Anda di halaman 1dari 51

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI

TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI


INDUK PASCA MELAHIRKAN

SKRIPSI

Oleh

DARUSSALAM
I111 11 014

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI
TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI
INDUK PASCA MELAHIRKAN

SKRIPSI

Oleh

DARUSSALAM
I 111 11 014

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana


Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Darussalam

NIM : I111 11 014

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

a. Karya Skripsi yang saya tulis adalah asli

b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya Skripsi ini, terutama dalam

Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia

dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian penyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, November 2016

Darussalam
I111 11 014

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Makalah : Pengaruh Perlakuan Sinkronisasi Berahi Terhadap


Respon Berahi Pada Sapi Bali Induk Pasca
Melahirkan
Nama : Darussalam
No. Stambuk : I 111 11 014
Program Studi : Produksi Peternakan
Fakultas : Peternakan

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya, DEA. DES. Prof. Dr. Ir. Djoni P Rahardja, M. Sc

Dekan Fakultas Peternakan Ketua Program Studi Fakultas Peternakan


Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin

Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M.Sc. Prof. Dr. drh. Hj. Ratmawati Malaka, M.Sc.

Tanggal Lulus : November 2016.

iv
ABSTRAK

Darussalam I11111 014. Pengaruh Perlakuan Sinkronisasi Berahi


Terhadap Respon Berahi Pada Sapi Bali Induk Pasca Melahirkan. Herry Sonjaya
(Pembimbing Utama) dan Djoni Prawira Rahardja (Pembimbing Anggota).

Masalah timbulnya berahi pada induk sapi Bali setelah melahirkan


merupakan masalah utama pada peternakan rakyat, khususnya pada musim
kemarau, dimana induk-induk sapi Bali sering mengalami tidak aktifnya ovarium
sehingga timbulnya berahi kembali waktunya berbeda-beda. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode sinkronisasi berahi terhadap respon
berahi pada sapi Bali induk pasca melahirkan. Perlakuan sinkronisasi yang
diberikan adalah (A) penyuntikan GnRH tunggal, (B) Ovsynch yaitu penyuntikan
dengan GnRH1(pertama), PGF2α, dan GnRH2(kedua), (C) Heatsynch yaitu penyuntikan
dengan GnRH, PGF2α, dan Estradiol. Parameter yang diamati dalam penelitian
ini adalah persentase berahi, kecepatan berahi dan intensitas berahi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa gejala respon berahi hanya terjadi pada metode
Ovsynch dan Heatsynch (masing-masing 100%), sedangkan penyuntikan tunggal
GnRH tidak terjadi. Tidak ada perbedaan nyata kecepatan berahi antara perlakuan
Ovsynch dan Heatsynch, pada perlakuan Heatsynch memperlihatkan intensitas
berahi yang lebih nyata dibandingkan perlakuan Ovsynch. Penelitian
menyimpulkan bahwa metode Heatsynch lebih baik dalam menampakkan
kualitas berahi pada induk sapi Bali pasca melahirkan.

Kata Kunci : Sinkronisasi Berahi, GnRH, PGF2α, Estradiol, Ovsynch, Heatsynch,


Inseminasi Buatan. Induk sapi Bali.

v
ABSTRACT

Darussalam I11111 014. The Effect of Handling Oestrus Synchronization


Response Towards Oestrus Postpartum Bali Cows. Herry Sonjaya (Supervisor)
and Djoni Prawira Rahardja (Supervising Members).

Onset oestrus in postpartum Bali cows is frequently the main problem in


small holder farmer, particularly in the summer. Postpartum condition in Bali
cows have frequently facing inactive ovarian which then resulted in a time
different of postpartum oestrus. A research was conducted to evaluated the effect
of synchronization methods on the response of postpartum oestrus. There were 3
oestrus synchronization methods evaluated ; (A) Single GnRH injection, (B)
Ovsynch injection GnRH1 (first), PGF2α, and GnRH2 (second), (C) Heatsynch
injection of GnRH, PGF2α, and Estradiol injection. Some paramethers measured
were oestrus responses, which includes, percentage of animal indicating oestrus,
oestrus pace, and oestrus intensity. The result indicated that the sign of oestrus
were only indicated by the method of Ovsynch and Heatsynch andno sign of
oestrus was indicated by the single injection of GnRH. There was significant
difference of oestrus pace between Ovsynch and Heatsynch but the oestrus
intensity of Heatsynch was significant higher and clearer compared to Ovsynch.
Therefore it can be concluded that the method of Heatsynch was resulted in a
better quality of oestrus compared with the other two methods.

