Anda di halaman 1dari 100

1|Page

LAPORAN KASUS MEDIS


PORTOFOLIO

Disusun oleh:
dr. Arya Bogi Kusumo

Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2017
PORTOFOLIO
2|Page

OSTEOMIELITIS
(Kasus Medik)

Disusun oleh:
dr. Arya Bogi Kusumo

Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah

RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2017
3|Page

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip

OSTEOMIELITIS FEMUR SINISTRA

Nama : dr. Arya Bogi Kusumo


No. ID : 331110116181855
Pada : Juli 2017

Pekalongan, Juli 2017

Dokter Internship Dokter Pendamping 1 Dokter Pendamping 2

dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
4|Page

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 3 Juli 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo
Dengan Judul/Topik : Osteomielitis
Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan

No. Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan


1. dr. Putri Nurrani K
2. dr. Astari Rindu Astuti

3. dr. Farah

4. dr. Jinan Fairus A

5. dr. Nely Tsurayya

6.

7.

8.

9.

10.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah


5|Page

KASUS 1

No. ID danNamaPeserta : dr. Arya Bogi Kusumo


No. ID danNamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN
Topik: Osteomielitis
Tanggal (kasus): 15-06-2017 Pendamping: dr. IMAM PRASETYO
Tanggal presentasi : dr. SITI HANAH
Tempat presentasi: RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi:
Alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengantar, pada tanggal 15 juni 2017 Pukul
22.00 di IGD RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
□ Tujuan:
Menegakkan diagnosis Osteomielitis
Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien Osteomielitis
Penatalaksanaan dan edukasi pada pasien Osteomielitis
Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos
Data pasien: Nama:Tn.H No. Reg:14.xx.26
Nama Klinik: IGD RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:
Kab. Pekalongan
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Sejak 5 bulan yang lalu os mengeluh nyeri dan bengkak pada kaki kiri,

sehingga os kesulitan untuk menggerakan kakinya.

Keluhan tersebut timbul setelah os terjatuh saat mendorong gerobak penganggut


bambu, dengan posisi kaki kiri menumpu terlebih dahulu dan membentur batu.
Pasca benturan os merasa badannya lemas, dan kaki kiri sulit digerakkan dan
bengkak.
2. RiwayatAlergi:
Pasien tidak mengetahui adanya alergi terhadap obat tertentu.
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien belum pernah mengalami alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Riwayat trauma 5 bulan SMRS
6|Page

4. Riwayat Keluarga:
Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.
Hasil pembelajaran:
1. Penegakan diagnosis pada kasus Osteomielitis
2. Penatalaksanaan yang tepat pada kasus Osteomielitis
1. SUBYEKTIF
Pasien Tn, H usia 16 tahun dengan Osteomielitis
2. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Composmentis

Tekanan Darah : 90/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernafasan :20x/menit

Suhu : 36,5ºC
a. Kepala : dalam batasnormal

b. Mata : dalam batasnormal

c. Leher : dalam batasnormal

d. Thorax : dalam batas normal

e. Abdomen : dalam batas normal


Status Lokalis
Regio femur distal sinistra
∙ Look : terdapat jaringan parut dengan diameter ± 4 cm, bagian distal
femur sinistra tampak lebih besar dibandingkan distal femur dextra.
∙ Feel : teraba lebih hangat dibanding femur dextra, nyeri tekan (-),
krepitasi (-), sensibilitas (+)
∙ Move : nyeri mobilisasi (-)
Regio cruris Lateral Sinistra
∙ Look : terdapat luka yang sudah kering dengan diameter ±2 cm
∙ Feel : teraba lebih hangat dibanding cruris dextra, nyeri tekan (-),
krepitasi (-), sensibilitas (+)
∙ Move : nyeri mobilisasi (+)
3. ASSESMENT
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
- Waktu perdarahan (BT) 1,30 m (N : 1-3 m)
- Waktu pembekuan (CT) 4,00 m (N : 1-7 m)
- Hb : 14 g/dl (N : laki-laki 14-18 g/dl)
- Ht : 39% (N : 40-50 %)
- Trombosit : 376.000/dl (N : 150.000-350.000/dl)
- Leukosit : 17.600/ul (N : 5.000-10.000/dl)
7|Page

- Serologi CRP : Positif 48 (N : negative)


- LED 40 mm/jam
∙ Radiologi

Kesan : densitas tulang menurun, tampak skuester dan involukrum


V. DIAGNOSIS BANDING
- Selullitis
- Tumor Ewing’s
VI. DIAGNOSIS KERJA
Osteomielitis Femur Sinistra
4. PLANNING
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
Inj. Cefotaxim 3x1 gr iv
Inj. Gentamisin 2x50 mg iv
Metronidazole inj 500mg 3x1
Ketorolac inj / 8jam iv
Ranitidine inj / 12 jam
. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia
Ad sanationum : Malam
8|Page

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Ostemomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik
pada tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme
pyogenik. Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis adalah
radang tulang yang disebabkan oleh organism piogenik, walaupun berbagai
agen infeksi lain juga dapat menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi
atau dapat tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks,
jaringan kanselosa dan periosteum.
2. Gejala
Osteomielitis hematogeneus biasanya memiliki progresivitas gejala
yang lambat.osteomielitis langsung (direct osteomyelitis) umumnya lebih
terlokalisasi dengan tanda dan gejala yang menonjol. Gejala umum dari
osteomielitis meliputi :
a. Osteomielitis hematogenus tulang panjang
∙ Demam yang memiliki onset tiba-tiba tinggi (demam hanya
terdapat dalam 50% dari osteomielitis pada neonates)
∙ Kelelahan
∙ Rasa tidak nyaman
∙ Irritabilitas
∙ Keterbatasan gerak (pseudoparalisis anggota badan pada neonates)
∙ Edema lokal, eritema dan nyeri.
9|Page

b. Osteomielitis hematogenus vertebral


∙ Onset cepat

∙ Adanya riwayat episode bakterimia akut


∙ Diduga berhubungan dengan insufisiensi pembuluh darah disampingnya
∙ Edema lokal, eritema dan nyeri
∙ Kegagalan pada anak-anak untuk berdiri secara
normal.
c. Osteomielitis kronik
∙ Ulkus yang tidak sembuh
∙ Drainase saluran sinus
∙ Kelelahan kronik
∙ Rasa tidak nyaman

Pada pemeriksaan fisik didapatkan


∙ Demam (terdapat pada 50% dari neonates)
∙ Edema
∙ Teraba hangat
∙ Fluktuasi
∙ Penurunan dalam penggunaan ekstremitas (misalnya
ketidakmampuan dalam berjalan jika tungkai bawah yang terlibat atau
terdapat pseudoparalisis anggota badan pada neonatus).
∙ Kegagalan pada anak-anak untuk berdiri secara normal.
∙ Drainase saluran sinus (biasanya ditamukan pada stadium lanjut atau
jika terjadi infeksi kronis).
3. Etiologi
Pada dasarnya, semua jenis organisme, termasuk virus, parasit, jamur, dan
bakteri, dapat menghasilkan osteomielitis, tetapi paling sering disebabkan
oleh bakteri piogenik tertentu dan mikobakteri. Penyebab osteomielitis
pyogenik adalah kuman Staphylococcus aureus (89-90%),
Escherichia coli, Pseudomonas, dan Klebsiella. Pada periode neonatal,
10 | P a g e

Haemophilus influenzae dan kelompok B streptokokus seringkali bersifat


patogen.
Bakteri penyebab osteomielitis akut dan langsung meliputi:
a. Osteomielitis hematogenus akut
i. Bayi baru lahir (kurang dari 4 bulan): S. Aureus, Enterobacter,
dan kelompok Streptococcus α dan β.
ii. Anak-anak (usia 4 bulan sampai 4 tahun): Streptococcus α
dan β, Haemophilus influenzae, dan Enterobacter.
iii. Remaja (usia 4 tahun sampai dewasa): S. aureus (80%), kelompok
Streptococcus α, H influenzae, dan Enterobacter
iv. Dewasa: S.aureusdan kadangkadang Enterobacter dan Streptococcus
b. Osteomielitis langsung
∙ umumnya disebabkan oleh S. Aureus, spesies enterobacter, dan
spesies pseudomonas.
∙ Tusukan melalui separtu atletik : s. aureus dan spesies pseudomonas.
∙ Penyakit sel sabit : staphylococcus dan salmonella.

4. Patogenesis
Patogenesis dari osteomielitis telah dieksplorasi pada berbagai
hewan percobaan; pada studi ini ditemukan bahwa tulang yang normal
sangat tahan terhadap infeksi, yang hanya bisa terjadi sebagian besar
diakibatkan oleh inokulum, trauma, atau adanya benda asing.
Kuman bisa masuk tulang dengan berbagai cara, termasuk beberapa
cara dibawah ini :
Melalui aliran darah.
Kuman di bagian lain dari tubuh misalnya, dari
pneumonia atau infeksi saluran kemih dapat masuk melalui aliran darah
ke tempat yang melemah di tulang. Pada anak-anak, osteomielitis paling
umum terjadi di daerah yang lebih lembut, yang disebut lempeng
pertumbuhan,di kedua ujung tulang panjang pada lengan dan kaki.
Dari infeksi di dekatnya.
Luka tusukan yang parah dapat membawa kuman jauh
di dalam tubuh. Jika luka terinfeksi, kuman dapat menyebar ke
tulang di dekatnya.
Kontaminasi langsung
11 | P a g e

Hal ini dapat terjadi jika terjadi fraktur sehingga terjadi


kontak langsung tulang yang fraktur dengan dunia luar sehingga dapat
terjadi kontaminasi langsung. Selain itu juga dapat terjadi selama
operasi untuk mengganti sendi atau memperbaiki fraktur.
Beberapa penyebab utama infeksi, seperti s.aureus, menempel pada
tulang dengan mengekspresikan reseptor (adhesins) untuk komponen
matriks (fibronektin, laminin, kolagen, dan sialoglycoprotein
tulang); Ekspresi kolagen- binding adhesion memungkinkan pelekatan
patogen pada tulang rawan. Fibronektin-binding adhesin dari S. Aureus
berperan dalam penempelan bakteri untuk perangkat operasi yang akan
dimasukan dalam tulang, baru-baru ini telah dijelaskan.
S. Aureus yang telah dimasukan ke dalam kultur osteoblas
dapat bertahan hidup secara intraseluler. Bakteri yang dapat bertahan hidup
secara intraseluler (kadang-kadang merubah diri dalam hal
metabolisme, di mana mereka muncul sebagai apa yang disebut varian
koloni kecil) dapat menunjukan adanya infeksi tulang persisten.
Ketika mikroorganisme melekat pada tulang pertama kali, mereka akan
mengekspresikan fenotip yang resiten terhadap pengobatan antimikroba,
dimana hal ini mungkin dapat menjelaskan tingginya angka kegagalan
dari terapi jangka pendek.
Remodeling ulang yang normal membutuhkan interaksi
koordinasi yang baik antara osteoblas dan osteoklas. Sitokin (seperti IL-1,
IL-6, IL-15, IL 11dan TNF) yang dihasilkan secara lokal oleh sel
inflamasi dan sel tulang merupakan factor osteolitik yang kuat. Peran dari
faktor pertumbuhan tulang pada remodeling tulang normal dan fungsinya
sebagai terapi masih belum jelas. Selama terjadi infeksi, fagosit mencoba
menyerang sel yang mengandung mikroorganisme dan, dalam proses
pembentukan radikal oksigen toksik dan melepaskan enzim proteolitik
yang melisiskan jaringan sekitarnya. Beberapa komponen bakteri secara
langsung atau tidak langsung digunakan sebagai factor-faktor yang
memodulasi tulang (bone modulating factors).
Kehadiran metabolit asam arakidonat, seperti prostaglandin E, yang
merupakan agonis osteoklas kuat dihasilkan sebagai respon terhadap patah
tulang, menurunkan jumlah dari inokulasi bakterial yang dibutuhkan untuk
menghasilkan infeksi.Nanah menyebar ke dalam pembuluh darah,
meningkatkan tekanan intraosseus dan mengganggu
12 | P a g e

aliran darah. Nekrosis iskemik tulang pada hasil pemisahan fragmen


yang mengalami devaskularisasi, disebut sequestra.
Mikroorganisme, infiltrasi neutrofil, dan congesti atau thrombosis
pembuluh darah merupakan temuan histologis utama dalam
osteomielitis akut. Salah satu penampakan yang membedakan dari
osteomielitis kronis adalah tulang yang mengalami nekrotik, yang
dapat diketahui dengan tidak adanya osteosit yang hidup.
5. Insiden
a. Morbiditas
Prevalensi keseluruhan adalah 1 kasus per 5.000 anak. Prevalensi
neonates adalah sekitar 1 kasus per 1.000 kejadian. Sedangkan kejadian pada
pasien dengan anemia sel sabit adalah sekitar 0,36%. Prevalensi osteomielitis
setelah trauma pada kaki sekitar 16% (30-40% pada pasien dengan DM).
insidensi osteomielitis vertebral adalah sekitar 2,4 kasus per
100.000 penduduk.

