Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

TERAPI ELECTRICAL CONVULSIVE THERAPY (ECT)

Disusun Oleh:
1. Farah Luqyana : NIM P27220018247
2. Fathimatuzzahra : NIM P27220018248
3. Halimatus Sa’diah Ritonga : NIM P27220018250
4. Hilda Dwi Kurnia : NIM P27220018251

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN 2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN
TERAPI ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT)

1. PENGERTIAN
ECT (Electro Confulsive Terapy) adalah tindakan dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik (Sujono, 2015). Terapi elektrokonvulsif menginduksi
kejang grand mal secara buatan dengan mengalirkan arus listrik melalui
elektroda yang dipasang pada satu atau kedua pelipis (Stuart, 2014).
Menurut Townsend (2018) Terapi elektrokonvulsif (ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan
pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut
cukup untuk menimbulkan kejang gran mal, yang darinya diharapkan efek
yang terapeutik tercapai. ECT adalah suatu tindakan terapi dengan
menggunakan aliran listrik dan menimbulkan kejang pada penderita baik
tonik maupun klonik yaitu bentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada pelipis klien untuk
membangkitkan kejang grandmall (Riyadi, 2009).
Terapi Kejang Listrik adalah suatu terapi dalam ilmu psikiatri yang
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik melalui suatu elekktroda yang
ditempelkan di kepala penerita sehingga menimbulkan serangan kejang
umum (Mursalin, 2009).Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis
pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui
elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan
kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai
(Taufik, 2010). Terapi kejang listrik merupakan alat elektrokonvulsi yang
mengeluarkan listrik sinusoid dan ada yang meniadakan satu fase dari aliran
sinusoid itu sehingga pasien menerima aliran listrik (Maramis, 2014).

2. MEKANISME KERJA NEUROTANSMITTER


Mekanisme kerja terapeutik ECT masih belum banyak diketahui.
Salah satu teori yang brkaitan dengan hal ini adalah teori neurofisiologi.Teori
ini mempelajari aliran darh serebral, suplai glukosa dan oksigen, serta permea
bilitas sawar otak akan meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan
metabolisme glukosa menurun. Hal ini paling jelas dilihat pada lobus
frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa derajat penurunan
metabolisme serebral berhubungan dengan respon terapeutik.
Mekanisme kerja Electro Convulsive Therapy (ECT) belum
diketahui secara pasti. Namun, dikaitkan dengan teori psikologik dan
psikodinamika, teori molekular, biokimia, neuroendokrin, dan teori
struktural.5 Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah
dengan mempelajari efek neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi
positron (PET; Positron Emission Tomography) mempelajari aliran darah
serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan. Penelitian tersebut
telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral, pemakaian
glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah meningkat.
Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan
paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons
terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama
periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena
pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi
berlanjut.
Neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini,
perubahan sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap
sistem neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT
menyebabkan regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor
yang sama dan terlihat pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT
pada neuron serotonergik masih merupakan daerah penelitian yang
kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan telah menemukan suatu
peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik, tidak ada perubahan pada
neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi prasinaptik pelepasan
serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik,
kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah
dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas
adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke
dalam neuron.
Electro Convulsive Therapy (ECT) memiliki efek anti konvulsi yang
membangkitkan ambang kejang dan menurunkan lamanya kejang. Hal ini
diduga bekerja pada sel yang menghubungkan bangkitan kejang pada SSP.
Pada tingkat dasar obat antikonvulsi mempunyai efek meningkatkan
penghambatan dan mengurangi eksitasi. Obat ini meningkatkan transmisi
GABAergic melalui reseptor GABA yang mempunyai efek anti konvulsi.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa peningkatan kadar GABA pada regio
SSP tertentu setelah ECS, mendukung suatu kemungkinan peningkatan dalam
inhibisi tonik. Ini juga membuktikan bahwa ECS menyebabkan peningkatan
GABA yang menengahi inhibisi presinaps dan postsinaps.
3. JENIS
Jenis ECT ada 2 macam :
a. ECT konvensional
ECT konvensional ini menyebabkan timbulnya kejang pada pasien
sehingga tampak tidak manusiawi.Terapi konvensional ini di lakukan
tanpa menggunakan obat-obatan anastesi seperti pada ECT premedikasi.
b. ECT pre-medikasi
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada
terapi ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya
kejang yang terjadi pada pasien.

