Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak.1,2 AO pada anak
jarang ditemukan dan di Indonesia juga belum banyak dilaporkan. Morgagni (1682--1771) pertama kali
melaporkan AO yang disebabkan oleh peradangan telinga.3 Pada beberapa penderita dihubungkan
dengan kelainan jantung bawaan sianotik.4,5,6 Mikroorganisme penyebab abses otak meliputi bakteri,
jamur dan parasit tertentu.2,7,8,9 Mikroorganisme tersebut mencapai substansia otak melalui aliran
darah, perluasan infeksi sekitar otak, luka tembus trauma kepala dan kelainan kardiopulmoner. Pada
beberapa kasus tidak diketahui sumber infeksinya.2,3

Angka kejadian yang sebenarnya dari AO tidak diketahui. Laki-laki lebih sering daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1.6,9 Poerwadi melaporkan 18 kasus AO pada anak dengan usia termuda 5
bulan. Abses serebri dapat terjadi di dua hemisfer, dan kira-kira 80% kasus dapat terjadi di lobus frontal,
parietal, dan temporal. Abses serebri di lobus occipital, serebelum dan batang otak terjadi pada sekitar
20% kasus.

Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun
secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi
kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling
sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi
pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. Abses otak bersifat soliter atau multipel. Yang
multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan
menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini
memudahkan terjadinya trombo-emboli.3

Gejala klinik AO berupa tanda-tanda infeksi yaitu demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal sesuai lokalisasi abses.1,7. Terapi AO terdiri dari pemberian
antibiotik dan pembedahan.4,7,8,9,10 Tanpa pengobatan, prognosis AO dapat menjadi jelek.
1.2 Tujuan Penulisan

· Dapat mengetahui dan memahami faktor-faktor resiko serta etiologi yang diduga dapat menyebabkan
abses otak, sehingga dapat dilakukan intervensi yang sesuai.

· Mengerti mekanisme dan patofisiologi terjadinya abses otak, sehingga pendekatan diagnostik yang
tepat dapat dicapai.

· Mengetahui pemeriksaan penunjang mana yang diperlukan untuk menunjang diagnostik pada abses
otak.

· Mengetahui penatalaksanaan dari abses otak pada anak.

· Mengetahui teknik pemilihan antibiotik yang tepat pada abses otak yang terjadi pada anak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Abses otak adalah suatu proses infeksi dengan pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak yang
disebabkan oleh berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa.1,2
2.2 Epidemiologi

Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering terjadi pada anak berusia 4
sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas
atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot), meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis,
infeksi jaringan lunak pada wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas
ventrikuloperitonial. Patogenesis abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.

Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini telah mengalami
kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-
rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju, namun karena resiko
kematiannya sangat tinggi, abses otak termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan
masyarakat (life threatening infection).

Menurut Britt, Richard et al., penderita abses otak lebih banyak dijumpai pada laki-laki daripada
perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu sekitar 20-50 tahun.

Yang SY menyatakan bahwa kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi rate kemtian. Jika kondisi pasien buruk, rate kematian akan tinggi.

Hasil penelitian Xiang Y Han (The University of Texas MD. Anderson Cancer Center Houston Texas)
terhadap 9 penderita abses otak yang diperolehnya selama 14 tahun (1989-2002), menunjukkan bahwa
jumlah penderita laki-laki > perempuan dengan perbandingan 7:2, berusia sekitar 38-78 tahun dengan
rate kematian 55%.2

Demikian juga dengan hasil penelitian Hakim AA. Terhadap 20 pasien abses otak yang terkumpul selama
2 tahun (1984-1986) dari RSUD Dr Soetomo Surabaya, menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda,
dimana jumlah penderita abses otak pada laki-laki > perempuan dengan perbandingan 11:9, berusia
sekitar 5 bulan-50 tahun dengan angka kematian 355 (dari 20 penderita, 7 meninggal).5
2.3 Anatomi Otak 8

Anatomi otak adalah struktur yang kompleks dan rumit karena fungsi. Organ yang menakjubkan ini
berfungsi sebagai pusat kendali dengan menerima, menafsirkan, serta untuk mengarahkan informasi
sensorik di seluruh tubuh. Ada tiga divisi utama otak, yaitu otak depan, otak tengah, dan otak belakang.

