnosis dari steven johnson syndrome, maupun Staphylococcal scalded
skin syndrome dapat didiagnosa melalui anamnesis dan juga identifikasi lesi pada kulit,
walaupun pemeriksaan yang definitif adalah suatu pemeriksaan histopatologi. Pada
anamnesis pasien ini tidak ditemukan suatu riwayat penggunaan obat – obatan, tetapi
ditemukan suatu riwayat, dan paparan terhadap alergi. Riwayat alergi tersebut
didukung oleh adanya riwayat alergi yang sama terhadap seafood pada ayah pasien,
dimana setelah mengkonsumsi seafood ayah pasien mengaku akan mengalami lesi –
lesi “borok” pada kulitnya. Walaupun tidak umum, tetapi dengan gambaran lesi kulit
yang terlihat pada pasien, berupa makula eritematoid yang tersebar pada seluruh tubuh,
kemudian berkembang menjadi vesikel yang pecah dan menjadi krusta, maka Steven
johnson syndrome dapat menjadi suatu kemungkinan diagnosis.
Tetapi setelah perawatan selama 2 hari, dan melalui penggalian informasi yang lebih
dalam, ternyata ditemukan bahwa pasien memiliki riwayat terbentur dan terluka di
bagian mulut. Hal ini dapat menjadi suatu port d’entrée untuk kuman staphylococcus.
Kuman tersebut dapat berkembang dan menghasilkan toksin yang akan berakhir pada
suatu lesi generalisata berupa makula eritematoid yang kemudian akan menjadi vesikel
dan pecah, lalu kering menjadi krusta, sama seperti pada steven johnson syndrome.
Pada pemeriksaan laboratorium juga ditemukan sel darah putih yang meningkat
(leukositosis) dengan predominansi pada limfosit. Gambaran ini dapat menandakan
adanya suatu reaksi tubuh pada suatu infeksi, yang tidak umum ditemukan pada
sindroma steven johnson.
Sehingga dengan adanya sejarah tambahan tersebut, ditambah dengan hasil
pemeriksaan penunjang yang menunjukan gambaran infeksi; diagnosis utama lebih
mengarah kepada staphylococcal scalded skin syndrome.
Pemeriksaan lain yang seharusnya dapat dilakukan untuk membedakan kedua penyakit
ini adalah melalui pemeriksaan fisis, yaitu dengan melihat dasar dari lesi. Pada SJS
akan terlihat dasar yang berwarna putih atau berbeda dengan permukaan kulit
disekitarnya karena pada SJS lesi menyeluruh pada seluruh lapisan epidermis, sehingga
lapisan dermis terlihat. Sementara pada SSSS lesi tidak sampai ke dermis sehingga
dasar dari lesi tetap terlihat berwarna sama seperti warna kulit di sekitarnya.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Conway D.G., Lyon R.F., Heiner J.D. (2013) A desquamating rash; staphylococcal scalded
skin syndrome. Ann. Emerg. Med: 118–119
2. M.Z. Handler, R.A. Schwartz. (2014). Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis
and management in children and adults.

3. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR.(2016). Toxin in Bullous Impetigo
and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1.6: 1275-7.

4. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. (2011). Desmosomal adhesion
regulates epithelial morphogenesis and cell positioning Nat Cell Biol. 3: 823-30

5. Wolff, Klaus.et al. (2012) Fitzpatrick’s The Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Austria: The McGraw-Hill Companies: 8th edition. 2148-58

6. Luk N.M. (2012) Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS).Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin; 10 (1): 25.
7. Aydin D, Alsbjørn B. Staphylococcal scalded skin syndrome in a 5-year-old child, case
report. Clin Case Rep. 2016;4(4):416–9.

8. Dinges M.M., Orwin P.M., Schlievert P.M. Exotoxins of Staphylococcus aureus. Clin.
Microbiol. Rev. 2013;15-19

9. Blyth M, Estela C, Young AE. (2012) Severe staphylococcal scalded skin syndrome in
children. Burns 98–103.
10. Meshram G.G, Kaur N & Hura K. S. (2018). Staphylococcal scalded skin syndrome: A
pediatric dermatology case report

11. BS Badon H, King Joy, Brodell T. Robert, Byrd Adam, Distinguishing Features:
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome vs. Toxic Epidermal Necrolysis.

Anda mungkin juga menyukai