Morbiditas dapat signifikan dan dapat termasuk penyebaran


infeksi lokal ke jaringan lunak yang terkait atau sendi; berevolusi
menjadi infeksi kronis, dengan rasa nyeri dan kecacatan;
amputasi ekstremitas yang terlibat; infeksi umum; atau sepsis.
Sebanyak10-15% pasien dengan osteomielitis vertebral
mengembangkan temuan neurologis atau kompresi corda spinalis.
Sebanyak 30% dari pasien anak dengan osteomielitis tulang panjang
dapat berkembang menjadi trombosis vena dalam (DVT). Perkembangan
DVT juga dapat menjadi penanda adanya penyebarluasan infeksi.
Komplikasi vaskular tampaknya lebih umum
dijumpai dengan StaphylococcusAureus yang resiten terhadap methacilin
yang didapat dari komunitas (Community-Acquired Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus / CA-MRSA) dari yang sebelumnya diakui.
b. Mortalitas
Tingkat mortalitas rendah, kecuali yang berhubungan dengan
sepsis atau keberadaan kondisi medis berat yang mendasari.
6. Klasifikasi
A. Osteomielitis hematogenik akut.
Osteomielitis akut hematogen merupakan infeksi serius
yang biasanya terjadi pada tulang yang sedang tumbuh. Penyakit ini
13 | P a g e

disebut sebagai osteomielitis primer karena kuman penyebab infeksi


masuk ke tubuh secara langsung dari infeksi lokal di daerah orofaring,
telinga, gigi, atau kulit secara hematogen. Berbeda dengan osteomielitis
primer, infeksi osteomielitis sekunder berasal dari infeksi kronik jaringan
yang lebih superfisial seperti ulkus dekubitum, ulkus morbus hensen ulkus
tropikum, akibat fraktur terbuka yang mengalami infeksi berkepanjangan,
atau dari infeksi akibat pemasangan protesis sendi.
Pada awalnya terjadi fokus inflamasi kecil di daerah metafisis
tulang panjang. Jaringan tulang tidak dapat meregang, maka proses
inflamasi akan menyebabkan peningkatan tekanan intraoseus yang
menghalangi aliran darah lebih lanjut. Akibatnya jaringan tulang tersebut
mengalami iskemi dan nekrosis. Bila terapi tidak memadai, osteolisis
akan terus berlangsung sehingga kuman dapat menyebar keluar ke sendi
dan sirkulasi sistemik dan menyebabkan sepsis. Penyebaran ke arah dalam
akan menyebabkan infeksi medula dan dapat terjadi abses yang akan
mencari jalan keluar sehingga membentuk fistel. Bagian tulang yang mati
akan terlepas dari tulang yang hidup dan disebut sebagai sekuester.
Sekuester meninggalkan rongga yang secara perlahan membentuk dinding
tulang baru yang terus menguat untuk mempertahankan biomekanika
tulang. Rongga ditengah tulang ini disebut involukrum.
Penderita kebanyakan adalah anak laki-laki. Lokasi infeksi
tersering adalah di daerah metafisis tulang panjang femur, tibia,
humerus, radius, ulna dan fibula. Daerah metafisis menjadi daerah
sasaran infeksi diperkirakan karena : 1) daerah metafisis merupakan
daerah pertumbuhan sehingga sel-sel mudanya rawan terjangkit infeksi; 2)
dan metafisis kaya akan rongga darah sehingga risiko penyebaran infeksi
secara hematogen juga meningkat; 3) pembuluh darah di metafisis
memiliki struktur yang unik dan aliran darah di daerah ini melambat
sehingga kuman akan berhenti di sini dan berproliferasi.
Secara klinis, penderita memiliki gejala dan tanda dari
inflamasi akut. Nyeri biasanya terlokalisasi meskipun bisa juga menjalar
ke bagian tubuh lain di dekatnya. Sebagai contoh, apabila penderita
mengeluhkan nyeri lutut, maka sendi panggul juga harus dievaluasi akan
adanya arthritis. Penderita biasanya akan menghindari menggunakan
bagian tubuh yang terkena infeksi.Etiologi tersering adalah
kuman gram positif yaitu Staphylococcus aureus.
14 | P a g e

Gejala klinis osteomielitis akut sangat cepat, diawali dengan nyeri


lokal hebat yang terasa berdenyut. Pada anamnesis sering dikaitkan
dengan riwayat jatuh sebelumnya disertai gangguan gerak yang disebut
pseudoparalisis. Dalam 24 jam akan muncul gejala sistemik berupa seperti
demam, malaise, cengeng, dan anoreksia. Nyeri terus menghebat dan
disertai pembengkakan. Setelah beberapa hari, infeksi yang keluar
dari tulang dan mencapai subkutan akan menimbulkan selulitis sehingga
kulit akan menjadi kemerahan. Oleh karenanya, setiap selulitis pada
bayi sebaiknya dicurigai dan diterapi sebagai osteomielitis sampai terbukti
sebaliknya.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, dijumpai leukositosis
dengan predominasi sel-sel PMN, peningkatan LED dan protein reaktif-C
(CRP). Aspirasi dengan jarum khusus untuk membor dilakukan untuk
memperoleh pus dari subkutan, subperiosteum, atau fokus infeksi di
metafisis. Kelainan tulang baru tampak pada foto rongent akan
tampak 2-3 minggu. Pada awalnya tampak reaksi periosteum yang
diikuti dengan gambaran radiolusen ini baru akan tampak setelah tulang
kehilangan 40-50% masa
15 | P a g e

tulang. MRI cukup efektif dalam mendeteksi osteomielitis dini,


sensitivitasnya 90-100%. Skintigrafi tulang tiga fase dengan
teknisium dapat menemukan kelainan tulang pada osteomielitis akut,
skintigrafi tulang khusus juga dapat dibuat dengan menggunakan leukosit
yang di beri label galium dan indium

Osteomielitis akut harus diterapi secara agresif agar tidak menjadi


osteomielitis kronik. Diberikan antibiotik parenteral berspektrum
luas berdosis tinggi selama 4-6 minggu. Selain obat-obatan simtomatik
untuk nyeri, pasien sebaiknya tirah baring dengan memperhatikan
kelurusan tungkai yang sakit dengan mengenakan bidai atau traksi guna
mengurangi nyeri, mencegah kontraktur, serta penyebaran kuman lebih
lanjut. Bila setelah terapi intensif 24 jam tidak ada perbaikan, dilakukan
pengeboran tulang yang sakit di beberapa tempat untuk mengurangi
tekanan intraoseus. Cairan yang keluar dapat dikultur untuk menentukan
antibiotik yang lebih tepat.

Diagnosis banding pada masa akut yaitu demam reumatik, dan


selulitis biasa. Setelah minggu pertama, terapi antibiotik dan
analgetik sudah diberikan sehingga gejala osteomielitis akut memudar.
Gambaran rongent pada masa ini berupa daerah hipodens di daerah
metafisis dan reaksi pembentukan tulang subperiosteal. Gambaran
rongent dan klinis yang menyerupai granuloma eosinofilik, tumor Ewing,
dan osteosarkoma. Komplikasi dini osteomielitis akut yaitu berupa abses,
atritis septik, hingga sepsis, sedangkan komplikasi lanjutnya yaitu
osteomielitis kronik, kontraktur sendi, dan gangguan pertumbuhan
tulang.
16 | P a g e

B. Osteomielitis
Subakut.

Infeksi subakut biasanya berhubungan dengan pasien pediatrik.


Infeksi ini biasanya disebabkan oleh organisme dengan virulensi rendah
dan tidak memiliki gejala. Osteomielitis subakut memiliki gambaran
radiologis
17 | P a g e

yang merupakan kombinasi dari gambaran akut dan kronis. Seperti


osteomielitis akut, maka ditemukan adanya osteolisis dan elevasi
periosteal. Seperti osteomielitis kronik, maka ditemukan adanya zona
sirkumferensial tulang yang sklerotik. Apabila osteomielitis subakut
mengenai diafisis tulang panjang, maka akan sulit membedakannya
dengan Histiositosis Langerhans’ atau Ewing’s Sarcoma.

∙ Brodie Abses.

Lesi ini, awalnya ditemukan oleh Brodie pada tahun


1832, merupakan bentuk lokal osteomielitis subakut, dan sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Insiden tertinggi (sekitar 40%)
pada dekade kedua. Lebih dari 75% kasus terjadi pada pasien laki-laki.
Onset ini sering membahayakan, dan untuk manifestasi sistemik pada
umumnya ringan atau tidak ada. Abses, biasanya terlokalisasi di
metaphysis dari tibia atau tulang paha, dan dikelilingi oleh sclerosis
reaktif. Sesuai teori tidak terdapatnya sekuester, namun gambaran
radiolusen mungkin akan terlihat dari lesi ke lempeng epifisis. Abses
tulang mungkin menyebrang ke lempeng epifisis namun jarang
terlokalisir.

C. Osteomielitis
Kronik.

Osteomielitis kronis merupakan hasil dari osteomielitis akut dan


subakut yang tidak diobati. Kondisi ini dapat terjadi secara hematogen,
iatrogenik, atau akibat dari trauma tembus. Infeksi kronis seringkali
18 | P a g e

berhubungan dengan implan logam ortopedi yang digunakan


untuk mereposisi tulang. Inokulasi langsung intraoperatif atau
perkembangan hematogenik dari logam atau permukaan tulang mati
merupakan tempat perkembangan bakteri yang baik karena dapat
melindunginya dari leukosit dan antibiotik. Pada hal ini, pengangkatan
implan dan tulang mati tersebut harus dilakukan untuk mencegah infeksi
lebih jauh lagi. Gejala klinisnya dapat berupa ulkus yang tidak kunjung
sembuh, adanya drainase pus atau
19 | P a g e

fistel, malaise, dan fatigue. Penderita osteomielitis kronik


mengeluhkan nyeri lokal yang hilang timbul disertai demam dan
adanya cairan yang keluar dari suatu luka pascaoperasi atau bekas patah
tulang. Pemeriksaan rongent memperlihatkan gambaran sekuester dan
penulangan baru.

Penangan osteomielitis kronik yaitu debridemant untuk


mengeluarkan jaringan nekrotik dalam ruang sekuester, dan penyaliran
nanah. Pasien juga diberikan antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur.
Involukrum belum cukup kuat untuk menggantikan tulang asli yang telah
hancur menjadi sekuester sehingga ekstrimitas yang sakit harus dilindungi
oleh gips untuk mencegah patah tulang patologik, dan debridement serta
sekuesterektomi ditunda sampai involukrum menjadi kuat.

7. Pemeriksaan penunjang:

a. Pemeriksaan darah lengkap:

Jumlah leukosit mungkin tinggi, tetapi sering normal.