Keywords : Oestrus Synchronization, GnRH, PGF2α, Estradiol, Ovsynch,


Heatsynch, Artificial Insemination, Bali Cows.

vi
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan, hidayah

dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat

dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Perlakuan Sinkronisasi Birahi Terhadap

Respon Birahi Pada Sapi Bali Induk Pasca Melahirkan.” ini disusun sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan Universitas

Hasanuddin, Makassar.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih

jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu Penulis memohon maaf apabila terdapat

banyak kekurangan. Ucapan terima kasih tidak lupa Penulis sampaikan kepada

semua pihak yang turut membantu dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi

ini utamanya kepada Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya, DEA., DES. Selaku

pembimbing utama dan Prof. Dr. Ir. Djoni P Rahardja, M.Sc selaku

pembimbing anggota yang telah mencurahkan perhatian untuk membimbing

Penulis dalam penyusunan Skripsi ini. Kedua orang tua yang senantiasa

memberikan motivasi dan semangat kepada penulis, hanya Allah Yang Maha

Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi dunia pendidikan dan memberikan sumbangan yang berarti bagi

kemajuan dunia peternakan di Indonesia. Amin.

Makassar, November 2016

Penulis

vii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i
HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAAN .................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. v
ABSTRAK ................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Reproduksi Sapi Bali Betina .......................................... 3
Hormon-Hormon Reproduksi .............................................................. 4
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) .............................. 6
Prostaglandin (PGF2α) .............................................................. 7
Estrogen ...................................................................................... 7
Metode Sinkronisasi Berahi dan Sinkronisasi Ovulasi ........................ 8
Ovsynch ...................................................................................... 10
Heatsynch ................................................................................... 11
Berahi dan Siklus Berahi ............................................................................... 11
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat ............................................................................... 20
Materi Penelitian .................................................................................. 20
Rancangan Penelitian........................................................................... 20
Prosedur Penelitian .............................................................................. 21
Parameter yang Diukur ........................................................................ 22
Analisis Data ........................................................................................ 23
HASIL PENELITIAN
Persentase Berahi ................................................................................. 24
Kecepatan Berahi ................................................................................. 26
Intensitas Estrus ................................................................................... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 34
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

viii
DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman


1. Siklus Estrus Pada Sapi .......................................................................... 13

2. Lama Periode Siklus Berahi pada Ternak. ............................................. 15

3. Persentase Berahi dengan Perlakuan Hormon Berbeda.......................... 24

ix
DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman


1. Mekanisme Hormonal dalam Siklus Berahi ............................................. 12

2. Level Hormon dan Aktivitas Ovarium pada Siklus Berahi ...................... 18

3. Kecepatan Berahi dengan Beberapa Metode Sinkronisasi Berahi ............ 26

4. Tampilan Intensitas Berahi dengan Perlakuan Hormon Berbeda ............. 30

x
PENDAHULUAN

Peternakan sapi di Indonesia terus berkembang seiring meningkatnya

pengetahuan dan teknologi dibidang peternakan. Tingginya permintaan

masyarakat atas kebutuhan daging membuat pemerintah harus melaksanakan

swasembada daging. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut

adalah meningkatkan penyediaan bibit sapi. Peningkatan penyediaan bibit sapi

hanya dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi reproduksi ternak sehingga

setiap ternak betina produktif dapat melahirkan satu ekor anak dalam setahun.

Sulawesi Selatan sebagai salah satu daerah pemasok sapi potong dan bibit

sapi Bali di kawasan Timur Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan

populasi ternak sapi Bali dengan cara meningkatkan efisiensi reproduksinya. Sapi

Bali yang terkenal dengan potensi tingkat fertilitasnya yang tinggi bukan

merupakan jaminan utama untuk mendapatkan jarak beranak yang kecil (1-1.5).

