Anda di halaman 1dari 11

Kholisah widiyawati 11 mipa 3

Permasalahan atau Tema :

Konflik batin

Abstrak :

Seorang gadis desa yang lugu yaitu Aya telah jatuh hati pada seorang dokter dari kota yang
bernama Dhana, namun tak mampu mengungkapkan perasaannya. Dan muncul kesalahpahaman
diantara keduanya dan akhirnya saling menjauhi. Setelah lama tidak bertemu, kemudian dipertemukan
kembali tetapi sudah terlambat untuk memulai semunya dari awal. Karena hadirnya orang lain yang
telah mengisi hari-hari seorang gadis tersebut.

Orientasi :

Di saat Dhana meninggalkan desa tersebut, Aya berusaha untuk bisa kuliah di kota agar dapat
mengikuti jejak Dhana, dokter muda yang dikaguminya. Namun, sesampainya di kota, Aya tidak bertemu
dengan Dhana melainkan bertemu dengan seorang pemuda yang sangat baik dan perhatian padanya
yait Revo. Sehingga, kebaikannya itu dapat meluluhkan hati Aya.

Komplikasi :

Hingga pada suatu saat, Aya bertemu kembali dengan Dhana. Dan Dhana menyatakan perasaan
padanya. Sedangkan di sisi lain Revo yang menemaninya selama ini juga menyatakan perasaannya.
Sehingga timbullah kebingungan yang dialami gadis desa itu dan menyebabkan konflik batin yang sulit
untuk dijelaskan. Hanya batin yang berbicara namun tak dapat diungkapkan, karena akan menyebabkan
rasa sakit yang mendalam yang nantinya akan ditanggung oleh salah satu pria tersebut.

Resolusi :

Tanpa disengaja Revo menemukan buku harian Aya. Sehingga dari buku itu dapat diketahui
bahwa Aya sebenarnya mengagumi Dhana yang kebetulan sahabat dari Revo. Revo sempat merasa
sedih, namun baginya kebahagiaan Aya jauh lebih penting dari segalanya.

Evaluasi :

Revo memilih untuk mengalah dan membawa Aya pada Dhana agar mereka bisa bahagia
bersama. Karena Aya sangat mengagumi Dhana sejak lama, sebelum Aya bertemu dengan Revo. Tak adil
jika Revo harus merampas kebahagiaan yang mereka nantikan sejak lama.
Koda :

Semua masalah bisa diselesaikan karena saling mengerti satu sama lain. Pada akhirnya Aya dan
Dhana dapat bersatu kembali dan tak akan ada lagi hati yang tersakiti. Mungkin ini rahasia Tuhan yang
terasa pahit di awal namun akan indah pada waktunya.

Daftar pertanyaan :

1. Apa

Apa yang terjadi pada tokoh utama?

2. Siapa

Siapa yang mengalami permasalahan dalam cerpen tersebut?

3. Kapan

Kapan Aya meninggalkan kampung halamannya?

4. Dimana

Dimana Aya melanjutkan kuliahnya?

5. Mengapa

Mengapa semua permasalahan tersebut bisa terjadi?

6. Bagaimana

Bagaimana penyelesaian dari semua masalah yang telah terjadi?


Kembalinya Si Embun Pagi

Milyaran embun jatuh dari langit, udara pagi masuk melalui celah jendela, semakin lama
semakin dingin menusuk tulang-tulangku.

Inilah awal liburan sekolah di musim semi.

Di kamar, aku mengerjap-ngerjapkan mata dan melirik jam beker di atas meja. Pukul 04.07 pagi.
Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil yang sangat keras melewati halaman rumahku. Ku beranjak
bangkit dari ranjang dan mengintip di jendela siapa yang datang. Benar dugaanku, ternyata mereka yang
datang. Tiga pemuda tampan bersama kedua orang tua mereka. Kelima anggota keluarga tersebut sibuk
mengluarkan barang – barang dari mobil sewaan yang akan digunakan sementara waktu di kampung ini,
karena semua mobil milik mereka ditinggalkan di kota. Inilah kebiasaan tahunan yang mereka lakukan,
yaitu liburan sekaligus mengunjungi sang nenek yang sudah lanjut usia. Tetapi ini menjadi kepulangan
pertama mereka semejak sang nenek meninggal dunia 3 tahun yang lalu. Aku sangat senang karena
dapat melihat mereka kembali setelah 3 tahun berlalau. Aku harap mereka bisa pulang setiap tahun
seperti dulu.