Adanya pergeseran ke kiri biasanya disertai dengan peningkatan
jumlah leukosit polimorfonuklear. Tingkat C-reaktif protein
biasanya tinggi dan nonspesifik; penelitian ini
mungkin lebih berguna daripada laju endapan darah (LED) karena
menunjukan adanya peningkatan LED pada permulaan. LED biasanya
meningkat (90%), namun, temuan ini secara klinis tidak spesifik. CRP
dan LED memiliki peran terbatas dalam menentukan osteomielitis kronis
seringkali didapatkan hasil yang normal.
20 | P a g e

b. Kultur :

Kultur dari luka superficial atau saluran sinus sering tidak


berkorelasi dengan bakteri yang menyebabkan osteomielitis
dan memiliki penggunaan yang terbatas. Darah hasil kultur, positif pada
sekitar
50% pasien dengan osteomielitis hematogen. Bagaimanapun,
kultur darah positif mungkin menghalangi kebutuhan untuk prosedur
invasif lebih
21 | P a g e

lanjut untuk mengisolasi organisme. Kultur tulang dari biopsi atau


aspirasi memiliki hasil diagnostik sekitar 77% pada semua studi.

c. Radiografi

Bukti radiografi dari osteomielitis akut pertama kali diusulkan


oleh adanya edema jaringan lunak pada 3-5 hari setelah terinfeksi.
Perubahan tulang tidak terlihat untuk 14-21 hari dan pada awalnya
bermanifestasi sebagai elevasi periosteal
diikuti oleh lucencies kortikal atau meduler. Dengan 28 hari,
90% pasien menunjukkan beberapa kelainan. Sekitar 40-50%
kehilangan fokus tulang yang menyebabkan terdeteksinya lucency
pada film biasa.

d. MRI

MRI efektif dalam deteksi dini dan lokalisasi operasi osteomyelitis.


Penelitian telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan
dengan radiografi polos, CT, dan scanning
radionuklida dan dianggap sebagai pencitraan pilihan. Sensitivitas
berkisar antara 90-100%. Tomografi emisi positron (PET) scanning
memiliki akurasi yang mirip dengan MRI.

e. CT scan
22 | P a g e

CT scan dapat menggambarkan kalsifikasi


abnormal,pengerasan, dan kelainan intracortical. Hal ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk mendiagnosis
osteomyelitis tetapi sering menjadi pilihan pencitraan ketika MRI tidak
tersedia.
23 | P a g e

f. Ultrasonografi

Teknik sederhana dan murah telah menjanjikan, terutama pada


anak dengan osteomielitis akut. Ultrasonografi dapat menunjukkan
perubahan sejak 1-2 hari setelah timbulnya gejala. Kelainan termasuk
abses jaringan lunak atau kumpulan cairan dan
elevasi periosteal. Ultrasonografi memungkinkan untuk petunjuk
ultrasound aspirasi. Tidak memungkinkan untuk evaluasi korteks tulang.

8. Diagnosis banding pada osteomielitis

Osteomielitis mudah didiagnosis secara klinis, pemeriksaan radiologis


dan tambahan seperti CT dan MRI jarang diperlukan. Namum demikian,
seringkali osteomielitis memiliki gejala klinis yang hampir sama dengan yang
lain. Khususnya dalam keadaan akut, gejala klinis yang muncul sama seperti
pada histiocytosis sel Langerhans atau sarkoma Ewing. Perbedaan pada
setiap masing-masing kondisi dari jaringan lunak. Pada osteomielitis, jaringan
lunak terjadi pembengkakan yang difus. Sedangkan pada sel langerhan
histiocytosis tidak terlihat secara signifikan pembengkakan jaringan lunak
atau massa. Sedangkan pada ewing sarkoma pada jaringan lunaknya terlihat
sebuah massa. Durasi gejala pada pasien juga memainkan peranan penting
untuk diagnostik. Untuk sarkoma ewing dibutuhkan 4-6 bulan untuk
menghancurkan tulang sedangkan osteomielitis 4-6 minggu dan histiocytosis
sel langerhans hanya 7-10 hari.

9. Terapi
24 | P a g e

Osteomielitis akut harus diobati segera. Biakan darah diambil dan


pemberian antibiotika intravena dimulai tanpa menunggu hasil biakan.
Karena Staphylococcus merupakan kuman penyebab tersering, maka
antibiotika yang dipilih harus memiliki spektrum antistafilokokus. Jika
biakan darah negatif, maka diperlukan aspirasi subperiosteum atau aspirasi
intramedula pada tulang yang terlibat. Pasien diharuskan untuk tirah baring,
keseimbangan cairan dan
25 | P a g e

elektrolit dipertahankan, diberikan antipiretik bila demam, dan ekstremitas


diimobilisasi dengan gips. Perbaikan klinis biasanya terlihat dalam 24
jam setelah pemberian antibiotika. Jika tidak ditemukan perbaikan,
maka diperlukan intervensi bedah.

Terapi antibiotik biasanya diteruskan hingga 6 minggu pada pasien


dengan osteomielitis. LED dan CRP sebaiknya diperiksa secara serial setiap
minggu untuk memantau keberhasilan terapi. Pasien dengan peningkatan
LED dan CRP yang persisten pada masa akhir pemberian antibiotik
yang direncanakan mungkin memiliki infeksi yang tidak dapat ditatalaksana
secara komplit. C-Reactive Protein (CRP) Adalah suatu protein fase akut
yang diproduksi oleh hati sebagai respon adanya infeksi, inflamasi atau
kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan proses dimana tubuh
memberikan respon terhadap injury . Jumlah CRP akan meningkat tajam
beberapa saat setelah terjadinya inflamasi dan selama proses inflamasi
sistemik berlangsung. Sehingga pemeriksaan CRP kuantitatif dapat
dijadikan petanda untuk mendeteksi adanya inflamasi/infeksi akut.
Berdasarkan penelitian, pemeriksaan Hs-CRP dapat mendeteksi adanya
inflamasi lebih cepat dibandingkan pemeriksaan Laju Endap Darah (LED).
Terutama pada pasien anak-anak yang sulit untuk mendapatkan jumlah
sampel darah yang cukup untuk pemeriksaan LED.

Sedangkan LED adalah merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk


darah. Proses pemeriksaan sedimentasi (pengendapan) darah ini diukur
dengan memasukkan darah kita ke dalam tabung khusus selama satu
jam. Makin banyak sel darah merah yang mengendap maka makin tinggi
LED-nya. Tinggi ringannya nilai pada LED memang sangat dipengaruhi
oleh keadaan tubuh kita, terutama saat terjadi radang. Nilai LED meningkat
pada keadaan seperti kehamilan ( 35 mm/jam ), menstruasi, TBC paru-paru
26 | P a g e

( 65 mm/jam ) dan pada keadaan infeksi terutama yang disertai dengan


kerusakan jaringan. Jadi pemeriksaan LED masih termasuk pemeriksaan
penunjang yang tidak spesifik untuk satu penyakit. Bila dilakukan secara
berulang laju endap darah dapat
27 | P a g e

dipakai untuk menilai perjalanan penyakit seperti tuberkulosis,


demam rematik, artritis dan nefritis. LED yang cepat menunjukkan suatu
lesi yang aktif, peningkatan LED dibandingkan sebelumnya menunjukkan
proses yang meluas, sedangkan LED yang menurun dibandingkan
sebelumnya menunjukkan suatu perbaikan.

Perbedaan pemeriksaan CRP dan


LED:

∙ Hasil pemeriksaan Hs-CRP jauh lebih akurat dan


cepat
∙ Dengan range pengukuran yang luas, pemeriksaan Hs-CRP sangat baik
dan penting untuk: Mendeteksi Inflamasi/infeksi akut secara cepat (6-
7 jam setelah inflamasi)
∙ Hs-CRP meningkat tajam saat terjadi inflamasi dan menurun jika terjadi
perbaikan sedang LED naik kadarnya setelah 14 hari dan menurun secara
lambat sesuai dengan waktu paruhnya.
∙ Pemeriksaan Hs-CRP dapat memonitor kondisi infeksi pasien dan menilai
efikasi terapi antibiotika.

Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika,


tulang yang terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan
nekrotik diangkat dan daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin
fisiologis steril. Tetapi antibiotik dianjurkan. Pada osteomielitis
kronik, antibiotika merupakan adjuvan terhadap debridemen bedah. Dilakukan
sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah
dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang
untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal
28 | P a g e

(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.Pada beberapa kasus,
infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya tindakan terbaik
adalah amputasi dan pemasangan prothesa. Bila proses akut telah
dikendalikan, maka terapi fisik harian dalam rentang gerakan diberikan.
Kapan aktivitas penuh dapat dimulai tergantung pada jumlah tulang yang
terlibat. Pada infeksi luas,
29 | P a g e

kelemahan akibat hilangnya tulang dapat mengakibatkan terjadinya


fraktur patologis.

Indikasi dilakukannya pembedahan ialah :

1. Adanaya sequester.

2. Adanya abses.

3. Rasa sakit yang hebat.

4. Bila mencurigakan adanya perubahan kearah keganasan (karsinoma


Epidermoid).

Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space)
atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau
dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase
berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat
diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi
infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.

Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus


untuk merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat
diisi dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu
30 | P a g e

otot diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah


yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah;
perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan
tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara
bertahap untuk menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat
melemahkan tulang, kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong
dengan fiksasi interna atau alat penyokong eksterna untuk mencegah
terjadinya patah tulang. Saat yang terbaik untuk melakukan tindakan
pembedahan adalah bila involukrum telah cukup kuat; mencegah terjadinya
fraktur pasca pembedahan.
31 | P a g e

Kegagalan pemberian antibiotika dapat disebabkan oleh:

1. Pemberian antibiotik yang tidak cocok dengan mikroorganisme


penyebabnya
2. Dosis yang tidak adekuat
3. Lama pemberian tidak cukup
4. Timbulnya resistensi
5. Kesalahan hasil biakan
6. Pemberian pengobatan suportif yang buruk
7. Kesalahan diagnostik
8. Pada pasien yang imunokempremaise
10. Komplikasi
1. Abses tulang
2. Bakteremia
3. Fraktur
4. Selulitis
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, Greenspan. Orthopedic Imaging: A Practical Approach, 4th Edition.


Lippincott Williams & Wilkins. USA. 2004.
2. Anonym, “Osteomyelitis”.2011. Available from:
http://www.mayoclinic.com/health/ osteomyelitis/DS00759
3. Anonym, “OSTEOMIELITIS : Perkembangan 10 tahun Terakhir”. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_023_sendi_&_tulang.pdf
4. Daniel, Lew, et al. 2012. “Review Article Current Concepts
OSTEOMYELITIS”available from :
“http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/nejm199704033361406”
5. David R, Barron BJ, Madewell JE. Osteomyelitis, acute and chronic. Radio
Clin North Am 1987;25:1171-1201.
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip

ORGANOFOSFAT

Nama : dr. Arya Bogi Kusumo


No. ID : 331110116181855
Pada : Juli 2017

Pekalongan, Juli 2017

Dokter Internship Dokter Pendamping 1 Dokter Pendamping 2

dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 15 Juli 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo

Dengan Judul/Topik : Organofosfat

Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo

dr. Siti Hanah

Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan

No. Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan

1. dr. Putri Nurrani K

2. dr. Astari Rindu Astuti

3. dr. Farah

4. dr. Jinan Fairus A

5. dr. Nely Tsurayya

6.

7.

8.

9.

10.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah


KASUS 1

No. ID danNamaPeserta : dr. Arya Bogi Kusumo

No. ID danNamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN

Topik: Adenotonsilitis kronis

Tanggal (kasus): 15-07-2017 Pendamping: dr. IMAM PRASETYO

Tanggal presentasi : dr. SITI HANAH

Tempat presentasi: RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

Obyektif presentasi:

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi:

Alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengantar, pada tanggal 15 Juli 2017
Pukul 09.00 di IGD RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

□ Tujuan:

Menegakkan diagnosis Organofosfat

Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien Organofosfat

Penatalaksanaan dan edukasi pada pasien Organofosfat

Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos

Data pasien: Nama:Tn. R No. Reg:14.07.xx

Nama Klinik: IGD RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:

Kab. Pekalongan

Data utama untuk bahan diskusi:

5. Diagnosis/ Gambaran Klinis:


Pasien datang ke IGD dengan keluhan penurunan kesadaran disertai mulut
berbusa sejak +/- 9 jam SMRS. Awalnya pasien beraktivitas di ladang pada siang
harinya, namun tiba-tiba ditemukan oleh keluarganya tergeletak di ladang dengan
racun rumput yang tergeletak disebelahnya. Pasien langsung tidak sadarkan diri
dan mengeluarkan busa dari mullutnya. Keluarga tidak ingat racun apa yang
dikonsumsi pasien namun langsung membawa pasien ke puskesmas terdekat.
Dipuskesmas pasien hanya diberikan cairan saja tanpa pembilasan lambung.
6. RiwayatAlergi:
Pasien tidak mengetahui adanya alergi terhadap obat tertentu.

