Disusun Oleh :
Nicholas Gabriel
01073170046
Pembimbing:
IDENTITAS
Nama : An. S H M
Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 05 April 2018
Usia : 10 bulan
Agama : Islam
Nomor rekam medis : SHLV. 00-86-51-XX
Tanggal masuk RS : 06 Februari 2019 jam 15.14
Informasi diperoleh dengan lloanamnesis dari ibu kandung pasien
ANAMNESIS
Keluhan Utama: Melepuh sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Kehamilan:
Anak pertama dari kehamilan pertama. Kontrol setiap bulan, Usg lebih dari 2 kali. Minum
suplement secara teratur. Tidak ada riwayat penyakit pada saat kehamilan.
Kesan : Riwayat kehamilan baik
Kesan : Riwayat persalinan dan masa perinatal baik, tidak ada masalah
Riwayat Nutrisi:
ASI ekslusif selama 6 bulan pertama. Setelah 6 bulan dilanjutkan dengan MPASI berupa
bubur saring dan buah – buahan yang digerus, lalu lanjut potongan buah kecil sampai saat
ini. MPASI diberikan 3 – 4x sehari (semau anaknya), dan ASI diberikan setiap anaknya
meminta (tidak dihitung dalam satu hari berapa kali, tetapi lebih dari 4 kali).
Kesan : Asupan nutrisi baik secara kualitas dan kuantitas.
Riwayat Tumbuh Kembang:
Pertambahan berat badan sesuai dengan kurva pertumbuhan dan tidak ada penurunan atau
kegagalan pertambahan berat badan sebelumnnya.
Saat ini pasien bisa:
Mengambil makanan sendiri dan memasukan ke mulut
Dapat merangkak dan duduk
Dapat berbicara 1 kata 1 kata dan mengerti artinya
Dapat mengenali orang
Riwayat Imunisasi:
Tanda Vital
Laju nadi : 146x/menit, kuat angkat, reguler
Laju napas : 60x/menit, spontan
Suhu : 37.2˚C
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Sp O2 : 99% (dengan room air)
Status Generalis
Sistem Deskripsi
normosefali
Kepala
rambut hitam dan tipis, tersebar merata, tidak mudah dicabut
simetris, pucat (-), wajah orang tua (-), edema (-), Krusta (+), Eritema
Wajah
(+)
konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
Mata pupil bulat, reaktif, isokor, 3.0mm/3.0mm
reflek cahaya langsung (+/+)
reflek cahaya tidak langsung (+/+)
Hidung cuping hidung(-/-)
mata cekung (-), sekret (-), simetris
sekret (-/-),(-/-)
strabismus serumen (-/-), nyeri tarik pinna (-), tidak dilakukan
Telinga
pemeriksaan otoskop
bibir dan mukosa lembap, sianosis (-), pucat (-)
lidah normoglossia, berwarna merah-pink, tremor (-), sianosis (-)
Mulut
gusi berdarah (-), hipertrofi (-)
karies gigi (-)
tonsil T1/T1, hiperemis (-), detritus(-)
Tenggorokan bau pernafasan (-)
faring hiperemis (-)
kaku kuduk (-)
Leher pembesaran KGB (-)
retraksi supraklavikular (-), otot bantu pernafasan (-)
bentuk normal simetris, barrel chest (-)
Dada pektus ekskavatum (-), pektus karinatum (-)
retraksi interkostal (-), suprasternal (-), subkostal (-)
precordial
Inspeksi bulging (-) rongga dada simetris
: perkembangan
Palpasi : pengembangan dada simetris, taktil fremitus kanan dan kiri
Paru-paru simetris
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler +/+, ronki -/- pada seluruh lapang paru,
wheezing -/-,tidak
iktus kordis stridor -/-
terlihat
Jantung thrill (-), heaving (-)
bunyi jantung S1 & S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Inspeksi : datar, lemas, lesi (-), retraksi subkostal (-)
Auskultasi : bising usus (+) 5x/min
Abdomen Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-), muscle guarding (-), massa (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (06/02/2019)
Kesan:
Leukositosis dengan shift to the right (limfositosis), thrombositosis (suspek reaktif),
ESR meningkat
RESUME
Pasien datang dengan keluhan melepuh pada seluruh tubuh yang didahului dengan lesi
kemerahan pada daerah mulut dan juga pembengkakan pada kelopak mata. Keluhan
muncul secara tiba – tiba. Sebelum muncul, keluhan didahului dengan mulut yang
terbentur dan lecet.
Pada pemeriksaan ditemukan lesi kulit berupa vesikel yang sebagian besar sudah pecah
dan mengering menjadi krusta. Lesi tersebar di seluruh tubuh, terutama pada bagian
mulut, abdomen, dan ekstremitas atas dan bawah
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan pada sel darah putih, dengan
predominansi pada limfosit, serta peningkatan dari trombosit.