Tiga pemuda itu adalah Dhana, Erief, dan Zugo. Menurutku mereka bertiga adalah pemuda
tersempurna yang pernah kutemui.

“Aya…! Kamu belum bangun Nak?” Panggil ibuku di balik pintu.

“Iya Bu, tunggu sebentar.” Jawabku sembari berlari ke kamar mandi.

Semburat matahari pagi mulai terlihat di ufuk timur. Setelah mandi, aku membantu ibuku
memasak di dapur. Seperti biasanya kami sering membicarakan banyak hal apabila sedang memasak,
kebetulan aku dan ibu sama-sama suka memasak. “Aya, tadi keluarga Pak Farman datang dari kota
untuk liburan di kampung kita.” Kata ibuku. “Iya Bu, Aya tahu.” Jawabku. “Setelah memasak kita kesana
untuk menyapa mereka.” Lanjut ibuku.”Baik Bu.” Jawabku lagi. Keluargaku dan keluarga Pak Farman
sudah seperti saudara, kebetulan rumahku dan rumah ibu Pak Farman di kampung ini berdampingan.

Setelah sarapan, aku dan keluargaku datang ke rumah Pak Farman. Kedatangan kami disambut
hangat oleh mereka. Meskipun dari kota, mereka tidak pernah sombong dan saling menghormati antar
masyarakat di desa. Kami pun dipersilahkan duduk dan diberi beberapa macam hidangan dari kota yang
tak pernah kutemui di desa ini. Pak Farman adalah orang yang ramah dan mudah akrab dengan orang
lain. Sehingga aku sempat dilontari beberapa pertanyaan oleh Pak Farman di tengah-tengah
perbincangan hangat dengan kedua orang tua ku.

“Ini Aya ya?” Tanya Pak Farman.

“Iya Om.” Jawabku dengan malu.

“Wah, kamu sudah sebesar ini sekarang. Kelas berapa?”


“Kelas 12 Om.”

Setelah perbincangan diantara kami cukup panjang, akhirnya Kak Dhana keluar dari kamarnya
dan menyapaku dengan ramah. Tahun ini Kak Dhana telah resmi menjadi dokter setelah wisuda bulan
lalu. Perilaku baik, shaleh, dan masa depan yang cerah berada dalam genggamannya. Tak heran banyak
gadis desa yang jatuh hati padanya. Begitulah kata kedua orang tuaku. Tak terasa 2 jam berlalu, sudah
banyak yang kami bicarakan, dan kami minta izin untuk berpamitan.

***

Sore yang cerah. Ketika aku sedang menyiram bunga di halaman, seseorang memanggilku dari
belakang. Suaranya begitu merdu di telinga dan tak asing lagi bagiku.

“Aya, apa kamu tahu dimana tempat fitnes?” Tanya Kak Dhana padaku.

“Oh ya, aku tahu.” Jawabku dengan gagap.

“Apa kamu tidak sibuk? Apa kamu bisa mengantarku?”

“Aku tidak sibuk, aku bisa mengantarmu, Kak.” Ucapku dengan wajah memerah.

“Oke! Bersiap-siaplah. Aku akan membawa mobil.”

Kemudian Kak Dhana segera berlari ke garasi mobil dan membawanya ke halaman rumahku.
Aku segera menuju ke kamar untuk mengambil tas dan handphone. Lalu, bergegas menghampiri Kak
Dhana yang telah mempersilahkan aku masuk dengan membukakan pintu mobil itu. Mobil yang kami
kendarai pun bergerak menjauhi halaman rumah.