7. Riwayat Kesehatan/ Penyakit


Pasien belum pernah mengalami alergi terhadap obat-obatan tertentu.

8. Riwayat Keluarga:
Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.

Hasil pembelajaran:

3. Penegakan diagnosis pada kasus Organofosfat


4. Penatalaksanaan yang tepat pada kasus Organofosfat
5. SUBYEKTIF
Pasien Tn. R dengan keracunan Organofosfat

6. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Kesan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran :GCS: E1V1M1
b. Vital Sign :
Tekanan darah : 130/110 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Suhu badan : 36,4oC
Pernafasan : 40 x/menit
c. Pemeriksaan kulit
Turgor dan elastisitas dalam batas normal, kelainan kulit (-), sianosis (-)
d. Pemeriksaan kepala
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusimerata
Pemeriksaan mata : Palpebra edema (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera
ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (-/-), pinpoint pupil +/+
Mulut : Stridor + , Hipersalivasi +
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)
Pemeriksaan Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-)
e. Pemeriksaan Leher :
Kelenjar tiroid tidak membesar
Kelenjar lnn Tidak membesar, nyeri (-)
f. Pemerikasaan dada :
Inspeksi : retraksi (-), Nafas Cepat dan Dalam (pernafasan Kusmaull)
Palpasi :ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+), Suara tambahan : Ronkhi (+),
wheezing(-), krepitasi(-), S1 S2 reguler
g. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Bentuk bulat, defans muskular (-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi: Peristaltik usus (+)
Perkusi : Timpani, nyeri ketok kostovertebra (-), pekak beralih (-)
Palpasi: Nyeri tekan abdomen (+) bagian epidastrik dan umbilikalis,
abdomen kiri, nyeri lepas tekan (-), massa (-), Nyeri tekan suprapubik (-)
Extremitas atas edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+).
Extremitas bawah: edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+).
F. EKG
Pada EKG Didapatkan Sinus Tachycardia
7. ASSESMENT
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dimana

terdapat Penurunan Kesadaran, Nafas cepat dan dalam, sinus takikardia, pinpoint

pupil, Hipersalivasi, dan riwayat meminum racun rumput maka dapat

disimpulkan bahwa Diagnosis sementara yang dapat ditegakkan adalah

Intoksikasi Organofosfat.

8. PLANNING
Penatalaksanaan di IGD

Pemasangan monitor + Guedel + O2 10 lpm

Intubasi endotrakeal

IVFD RL 20 tpm

Instruksi dr H.Haris Nohu,SpPD:

Injeksi Atropin Sulfas 1 mg (4 ampul) / 15 menit,diberikan sampai tercapai


efek Atropinisasi (Pupil Midriasis, Oksigenasi adekuat)

Inj. Dexamethasone 1 amp

Pro ICU

Follow Up

Pasien meninggal di ICU pada tanggal 20 September Dini Hari pkl 04.00

TINJAUAN
PUSTAKA

A. Pendahuluan
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan
gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi :
- Insektisida (pembunuh insekta)
- Fungisida ( pembunuh jamur)
- Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan
penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga
untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya.
Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang.
Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena
kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri).
Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi
efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia,
tetapi sangat toksik pada serangga.
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida
banyak digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan
dinegara yang
sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida
adalah sebagai berikut
- Amerika Serikat 45%
- Eropa Barat 25%
- Jepang 12%
- Negara berkembang lainnya 18%
Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia,
penggunaan pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian
lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan
kesehatan bagi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
B. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat,
fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat termasuklah insektisida (malathion,
parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik
(trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau
parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.

Struktur umum organofosfat

Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif
terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya
OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan
antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.

C. Predisposisi
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah
faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dariluar tubuh (eksternal), faktor-faktor
tersebut adalah :

1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain :

a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usia pun
akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh juga
menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah,
sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.

b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahantubuh dan
meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yangburuk, protein yang ada dalam
tubuh sangat terbatas dan enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memilikitingkat gizi baik
cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebihbesar.

c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml.
Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu
mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini tidak
meningkat setelah makan atau pemberian oralsejumlah besar kholin. Ini menunjukkan
adanya mekanisme dalam tubuhuntuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar
yang konstan.Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase,
jeniskelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuankarena pada
perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase,meskipun demikian tidak
dianjurkan wanita menyemprot denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan
kadar rata-ratakolinesterase cenderung turun.

d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahanpengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebihtinggi
diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya jugalebih baik jika dibandingkan
dengan tingkat pendidikan yang rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat
pendidikan tinggi akanlebih baik.

2. Faktor di luar tubuh (eksternal)

a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakinmempermudah
terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung
terhadap bahaya keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk
dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yangdianjurkan
0,5
– 1,5 kg/ha.

b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak denganpestisida
sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.Penurunan aktivitas
kolinesterase dalam plasma darah karena keracunanpestisida akan berlangsung mulai
seseorang terpapar hingga 2 minggusetelah melakukan penyemprotan.

c. Tindakan penyemprotan pada arah


angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat
melakukanpenyemprotan.Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angindengan
kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saatmenyemprot melawan
arah angin akan mempunyai resiko lebih besardibanding dengan petani yang saat
menyemprot searah dengan arahangin.

d. Frekuensi
penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pularesiko
keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai denganketentuan. Waktu yang
dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisidamaksimal 5 jam perhari.

e. Jumlah jenis
pestisida
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktupenyemprotan akan
menimbulkan efek keracunan lebih besar biladibanding dengan penggunaan satu jenis
pestisida karena daya racun ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat
sehingga memberikan efeksamping yang semakin besar

D.
Patofisiologi
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan
fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.

Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida


lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah
sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk
dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa.
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal
menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat,
mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik
dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya
gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.

E. Gejala
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek
muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat

a. Efek muskarinik
Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk:
diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/bradikardi, mual
muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi.
Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
∙ 1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
∙ 2. Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
∙ 3. Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen,
diare, inkontinensia alvi
∙ 4. Genitourinari – Inkontinensia urin
∙ 5. Mata – mata kabur, miosis
∙ 6. Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan

b. Efek Nikotinik
Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal
diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk
hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat.

c. Efek sistem saraf pusat


Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah,
bingung, cemas, depresi salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma.
F. Diagnosis Banding

G. Diagnosis
1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta
diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian.
2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama
ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral,
yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan.
3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal ini
diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan
sebelumnya
4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi.

H. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium klinik
∙ analisa gas darah
∙ darah lengkap
∙ serum elektrolit
∙ pemeriksaan fungsi hati
∙ Pemeriksaan fungsi ginjal
∙ sedimen urin
2) EKG
∙ Deteksi gangguan irama jantung
3) Pemeriksaan radiologi
∙ Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi
atau dugaan adanya perforasi lambung.

I. Penatalaksanaan

a. Stabilisasi
Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi
primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom
toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan
dan intubasi
endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status
mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang
terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk
mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian
antidotum.

b. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.
Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan
sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai
ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang
terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk
dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada
saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran
cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan
diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika
organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang
masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami
pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari
aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru
kronik.

c. Pemberian Antidotum
a) Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin
biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu
yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling
luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat
pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea.
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3
menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang
digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi
penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.

b) Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk
melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan
karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh
organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang
fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis
tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi
penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime
meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,
peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada
tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi
pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.

d. Pemberian anti-
kejang
Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10
mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20
mg IV)

J. Komplikasi
∙ Gagal nafas
∙ kejang
∙ pneumonia aspirasi
∙ neuropati
∙ kematian
KESIMPULA
N

Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim


kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan
pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime. Gagal
nafas merupakan penyebab utama kematian pasien.
DAFTAR
PUSTAKA

1. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity. Medscape


eMedicine, 2011. Available on: http://emedicine.medscape.com/article/167726-
overview. Accessed: 4th May 2011.
2. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,
edisi IV. 2006. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Page 214-16
3. Ooi S, Manning P. Guide to Essentials in Emergency Medicine. Singapore:
McGrawHill,
2004. Page: 369-71
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip

KEJANG DEMAM KOMPLEKS DENGAN

TONSILOFARINGITIS

Nama : dr. Arya Bogi Kusumo


No. ID : 331110116181855
Pada : Agustus 2017

Pekalongan, Agustus 2017

Dokter Internship Dokter Pendamping 1 Dokter Pendamping 2

dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 10 Agustus 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:

Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo

Dengan Judul/Topik : Kejang demam kompleks dengan tonsilofaringitis

Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo

dr. Siti Hanah

Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan

No. Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan

1. dr. Putri Nurrani K

2. dr. Astari Rindu Astuti

3. dr. Farah

4. dr. Jinan Fairus A

5. dr. Nely Tsurayya

6.

7.

8.

9.

10.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah


KASUS 1

No. ID dan NamaPeserta : dr. Arya Bogi Kusumo

No. ID danNamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN

Topik: Limfadenopati Colli

Tanggal (kasus): 05-08-2017 Pendamping: dr. IMAM PRASETYO

Tanggal presentasi :
dr. SITI HANAH

Tempat presentasi: RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

Obyektif presentasi:

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi:

Alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengantar, pada tanggal 8 Agustus 2017
Pukul 22.00 di IGD RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan

□ Tujuan:

Menegakkan diagnosis KDK dengan Tonsilofaringitis

Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien KDK dengan Tonsilofaringitis

Penatalaksanaan dan edukasi pada pasien KDK dengan Tonsilofaringitis

Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit

Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos

Data pasien: Nama:An. S No. Reg:14.08.xx

Nama Klinik: IGD RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:

Kab. Pekalongan

Data utama untuk bahan diskusi:

9. Diagnosis/ Gambaran Klinis:


± 5 hari sebelum masuk RS pasien batuk, batuk tidak berdahak, terus
menerus, disertai pilek berwarna bening dan encer. Sesak (-), panas (-), mual (-),
muntah (-), BAB dan BAK biasa. Pasien diberi obat dari klinik keluhan tidak
berkurang hingga 1 hari SMRS.
± 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien panas, panas mendadak, suhu
tidak diukur, terus menerus, kemudian ibu pasien memberi obat panas (sirup), tapi
panas tidak turun. Beberapa lama kemudian pasien kejang, lama kejang + 1 menit,
mata mendelik, kejang kelojotan, sebelum dan sesudah kejang pasien nangis. Pasien
masih batuk (tidak berdahak), pilek ( keluar ingus bening). Mual (-), muntah (-),
BAB dan BAK biasa. Nafsu makan baik. Oleh ibu pasien dibawa ke RS
Pasien pernah mengalami kejang 3 kali karena panas, + 5 bulan yang lalu.
Kejang berulang, lama kejang + 20 menit dengan jarak kejang + 3 jam. Saat kejang
mata mendelik, kejang kelojotan, setelah kejang pasien menangis. Pasien dibawa ke
klinik dan diberi obat
RPD : pasien pernah mengalami kejang sebelumnya pada umur 1 tahun. Ibu pasien
mengatakan pasien tidak mempunyai riwayat trauma di kepala.
RPK : tidak ada anggota keluarga pasien yang pernah kejang sebelumnya.
UB : pasien belum diberi obat penurun panas. Sewaktu kejang, langsung dibawa
ke RS
10. RiwayatAlergi:
Pasien tidak mengetahui adanya alergi terhadap obat tertentu.

11. Riwayat Kesehatan/ Penyakit


Pasien belum pernah mengalami alergi terhadap obat-obatan tertentu.

12. Riwayat Keluarga:


Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.