DIAGNOSIS KERJA
Staphylococcal Scalded Skin syndrome
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Toxic epidermal necrolysis
Steven Johnson Syndrome
TATA LAKSANA
Injeksi Ceftriaxone 1 x 400 mg
Inejeksi Sagestam (gentamicin) 2 x 40mg
Histrine (cetirizine) 2 x 0,2 mg
Sanmol (paracetamol) 4 x 0,8 ml
Cravit eye drop (levofloxacin) 1 x 8
Fenicol eye drop(chloramphenicol) 1 x 3
Progenta (Gentamicin dan betamethasone) 1 x 6
FOLLOW UP
Tanggal Follow Up
06/02/2018 S:
Pasien rewel dan tidak tenang. ASI (+ tapi sangat berkurang) makan
pk. 06.30 (-) minum (+-) krusta (+), BAK (+)
O:
TSB, CM
HR : 140 x/menit, isi cukup, kuat angkat, regular
RR: 40 x/menit
Suhu : 36.8oC
SpO2 : 99% (room air)
A:
Steven Johnson Syndrome
Dd SSSS
Dd DRESS
P:
IVFD D5 1/4 NS 800 ml / 24 jam
Injeksi Metilprednisolone 1 x 10mg
Injeksi Ceftriaxone 1 x 400 mg
Inejeksi Sagestam 2 x 40mg
Hstrine 2 x 0,2 mg
Sanmol 4 x 0,8 ml
Cravit 1 x 8
Fenicol 1 x 3
Progenta 1 x 6
Konsul Sp.KK
Tanggal Follow Up
09/02/2018 S:
pk. 06.30 Pasien sudah lebih tenang. Makan (-) krusta (+) tetapi sudah mulai
mengering dan kulit mengelupas, BAK (+)
O:
TSB, CM
HR : 140 x/menit, isi cukup, kuat angkat, regular
RR: 40 x/menit
Suhu : 36.8oC
SpO2 : 99% (room air)
Kulit: Sawo matang, terdapat lesi berupa krusta yang sudah mulai
hilang dan mengelupas di seluruh tubuh
Kepala : Normosefali
Mata : edema palpebra (+) CA (-/-), SI (-/-), pupil 3mm / 3mm
isokor, RCL +/+, RCTL +/+
THT : Sekret telinga (-), sekret hidung (-/-), mukosa mulut dan bibir
lembap. Terdapat lesi krusta yang sudah mulai sembuh disekitar
mulut
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks : lesi krusta (+) retraksi interkosta (-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :cembung, dengan lesi – lesi berupa krusta. Bising usus
(+) 3x/menit, turgor kulit baik, hepatosplenomegaly (-)
Ekstremitas : :Lesi krusta pada ekstremitas atas dan bawah, akral
hangat, CRT <2 detik
Neurologis : Kaku kuduk (-), lasague (-), kernig (-)
A:
Staphylococcal scalded skin syndrome
P:
IVFD D5 1/4 NS 500 ml / 24 jam
Injeksi Ceftriaxone 1 x 400 mg
Inejeksi Sagestam 2 x 40mg
Histrine 2 x 0,2 mg
Sanmol 4 x 0,8 ml
Cravit 1 x 8
Fenicol 1 x 3
Progenta 1 x 6
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) atau nama lainnya adalah
Ritter’s disease, Lyell disease atau Pemphigus neonatorum (terutama pada anak-anak)
adalah penyakit epidermolitik yang gawat darurat disebabkan oleh toksin yang ditandai
dengan eksantema generalisata, lepuh yang luas disertai erosi dan deskuamasi
superfisial. Penyakit ini umumnya terjadi pada bayi yang baru lahir, dengan timbulnya
lepuh yang luas di seluruh permukaan kulit yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif
yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus1
2.2 Etiologi
Bakteri Staphylococcus merupakan penyebab infeksi piogenik kulit yang sering dan
merupakan spesies yang sangat patogen. Bakteri ini mampu menimbulkan penyakit-
penyakit yang berspektrum luas pada manusia dimulai dari penyakit yang disebabkan
oleh toksin seperti toxic shock syndrome, sampai penyakit seperti septicemia,
endocarditis, pneumonia dan osteomyelitis. Tidak seperti bakteri pada umumnya,
Staphylococcus aureus mengeluarkan protein ekstraselular yang beragam, yang
memperkuat virulensi pada bakteri ini. Beberapa faktor virulen yang dihasilkan
menyebabkan toksin yang sering ditemukan antara lain Toxic Shock Syndrome Toxin
1 (TSST-1), enterotoxins dan exfoliative toxins (ETs).2
2.3 Patofisiologi
Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom
merupakan bagian dari sel kulit yang bertanggung jawab sebagai perekat sel-sel kulit.