Gambar 2.1. Anatomi otak (Sumber: www. biology.about.com)

Pembagian otak:

1. Prosencephalon - Otak depan

2. Mesencephalon - Otak tengah

o Diencephalon = thalamus, hypothalamus

o Telencephalon= korteks serebri, ganglia basalis, corpus striatum

3. Rhombencephalon - Otak belakang

o Metencephalon= pons, cerebellum


o Myelencephalon= medulla oblongata

2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi

Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga tengah, sinusitis (paranasal,
ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).3,4

Abses otak dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari infeksi paru sistemik (empyema,
abses paru, bronkiektase, pneumonia), endokarditis bakterial akut dan subakut dan pada penyakit
jantung bawaan Tetralogi Fallot (abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari jaringan
otak).6 Abses otak yang penyebarannya secara hematogen, letak absesnya sesuai dengan peredaran
darah yang didistribusi oleh arteri cerebri media terutama lobus parietalis, atau cerebellum dan batang
otak.3,6

Abses dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS, penderita penyakit kronis
yang mendapat kemoterapi/steroid yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. 20-37% penyebab
abses otak tidak diketahui. Penyebab abses yang jarang dijumpai, osteomyelitis tengkorak, sellulitis,
erysipelas wajah, abses tonsil, pustule kulit, luka tembus pada tengkorak kepala, infeksi gigi luka tembak
di kepala, septikemia. Berdasarkan sumber infeksi dapat ditentukan lokasi timbulnya abses di lobus
otak.

Infeksi sinus paranasal dapat menyebar secara retrograde thrombophlebitis melalui klep vena diploika
menuju lobus frontalis atau temporal. Bentuk absesnya biasanya tunggal, terletak superficial di otak,
dekat dengan sumber infeksinya. Sinusitis frontal dapat juga menyebabkan abses di bagian anterior atau
inferior lobus frontalis. Sinusitis sphenoidalis dapat menyebakan abses pada lobus frontalis atau
temporalis. Sinusitis maxillaris dapat menyebabkan abses pada lobus temporalis. Sinusitis ethmoidalis
dapat menyebabkan abses pada lobus frontalis. Infeksi pada telinga tengah dapat pula menyebar ke
lobus temporalis. Infeksi pada mastoid dan kerusakan tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti
kerusakan tegmentum timpani atau kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke
dalam serebelum.
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus, streptococci (viridians, pneumococci,
microaerophilic), bakteri anaerob (bakteri kokus gram positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp,
Prevotella spp, Actinomyces spp, dan Clostridium spp), basil aerob gram-negatif (enteric rods, Proteus
spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus, dan Haemophilus spp). Infeksi parasit
(Schistosomiasis, Amoeba) dan fungus (Actinomycosis, Candida albicans) dapat pula menimbulkan
abses, tetapi hal ini jarang terjadi.

Factor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau factor lingkungan.

1. faktor tuan rumah (host)

Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan umum yang
sempurna, struktur sawar darah otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem
imunologik humoral dan selular yang berfungsi sempurna.

2. faktor kuman

Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan meningitis bacterial akut,
memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman
yang memiliki virulensi yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat
ganggguan pada system limfoid atau retikuloendotelial.

3. faktor lingkungan

Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui kontak
antar individu, vektor, melaui air, atau udara.9

2.5 Patofisiologi
Abses otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun
secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi
kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling
sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi
pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu.2,7

Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai
udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah
beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga
membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang
nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif
terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)

Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit dan plasma sel dengan
pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel
radang terdapat pada tunika adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi.
Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek
massa karena pembesaran abses.

2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)

Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena
peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di
tepi pusat nekrosis didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblast yang
terpencar. Fibroblast mulai menjadi reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini
edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar

3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)


Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular debris dan fibroblast meningkat dalam
pembentukan kapsul. Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi pusat nekrosis. Di
daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah
substansi putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang terlambat di permukaan tengah
memungkinkan abses membesar ke dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke
dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah anyaman reticulum yang tersebar
membentuk kapsul kolagen, reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.

4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)

Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses dengan gambaran histologis sebagai berikut:

· Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.

· Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.

· Kapsul kolagen yang tebal.

· Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.

· Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.

Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila
terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis.7

Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses
apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis
terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya
terjadi secara hematogen.2,7

2.6 Respon Imunologik pada Abses Otak. 9

Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan saraf pusat melalui
lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat menjalar ke otak perkuntinuitatum.
Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral merupakan penyebaran ke otak secara langsung.