Fakta dilapangan telah diketemukan bahwa jarak kelahiran sapi Bali lebih dari 1,5

tahun, jumlah anak yang dihasilkan 3 ekor dalam 5 tahun (Sonjaya, dkk., 1991).

Rendahnya efisiensi reproduksi sapi yang sudah melahirkan disebabkan oleh

beberapa faktor, misalnya kurangnya inseminator terampil dan terbatasnya

pejantan (banyak pejantan yang digemukkan).

Proses perkawinan pada ternak dapat dilakukan secara kawin alam

maupun Inseminasi Buatan (IB). Proses perkawinan tersebut akan berjalan jika

ternak betinanya berahi. Berahi dapat terjadi secara alamiah maupun diinduksi,

proses berahi pada populasi induk betina akan efektif dan efisien bila dilakukan

secara serentak yaitu berahi disinkronisasi sehingga berahinya bersamaan. Pada

1
induk betina pasca melahirkan, terjadinya berahi merupakan hal yang penting

dalam meningkatkan efisiensi reproduksi.

Pada sisi lain, kondisi seperti ini sangat jarang ditemukan di tingkat

lapangan karena siklus berahi antar individu sapi sangat bervariasi. Selain itu,

terbatasnya kemampuan dan waktu serta tenaga peternak untuk melakukan

pengamatan berahi menjadi salah satu faktor penghambat di dalam upaya

meningkatkan efisiensi reproduksi ternak sapi. Teknologi reproduksi yang dapat

menyerentakkan berahi ternak sapi sekarang dikombinasikan dengan sinkronisasi

ovulasi, dengan teknik ini berahi dan ovulasi terjadi secara serentak sehingga IB

dilakukan pada waktu yang telah ditentukan (AI Fixed Time).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengamati pengaruh

beberapa perlakuan sinkronisasi berahi terhadap respon berahi pada sapi Bali

induk pasca melahirkan.Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan

informasi ilmiah bagi akademisi dan peneliti serta sumber pengetahuan bagi

masyarakat peternak tentang pengaruh perlakuan sinkronisasi berahi terhadap

respon berahi pada sapi Bali induk pasca melahirkan.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Reproduksi Sapi Bali Betina

Proses reproduksi yang normal bergantung pada fisiologis tubuh terutama

fungsi organ serta mekanisme kerja hormon reproduksi. Mekanisme hormon pada

ternak betina akan mempengaruhi tingkah laku reproduksi, siklus berahi, ovulasi,

fertilisasi dan kemampuan memelihara kebuntingan hingga terjadinya kelahiran

(Hafez dan Hafez, 2000). Penentuan siklus berahi, lama periode berahi dan waktu

inseminasi dapat diketahui berdasarkan pada perubahan tingkah laku (Mauget et

al.,2007).

Reproduksi sapi betina adalah suatu proses yang kompleks melibatkan

seluruh tubuh hewan itu. Sistem reproduksi akan berfungsi bila makhluk hidup

khususnya ternak dalam hal ini sudah memasuki sexual maturity atau dewasa

kelamin. Penentuan siklus berahi, lama periode berahi dan waktu inseminasi dapat

diketahui berdasarkan pada perubahan tingkah laku (Mauget et al., 2007). Untuk

memberikan hasil yang maksimal pada reproduksi ternak, diperlukan campur

tangan manusia yang berperan sebagai pengatur berbagai unsur penunjang

keberhasilan reproduksi seperti, pakan, pencatatan, kesehatan, serta fertilitas

jantan dan betina (Mauget et al., 2007).

