Anda di halaman 1dari 12

1.

A) 3 tipe morfologis corynebacterium difteri :


- Mitis
- Gravis
- Intermedius

B) Patofisiologi Difteri

C Difteri masuk lewat mukosa/kulit dan saluran napas  menempel dan


berkembang biak di permukaan mukosa saluran napas  mengeluarkan
toksin yang terdiri atas fragmen A dan fragmen B  Fragmen A
mengganggu proses translokasi dan fragmen B berfungsi untuk
melekatkan toksin di reseptor  Sel yang terinvasi mati karena gagal
melakukan translokasi  terjadi nekrosis di daerah kolonisasi bakteri 
terjadi inflamasi lokal bersama jaringan nekrotik terbentuk bercak
eksudat  produksi toksin meningkat sehingga terbentuk eksudat fibrin 
sel lapisan terluar dari bercak eksudat rusak  terbentuk pseudomembran
putih keabuan yang berisi sel radang, eritrosit dan epitel sehingga saat
dilepas mudah berdarah.

C) Perbedaan pseudomembran dan membran


Membran : Lapisan jaringan tipis
Pseudomembran : pseudo berasal dari bahasa yunani yang artinya palsu
sedangkan membran adalah lapisan jaringan tipis, pseudomembran adalah
lapisan jaringan tipis yang palsu (bukansesungguhnya).

D) Perbedaan Makrofag dan Monosit


Monosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berada pada aliran
darah. Monosit akan masuk ke jaringan dan berubah menjadi makrofag saat ada
peradangan.

D) Pemberian imunisasi difteri pada penderita difteri

Pasien difteri perlu mendapatkan imunisasi toksoid difteri. Imunisasi


diberkan sedikitnya 2-6 minggu setelah pemberian ADS. ADS merupakan anti
dfiteri serum yang terbuat dari plasma kuda berisi antitoksin terhadap toksin yang
dihasilkan oleh bakteri c difteri. Imunisasi pada pasien difteri diberikan setelah
ADS tidak beredar lagi didalam tubuh sehingga toksin diftri yang dilemahkan
yang terdapat dalam vaksin dapat bekerja membentuk antibodi

2. Pemberian ADS secara besredka (desensitisasi)

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit/uji mata. Jika hasil positif
(undurasi >10mm), maka ADS diberikan secara besredka

Protokol Besredka ( CDC protocol )


0,05 cc ADS murni dioplos menjadi 1 cc  Sub Kutan

0,1 cc ADS murni dioplos menjadi 1 cc  subkutan

0,2 cc ADS murni  subkutan

0,5 cc ADS murni  Intra muskular

1 cc ADS murni  Intra Muskular

2 cc ADS murni  Intra Muskular

4 cc ADS murni  Intra Muskular

4 cc ADS murni  Intra Muskular

4 cc ADS murni  Intra Muskular

4 cc ADS murni  Intra Muskular

Pemberian dalam jarak 15 menit

3. A) Sediaan Epinefrin / adrenalin


Ampul 1:1000 ( 1 mg/ 1 ml)

B) Penggunaan epinefrin pada syok anafilaktik

Anafilaksis  nilai A,B,C  berikan oksigen dan pantau saturasi 


berikan epinefrin IM 0,01 mg/kgbb dari larutan 1:1000 (1mg/ml) dosis max 0,3
mg

C) Penggunaan epinefrin pada resusitasi neonatus

Epinefrin pada resusitasi neonatus diberikan setelah pemberian VTP dan


kompresi dada serta dilakukan intubasi namun heart tidak mencapai yang
diinginkan.Epinefrin 1:10.000(1cc epinefrin 1:1000 + 9cc normal saline).
Diberikan secara intravena dengan dosis 0.01-0.03 mg/kgbb atau secara
endotrakeal dengan dosis 0.05 – 1 mg/kgBB

4. Metode pemeriksaan GeneXpert


GeneXpert adalah pemeriksaan molekular yang menggunakan metode
Real Time Polymerase Chain Reaction Assay (RT-PCR) semi kuantitatif yang
menargetkan wilayah hotspot gen rpoB pada M. tuberculosis, ang terintegrasi dan
secara otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi DNA dalam cartridge sekali
pakai.
GeneXpert dapat mendeteksi kuman TB dengan minimal 131 kuman/ml
sputum. Waktu pemeriksaan <2 jam dan alat mudah digunakan.
Metode: sputum diinkubasi selama 15 menit di suhu ruangan  sputum
diambil dengan pipet khusus  dimasukkan ke dalam cartridge  cartridge
dimasukkan ke dalam alat GeneXpert  selama kurang lebih 2 jam sputum akan
diproses dalam alat tersebut secara otomatis.

5. Perbedaan TB pada anak disbanding dewasa


 Diagnosis pasti lebih sulit ditegakkan karena:
o Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit,
karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar
limfe hilus dan perenkim paru bagian perifer. Sedangkan untuk
mendapatkan hasil BTA positif dibutuhkan minimal 5000 kuman
dalam 1 spesimen.
o Sulitnya pengambilan specimen/sputum. Pada anak lokasi
kelainannya di parenkim bagian perifer yang tidak berhubungan
langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada atau
minimal dan gejala batuk juga jarang.
Maka untuk menentukan diagnosis TB anak selain pemeriksaan
mikroskopis bakteriologis dibutuhkan sistem scoring.

 Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak tidak ada manifestasi
respiratorik yang menonjol. Focus primer TB paru pada anak
umumnya terdapat pada parenkim yang tidak mempunyai reseptor
batuk, akan tetapi gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul
bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang
reseptor batuk secara kronis.
Gambar parenkim paru:

6. Time table Wallgren untuk TB primer pada anak


Manifestasi TB anak bisa diprediksi berdasarkan wallgren timetable
 TB paru : dalam beberapa bulan setelah infeksi
primer
 TB milier dan meningitis : 2-6 bulan
 TB adenitis : 3-9 bulan
 Tulang dan sendi : beberapa tahun
 Renal dan genital tuberculosis: beberapa decade
Renal &
skeletal

Pleural disease

Lung parenkimal and lymph node disease

Meningitis and disseminated (miliary) disease

Hipersensitivitas

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Infeksi bulan

Stage Durasi Gejala


1 3-8 minggu Kompleks primer berkembang. Tes tuberculin
hasilnya positif.
2 3 bulan Bentuk penyakit ynag mengancam nyawa karena
penyebaran hematogen, seperti meningitis TB dan TB
milier.
3 3-4 bulan Pleuritis TB bisa muncul karena penyebaran
hematogen ataupn penyebaran langsung dari focus
primer yang meluas.
4 s/d 3 tahun Stage ini bertahan sampai kompleks primer berubah.
Dapat berkembang lesi ekstrapulmonar, seperti di
tulang atau sendi.
5 s/d 12 tahun TB genitourinary bisa muncul sebagai manifestasi
akhir TB primer.

7. Manifestasi TB pada kelenjar limfe


 Pembesaran kelenjar limfe superfisialis
 Yang sering terkena kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tapi
juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula,
supraklavikula.
 Karakteristik: multiple, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat
pada perabaan, mudah digerakkan, dapat saling melekat
(confluence) satu sama lain.
Perlekatan terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar
limfe (perifocal inflammation)
8. Klasifikasi Kejang

Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi
International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure [ILAE] 1981:

I. Kejang Parsial a. Kejang fokal sederhana


(Fokal/Lokal) b. Kejang parsial kompleks
c. Kejang parsial yang menjadi
umum
II. Kejang Umum a. Absens
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Tonik-klonik
f. Atonik
III. Tidak dapat diklasifikasikan

9. Patofisiologi Kejang

Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau
otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron
otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang
berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran. Epilepsi adalah
kejang berulang yang terjadi lebih dari dua kali dan interval antar kejang tersebut
lebih dari 24 jam.

Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik


yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh:

1. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan


muatan listrik yang berlebihan
2. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat
[GABA]
3. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang.

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak


diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glaukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan peraataraan fungsi paru dan
diteruskan ke otak melalui system kardiovaskular. Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.

Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membran
sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-).
Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah,
sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis
dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan yang
disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membranini dapat berubah oleh adanya :

a. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.


b. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya.
c. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1ºC akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang
berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38ºC, sedangkanpada anak dengan ambang
kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40ºC atau lebih.

Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang


demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya
dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama
(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerob, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat disebabkan meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat

10. Tatalaksana Saat Kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10
mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg
atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat


diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.Jika kejang masih
berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari


indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.

11. Antikonvulsan pada Kejang Demam


1. Pemberian obat antikonvulsan intermiten

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan


yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada
kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:

- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral


- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
- Usia <6 bulan
- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
2. Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan
obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan
rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of
evidence 3, derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat:

1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat adalah fenobarbital atau asam


valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang.
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah
15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2
dosis. Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak
tidak sedang demam.
12. Klasifikasi Demam untuk Menentukan Tindakan

Demam dapat merupakan satu-satunya gejala yang ada pada pasien infeksi. Panas
dapat dibentuk secara berlebihan pada hipertiroid, intoksikasi aspirin atau adanya
gangguan pengeluaran panas, misalnya heatstroke. Klasifikasi dilakukan berdasar
pada tingkat kegawatan pasien, etiologi demam, dan umur.

Klasifikasi berdasarkan umur pasien dibagi menjadi kelompok umur


kurang dari 2 bulan, 3-36 bulan dan lebih dari 36 bulan. Pasien berumur kurang
dari 2 bulan, dengan atau tanpa tanda SBI (serious bacterial infection). Infeksi
seringkali terjadi tanpa disertai demam. Pasien demam harus dinilai apakah juga
menunjukkan gejala yang berat. Menurut Yale Acute Illness Observation Scale
atau Rochester Criteria, yang menilai adakah infeksi yang menyebabkan
kegawatan. Pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) dapat merupakan
petunjuk untuk perlunya perawatan dan pemberian antibiotik empirik.

Klasifikasi berdasarkan lama demam pada anak, dibagi menjadi:

1. Demam kurang 7 hari (demam pendek) dengan tanda lokal yang jelas,
diagnosis etiologik dapat ditegakkan secara anamnesik, pemeriksaan fisis,
dengan atau tanpa bantuan laboratorium, misalnya tonsilitis akuot.
2. Demam lebih dari 7 hari, tanpa tanda lokal, diagnosis etiologi tidak dapat
ditegakkan dengan amannesis, pemeriksaan fisis, namun dapat ditelusuri
dengan tes laboratorium, misalnya demam tifoid.
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya, sebagian terbesar adalah
sindrom virus.

Di samping klasifikasi tersebut di atas, masih ada klasifikasi lain yaitu


klasifikasi kombinasi yang menggunakan tanda kegawatan dan umur sebagai
entry, dilanjutkan dengan tanda klinis, lama demam dan daerah paparan sebagai
kriteria penyebab, seperti terlihat pada algoritme di berikut ini:

Anda mungkin juga menyukai