Disusun oleh:
dr. Arya Bogi Kusumo
Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
OSTEOMIELITIS
(Kasus Medik)
Disusun oleh:
dr. Arya Bogi Kusumo
Pembimbing:
dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
RSUD KAJEN
KABUPATEN PEKALONGAN
2017
3|Page
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip
dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
4|Page
Pada hari ini tanggal 3 Juli 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo
Dengan Judul/Topik : Osteomielitis
Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan
3. dr. Farah
6.
7.
8.
9.
10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2
KASUS 1
4. Riwayat Keluarga:
Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.
Hasil pembelajaran:
1. Penegakan diagnosis pada kasus Osteomielitis
2. Penatalaksanaan yang tepat pada kasus Osteomielitis
1. SUBYEKTIF
Pasien Tn, H usia 16 tahun dengan Osteomielitis
2. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Kesadaran : Composmentis
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan :20x/menit
Suhu : 36,5ºC
a. Kepala : dalam batasnormal
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Ostemomielitis adalah suatu proses inflamasi akut maupun kronik
pada tulang dan struktur disekitarnya yang disebabkan oleh organisme
pyogenik. Dalam kepustakaan lain dinyatakan bahwa osteomielitis adalah
radang tulang yang disebabkan oleh organism piogenik, walaupun berbagai
agen infeksi lain juga dapat menyebabkannya. Ini dapat tetap terlokalisasi
atau dapat tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks,
jaringan kanselosa dan periosteum.
2. Gejala
Osteomielitis hematogeneus biasanya memiliki progresivitas gejala
yang lambat.osteomielitis langsung (direct osteomyelitis) umumnya lebih
terlokalisasi dengan tanda dan gejala yang menonjol. Gejala umum dari
osteomielitis meliputi :
a. Osteomielitis hematogenus tulang panjang
∙ Demam yang memiliki onset tiba-tiba tinggi (demam hanya
terdapat dalam 50% dari osteomielitis pada neonates)
∙ Kelelahan
∙ Rasa tidak nyaman
∙ Irritabilitas
∙ Keterbatasan gerak (pseudoparalisis anggota badan pada neonates)
∙ Edema lokal, eritema dan nyeri.
9|Page
4. Patogenesis
Patogenesis dari osteomielitis telah dieksplorasi pada berbagai
hewan percobaan; pada studi ini ditemukan bahwa tulang yang normal
sangat tahan terhadap infeksi, yang hanya bisa terjadi sebagian besar
diakibatkan oleh inokulum, trauma, atau adanya benda asing.
Kuman bisa masuk tulang dengan berbagai cara, termasuk beberapa
cara dibawah ini :
Melalui aliran darah.
Kuman di bagian lain dari tubuh misalnya, dari
pneumonia atau infeksi saluran kemih dapat masuk melalui aliran darah
ke tempat yang melemah di tulang. Pada anak-anak, osteomielitis paling
umum terjadi di daerah yang lebih lembut, yang disebut lempeng
pertumbuhan,di kedua ujung tulang panjang pada lengan dan kaki.
Dari infeksi di dekatnya.
Luka tusukan yang parah dapat membawa kuman jauh
di dalam tubuh. Jika luka terinfeksi, kuman dapat menyebar ke
tulang di dekatnya.
Kontaminasi langsung
11 | P a g e
B. Osteomielitis
Subakut.
∙ Brodie Abses.
C. Osteomielitis
Kronik.
7. Pemeriksaan penunjang:
b. Kultur :
c. Radiografi
d. MRI
e. CT scan
22 | P a g e
f. Ultrasonografi
9. Terapi
24 | P a g e
(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.Pada beberapa kasus,
infeksi sudah terlalu berat dan luas sehingga satu-satunya tindakan terbaik
adalah amputasi dan pemasangan prothesa. Bila proses akut telah
dikendalikan, maka terapi fisik harian dalam rentang gerakan diberikan.
Kapan aktivitas penuh dapat dimulai tergantung pada jumlah tulang yang
terlibat. Pada infeksi luas,
29 | P a g e
1. Adanaya sequester.
2. Adanya abses.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space)
atau dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau
dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat dipasang drainase
berpengisap untuk mengontrol hematoma dan mebuang debris. Dapat
diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi
infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.
ORGANOFOSFAT
dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO
Pada hari ini tanggal 15 Juli 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
3. dr. Farah
6.
7.
8.
9.
10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2
Obyektif presentasi:
□ Deskripsi:
Alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengantar, pada tanggal 15 Juli 2017
Pukul 09.00 di IGD RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
□ Tujuan:
Kab. Pekalongan
8. Riwayat Keluarga:
Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.
Hasil pembelajaran:
6. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Kesan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran :GCS: E1V1M1
b. Vital Sign :
Tekanan darah : 130/110 mmHg
Nadi : 140 x/menit
Suhu badan : 36,4oC
Pernafasan : 40 x/menit
c. Pemeriksaan kulit
Turgor dan elastisitas dalam batas normal, kelainan kulit (-), sianosis (-)
d. Pemeriksaan kepala
Rambut : Warna hitam, tidak mudah dicabut, distribusimerata
Pemeriksaan mata : Palpebra edema (-/-), Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera
ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (-/-), pinpoint pupil +/+
Mulut : Stridor + , Hipersalivasi +
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), nyeri tekan (-/-), serumen (-/-)
Pemeriksaan Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-)
e. Pemeriksaan Leher :
Kelenjar tiroid tidak membesar
Kelenjar lnn Tidak membesar, nyeri (-)
f. Pemerikasaan dada :
Inspeksi : retraksi (-), Nafas Cepat dan Dalam (pernafasan Kusmaull)
Palpasi :ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+), Suara tambahan : Ronkhi (+),
wheezing(-), krepitasi(-), S1 S2 reguler
g. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Bentuk bulat, defans muskular (-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi: Peristaltik usus (+)
Perkusi : Timpani, nyeri ketok kostovertebra (-), pekak beralih (-)
Palpasi: Nyeri tekan abdomen (+) bagian epidastrik dan umbilikalis,
abdomen kiri, nyeri lepas tekan (-), massa (-), Nyeri tekan suprapubik (-)
Extremitas atas edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+).