Kemampuan reproduksi sapi Bali betina sangat baik, sapi Bali betina

dikawinkan pertama kali pada umur 27 – 30 bulan, dimana perkembangan tubuh

dan organ reproduksinya sudah sempurna. Sedangkan sapi Bali induk postpartum

dikawinkan kembali setelah 60-90 hari setelah melahirkan. Jarak melahirkan anak

sapi berkisar 12-14 bulan, keadaan ini sangat dipengaruhi oleh pubertas dan

3
kecermatan peternak dalammendeteksi berahi pertama yang muncul pada sapi

yang selanjutnya dimasukkan kedalam program perkawinan. Program perkawinan

ini harus benar-benar diperhitungkan karena pubertas atau dewasa kelamin

umumnya terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga hewan betina harus

menyediakan makan untuk perkembangan dan pertumbuhan tubuhnya dan tubuh

anaknya. Jadi seekor hewan betina muda yang baru mengalami dewasa kelamin

membutuhkan lebih banyak makanan dan ternak akan menderita stress bila

dikawinkan pada umur tersebut dibandingkan dengan hewan betina yang sudah

mencapai dewasa tubuh (Toelihere,1985).

Alat-alat reproduksi betina terletak di dalam cavum pelvis (rongga

pinggul). Cavum pelvis dibentuk oleh tulang-tulang sacrum, vertebra coccygea

kesatu sampai ketiga dan oleh dua os coxae. Os coxae dibentuk oleh ilium,

ischium dan pubis (Toelihere, 2002).

Sapi Bali dilaporkan sebagai sapi yang paling superior dalam hal fertilitas

dan angka konsepsi (Toelihere, 2002). Darmaja (1980) melaporkan bahwa angka

fertilitas sapi Bali berkisar antara 83-86 %.

Hormon-Hormon Reproduksi

Hormon adalah substansi yang dihasilkan oleh sel atau kelompok sel yang

bergerak dalam aliran darah yang mengantarnya ke organ target atau jaringan

dalam tubuh yang memberikan suatu reaksi yang dapat menolong mengkoordinasi

fungsi-fungsi dalam tubuh (Sonjaya, 2012).

4
Hormon-hormon reproduksi dibagi dalam tiga kategori menurut unsur

pembentuknya, yakni Golongan protein (peptida), Golongan steroid, dan

Golongan asam lemak (Luqman, 1999). Berikut penjelasan dari ketiga golongan

hormon diatas, sebagai berikut :

1. Hormon protein atau polipeptida bermolekul besar dengan berat molekul 300-

70.000 dalton dengan sifat-sifat mudah dipisahkan oleh enzim sehingga tidak

dapat diberikan melalui oral tetapi harus diberikan melalui suntikan (ex : Gn-RH).

2. Hormon steroid mempunyai berat molekul 300-400 dalton. Hormon steroid

alami tidak efektif apabila diberikan melalui oral (contohnya estrogen,

progesteron, dan androgen).

3. Hormon asam lemak mempunyai berat molekul 400 dalton dan hanya dapat

diberikan melalui suntikan (contohnya prostaglandin).

Terdapat beberapa kelenjar endokrin yang terdapat di dalam tubuh hewan

betina yang dapat menghasilkan hormon reproduksi, yakni Kelenjar Hipofisa,

Kelenjar Ovarium, dan Endometrium. Berikut hormon-hormon yang dihasilkan

oleh kelenjar tersebut, antara lain adalah (Sonjaya, 2012) :

1. Kelenjar Hipofisa, yang masing-masing bagian anterior menghasilkan tiga

macam hormon reproduksi yaitu, FSH dan LH yang pada hewan jantan disebut

dengan ICSH dan LTH, serta bagian posterior yang menghasilkan dua macam

hormon yakni oksitoksin dan vasopressin.

2. Kelenjar Ovarium yang menghasilkan tiga hormon yaitu estrogen, progesteron,

dan relaksin.

3. Endometrium dari uterus yang menghasilkan hormon Prostaglandin (PGF2α).

5
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)

GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat

molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi Follicle Stimulating

Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) dari Hipofisis Anterior (Sonjaya,

2012). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah

selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk.,1990). Secara alamiah, terjadinya level

tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil kontrol umpan

balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut

ini adalah mekanisme kerja GnRH yaitu Hipotalamus akan mensekresi GnRH,

kemudian GnRH akan menstimulasi Hipofisa Anterior untuk mensekresi FSH dan

LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk

pembentukan folikel antrum. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk

mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen

mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan

dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak

pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan

terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan

melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum

akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk

menjaga kebuntingan (Hafez and Hafez,. 2000).

