Anda di halaman 1dari 29

TREND ISSUE : BERMAIN TERAPEUTIK

MAKALAH
Disusun sebagai tugas Mata Ajar
Keperawatan Anak Lanjut Dalam Konteks Keluarga
Dosen Pengampu: Ns. Fajar Tri Waluyanti, M Kep., Sp. Kep. An., IBCLC

Penyusun:
Kelompok IX

1. Desi Kurniawati 1406522733


2. Dewi Irianti 1406596933
3. Lina Mahayati 1406523061
4. Winda Darpianur 1406297425

PROGRAM STUDI MAGISTER PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
OKTOBER 2014
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Anak Lanjut Dalam Konteks
Keluarga (IKDKK) ini dengan judul “Bermain Terapeutik”.
Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan mata kuliah IKDKK pada Program Pasca Sarjana Keperawatan
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini kelompok
mengucapkan terima kasih, kepada yang terhormat:
1. Koordinator mata kuliah IKDKK
2. Dosen pembimbing dan pengajar materi Trend Issue Dalam Keperawatan
Anak : Bermain Terapeutik.
Kelompok telah berusaha dalam penyusunan dan pembahasan tugas ini.
Kelompok sadar masih banyak kekurangan dan keterbatasannya. Oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati kritik dan saran, usulan dan pendapat yang bersifat
membangun sangat kami harapkan guna melengkapi kekurangan dan kelemahan
dalam tugas IKDKK ini.

Depok, Oktober 2014

Kelompok IX

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum ............................................................................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN TEORI


2.1 Definisi........................................................................................... 3
2.1.1 Definisi Bermain Terapeutik...................................................... 3
2.1.2 Definisi Terapi Bermain ............................................................ 3
2.2 Tujuan Bermain Terapeutik............................................................ 4
2.3 Teknik Bermain Terapeutik............................................................ 5
2.4. Bermain Terapeutik sesuai dengan Usia ....................................... 6
2.5. Teknik Bermain Terapeutik terkait Intervensi Keperawatan......... 8

BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Trend Issue Bermain Terapeutik ........................................................... 11

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 26
4.2 Saran ...................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Dunia anak adalah dunia bermain. Pada saat bermain anak belajar banyak
hal. Otak dan emosional terlatih. Ketika anak merasakan ketidaknyamanan,
seperti : anak sedang marah, benci, kesal, takut, dan cemas, bermain adalah
solusi untuk menghilangkan rasa ketidaknyamanan tersebut. Pada saat anak
sedang sakit dan dirawat, bermain dapat menghilangkan rasa
ketidaknyamanan akibat hospitalisasi. Hospitalisasi adalah suatu proses
yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan
perawatan sampai pulang kembali ke rumah (Supartini, 2004).

Hospitalisasi merupakan masa yang sulit bagi anak. Mereka akan


kehilangan kebiasaan bermain, teman-teman sepermainan, lingkungan yang
dikenal dan mengharuskan anak untuk menjalani rawat inap, sedangkan
rumah sakit merupakan tempat yang asing, dalam keadaan sakit dan sepi
serta harus menjalani berbagai prosedur pengobatan yang menakutkan.
Kondisi yang terus dibiarkan akan membuat anak merasa jenuh, bosan dan
kegembiraannya semakin lama akan semakin berkurang dan akhirnya hilang
(Wong, 2010).

Tindakan perawatan yang diberikan akan mengakibatkan stres bagi anak


karena anak bertemu dengan orang yang belum dikenal sebelumnya,
peralatan medis di ruangan yang mengerikan dan menakutkan serta anak
merasa berpisah sementara dengan orang-orang yang dikenal dan teman
yang dicintai. Kebutuhan anak untuk dicintai tidak terpenuhi dalam
perawatan, maka sikap kooperatif akan terhambat, akibatnya proses perawatan
yang dilakukan tidak berjalan lancar sehingga tujuan yang diharapkan.
(Hurlock, 1999).

Atraumatic care sebagai bentuk perawatan terapeutik yang dapat diberikan


kepada anak dan keluarga dengan mengurangi dampak psikologis dari tindakan
keperawatan yang diberikan. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat

1
2

menurunkan trauma akibat hospitalisasi adalah bermain terapeutik. bermain


terapeutik dapat memungkinkan anak untuk lebih kooperatif dengan perawat,
karena bermain terapeutik dapat memberikan kesempatan pada anak untuk
bertanya, menyediakan kebebasan untuk mengekspresikan emosi, membantu
menanggulangi pengalaman yang tidak menyenangkan, pengobatan dan
prosedur invasif sehingga memungkinkan dapat menurunkan stres dan
ketakutan pada anak.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum:
Mampu mengidentifikasi trend isu dalam keperawatan anak terkait
Bermain Terapeutik
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mampu menguraikan Definisi Bermain Terapeutik
b. Mampu menguraikan Tujuan Bermain Terapeutik
c. Mampu menguraikan Teknik Bermain Terapeutik
d. Trend Issue Bermain Terapeutik
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi
2.1.1. Bermain Terapeutik
Bermain adalah cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan
sosial dan merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan
bermain anak akan berkata-kata, menyesuaikan diri dengan lingkungan,
melakukan apa yg dapat dilakukan, dan mengenal waktu, jarak, serta
suara. Bermain Terapeutik adalah modalitas yang sangat efektif untuk
membantu anak menghadapi kekhawatiran dan ketakutan dan pada saat
bersamaan membantu perawat mendapatkan pemahaman tentang
kebutuhan dan perasaan anak (Wong, 2002). Bermain Terapeutik adalah
bermain yang menghadirkan kesempatan untuk menghadapi rasa takut dan
kekhawatiran akan pengalaman pengalaman yang berhubungan dengan
kesehatan. (Ball 2003).

Menurut Ball dan Bindler (2010) bahwa bermain terapeutik merupakan


bentuk bermain yang terstruktur untuk menurunkan kecemasan yang
cenderung mengancam dan dapat dijadikan rekreasi untuk mengatasi
kecemasan tersebut. Bermain terapeutik menurut James (2011) adalah
bermain yang dapat mempertahankan kondisi emosional,
menginstruksikan dan meningkatkan kemampuan fisiologis anak, dimana
bermain yang diawasi dengan peralatan medis sehingga membantu
mengurangi ketakutan dan realitas yang terpisah dari fantasi. Dari
beberapa pendapat tersebut, menjelaskan bahwa bermain terapeutik
merupakan bentuk aktivitas permainan terstruktur berfokus untuk
mengurangi rasa takut dan kekhawatiran akibat hospitalisasi pada anak.