Selama di perjalanan aku hanya diam. Tidak ada yang berani berbicara di antara kami. Aku yang
duduk di samping Kak Dhana yang sedang fokus menyetir lebih mementingkan untuk memainkan
handphone. Semua itu aku lakukan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedari tadi telah menyelimuti
diriku.

Ternyata 20 menit berlalu, kami telah sampai di tempat yang dituju. Kak Dhana segera turun
dari mobil dan membukakan pintu mobilnya untukku. Kami memasuki ruangan fitness bersama. Disana,
aku duduk di kursi yang telah disediakan untuk beristirahat. Tanpa kusadari, pandanganku tidak lepas
dari Kak Dhana yang sedang berusaha keras mengangkat besi. Aku memperhatikannya dalam diam. Aku
merasa ada suatu hal yang aneh yang terjadi dalam hatiku ketika melihat Kak Dhana sedang bercucuran
keringat. Hati bergemuruh melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.

Kurang lebih 45 menit lamanya aku menunggu, akhirnya Kak Dhana selesai melakukan jenis
olahraga itu. Dia menghampiriku dan mengajak untuk pulang. Aku segera bangkit dari tempat duduk dan
berjalan di samping Kak Dhana.

Dalam perjalanan pulang, Kak Dhana bertanya bagaimana sekolahku dan dia menceritakan
kehidupannya selama 3 tahun terakhir ini. Suaranya memecahkan keheningan diantara kami. Aku yang
awalnya malu- malu untuk menjawab kini sudah mulai bersahabat. Tiba – tiba Kak Dhana meminggirkan
mobilnya dan berhenti di kedai cappuccino. Kami keluar dari mobil dan duduk di bangku yang masih
kosong, terletak tak jauh dari pintu masuk. Kak Dhana segera memesan dua cangkir cappuccino hangat.
Disodorkannya satu cangkir itu untukku dan kami memulai beberapa percakapan.

“Apa kamu tahu perasaan itu apa?” Tanya Kak Dhana.

“Memangnya apa?” Jawabku .

“Perasaan itu seperti cappuccino, jika kamu meminumnya selagi hangat maka resikonya cepat
habis, tapi jika kamu meminumnya dengan perlahan- lahan maka resikonya akan cepat dingin. Jadi,
perasaan itu membingungkan.” Jelaskan Kak Dhana.

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya. Sebenarnya aku tidak begitu paham apa maksud
sebenarnya dari perkataan itu. Setelah cappuccino yang dipesan habis, kami melanjutkan perjalan untuk
pulang.

Sesampainya di rumah, aku melihat rumah Pak Farman dipenuhi oleh tamu- tamu. Ternyata,
kabar kedatangan keluarga Pak Farman sampai ke pelosok desa. Setiap hari, kerap keluarga yang
memiliki anak gadis datang untuk memperkenalkan putrinya. Karena masyarakat desa tahu bahwa Pak
Farman sedang mencarikan pendamping hidup putera pertamanya.Tidak sembarang orang yang datang,
melainkan para tokoh desa yang kekayaannya melimpah. Gadis miskin sepertiku mana berani mencoba
menaruh harap pada Kak Dhana dari keluarga konglomerat itu. Mengingatnya, membuatku merasa kesal
dan kecewa.

***

Di siang yang cerah saat aku hendak tidur siang, handphoneku berdering. Ternyata Kak Dhana
mengajakku pergi melihat pameran lukisan yang di gelar di balai desa. Tanpa berpikir panjang aku
segera menyetujuinya. Aku segera memilih pakaian dan bersiap- siap untuk berangkat.

Setibanya di sana, aku dan Kak Dhana berkeliling untuk melihat lukisan yang disediakan.
Suasanya begitu ramai oleh pengunjung karena pameran ini sejak lama ditunggu- tunggu oleh
masyarakat desa dan hanya akan digelar satu tahun sekali yaitu di hari ulang tahun kecamatan. Tiba-tiba
Kak Dhana memintaku untuk memilih salah satu diantara sekian banyak lukisan tersebut.