Extremitas bawah: edema (-/-), nadi lemah (+), akral Dingin (+).
F. EKG
Pada EKG Didapatkan Sinus Tachycardia
7. ASSESMENT
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dimana
terdapat Penurunan Kesadaran, Nafas cepat dan dalam, sinus takikardia, pinpoint
Intoksikasi Organofosfat.
8. PLANNING
Penatalaksanaan di IGD
Intubasi endotrakeal
IVFD RL 20 tpm
Pro ICU
Follow Up
Pasien meninggal di ICU pada tanggal 20 September Dini Hari pkl 04.00
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pendahuluan
Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan
gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi :
- Insektisida (pembunuh insekta)
- Fungisida ( pembunuh jamur)
- Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu)
Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan
penyakit tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga
untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya.
Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang.
Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena
kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri).
Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi
efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia,
tetapi sangat toksik pada serangga.
Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida
banyak digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan
dinegara yang
sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida
adalah sebagai berikut
- Amerika Serikat 45%
- Eropa Barat 25%
- Jepang 12%
- Negara berkembang lainnya 18%
Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia,
penggunaan pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian
lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan
kesehatan bagi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
B. Definisi
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat
digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat,
fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat termasuklah insektisida (malathion,
parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik
(trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau
parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.
Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif
terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya
OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan
antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.
C. Predisposisi
Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah
faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dariluar tubuh (eksternal), faktor-faktor
tersebut adalah :
a. Umur
Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usia pun
akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh juga
menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah,
sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.
b. Status gizi
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahantubuh dan
meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yangburuk, protein yang ada dalam
tubuh sangat terbatas dan enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan
enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memilikitingkat gizi baik
cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebihbesar.
c. Jenis kelamin
Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml.
Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu
mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini tidak
meningkat setelah makan atau pemberian oralsejumlah besar kholin. Ini menunjukkan
adanya mekanisme dalam tubuhuntuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar
yang konstan.Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase,
jeniskelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuankarena pada
perempuan lebih banyak kandungan enzim kolinesterase,meskipun demikian tidak
dianjurkan wanita menyemprot denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan
kadar rata-ratakolinesterase cenderung turun.
d. Tingkat pendidikan
Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan
tambahanpengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebihtinggi
diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya jugalebih baik jika dibandingkan
dengan tingkat pendidikan yang rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat
pendidikan tinggi akanlebih baik.
a. Dosis
Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakinmempermudah
terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung
terhadap bahaya keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk
dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yangdianjurkan
0,5
– 1,5 kg/ha.
b. Lama kerja
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak denganpestisida
sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.Penurunan aktivitas
kolinesterase dalam plasma darah karena keracunanpestisida akan berlangsung mulai
seseorang terpapar hingga 2 minggusetelah melakukan penyemprotan.
d. Frekuensi
penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pularesiko
keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai denganketentuan. Waktu yang
dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisidamaksimal 5 jam perhari.
e. Jumlah jenis
pestisida
Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktupenyemprotan akan
menimbulkan efek keracunan lebih besar biladibanding dengan penggunaan satu jenis
pestisida karena daya racun ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat
sehingga memberikan efeksamping yang semakin besar
D.
Patofisiologi
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan
fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.
E. Gejala
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek
muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat
a. Efek muskarinik
Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk:
diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/bradikardi, mual
muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi.
Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
∙ 1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
∙ 2. Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
∙ 3. Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen,
diare, inkontinensia alvi
∙ 4. Genitourinari – Inkontinensia urin
∙ 5. Mata – mata kabur, miosis
∙ 6. Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan
b. Efek Nikotinik
Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal
diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk
hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat.
G. Diagnosis
1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta
diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian.
2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama
ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral,
yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan.
3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal ini
diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan
sebelumnya
4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi.
H. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium klinik
∙ analisa gas darah
∙ darah lengkap
∙ serum elektrolit
∙ pemeriksaan fungsi hati
∙ Pemeriksaan fungsi ginjal
∙ sedimen urin
2) EKG
∙ Deteksi gangguan irama jantung
3) Pemeriksaan radiologi
∙ Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi
atau dugaan adanya perforasi lambung.
I. Penatalaksanaan
a. Stabilisasi
Pasien
Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi
primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom
toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan
dan intubasi
endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status
mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien
harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang
terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk
mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian
antidotum.
b. Dekontaminasi
Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan.
Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan
sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai
ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara.
Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang
terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk
dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada
saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran
cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan
diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika
organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang
mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang
masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami
pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari
aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru
kronik.
c. Pemberian Antidotum
a) Agen Antimuskarinik
Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin
biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu
yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling
luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat
pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea.
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3
menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang
digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi
penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.
b) Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk
melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan
karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh
organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang
fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim.
Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis
tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi
penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator.
Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime
meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi,
peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada
tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi
pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat.
d. Pemberian anti-
kejang
Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10
mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20
mg IV)
J. Komplikasi
∙ Gagal nafas
∙ kejang
∙ pneumonia aspirasi
∙ neuropati
∙ kematian
KESIMPULA
N
TONSILOFARINGITIS
dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO
Pada hari ini tanggal 10 Agustus 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
3. dr. Farah
6.
7.
8.
9.