2.1.2. Terapi Bermain


Terapi bermain adalah teknik psikologik yang digunakan oleh ahli terapi
yang terlatih dan berkualitas sebagai metode interpretatif dengan anak
yang terganggu secara emosional (Wong, 2002). Terapi bermain adalah
penggunaan teori model yang sistematis untuk membangun proses antar
pribadi anak, dimana terapis menggunakan kekuatan terapi bermain untuk

3
4

membantu anak mencegah atau mengatasi kesulitan psikososial dan


mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Terapi bermain
adalah cara yang dilakukan kepada anak dengan menghormati tingkat
perkembangan yang unik dan mencari cara untuk membantu sesuai dengan
dunia anak. Terapi bermain paling sering dilakukan pada anak-anak usia 3
sampai 12 tahun yang bertujuan untuk lebih mengekspresikan diri dan
menyelesaikan masalah. Terapi bermain dapat berlangsung dengan baik
jika tercipta hubungan yang bagus antara terapis dan anak, sehingga anak
dapat dengan bebas dan alami mengekspresikan apa yang menyenangkan
dan mengganggu (The Association for Play Therapy, 2001).

2.2. Tujuan Bermain Terapeutik


Menurut Ball dan Bindler (2010) tujuan bermain terapeutik yaitu untuk
membantu perawat memahami dengan baik kebutuhan anak dan membantu
menghadapi prosedur atau tindakan terapi, sehingga dapat menurunkan
ketegangan anak setelah tindakan tersebut. Menurut Koller (2008) tujuan
bermain terapeutik ada dua antara lain:
2.2.1 Psychological and Behavioral Outcomes
a. Mengurangi rasa takut
b. Mengurangi homesick
c. Mengurangi kecemasan
d. Meningkatkan perkembangan kognitif
2.2.2 Physiological Outcomes
Bermain terapeutik bertujuan untuk mengurangi respon fisiologis seperti
peningkatan tekanan darah, nadi, palm sweating (tangan berkeringat) dan
gerak berlebih.
Menurut Ball dan Bindler (2010) tujuan bermain terapeutik:
2.2.2. Belajar tentang perawatan kesehatan
2.2.3. Mengekspresikan kecemasan
2.2.4. Mempunyai efek penyembuhan
2.2.5. Menguasai suatu keterampilan, mampu mengatasi kendala-kendala atau
suatu situasi yang tidak dimengerti

2.3. Teknik Bermain Terapeutik


Menurut Ball dan Bindler (2010) ada beberapa teknik yang dapat digunakan
untuk bermain terapeutik antara lain:
2.3.1. Stories
5

Perawat saat tahap pengkajian meminta anak untuk bercerita tentang suatu
gambar. Perawat menganalisis konten emosi pada saat anak bercerita. Anak
bercerita tentang pengalaman penting pada anak lain pada satu kelompok.
Pada tahap intervensi perawat melakukan tindakan membaca dan membuat
satu cerita yang menjelaskan penyakit, hospitalisasi atau aspek lain dalam
pelayanan kesehatan termasuk rasa takut
2.3.2. Drawings
Teknik ini berguna untuk mengevaluasi level kognitif. Pada tahap
pengkajian perawat meminta anak untuk menggambar subjek yang
menggambarkan keadaan emosionalnya dengan menggunakan warna.
Perawat belajar tentang pengetahuan anak sebelum merencanakan
intervensi. Pada tahap intervensi gunakan gambar anak untuk menceritakan
tentang perawatan, prosedur dan kondisi. Perawat memberi kesempatan
anak untuk menggambarkan gambarnya atau pilihannya atau mengarahkan
pada topik seperti gambar keluarga dan pelayanan kesehatan.Perawat
meminta pada anak untuk menceritakan tentang gambar.Perawat
memperhatikan keadaaan emosi anak, anak biasanya takut dengan mesin x-
ray yang besar.
2.3.3. Music
Perawat pada tahap pengkajian melakukan observasi tipe musik yang dipilih
dan efek dari musik tersebut. Pada tahap intervensi perawat menganjurkan
orang tua dan anak untuk membawa tape favorit untuk menurunkan tingkat
stress. Ketika musik diputar lakukan tes dan prosedur. Orang tua bisa
merekam suaranya untuk bermain dengan infant dan anaknya yang
terpisah.Anak dengan hospitalisasi lebih lama bisa merekam pesan untuk
saudara atau teman sekolahnya. Perawat menganjurkan anak untuk memutar
kembali musik untuk mengetahui respon. Pada saat bermain, perawat dapat
menggunakan kesempatan untuk alat permainan dan bernyanyi.
2.3.4. Puppets
Perawat pada tahap pengkajian meminta anak untuk menjawab pertanyaan
dengan media boneka yang dianggap sebagai manusia. Pada tahap
6

intervensi tampilkan cerita pendek untuk menggambarkan informasi tentang


kesehatan anak. Perawat melihat keadaan emosi yang terjadi.
2.3.5. Dramatic play
Perawat pada tahap pengkajian memberikan boneka dan alat kesehatan,
kemudian perawat menganalisis peran boneka yang dimainkan dan analisis
keadaan emosional anak saat bermain Perawat pada tahap intervensi
menyediakan boneka dan peralatan untuk sesi bermain. Parawat mengawasi
lebih dekat ketika peralatan digunakan untuk menjaga keamanan. Berikan
respon pada emosi dan perilaku yang ditunjukkan. Perawat menggunakan
boneka dan peralatan seperti nebulizer, peralatan intravena, stetoskop untuk
menjelaskan perawatan. Perawat melihat emosi dan ekspresi anak saat
terapi.
2.3.6. Pets
Pada tahap pengkajian perawat memberikan pet therapy kemudian melihat
interaksi antara anak dan hewan. Perawat merespon terhadap emosi yang
ditunjukkan anak. Fasilitasi terhadap belaian dan sentuhan terhadap hewan
peliharaan.

2.4. Bermain Terapeutik sesuai dengan Usia


Menurut Ball dan Bindler (2010) bermain terapeutik dapat disesuaikan
dengan jenis usia anak sebagai berikut:
2.4.1. Usia newborn dan infant
Newborn dan infant membutuhkan stimulasi eksternal untuk berkembang.
Penggunaan permainan mobil, musik dan cermin membantu meningkatkan
stimulasi dan memberikan kenyamanan. Orang tua dan keluarga
dianjurkan untuk memeluk dan menimang infant. Berbicara dengan infant
mendorong interaksi dan bermain
2.4.2. Usia Toddler
Bermain merupakan hal yang penting untuk anak usia toddler. Anak
mengeksplorasi lingkungan dan belajar untuk mengidentifikasi orang di
sekitarnya. Bermain dianggap sebagai cara bagi anak untuk mengurangi
tekanan yang disebabkan oleh stress atau impuls agresif. Pada usia toddler,
pendekatan bersifat pelan-pelan dan awal pendekatan dimulai dengan
harus ada kehadiran orang tua untuk mengurangi ketakutan akan kehadiran
7

