Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tetanus


Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani. 1,2.4
Tetanus disebut juga dengan "Seven Day Disease". Tetanus tergolong dalam
penyakit yang dapat dicegah. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat bakteri C.
tetani tersebut akan menghasilkan pencegahan dari tetanus. 1,2.4

2.2. Sejarah Tetanus


Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”.
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3.000 tahun yang
lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia
yang tiada akhir”. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan
tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia
penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus
pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil
mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa
organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan.
Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi
spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif
antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini
digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama Perang Dunia I.
Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun

3
4

1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II.4,5,6

2.3. Epidemiologi Tetanus


Tetanus merupakan penyakit yang bisa mengenai banyak orang, tidak
memperdulikan umur maupun jenis kelamin. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
melaporkan peningkatan tingkat kematian dari tetanus, terkait dengan vaksinasi
dalam beberapa tahun terakhir. WHO memperkirakan kematian tetanus di seluruh
dunia pada tahun pada tahun 2011 pada 14.132 kasus. Namun, dari kasus-kasus
ini, prevalensi tetanus masih lebih tinggi secara tidak proporsional (beberapa
penelitian menunjukkan 135 kali lebih tinggi) lebih tinggi di negara berkembang
daripada tingkat di negara maju, dengan tingkat kematian 20% hingga 45% dengan
infeksi. Angka kematian bervariasi berdasarkan ketersediaan sumber daya, dan
pengobatan dini. 1,2.4
Insiden tetanus neonatal menurun karena vaksinasi rutin (DPT) di seluruh
dunia yang dikombinasikan dengan vaksin lain, Pertusis dan Difteri. Terjadinya
tetanus di kalangan neonatus sebagian besar disebabkan oleh vaksinasi bayi yang
tidak lengkap. Pada tahun 2013, sekitar 84% anak-anak kurang dari 12 bulan
memiliki cakupan tetanus di seluruh dunia. 1,2.4
Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, kasus tetanus terjadi pada
orang yang tidak diimunisasi atau pada orang tua yang mengalami penurunan
kekebalan sepanjang waktu. Pengguna narkoba intravena juga berisiko dengan
jarum atau obat-obatan yang terkontaminasi. 1,2.4

2.4. Etiologi Tetanus


Tetanus disebabkan oleh infeksi dari bakteri Clostridium tetani, yang
ditemukan di tanah, debu atau kotoran hewan, tergolong bacillus anaerobik yang
bersifat gram positif. Bakteri ini dan spora lebih sering ditemukan di iklim panas
dan basah di mana tanah kaya dengan bahan organik. C. tetani dapat masuk ke
tubuh manusia melalui tusukan luka, laserasi, kerusakan kulit, atau inokulasi

.
5

dengan jarum suntik atau gigitan serangga yang terinfeksi. Populasi berisiko tinggi
termasuk mereka yang belum divaksinasi, pengguna narkoba intravena, dan
mereka yang imunosupresi. Penyebab lain infeksi telah didokumentasikan melalui
prosedur bedah, suntikan intramuskular, infeksi gigi, dan gigitan anjing.7

Gambar 2.1. Clostridium tetani

2.5. Patogenesis Tetanus


Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari
sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob
yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.
Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif.
Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem
saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis.4,5,6,7,8

.
6

Gambar 2.2 Gambar skematis struktur tetanospasmin

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat


obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium
tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini
berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek
klinis.4,5,6,7.8

.
7

Gambar 2.3. Patofisiologi Tetanus

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke


susunan saraf pusat:
1. Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui
jaringan perineural ke susunan saraf pusat,
2. Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.4,5,6,7,8

Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada
mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat. Setelah stimulasi saraf perifer dan kranial, asetilkolin
biasanya dilepaskan dari vesikel end plate. Asetilkolin kemudian mengikat
reseptor spesifik pada otot, dan merangsang kontraksi. Relaksasi otot biasanya
disebabkan oleh glisin (G) rilis dari interneuron inhibitor. Glycin bekerja pada
neuron motorik untuk memblokir eksitasi dan pelepasan asetilkolin (A) pada end
plate motor. Akibat toksin tetanus (tetanospasmin) berikatan dengan interneuron