Ada penjagaan otak khusus terhadap bahaya yang dating melalui lintasan hematogen, yang dikenal
sebagai sawar darah otak atau blood brain barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak
terusak dan tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan hanya
bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap infeksi. Kuman yang
dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang percobaan ternyata tidak membangkitkan
abses sereebri/ abses otak, kecuali apabila jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi
intraserebral telah diadakan nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak
sangat protektif, namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibody dan antibiotik. Jaringan otak tidak
memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan limfatik untuk
pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses infeksi di luar otak, infeksi di
otak cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif.

2.7 Manifestasi Klinis

Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala infeksi seperti demam, malaise,
anoreksi dan gejalagejala peninggian tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang.
Dengan semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak yang terdiri dari gejala
infeksi, peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologik fokal.2,7
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala neurologik seperti hemikonvulsi,
hemiparesis, hemianopsia homonim disertai kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang
kurang baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum ventrikel.2,5,7

Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan mengecap didapatkan disfasi,
defek penglihatan kwadran alas kontralateral dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama
wajah dan anggota gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif
asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal adalah gejala
sensorimotorik.7 Abses serebelum biasanya berlokasi pada satu hemisfer dan menyebabkan gangguan
koordinasi seperti ataksia, tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi,
biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.

2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinik, pemeriksaan laboratorium disertai


pemeriksaan penunjang lainnya. Selain itu penting juga untuk melibatkan evaluasi neurologis secara
menyeluruh, mengingat keterlibatan infeksinya. Perlu ditanyakan mengenai riwayat perjalanan
penyakit, onset, faktor resiko yang mungkin ada, riwayat kelahiran, imunisasi, penyakit yang pernah
diderita, sehingga dapat dipastikan diagnosisnya.2,7

Pada pemeriksaan neurologis dapat dimulai dengan mengevaluasi status mental, derajat kesadaran,
fungsi saraf kranialis, refleks fisiologis, refleks patologis, dan juga tanda rangsang meningeal untuk
memastikan keterlibatan meningen.2

Pemeriksaan motorik sendiri melibatkan penilaian dari integritas sistem musculoskeletal dan
kemungkinan terdapatnya gerakan abnormal dari anggota gerak, ataupun kelumpuhan yang sifatnya
bilateral atau tunggal.2
Pada pemeriksaan laboratorium, terutama pemeriksaan darah perifer yaitu pemeriksaan lekosit dan laju
endap darah; didapatkan peninggian lekosit dan laju endap darah.2,7. Pemeriksaan cairan serebrospinal
pada umumnya memperlihatkan gambaran yang normal. Bisa didapatkan kadar protein yang sedikit
meninggi dan sedikit pleositosis, glukosa dalam batas normal atau sedikit berkurang.2,7,12 kecuali bila
terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel.2,7

Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial, dapat pula menunjukkan
adanya fokus infeksi ekstraserebral; tetapi dengan pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya
abses. Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam hemisfer. EEG
memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta dengan frekuensi 13 siklus/detik pada
lokasi abses.2,7,13 Pnemoensefalografi penting terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan
arteriografi dapat diketahui lokasi abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan
setelah digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak menggunakan
radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses memperlihatkan bayangan yang
hipodens daripada daerah otak yang normal dan biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan
selain mengetahui lokasi abses juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses.2,13 Magnetic
Resonance Imaging saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih
akurat.

Gambar 2.2. Early cerebritis pada CT-Scan (Sumber: http://emedicine.medscape.com)

Gambaran CT-scan pada abses :

Early cerebritis (hari 1-3): fokal, daerah inflamasi dan edema.

Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari zona central inflamasi.

Early capsule stage (hari 10-14): gliosis post infeksi, fibrosis, hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah
yang terinfeksi. Pada stadium ini dapat terlihat gambaran ring enhancement.

Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral abses) yang dikelilingi
dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)

Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur diagnostik, dikarenakan


sensitifitasnya dapat mencapai 90% untuk mendiagnosis abses serebri. Yang perlu dipertimbangkan
adalah walaupun gambaran CT tipikal untuk suatu abses, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
didiagnosis banding dengan tumor (glioblastoma), infark, metastasis, hematom yang diserap dan
granuloma.2,3,7

Walaupun sukar membedakan antara abses dan tumor (glioblastoma, metastasis) dari CT scan, ada
beberapa parameter yang dapat digunakan untuk membedakan keduanya antara lain : umur penderita,
ketebalan ring (cicin tipis hanya 3-6 mm) dan biasanya uniform, diameter ring, rasio lesi dan ring. Pada ½
kasus, kapsul bagian medial lebih tipis dari kapsul subkortikal. Hal ini menunjukkan sedikitnya
vaskularisasi dari massa putih dan menjelaskan mengapa daughter abscess biasanya berkembang di
medial.

