Anda di halaman 1dari 5

Pterigium Berdasarkan Usia

Permasalahan utama pada operasi pterigium ialah terjadinya pterigium rekurensi


setelah dilakukannya operasi eksisi tersebut. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya pterigium rekurensi, yaitu usia muda, pekerjaan diluar
ruangan (paparan sinar UV), dan teknik operasi. Kwon dkk melakukan penelitian
pada tahun 2009 sampai 2011 didapatkan bahwa penderita pterigium rekurensi lebih
tinggi terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Pada tahun 2005 Fernandez dkk
melakukan penelitian selama 8 tahun didapatkan hasil yang sama dengan penelitian
yang dilakukan kwon dkk yaitu pterigium rekurensi lebih tinggi terjadi pada usia
kurang dari 40 tahun. Prevalensi kejadian pterigium akan meningkat dengan umur,
terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun.
Pterigium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua.
Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.
Beberapa penelitian termasuk yang dilakukan di Indonesia prevalensi pterigium
akan meningkat dengan bertambahnya umur. Prevalensi pterigium meningkat
dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga
ditemui pada usia anak-anak. Umumnya banyak muncul pada usia 20 – 30 tahun.
Pterigium tidak lazim terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga data prevalensi
pterigium pada anak balita dalam analisis ini dinilai kurang valid. 9

Pterigium Berdasarkan Perluasan Ke Kornea


Youngson, mengklasifikasikan pterigium primer menjadi 4 derajat berdasarkan
perluasannya ke kornea. Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium hanya terbatas pada
limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati limbus kornea
tapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, derajat 3 bila pertumbuhan pterigium
sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi tepi pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) dan derajat 4 bila pertumbuhan
pterigium sudah melewati tepi pupil. Tan, (2002), membagi pterigium menjadi 3
tipe berdasarkan terlihat atau tidaknya pembuluh darah episklera, T1 (tipe atrofi)
bila pembuluh darah episklera terlihat jelas, T2 (tipe intermediate) bila pembuluh
darah episklera terlihat sebagian, dan T3 (tipe fleshy) bila pembuluh darah episklera
tidak terlihat seluruhnya. Pembagian tipe menurut Tan ini digunakan untuk menilai
derajat keparahan pterigium.10

Teknik Pembedahan Pterigium


Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas
pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama
pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah.
Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang
rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.1 Adapun
Indikasi Operasi pada ptirigium adalah sebagai berikut:

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus


2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.2
Adapun Teknik Pembedahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah sebagai
berikut:
1. Eksisi dengan bare sclera
Pada teknik operasi ini dilakukan eksisi kepala dan badan pterygium sedangkan
sklera dibiarkan terbuka untuk mengalami epitelisasi kembali. Tingkat
kekambuhan pada teknik ini tinggi, yaitu antara 24 % sampai 89 %, dan telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan. Teknik operasi menggunakan
mikroskop yang dilakukan di bawah anastesi lokal. Dilakukan eksisi badan
pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus, kemudian
pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tendon di bawah badannya
dengan menggunakan gunting.3,4
2. Transplantasi membran amnion (amniotic membrane transplantation)
Teknik operasi ini berupa grafting dengan menggunakan membran amnion, yang
merupakan lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung membrana
basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi,
membran amnion ini digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea,
sterile melts, dan untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai
macam prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu
yang dilakukan oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva.
Dengan angka kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada
juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan
mempopulerkannya.5
Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari membran
amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah
teori terkini menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk
limbal stem cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas
dipelihara dengan meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih
jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas
normal untuk mengurangi scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini
membantu penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan
ulserasi stromal.
Setelah dilakukan pengangkatan konjungtiva luas dilakukan transplantasi
membran amnion.Membran amnion diletakkan diatas defek dan dijahitkan ke
sklera. Transplantasi membran amnion telah terbukti dapat mengurangi
pterigium rekuren karena membran amnion dapat menekan signal TGF-β di
konjungtiva sehingga reaksi pembentukan fibroblastik dan jaringan parut dapat
dikurangi.4,5
3. Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40
persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari
Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini.6
4. Eksisi dengan membran mukosa
Dilakukan pemotongan konjungtiva dan symblepharon sehingga dapat
membebaskan perlengketan jaringan fibrosa. Pterigium dipotong pipih dari
kornea sehingga dapat dibebaskan dari konjungtiva, sclera dan otot rektus mata
yang normal. Kornea, skelra, limbus dan jaringan disekitarnya yang tersisa
sangat tipis. Keratektomi dilakukan pada korneosklera yang dipotong pipih
kemudian dilakukan graft donor kornea dengan nilon nomor 10/0 dengan jahitan
secara terputus. Kemudian di lakukan graft pada sclera dan konjungtiva yang
diambil dari membrane mukosa bibir dengan ketebalan 0,2 mm, dilakukan
penjahitan dengan menggunakan vikril nomor 7/0.7
5. Avulsi pterigium dengan konjungtiva limbal graft
Dilakukan anestesi topical pada mata dengan menggunakan proparakain HCl
0,5%. Kemudian dilakukan injeksi peribulbar terpat nya dibawah pterigium
dengan menggunakan xylocain 2% dan adrenalin (1:100.000). Dilakukan
sayatan kecil pada bagian pterigium sehingga pterigium dapat dipisahkan dari
episklera dan kornea. Kemudian dilakukan penyuntikan xylocain 2% 0,25 ml
dengan adrenalin (1:100.000) untuk membuat balon konjungtiva setipis
mungkin dan diambil sampai ke limbus. Tanpa pengangkatan flap, kemudian
langsung digeser ke sclera yang akan digraft dan dijahit dengan nilon nomor
10/0.8
DAFTAR PUSTAKA

1. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan


Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
2. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
3. Sidharta, Ilyas. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta; FKUI. 2010
4. Aminlari A, dkk. Management of Pterygium.Eyenet; Opthalmic Pearls Cornea.
2010.
5. Cason, John B. Amniotic Membrane Transplantation. 2007.
6. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. American Academy
of Opthalmology. 2010.
7. Forbes J, Collin R, Dart J. Split thickness buccal mucous membrane grafts and
β irradiation in the treatment of recurrent pterygium. Br J Ophthalmol. 1998
juni 18; 82:1420–23.
8. Sadiq Mn, Arif As, Jaffar S, Bhatia J. Use Of Supero-Temporal Free
Conjunctivo–Limbal Autograft In The Surgical Management Of Pterygium:
Our Technique And Results. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2009; 21 (4).
9. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat [Tesis]. Medan;
Universitas Sumatera Utara; 2009.
10. G Gazzard, S-M Saw, M Farook, D Koh, D Widjaja, S-E Chia, C-Y Hong, D T
H Tan, 2002. Pterygium in Indonesia: Prevalence, severity and risk factors.
Bjophthalmol 86, 1341-1346.

Anda mungkin juga menyukai