10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2
Tanggal presentasi :
dr. SITI HANAH
Obyektif presentasi:
□ Deskripsi:
Alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengantar, pada tanggal 8 Agustus 2017
Pukul 22.00 di IGD RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
□ Tujuan:
Kab. Pekalongan
Hasil pembelajaran:
10. OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum (kesan umum dari pemeriksaan)
Keadaan sakit penderita : kesan sakit sedang
Kesadaran penderita : Compos Mentis
Tanda vital
Nadi : 110x / menit , kualitas : regular, ekual, isi cukup
Respirasi : 26x / menit , tipe : abdominothorakal
Suhu : 39,7 C ( aksiler ) Tensi : -
Pengukuran
Berat Badan : 11 kg
Panjang Badan : 78 cm
Status gizi : Baik
Pemeriksaan Sistematik
3.4.1.Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata, lebat
Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
3.4.2.Kepala : simetris kiri = kanan
Mata : Conjung. anemis -/-, sklera ikt -/-, refleks cahaya (+), pupil isokor
THT : Tonsil T2/T2 hiperemis, faring Hiperemis. Hidung sekret (+) Mulut
: mukosa basah dan bibir basah
Leher : KGB tidak teraba membesar, kaku kuduk (-)
3.4.3.Thorax
3.4.4.1.Dinding Thorax / paru-paru
Inspeksi : B/P simetris kiri = kanan, retraksi (-) Palpasi : pergerakan
simetris kanan = kiri Perkusi : sonor, kiri = kanan
Auskultasi : VBS +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-
3.4.4.2.Jantung
Iktus kordis tidak tampak, bunyi jantung murni, reguler, murmur (-)
3.4.4.Abdomen
Inspeksi : cembung, retraksi epigastrium (-) Auskultasi : Bising usus (+)
normal
Palpasi : soepel, nyeri tekan -, Hepar dan Lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani
3.4.5.Genital
perempuan, tidak ada kelainan
3.4.6.Anus
Tidak ada kelainan
3.4.7.Anggota gerak dan tulang
Tidak ada kelainan, sianosis (-), akral hangat, tonus otot baik, CRT < 2 detik
3.4.8. Neurologis :
- Saraf cranial :
N I tidak dilakukan
N II reflek cahaya +/+
N III, IV, VI pergerakan bola mata ke segala arah
N V reflek kornea +/+
N VII plicanasolabialis simetris
N VIII pendengaran baik
N IX, X fungsi menelan +
11. ASSESMENT
Pasien seorang anak laki-laki, berumur 1 tahun, 6 bulan, berat badan 11 kg,
panjang badan 78 cm, datang ke RS dengan keluhan utama kejang dan keluhan
tambahan panas ,batuk dan pilek
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
▶ Keadaan umum : Tampak sakit sedang
▶ Kesadaran : Komposmentis
▶ Frekuensi Nadi :110 x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
▶ Frekuensi pernapasan : 26 x/menit (reguler, adekuat)
▶ Suhu : 39,7 0C (axilla)
▶ Mata :konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik
▶ Mulut : :Lidah tidak kotor, tonsil T2 – T2 hiperemis, faring hiperemis.
▶ Leher :KGB tidak teraba.
▶ Bibir :Lembab, sianosis sirkum oral ( - )
▶ Thorak dan abdomen :Dalam batas normal
DIAGNOSIS
Differential Diagnosis
Meningitis
Encephalitis
Diagnosis tambahan :
-
Status gizi: baik
Diagnosis kerja :
Kejang demam Kompleks dengan Tonsilofaringitis
USUL PEMERIKSAAN
- Darah lengkap
- EEG
PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa :
- Bila kejang : O2 2-3 lt/mnt
posisikan pasien ( miringkan )
longgarkan jalan nafas
Medikamentosa :
- IVFD : RL 10 tpm (makro)
- Diazepam rektal 5 mg, setelah 5 menit kemudian jika masih kejang diberi
Diazepam rektal 5 mg
lagi.
- Bila masih kejang diberikan :
Diazepam IV dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB (BB=7,4 kg). Jadi dosis yang
digunakan 3,75 mg ≈ 4 mg, perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit
dalam waktu 2 menit
- Parasetamol 3x 1/3 cth (PRN)
PROGNOSIS
Quo ad vitam ad bonam
Quo ad functionam ad bonam
PENCEGAHAN
Umum : - Penjelasan menurunkan panas badan ( kompres atau antipiretik) dan
memantau saat anak panas dengan termometer, agar jangan sampai
panas tinggi
- Teratur memberi obat anti kejang ( th/ rumatan ), untuk hindari
kejang berulang
Khusus : Penjelasan kepada orang tua jika di rumah terjadi kejang berulang,
cara memasukan diazepam per rektal. Miringkan kepala pasien dan
longgarkan pakaian, tidak memasukkan benda apapun ke dalam mulut
pasien
Jika kejang > 10 menit segera bawa ke RS.
PEMBAHASAN
1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rectal di atas 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium.
Kejang demam terjadi 2-4% pada anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali, tidak termasuk ke dalam kejang demam. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang
demam.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.
2. Klasifikasi
a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) → 80% dari seluruh
kejang demam
o Berlangsung singkat ( < 15 menit), umumnya akan berhenti sendiri
o Berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
o Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam
b. Kejang demam kompleks (complex febrile
seizure)
o Kejang lama > 15 menit
o Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial
o Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama : kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang lama
terjadi pada 8% kejang demam.
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kjang umum yang didahului
kejang parsial.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak
yang mengalami kejang demam.
4.
Pemeriksaan
o Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dikerjakan rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam,
atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.
o Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko
terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%- 6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya
tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada :
1. Bayi < 12 bulan : sangat dianjurkan
2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin
o Elektroensefalografi
Pemeriksaan ini tidak dapat memprediksi berulangnya kejang
atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien
kejang demam. Tidak direkomendasikan. Pemeriksaan ini masih
dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya :
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun,
atau kejang demam fokal.
o Pencitraan
Foto X-Ray kepala, CT-Scan, MRI jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin, dan hanya atas indikasi seperti :
▪ Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
▪ Paresis nervus VI
▪ Papiledema
5.