4. FREKUENSI
Frekuensi pemberian ECT tergantung pada keadaan pemberita yang
dapat di perlakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b. Dua sampai tiga kali seminggu.
c. ECT “maintanance’ sekali tiap 2-4 minggu.
b. Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
c. Untuk pasien yang mengalami gangguan di polar,mania,dengan
gangguan skijo frenia,pasien baru mendapat respon yang maksimum
setelah 20-25 kali tindakan ECT.

5. INDIKASI
a. Pasien dengan penyakit depresif mayor yang tidak berespon terhadap
antidepresan atau yang tidak dapat meminum obat (Stuard, 2014).
Menurut Tomb (2014) gangguan afek yang berat: pasien dengan gangguan
bipolar, atau depresi menunjukkan respons yang baik dengan ECT. Pasien
dengan gejala vegetatif yang jelas cukup berespon. ECT lebih efektif dari
antidepresan untuk pasien depresi dengan gejala psikotik. Mania juja
memberikan respon yang baik pada ECT, terutama jika litium karbonat
gagal untuk mengontrol fase akut.
b. Pasien dengan bunuh diri akut yang cukup lama tidak menerima
pengobatan untuk mencapai efek terapeutik (Stuard, 2014). Menurut Tomb
(2014), pasien unuh dibri yang aktif dan tidak mungkin menunggu
antidepresan bekerja. Ketika efek samping Electro Convulsive Therapy
yang diantisipasi kurang dari efek samping yang berhubungan dengan blok
jantung, dan selama kehamilan (Stuard, 2014).
c. Gangguan skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited
memberikan respons yang baik dengan ECT. Cobalah antipsikotik terlebih
dahulu, tetapi jika kondisinya mengancam kehidupan (delyrium
hyperexcited), segera lakukan ECT. Pasien psikotik akut (terutama tipe
skizoaktif) yang tidak berespons pada medikasi saja mungkin akan
membaik jika ditambahkan ECT, tetapi pada sebagian besar skizofrenia
(kronis), ECT tidak terlalu berguna (Tomb, 2014)

6. KONTRAINDIKASI
Tidak ada kontraindikasi yang mutlak. Pertimbangkan resiko
prosedur dengan bahaya yang akan terjadi jika pasien tidak diterapi. Penyakit
neurologik bukan suatu kontraindikasi
a. Resiko sangat tinggi:
1) Peningkatan tekanan intrakranial (karena tumor otak, infeksi sistem
saraf pusat), ECT dengan singkat meningkatkan tekanan SSP dan resiko
herniasi tentorium.
2) Infark miokard.: ECT sering menyebabkan aritmia berakibat fatal jika
terdapat kerusakan otot jantung, tunggu hingga enzim dan EKG stabil.
b. Resiko sedang:
1) Osteoatritis berat, osteoporosis, atau fraktur yang baru, siapkan selama
terapi (pelemas otot) dan ablasio retina.
2) Penyakit kardiovaskuler (misalnya hipertensi, angina, aneurisma,
aritmia), berikan premedikasi dengan hati-hati, dokter spesialis
jantung hendaknya ada disana.
3) Infeksi berat, cedera serebrovaskular, kesulitan bernafas yang kronis,
ulkus peptik akut, feokromasitoma (Tomb, 2014).