Hasil pembelajaran:

5. Penegakan diagnosis pada kasus KDK dengan Tonsilofaringitis


6. Penatalaksanaan yang tepat pada kasus KDK dengan Tonsilofaringitis
9. SUBYEKTIF
Pasien An. S usia 1 trahun dengan KDK dengan Tonsilofaringitis

10. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum (kesan umum dari pemeriksaan)
Keadaan sakit penderita : kesan sakit sedang
Kesadaran penderita : Compos Mentis
Tanda vital
Nadi : 110x / menit , kualitas : regular, ekual, isi cukup
Respirasi : 26x / menit , tipe : abdominothorakal
Suhu : 39,7 C ( aksiler ) Tensi : -
Pengukuran

Berat Badan : 11 kg
Panjang Badan : 78 cm
Status gizi : Baik
Pemeriksaan Sistematik
3.4.1.Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata, lebat
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
3.4.2.Kepala : simetris kiri = kanan
Mata : Conjung. anemis -/-, sklera ikt -/-, refleks cahaya (+), pupil isokor
THT : Tonsil T2/T2 hiperemis, faring Hiperemis. Hidung sekret (+) Mulut
: mukosa basah dan bibir basah
Leher : KGB tidak teraba membesar, kaku kuduk (-)
3.4.3.Thorax
3.4.4.1.Dinding Thorax / paru-paru
Inspeksi : B/P simetris kiri = kanan, retraksi (-) Palpasi : pergerakan
simetris kanan = kiri Perkusi : sonor, kiri = kanan
Auskultasi : VBS +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
3.4.4.2.Jantung
Iktus kordis tidak tampak, bunyi jantung murni, reguler, murmur (-)
3.4.4.Abdomen
Inspeksi : cembung, retraksi epigastrium (-) Auskultasi : Bising usus (+)
normal
Palpasi : soepel, nyeri tekan -, Hepar dan Lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani
3.4.5.Genital
perempuan, tidak ada kelainan
3.4.6.Anus
Tidak ada kelainan
3.4.7.Anggota gerak dan tulang
Tidak ada kelainan, sianosis (-), akral hangat, tonus otot baik, CRT < 2 detik
3.4.8. Neurologis :
- Saraf cranial :
N I tidak dilakukan
N II reflek cahaya +/+
N III, IV, VI pergerakan bola mata ke segala arah
N V reflek kornea +/+
N VII plicanasolabialis simetris
N VIII pendengaran baik
N IX, X fungsi menelan +

N XI sulit untuk ditentukan


N XII deviasi lidah (-)
- Sensorik : baik
- Kekuatan motorik : baik
- Reflek fisiologis +/+
- Reflek patologis -/-
- Rangsang meningen : kaku kuduk (-) Brudzinsky I, II, III (-) Laseque (-)
Kernig (-)
- Parese (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah:
Hb : 11,5 gr/dl
Ht : 34 %
Leukosit : 11.000 / mm3
Trombosit : 331.000 /mm3
Eritrosit : 4,43 juta/mm3
MC
MCV : 69 fL (↓)
MCH : 23 pg/ml (↓)
MCHC : 33 g/dL
LED : 16 mm/jam

11. ASSESMENT
Pasien seorang anak laki-laki, berumur 1 tahun, 6 bulan, berat badan 11 kg,
panjang badan 78 cm, datang ke RS dengan keluhan utama kejang dan keluhan
tambahan panas ,batuk dan pilek
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
▶ Keadaan umum : Tampak sakit sedang
▶ Kesadaran : Komposmentis
▶ Frekuensi Nadi :110 x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
▶ Frekuensi pernapasan : 26 x/menit (reguler, adekuat)
▶ Suhu : 39,7 0C (axilla)
▶ Mata :konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
▶ Mulut : :Lidah tidak kotor, tonsil T2 – T2 hiperemis, faring hiperemis.
▶ Leher :KGB tidak teraba.
▶ Bibir :Lembab, sianosis sirkum oral ( - )
▶ Thorak dan abdomen :Dalam batas normal

DIAGNOSIS

Differential Diagnosis
Meningitis
Encephalitis
Diagnosis tambahan :
-
Status gizi: baik
Diagnosis kerja :
Kejang demam Kompleks dengan Tonsilofaringitis

USUL PEMERIKSAAN
- Darah lengkap
- EEG

PENATALAKSANAAN

Non Medikamentosa :
- Bila kejang : O2 2-3 lt/mnt
posisikan pasien ( miringkan )
longgarkan jalan nafas

Medikamentosa :
- IVFD : RL 10 tpm (makro)
- Diazepam rektal 5 mg, setelah 5 menit kemudian jika masih kejang diberi
Diazepam rektal 5 mg
lagi.
- Bila masih kejang diberikan :
Diazepam IV dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB (BB=7,4 kg). Jadi dosis yang
digunakan 3,75 mg ≈ 4 mg, perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit
dalam waktu 2 menit
- Parasetamol 3x 1/3 cth (PRN)

PROGNOSIS
Quo ad vitam ad bonam
Quo ad functionam ad bonam

PENCEGAHAN
Umum : - Penjelasan menurunkan panas badan ( kompres atau antipiretik) dan
memantau saat anak panas dengan termometer, agar jangan sampai
panas tinggi
- Teratur memberi obat anti kejang ( th/ rumatan ), untuk hindari
kejang berulang
Khusus : Penjelasan kepada orang tua jika di rumah terjadi kejang berulang,
cara memasukan diazepam per rektal. Miringkan kepala pasien dan
longgarkan pakaian, tidak memasukkan benda apapun ke dalam mulut
pasien
Jika kejang > 10 menit segera bawa ke RS.
PEMBAHASAN

1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.
Kejang demam terjadi 2-4% pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali, tidak termasuk ke dalam kejang demam. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
demam.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.

2. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) → 80% dari seluruh
kejang demam
o Berlangsung singkat ( < 15 menit), umumnya akan berhenti sendiri
o Berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
o Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
b. Kejang demam kompleks (complex febrile
seizure)
o Kejang lama > 15 menit
o Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
o Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

3. Patofisiologi Kejang Demam

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak


dperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dn permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dpat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan diluar
sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari
sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan
energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya:

o Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler


o Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya
o Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.

Pada keadan demam kenaikan suhu 1 C akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10% – 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari
seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.

Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan


keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.Lepas mutan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut dengan
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejng
yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan
ambang kejang yang
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38 C sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih.

Kejang lama : kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kjang umum yang didahului
kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak
yang mengalami kejang demam.

4.
Pemeriksaan
o Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dikerjakan rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.
o Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya
tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :
1. Bayi < 12 bulan : sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin
o Elektroensefalografi
Pemeriksaan ini tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien
kejang demam. Tidak direkomendasikan. Pemeriksaan ini masih
dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya :
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun,
atau kejang demam fokal.
o Pencitraan
Foto X-Ray kepala, CT-Scan, MRI jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin, dan hanya atas indikasi seperti :
▪ Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
▪ Paresis nervus VI
▪ Papiledema

5.
PENATALAKSANAA
N Non Medikamentosa:
- Bila kejang : O2 2-3 lt/mnt
posisikan pasien ( miringkan )
longgarkan jalan nafas

Medikamentosa :
- Diazepam rektal 10 mg, setelah 5 menit kemudian jika masih kejang
diberi Diazepam rektal 10 mg lagi.
- Bila masih kejang diberikan Diazepam IV dosis 0,3-0,5 mg/kgBB,
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20mg.
- Bila kejang belum berhenti, diberikan fenitoin IV dengan dosis awal 10-
20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dumulai 12 jam setelah dosis awal.
- Bila dengan fenitoin kejang masih belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif.
- Antipiretik
Parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/setiap pemberian, dibagi
3 atau 4 kali pemberian, tidak lebih dari 5 kali pemberian. Setiap syrup
120
mg/ 5 ml. Jangan beri asetilsalisilat karena dapat menyebabkan sindrom
Reye, terutama pada anak < 18 bulan.
- Untuk obat rumatan asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari) dibagi
dalam 2-3 dosis diberikan selama 1 tahun, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan rumatan diberikan apabila kejang
demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :
o Kejang lama > 15 menit
o Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardai mental,
hidrosefalus.
o Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan apabila :
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bualn
o Kejang demam ≥ 4 kali pertahun

6. PROGNOSIS
Prognosa pada umumnya baik. Tidak pernah dilaporkan kecacatan sebagai
akibat kejang demam. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal. Kejadian neurologis hanya terjadi pada sebagian kecil kasus dan
biasanya pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau
fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Faktor risiko berulangnya kejang
demam :
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80%, sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10%-15% kemungkinan berulang.
Kemungkinan berulang pada tahun pertama.
Faktor risiko terjadinya
epilepsi :
o Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
o Kejang demam kompleks
o Riwayat epilepsy pada orang tua atau saudara kandung.
Masing – masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsy
4-6%, kombinasi dari faktori risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsy menjadi 10 – 49%. Hal ini tidak dapat dicegah dengan pemberian
obat rumat pada kejang demam.

7. EDUKASI PADA ORANG TUA


Kurangi kecemasan pada orang tua dengan
cara :
a. Yakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis yang
baik
b. Memberitahukan cara penanganan
kejang
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tapi harus
diingat adanya efek samping obat
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali
kejang a. Tetap tenang dan tidak panic
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar
leher
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan masukan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan bentuk
kejang e. Tetap bersama pasien selama kejang
f. Berikan diazepam rectal, dan jangan diberikan bila kejang telah
bergenti
g. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih
REFERENSI :

1. Hardiono D. Kejeng Demam : Patofisiologi dan Tata Laksana. Seminar Dokter


umum Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan Anak Pada Tingkat Primer.
Jakarta 2013
2. Hardiono Dkk. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta. 2006
3. Taslim,S.,Sofyan,I.Kejang Demam dalam buku ajar Neorologi anak, edisi ke2,Ilmu
Kesehatan Anak Indonesia Jakarta 2000:245-849
4. Lumbantobing, SM, Febrile Convulsion cetakan ke3, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,Jakarta:1-19
5. Husain, R., Alatas, H. Kejang Demam dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2
cetakan ketujuh, Jakarta; Staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 1985; 847-54

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip

DEMAM BERDARAH DENGUE GRADE III


Nama : dr. Arya Bogi Kusumo
No. ID : 331110116181855
Pada : Agustus 2017

Pekalongan, Agustus 2017

Dokter Internship Dokter Pendamping 1 Dokter Pendamping 2

dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal Agustus 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo
Dengan Judul/Topik: Demam Berdarah Dengue Grade III
Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan

No. Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan


1. dr. Putri Nurran K
2. dr. Astari Rindu Astuti

3. dr. Farah

4. dr. Jinan Fairus A


5. dr. Nely Tsurayya

6.

7.

8.

9.