6
Prostaglandin (PGF2α)

Prostaglandin adalah senyawa C20 dengan satu cincin siklopenta yang

mirip derivate asam lemak tak jenuh seperti arakidonat (Solihati, 2005). Nama

prostaglandin diberikan oleh Von Euler karena ia berpendapat bahwa zat ini

dihasilkan oleh kelenjar prostat manusia. Prostaglandin mempunyai implikasi

pada pelepasan gonadotropin, ovulasi, regresi CL, motilitas uterus dan motilitas

spermatozoa (Djajosoebagio, 1990).

PGF2α bersifat luteolitik sehingga mampu menginduksi terjadinya regresi

CL yang mengakibatkan estrus, akan tetapi mekanisme yang sebenarnya belum

diketahui dengan pasti walaupun salah satu dari postulat-postulat yang ada

menyatakan bahwa efek vasokonstriksi dari PGF2α dapat menyebabkan luteolisis.

Beberapa hipotesis tentang bagaimana kerja PGF2α dalam melisiskan CL yaitu

(1) PGF2α langsung berpengaruh kepada Hipofisa Anterior, (2) PGF2α

menginduksi luteolisis melalui uterus dengan jalan menstimulir kontraksi uterus

sehingga dilepaskan luteolisis uterin endogen, (3) PGF2α langsung bekerja

sebagai racun terhadap sel-sel CL, (4) PGF2α bersifat sebagai antigonadotropin,

baik dalam aliran darah maupun reseptor pada CL, dan (5) PGF2α mempengaruhi

aliran darah ke ovarium (Solihati, 2005). PGF2α hanya efektif bila ada korpus

luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus (Putro, 2008).

Estrogen

Hormon reproduksi yang berhubungan dengan berahi salah satunya adalah

hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon kelamin betina yang berfungsi

untuk menimbulkan berahi (Toelihere, 1985). Menurut Tagama (1995), kadar

7
estrogen dalam tubuh akan berpengaruh terhadap panjang masa berahi. Tagama

(1995) juga menambahkan bahwa kadar estrogen yang tinggi akan menimbulkan

masa berahi lebih lama tetapi tidak menjamin ovulasi. Hormon estrogen,

utamanya dihasilkan oleh folikel ovarium, akan menurun setelah proses ovulasi

terjadi, sampai dengan fase proberahi, kemudian kembali lagi meningkat sampai

terjadi ovulasi pada siklus berikutnya. Estrogen diberikan dalam jumlah kecil

maka dapat menyebabkan terjadinya berahi dan ovulasi, alasannya, estrogen

dalam jumlah kecil secara umpan balik positif bekerja meningkatkan pembebasan

LH yang diperlukan untuk terjadinya ovulasi (Feradis, 2010).

Fungsi utama dari hormon estrogen adalah untuk manifestasi gejala berahi.

Seperti yang dikemukakan oleh Nessan dan King (1981) bahwa kerja dari hormon

estrogen adalah untuk meningkatkan sensitifitas organ kelamin betina yang

ditandai dengan terjadinya perubahan pada vulva, dan keluarnya lendir transparan

dari vulva tersebut. Jelasnya gejala berahi akibat diberi hormon estrogen diperkuat

oleh laporan Henrick dan Torrence (1977) bahwa meningkatnya konsentrasi

estrogen dalam darah, berahi yang timbul akan semakin jelas.

Metode Sinkronisasi Berahi dan Sinkronisasi Ovulasi

Sinkronisasi berahi merupakan suatu proses penyerentakan berahi pada

sekelompok ternak betina (Darodjah, 2011). Keuntungan dari sinkronisasi berahi

ialah waktu tepat ovulasi dapat ditentukan sehingga mengurangi waktu yang

diperlukan untuk mendeteksi berahi, tingkat keberhasilan dari inseminasi buatan

dapat ditingkatkan, mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi

dan waktu melahirkan induk bersamaan, dapat menyamakan kondisi fisiologis

8
ternak donor dan ternak resipien sehingga dapat meningkatkan keberhasilan

transfer embrio, mendapatkan waktu yang tepat untuk inseminasi akan

menurunkan biaya yang dikeluarkan. Jadi sinkronisasi berahi merupakan

teknologi reproduksi untuk mengontrol berahi dan ovulasi (Sonjaya, 2007).