PENATALAKSANAA
N Non Medikamentosa:
- Bila kejang : O2 2-3 lt/mnt
posisikan pasien ( miringkan )
longgarkan jalan nafas
Medikamentosa :
- Diazepam rektal 10 mg, setelah 5 menit kemudian jika masih kejang
diberi Diazepam rektal 10 mg lagi.
- Bila masih kejang diberikan Diazepam IV dosis 0,3-0,5 mg/kgBB,
perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20mg.
- Bila kejang belum berhenti, diberikan fenitoin IV dengan dosis awal 10-
20 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari,
dumulai 12 jam setelah dosis awal.
- Bila dengan fenitoin kejang masih belum berhenti, maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif.
- Antipiretik
Parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/setiap pemberian, dibagi
3 atau 4 kali pemberian, tidak lebih dari 5 kali pemberian. Setiap syrup
120
mg/ 5 ml. Jangan beri asetilsalisilat karena dapat menyebabkan sindrom
Reye, terutama pada anak < 18 bulan.
- Untuk obat rumatan asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari) dibagi
dalam 2-3 dosis diberikan selama 1 tahun, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan rumatan diberikan apabila kejang
demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :
o Kejang lama > 15 menit
o Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardai mental,
hidrosefalus.
o Kejang fokal
Pengobatan rumat dipertimbangkan apabila :
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bualn
o Kejang demam ≥ 4 kali pertahun
6. PROGNOSIS
Prognosa pada umumnya baik. Tidak pernah dilaporkan kecacatan sebagai
akibat kejang demam. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal. Kejadian neurologis hanya terjadi pada sebagian kecil kasus dan
biasanya pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau
fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Faktor risiko berulangnya kejang
demam :
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80%, sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut hanya 10%-15% kemungkinan berulang.
Kemungkinan berulang pada tahun pertama.
Faktor risiko terjadinya
epilepsi :
o Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
o Kejang demam kompleks
o Riwayat epilepsy pada orang tua atau saudara kandung.
Masing – masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsy
4-6%, kombinasi dari faktori risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsy menjadi 10 – 49%. Hal ini tidak dapat dicegah dengan pemberian
obat rumat pada kejang demam.
HALAMAN PENGESAHAN
dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
Pada hari ini tanggal Agustus 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo
Dengan Judul/Topik: Demam Berdarah Dengue Grade III
Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan
3. dr. Farah
6.
7.
8.
9.
10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2
KASUS 1
No. ID danNamaPeserta : dr. Arya Bogi Kusumo
No. ID danNamaWahana : RSUD KAJEN KABUPATEN PEKALONGAN
Topik: Demam Berdarah Denge Grade III
Tanggal (kasus): 21 -08-2017 Pendamping: dr. IMAM PRASETYO
Tanggal presentasi dr. SITI HANAH
Tempat presentasi: RSUD Kajen KabupatenPekalongan
Obyektif presentasi:
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi:
Autoanamnesisdilakukandenganpasien, pada tanggal 20 Agustus 2017 Pukul 22.00 di
BANGSAL RSUD Kajen Kabupaten Pekalongan
□ Tujuan:
Menerapkan kaidah dasar bioetik sebagai landasan pengambilan tindakan medis dalam
rangka menghargai hak otonomi pasien untuk menentukan nasibnya sendiri.
Bahan bahasan: □ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas: □ Presentasi&Diskusi □ Diskusi □ Email □ Pos
Data pasien: Nama:Ny. S No. Reg:
Nama Klinik: BANGSAL RSUD Kajen Telp: Terdaftar sejak:
Kab. Pekalongan
Data utama untuk bahan diskusi:
Diagnosis/ Gambaran Klinis:
∙ Demam berulang sejak 5 hari yang lalu. Demam tinggi, tidak menggigil, dan
tidak berkeringat
∙ Tampak bintik kemerahan pada pergelanggan tangan kanan sejak 1 hari
yang lalu hilang
∙ Nyeri perut diulu hati sejak 1 hari yang lalu, hilang timbul
∙ Mual dan muntah
∙ Batuk dan pilek tidak ada
∙ Perdarahan ditempat lain tidak ada
∙ BAB dan BAK biasa
∙ Sesak nafas disangkal
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam berulang sejak 5 hari yang lalu. Demam tinggi, tidak menggigil, dan tidak
berkeringat
Tampak bintik kemerah pada pergelanggan tangan kanan sejak 1 hari yang lalu hilang
Nyeri perut diulu hati sejak 1 hari yang lalu, hilang timbul
Mual dan muntah
Batuk dan pilek tidak ada
Perdarahan ditempat lain tidak ada
BAB dan BAK biasa
Sesak nafas disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
ada anggota keluarga menderita demam beberapa hari terahir
Riwayat Pengobatan
Pasien dibawa ke mantri dan diberikan paracetamol dan antibiotik namun keluhan hanya
berkurang sementara
OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
KU: Baik
KS :CM, E4V5M6.