10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah

KASUS 1
No. ID danNamaPeserta : dr. Arya Bogi Kusumo
No. ID danNamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN
Topik: Demam Berdarah Denge Grade III
Tanggal (kasus): 21 -08-2017 Pendamping: dr. IMAM PRASETYO
Tanggal presentasi dr. SITI HANAH
Tempat presentasi: RSUD Kajen KabupatenPekalongan
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi:
Autoanamnesisdilakukandenganpasien, pada tanggal 20 Agustus 2017 Pukul 22.00 di
BANGSAL RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
□ Tujuan:
Menerapkan kaidah dasar bioetik sebagai landasan pengambilan tindakan medis dalam
rangka menghargai hak otonomi pasien untuk menentukan nasibnya sendiri.
Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos
Data pasien: Nama:Ny. S No. Reg:
Nama Klinik: BANGSAL RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:
Kab. Pekalongan
Data utama untuk bahan diskusi:
Diagnosis/ Gambaran Klinis:
∙ Demam berulang sejak 5 hari yang lalu. Demam tinggi, tidak menggigil, dan
tidak berkeringat
∙ Tampak bintik kemerahan pada pergelanggan tangan kanan sejak 1 hari
yang lalu hilang
∙ Nyeri perut diulu hati sejak 1 hari yang lalu, hilang timbul
∙ Mual dan muntah
∙ Batuk dan pilek tidak ada
∙ Perdarahan ditempat lain tidak ada
∙ BAB dan BAK biasa
∙ Sesak nafas disangkal
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam berulang sejak 5 hari yang lalu. Demam tinggi, tidak menggigil, dan tidak
berkeringat
Tampak bintik kemerah pada pergelanggan tangan kanan sejak 1 hari yang lalu hilang
Nyeri perut diulu hati sejak 1 hari yang lalu, hilang timbul
Mual dan muntah
Batuk dan pilek tidak ada
Perdarahan ditempat lain tidak ada
BAB dan BAK biasa
Sesak nafas disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
ada anggota keluarga menderita demam beberapa hari terahir
Riwayat Pengobatan
Pasien dibawa ke mantri dan diberikan paracetamol dan antibiotik namun keluhan hanya
berkurang sementara

OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
KU: Baik
KS :CM, E4V5M6.
Vital sign
TD : 110/80 mmHg
Nadi: 90 x/ menit (pulsasilemah)
Respiratory Rate: 20x/menit
Suhu: 39,7oC
SPO2: 100%
Kulit : teraba hangat, tak tampak pteikie spontan pada ke dua lengan

KGB : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : bentuk bulat, simetris normo chepali

Rambut : hitam tidak mudah rontok

Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor


2mm/2mm reflek cahaya +/+ normal
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : bentuk normal, deviasi septum tidak ada, secret tidak ada,
nafas cuping hidung tidak ada
Tenggorok : tonsil T1-T1 normal, faring tidak hiperemis
Gigi dan mulut: mukosa mulut dan bibir basah, karies tidak ada
Leher : JVP 5 – 2 cmH20
Thorak
Paru : Inspeksi : normochest, retraksi tidak ada
Palpasi : fremitus normal kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler, rhonki tidak ada,wheezing tidak ada
Jantung : Inspeksi : iktus tidak terlihat

Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V, atas RIC
II
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada, thrill tidak ada

Abdomen : Inspeksi : Tidak tampak membuncit

Palpasi : supel, hepar teraba 2 jari, pinggir tajam, permukaan rata, konsistensi
kenyal, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : timpani

Auskultasi : Bising usus (+) Normal

Genitalia : tak tampak kelainan

Anus : colok dubur tidak dilakukan pemeriksaan

Anggota gerak : akral hangat,perfusi baik, refleks fisiologis dan patologis normal

(refleks fisiologis +/+ dan refleks patologis - /- )


Pemeriksaan Laboratorium:

15 Agustus 2017
Hb : 14,3 g/dl
Ht : 52 % Leukosit : 18000/mm3
Trombosit : 33000/ mm3
16 Agustus 2017
GDS : 110 mg/dl
Hb : 14,9 g/dl
Ht : 52 %
Leukosit : 10.600/mm3
Trombosit : 94000/ mm3

12. ASSESMENT
Ny S, Perempuan 55 tahun, 4 hari SMRS, pasien mengeluh febris, cephalgia,
myalgia, arthalgia, dan nausea. 1 hari SMRS, keluhan tetap dirasakan ditambah
dengan vomittus dan sesak nafas. Pada Pemeriksaan Fisik: Suhu: 39,7oC, TD
90/60 mmHg, N 112 x/ mnt, nyeri tekan epigastrium(+), uji tourniket :
rumpleed(+). Pada pemeriksaan laboratorium:
• Leukosit 18.000 g/dL
• Thrombosit 33.000 g/dL
• Hematokrit 52 %
Diagnosis kerja :
DHF Grade III
Tatalaksana di UGD
• O2 3 lpm nasal kanul
• Pasang 2 iv line, 20ml/kgbb/30 menit
• Cek vital sign/ 10 mnt
• Syok teratasi – tetesan diturunkan 10 tpm/kgbb/jam – 24 jam( sampai
HTturun < 40%
Rencana pemeriksaan:
∙ Hb. Ht/ 4 jam
∙ Trombosit/ 24 jam
∙ Kontrol VS
Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip

WANITA 36 TAHUN DENGAN GAGAL JANTUNG


KONGESTIF DISERTAI HEPATITIS B

Nama : dr. Arya Bogi Kusumo


No. ID : 331110116181855
Pada : September 2017

Pekalongan, September 2017

Dokter Internship Dokter Pendamping 1 Dokter Pendamping 2

dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO

Pada hari ini tanggal 12 September 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo
Dengan Judul/Topik : CHF disertai hepatitis B
Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan

No. Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan


1. dr. Putri Nurrani K
2. dr. Astari Rindu Astuti

3. dr. Farah

4. dr. Jinan Fairus A

5. dr. Nely Tsurayya

6.

7.

8.
9.

10.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2

dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah


KASUS 1

No. ID danNamaPeserta : dr. Arya Bogi Kusumo


No. ID danNamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN
Topik: CHF disertai hepatitis B
Tanggal (kasus): 12-09-2017 Pendamping: dr. IMAM PRASETYO
Tanggal presentasi : dr. SITI HANAH
Tempat presentasi: RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Tujuan:
Menegakkan diagnosis CHF disertai hepatitis B
Mengatasi kegawatdaruratan pada pasien CHF disertai hepatitis B
Penatalaksanaan dan edukasi pada pasien CHF disertai hepatitis B
Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos
Data pasien: Nama:Ny. M No. Reg:14.09.xx
Nama Klinik: IGD RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:
Kab. Pekalongan
Data utama untuk bahan diskusi:
Diagnosis/ Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : Perut membesar

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan perut semakin


membesar sejak 9 bulan lalu,perut terasa kencang dan sakit jika di tekan,sejak dulu
pasien belum pernah sakit seperti ini,BAK frekuensi normal warna seperti teh, BAB
frekuensi jarang ,keras dan berwarna coklat, tidak ada mual dan muntah.Selain itu
pasien merasa sesak nafas jika beraktivitas ringan, sesak nafas dirasakan semakin
berat dengan bertambah besarnya perut. pasien juga merasakan gatal di seluruh tubuh
sejak 1 bulan yang lalu dan terdapat bengkak di kaki kanan dan kiri.

RiwayatAlergi:
Pasien tidak mengetahui adanya alergi terhadap obat tertentu.
Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien belum pernah mengalami alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Riwayat Keluarga:
Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.
Hasil pembelajaran:
Penegakan diagnosis pada kasus CHF disertai hepatitis B
Penatalaksanaan yang tepat pada kasus CHF disertai hepatitis B
SUBYEKTIF
Pasien Ny. M usia 36 tahun dengan CHF disertai hepatitis B
OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : lemah, kesadaran kompos mentis
● Tanda Vital :
Tekanan darah: 130/70mmHg
Nadi : 100x/menit
Laju napas : 32x/menit
Suhu : 36 C (axiler)
SpO2 : 89%
GDS : 96
● Kepala
Mata :Mesochepal, rambut merata tak mudah dicabut
:Penglihatan baik, konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil
isokhor, diameter pupil 3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
: Penciuman baik, tidak ada nafas cuping hidung
Mulut
: Rahang normal, mukosa tidak kering, papil lidah tidak atrofi,hipertrofi
gingiva (-),gusi berdarah (-)
Leher
dan kelenjar tiroid (-)
: JVP R+4cmH2O, trakhea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening
Dada
: Bentuk simetris, sela iga tak melebar, simetris statis dan dinamis,
pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan, nyeri tekan sternum (-), spider naevi
(-), tidak terdapat benjolan ataupun bekas luka
● Jantung
Inspeksi : Tampak pulsasi ictus cordis di ICS VI 2cm lateral linea
midclavicula sinistra
Palpasi : teraba pulsasi ictus cordis di ICS VI 2cm lateral linea
midclavicula sinistra, kuat angkat (+), melebar
Perkusi : redup,
▪ Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
▪ Batas kanan : ICS VI linea midclavicula dekstra
▪ Batas kiri : ICS VI 2cm lateral linea midclavicula sinistra
ICS V linea midclavicula sinistra
ICS IV 1cm linea midclavicula sinistra
Auskultasi
Katub mitral
Kesan : mendatar
: BJ I/II reguler, gallop (-), heart rate 100x/menit

:M1>M2,Terdengar murmur sistolik (fase pansistolik, grade IV,


kualitas semburan kasar, penjalaran ke axilaris line sinistra)
Katub trikuspid :T1>T2,Terdengar murmursistolik (fase
midsistolik, grade II, kualitas tiupan, tidak dijalarkan)
Katub pulmonal :P2<P1,Terdengar murmursistolik (fase midsistolik,
grade II, kualitas tiupan, tidak dijalarkan)
Katub aorta :A2>A1,Terdengar murmursistolik (fase midsistolik, grade
II, kualitas tiupan, tidak dijalarkan)
Paru depan
Inspeksi :sela iga tidak melebar, kanan dan kiri simetris statis dan
dinamis, retraksi napas (+)
Palpasi :stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi:sonor di paru atas kanan kiri, redup di paru bawah kanan kiri
Auskultasi :suara dasar vesikuler, suara tambahan ronkhi basah halus di basal
paru kanan kiri
Paru belakang
Inspeksi: kanan dan kiri simetris statis dan dinamis
Palpasi : stem fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi: sonor di paru atas kanan dan kiri, redup di paru bawah kanan dan kiri
13. ASSESMENT
Pasien datang dengan keluhan perut semakin membesar sejak 9 bulan lalu,perut
terasa kencang dan sakit jika di tekan,sejak dulu pasien belum pernah sakit seperti
ini,BAK frekuensi normal warna seperti teh, BAB frekuensi jarang coklat dan keras,
tidak ada mual dan muntah.Selain itu pasien merasa nafas sesak jika beraktivitas
ringan, sesak dirasakan semakin berat dengan bertambah besarnya perut. pasien juga
merasakan gatal di seluruh tubuh sejak 1 bulan yang lalu dan terdapat bengkak di kaki
kanan dan kiri.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan sclera ikterik kanan dan kiri, JVP +4 cmH2O,
retraksi napas (+), pada perkusi paru di dapatkan suara redup di basal paru kanan dan
kiri, palpasi jantung ictus cordis kuat angkat (+) dan batas jantung melebar,
auskultasi terdapat murmur fase pan sistolik penjalaran ke axillaris line sinistra
derajat IV dan heart rate 100x/menit. Pemriksaan abdomen didapatkan
hepatosplenomegali dan asites,ekstremitas inferior terdapat edema.

FOTO THORAX

KESAN: Cardiac Enlargment suspect LVE/RVE/LAE


Efusi pleura duplex minimal

Pemeriksaan EKG

Rhythm : asinus ireguler


Heart rate : 94 x/mnt
Axis : right axis defiation
P wave : Normal
PR interval : Normal
QRS complex :

ST segmen
T wave : flat di V1 dan V4
Kesan : asinus aritmia, dengan right axis deviation, RBBB
Kesan :

Hepatosplenomegali dengan pelebaran vena cava inferior cenderung kongestif liver

Asites masif (efusi pleura minimal)


PROBLEM AKTIF

● Sesak nafas, murmur sistolik, cardiomegali, edema ekstremitas inferior, ronkhi basah
halus → Gagal jantung kongestif

● Hepatosplenomegali, asites, bilirubinemia, gatal seluruh tubuh, hiperpigmentasi, BAK


warna seperti teh, sklera ikterik →Hepatitis

PROBLEM PASIF

● -

RENCANA PEMECAHAN MASALAH

Problem 1 : CHF grade III NYHA, stage C AHA

● Assesment : Penyakit jantung rematik, mengatasi kegawatan, mencegah


komplikasi, menilai beratnya kelainan katub mitral

● Plan : Echocardiografi, pemeriksaan fungsi jantung, pmeriksaan


diagnosa kelainan
katub
mitral
● Plan terapi : infus NaCl 12 tpm/menit, digoksin2x1/2 tab, furosemid 2x1
warfarin2x1 tab ampul,
2mg
● Plan monitoring : saturasi O2, tanda vital, keluhan subjektif, monitoring INR (target
monitoring INR 2-4), monitoring darah tepi (trombosit)

● Plan edukasi : menjelaskan penyakit dan pemeriksaan yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga, tirah baring.