orang asing. Jenis permainan yang digunakan misalnya bermain ci-luk-ba,


petak umpet dengan menggunakan gorden di sekitar tempat tidur, anak
belajar objek ada yang terlihat dan tidak terlihat. Penggunaan objek
transisional misalnya selimut dan boneka. Anak juga dikenalkan dengan
peralatan medis yang aman.
2.4.3. Usia Pra Sekolah
Perawat bisa memberikan intervensi untuk mengurangi stress pada anak
pra sekolah dengan menggunakan berberapa permainan yang simpel
seperti boneka, mengajarkan anak untuk berfantasi dan mengurangi
ketakutan terhadap kerusakan tubuh. Bermain dengan peralatan medis
yang aman membantu anak usia pra sekolah untuk menggambarkan
perasaannya. Anak usia pra sekolah menyukai boneka, buku cerita dan
rekaman cerita. Anak usia pra sekolah juga menyenangi pet therapy. Anak
di rumah sakit mempunyai jadwal kunjungan binatang sering digunakan
anjing yang memberikan kontak fisik.
2.4.4. Usia Sekolah
Anak di usia sekolah, perawat bisa menggunakan beberapa teknik terapi
bermain untuk menolong anak dengan kasus stress hospitalisasi. Anak usia
sekolah sering mengalami regresi perkembangan akibat hospitalisasi. Anak
usia sekolah sering mendemostrasikan sikap kecemasan dan kerusakan
tubuh. Boneka bisa digunakan untuk mengilustrasikan penyebab dan
pengobatan. Menggambar memberikan tempat untuk mengekspresikan
ketakutan dan kemarahan. Anak usia sekolah suka mengoleksi dan
mengumpulkan objek dan sering meminta untuk menggunakan peralatan
sekali pakai yang digunakan untuk perawatannya. Anak mungkin
menggunakan peralatan ini di kemudian hari untuk mengggambarkan
pengalamannya pada teman mereka. Bermain, buku, pekerjaan rumah,
kerajinan tangan, rekaman tape dan komputer (gadget) dapat
meningkatkan kepercayaan diri anak di usia sekolah. Tipe bermain
digunakan harus dipromosikan oleh orang yang lebih ahli.
8

2.5 Teknik yang dapat digunakan untuk bermain terapeutik terkait


intervensi keperawatan
Menurut Wilson dan Hockenberry (2012) ada beberapa teknik yang dapat
digunakan untuk bermain terapeutik terkait intervensi keperawatan antara
lain:
2.5.1. Minuman oral
a. Membuat ice cone dengan menggunakan jus kesukaan anak.
b. Membuat agar-agar dengan bentuk yang menyenangkan.
c. Membuat permainan seperti Symon Says.
d. Menggunakan sedikit obat-obatan dalam cangkir dan menghias
cangkirnya.
e. Menggunakan minuman yang berwarna dengan makanan berwarna.
f. Melakukan pesta teh dengan menggunakan meja kecil.
g. Berikan anak merasakan obat medikasi secara oral melalui syringe atau
pipet sampai ke mulut.
h. Potong sedotan menjadi dua, tempatkan di kotak kecil yang akan
mempermudah anak untuk menghisap cairan.
i. Menghias sedotan berikan stiker kecil di sedotan.
j. Gunakan sedotan yang unik.
k. Buat poster kemajuan perkembangan, berikan reward untuk anak yang
minum sesuai anjuran.
l. Permainan Fluid Cheker menggunakan obat dalam cangkir dengan warna
yang berbeda-beda dari kemudian setiap hari seseorang melompat untuk
minum jus itu.
2.5.2. Nafas Dalam
a. Tiup gelembung dengan penggulung gelembung.
b. Tiup gelembung dengan sedotan (bukan sabun).
c. Tiup dengan menggunakan harmonika, balon dan lain-lain.
d. Latihan dengan menggunakan alat-alat band.
e. Meniup dengan menggunakan balon, bola dari kain, bola pingpong,
selembar kertas.
f. Menggunakan botol yang ditiup dengan air yang berwarna untuk
memindahkan air dari satu tempat ke tempat.
g. Meniup lilin pada kue ulang tahun.
2.5.3. Range of Motion (ROM)
a. Pindahkan tas ke tempat yang telah ditentukan.
b. Pindahkan kertas ke tong sampah.
c. Mainkan permainan Simon Says.
d. Mainkan permainan tebak tebakan
e. Mainkan sepeda roda tiga atau kursi oda pada area yang aman
f. Mainkan bola kaki atau bola tangan dengan bola yang lembut ditempat
yang aman.
9

g. Posisikan tempat tidur agar anak turun ketika ia ingin melihat televisi
atau membuka pintu.
h. Menyusuri lantai dengan menggunakan tangan seperti laba-laba.
2.5.4. Berendam (Mandi)
a. Bermain dengan bonek akecil di air
b. Mandikan boneka atau mainan
c. Buat gelembung di bak mandi jika memungkinkan
d. Mengambil kelereng dari dasar bak mandi anak
e. Membuat desain dengan koin di dasar bak mandi anak
f. Teknik distraksi dengan bercerita atau bernyayi.
g. Membuat gelembung atau melihat gelembung.
h. Mendengarkan musik.
i. Permainan menggenggam.

2.5.5. Injeksi
a. Biarkan anak memegang syringe tanpa jarum vial dan alkohol swab,
dan berikan injeksi pada boneka.
b. Biarkan anak mempunyai koleksi syringe tanpa jarum, buatlah objek
yang kreatif dengan menggunakan syringe.
c. Jika anak menerima banyak jenis injeksi, buat poster perkembangan
anak.
d. Berikan reward untuk yang diberikan injeksi sesuai dengan terapinya.
2.5.6. Ambulasi
a. Berikan anak sesuatu untuk ditekan untuk toddler tekan boneka, anak
usia sekolah minta anak untuk mendorong kereta mainan atau kursi dan
anak usia remaja minta anak untuk mendorong tiang infus.
b. Buat barisan atau memainkan drum dan lain-lain.
c. Bermain dengan menggunakan kaki.
2.5.7. Imobilisasi dan isolasi
a. Pindahkan anak dengan sering seperti ditempatkan ditempat bermain
atau di ruangan terbuka.
b. Mainkan permainan memancing dengan magnet.
c. Mainkan basket, voli atau softball.
BAB 3
PEMBAHASAN

Perawat perlu mengetahui batasan area yang merupakan kewenangan perawat atau
profesi lain dalam melakukan implementasi bermain terapeutik. Saat ini perawat
lebih banyak menggunakan istilah terapi bermain dalam melakukan intervensi
keperawatan di rumah sakit dan dalam penelitian keperawatan. Kelompok akan
menganalisis trend issue dalam bermain terapeutik.