Sinkronisasi berahi mempunyai potensi dalam memperpendek musim

kelahiran, meningkatkan keseragaman umur pedet, dan mempertinggi

kemungkinan penggunaan IB. Penghambat utama dalam sinkronisasi berahi dan

pencapaian kebuntingan optimum pada sapi potong menyusui adalah merangsang

berahi setelah melahirkan (Larson, et al., 2006).

Prinsip dasar dari sinkronisasi ovulasi adalah memanipulasi fenomena

siklus berahi, baik dengan cara menghambat sekresi LH atau memperpendek masa

hidup corpus luteum yang berdampak dimulainya awal berahi dan

ovulasi. Keuntungan dari sinkronisasi ovulasi adalah waktu tepat ovulasi dapat

ditentukan sehingga mengurangi waktu yang diperlukan untuk mendeteksi berahi,

mensinkronkan waktu kawin yang berdampak waktu ovulasi dan waktu

melahirkan induk bersamaan (Hafez and Hafez,. 2000).

Salah satu aspek yang penting dalam meningkatkan efisiensi reproduksi

ternak betina adalah peningkatan persentase berahi pada satu kawanan/populasi

betina sehingga jumlah betina yang siap kawin jumlahnya meningkat, dan

diharapkan dapat meningkatkan jumlah anak yang lahir per ekor induk per

tahun. Berbagai metode sinkronisasi berahi dan sinkronisasi ovulasi, misalnya

penggunaan hormon gonadotropin eksogen (GnRH, hCG), Progesteron,

Prostaglandin atau kombinasi dari beberapa hormon (Bartolome, et al,. 2005;

9
Schmitt, dkk., 1996; Fricke, dkk., 1993). Efektifitas dan efisiensi metoda banyak

dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama bangsa ternak, musim dan kondisi

fisiologis ternak itu sendiri.

Perlakuan sinkronisasi diberikan untuk menentukan waktu IB (Cerri, et

al., 2004). Perlakuan yang mengkombinasikan sinkronisasi menyebabkan

kemunculan folikel ovarium, regresi corpus luteum, dan menyebabkan hasil

ovulasi serupa atau rata-rata perkawinan yang agak rendah tetapi service

rates yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan untuk sinkronisasi berahi,

perlakuan tersebut biasanya meningkatkan rata-rata kebuntingan pada sapi dengan

rata-rata berahi yang dideteksi rendah (Cerri, et al., 2004).

Ovsynch

Ovsynch adalah salah satu sinkronisasi ovulasi dengan menggunakan

kombinasi hormon GnRH dan PGF2α. Pada protokol ovsynch, hari ke-0 diberi

injeksi GnRH untuk ovulasi folikel dan memulai gelombang folikel baru. Hari ke-

7 diberi injeksi PGF2α untuk regresi CL. Hari ke-9 diberi injeksi GnRH untuk

ovulasi folikel. Hari ke-10, Inseminasi Buatan dilakukan 12-16 jam setelah injeksi

GnRH kedua (Pursley, dkk., 1997).

Ketika diinjeksi GnRH pada hari nol dari protokol ovsynch tetapi kondisi

ovarium sapi tidak diketahui, maka GnRH akan memicu pelepasan LH yang

menyebabkan ovulasi dan memulai siklus lagi jika pada saat itu ovarium memiliki

folikel matang. Jika ada CL, GnRH akan memicu pelepasan FSH yang

menciptakan kelompok baru folikel kemudian jika sapi baru saja ovulasi dalam 4-

5 hari, GnRH tidak akan berfungsi (Pursley, dkk.,1997).