Desmosome adalah intercelluler adhesive junction yang diekspresikan oleh sel epitel
dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress
mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.
Desmosom disusun oleh struktur yang dikenal dengan desmoglein (Dsg). Dsg
memiliki tiga isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3.
Toksin eksfoliatif (ETs) dari bakteri Staphylococcus merupakan serin protease, dimana
merupakan enzim yang melisiskan desmoglein 1 sehingga kulit menjadi tidak utuh
terutama di bagian epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum. Proses ini
menyebabkan terbentuknya bula berdinding tipis yang mudah pecah sehingga
menunjukkan Nikolsky’s sign yang positif. 3,4
Pada SSSS, lesi yang timbul hanya terbatas pada permukaan kulit dan tidak
mengganggu susunan di mukosa dan bagian kulit yang lebih dalam. Fenomena ini dapat
dijelaskan bahwa penghancuran dari desmoglein sangat selektif, dimana toksin tersebut
hanya menghidrolisis Dsg-1. Ekspresi dari Dsg-1 terdapat di semua lapisan kulit,
namun Dsg-3 hanya diekspresikan di strata yang lebih dalam. Sehingga, jika terjadinya
gangguan pada Dsg-1 pada strata yang lebih dalam, dapat dikompensasi oleh Dsg-3,
dan eksfoliasi hanya terjadi pada stratum granulosum dimana tidak ditemukan Dsg-3.
Namun, toksin eksfoliatif dari S. aureus dapat membentuk lesi sistemik, seperti
pada SSSS. Pada umumnya, SSSS diawali dengan infeksi dan gejala prodromal yang berkembang
dalam waktu yang cepat dan menimbulkan lesi khas di kulit. Gejala infeksi seperti pada konjungtivitis,
otitis media, infeksi salurah pernafasan atas atau disebabkan oleh infeksi kulit seperti impetigo dapat
menjadi pencetus. Pada anak yang baru lahir, infeksi tali pusat dapat mencetus keadaan SSSS. Infeksi
menjadi sarang utama bakteri Staphylococcus menghasilkan toksin kedalam tubuh penderita.5
Keluhan infeksi ini disertai dengan gejala prodromal seperti gelisah, malaise, dan demam
Timbulnya bercak merah tanpa batas tegas disertai dengan nyeri tekan pada kulit
nyeri meluas pada kulit terutama di daerah lipatan, leher, axilla, selangkangan dan
muka yang kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam.5
Dalam waktu 24-48 jam, permukaan kulit membentuk bula yang luas dengan dinding
yang keruh, dimana mudah pecah. Jika kulit yang tampaknya normal ditekan dan
digeser kulit tersebut akan terkelupas sehingga memberi tanda Nikolsky positif. Jika
bula pecah akan meninggalkan kesan seperti terbakar.5
Dua sampai tiga hari kemudian, lapisan paling atas kulit mengeriput dan terjadi
pengelupasan lembaran kulit
. Tanda-tanda erosif seperti luka terbuka yang lembab, merah serta nyeri. Pada tahap
ini lesi kulit yang terkelupas dapat dikatakan luas dan tampak membahayakan untuk
penderita, namun yang lebih membahaykan jika penderita mengalami komplikasi
seperti septisemia dan pneumonia. Kulit yang terkelupas ini merupakan sumber
penyebab dehidrasi, gangguan pengaturan suhu tubuh dan penyebab utama infeksi
sekunder. Luka terbuka ini akan mengering dan terjadi deskuamasi. Kondisi seperti ini
dapat sembuh dalam waktu 7-14 hari tanpa adanya sikatriks.5
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan kedua kelainan ini adalah tes
Tzanck ataupun pemeriksaan histopatologis. Tes Tzanck merupakan pemeriksaan yang
biasanya dilakukan untuk mendeteksi infeksi herpes, namun pada beberapa keadaan tes
ini dapat digunakan untuk membedakan lesi – lesi bula seperti pada SSSS dan
SJS/TEN, pada SSSS akan ditemukannya sel akantolisis yang mana tidak akan
ditemukan pada pasien dengan SJS/TEN. Setelah ditemukannya pemeriksaan
histopatologis, pemeriksaan tzanck semakin ditinggalkan sehingga pemeriksaan
histopatologis lebih sering dilakukan pada klinis. Secara histopatologis pada SSSS
ditemukan adanya pemisahan yang terjadi pada lapisan stratum granulosum dan
ditemukannya akantolisis subgranular superfisial sementara pada SJS/TEN ditemukan
terjadinya nekrosis total pada bagian epidermis 5,7
Impetigo bulosa
Impetigo bulosa merupakan salah satu bentuk atau varian dari impetigo, impetigo
merupakan suatu infeksi bakteri superfisial yang menyerang pada bagian epidermis
dimana penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes.