7. EFEK SAMPING
a. Kematian, angka kematian yang disebabkan ECT adalah bervariasi antara
1-1.000 dan 1-10.000 pasien. Resiko ini sama dengan resiko karena
pemberian anastesi umum. Kematian biasanya karena komplikasi
kardiovaskuler.
b. Efek sistemik, pada pasien dengan gangguan jantung, dapat terjadi
arritmia jantung sementara. Arritmia ini terjadi karena bradikardia post
ictal yang sementara dan dapat dicegah dengan peningkatan dosis
premedikasi anti kolinerjik. Arritmia dapat juga terjadi karena
hiperaktifitas simpathetiksewaktu kejang atau saat pasien sadar kembali.
Dilaporkan pula adanya reaksi toksis dan allergi terhadap obat yang
digunakan untuk prosedur ECT premedikasi, tetapi frekwensinya sangat
jarang.
c. Efek cerebral,pada pemberian ECT bilateral dapat terjadi amnesia dan
acute confusion. Fungsi memori akan membaik kembali 1-6 bulan
setelah ECT, tetapi ada pasien yang melaporkan tetap mengalami
gangguan memori (Tomb, 2014).

8. PERAN PERAWAT DALAM PELAKSANAAN ECT


a. Peran Perawat Sebelum Tindakan ECT
1) Anjurkan pasien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur
tindakan yang akan dilakukan.
2) Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3) Siapkan surat persetujuan tindakan.
4) Klien dipuasakan 4-6 jam sebelum tindakan.
5) Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau jepit rambut yang
mungkin dipakai klien.
6) Pakaikan baju yang longgar dan nyaman.
7) Klien diminta untuk mengosongkan kandung kemih dan defekasi.
8) Berikan obat praterapi.
9) Pastikan obat dan peralatan yang diperlakukan tersedia dan siap pakai.
10) Persiapan alat
a) Perlengkapan dan peralatan terapi, termasuk pasta dan gel
elektroda, bantalan kasa, alkohol, saling,elektroda
elektroensefalogram (EEG), dan kertas grafik.
b) Alat MECTA (Konvulsator)
c) Manset tekanan darah, dan oksimeter denyut nadi.
d) Stetoskop.
e) Suction
f) Airway Equiment
g) Propofol (1- 2,5 cc/KgBB)
h) Antracunum (5mg)
i) Cevofloran 2 vol %
j) Peralatan intravena.
k) Penahan gigitan
l) Pelbet dengan kasur yang keras dan bersisi pengaman serta dapat
meninggikan bagian kepala dan kaki.
m) Peralatan ventilasi, termasuk slang, masker, ambu bag, peralatan
jalan nafas oral, dan peralatan intubasi dengan sistem pemberian
oksigen yang dapat memberikan tekanan oksigen positif. Obat
untuk keadaan darurat dan obat lain sesuai rekomendasi staf
anastesi (Stuart, 2017).
b. Peran Perawat Selama Tindakan ECT
Menurut pendapat Stuart (2017) peran perawat selama tindakan
ECT adalah sebagai berikut:
1. Bantu pelaksanaan ECT.
2. Tenangkan pasien.
3. Dokter atau ahli anastesi memberikan oksigen untuk menyiapkan
pasien bila terjadi apnea karena relaksan otot.
4. Pasang infus untuk memasukkan cairan melalui intravena
5. Berikan obat anatesi
6. Pasang spatel lidah yang diberi bantalan untuk melindungi gigi pasien.
7. Pasang elektroda. Kemudian berikan syok.
8. Pantau pasien selama masa pemulihan
c. Peran Perawat Setelah ECT
Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk
membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan
yang telah dimodifikasi dari pendapat Stuart (2017) dan Townsen (2012).
Menurut pendapat Stuart (2017) memantau klien dalam masa
pemulihan yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan.
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien
sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya
hipotensi postural.
6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan.
9. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.
Menurut Townsend (2012), jika terjadi kehilangan memori dan
kekacauan mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang
paling umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar
supaya dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan
kehilangan memori. Implementasi keperawatan yang harus dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan
memori tersebut hanya sementara.
b) Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
c) Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
d) Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang
berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
e) Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-
aktivitas rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan.
Asuhan Keperawatan Pada Klien Yang Dilakukan ECT