Abses serebri yang hematogen ditandai dengan adanya fokus infeksi (yang tersering dari paru), lokasi
pada daerah yang diperdarahi oleh arteri serebri media di daerah perbatasan massa putih dan abu-abu
dengan tingkat mortalitas yang tinggi.

Sedangkan gambaran glioblastoma pada CT scan adalah adanya mixed density tumor, ring enhancement
yang berlekuk-lekuk disertai perifokal edema yang luas.2,3,7,8

2.9 Penatalaksanaan

Terapi definitif untuk abses melibatkan :

1. Penatalaksanaan terhadap efek massa (abses dan edema) yang dapat mengancam jiwa

2. Terapi antibiotik dan test sensitifitas dari kultur material abses

3. Terapi bedah saraf (aspirasi atau eksisi)


4. Pengobatan terhadap infeksi primer

5. Pencegahan kejang

6. Neurorehabilitasi2,3,4,9

Penatalaksanaan awal dari abses otak meliputi diagnosis yang tepat dan pemilihan antibiotik didasarkan
pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak
diketahui, dapat digunakan kombinasi dari sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat
riwayat cedera kepala dan pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau
vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik terpilih dapat
digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia. Pada abses terjadi akibat trauma
penetrasi,cedera kepala, atau sinusitis dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau
vancomycin, cefotaxime atau cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengna meropenem yang
terbukti baik melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan
menjadi pilihana alternatif. Sementara itu pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat
diterapi dengan penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt
dapat diterapi dengan vancomycin dan ceptazidine. Ketika otitis media, sinusitis, atau mastoidits yang
menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus pneumonia telah resisten terhadap
penissilin. Ketika meningitis citrobacter, yang merupakan bakteri utama pada abses local, dapat
digunakan sefalosporin generasi ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi
aminoglikosida. Pada pasien dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas
dan dipertimbangkan pula terapi amphoterids.
Tabel 2.1 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses Otak

Drug Dose

Frekwensi dan rute

Cefotaxime (Claforan) 50-100 mg/KgBBt/Hari

2-3 kali per hari,

IV

Ceftriaxone (Rocephin)

50-100 mg/KgBBt/Hari

2-3 kali per hari,

IV

Metronidazole (Flagyl)

35-50 mg/KgBB/Hari
3 kali per hari,

IV

Nafcillin (Unipen, Nafcil)

2 grams

setiap 4 jam,

IV

Vancomycin

15 mg/KgBB/Hari

setiap 12 jam,

IV

Kebanyakan studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan steroid dapat mempengaruhi penetrasi
antibiotik tertentu dan dapat menghalangi pembentukan kapsul abses. Tetapi penggunaannya dapat
dipertimbangkan pada kasus-kasus dimana terdapat risiko potensial dalam peningkatan tekanan
intrakranial. Dosis yang dipakai 10 mg dexamethasone setiap 6 jam intravenous, dan ditapering dalam 3-
7 hari.
Pada penderita ini, kortikosteroid diberikan dengan pertimbangan adanya tekanan intrakranial yang
meningkat, papil edema dan gambaran edema yang luas serta midline shift pada CT scan. Kortikosteroid
diberikan dalam 2 minggu setelah itu di tap-off, dan terlihat bahwa berangsur-angsur sakit kepala
berkurang dan pada pemeriksaan nervus optikus hari XV tidak didapatkan papil edema. Penatalaksanaan
secara bedah pada abses otak dipertimbangkan dengan menggunakan CT-Scan, yang diperiksa secara
dini, untuk mengetahui tingkatan peradangan, seperti cerebritis atau dengan abses yang multipel.

Terapi optimal dalam mengatasi abses serebri adalah kombinasi antara antimikrobial dan tindakan
bedah. Pada studi terakhir, terapi eksisi dan drainase abses melalui kraniotomi merupakan prosedur
pilihan. Tetapi pada center-center tertentu lebih dipilih penggunaan stereotaktik aspirasi atau MR-
guided aspiration and biopsy. Tindakan aspirasi biasa dilakukan pada abses multipel, abses batang otak
dan pada lesi yang lebih luas digunakan eksisi.