Trend bermain terapeutik (Hart, 1992)


3.1. Admission Activities
Admission activities membantu perawat profesional menjalin hubungan
yang baik dengan anak dan keluarga dengan cara yang tidak mengancam
bagi anak. Kegiatan ini dapat mengenalkan proses transisi yang lancar
sebelum dilakukannya perawatan kesehatan kepada anak. Anak-anak yang
belum siap terhadap tindakan yang dilakukan kepada mereka, maka kegiatan
ini akan membantu memberitahu kepada mereka, sehingga dapat
meningkatkan rasa kepercayaan anak kepada tenaga kesehatan. Anak akan
mulai mengungkapkan apa yang dirasakannya dengan cara verbal dan
nonverbal, sebagai seorang tenaga kesehatan harus bisa memahaminya
dengan baik.
Aktivitas yang dilakukan dapat dikelompokkan menjadi 4 strategi
intervensi, yaitu :
3.1.1. Memberikan Informasi
Sebelum dilakukan tindakan kepada anak, sebaiknya anak diperkenalkan
terlebih dahulu dengan lingkungan baru yang sebelumnya belum pernah
ditemuinya, hal ini akan membantu anak supaya dapat mengungkapkan
situasi stress yang dialami anak selama masa perawatan sebelum dilakukan
tindakan.
3.1.2. Mondorong Normalization
Normalization adalah suatu usaha dalam menciptakan lingkungan rumah
sakit seperti lingkungan rumah dalam proses perawatan. Aktivitas yang

10
11

dapat dilakukan adalah “art Cart”, “Door Sign”, “Privacy Signs”, dan
“What Do You Like to Do?”. Melalui aktivitas ini diharapkan anak diakui
sebagai pribadi yang unik dengan suka dan tidak suka, sehingga perawat
dapat menyesuiakan terhadap tindakan keperawatan yang dilakukan.
3.1.3. Menggunakan Keluarga dan Sistem Pendukung yang Lainnya
Melibatkan keluarga dalam proses perawatan dapat membantu dalam
mengurangi ketidaknyamanna anak terhadap orang baru yang belum
dikenalnya. Aktivitas yang dilakukan adalah mendiskusikan setiap
tindakan yang akan dilakukan kepada anak, baik untuk meminta izin atau
pemilihan alternatif tindakan kepada anak.
3.1.4. Mengidentifikasi Teknik Koping
Hospitalisasi merupakan pengalmaan yang tidak menyenangkan dan
menyakitkan bagi anak, sehingga perlu dilakukan pengenal an terhadap
strategi koping dan pemahaman anak terhadap tindakan yang akan
dilakukan, seperti “Imaginary Vacation”. Kata kunci yang ingin dicapai
adalah menjadikan kondisi yang baik ditengah situasi buruk yang dialami
anak. Selain itu juga mempercepat pemulihan bagi anak agar anak dapat
segera pulih dan pulang kembali ke rumah

3.2. Body Image and Awareness Activities


Body Image adalah perasaan dan perilaku seseorang tentang tubuhnya
sendiri. Pengetahuan seorang anak dimulai dari mengenal anggota
tubuhnya. Setelah memahami hubungan masing-masing anggota tubuh,
anak akan mulai mengenal informasi yang lebih umum. Persepsi seseorang
tentang diri dan tubunya akan berakibat pada kesehatan mental. Pengobatan
untuk berbagai kondisi dan penyakit dapat mempengaruhi citra tubuh
dengan mengubah penampilan fisik anak. Hal ini akan membuat anak
merasa tidak nyaman. Aktivitas yang dilakukan memiliki 4 tujuan, yaitu :
3.2.1. Belajar tentang bagian tubuh luar
Aktivitas yang dapat dilakukan adalah “Life-Size Self-Portraits”, Body
Awareness fo Babies, dan “Shadow Dancing”.
12

3.2.2. Belajar tentang bagian tubuh dalam


Aktivitas yang dapat dilakukan adalah “Me the Inside Story”, “Pin the
Organ on the Body”, dan “X-Ray Guessing Game”.
3.2.3. Belajar tentang fungsi tubuh
Aktivitas yang dapat dilakukan adalah “Body Drawings”, “Body
Puzzles”, dan “Coloring Body Parts”
3.2.4. Penerimaan tubuh
Aktivitas yang dapat dilakukan adalah “Body Outlines”, “Makeup
Makeover”, “Photo Ornaments”, “Body Molds”, dan “Silhouettes”.

3.3. Group Interaction Activities


Interaksi teman seumur sangat penting untuk pertumbuhan selama tahap
tertentu dari masa anak-anak sampai masa remaja. Bayi dan anak usia 2-4
tahun, saat melakukan intervensi melibatkan keluarga. Anak usia 4-7 tahun
mulai aktif dengan teman-temannya, tetapi tergantung dengan orang tuanya,
sehingga intervensi yang dilakukan melibatkan orang tua dan teman sebaya
nya. Anak usia sekolah interaksi dengan teman sebaya lebih banyak
daripada dengan keluarga. Remaja dewasa yang lebih banyak menghabiskan
waktunya di luar rumah, maka teman sebaya memiliki peran yang penting
dalam proses menemukan identitas dan belajar bagaimana berhubungan
dengan lawan jenis. Intervensi yang dilakukan pada anak usia sekolah dan
remaja dewasa lebih banyak melibatkan teman sebaya dibandingkan
keluarga. Aktivitas yang dilakukan memiliki 2 tujuan utama yaitu
3.3.1. Interaksi Sosial
Interaksi yang dilakukan dengan pasien lain dapat mnedorong lahirnya
persahabatan dan dukungan yang penting untuk mengatasi pengalaman
stress. Aktivitas yang dilakukan adalah “Autograph Books”, “Group
Stories”, “On Televisions”, “Paper Bag Puppet Show”, “Quilt Making”,
“Hospital Hangman”, dan “Hospital Pictionary”.
3.3.2. Pertukaran perasaan
Pada saat pasien berbagi pengetahuan dan pengalamannya, maka mereka
dapat belajar bahwa perasaan orang lain sama dengan dirinya. Hal ini
13

dapat melahirkan dukungan dan kedekatan. Aktivitas yang dapat dilakukan


adalah “Collaborative Proclamations”, “Group Mural”, “Role Playing”,
dan “Tic Tac Know”.

