DI SUSUN OLEH :
CI LAHAN CI INSTITUSI
A. Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-betulnya
tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan
internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau
pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh
klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera
seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin organik,
fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).
C. Fase-fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien, bisa berbeda intensitasnya dan keparahannya.
Stuart dan Laraia (2001) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan tingkat
ansietasnya yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya. Semakin berat fase
halusinasinya, klien semakin berat mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh
halusinasinya.
1. Fase 1 : Comforting : Ansietas Sedang : halusinasi menyenangkan.
Karakteristik : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasah
bersalah, takut, dan mencoba untuk berfokus pada pikiran menyenangkan untuk
meredakan ansietas. Individu mengenali bahwa pikiran-pikiran dan pengalaman
sensori berada dalam kendali kesadaran jika ansietas dapat ditangani.
Perilaku klien :
a. Tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal yang lambat jika sedang asyik.
e. Diam dan asyik sendiri.
2. Fase II : Condemning : Ansietas Berat : Halusinasi menjadi menjijikkan.
Karakteristik : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas
kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang
dipersepsikan. Klien mungkin mengalami dipermalukan oleh pengalaman sensori dan
menarik diri dari orang lain.
Perilaku Klien :
a. Meningkatnya tanda-tanda sistem syaraf otonom akibat ansietas otonom akibat
ansietas seperti peningkatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah.
b. Rentang perhatian menyempit.
c. Asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realita.
3. Fase III : Controlling : Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa
Karakteristik : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan
menyerah pada halusinasi tersebut. Isi halusinasi menjadi menarik. Klien mungkin
mengalami pengalaman kesepian jika sensori halusinasi berhenti.
Perilaku Klien :
a. Kemauan yang dikendalikan halusinasi akan lebih diikuti.
b. Kesukaran berhubungan dengan orang lain.
c. Rentang perhatian hanya beberapa detik atau menit.
d. Adanya tanda-tanda fisik ansietas berat : berkeringat, tremor, tidak mampu
mematuhi perintah.
4. Fase IV : Conquering : Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasi.
Karakteristik : pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah
halusinasi. Halusinasi berakhir dari beberapa jam atau hari jika tidak ada intervensi
terapeutik.
Perilaku Klien :
a. Perilaku teror akibat panik.
b. Potensi kuat suicide (bunuh diri) atau homicide (membunuh orang lain)
c. Aktivitas fisik merefleksikan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, atau katatonia.
d. Tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks.
e. Tidak mampu berespon lebih dari satu orang.
D. Penyebab
Faktor-faktor penyebab halusinasi dibagi dua (Yosep, 2010) yaitu :
1. Faktor predisposisi
a) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
frustasi, hilangnya kepercayaan diri dan lebih rentan terhadap stress.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang tidak diterima oleh lingkungannya sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian dan tidak percaya pada lingkungannya.
c) Faktor biokimia
Stress yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan
suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan
Dimetytranferse (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan terakitvasinya
neurotrasmitter otak. Misalnya tejadi ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Anak sehat yang di asuh oleh orang tua yang mengalami gangguan jiwa cenderung
mangalami gangguan jiwa dan faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
a) Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan dalam waktu lama.
b) Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan.
c) Dimensi intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan penurunan fungsi ego seseorang yang pada awalnya halusinasi
merupakan usaha dari ego itu sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil
seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien
d) Dimensi sosial
Dalam dimensi sosial ini klien mengalami gangguan interaksi sosial dan
menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.
e) Dimensi spiritual
Secara spiritual klien dengan halusinasi dimulai dengan kehampaan hidup, rutinitas
tidak bermakna, hilangnya keinginan untuk beribadah dan jarang berupaya secara
spiritual untuk menyucikan diri. Klien sering memaki takdir tetapi lemah dalam
upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang
menyebabkan memburuk.
E. Tanda dan gejala
Adapun Tanda dan gejala halusinasi menurt Direja, 2011 sebagai berikut :
1) Halusinasi Pendengaran
Data Objektif : Bicara atau ketawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mengarahkan
telinga ke arah tertentu, menutup telinga.
Data Subjektif : mendengar suara atau kegaduhan, mendengarkan suara yang mengajak
bercakap-cakap, mendengarkan suara yang menyuruh melakukan sesuatu yang
berbahaya.