“Aya, lukisan ,mana yang paling kamu suka?”

“Semua tampak bagus, aku suka semua.”

“Tapi kamu harus memilih salah satu.”

“Aku suka ini, karena terlihat nyata.” Ujarku, menunjuk salah satu lukisan.

“Kamu memilih lukisan yang tepat. Lukisan ini adalah kita.”


Lagi- lagi aku tidak mengerti dengan perkataan Kak Dhana. Mungkin aku akan mengerti suatu
saat nanti jika sudah waktunya. Sekitar 2 jam kami berkeliling, tak ada lukisan yang terlewati. Sampai
terlupa hari sudah sore, kami pun memutuskan untuk pulang.

Mobil yang kami kendarai berhenti di halaman rumah. Ketika aku hendak turun dari mobil, Kak
Dhana mencegahku keluar dan memberiku sesuatu yang terbungkus dengan rapi. Ternyata itu adalah
lukisan yang ku tunjuk tadi siang di pameran. Betapa senangnya hatiku mendapat sebuah lukisan dari
Kak Dhana. Aku sangat berterima kasih, karena sangat senangnya mungkin wajahku sampai berwarna
merah tapi aku tak menyadarinya. Aku langsung saja masuk ke kamar dan menggantungnya di atas meja
belajarku. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita yang sedang menikmati jatuhan embun pagi yang
menerpa wajahnya, dan seorang pemuda di sampingnya sedang memperhatikan dengan wajah
tersenyum. Suatu pemandangan yang sangat menyejukkan.

Keesokan harinya, ibu menyuruhku untuk mengantar kue ke rumah Pak Farman. Di sana, aku
mendapati Ibu Lily, istri Pak Farman sedang sibuk di dapurnya. Tidak sengaja aku melihat ke arah pintu
yang sedikit terbuka. Kak Dhana, Kak Erief, dan Kak Zugo sedang belajar bersama. Mereka tampak
bersinar bersama-sama. Aku sangat berterima kasih karena hari- hari kelamku berubah menjadi lebih
berwarna karena mereka bertiga. Mereka juga seri membantuku disetiap kesulitan. Tapi untuk
mengatakan terima kasih saja lidahku terasa kelu. Hanya hati yang bergetar, menyimpannya dalam
memori nan indah.

Satu bulan berlalu, besok adalah hari terakhir aku bertemu dengan Kak Dhana. Jujur, masih
banyak yang ingin ku tunjukkan padanya. Masih banyak pula kata-kata yang belum terucap dan hanya
terngiang- ngiang di kepala. Tapi apa daya, waktu terus berjalan dan tidak menanti siapapun.

Hari sudah pagi, aku segera bersiap- siap untuk mengantar mereka ke bandara. Tepat pukul
09.17 kami sampai di bandara. Hatiku terasa berat dan pikiranku diselimuti kebimbangan. Kak Dhana
yang berdiri tepat di sebelahku memandang dengan hangat. Aku tak memandanginya karena aku takut
akan menangis di hadapannya. “Tenanglah. Semua akan baik- baik saja, belajarlah dengan rajin. Tunggu
aku, karena aku pasti akan kembali dan kita bisa jalani hari bersama lagi.” Bisik Kak Dhana kepadaku.
Aku hanya diam, pandanganku hanya tertuju pada jejak pejalan kaki yang melintas di hadapanku.

Tepat pukul 09.30, mesin pesawat bergemuruh meninggalkan landasan dan membawa mereka
terbang tinggi di atas awan. Bersamaan dengan itu, pipiku terasa basah namun aku segera
menghapusnya. Terdengar suara ibu membangunkanku dari lamunan.

“Aya, ayo Nak kita pulang. Pesawatnya sudah berangkat.”

“Iya Bu.”

***

Handphoneku berdering, aku mendapat pesan dari Kak dhana. Dia selalu berhasil membuatku
tersenyum. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu berlalu. Hingga pada saatnya aku mendengar bahwa
Kak Dhana dijodohkan dengan putri seorang direktur perusahaan besar di kota. Itu membuatku sangat
sakit. Semenjak itu Kak Dhana tidak pernah mengirim pesan lagi. Hari- hariku kelam kembali,
menungugu pesan yang tak kunjung datang.