3.4. Expressive Arts with Medical Equipment Activities


Expressive Arts with Medical Equipment Activities dapat digunakan ketika
anak merasa sangat cemas dan takut untuk terlibat langsung dalam
tindakan medis yang dilakukan. Kegiatan yang dilakukan menggunakan
cara tidak langsung dan lucu untuk mengenalkan peralatan medis kepada
anak-anak. Bermain medis berbeda dengan permainan biasa yang lain.
Permainannya berbentuk permainan yang selalu melibatkan tema medis
atau peralatan medis. Bermain medis sering diikuti dengan humor dan
relaksasi, tetapi dapat juga serius dan agresif. Bermain medis tidak identik
dimulai dari tahap persiapan karena tidak melibatkan orang dewasa, tetapi
hanya membiasakan anak pada pendidikan formal sehingga lebih santai.
McCue (1988) membagi bermain medis menjadi 4 tipe, yaitu :
a. Role Rehearsal/Role Reversal Medical Play
b. Medical Fantacy Play
c. Indirect Medical Play
d. Medical Art
Terapis seni menggunakan berbagai media dalam melakukan aktivitasnya,
seperti lukisan, gambar, atau patung untuk memungkinkan anak memahami
dirinya, perasaannya, dan hubungan mereka dengan sesamanya. Anak
memiliki tingkat stress yang tinggi dengan pengetahuan yang rendah tentang
peralatan dan prosedur tindakan. Anak yang dilakukan permaianan terkait
hospitalisasi, maka akan memiliki tingkat cemas dan stress yang rendah
dibandingan yang belum pernah melakukannya. Anak dapat menggunakan
peralatan medis untuk mengekspresikan pikirannya tentang prosedur
tindakan yang akan dilakukan kepadanya. Aktivitas yang paling banyak
digunakan adalah Injection Play, dimana anak mengenal needle, syringe,dan
plunger back sebelum mereka benar-benar diinjeksi. Hal ini bertujuan agar
14

anak sudah familiar dengan peralatan medis yang akan digunakan untuk
mengobati dirinya sehingga dapat menurunkan tingkat stress nya.

3.5. Self-Esteem Activities


Anak yang memiliki rasa percaya diri dapat mengembangkan mekanisme
koping yang baru, membuat penyesuain untuk berubah, dan mampu
menghadapi stress. Harga diri merupakan salah satu bagian yang paling
penting dalam diri anak untuk memiliki dan menaklukan tantangan dunia.
Ini merupakan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan kesehatan serta
salah satu yang paling mempengaruhi perilaku. Harga diri merupakan
bagian dari proses yang kompleks dalam gambaran mental anak. Gambaran
mental tersebut adalah ide, keyakinan, perilaku tentang dirinya, serta pikiran
dan perasaan tentang penampilan fisik (body image).
Harga diri anak berkembang dari lahir. Sejak bayi anak belajar terntang
dirinya dari perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan pengamatan
terhadap reaksi orang lain. 4 unsur pengalaman hidup yang dapat
mempengaruhi harga diri adalah :
3.5.1. Orang lain yang signifikan
Orang lain yang signifikan memberikan pesan berupa komunikasi kepada
anak tentang dirinya pada hubungan budaya, keluarga, dan harapan dalam
peran sosial.
3.5.2. Harapan dalam peran sosial
Apabila anak memilih untuk mengikuti harapan dalam peran sosial nya,
maka dapat meningkatkan harga diriya
3.5.3. Krisis perkembangan psikososial
Kesuksesan dalam negosiasi krisis perkembangan masig-masing periode
usia anak akan mneghasilkan pemahaman dan penerimaan terhadap
dirinya
3.5.4. Komunikasi keluarga
Komunikasi dengan keluarga yang baik dapat membantu anak dalam
menghadapi stress yang dihadapi. Anak yang tumbuh dalam keluarga
disfungsional akan berakibat pada perkembangan mental anak yang
15

terganggu. Intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri


anak terdiri dari 5 perilaku dasar anak, yaitu : rasa aman, konsep diri, rasa
memiliki, memiliki tujuan, dan kompetensi pribadi. Aktivitas yang
dilakukan berfokus pada 2 hal, yaitu :
3.5.1. Memiliki identitas dan keunikan
Aktivitas yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa memiliki
identitas adalah “Caterpillar Name Plaque”, “Decorative Name
Bracelet”, “Magazine Name Collages”, dan “Photo Necklace”. Aktivitas
yang dapat dilakukan untuk menyadari rasa keunikan adalah “Casting
Bandage Mask” dan “Fingerprint Forms”.
3.5.2. Memiliki kekuatan pribadi dan prestasi
Aktivitas yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa memiliki
kekuatan pribadi dan prestasi adalah “Can Do Hands”, “Guess Who
Game”, “Name Poems”, “Personal Collage”, “Very Important Patient
Posters”, dan “Personalized Pennants”.

3.6. Tension-Release Activities


Bermain adalah salah satu cara yang paling ampuh dan efektif untuk
menurunan stres pada anak-anak. Reaksi umum anak-anak dalam
pengalaman perawatan kesehatan adalah agresi dan emosi. Lama
pengalaman di rumah sakit dikaitkan dengan kecenderungan terjadinya
peningkatan agresi. Koping dipandang sebagai suatu proses yag dipengaruhi
oleh banyak variabel. Koping anak lebih kompleks karena perubahan
perkembangan dari waktu ke waktu mempengaruhi kemampuan anak-anak
untuk menilai stressor dan mengidentifikasi sumber daya yang tersedia.
Metode yang digunakan dalam strategi koping terdapat empat macam,
yaitu: mencari informasi, tindakan langsung (tindakan langsung adalah satu
dari yang paling sering digunakan dalam respon koping untuk anak-anak
prasekolah yang mengalami hospitalisasi), tindakan tidak langsung, dan
proses intrapsikis.
Perbedaan individu dalam strategi untuk pertahanan akan tercermin dalam
jenis kegiatan yang dipilih anak. Petugas kesehatan sering tidak responsif
16

terhadap cara aktif anak-anak untuk mengekspresikan diri. Semua kegiatan


menyediakan sarana yang aman dan dapat diterima untuk mengekspresikan
kemarahan dan frustrasi anak. Bermain masak-masakan dan membuat
adonan roti memungkinkan anak-anak untuk mengurangi ketegangan dan
stres. Menggambar dan bermain pukulan bantal adalah kegiatan yang dapat
membantu anak untuk mengekspresikan marah.

Penelitian yang dilakukan oleh Zahr (1998), dilakukan pada 100 orang anak
usia prasekolah yang akan dilakukan pembedahan (apendiktomi,
tonsilektomi, kateter jantung, perbaikan strabismus, hipospadia, hernia dan
fraktur). Jenis permainan yang dilakukan adalah pertunjukan boneka puppet.
Permainan ini menampilkan permainan peran anak, orang tua, dokter dan
perawat pada saat di ruang operasi. Pertunjukan puppet menggunakan
bahasa yang sederhana yang menenangkan anak dan menjelaskan tentang
apa yang akan dirasakan pada anak. Anak diijinkan untuk bermain peran
dengan boneka, memegang peralatan medis dan bertanya. Selanjutnya
dilihat reaksi anak saat bermain. Didapatkan hasil bahwa anak lebih tenang
dan kooperatif, tekanan darah dan denyut jantung anak lebih rendah
daripada pada anak kelompok kontrol, anak yang mengikuti bermain
terapeutik menunjukkan stres fisiologis lebih kecil dalam merespon
tindakan injeksi dan pembedahan.