2) Halusinasi Penglihatan
Data Objektif : menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak
jelas.
Data Subjektif : melihat bayangan, sinar bentuk geometris, bentuk kortoon, melihat
hantu atau monster.
3) Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-kadang
bau itu menyenangkan.
4) Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
5) Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa tersengat listrik.
F. Batasan Karakteristik
Batasan karakteristik klien dengan gangguan halusinasi menurut Nanda-I (2012), adalah :
a. Perubahan dalam pola perilaku
b. Perubahan dalam kemampuan menyelasaikan masalah
c. Perubahan dalam ketajaman sensori
d. Perubahan dalam respon yang biasa terhadap stimulus
e. Disorientasi
f. Halusinasi
g. Hambatan komunikasi
h. Iritabilitas
i. Konsentrasi buruk
j. Gelisah
k. Distorsi sensori
G. Mekanisme Koping
Kaji mekanisme koping yang sering digunakan klien, meliputi :
a. Regresi : menjadi malas beraktifitas sehari-hari
b. Proyeksi : mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
c. Menarik Diri : sulit mempercayai orang lain dan dengan stimulus internal
d. Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
H. Akibat
Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Ini
diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk
melakukan sesuatu hal di luar kesadarannya
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan medis dan
penatalaksanaan keperawatan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya diatasi
dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut biasanya
diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi biasanya cukup
3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral 3x1,5 mg atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila kondisi
sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja (Yosep,
2011).
2) Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang grandmall
secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang
pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan pada skizoprenia
yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang
listrik 4-5 joule/detik.
3) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang lain,
penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri
lagi karena bila menarik diri dia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan penderita untuk mengadakan permainan atau pelatihan bersama
(Maramis, 2005).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi yaitu ( Keliat,
2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah
dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sessi.
Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang
disediakan : baca artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV (ini merupakan
stimulus yang disediakan), stimulus dari pengalaman masa lalu yang menghasilkan
proses persepsi klien yang maladaptive atau distruktif, misalnya kemarahan,
kebencian, putus hubungan, pandangan negative pada orang lain dan halusinasi.
Kemudian dilatih persepsi klien terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian diobservasi
reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan
secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya klien yang tidak mau
mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi emosi dan perasaannya, serta
menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah : musik,
seni menyanyi, menari. Jika hobby klien diketahui sebelumnya, dapat dipakai
sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan klien, dapat digunakan sebagai stimulus.
3. Halusinasi Penghidu
Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung.
Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin, faeces, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
4. Halusinasi Pengecap
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.
5. Halusinasi Perabaan
Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.
Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa seperti
tersengat listrik.
B. Isi halusinasi.
Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila halusinasi
yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa bentuk bayangan yang dilihat oleh klien
bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk
halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan
apa di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
E. Respon klien.
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien bisa dikaji dengan
menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah
klien masih bisa mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap
halusinasi.
POHON MASALAH
SP2P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
2. Melatih klien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang
lain.
3. Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian klien.
SP3P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
2. Melatih klien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan kegiatan.
3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
SP4P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur
3. Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
SP1K
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2. Memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang
dialami klien, tanda dan gejala halusinasi, serta proses terjadinya halusinasi.
3. Menjelaskan cara-cara merawat pasien halusinasi.
SP2K
1. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan halusinasi.
2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien halusinasi.
SP3K
1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
( discharge planing ).
2. Menjelaskan follow- up klien setelah pulang.
VI. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi dibagi dua yaitu, evaluasi proses atau pormatif yang dilakukan setiap
selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan
membandingkan antara respon klien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan
(Direja, 2011).
Menurut Damaiyanti (2012), evaluasi dilakukan sesuai TUK pada perubahan persepsi
sensori : halusinasi yaitu :
1) Klien dapat menbina hubungan saling percaya
2) Klien dapat mengenali halusinasinya
3) Klien dapat mengontrol halusinasinya
4) Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mrngontrol halusinasi
5) Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha
Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba Medika.
Keliat, B. A., 2004, Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta : EGC.
Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Selemba
Medika
Maramis F. Willy., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga University
Press. .
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2009. Pedoman Manajemen Asuhan
Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans Info
Medika.
Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung : Refika Aditama