Vital sign
TD : 110/80 mmHg
Nadi: 90 x/ menit (pulsasilemah)
Respiratory Rate: 20x/menit
Suhu: 39,7oC
SPO2: 100%
Kulit : teraba hangat, tak tampak pteikie spontan pada ke dua lengan
Perkusi : batas jantung kanan LSD, kiri 1 jari medial LMCS RIC V, atas RIC
II
Auskultasi : irama teratur, bising tidak ada, thrill tidak ada
Palpasi : supel, hepar teraba 2 jari, pinggir tajam, permukaan rata, konsistensi
kenyal, lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi : timpani
Anggota gerak : akral hangat,perfusi baik, refleks fisiologis dan patologis normal
15 Agustus 2017
Hb : 14,3 g/dl
Ht : 52 % Leukosit : 18000/mm3
Trombosit : 33000/ mm3
16 Agustus 2017
GDS : 110 mg/dl
Hb : 14,9 g/dl
Ht : 52 %
Leukosit : 10.600/mm3
Trombosit : 94000/ mm3
12. ASSESMENT
Ny S, Perempuan 55 tahun, 4 hari SMRS, pasien mengeluh febris, cephalgia,
myalgia, arthalgia, dan nausea. 1 hari SMRS, keluhan tetap dirasakan ditambah
dengan vomittus dan sesak nafas. Pada Pemeriksaan Fisik: Suhu: 39,7oC, TD
90/60 mmHg, N 112 x/ mnt, nyeri tekan epigastrium(+), uji tourniket :
rumpleed(+). Pada pemeriksaan laboratorium:
• Leukosit 18.000 g/dL
• Thrombosit 33.000 g/dL
• Hematokrit 52 %
Diagnosis kerja :
DHF Grade III
Tatalaksana di UGD
• O2 3 lpm nasal kanul
• Pasang 2 iv line, 20ml/kgbb/30 menit
• Cek vital sign/ 10 mnt
• Syok teratasi – tetesan diturunkan 10 tpm/kgbb/jam – 24 jam( sampai
HTturun < 40%
Rencana pemeriksaan:
∙ Hb. Ht/ 4 jam
∙ Trombosit/ 24 jam
∙ Kontrol VS
Telah disahkan dan disetujui portofolio Dokter Internsip
dr. Arya Bogi Kusumo dr. Imam Prasetyo dr. Siti Hanah
NIP. NIP.
Pada hari ini tanggal 12 September 2017 telah dipresentasikan portofolio oleh:
Nama Peserta : dr. Arya Bogi Kusumo
Dengan Judul/Topik : CHF disertai hepatitis B
Nama Pendamping : dr. Imam Prasetyo
dr. Siti Hanah
Nama Wahana : RSUD Kajen Kab Pekalongan
3. dr. Farah
6.
7.
8.
9.
10.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping 1 Pendamping 2
RiwayatAlergi:
Pasien tidak mengetahui adanya alergi terhadap obat tertentu.
Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien belum pernah mengalami alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Riwayat Keluarga:
Pasien dan keluarga tidak mengetahui adanya riwayat alergi pada keluarga.
Hasil pembelajaran:
Penegakan diagnosis pada kasus CHF disertai hepatitis B
Penatalaksanaan yang tepat pada kasus CHF disertai hepatitis B
SUBYEKTIF
Pasien Ny. M usia 36 tahun dengan CHF disertai hepatitis B
OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : lemah, kesadaran kompos mentis
● Tanda Vital :
Tekanan darah: 130/70mmHg
Nadi : 100x/menit
Laju napas : 32x/menit
Suhu : 36 C (axiler)
SpO2 : 89%
GDS : 96
● Kepala
Mata :Mesochepal, rambut merata tak mudah dicabut
:Penglihatan baik, konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil
isokhor, diameter pupil 3mm, refleks cahaya (+/+)
Hidung
: Penciuman baik, tidak ada nafas cuping hidung
Mulut
: Rahang normal, mukosa tidak kering, papil lidah tidak atrofi,hipertrofi
gingiva (-),gusi berdarah (-)
Leher
dan kelenjar tiroid (-)
: JVP R+4cmH2O, trakhea di tengah, pembesaran kelenjar getah bening
Dada
: Bentuk simetris, sela iga tak melebar, simetris statis dan dinamis,
pembesaran kelenjar limfe tidak ditemukan, nyeri tekan sternum (-), spider naevi
(-), tidak terdapat benjolan ataupun bekas luka
● Jantung
Inspeksi : Tampak pulsasi ictus cordis di ICS VI 2cm lateral linea
midclavicula sinistra
Palpasi : teraba pulsasi ictus cordis di ICS VI 2cm lateral linea
midclavicula sinistra, kuat angkat (+), melebar
Perkusi : redup,
▪ Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
▪ Batas kanan : ICS VI linea midclavicula dekstra
▪ Batas kiri : ICS VI 2cm lateral linea midclavicula sinistra
ICS V linea midclavicula sinistra
ICS IV 1cm linea midclavicula sinistra
Auskultasi
Katub mitral
Kesan : mendatar
: BJ I/II reguler, gallop (-), heart rate 100x/menit
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan sclera ikterik kanan dan kiri, JVP +4 cmH2O,
retraksi napas (+), pada perkusi paru di dapatkan suara redup di basal paru kanan dan
kiri, palpasi jantung ictus cordis kuat angkat (+) dan batas jantung melebar,
auskultasi terdapat murmur fase pan sistolik penjalaran ke axillaris line sinistra
derajat IV dan heart rate 100x/menit. Pemriksaan abdomen didapatkan
hepatosplenomegali dan asites,ekstremitas inferior terdapat edema.
FOTO THORAX
Pemeriksaan EKG
ST segmen
T wave : flat di V1 dan V4
Kesan : asinus aritmia, dengan right axis deviation, RBBB
Kesan :
● Sesak nafas, murmur sistolik, cardiomegali, edema ekstremitas inferior, ronkhi basah
halus → Gagal jantung kongestif
PROBLEM PASIF
● -
● Plan edukasi : menjelaskan penyakit dan pemeriksaan yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga, tirah baring.
● Plan terapi diet : kalori 1300-1700 kalori, diet rendah garam, rendah protein, cairan
minum 500cc/hari
Problem 2 : Hepatitis
● Assesment : menentukan akut atau kronis, memastikan riwayat sirosis, infeksi virus
hepatitis B, infeksi virus hepatitis C, infeksi virus hepatitis A
● Plan diagnosa : HbSAg, urin tampung, anti HCV, anti HAV, SPE
● Plan edukasi :menjelaskan penyakit dan pemeriksaan yang akan dilakukan kepada
pasien dan keluarga, membatasi asupan cairan dan garam
● Plan terapi diet : diet rendah garam, rendah protein dan rendah lemak, batasi asupan
cairan minum 500cc/hari
PEMBAHASAN
Gagal jantung Kongsetif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrient dikarenakan
adanya kelainan fungsi jantung yang berakibat jantung gagal memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekananpengisianventrikel kiri (Braundwald).