● Plan terapi diet : kalori 1300-1700 kalori, diet rendah garam, rendah protein, cairan
minum 500cc/hari

Problem 2 : Hepatitis

● Assesment : menentukan akut atau kronis, memastikan riwayat sirosis, infeksi virus
hepatitis B, infeksi virus hepatitis C, infeksi virus hepatitis A

● Plan diagnosa : HbSAg, urin tampung, anti HCV, anti HAV, SPE

● Plan terapi : pemasangan DC, infus NaCl 12 tpm/menit, furosemid 2x1


ampul,
curcuma 3x1 tab, letonal 3x1 tab
● Plan monitoring : keluhan subjektif, tanda vital, lingkar perut (atas umbilicus,umbilicus,
bawah umbilicus) dan berat badan setiap hari, urin tampung

● Plan edukasi :menjelaskan penyakit dan pemeriksaan yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga, membatasi asupan cairan dan garam

● Plan terapi diet : diet rendah garam, rendah protein dan rendah lemak, batasi asupan
cairan minum 500cc/hari

PEMBAHASAN

GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )

A. Definisi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )

Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan
adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekananpengisianventrikel kiri (Braundwald).
B. Etiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )

- Kelainan otot jantung


Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi
otot jantung mencakup ateroslerosis koroner, hipertensi arterial dan penyakit
degeneratif atau inflamasi.
Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya
aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif berhubungan dengan gagal
jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung menyebabkan
kontraktilitas menurun.
Hipertensi Sistemik atau pulmunal (peningkatan after load) meningkatkan beban kerja
jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung
karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas
menurun.
Penyakit jantung lain, terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang
secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup
gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katub semiluner), ketidakmampuan
jantung untuk mengisi darah (tamponade, pericardium, perikarditif konstriktif atau
stenosis AV), peningkatan mendadak after load
- Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar factor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal
jantung. Meningkatnya laju metabolisme (missal : demam, tirotoksikosis). Hipoksia dan
anemi juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau
metabolic dan abnormalita elektronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung.

Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam 4 kelainan
fungsional :
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat

C. Patofisiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )

Jantung yang normal dapat berespon terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme


dengan menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan
kardiak output, yaitu meliputi :
a. Respon system saraf simpatis terhadap barroreseptor atau kemoreseptor
b. Pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuaikan terhadap
peningkatan volume
c. Vaskontriksi arterirenal dan aktivasi system rennin angiotensin
d. Respon terhadap serum sodium dan regulasi ADH dan reabsorbsi terhadap cairan
Kegagalan mekanisme kompensasi dapat dipercepat oleh adanya volume darah sirkulasi
yang dipompakan untuk melawan peningkatan resistensi vaskuler oleh pengencangan
jantung. Kecepatan jantung memperpendek waktu pengisian ventrikel dari arteri
coronaria.Menurunnya COP dan menyebabkan oksigenasi yang tidak adekuat ke
miokardium.Peningkatan dinding akibat dilatasi menyebabkan peningkatan tuntutan
oksigen dan pembesaran jantung (hipertrophi) terutama pada jantung iskemik atau
kerusakan yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan.

D. Manifestasi klinis GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )


Tanda dominan :
Meningkatnya volume intravaskuler
Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah
jantung. Manifestasi kongesti berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang
terjadi.
Gagal Jantung Kiri :
Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tak mampu
memompa darah yang dating dari paru.
Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
- Dispnea, terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran
gas
- Dapat terjadi ortopnoe. Beberapa pasien dapat mengalami ortopnoe pada malam hari
yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
- Batuk
- Mudah lelah, terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dan
sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme.
Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia
yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk
- Kegelisahan atau kecemasan, terjadi karena akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress
akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik

Gagal jantung Kanan :


- Kongestif jaringan perifer dan visceral
- Oedema ekstremitas bawah (oedema dependen), biasanya oedema pitting,
penambahan BB
- Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat
pembesaran vena hepar
- Anoreksia dan mual, terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga
abdomen
- Nokturia
- Kelemahan

E. Evaluasi diagnostik GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )

Meliputi evaluasi manifestasi klinis dan pemantauan hemodinamik.Pengukuran tekanan


preload, afterload dan curah jantung dapat diperoleh melalui lubang-lubang yang
terletak pada berbagai interfal sepanjang kateter.Pengukuran CVP (N 15 – 20 mmHg)
dapat menghasilkan pengukuran preload yang akurat.PAWP atau Pulmonary Aretry
Wedge Pressure adalah tekanan penyempitan aretri pulmonal dimana yang diukur
adalah tekanan akhir diastolic ventrikel kiri.Curah jantung diukur dengan suatu lumen
termodelusi yang dihubungkan dengan komputer.
F. Terapi FarmakologiCHF

Terapi farmakologis untuk CHF pada umumnya bertujuan untuk mengatasi disfungsi
sistolik.Gangguan sistolik pada ventrikel kiri hampir selalu disertai adanya aktivitas
sistem neuroendokrin. Berikut ini ada beberapa terapi farmakologi yang dapat diberikan
untuk penderita dengan CHF:

1. Inhibitor ACE. Bekerja dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi


angiotensin II. Angiotensin II bekerja di ginjal dengan menahan ekskresi cairan (Na + dan
H2O) yang dapat meningkatkan tahanan perifer dan berefek pada peningkatan tekanan
darah. Dengan adanya ACE inhibitor maka tidak akan terbentuk angiotensin II,
mengurangi retensi cairan, terjadi vasodilatasi dan mengurangi kerja jantung.

Beberapa jenis dari ACE inhibitor adalah enalapril lisinopril, benazepril, quinapril,
fisinopril, ramipril dan yang banyak digunakan adalah Captopril. Indikasinya untuk
antihipertensi, left ventricular disfunction disertai myocardial infraction, vasodilatror dan
CHF. Kontraindikasi untuk hipersensitivitas terhadap captopril, wanita hamil dan
menyusui.Memiliki efek samping ruam, berkurangnya persepsi pengecapan, sakit kepala,
batuk kering, hipotensi sementara, neutropenia, proteinurea, dan gagal ginjal pada
stenosis arteri renalis bilateral.

2. Diuretik. Merupakan dasar untuk terapi simptomatik. Bertujuan untuk mengatasi retensi
cairan sehingga mengurangi beban volume sirkulasi yang menghambat kerja jantung.
Pada pemberian duretik harus diawasi kadar kalium darah karena hipokalsemia mudah
terjadi karena gangguan irama jantung. Duretik harus diberikan dalam jumlah yang besar
untuk menghilangkan edema paru dan atau perifer. Efek samping utama adalah
hipokalemia. Ada beberapa macam duretik yang dapat digunakan, seperti spironolakton,
lasix, bumetanide, hydrochlorothiazide, dan yang paling sering digunakan adalah
furosemid (lasix). Penggunaan diuretik biasanya dikombinasikan dengan ACE inhibitor.
Kombiasi dari kedua obat ini akan memiliki efek tambahan pada miokardium untuk
mencegah perkembangan jaringan parut miokard dan pembesaran.
3. Antagonis Reseptor Angiotensin II. Bekerja dengan menghambat antagonisme
langsung terhadap reseptornya. Masuk antagonis A.II yang spesifik adalah losartan,
valsatran, kandesartan, dan irbesartan, sifatnya mirip dengan
inhibitor ACE. Perbedaanya dengan inhibitor ACE adalah obat golongan
ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainyya,
sehingga tidak menimbulkan batuk kering. Inidikasi dan
kontraindikasi sama dengan inhibitor ACE. Dapat menjadi alternatif
untuk pasien yang harus menghentikan inhibitor ACE akibat batuk
persisten. Memiliki efek samping ringan seperti hipotensi somatik,
hiperkalemia kadang-kadang terjadi serta angioedema.
4. Beta bloker. Diberikan hanya pada pasien yang stabil, denan dosis rendah
dan serta dinaikkan secara bertahap. Berfungsi untuk menurunkan
kegagalan pompa serta kematian mendadak akibat aritmia.
Kontraindikasi untuk pasien yang mengalami gangguan saluran
pernapasan asma, karena dapat menginduksi bronkospasma sehingga
dapat memperparah asma. Yang termasuk beta bloker adalah bisoprolol,
metoprolol, dan karvedilol.
5. Kombinasi hidralazin dengan issorbid dinitrat( 37,5 mg/tablet dan 20
mg/tablet).
Obat ini diindikasikan untuk gagal jantung pada individu ras kulit hitam
didasarkan pada penelitian gagal jantung Afrika Amerika. Diindikasikan
untuk pasien yang intoleran dengan inhibitor ACE

Keadekuatan jantung untuk memompakan darah ke seluruh tubuh sangat prnting


untuk kelangsungan hidup individu. Ketika terjadi suatu masalah pada jantung
maka seluruh fungsi tubuhpun akan ikut terkena imbasnya. Supali oksigen dan
nutrisi ke seluruh jaringan tubuh akan ikut terganggu yang tentunya akan
mengganggu proses metabolisme sel-sel tubuh. Oleh karena itu ketika terjadi
kasus gagal jantung kongesti atau CHF diperlukan terapi medik yang tepat dan
efektif.Beberapa obat untuk CHF memiliki fungsi untuk menurunkan tekanan
darah dan meringankan kerja jantung.Terdapat beberapa efeks samping dan
kontraindikasi yang harus kita perhatikan ketika ingin memberikan terapi
farmakologi tersebut.
HEPATITIS B

PENDAHULUAN
HepatitisB merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia dan
dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan.Hal
ini karena selain prevalensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan
problema pascaakut bahkan dapat terjadi cirroshis hepatitis dan karsinoma
hepatoseluler primer. Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis. Bahkan
menjadi kronik dan 20% penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun
sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan karsinoma
hepatoselluler (hepatoma).Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila
infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara
sempurna.
Pada saat ini didunia diperkirankan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap
(carier) HBsAg dan 220juta (78%) diantaranya terdapat di Asia termasuk
Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di
Indonesia prevalensi Hepatitis B berkisar antara 2,50-
36,17% (Sulaiman,1994). Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi
pada bayi dan
anak,diperkirakan25-45% pengidap adalah karena
infeksi perinatal.
Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit hepatitis B
dan termasuk
Negara yang dihimbau olehWHO untuk melaksanakan upaya
pencegahan (Imunisasi).

E
T
I
O
L
O
G
I
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini
pertama kali ditemukan oleh Blumbergpacta tahun 1965 dan dikenal dengan
nama antigen Australia.Virus ini termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm
yang disebut
"PartikelDane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus
partikelinti (core).
Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat Hepatitis B
coreantigen
(HBcAg) dan Hepatitis Be antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg)
terdiri atas lipo
protein dan menurut sifat imunologik proteinnya virus Hepatitis B dibagi
menjadi 4 subtipe
yaitu adw,adr,aywdan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting, karena
menyebabkan perbedaan geogmfik dan rasial dalam penyebarannya.Virus
hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80hari, rata-rata 80-90hari.
MANIFESTASI KLINIS HEPATITIS B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi
2 yaitu:
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
Yang system imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis
B
dari tubuh.
Hepatitis B akut terdiri atas 3yaitu:
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
dengan
sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB
tidak efektif dan terjadi koeksistensi denganVHB.

Hepatitis B akut yang khas


Bentuk hepatitis ini meliputi 95%penderita dengan gambaran ikterus yang
jelas.Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu:
1.Fase Praikterik(prodromal)
Gejala non spesifik,permulaan penyakit tidak jelas,demam tinggi,anoreksia,
mual,nyeri di
daerah hati disertai perubahan warna air kemih menjadi gelap.
Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati (kadar bilirubin serum, SGOT
dan
SGPT, Fosfatosealkali, meningkat).
2.Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai hepatomegali dan
splenomegali.
Timbulnya ikterus makin hebat dengan puncak pada minggu kedua. Setelah
timbul
ikterus,gejala menurun dan pemeriksaan laboratorium tes fungsi hati abnormal.
3.Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim aminotransferase.
Pembesaran
hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri, pemeriksaan
Laboratorium menjadi normal.

Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai
prognosa buruk dalam7-10hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian.
Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi
pemeriksaan SGOT
memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati menjadi lebih kecil,
kesadaran cepat
menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi
gagal ginjal
akut dengan anuria dan uremia.

Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik.
Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.