Penelitian serupa dilakukan oleh Solikhah (2012), dilakukan bermain


terapeutik pada 33 anak, didapatkan hasil bahwa kecemasan anak
menunjukkan penurunan sangat signifikan dari skor kecemasan 15,03
menjadi 3,97. Tingkat kecemasan pada anak usia sekolah yang dirawat di
rumah sakit sebelum dilakukan intervensi tergolong sedang dan setelah
dilakukan intervensi masuk dalam tingkat cemas ringan. Terdapat pengaruh
yang signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan anak usia sekolah
yang dirawat di rumah sakit sebesar 66%.
17

3.7. Immobilization and Isolation Activities


Pembatasan imobilisasi dan isolasi bertujuan untuk menangani resiko
masalah fisik dan psikologi yang disebabkan oleh hilangnya kesempatan
bergerak secara normal terhadap penurunan sensorik dan isolasi sosial. Anak
yang terimobilisasi atau terisolasi mengalami rasa frustasi yang hebat karena
pembatasan yang dilakukan pada mereka. Variasi dalam aktivitas motorik
membantu anak menghadapi stress. Anak yang terimobilbisasi dan terisolasi
kemungkinan memiliki kemampuan koping yang lebih rendah. Bermain
dapat menjadikan anak mampu untuk mengekspresikan perasaan dan
memungkinkan perawat untuk menganjurkan mekanisme koping yang
efektif. Usia anak mempengaruhi reaksi terhadap immobilisasi dan isolasi.
Pada anak berusia kurang dari 6 bulan, reaksi terhadap immobilisasi yang
dapat diamati lebih sedikit. Anak usia 6-18 bulan, kecemasan karena
perpisahan adalah faktor utama yang mempengaruhi reaksi anak terhadap
immbolisasi dan isolasi. Usia Toddler memiliki kesulitan dalam memahami
alasan pembatasan atau isolasi mereka yang menyebabkan regresi dan
kegelisahan. Usia anak sekolah adalah kehilangan kontrol, kemarahan dan
sikap bermusuhan ketika anak dibatasi secara fisik atau sosial. Peran yang
dipilih biasanya sebuah variasi salah satu dari 3 pola perilaku, yaitu :
a. Bertanggung jawab mandiri
b. Dependen pasif
c. Manipulatif
Remaja paling memperdulikan body image dan ketakutan untuk berbeda
dari teman sebayanya. Remaja mengembangkan kemandirian dari keluarga,
sehingga depresi dan frustasi dapat mucul karena meningkatnya
ketergantungan. Pembatasan fisik dan sosial akan menjadikan anak bersikap
kasar, regresi, marah, denial, dan bermusuhan. Pengurangan interaksi
dengan lingkungan dan orang dapat menghasilkan anak menjadi
depersonalisasi. Aktivitas bermain dapat membantu dalam mengatasi efek
akibat immobiliasi dan isolasi. Pengkajian terhadap anak akibat dari
imobilisasi dan isolasi adalah : System pendukung, kinerja sekolah, isi
permainan, proses berpikir, pola diet dan eliminasi, penggunaan medikasi,
18

tingkat aktivitas, dan pola tidur. Aktivitas dikelompokkan dalam 5 tujuan,


yaitu:
3.7.1. Stimulasi sensori
Aktivitas yang menstimulasi kelima indra, seperti : “Kool-Aid Play
Dough” dan “Cooking/Baking”, “Pudding Paint”, dan “Finger
Painting”.
3.7.2. Menstimulasi kinestesi
Aktivitas yang dapat dilakukan untuk menstimulasi kinestesi adalah
“Fishing game”, “Basket Ball”, “Remote Control Car”, “Flashlight
Play”, “Finishing Game”, dan “Traction Basketball”.
3.7.3. Orientasi terhadap waktu dan tempat
Aktivitas yang dapat membantu anak dapat tetap berorientasi terhadap
waktu dan tempat adalah “Unit Scrapbook” dan menggunakan kalender
serta jadwal kegiatan harian.
3.7.4. Interaksi social
Aktivitas yang dapat mengurangi isolasi sosial adalah “Isolation Pen
Pals” dan “Walkie Talkie”.
3.7.5. Mengurangi depersonalisasi
Anak perlu mempertahankan kesadran diri dan hubungan dengan orang lain
di rumah sakit. Tujuan dapat dicapai dengan cara membawa foto keluarga,
permainan di rumah, bantal atau sprei dari rumah, dan membawa masakan
favorit yang dibuat di rumah.

3.8. Activities of Daily Living and Health Maintenance


Bagi anak anak dan keluarga, sakit dapat memicu stress. Reaksi anak
terhadap stress dipengaruhi oleh usia perkembangan, pengalaman terdahulu
dengan kondisi sakit, perpisahan dari keluarga atau hospitalisasi,
keterampilan koping yang sudah dikuasai, keparahan penyakit, dan
dukungan keluarga. Hospitaliasi dapat merubah aktivitas sehari-hari,
mobilitas menjadi terbatas, dan prosedur medis menjadi bagian dari rutinitas
harian. Perubahan ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak kooperatif
terhadap tindakan yang dilakukan.
19

Stresor utama pada infant adalah perpisahan dari orang tuanya. Bayi
membutuhkan keseimbangan stimulasi, sensori motor dan istirahat. Usia
Toddler berusaha mandiri untuk makan, tidur, mandi, toilet dan bermain.
Bila rutinitas terganggu, maka akan muncul negativisme dan regresi. Anak
usia sekolah dan remaja akan belajar tentang kemandirian, penonjolan diri
dan penerimaan teman sebaya. Mereka akan bereaksi dengan cara frustasi
dan marah terhadap bedrest, penggunaan pispot, tidak dapat memilih
makanan favorit, bantuan untuk mandi, serta mobilitas yang dibatasi.
Nutrisi yang baik dan hydrasi yang adekuat memiliki efek positif bagi
kemampuan anak untuk belajar. Perkembangan penyakit berhubungan
dengan gizi dan kebiasaan diet. Penyesuaian atau pembatasan asupan
makanan dapat terjadi untuk penanganan beberapa situasi klinis yang
berbeda :
3.8.1. Persiapan untuk tes diagnostic
Pembatasan makanan diperlukan untuk mencegah perubahan hasil test.
Sebagai contoh adalah pemeriksaan sistem gastrointestinal memerlukan
pengosongan saluran pencernaan.
3.8.2. Persiapan operasi atau anestesi
Makanan dan cairan dibatasi untuk mencegah mual, muntah, dan risiko
aspirasi.
3.8.3. Terapi diet (kombinasi dengan pengobatan)
Untuk mengendalikan penyakit
3.8.4. Pembatasan cairan
Dalam beberapa kasus penyakit anak membutuhkan pembatasan pada
jumlah asupan cairan, misalnya Anak dengan penyakit ginjal atau jantung.
3.8.5. Suplement Diet
Status gizi terganggu pada anak memerlukan tambahan makanan atau
suplemen gizi dengan cairan infus, misalnya pada anak yang mengalami
kesulitan menelan atau menyerap nutrisi.
Kegiatan bermain terapeutik yang dapat dilakukans alah satunya adalah
melibatkan anak untuk belajar tentang menyiapkan makanan yang
menyenangkan bagi anak. Melalui kegiatan tersebut anak dapat memiliki
kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang aspek gizi penyakitnya.
Kegiatan yang mendorong nafsu makan anak adalah "Scratch and Sniffs”,
"Aroma Jars", “Aggression Cookies” dan “Pudding Painting”.
20

3.9. Breathing Games


Beberapa masalah kesehatan yang paling umum terjadi pada anak terkait
dengan gangguan fungsi pernapasan, dengan kegagalan pernafasan sebagai
penyebab utama morbiditas pada masa neonatus. Masalah pernapasan pada
anak dapat disebabkan oleh penyakit, trauma, dan anomali fisik atau sebagai
manifestasi dari gangguan di organ lain atau sistem. Aliran udara dari bayi
dan anak kurang berkembang dibanding dengan orang dewasa, sehingga
lebih mudah terhambat oleh mual, darah, atau edema. Anak memiliki
tingkat metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa,
sehingga penyakit paru dapat mengakibatkan peningkatan kebutuhan
metabolisme dan konsumsi oksigen.