.
8

untuk mencegah pelepasan glisin dari vesikel, mengakibatkan kurangnya sinyal


penghambatan ke motor neuron. Penyumbatan rilis glysin menyebabkan kontraksi
kejang otot seperti spasme rahang dan otot leher (lockjaw).4,5,6,7,8

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Toksin Tetanus

Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah


vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu
ikatan peptide tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid
(GABA). Mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin
sehingga terjadi eksitasi terus menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat
masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum
belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris
pada dada, perut dan mulia timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks

.
9

cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. 4,5,6,7,8
Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan
neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang
otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan
hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan
kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan
membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan
durasi penyakit ini.4,5,6,7,8

Gambar 2.5 Alur Mekanisme Kerja Tetanus

.
10

2.6. Klasifikasi Tetanus


Tetanus dapat mengenai semua golongan usia. Ada beberapa batasan
mengenai penyakit tetanus, khususnya pada neonates dan maternal. Tetanus pada
neonatus dan maternal, biasanya berhubungan erat dengan hygiene serta sanitasi
saat proses melahirkan. Neonatal tetanus didefinisikan sebagai suatu penyakit
yang terjadi pada anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan
menangis pada 2 hari pertama kehidupannya tapi kehilangan kemampuan ini
antara hari ke-3-28 serta menjadi kaku dan spasme. Maternal tetanus didefinisikan
sebagai tetanus yang terjadi saat kehamilan sampai 6 minggu setelah selesai
kehamilan (baik dengan kehamilan maupun abortus). Sedangkan pada dewasa
Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau kontraksi otot yang
mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot
menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan
sebelumnya. 8,9,10,11,12

2.6.1.Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan
tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-
otot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat
bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-lahan menghilang. Tetanus
lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya
ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal hanya
1%.8,9,10,11,12

2.6.2.Tetanus sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden
sekitar 6%) dan merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi
otot-otot nervus kranialis terutama di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul
setelah otitis media kronik maupun cidera kepala (kulit kepala, mata dan

.
11

konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat timbul
dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII
(paling sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat
paralisis nervus III. Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general.
Tingkat mortalitas yang dilaporkan tinggi, yaitu 15-30%.8,9,10,11,12

Gambar 2.6 Paralisis nervus fasialis kiri

2.6.3.Tetanus general
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari
tetanus general adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut
akibat spasme otot maseter. Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan
leher, kesulitan menelan, rigiditas otot abdomen, dan peningkatan temperatur 2-
4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah menyebabkan wajah penderita
tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile).
Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk
lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan
dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti
papan.8,9,10,11,12
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh
merupakan karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara
intermiten, ireguler, tidak dapat diprediksi, dan berlangsung selama beberapa

.
12

detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang bersifat ringan dan terdapat
periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang menimbulkan nyeri dan
kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu berbagai
stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau
sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara
dingin, suara, cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum
dapat memicu spasme paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak
dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien dengan tetanus general
menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan pasien dan
dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering
ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus.
Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang
bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia,
dan aritmia jantung. 8,9,10,11,12
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami
nyeri hebat pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu,
yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah
berada intraaksonal, setelah antitoksin diberikan. Apabila antitoksin tidak
diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa bulan sampai
produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan
neuromuscular junction yang baru. 8,9,10,11,12

Risus Sardonikus Opistotonus


Gambar 2.7 (1) Risus sardonikus; (2) Opistotonus

.
13

2.6.4.Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses
pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun
obat-obatan yang terkontaminasi spora C. tetani. Kebiasaan menggunakan alat
pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril merupakan faktor
utama dalam terjadinya tetanus neonatorum. 8,9,10,11,12
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala
awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir.
Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus
sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus. 8,9,10,11,12

Gambar 2.8 Tetanus neonatorum

2.7. Manifestasi Klinis Tetanus


Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3-12 hari, namun dapat singkat 1-2
hari dan kadang lebih satu bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk
prognosis. Terdapat hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium
tetani dengan susunan saraf pusat, dengan interval antara terjadinya luka dengan
permulaan penyakit. Makin jauh tempat invasi, masa inkubasi makin panjang.
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung

.
14

hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa
inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya.1,5,6,9,11
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi
dalam tiga tahap, yaitu :
a. Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan
gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot.
Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus
dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung.
b. Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah
(Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang
meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka
sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah
penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonicus), karena tarikan dari
otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa
disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala
penderita akan tertarik ke belakang (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi
48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul
yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan
menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara
berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan
gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
c. Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah
kejang refleks. Biasanya hal ini terjadi beberapa jam setelah adanya kekakuan
otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula
karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-

.
15

bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat,
tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang
lebih sering. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis),
tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah,
bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.
Pernafasan pun juga dapat terhenti karena kejang otot ini, sehingga beresiko
kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya
saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat
menelan.1,5,6,9,11

Gambar 2.9 Opisthotonus

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang
melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi
mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering.
Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan
sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi

.
16

selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4
minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.1,5,6,9,11
Tetanus berat berkaitan dengan hyperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme
otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah
spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya
dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi.
Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini
silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba.
Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya
sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.1,5,6,9,11
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme
paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan rupture otot spontan dan
hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi,
biasanya pada vertebrathorakalis.4 Gagal ginjal akut merupakan komplikasi
tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan
gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus
peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis
vena, dan thromboemboli.1,5,6,9,11

2.8. Diagnosis Tetanus


Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dibandingkan berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah
pada daerah dengan insiden tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-
negara berkembang dimana tetanus jarang ditemukan. Selain trismus,
pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks tendon dalam
yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan
sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara
lokal maupun general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2
minggu terakhir dan secara umum tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus

.
17

toksoid yang jelas.1,5,6,9,11


Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada
hanya sekitar sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat
bahwa isolasi C. tetani dari luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah
menderita tetanus. Frekuensi isolasi C. tetani dari luka pasien dengan tetanus
klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set spesimen pada suhu 80°C
selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif mikroorganisme
kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi.1,5,6,9,11
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan
cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot.
Hasil elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak
membantu diagnosis. Pada kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung
elektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T. Sinus takikardia juga
sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada pasien
yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi.
Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar
antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif. 1,5,6,9,11
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan
penyakit. Beberapa sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah
skor Phillips, Dakar, Ablett, dan Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus
bertindak sebagai penentu prognosis. 1,5,6,7,9,11

.
18

Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus


Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Internal dan umbilikal 5
Leher, kepala, dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 8
Status neonatus) 4
imunisasi > 10 tahun yang lalu 2
< 10 tahun yang lalu 0
Imunisasi lengkap
10
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 4
Faktor Keadaan yang tidak mengancam nyawa 2
pemberat Trauma atau penyakit ringan 1
ASA derajat I

Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan

.
19

didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan faktor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan
dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18
tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat. 1,5,6,7,9,11

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak
ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.

.
20

Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan Udwadia
(1992) kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor
Udwadia. 1,5,6,7,9,11,12

Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia


Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.

.
21

Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar,


Senegal pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga
hari setelah muncul gejala klinis pertama.1,5,6,7,9,11

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus


Faktor prognostik Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
uterus, fraktur terbuka, luka Penyebab lain dan penyebab
Tempat masuk
operasi, injeksi yang tidak diketahui
intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Takikardia
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:


 Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
 Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
 Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
 Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%.1,5,6,7,9,11

2.9. Diagnosis Banding Tetanus


Untuk membedakan diagnosis banding dari tetanus, dapat dinilai dari
pemeriksaan fisik, tes laboratorium (dimana cairan serebrospinal normal dan
pemeriksaan darah rutin, sedangkan SGOT, CPK dan SERUM aldolase dapat
meninggi karena kekakuan otot-otot tubuh), serta riwayat imunisasi yang lengkap

.
22

atau tidak lengkap, kekakuan otot-otot tubuh), risus sardinicus dan kesadaran yang
tetap normal.
a. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada, kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, dimana adanya
kelainan cairan serebrospinal yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein
meningkat dan glukosa menurun.
b. Poliomyelitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibody meningkat.
c. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
d. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofosfatemia dimana kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot ialah karpopedal
spasme dan biasanya diikuti dengan laringospasme, jarang dijumpai
trismus.2,12,13

