Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum
internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua,
yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum
yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum
yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum
internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac
Pacis(Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional
didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan
demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”.
Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk
dari hubungan antara negara-negara”
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa
lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku
hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.
Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai
hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde :
Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-
satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku
umum di kalangan para sarjana sebelumnya.
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti
materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah
sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum
itu sendiri.
Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau
wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak
dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu
masalah tertentu.
1. Negara
1. Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James
H. Wolfe :
a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan
tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan
yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International
Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan
global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri
suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan
negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus
berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan
meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri
sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh
pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti
bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati
status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
1. Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang
memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada
individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada
tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi
manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu
sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
7. Perusahaan Multinasional
Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional, yaitu: teori Dualisme dan teori Monisme.
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua
sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas
atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional
memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya,
maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling
berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan
dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini,
hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum
nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26)
(2). Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-
anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-
orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang
dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang
telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang
memuat:
1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
2. metode pemilihan panel arbitrase;
3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
4. batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu
kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat
diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara
unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada
persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena
Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya
para pihak).
G. Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa
1. Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ)
Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827, tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan
Bangsa-Bangsa membentuk The International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag, Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk
mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat
terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia.
Semenjak Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran
berat dan 20 diantaranya telah ditahan.
Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah
menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan
mengeluarkan resolusi untuk membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang
sebagaimana diketahui memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)
REFERENSI
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Clarendon Press,
Oxford
Diambil dari :
http://telagahati.wordpress.com/2007/10/28/pengant
ar-hukum-internasional-sma-my-hand-made-hehe/
by : yordangunawan