KELOMPOK RESIKO TINGGI TERKENA HEPATITIS B


Dalam epidemiologi Hepatitis B dikenal kelompok resiko tinggi yang lebih sering
terkena infeksi Virus B dibandingkan yang lain,yang termasuk kelompok ini adalah:
1. lndividu yang karena profesi/pekerjaannya atau lingkungannya relatif lebih sering
ketularan, misal: petugas kesehatan (dokter,dokter gigi,perawat, bidan), petugas
laboratorium, pengguna jarum suntik, wanita tuna susila, pria
homoseksual,supir,dukunbayi, bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi
hepatitisB.
2. Individu dengan kelainan sistem kekebalan selular,misal penderita hemofilia,
hemodialisa,

leukemia limfositik, penderita sindroma Down dan penderita yang mendapat


terapi imunosupresif.

PENCEGAHAN HEPATITIS B
Menurut Parkada lima pokok pencegahan yaitu:
1.Health Promotion,usaha peningkatan mutu kesehatan
2.Specifik Protection,perlindungan secara khusus
3.Early Diagnosis dan Prompt Treatment, pengenalan dini terhadap
penyakit, serta
pemberian pengobatan yang tepat
4.Usaha membatasi cacat
5.Usaha rehabilitasi
Dalam upaya pencegahan infeksi Virus Hepatitis B,sesuai pendapat Effendi dilakukan
dengan menggabungkan antara pencegahan penularan dan pencegahan penyakit.

PENCEGAHAN PENYAKIT
Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif maupun pasif

1.Immunisasi Aktif
Pada Negara dengan prevalensi tinggi,immunisasi diberikan pada bayi yang lahir dari
ibu HBsAg positif,sedang pada Negara yang prevalensi rendah immunisasi diberikan
pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan secara
intramuskular sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2 tahun.

2.Immunisasi Pasif
Pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan immunisasi pasif dimana
daya lindung HBIG diperkirakan dapat menetralkan virus yang infeksius dengan
menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan terhadap PostExpossure
maupun PreExpossure. Pada bayi yang lahir dari ibu, yang HBsAs positif diberikan
HBIG 0,5 mlintramuscular segera setelah lahir (jangan lebih dari 24 jam). Pemberian
ulangan pada bulan ke3 dan ke5. Pada orang yang terkontaminasi dengan HBsAg
positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg BB diberikan dalam 24 jam post exposure dan
diulang setelah 1 bulan.

PENGOBATAN

7 obat tersedia untuk pengobatan hepatitis B kronis : termasuk pengobatan


konvensional interferon alpha, pegilasi interferon alpha, dan NUCs. NUCs untuk
terapi HBV mempunyai 3 kelas : L nukleosida (lamivudine, telbivudine, dan
emtricitabine), deoksiguanosin analog (entecavir) dan asilik nukleosida fosfonat
( adefovir dan tenofovir). Lamivudine, adefovir, entecavir, telbivudine, dan
tenovofir sudah diterima Eropa untuk pengobatan HBV dan kombinasi tenofovir
dan emtricitabine dalam satu tablet telah mendapat lisensi untuk infeksi HIV.

Efektivitas obat-obat ini telah diuji coba selama setahun (dua tahun untuk
telbivudine).Hasil jangka panjang (sekitar 5 tahun) tersedia untuk lamivudine,
adefovir, entecafir, telbivudine dan tenofovir di subgroup pasien.Gambar 1 dan 2
menunjukkan kecepatan respon obat-obat ini dari

percobaan yang berbeda. Percobaan ini menggunakan dna HBV essai dan bukan
perbandingan satu satu untuk semua obat.

Obat paling poten dengan resisten paling optimal adalah tenofovir dan entecavir harus
digunakan sebagai monoterapi lini terapi. Paling tepat untuk mempertahankan supresi
dna HBV ke batas tak terdeteksi pada PCR obat apapun yang dipakai. Efek jangka
panjang, keamanan, dan toleransi dari entecavir dan tenofovir (setelah lima hingga
sepuluh tahun) belum diketahui.
Hingga kini belum ada data yang mengindikasikan keuntungan kombinasi
pengobatan dengan NUCs pada pasien yang menerima entecavir atau
tenofovir.Percobaan pengobatan sedang dilakukan. Beberapa ahli merekomendasikan
pendekatan kombinasi terapi untuk menghindari resistansi pada pasien resiko tinggi
(dna HBV tinggi) atau pada pasien yang bila terjadi resistansi bias berakibat fatal
(sirosis). Tetapi keamanan jangka panjang kombinasi NUCs dan entecafir atau
tenofovir belum diketahui dan mahal. Tenofovir ditambah lamivudine atau tenofovir
ditambah emtricitabine dalam satu tablet menjadi piihan untuk pasien ini.

Pengobatan pada pasien kondisi khusus

Pasien HIV

Pasien HIV dengan KHB meningkatkan resiko sirosis. Pengobatan HIV bisa
menyebabkan flare hepatitis B karena sistem imun. Indikasi terapi sama dengan
pasien negative HIV berdasarkan level dna HBV, level ALT, dan lesi histologis.
Sesuai dengan petunjuk HIV terbaru, direkomendasikan pasien untuk diobati
sekaligus.Tenofovir dan emtricitabine bersama dengan agen ketiga melawan
HIV.Pada sejumlah kecil pasien, HBV harus diobati sebelum HIV; adefovir dan
telbivudine terpilih karena terbukti tidak efektif untuk HIV.Lamivudine, entecafir dan
tenofovir mampu melawan HIV dan HBV sehingga dikontraindikasikan sebagai
agen tunggal untuk hepatitis B pada pasien ini. Tetapi jika obat dengan kecepatan
resisten yang rendah ini tidak mampu mengobati ke tingkat dna HBV tak terdeteksi,
pengobatan infeksi HIV harus dipertimbangkan.

Pasien dengan hepatitis D

Infeksi hepatitis D aktif dikonfirmasi dengan adanya rna HDV, antigen HDV, atau
Igm anti HDV. Interferon alpha satu-satunya obat yang efektif untuk replikasi HDV.
Efektifitas terapi interferon alpha harus dicek pada minggu ke 24 dengan mengecek
level rna HDV. Lebih dari satu terapi mungkin diperlukan. Sebagian pasien menjadi
rna HDV negative atau bahkan HBsAg negative dengan perkembangan pada
histologinya. Monoterapi NUC tidak berefek pada replikasi HDV dan penyakit yang
berhubungan.

Pasien dengan HCV

Level dna HBV sering rendah atau tak terdeteksi dan HCV yang bertanggung jawab
untuk aktivitas kronis hepatitis pada kebanyakan pasien. Pasien ini harus menerima
interferon alpha pegilasi dengan ribavirin untuk HCV.Kecepatan respons virologis
menetap untuk HCV bisa dibandingkan dengan pasien hanya HCV.Ada resiko
reaktivasi HBV saat atau setelah HCV yang harus diobati dengan NUCs.

Pasien dengan hepatitis akut berat

Lebih dari 95-99% dewasa dengan akut infeksi HBV akan sembuh spontan dan
serokonversi menjadi anti HBs tanpa terapi antiviral. Tetapi sebagian pasien dengan
hepatitis menetap atau nekrosis hepatic sub aku berat harus diobati dengan
NUC.Dukungan untuk strategi ini ditemukan pada laporan dengan lamivudine tetapi
efektivitasnya belum terbukti.Untuk hepatitis kronis, obat yang lebih poten dan sulit
resisten (entecavir atau tenofovir) harus digunakan.Durasi pemberian obat belum
ditentukan.Tetapi pemberian terapi anti viral setelah minimal 3 bulan setelah
serokonversi ke anti HBs atau sedikitnya 6 bulan setelah HBe serokonversi tanpa
hilangnya HBsAg direkomendasikan.Terkadang membedakan antara akut hepatitis B
dan KHB eksaserbasi akut sukit dibedakan dan membutuhkan liver biopsy.Tetapi
pada kedua kasus pengobatan NUC menjadi pilihan.

Anak

KHB menyebakan penyakit jinak pada kebanyakan anak.Hanya interferon


alpha konvensional, lamivudine, dan adefovir sudah dievaluasi untuk keamanan dan
efektivitas dibandingkan dengan dewasa.Ada studi khusus mempelajari NUCs untuk
pengobatan anak yang lebih baik.

Pekerja kesehatan

Pekerja kesehatan terutama ahli bedah, yang terlibat dalam prosedur terekspos
dengan HBsAg positif (dna HBV > 2000 IU/ml) harus diobati dengan antiviral poten
dan sulit resisten (entecavir atau tenofovir) untuk menurunkan dna HBV hingga ke
tingkat tak terdeteksi dan setidaknya <2000 IU/ml sebelum menjalani prosedur
tersebut. Keamanan jangka panjang, efektivitas, komplikasi dan implikasi ekonomi
kebijakan tersebut di Negara yang berbeda tidak diketahui.

Wanita hamil

Lamivudine, adefovir dan entecavir dimasukkan oleh FDA sebagai obat


kategori C sedangkan telbivudine dan tenofovir kategori B. Klasifikasi ini
berdasarkan resiko teratogenik pada evaluasi pre klinik.Ada beberapa yang
menunjukkan penggunaan yang aman pada wanita hamil dengan HIV positif yang
menerima tenofovir dan/atau lamivudine atau emtricitabine.Laporan terbaru
menyebutkan bahwa terapi lamivudine saat trimester akhir kehamilan dengan HBsAg
positif mengurangi resiko transmisi HBV intra uterin dan perinatal bila diberi sebagai
tambahan untuk vaksinasi aktif dan pasif HBIg dan HBV.Tenofovir saja atau
tenofovir+emtricitabine atau entecavir saja bisa dipertimbangkan.Walau
kelihatannya aman, tetapi masih membutuhkan konfirmasi lanjut.Wanita dengan
HBV harus dimonitor sesaat setelah melahirkan karena eksaserbasi KHB bisa terjadi.

Pengobatan pendahulu sebelum terapi imunosupresif atau kemoterapi

Pada penderita HBV yang menerima kemoterapi atau imunosupresif, resiko reaktifasi
tinggi, terutama bila rituximab diberikan tunggal atau kombinasi dengan
steroid.Kandidat untuk kemoterapi atau imunosupresif harus dicek untuk HBsAg
dan anti HBc antibodi sebelum memulai pengobatan.Vaksinasi HBV pada pasien
seronegatif sangat dianjurkan.
Pasien HBsAg positif kandidat kemoterapi atau imunosupresif harus dites level dna
HBV nya dan menerima NUC terapi terlebih dahulu (tak perduli level dna HBV) dan
12 bulan setelah terapi dihentikan. Kebanyakan dilakukan dengan lamivudine, yang
cukup untuk pasien dengan level dna HBV yang rendah dan resiko resisten yang
rendah. Tetapi sangat direkomendasikan untuk pasien dengan dna HBV yang tinggi
diproteksi dengan NUC yang sangat poten dan sulit resisten (entecavir atau
tenofovir).
Pasien HBsAg negative dengan anti HBc antibodi positif dan dna HBV tak terdeteksi
yang menerima kemoterapi atau imunosupresif harus dimonitor ALT dan dna HBV
nya dan diobati dengan NUC saat menunggu konfirmasi reaktifasi HBV sebelum
peningkatan ALT. Profilaksis NUC juga direkomendasikan pada pasien yang
menerima transplantasi sumsum tulang dari donor tidak imun. Penerima liver
dengan anti HBC positif harus menerima profilaksis NUC digabung dengan HBIg.
Lama pengobatan optimal tidak diketahui.

Pasien dieresis dan transplantasi renal

Kebanyakan data untuk pasien ini untuk pengobatan dengan lamivudine; dosis harus
disesuaikan untuk gagal ginjal.Ada laporan tentang memburuknya fungsi ginjal pada
pemberioan adefovir.Entecavir mungkin obat terbaik untuk pasien ini.Tenofovir harus
digunakan dengan hati-hati pada gangguan ginjal.

Penyakit ekstrahepatik

Pasien HBsAf positif dengan manifestasi esktra hepatic dan replikasi HBV aktif
mungkin merespon dengan terapi antiviral.Lamivudine hingga kini paling banyak
digunakan.Entecavir dan tenofovir diharapkan meningkatkan efektivitas pada pasien
ini.Indikasi dan penatalaksanaan tidak jauh berbeda dengan pasien tanpa manifestasi
ekstra hepatik.Plasmaferesis bisa digunakan sebagai tambahan terapi NUC pada
kasus tertentu.

Anda mungkin juga menyukai