2.10. Manajemen Pasien Tetanus


Manajemen tetanus meliputi pemberian antitetanus human
immunoglobulin, imunisasi, antibiotik, deberidement luka jika diperlukan, serta
observai spasme otot dan instabilitas otonom. Prosedur pembedehan seperti
deberidement dan trakeostomi sangat diperlukan pada pasien dengan tetanus.
Banyak penelitian menyatakan bahwa prosedur tersebut membutuhkan
manajemen anestesi yang baik.3,6,7,8,9,15
Semua pasien yang dicurigai atau telah dipastikan menderita tetanus harus
mendapatkan perawatan di Intensif Care Unit (ICU). Untuk mengurangi risiko

.
23

timbulnya spasme otot, pasien tetanus dianjurkan untuk mendapatkan perawatan


diruangan yang gelap dan tenang. Selama perawatan, jalan napas harus tetap
dipertahankan dan dipantau setiap saat, apabila terjadi Respiratory Distress
Syndrome harus segera dilakukan intubasi. Data menyebutkan bahwa penyebab
kematian pada pasien tetanus di negara berkembang disebabkan karena
terjadinya laringospasme tiba-tiba, paralisis otot diafragma, dan kontraksi otot-
otot pernapasan yang inadekuat.3,7,8,15
Secara umum terdapat tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
1. Menetralisasi toksin yang tidak terikat
2. Membuang sumber tetanospasmin
3. Perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan
dengan jaringan telah habis dimetabolisme.3,6,7

2.10.1. Netralisasi Toksin Tetanus


Netralisasi toksin yang tidak terikat oleh antitoksin harus diberikan untuk
menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan. Setelah evaluasi awal, Human
Tetanus Immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan secara intramuskuler
dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Meskipun sampai saat ini belum terdapat
konsensus dosis tepat HTIG, namun British National Formulary telah
merekomendasikan dosis HTIG adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk
bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG memiliki waktu paruh
yang panajang 25-30 hari sehingga tidak membutuhkan pengulangan. Makin
cepat pengobatan diberikan, makin efektif.3,7,8,15,16,17,18,19
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen Human Immunoglobulin sebelumnya.
Trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain dapat menjadi
kontraindikasi pemberian intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan

.
24

Anti Tetanus Serum (ATS) dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan


50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama,
kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari
kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus
diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh
dari tetanus tidak memiliki kekebalan.3,7,8,15,16,17,18,19

2.10.2. Membuang Sumber Tetanospasmin


Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Kemudian diberikan antibiotika untuk mengeradikasi bakteri.3,6,16,17,18,19
Pasien dengan tetanus ringan yang memerlukan deberidement harus
dianestesi secara mendalam dan mungkin perlu pelumpuh otot untuk mencegah
terjadinya krisis hipertensi dan spasme otot selama prosedur pembedahan
dilakukan.3,6,7,8,9,15,20
Menghindari pemberian stimulasi dan premedikasi yang tidak perlu
menggunakan obat penenang (sedativa) dan analgesik wajib dilakukan.
Manajemen awal kejang otot meliputi sedasi dan ruangan gelap yang tenang.
Benzodiazepin, barbiturat, antikonvulsan, narkotika, baclofen, dantrolene, dan
propofol telah terbukti berhasil digunakan. Benzodiazepin meningkatkan asam
gamma amino butyric acid (GABA) agonism, dengan menghambat inhibitor
endogen pada reseptor GABA. Diazepam dapat diberikan dengan berbagai rute,
tetapi membutuhkan waktu yang lama untuk dimetabolisme (oxazepam dan
desmethyldiazepam) dan dapat menyebabkan akumulasi dan koma
berkepanjangan. Midazolam telah digunakan dengan tingkat akumulasi yang
rendah. Sedasi tambahan dapat diberikan menggunakan phenobarbitone (yang
lebih meningkatkan aktivitas GABAergic) dan chlorpromazine. Baclofen benar-
benar meredakan kejang saat diberikan melalui rute intratekal, tetapi membawa