Aku merasa sangat bodoh. Harusnya aku sadar, bahwa aku sangatlah tidak pantas untuk dia.
Jarak antara aku dan Kak Dhana bagaikan bumi dan langit. Mungkin kebaikannya selama ini merupakan
wujud dari rasa kasihannya padaku. Tapi aku salah mengartikan semua sikap baiknya itu. Aku harap
Tuhan mempunyai rahasia dibalik semua ini dan biarlah waktu yang menjawabnya.

Satu tahun berlalu, inilah saatnya dimana Kak Dhana berjanji akan kembali. Hari, minggu, bulan
telah berlalu tetapi dia tak juga kunjung datang. Hingga pada akhirnya aku lulus SMA dan kini aku
melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran, inilah cita- citaku. Mengikuti jejak Kak Dhana, menjadi
manusia berguna bagi orang lain. Karena cita-cita ini, aku harus meninggalkan kampung halaman dan
meninggalkan memori tentang Kak Dhana. Aku berniat untuk melupakannya dan menemukan duniaku
yang baru.

***

Pagi yang indah, jutaan manusia sibuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Aku telah siap
untuk berangkat kuliah. Kebisingan menggambarkan bahwa kota ini padat dipenuhi penduduk.
Kebetulan asramaku berada di pusat kota dan tak jauh dari kampus. Awalnya, aku takut berada di
tempat yang jauh dari kampung halaman. Namun, kini aku telah terbiasa dan banyak berteman dengan
mahasiswa-mahasiswi di kampus. Aku berusaha ramah kepada setiap orang dan menjalani arus hidup
dengan alamiah mengikuti kehidupan di kota. Aku harus melewati masa adaptasi karena kehidupan di
kota jauh berbeda dari desa.

Tiba – tiba terdengar bunyi klakson mobil di halaman asrama. Aku segera keluar, tampak Kak
Revo menungguku. Dia adalah kakak senior di kampus. Di awal aku masuk kuliah, Kak Revo orang
pertama yang ku kenal hingga aku lebih akrab dengannya dari pada teman – temanku yang lain. Kami
juga sering berangkat bersama. Aku menganggap Kak Revo sebagai kakak senior yang lebih
berpengalaman sehingga aku bisa belajar banyak hal padanya.

Aku sedikit berlari ke arah mobil itu karena Kak Revo terlihat cukup lama menungguku. Seperti
biasa, di dalam mobil aku membicarakan banyak hal. Mulai dari masalah kuliah hingga kehidupan yang
ku jalani di asrama. Kak Revo bagaikan sebuah dinding yang siap mendengar celotehanku yang semakin
lama semakin keluar dari topik. Dia bagaikan pendengar setiaku dan sempat beberapa kali memberikan
nasihat. Dibandingkan denganku, Kak Revo tergolong pendiam dan memilih menjadi pendengar dari
pada pembicara. Itu yang membuat banyak mahasiswi mengagumi sifat cool yang
dimilikinya.menurutku sih, bukan cool tapi sedikit ke arah pendiam. Kak Revo yang jarang berbicara
kemudian angkat untuk berbicara, dan kata yang diucapkannya berhasil membuatku terdiam.

“Aya, sudah lama kita kenal, tapi apa hubungan kita hanya begini-begini saja?” suara itu
terdengar menggema di telingaku. Aku tak menjawab, dan memilih untuk diam. “Sudah lama aku ingin
mengatakan ini padamu, aku pikir ini waktu yang tepat. Aya, bisakah kita lebih dari sekedar teman?”
Aku tidak menyangka akan mendengar kalimat itu dari Kak Revo. Seketika tubuhku membeku.
Aku tak tahu apa yang akan aku katakan pada Kak Revo sebagai jawaban. Aku pikir mungkin Kak Revo
adalah pilihan yang tepat. Dia baik dan juga pengertian. Mungkin kini aku akan benar-benar menemukan
dunia baruku bersama dengan Kak Revo.