A. Pengkajian
1 Kelengkapan data pasien yang ada kaitannya dengan terapi ini.
Elektrokardiogram, foto toraks, pemerikasaan laboratorium yang
diperlukan.
2 Surat kesepakatan pelaksanaan tindakan ECT (Informed concent) yang
telah ditandatangani keluarga.
3 Pemeriksaan TTV.
4 Temperature.
5 Nadi
B. Diagnosa Keperawatan
PRE ECT
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
Ansietas b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan pendekatan yang 1. Dengan pendekatan yang tenang
Prosedur keperawatan diharapkan klien mampu menenangkan lebih merasa nyaman
2. Jelaskan semua prosedur ECT dan 2. Penjelasan yang diberikan sebelum
Tindakan ECT mengontrol kecemasan sehingga dapat
apa yang akan dirasakan selama ECT akan membuat klien tenang
dilakukan tindakan ECT, dengan
prosedur dan siap untuk melakukan tindakan
kriteria hasil :
3. Temani klien saat tindakan untuk
ECT
1. Klien mampu mengungkapkan
mengurangi kecemasan, memberi 3. Dengan menemani klien maka
kecemasannya
keamanan dapat membuat ketenangan dan
2. Klien mampu melakukan teknik
4. Instruksikan klien untuk
dapat mengeksplorasikan isi
napas dalam untuk mengurangi
menggunakan teknik relaksasi
perasaan klien
kecemasan
napas dalam 4. Teknik relaksasi akan membuat
3. Ekspresi wajah menunjukkan
5. Bantu klien untuk mengenal situasi
klien lebih rileks dalam keadaan
berkurangnya kecemasan
yang menimbulkan kecemasan
yang nyaman dan aman
6. Dengan ungkapan perasaan klien
5. Agar klien dapat mengetahui dan
dengan penuh perhatian
dapat mengontrol masalah dari
7. Identifikasi tingkat kecemasan
kecemasan
6. Untuk memberikan kepercayaan
diri dan dapat mengevaluasi
masalah perasaan klien
7. Identifikasi kecemasan akan
mengetahui tingkat kecemasan
yang dirasakan klien

INTRA ECT
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan klien semi fowler 1. Posisi semi fowler/kepala lebih
2. Keluarkan sekret dengan alat bantu
napas tidak keperawatan diharapkan jalan napas tinggi akan memaksimalkan
suction
efektif b.d terhindar dari sekret, dengan kriteria ventilasi dan untuk memudahkan
3. Auskultasi suara napas dan catat
peningkatan hasil : pengeluaran sekret
adanya suara napas tambahan
2. Suction merupakan tindakan untuk
sekret 1. Jalan napas pasien dan tidak 4. Berikan O2 bila diperlukan
5. Monitor respirasi mengeluarkan sekret pada pasien
ditemukan sekret, irama normal,
yang mengalami penurunan
frekuensi napas normal
kesadaran
3. Monitor respirasi bertujuan untuk
mengetahui respirasi klien
4. Mempermudah jalan napas dan
pengeluaran sekret
5. Untuk mengetahui pola respirasi
klien