B. Etiologi GAGAL JANTUNG KONGESTIF ( CHF )
Grade gagal jantung menurut New York Heart Association, terbagi dalam 4 kelainan
fungsional :
I. Timbul sesak pada aktifitas fisik berat
II. Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang
III. Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan
IV. Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan / istirahat
Terapi farmakologis untuk CHF pada umumnya bertujuan untuk mengatasi disfungsi
sistolik.Gangguan sistolik pada ventrikel kiri hampir selalu disertai adanya aktivitas
sistem neuroendokrin. Berikut ini ada beberapa terapi farmakologi yang dapat diberikan
untuk penderita dengan CHF:
Beberapa jenis dari ACE inhibitor adalah enalapril lisinopril, benazepril, quinapril,
fisinopril, ramipril dan yang banyak digunakan adalah Captopril. Indikasinya untuk
antihipertensi, left ventricular disfunction disertai myocardial infraction, vasodilatror dan
CHF. Kontraindikasi untuk hipersensitivitas terhadap captopril, wanita hamil dan
menyusui.Memiliki efek samping ruam, berkurangnya persepsi pengecapan, sakit kepala,
batuk kering, hipotensi sementara, neutropenia, proteinurea, dan gagal ginjal pada
stenosis arteri renalis bilateral.
2. Diuretik. Merupakan dasar untuk terapi simptomatik. Bertujuan untuk mengatasi retensi
cairan sehingga mengurangi beban volume sirkulasi yang menghambat kerja jantung.
Pada pemberian duretik harus diawasi kadar kalium darah karena hipokalsemia mudah
terjadi karena gangguan irama jantung. Duretik harus diberikan dalam jumlah yang besar
untuk menghilangkan edema paru dan atau perifer. Efek samping utama adalah
hipokalemia. Ada beberapa macam duretik yang dapat digunakan, seperti spironolakton,
lasix, bumetanide, hydrochlorothiazide, dan yang paling sering digunakan adalah
furosemid (lasix). Penggunaan diuretik biasanya dikombinasikan dengan ACE inhibitor.
Kombiasi dari kedua obat ini akan memiliki efek tambahan pada miokardium untuk
mencegah perkembangan jaringan parut miokard dan pembesaran.
3. Antagonis Reseptor Angiotensin II. Bekerja dengan menghambat antagonisme
langsung terhadap reseptornya. Masuk antagonis A.II yang spesifik adalah losartan,
valsatran, kandesartan, dan irbesartan, sifatnya mirip dengan
inhibitor ACE. Perbedaanya dengan inhibitor ACE adalah obat golongan
ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainyya,
sehingga tidak menimbulkan batuk kering. Inidikasi dan
kontraindikasi sama dengan inhibitor ACE. Dapat menjadi alternatif
untuk pasien yang harus menghentikan inhibitor ACE akibat batuk
persisten. Memiliki efek samping ringan seperti hipotensi somatik,
hiperkalemia kadang-kadang terjadi serta angioedema.
4. Beta bloker. Diberikan hanya pada pasien yang stabil, denan dosis rendah
dan serta dinaikkan secara bertahap. Berfungsi untuk menurunkan
kegagalan pompa serta kematian mendadak akibat aritmia.
Kontraindikasi untuk pasien yang mengalami gangguan saluran
pernapasan asma, karena dapat menginduksi bronkospasma sehingga
dapat memperparah asma. Yang termasuk beta bloker adalah bisoprolol,
metoprolol, dan karvedilol.
5. Kombinasi hidralazin dengan issorbid dinitrat( 37,5 mg/tablet dan 20
mg/tablet).
Obat ini diindikasikan untuk gagal jantung pada individu ras kulit hitam
didasarkan pada penelitian gagal jantung Afrika Amerika. Diindikasikan
untuk pasien yang intoleran dengan inhibitor ACE
PENDAHULUAN
HepatitisB merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia dan
dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan.Hal
ini karena selain prevalensinya tinggi, virus hepatitis B dapat menimbulkan
problema pascaakut bahkan dapat terjadi cirroshis hepatitis dan karsinoma
hepatoseluler primer. Sepuluh persen dari infeksi virus hepatitis. Bahkan
menjadi kronik dan 20% penderita hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun
sejak tertular akan mengalami cirroshis hepatis dan karsinoma
hepatoselluler (hepatoma).Kemungkinan akan menjadi kronik lebih tinggi bila
infeksi terjadi pada usia balita dimana respon imun belum berkembang secara
sempurna.
Pada saat ini didunia diperkirankan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap
(carier) HBsAg dan 220juta (78%) diantaranya terdapat di Asia termasuk
Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di
Indonesia prevalensi Hepatitis B berkisar antara 2,50-
36,17% (Sulaiman,1994). Selain itu di Indonesia infeksi virus hepatitis B terjadi
pada bayi dan
anak,diperkirakan25-45% pengidap adalah karena
infeksi perinatal.
Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit hepatitis B
dan termasuk
Negara yang dihimbau olehWHO untuk melaksanakan upaya
pencegahan (Imunisasi).
E
T
I
O
L
O
G
I
Hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB). Virus ini
pertama kali ditemukan oleh Blumbergpacta tahun 1965 dan dikenal dengan
nama antigen Australia.Virus ini termasuk DNA virus.
Virus hepatitis B berupa partikel dua lapis berukuran 42 nm
yang disebut
"PartikelDane". Lapisan luar terdiri atas antigen HBsAg yang membungkus
partikelinti (core).