“Aku, aku piker-pikir dulu Kak. Aku tak bisa jawab sekarang.” Jawabku.

“Baiklah, aku mengerti.”

Seketika suasana di dalam mobil menjadi hening, tak ada yang berani berbicara lagi. 5 menit
kemudian, kami sampai di kampus. Aku keluar dari mobil dan menuju ke kelas, tanpa menunggu Kak
Revo. Setelah kejadian itu, aku tak pernah menemui Kak Revo lagi.

***

Aku menyusuri lorong-lorong dengan lampu jalan di setiap sudutnya. Hatiku terasa bimbang,
aku takut salah dalam memutuskan. Apa yang diucapkan Kak Revo masih terngiang-ngiang di kepalaku.
Setelah lama memikirkan itu, akhirnya aku akan menerimanya. Keputusanku sudah bulat. Aku
berencana memberikan jawaban itu di hari ulang tahun Kak Revo yang ke 23 tahun, 2 hari lagi.

Ditengah-tengah aku berjalan, aku merasa ada seseorang yang mengikuti. Sontak, aku berbalik.
Sepi, tak ada siapapun disana. Hanya laron-laron yang menari-nari di udara. Aku kembali melangkah,
hingga sampai di perempatan jalan. Samar-samar seseorang memanggilku, suara yang mengalun lembut
di telingaku. Aku menghentikan langkah dan ku tatap wajahnya. Mataku membulat, bumi seolah
berhenti berputar. Tanpa ku sadari Kristal bening mengalir di pipiku.

Seorang pemuda berkemeja biru berdiri di hadapanku, menatapku dalam-dalam.

“Apa kabar Aya, sudah lama tidak bertemu.” Ucap Kak Dhana.

“Ba….. baik, Kak Dhana gimana?” Jawabku dengan terbata-bata.

“Bagaimana aku bisa tidak baik jika telah bertemu dengan seorang bidadari di sini.”

“Bidadari siapa? Aku tidak mengerti.”

“Bidadariku adalah seseorang yang berada di hadapanku sekarang.” Kak Dhana memandangiku,
tapi aku tertunduk. Aku tak sanggup mengatakan bahwa telah ada seseorang yang mengisi hatiku
selama ini.

“Apa aku terlambat? Apa bidadari Aya sudah untuk orang lain?”

“Aku tak yakin akan hatiku sekarang. Tapi, bukankah Kak Dhana telah bertunangan?”

“Sepertinya kamu telah salah paham. Aku tak pernah bertunangan. Aku tak menghubungimu
karena aku mendengar bahwa kamulah yang bertunangan.”
“Ternyata kita mendapatkan informasi yang salah, Karena berita itu sama sekali tidak benar.”

“Bisakah kita memulainya lagi dari awal?”

“Maaf, tapi sudah terlambat Kak. Aku telah memutuskan untuk bersama orang lain.”

“Siapa orang itu Aya? Mungkinkah aku mengenalinya?”

“Kak Revo, dia kakak seniorku di kampus. Kami berada di jurusan yang sama.”

“Aku menge…..” Kak Dhana tidak melanjutkan ucapannya, sepertinya dia menyembunyikan
sesuatu dariku.

“Kenapa Kak? Apa Kak Dhana mengenalnya?”

“Oh tidak, aku tidak mengenalnya.” Wajah Kak Dhana tampak terpukul, aku tahu ini pasti
menyakitkan. Tapi akan lebih menyakitkan jika aku membohonginya. Akhirnya Kak Dhana pergi
meninggalkanku dalam gelapnya malam. Aku kembali menyusuri lorong untuk pulang ke asrama,
ditemani gemerisik suara gesekan daun cemara yang diterpa angin malam. Sebenarnya aku ingin
menerima Kak Dhana. Namun, aku tidak sanggup untuk menyakiti hati Kak Revo. Karena aku banyak
berutang budi padanya.