Anak-anak tidak dapat menjelaskan kesulitan bernafas, tetapi perawat dapat


mengamati perilaku anak selama kegiatan. Anak mungkin menunjukkan
penurunan toleransi olahraga atau sesak napas saat beraktivitas. Anak yang
mengalami masalah pernapasan, baik akut dan kronik, memiliki masalah
kekurangan nutrisi. Anak yang mengalami masalah pernapasan juga
membutuhkan cairan. Hidrasi adequat sangat penting bagi setiap anak
dengan penyakit yang menyebabkan produksi lendir meningkat dan mnjadi
kental. Selama fase akut, seorang anak akan kurang tidur karena batuk yang
sering terutama di malam hari. Anak dengan disfungsi pernapsan akan
mengeluhkan nyeri karena terjadi bronkospasme atau adannya pemberian
injeksi untuk terapi. Setiap anak memiliki cara yang unik untuk
mengekspresikan nyeri. Kegiatan bermain dapat diberikan kepada anak
untuk mematuhi pengobatan.

Beberapa anak memerlukan nafas buatan (tracheostomy) untuk ventilasi


jangka panjang. Anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan bermain sesuai
dengan yang diperbolehkan. Dalam perencanaan, kegiatan untuk anak
dengan trakeostomi harus dipertimbangkan:
3.9.1. Perhatikan saat anak bermain agar jari, makanan, atau mainan tidak
dimasukkan ke dalam trakeostomi.
21

3.9.2. Jangan menggunakan boneka mainan atau hewan peliharaan yang memiliki
rambut dan serat halus sehingga dapat menghambat trakea.
3.9.3. Awasi anak selama bermain di air.
3.9.4. Jangan gunakan kegiatan yang menggunakan bubuk atau aerosol.
Kegiatan meniup balon berulang membutuhkan napas dalam-dalam dan
penggunaan otot-otot pernapasan, sehingga tidak dianjurkan pada anak usia
3 tahun ke bawah. Pastikan untuk menggunakan balon yang lentur.
Kegiatan dikelompokkan sesuai dengan tujuan utama penyembuhan, yaitu :
3.9.1. Meningkatkan Batuk
Batuk dapat didorong dengan menghembuskan napas berturut-turut dengan
meningkatkan kecepatan dan kekuatan. Kegiatan yang dapat dilakukan
adalah “Balloon Rockets", “Cotton Ball Hockey" dan "Sailboat Blowing".
3.9.2. Meningkatkan nafas dalam
Penggunaan spirometer untuk napas dalam dan menekankan pada fase
pernafasan. Aktifitas yang dilakukan adalah “Aroma Jars” dan “Kazoos”.
Yakinkan bahwa anak tidak memiiki alergi yang terkait dengan disfungsi
pernafasan.
3.9.3. Meningkatkan bernapsa melalui bibir/mulut
Anak penderita asma diajarkan untuk menggunakan teknik pernafasan
dengan mengerutkan bibir dan mempertahankan jalan napas. Pada saat anak
mengerutkan bibir, anak mengambil nafas lambat dan dalam. Hal ini
meningkatkan hambatan udara selama fase pernafasan. Permainan meniup
potongan kertas dengan sedotan sepanjang jalur meja balap adalah kegiatan
yang dapat mendorong anak untuk menggunakan mengerutkan teknik
pernapasan bibir.
Penelitian yang dilakukan Chen (2014), dilakukan pada 95 anak dengan cara
pemberian aerosol dengan bantuan bermain terapeutik, yaitu DVD
demonstrasi terapi aerosol dan permainan-permainan yang melatih
pernafasan (contoh meniup gelembung) serta mengeluarkan dahak. Selain
itu juga diberikan berupa buku gambar untuk mewarnai, buku cerita,
konstruksi mobil-mobilan dan bangunan. Hasil penelitian adalah terapi
aerosol dengan modifikasi bermain terapeutik dapat mengefektifkan
22

pengobatan dengan memaksimalkan waktu pelaksanaan terapi selam 30


menit.

3.10. Perceptual-Motor Activities


Di negara maju, 10%-15% anak memiliki gangguan fisik jangka panjang.
Tunarungu adalah gangguan jangka panjang paling umum yang
mempengaruhi anak. Berbagai macam cacat saat masa anak-anak dapat
membatasi kemampuan motorik persepsi anak. Cacat motorik merupakan
masalah bagi anak dan orang tua. Bermain sensorimotor normal dan
eksplorasi lingkungan dapat membantu anak dengan gangguan motorik
perseptual. Mobilitas penting untuk kemampuan anak dalam belajar tentang
hubungan sebab dan akibat, untuk mengembangkan keterampilan
independen, dan melakukan kontrol terhadap lingkungan.
Seorang anak dengan defisit keterampilan motorik memiliki peningkatan
risiko untuk cedera. Jika anak membutuhkan penggunaan kursi roda, maka
pembatasan keamanan harus selalu digunakan. Anak yang mengalami
kejang, kegiatan mungkin dibatasi atau dapat menggunakan helm pelindung.
Anak yang mengalami disfungsi skeletal atau menjalani prosedur ortopedi
mungkin telah diberlakukan imobilitas selama proses pengobatan.
Aktivitas anak dengan disfungsi perseptual motor dilakukan untuk mnecapai
tujuan sebagai berikut :
a. Memaksimalkan kemampuan perseptual dan motorik anak.
b. Memungkinkan anak untuk mempelajari metode meningkatkan gerakan
atau meningkatkan kemampuan kontrol.
c. Mencegah komplikasi yang berhubungan dengan imobilitas atau
gangguan sensorik. Seorang anak dengan disfungsi motorik perseptual
memiliki cadangan penurunan energi. Anak harus dinilai untuk tanda-
tanda kelelahan. Rencana kegiatan harus memungkinkan waktu istirahat
yang cukup bagi anak. Isyarat dan gambar visual dapat mengganti
komunikasi verbal.