Pada inti terdapat DNA VHB Polimerase. Pada partikel inti terdapat Hepatitis B
coreantigen
(HBcAg) dan Hepatitis Be antigen (HBeAg). Antigen permukaan (HBsAg)
terdiri atas lipo
protein dan menurut sifat imunologik proteinnya virus Hepatitis B dibagi
menjadi 4 subtipe
yaitu adw,adr,aywdan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting, karena
menyebabkan perbedaan geogmfik dan rasial dalam penyebarannya.Virus
hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80hari, rata-rata 80-90hari.
MANIFESTASI KLINIS HEPATITIS B
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis hepatitis B dibagi
2 yaitu:
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
Yang system imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus hepatitis
B
dari tubuh.
Hepatitis B akut terdiri atas 3yaitu:
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
2. Hepatitis B kronis yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
dengan
sistem imunologi kurang sempurna sehingga mekanisme, untuk menghilangkan VHB
tidak efektif dan terjadi koeksistensi denganVHB.
Hepatitis Fulminan
Bentuk ini sekitar 1 % dengan gambaran sakit berat dan sebagian besar mempunyai
prognosa buruk dalam7-10hari, lima puluh persen akan berakhir dengan kematian.
Adakalanya penderita belum menunjukkan gejala ikterus yang berat, tetapi
pemeriksaan SGOT
memberikan hasil yang tinggi pada pemeriksaan fisik hati menjadi lebih kecil,
kesadaran cepat
menurun hingga koma, mual dan muntah yang hebat disertai gelisah, dapat terjadi
gagal ginjal
akut dengan anuria dan uremia.
Hepatitis Kronik
Kira-kira 5-10% penderita hepatitis B akut akan mengalami Hepatitis B kronik.
Hepatitis ini terjadi jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan yang mantap.
PENCEGAHAN HEPATITIS B
Menurut Parkada lima pokok pencegahan yaitu:
1.Health Promotion,usaha peningkatan mutu kesehatan
2.Specifik Protection,perlindungan secara khusus
3.Early Diagnosis dan Prompt Treatment, pengenalan dini terhadap
penyakit, serta
pemberian pengobatan yang tepat
4.Usaha membatasi cacat
5.Usaha rehabilitasi
Dalam upaya pencegahan infeksi Virus Hepatitis B,sesuai pendapat Effendi dilakukan
dengan menggabungkan antara pencegahan penularan dan pencegahan penyakit.
PENCEGAHAN PENYAKIT
Pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui immunisasi baik aktif maupun pasif
1.Immunisasi Aktif
Pada Negara dengan prevalensi tinggi,immunisasi diberikan pada bayi yang lahir dari
ibu HBsAg positif,sedang pada Negara yang prevalensi rendah immunisasi diberikan
pada orang yang mempunyai resiko besar tertular. Vaksin hepatitis diberikan secara
intramuskular sebanyak 3 kali dan memberikan perlindungan selama 2 tahun.
2.Immunisasi Pasif
Pemberian Hepatitis B Imunoglobulin (HBIG) merupakan immunisasi pasif dimana
daya lindung HBIG diperkirakan dapat menetralkan virus yang infeksius dengan
menggumpalkannya. HBIG dapat memberikan perlindungan terhadap PostExpossure
maupun PreExpossure. Pada bayi yang lahir dari ibu, yang HBsAs positif diberikan
HBIG 0,5 mlintramuscular segera setelah lahir (jangan lebih dari 24 jam). Pemberian
ulangan pada bulan ke3 dan ke5. Pada orang yang terkontaminasi dengan HBsAg
positif diberikan HBIG 0,06 ml/Kg BB diberikan dalam 24 jam post exposure dan
diulang setelah 1 bulan.
PENGOBATAN
Efektivitas obat-obat ini telah diuji coba selama setahun (dua tahun untuk
telbivudine).Hasil jangka panjang (sekitar 5 tahun) tersedia untuk lamivudine,
adefovir, entecafir, telbivudine dan tenofovir di subgroup pasien.Gambar 1 dan 2
menunjukkan kecepatan respon obat-obat ini dari
percobaan yang berbeda. Percobaan ini menggunakan dna HBV essai dan bukan
perbandingan satu satu untuk semua obat.
Obat paling poten dengan resisten paling optimal adalah tenofovir dan entecavir harus
digunakan sebagai monoterapi lini terapi. Paling tepat untuk mempertahankan supresi
dna HBV ke batas tak terdeteksi pada PCR obat apapun yang dipakai. Efek jangka
panjang, keamanan, dan toleransi dari entecavir dan tenofovir (setelah lima hingga
sepuluh tahun) belum diketahui.
Hingga kini belum ada data yang mengindikasikan keuntungan kombinasi
pengobatan dengan NUCs pada pasien yang menerima entecavir atau
tenofovir.Percobaan pengobatan sedang dilakukan. Beberapa ahli merekomendasikan
pendekatan kombinasi terapi untuk menghindari resistansi pada pasien resiko tinggi
(dna HBV tinggi) atau pada pasien yang bila terjadi resistansi bias berakibat fatal
(sirosis). Tetapi keamanan jangka panjang kombinasi NUCs dan entecafir atau
tenofovir belum diketahui dan mahal. Tenofovir ditambah lamivudine atau tenofovir
ditambah emtricitabine dalam satu tablet menjadi piihan untuk pasien ini.
Pasien HIV
Pasien HIV dengan KHB meningkatkan resiko sirosis. Pengobatan HIV bisa
menyebabkan flare hepatitis B karena sistem imun. Indikasi terapi sama dengan
pasien negative HIV berdasarkan level dna HBV, level ALT, dan lesi histologis.