Sesampainya di asrama, aku hanya terdiam dan enggan melakukan aktivitas apapun. Aku
merasa bersalah karena tidak mengatakan perasaanku yang sebenarnya pada Kak Dhana. Tapi itu juga
tidak mungkin. Untuk meringankan bebanku, aku berniat untuk meluapkan semua isi hatiku di buku
harian. Ku cari buku harian itu di dalam tas. Tak kutemui, sampai aku membongkar semua isi tas dan rak
bukuku. Tapi tetap saja tak ada. Dimana buku harianku? Mungkinkah terjatuh di jalan? Atau mungkin
tertinggal di mobil Kak Revo? Jangan sampai itu terjadi, Kak Revo tidak boleh membacanya. Aku sangat
panik. Aku segera menelpon Kak Revo. Aku merasa lega karena buku itu tak ada di tangan Kak Revo.
Mungkin saja buku itu jatuh di jalan dan dipungut oleh orang-orang yang tak ku kenal. Itu lebih baik dari
pada Kak Revo.

***

Pagi yang cerah, aku dikagetkan oleh dering beker yang sangat keras. Aku harus bangun lebih
awal karena Kak Revo tak lagi menjemputku, dia terlalu sibuk dengan tugas kuliah yang padat. Jadi, aku
harus rela naik angkutan umum dan berdesakan dengan penumpang lainnya. Maklum, kehidupan di
kota. Beberapa hari ini, aku jarang bertemu dengan Kak Revo bahkan tidak sama sekali. Begitupun hari
ini. Aku mencarinya di setiap sudut kampus. Di kantin, perpustakaan, lapangan, bahkan dia tak ada di
kelas. Terpaksa aku harus bertanya pada beberapa temannya, seseorang mengatakan dia baru saja ada
di taman belakang kampus. Aku segera menyusul. Sesampainya di sana, ku melihat Kak Revo berbicara
serius dengan seorang pemuda sebaya dengannya. Sepertinya mereka teman lama yang baru
dipertemukan, tampak dari wajah mereka yang saling merindukan. Seketika aku tertegun melihat wajah
pemuda itu. Wajahnya mirip dengan seseorang. Kak Dhana. Mungkinkah itu dia? Aku segera berlari ke
arah mereka. Namun sayang mereka telah pergi dan lenyap di kerumunan mahasiswa lainnya. Mungkin
ini hanya imajinasiku saja. Ku menepuk-nepuk pipiku, berharap agar segera tersadar dari imajinasi
konyol ini. Mustahil Kak Dhana dan Kak Revo saling kenal. lagi pula, aku sudah memastikannya pada Kak
Dhana. Tidak mungkin Kak Dhana berbohong padaku.

Sepulang kuliah, aku langsung ke asrama karena harus bersiap untuk pesta ulang tahun Kak
Revo nanti malam yang akan diadakan di rumahnya. Kak Revo akan menjemputku lebih awal sebelum
para tamu undangan datang. Ku memilih pakaian terbaikku dan mempersiapkan kado jam tangan yang
sengaja kubeli dari hasil tabunganku bulan ini. Dan mempersiapkan surprise yang nantinya akan
mengejutkan. Aku sudah merangkai kata-kata yang indah dan banyak berlatih untuk jawabanku nanti.
Semoga berjalan dengan lancar.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat dan menyisakan semburat warna kuning keemasan di
langit. Sudah lebih setengah jam aku menunggu Kak Revo untuk menjemputku. Sudah berulang kali aku
menelponnya, namun tak ada jawaban. Dengan perasaan khawatir, aku mondar-mandir di teras asrama.
Mungkinkah dia tak akan datang? Kepalaku dipenuhi dengan ratusan bahkan jutaan pertanyaan. Tiba-
tiba, mobil jazz merah berhenti di halaman. Kak Revo keluar dari mobil itu dan menghampiriku.

“Kak Revo!!!” Teriakku.

“Maaf aku terlambat. Ada kecelakaan tadi yang membuat jalan menjadi macet.”