3.11. Pain Management Activities


23

Manajemen nyeri merupakan tujuan utama dalam pelayanan kesehatan,


terutama pada anak-anak. Dalam praktiknya, hal ini sering diabaikan oleh
perawat. Hal ini meyebabkan perawat sering menemui anak yang
mengeluhkan nyeri berat tidak tertahankan karena kurangnya manajemen
nyeri kepada anak. Selain manajemen nyeri, salah satu masalah yang paling
sulit berdampak mengontrol rasa sakit adalah ketidakmampuan untuk
mengukur atau menilai intensitas nyeri pada anak secara akurat. Anak sering
mengeluhkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya,
sehingga manajemen nyeri juga akan berpengaruh.

Kesulitan dalam manajemen nyeri pada anak berakibat pada strategi yang
digunakan dalam mengurangi nyeri yang dirasakan anak ketika anak mulai
merasa cemas dan ketakutan. Bermain terapeutik dapat membantu anak
dalam mengenali nyeri yang dirasakan sesuai dengan tingkat usia, jenis
kelamin, pengalaman nyeri masa lalu, dan kehadiran orang tua untuk
mendampingi anak. Hasil dari bermain dapat membuat anak dapat
mengontrol nyeri yang dirasakannya. Nyeri dan kecemasan dapat
menurunkan kontrol anak terhadap nyeri yang dirasakan. Strategi yang
dapat digunakan untuk membantu anak menghadapi pengalaman nyeri
adalah :
3.11.1. Biofeedback
Biofeedback diakui efektif dalam melakukan managemen nyeri anak,
tetapi memiliki keterbatasan yaitu memerlukan peralatan elektronik yang
sensitif dan sangat terampil, teknisi yang terlatih untuk mengajarkan teknik
relaksasi otot tertentu pada anak.
3.11.2. Latihan relaksasi
Latihan relaksasi berkebalikan dengan biofeedback karena dapat dilakukan
dengan mudah dan biaya yang murah. Latihan dapat dilakukan dengan
melalui pengalaman dalam manajemen nyeri. Salah satu cara yang dapat
diajarkan adalah nafas dalam dan meditasi.
3.11.3. “Film Modeling”
Anak-anak dapat diputarkan film yang menggambarkan cara mengatasi
nyeri dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak. Film juga dapat
24

diputarkan saat anak tidak berada di rumah sakit, misalnya di kelas untuk
meningkatkan pengetahuan anak tentang kesehatan dan perilaku.
3.11.4. Distraksi
Distraksi dilakukan untuk mengalihkan perhatian anak selama proses
pengobatan dilakukan. Teknik distraksi yang dinilai efektif dalam
mengurasi kecemasan anak saat dilakukan tindakan adalah mendengarkan
musik, bercerita pengalaman yang menyenangkan, mendiskusikan tempat
favorit, dan menonton video atau televisi.

Penelitian yang dilakukan oleh Kiche (2009) tentang permainan toy,


dilakukan pada 34 anak yang menjalani prosedur pembedahan di rumah
sakit anak. Hasil yang didapatkan adalah anak yang mengikuti terapi
mainan dapat beradaptasi lebih baik, menerima perubahan yang terjadi,
dan melihat nilai nyeri yang dirasakan. Selain itu, permainan toy sangat
efektif menurunkan ketegangan dan rasa takut serta menejemen nyeri pada
anak lebih baik.

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Bermain teraputik dan terapi bermain adalah dua hal yang berbeda. Bermain
teraputik adalah bermain yang menghadirkan kesempatan untuk menghadapi
25

rasa takut dan kekuatiran akan pengalaman pengalaman yang berhubungan


dengan kesehatan. Terapi bermain adalah teknik psikologik yang digunakan
oleh ahli terapi yang terlatih dan berkualitas sebagai metode interpretative
dengan anak yang terganggu secara emosional.

Tujuan bermain terapeutik adalah untuk membantu perawat memahami


dengan baik kebutuhan anak dan membantu menghadapi prosedur atau
tindakan terapi, sehingga dapat menurunkan ketegangan anak setelah
tindakan tersebut. Teknik bermain teraputik dapat dimodifikasi sesuai dengan
keperluan dan usia anak.

4.2 Saran
Tenaga kesehatan, khususnya perawat diharapkan mampu memahami dan
mengaplikasikan bermain terapeutik di rumah sakit sebagai salah satu
alternatif terapi untuk mengurangi stress hospitalisasi yang dirasakan oleh
anak. Selain itu, dukungan dari rumah sakit terhadap pelaksanaan terapeutik
juga sangat penting.
DAFTAR PUSTAKA

Ball, Bindler dan Cowen. (2010). Child Health Nursing: Partnering With
Children and Families. Second Edition. Pearson: London.

Chen, H.J., Hsu, Y.C., Hu, Y.F., & Chung, Y.Y. (2014). Therapeutic play
Promoting Children Health Management Preschool Children Aerosol Therapy
Completion Rates. International Journal of Research in Management
&Business Studies 1 (1), 88-92. Retrieved from http://ijrmbs.com/

Hart, Robyn,. Mather, P. L., Slack, J.F., & Powell, M. A. (1992). Therapeutic play
activities for hospitalized children. St. Louis : Mosby, Inc.

Hockenberry-Eaton, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwartz, P. (2010).


Wong’s essentials of pediatric nursing (7th ed.). St. Louis : Mosby, Inc.

James, S.R., Nelson, K.A., & Ashwill, J.W. (2011). Nursing care of children :
Principles & practice (4th ed.). St. Louis : Saunders.

Kiche, M T., & Almeida, Fabiane D. A. (2009). Therapeutic toy : strategy for pain
management and tension relief during dressing change in children. Acta Paul
Enferm; 22(2)125-30.

Koller, D. (2008). Bermain terapeutik in Pediatric Health Care: The Essence of


Child Life Practice. http://www.childlife.org/files/EBPPlayStatement-
Complete.pdf. diakses tanggal 30 September 2014

Solikhah, U. (2011). Therapeutic Peer Play sebagai Upaya Menurunkan


Kecemasan Anak Usia Sekolah Selama Hospitalisasi.Jurnal Keperawatan
Soedirman, 6 (1). Retrieved from http://jos.unsoed.ac.id

The Association for play therapy. (2001). Play therapy makes a difference. Article.
Retrieved from http://www.a4pt.org/?page=WhyPlayTherapy

Wilson, D. dan Hockenberry, M., J. (2012). Wong’s Clinical Manual of Pediatric


Nursing. St. Louis Missouri: Elsevier.

Wong, D.L., Eaton, M.H., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwartz, P. (2002).
Buku ajar keperawatan pediatrik (edisi 5). Jakarta : EGC.

Zahr, L.K. (1998). Therapeutic play for hospitalized preschoolers in


Lebanon.Pediatric Nursing Journal, 23(5). Retrieved from
http://search.proquest.com/

26

Anda mungkin juga menyukai