10
Heatsynch

Metode Heatsynch merupakan metode sinkronisasi berahi yang memakai

kombinasi GnRH, PGF2α dan estrogen dengan harapan terjadi berahi dan ovulasi

yang bersamaan dan dapat dipakai untuk aplikasi IB tanpa perlu mendeteksi

adanya tanda-tanda berahi dan IB dilakukan dengan waktu yang terjadwal (Fixed

Time AI). Tujuan Heatsynch adalah untuk sinkronisasi berahi setelah injeksi EB

(Estrogen Benzoate) untuk kita melakukan IB (Yusuf dkk., 2010). Kelebihan

metode Heatsynch diantaranya merangsang folikel yang tidak aktif, jika terdapat

korpus luteum dilisiskan, memaksimalkan pic LH melalui peningkatan feedback

positif dari kerja estrogen. Interval ovulasi setelah permulaan dari berahi tidak

dibedakan pada sapi Heatsynch, tanpa memperhatikan perombakan progesteron

sebelumnya. Interval dari penyuntikan PGF2α sampai ovulasi sangat baik

(P<0,01) pada perlakuan dengan ECP daripada sapi yang mendapat perlakuan

GnRH (Stevenson, dkk., 2004). Metode Heatsynch menunjukkan keberhasilan

89,21% dalam meningkatkan efisiensi reproduksi sapi perah betina (Stevenson

dkk., 2004)

Berahi dan Siklus Berahi

Berahi atau estrus adalah waktu dimana betina sudah mulai menerima

kehadiran pejantan, kawin, atau dengan kata lain betina sudah aktif aktivitas

reproduksinya. Produktivitas reproduksi dapat ditingkatkan apabila siklus berahi

dan jadwal berahi teramati dan tercatat dengan baik. Lendir serviks dapat

digunakan untuk mendeteksi berahi, khususnya pada saat mendekati puncak

berahi (Silaban, dkk., 2012). Mekanisme terjadinya berahi dan siklus berahi

11
merupakan proses yang kompleks, hasil kerja interaksi kontrol hormonal

(Gambar 1).

Gambar 1: Mekanisme hormonal dalam siklus berahi (Sonjaya, 2007)

Gambar 1 memperlihatkan ketika Hypothalamus mendapatkan rangsangan

maka akan mensekresikan hormon GnRH yang akan merangsang Hipofisa

Anterior untuk mensekresikan hormon FSH dan LH. Hormon pemacu folikel

(FSH) dari Hipofisa Anterior menggalakkan pertumbuhan folikel di ovarium.

Dibawah pengaruh hormon itu satu atau lebih dari satu folikel dapat tumbuh

menjadi cukup besar untuk membentuk benjolan bening dipermukaan ovarium

(folikel matang). Karena pertumbuhan ini, ovarium menghasilkan hormon yang

disebut estrogen, yang menyebabkan sapi dara atau sapi dewasa menampakkan

tanda-tanda berahi. Hormon kedua dari Hipofisa Anterior, yaitu LH untuk

membantu terjadinya ovulasi dan pengawalan pertumbuhan tenunan luteal untuk

membentuk korpus luteum didalam rongga yang ditinggalkan oleh folikel yang

12
pecah. Dibawah pengaruh hormon ketiga dari kelenjar Hipofisa Anterior, hormon

luteotropin, korpus luteum mulai memproduksi hormon progesteron yang

menghambat pendewasaan lebih banyak folikel dan mempersiapkan uterus untuk

menerima dan memelihara ovum yang telah dibuahi. Jika tidak terjadi

pembuahan, korpus luteum akan tetap aktif untuk 17 sampai 19 hari, dan pada

akhir waktu itu FSH memacu folikel lain untuk menjadi masak. Dalam waktu 2

sampai 3 hari cukup estrogen yang terbentuk untuk menyebabkan berahi lagi

(Sonjaya, 2012).

Lama berahi pada sapi dapat dinyatakan sebagai saat sapi betina tetap siap

sedia dinaiki oleh pejantan. Menurut Frandson (1996), periode ini rata-ratanya

adalah 18 jam untuk sapi induk dan sedikit lebih pendek pada dara dengan kisaran

normal 12-24 jam. Lamanya waktu berahi sangat bervariasi di antara spesies dan

pada setiap individu dalam satu spesies. Pada sapi dengan pakan yang kurang baik

kualitas dan kuantitasnya waktu berahinya akan lebih pendek.