Pada beberapa keadaan terapi operatif tidak banyak menguntungkan, seperti: small deep abscess,
multiple abscess dan early cerebritic stage.

Kebanyakan studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna diantara penderita yang
mendapatkan terapi konservatif ataupun dengan terapi eksisi dalam mengurangi risiko kejang.

Pada penderita ini direncanakan untuk dilakukan operasi kraniotomi mengingat proses desak ruang yang
cukup besar guna mengurangi efek massa baik oleh edema maupun abses itu sendiri, disamping itu
pertimbangan ukuran abses yang cukup besar, tebalnya kapsul dan lokasinya di temporal.

Antibiotik mungkin digunakan tersendiri, seperti pada keadaan abses berkapsul dan secara umum jika
luas lesi yang menyebabkan sebuah massa yang berefek terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
Dan harus ditatalaksanakan dengan kombinasi antibiotik dan aspirasi abses.

Pembedahan secara eksisi pada abses otak jarang digunakan, karena prosedur ini dihubungkan dengan
tingginya angka morbiditas jika dibandingkan dengan teknik aspirasi. Indikasi pembedahan adalah ketika
abses berdiameter lebih dari 2,5 cm, adanya gas di dalam abses, lesi yang multiokuler, dan lesi yng
terletak di fosa posterior, atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis,
sinusitis, dan abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi antibiotik
bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal. Tetapi, efek yang nyata terlihat
4-6 minggu.
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya terhadap korteks. Oleh
karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan
durasi bebas kejang, ada tidaknya abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging). 3

Pada penderita ini diberikan fenitoin oral, mengingat penderita sudah mengalami kejang dengan
frekuensi yang cukup sering. Penghentian antikonvulsan ini ditetapkan berdasarkan perkembangan
klinis penderita selanjutnya.

2.10 Komplikasi

Abses otak menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Adapun komplikasinya adalah:

1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid

2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus

3. Edema otak

4. Herniasi oleh massa Abses otak

2.11 Prognosis

Angka kematian yang dihubungkan dengan abses otak secara signifikan berkurang, dengan perkiraan 5-
10% didahului CT-Scan atau MRI dan antibiotic yang tepat, serta manajemen pembedahan merupakan
faktor yang berhubungan dengan tingginya angka kematian, dan waktu yang mempengaruhi lesi, abses
mutipel, kesadaran koma dan minimnya fasilitas CT-Scan. Angka harapan yang terjadi paling tidak 50%
dari penderita, termasuk hemiparesis, kejang, hidrosefalus, abnormalitas nervus kranialis dan masalah-
masalah pembelajaran lainnya.

Prognosis dari abses otak ini tergantung dari:

1) Cepatnya diagnosis ditegakkan

2) Derajat perubahan patologis

3) Soliter atau multipel

4) Penanganan yang adekuat.

Dengan alat-alat canggih dewasa ini AO pada stadium dini dapat lebih cepat didiagnosis sehingga
prognosis lebih baik. Prognosis AO soliter lebih baik dan mu1tipel. Defisit fokal dapat membaik, tetapi
keajng dapat menetap pada 50% penderita.3,4

DAFTAR PUSTAKA
1. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: WB Saunders.
2004. p: 2047-2048.

2. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: WB
Saunders. 2004. p:1973-1982.

3. Dorlan, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. Jakarta : EGC

4. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology. 5th ed. USA:McGraw-Hill Inc,
1993:612-616.

5. Margaret B. Rennels, Celeste L. Woodward, Walker L. Robinson, Maria T. Gumbinas.1983. Medical


Cure of Apparent Brain Abscesses. Pediatrics 1983;72;220-224.

6. Edwin G. Fischer, James E. McLennan, Yamato Suzuki. 1981. Cerebral Abscess in Children. Am J Dis
Child. 1981;135(8):746-749.

7. Goodkin HP, Harper MB, Pomeroy SL. 2004. Prevalence, Symptoms, and Prognosis of Intracerebral
Abscess. American Academy of Pediatrics. Availablathttp://aapgrandrounds.aappublications.org
accessed at 3 May 2011.

8. Bailey.R, 2011, Anatomy of the Brain, Available at


http://biology.about.com/od/humananatomybiology/a/anatomybrain.htm accessed 16 May 2011

9. Mardjono, M. Sidharta, P. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Anda mungkin juga menyukai