Sesuai dengan petunjuk HIV terbaru, direkomendasikan pasien untuk diobati
sekaligus.Tenofovir dan emtricitabine bersama dengan agen ketiga melawan
HIV.Pada sejumlah kecil pasien, HBV harus diobati sebelum HIV; adefovir dan
telbivudine terpilih karena terbukti tidak efektif untuk HIV.Lamivudine, entecafir dan
tenofovir mampu melawan HIV dan HBV sehingga dikontraindikasikan sebagai
agen tunggal untuk hepatitis B pada pasien ini. Tetapi jika obat dengan kecepatan
resisten yang rendah ini tidak mampu mengobati ke tingkat dna HBV tak terdeteksi,
pengobatan infeksi HIV harus dipertimbangkan.
Infeksi hepatitis D aktif dikonfirmasi dengan adanya rna HDV, antigen HDV, atau
Igm anti HDV. Interferon alpha satu-satunya obat yang efektif untuk replikasi HDV.
Efektifitas terapi interferon alpha harus dicek pada minggu ke 24 dengan mengecek
level rna HDV. Lebih dari satu terapi mungkin diperlukan. Sebagian pasien menjadi
rna HDV negative atau bahkan HBsAg negative dengan perkembangan pada
histologinya. Monoterapi NUC tidak berefek pada replikasi HDV dan penyakit yang
berhubungan.
Pasien dengan HCV
Level dna HBV sering rendah atau tak terdeteksi dan HCV yang bertanggung jawab
untuk aktivitas kronis hepatitis pada kebanyakan pasien. Pasien ini harus menerima
interferon alpha pegilasi dengan ribavirin untuk HCV.Kecepatan respons virologis
menetap untuk HCV bisa dibandingkan dengan pasien hanya HCV.Ada resiko
reaktivasi HBV saat atau setelah HCV yang harus diobati dengan NUCs.
Lebih dari 95-99% dewasa dengan akut infeksi HBV akan sembuh spontan dan
serokonversi menjadi anti HBs tanpa terapi antiviral. Tetapi sebagian pasien dengan
hepatitis menetap atau nekrosis hepatic sub aku berat harus diobati dengan
NUC.Dukungan untuk strategi ini ditemukan pada laporan dengan lamivudine tetapi
efektivitasnya belum terbukti.Untuk hepatitis kronis, obat yang lebih poten dan sulit
resisten (entecavir atau tenofovir) harus digunakan.Durasi pemberian obat belum
ditentukan.Tetapi pemberian terapi anti viral setelah minimal 3 bulan setelah
serokonversi ke anti HBs atau sedikitnya 6 bulan setelah HBe serokonversi tanpa
hilangnya HBsAg direkomendasikan.Terkadang membedakan antara akut hepatitis B
dan KHB eksaserbasi akut sukit dibedakan dan membutuhkan liver biopsy.Tetapi
pada kedua kasus pengobatan NUC menjadi pilihan.
Anak
Pekerja kesehatan
Pekerja kesehatan terutama ahli bedah, yang terlibat dalam prosedur terekspos
dengan HBsAg positif (dna HBV > 2000 IU/ml) harus diobati dengan antiviral poten
dan sulit resisten (entecavir atau tenofovir) untuk menurunkan dna HBV hingga ke
tingkat tak terdeteksi dan setidaknya <2000 IU/ml sebelum menjalani prosedur
tersebut. Keamanan jangka panjang, efektivitas, komplikasi dan implikasi ekonomi
kebijakan tersebut di Negara yang berbeda tidak diketahui.
Wanita hamil
Pada penderita HBV yang menerima kemoterapi atau imunosupresif, resiko reaktifasi
tinggi, terutama bila rituximab diberikan tunggal atau kombinasi dengan
steroid.Kandidat untuk kemoterapi atau imunosupresif harus dicek untuk HBsAg
dan anti HBc antibodi sebelum memulai pengobatan.Vaksinasi HBV pada pasien
seronegatif sangat dianjurkan.
Pasien HBsAg positif kandidat kemoterapi atau imunosupresif harus dites level dna
HBV nya dan menerima NUC terapi terlebih dahulu (tak perduli level dna HBV) dan
12 bulan setelah terapi dihentikan. Kebanyakan dilakukan dengan lamivudine, yang
cukup untuk pasien dengan level dna HBV yang rendah dan resiko resisten yang
rendah. Tetapi sangat direkomendasikan untuk pasien dengan dna HBV yang tinggi
diproteksi dengan NUC yang sangat poten dan sulit resisten (entecavir atau
tenofovir).
Pasien HBsAg negative dengan anti HBc antibodi positif dan dna HBV tak terdeteksi
yang menerima kemoterapi atau imunosupresif harus dimonitor ALT dan dna HBV
nya dan diobati dengan NUC saat menunggu konfirmasi reaktifasi HBV sebelum
peningkatan ALT. Profilaksis NUC juga direkomendasikan pada pasien yang
menerima transplantasi sumsum tulang dari donor tidak imun. Penerima liver
dengan anti HBC positif harus menerima profilaksis NUC digabung dengan HBIg.
Lama pengobatan optimal tidak diketahui.
Kebanyakan data untuk pasien ini untuk pengobatan dengan lamivudine; dosis harus
disesuaikan untuk gagal ginjal.Ada laporan tentang memburuknya fungsi ginjal pada
pemberioan adefovir.Entecavir mungkin obat terbaik untuk pasien ini.Tenofovir harus
digunakan dengan hati-hati pada gangguan ginjal.
Penyakit ekstrahepatik
Pasien HBsAf positif dengan manifestasi esktra hepatic dan replikasi HBV aktif
mungkin merespon dengan terapi antiviral.Lamivudine hingga kini paling banyak
digunakan.Entecavir dan tenofovir diharapkan meningkatkan efektivitas pada pasien
ini.Indikasi dan penatalaksanaan tidak jauh berbeda dengan pasien tanpa manifestasi
ekstra hepatik.Plasmaferesis bisa digunakan sebagai tambahan terapi NUC pada
kasus tertentu.