.
25

risiko depresi pernafasan yang signifikan. Penggunaan Dantrolene sebagai


pengontrol spasme juga telah banyak dilaporkan. 3,6,7,8,9,15,20
Jika benzodiazepin gagal untuk mengendalikan spasme, maka diperlukan
penggunaan relaksan otot nondepolarisasi. Zat-zat non depolarisasi menempati
reseptor pascasinaptik, mencegah transmisi neuromuskular asetilkolin oleh
inhibisi kompetitif dan menghasilkan relaksasi otot. Obat penghambat
neuromuskular dengan molekul steroid harus dihindari mengingat terjadinya
kelemahan yang berkepanjangan. Pancuronium dapat memperburuk hipertensi
dan takikardia pada kasus berat. Terdapat banyak hasil penelitian yang telah
melaporkan bahwa Vecuronium, atracurium, dan rocuronium telah digunakan
dengan sukses. Penggunaan obat golongan Depolarisasi neuromuskular blocker
seperti suksinilkolin harus digunakan dengan hati-hati, karena dapat memicu
hiperkalemi. Hal ii mungkin terkait dengan gagal ginjal akut yang menyebabkan
hiperkalemia atau mioglobinuria. Sedasi dengan propofol mengontrol kejang dan
kekakuan tanpa penggunaan obat penghambat neuromuskular.3,6,7,8,9,15,20
Anestesi spinal juga telah banyak digunakan untuk debridement
ekstremitas bawah pada pasien dengan tetanus ringan. terdapat beberapa literatur
yang telah menguji keamanan volatile anestesi. Agen volatile anestesi akan
meningkatkan aktivitas inhibitori reseptor pasca-sinaps dan menghambat
aktivitas stimulus saraf simpatis. Sevoflurene mengurangi agen tetanus dan
memungkinkan kontrol saluran pernapasan dan ventilasi.3,6,7,8,9,15,20
Untuk pasien dengan tetanus berat, gangguan elektrolit akibat disfungsi
ginjal yang disebabkan oleh tetanus harus dikoreksi sebelum tindakan operasi
berlangsung. Pemantauan invasif harus diutamakan, dan obat-obatan intravena
untuk manajemen intraoperatif dari keadaan darurat harus disiapkan. Idealnya,
pasien harus dipertimbangkan untuk prosedur bedah seperti debridement dan
trakeostomi sebelum terjadi disfungsi otonom yang parah.3,6,7,8,9,15
Antibiotika diberikan dengan tujuan untuk mengeradikasi bakteri,
meskipun efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal.

.
26

Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan utama


di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara intravena
dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis 30 mg/kgBB/hari
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman
C. tetani bentuk vegetatif.3,7,8,15,16,17,18,19
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun), dan
sebagai pilihan lain dapat juga digunakan Chloramphenicol atau Clindamycin.
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian
penicillin G dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari intravena, setiap 6 jam selama
10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama
(GABA).3,7,8,15,16,17,18,19

2.10.3. Pengobatan suportif


Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek
toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan
risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien
sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan agar
mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan
elektrolit serta analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.3,7,8,15,16,17,18,19
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme
laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi.
Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus

.
27

dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres


pernapasan.3,7,8,15,16,17,18,19
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil
kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi spasme
dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8
mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera
dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10
mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau diazepam intravena
untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk
bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk
menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari.
Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan
pernapasan.3,7,8,15,16,17,18,19
Tambahan efek sedasi bisa didapat dari barbiturate khususnya
phenobarbital dan phenothiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat
menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital diberikan
dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah
dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam
dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine
bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi
benzodiazepine. Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine,

.
28

dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan Intermittent Positive-


Pressure Ventilation (IPPV).3,7,8,15,16,17,18,19
Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari
karena efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai pilihan.
Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus
berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme
mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus
sebesar 52,6%. Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan
penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab penting
kematian.3,7,8,15,16,17,18,19
Pencegahan komplikasi respirasi meliputi maintanance airway yang
sangat teliti, fisioterapi dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur
invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom. Instabilitas
otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality ratenya
11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai
gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps
sirkulasi sering menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu
takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan
berkeringat sering, tampak beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti
jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh kombinasi
kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada
miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan
hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan
sinus arrest, dikatakan karena kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin
tetanus. Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah
membutuhkan obat-obatan dengan waktu paruh singkat.3,7,8,15,16,17,18,19
Terapi konvensional terdiri dari sedasi sebagai terapi lini pertama,
menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan/atau chlorpromazine.