Sama halnya dengan SSSS, impetigo bulosa juga diakibatkan pada pengeluaran racun
oleh bakteri yang mengakibatkan reaksi pada kulit, namun pada impetigo infeksi hanya
sebatas local berbeda dengan SSSS yang sistemik.5
2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan kasus SSSS membutuhkan terapi
kombinasi yang digunakan tidak hanya untuk mengobati masalah utama pada pasien
namun juga untuk mengobati gejala simtomatis dan juga komplikasi yang dapat terjadi
hingga pengobatan yang bersifat pendukung.8
Pemeriksaan awal seperti kultur dan sensitivitas antibiotik dapat dilakukan untuk
membantu pilihan terapi obat jika penanganan awal pada antibiotik tidak menunjukkan
perbaikan, selain itu pemeriksaan spesifik untuk skrining Methicillin - Resistant S.
aureus (MRSA) juga dapat dilakukan.8
Antibiotik
Pada SSSS progresivitas dari penyakit akan terus berlanjut dalam waktu
24 sampai 48 jam setelah serangan dan bersifat cepat sampai eksotoksin yang
tersebar secara sistemik akan dinetralisasi atau dikeluarkan oleh ginjal,
Sehingga pemberian antibiotik awal secepat mungkin sangat penting dilakukan.
Penggunaan Systemic penicilinase - resistant penicillin dianjurkan pada semua
pasien dengan SSSS, hal tersebut dikarenakan pada penggunaannya juga akan
bekerja pada infeksi dengan methicillin-sensitive S. aureus.
Perawatan kulit
Perawatan kulit pada pasien dengan SSSS juga sangat penting
dikarenakan perawatan kulit akan membantu untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan juga membantu kulit untuk proses penyembuhan. Menjaga
kebersihan dengan membersihkan luka dengan steril akan membantu untuk
mencegah infeksi sekunder, pada area yang terkelupas harus dibalut dengan
kain kasa yang diberikan campuran sulfadiazine cream dan parafin secara
lembab, namun pemberian ini hanya dilakukan jika luka kecil, jika luka luas
maka pemberian sulfadiazine direkomendasikan untuk dihindarkan
dikarenakan dapat mengakibatkan racun yang diserap pada kuli.8
Terapi suportif
Pada pasien dengan SSSS pasien sangat disarankan untuk menjaga
nutrisinya agar dapat menghindari penurunan berat badan, kehilangan protein
dan dapat membantu dalam proses penyembuhan agar pasien dapat memiliki
daya tahan tubuh dalam proses penyembuhan. Hal yang perlu diperhatikan juga
adalah mengondisikan pasien senyaman mungkin dengan menjaga suhu 37 - 38
C agar tidak terjadinya kehilangan cairan yang berlebih dikarenakan tubuh
harus menjaga suhu tubunya. Pengendalian atau penanganan pasien dengan
SSSS juga harus memperhatikan kebersihan sehingga penanganan untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, selain itu juga penanganan kontak
dengan pasien dikurangi sebisa mungkin untuk mencegah kerusakan kulit lebih
luas dan mencegah provokasi nyeri pada pasien10
1. Conway D.G., Lyon R.F., Heiner J.D. (2013) A desquamating rash; staphylococcal scalded
skin syndrome. Ann. Emerg. Med: 118–119
2. M.Z. Handler, R.A. Schwartz. (2014). Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis
and management in children and adults.
3. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR.(2016). Toxin in Bullous Impetigo
and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1.6: 1275-7.
4. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. (2011). Desmosomal adhesion
regulates epithelial morphogenesis and cell positioning Nat Cell Biol. 3: 823-30
5. Wolff, Klaus.et al. (2012) Fitzpatrick’s The Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Austria: The McGraw-Hill Companies: 8th edition. 2148-58
6. Luk N.M. (2012) Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS).Hong Kong
Dermatology & Venereology Bulletin; 10 (1): 25.
7. Aydin D, Alsbjørn B. Staphylococcal scalded skin syndrome in a 5-year-old child, case
report. Clin Case Rep. 2016;4(4):416–9.
8. Dinges M.M., Orwin P.M., Schlievert P.M. Exotoxins of Staphylococcus aureus. Clin.
Microbiol. Rev. 2013;15-19
9. Blyth M, Estela C, Young AE. (2012) Severe staphylococcal scalded skin syndrome in
children. Burns 98–103.
10. Meshram G.G, Kaur N & Hura K. S. (2018). Staphylococcal scalded skin syndrome: A
pediatric dermatology case report
11. BS Badon H, King Joy, Brodell T. Robert, Byrd Adam, Distinguishing Features:
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome vs. Toxic Epidermal Necrolysis.