Pola napas Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan klien untuk 1. Proses ventilasi akan
tidak efektif keperawatan diharapkan memaksimalkan ventilasi memaksimalkan dengan posisi
2. Pasang mayo bila perlu
b.d efek ketidakefektifan pola napas dapat kepala lebih tinggi
3. Lakukan fisioterapi dada bila perlu
2. Untuk pengeluaran sekret
anastesi teratasi dengan kriteria hasil : 4. Keluarkan sekret dengan suction
3. Agar sekret dapat keluar dan
5. Auskultasi adanya suara napas
1. Klien mampu mengeluarkan
memberikan kelegaan
tambahan
sputum 4. Dengan dikeluarkan sekret
6. Berikan bronkodilator bila
2. Manunjukkan jalan napas yang
mempermudah jalan napas
diperlukan
paten 5. Mengetahui suara napas tambahan
7. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. TTV dalam batas normal 6. Melegakan dan mempertahankan
8. Monitor TTV (TD, nadi, RR dan
jalan napas
suhu)
7. Ekspirasi dan inspirasi klien
membaik
8. Mengetahui tekanan darah, nadi,
respirasi dan suhu
Resiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tingkat kesadaran 1. Mempermudah monitoring kondisi
2. Lakukan suction jika diperlukan
b.d keperawatan diharapkan klien
3. Hindari makan jika residu indikasi
2. Sekret dapat membersihkan jalan
peningkatan ketidakefektifan pola napas dapat
masih banyak
napas dari sekret sehingga dapat
sekret teratasi dengan kriteria hasil : 4. Posisikan kepala 30-40º (semo
1. Klien dapat bernapas dengan fowler) mencegah resiko aspirasi
3. Makan saat residu banyak
mudah
2. Jalan napas paten dan tidak ada menyebabkan jalan napas
suara napas tambahan terhambat
4. Mencegah aspirasi
Resiko cidera Setelah dilakukan tindakan 1. Jaga keamanan saat klien diruang 1. Untuk memberikan keselamatan
2. Dengan lingkungan yang nyaman
b.d keperawatan diharapkan ECT
2. Sediakan lingkungan yang aman dan aman, mencegah cidera
peningkatan ketidakefektifan pola napas dapat
3. Melindungi klien dari resiko cidera
dan nyaman
sekret teratasi dengan kriteria hasil :
3. Temani klien setelah ECT dan memberikan kenyamann
1. Klien terbebas dari risiko jatuh 4. Anjurkan klien untuk istirahat 4. Istirahat yang cukup setelah post
2. Perawat mampu mencegah cidera
terlebih dahulu untuk mengurangi ECT akan memaksimalkan tenaga
pusing setelah efek samping ECT

POST ECT
Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
Risiko Jatuh Setelah dilakukan tindakan 1. Jaga keamanan saat klien di ruang 1. Untuk memberikan keselamatan
2. Dengan lingkungan yang nyaman
b.d kelemahan keperawatan diharapkan klien tidak ECT
2. Sediakan lingkungan yang aman dan aman serta mencegah cidera
mengamani risiko jatuh, dengan
3. Melindungi klien dari resiko cidera
dan yaman
kriteria hasil :
3. Temani klien setelah ECT dan memberikan kenyamanan
1. Klien terbebas dari risiko jatuh 4. Anjurkan klien untuk istirahat 4. Istirahat yang cukup setelah post
2. Perawat mampu mencegah jatuh terlebih dahulu untuk mengurangi ECT akan mamaksimalkan tenaga
pusing setelah efek samping ECT
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat nyeri secara 1. Tingkat nyeri dirasakan oleh klien
agen injuri keperawatan diharapkan klien mampu komprehensif agar mempermudah dalam
2. Ajarkan mengontrol nyeri dengan
fisik mengontrol nyeri dan mampu untuk pemberian intervensi sesuai
cara tarik napas dalam
tarik napas dalam program
3. Berikan analgetik bila perlu
2. Tarik napas dalam dapat
mengontrol nyeri dan membuat
klien rileks
3. Pemberian analgetik dapat
mengurangi nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Maramis. W.F. 2015, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Jakarta: EGC


Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta
Stuart GW, Sundeen.2017. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tomb, David. 2014, Buku Saku Psikiatri, edisi 6. Jakarta: EGC
Townsend, M.C. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan
Psikitari (terjemahan), Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

15

Anda mungkin juga menyukai