.
29

Namun saat ini, magnesium sulfat intravena sedang dicoba untuk


mengendalikan spasme dan disfungsi otonom, dosis loading 5 g (atau 75
mg/kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah
digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk
menghindari overdosis, harus tetap dimonitor reflek patella. Beta blocker dapat
menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan
penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis
tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak
ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk instabilitas
otonom. Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas
simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi
sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena
disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme,
menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis. Nutrisi
parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah
cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme
protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme
protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas
sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah
spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan
dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi. Emboli paru juga merupakan
salah satu penyebab kematian, sehingga banyak digunakan antikoagulan secara
rutin seperti heparin subkutan, namun risiko thromboemboli dan perdarahan
harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan
pelumpuh otot.3,7,8,15,16,17,18,19

.
30

Kontrol Disfungsi Otonom


Disfungsi otonom adalah komplikasi paling serius yang terjadi dengan
tanda-tanda hipertensi, takikardia, aritmia, banyak berkeringat, demam,
peningkatan CO2, peningkatan katekolamin, dan kemudian hipotensi.
Propranolol, labetolol, dan esmolol telah berhasil digunakan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut. Clonidine akan mengurangi kerja sistem simpatis,
dengan demikian akan mengurangi tekanan arteri, denyut jantung, dan terjadi
pelepasan katekolamin dari medulla adrenal. Efek bermanfaat lainnya termasuk
obat penenang dan ansiolisis. Epidural mepivicaine dan spinal bupivacaine juga
telah dilaporkan untuk mengurangi ketidakstabilan kardiovaskular.3,6,7,8,9,15
Magnesium yang merupakan penghambat neuromuskular presinaptik,
akan memblokir pelepasan katekolamin dari saraf dan medula adrenal.
Magnesium juga dapat digunakan sebagai antikonvulsan dan vasodilator yang
telah digunakan untuk mengobati kejang dan disfungsi otonom. Pada
penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan kelemahan, sedasi, hipotensi,
dan bradiaritmia bersama dengan penurunan volume tidal, batuk, dan
peningkatan sekresi sistem respiratori. Pemantauan rutin kadar magnesium dan
kalsium serum diperlukan dan dukungan ventilasi harus segera tersedia.
Beberapa obat menunjukkan potensi untuk digunakan di masa depan. Sodium
valproate menghambat katabolisme GABA, sehingga mencegah efek klinis
toksin tetanus. Dexmedetomidine yang merupakan agonis α2-adrenergik, dapat
mengurangi overaktivitas simpatis. Sedangkan adenosin akan mengurangi
pelepasan norepinefrin presinaptik dan antagonis efek inotropik
katekolamin.3,6,7,8,9,15,20

2.11. Pencegahan Tetanus


Pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satusatunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan dengan

.
31

pemberian imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara
pemberian imunisasi aktif (DPT atau DT). Mencegah tetanus melalui vaksinasi
adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus
diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus) Bagi yang
sudah dewasa sebaiknya menerima booster. Selain itu perawatan luka yang benar
dan anti tetanus serum untuk profilaksis.5,14,15,20

2.12 . Komplikasi Tetanus


1. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme dapat terjadi pada otot-otot pernapasan dan spasme otot
laring dan seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena
akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan air liur dan makanan dan
minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi, atelektasis akibat
obstruksi oleh secret. Pneumothoraks dan mediastinal emfisema biasanya
terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2. Pada kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3. Pada tulang dan otot


Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang
terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa.

4. Komplikasi yang lain


a. Laserasi lidah akibat kejang
b. Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja

.
32

c. Demam yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
d. Kematian yang dapat terjadi akibat komplikasi, yaitu: bronkopneumonia,
cardiac arrest, septikemia dan pneumothoraks. 2,12,13

2.13. Prognosis Tetanus


Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasinya makin ringan penyakitnya, sebaliknya
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila
inkubasi < 7 hari tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin
buruk.
3. Onset
Onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadinya kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosanya dapat
buruk.
4. Demam
Pada tetanus tidak selalu ada febris. Adanya hiperpireksia prognosanya
jelek.
5. Pengobatan yang terlambat prognosanya buruk.
6. Frekusensi kejang Semakin sering prognosanya makin buruk.1,2,12,13

Anda mungkin juga menyukai