“Iya tidak apa-apa Kak. Selamat ulang tahun Kak Revo, semoga panjang umur, sehat selalu,
diberi kesuksesan, dan selalu dalam lindungan Tuhan. Amin.” Sembari memberikan kado yang
berbungkus merah.

“Terima kasih Aya, semoga kamu selalu berada di sampingku ditahun-tahun berikutnya.”

“Oke. Ayo segera pergi.” Kami masuk ke mobil dan pergi meninggalkan halaman.

Setibanya di pesta, aku disambut dengan ramah oleh kedua orang tua Kak Revo. Selang
beberapa menit kemudian para tamu undangan berdatangan. Ditengah keramaian para undangan,
seorang pemuda menghampiri Kak Revo dan memberikannya pelukan hangat layaknya seorang sahabat.
Kali ini aku benar-benar terkejut. Mataku terbelalak seakan-akan tak percaya dengan apa yang ku lihat.
Kak Dhana! Teriakku dalam hati. Aku ingin menanyakan padanya, kenapa berbohong? Kenapa tidak jujur
jika mengenal Kak Revo? Sempat Kak Dhana melihat ke arahku, namun dia menepiskan pandangan
seakan kita tak pernah saling kenal. Hatiku terasa sangat sakit. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena
akulah yang salah.

Setelah para undangan berkumpul, acara pun dimulai. Diawali dengan menyanyikan lagu
selamat ulang tahun, meniup lilin, dan memotong kue. Dan potongan kue yang pertama diberikan
padaku, aku merasa senang. Tapi, disisi lain aku juga merasa sedih karena harus melakukan sesuatu
yang membuat hati Kak Dhana sakit, dan aku melakukan itu tepat di hadapnnya.
Hatiku semakin tidak karuan ketika Kak Revo angkat bicara di depan para undangan. Mungkin
inilah saatnya aku menerima Kak Revo. Karena aku telah melangkah sejauh ini, maka aku harus
menyelesaikan semuanya. Pikirku.

“Para undangan, terima kasih telah datang di acara ulang tahun saya yang ke 23. Saya juga
mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya yang sangat berperan penting dalam
kehidupan ini. Selain itu, saya juga sangat berterima kasih kepada seorang wanita yang telah menemani
hari-hari saya dalam satu tahun terakhir ini.wanita itu sangat saya sayangi dan saya ingin membuatnya
bahagia, karena menurut saya kebahagiannya lebih penting dari apapun.” Kak Revo mengatakannya
dengan penuh wibawa. Lalu, dia menarik tanganku dan membawaku pada Kak Dhana.. Apa mungkin Kak
Revo mengetahui hubunganku dengan Kak Dhana? Apakah ini sebuah lelucon? Aku tidak mengerti apa
yang sebenarnya mereka berdua rencanakan padaku.

“Saya bukanlah orang yang beruntung di dunia ini. Mungkin, saya akan beruntung lain kali. Tapi,
saya tak sedih karena sahabat saya lebih beruntung. Kedua orang disamping saya ini adalah orang yang
sangat saya sayangi. Dan seperti yang saya bilang, kebahagiannya jauh lebih penting dari apapun. Saya
ingin melihat mereka bersama.” Kak Revo sangat yakin dengan ucapannya. Tepuk tangan yang
meriahpun mengikuti di akhir perkataannya. Aku masih diam, tak menyangka akan dikejutkan dengan
sesuatu yang seperti ini. Melihatku yang masih tertegun, Kak Revo berbisik “Maaf, karena telah lancang
membaca buku harianmu.”

Kak Dhana tersenyum kepadaku dan mengajakku berdansa, dengan diiringi lagu yang membelai
lembut di telinga. Sehingga menghanyutkan kami dalam memori-memori masa lalu.

Bersyukurlah atas semua anugerah-Nya meski kadang kita jumpai rasa pahit. Percayalah dalam
jalan-Nya semua itu indah pada waktunya. Seperti aku dan Kak Dhana. Dialah embun pagi yang
menyejukkan hatiku.

Anda mungkin juga menyukai