Tabel 1. Siklus Berahi Pada Sapi

Karakteristik Keterangan
Pubertas* 12 (8 – 18 bulan)
Proestrus* 3-4 hari
Metestrus* 2 hari
Diestrus* 15 hari sampai musim kawin
Anestrus** 16 (6 – 20 jam)
Lama estrus** 21 (14 – 24 hari)
Panjang siklus estrus** 12 (2 – 26 jam)
Saat ovulasi** 35 (16 – 90 hari)
Berahi setelah melahirkan**
Sumber : * McDonald (1969); ** Widiyono (2008)

Lama berahi pada sapi sekitar 12-24 jam (Putro, 2008). Lama berahi pada

sapi biasanya berlangsung selama 12-18 jam. Variasi terlihat antar individu

13
selama siklus berahi, pada sapi-sapi di lingkungan panas mempunyai periode

berahi yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Selama atau segera setelah periode

ini, terjadilah ovulasi. Ini terjadi dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan

penaikan tingkat LH. Sesaat sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta

ovum yang ada di situ mengalami pemasakan. Berahi berakhir kira-kira pada saat

pecahnya folikel ovari atau terjadinya ovulasi (Frandson, 1996).

Lamanya berahi bervariasi pada tiap-tiap hewan dan antara individu dalam

satu spesies. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh variasi-variasi sewaktu berahi,

terutama pada sapi dengan periode berahinya yang terpendek diantara semua

ternak mamalia. Berhentinya berahi sesudah perkawinan merupakan indikasi yang

baik bahwa kebuntingan telah terjadi. Akan tetapi dapat juga terjadi pada 3

sampai 5% sapi-sapi yang bunting selama 3 bulan pertama masa kebuntingan

walaupun dapat terjadi dalam bulan-bulan yang lebih tua (Achyadi, 2009).

Lama siklus berahi pada sapi dikontrol oleh sekresi progesteron dan CL.

Konsentrasi progesteron akan meningkat setelah ovulasi dan mencapai

konsentrasi maksimum pada hari ke 8-11 dalam siklus berahi. Tingginya

konsentrasi progesteron akan menghambat sekresi GnRH. Pada ternak yang tidak

bunting, dimana prostaglandin disokong oksitosin yang disekresikan endometrium

uterus, CL akan regresi dan konsentrasi progesteron menurun sampai 0,5 ng/ml

dalam waktu 24 jam. Selama siklus berahi, CL merupakan struktur yang penting

dalam hal ukuran dan lama terjadinya. Munculnya dan hilangnya CL bertanggung

jawab terhadap fenomena siklus berahi (Sonjaya, 2007).

14
Berahi pada sapi biasanya berlangsung selama 12-18 jam. Variasi terlihat

antar individu selama siklus berahi, pada sapi-sapi di lingkungan panas

mempunyai periode estrus yang lebih pendek sekitar 10-12 jam. Hal ini terjadi

dengan penurunan tingkat FSH dalam darah dan penaikan tingkat LH. Sesaat

sebelum ovulasi, folikel membesar dan turgid serta ovum mengalami pemasakan.

Estrus berakhir kira-kira pada saat pecahnya folikel ovary atau terjadinya ovulasi

(Frandson, 1996).

Tabel 2. Lama Periode Siklus Berahi pada Ternak

Proestrus Estrus Metestrus Diestrus


Ternak (hari) (hari) (hari) (hari)

Sapi 3 12 – 24 jam 3–5 13

Kuda 3 4–7 3–5 6 – 10

Babi 3 2–4 3–4 9 – 13

Domba 2 1–2 3–5 7 - 10

Sumber : Marawali, dkk. (2001).

Siklus berahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain tergantung

dari bangsa, umur, dan spesies. Siklus berahi pada sapi berkisar antara 18-22 hari

(Partodiharjo, 1992). Siklus berahi merupakan interval antara timbulnya satu

periode berahi ke permulaan periode berahi berikutnya. Siklus ini dibedakan

dalam 2 tingkatan yaitu fase folikuler dan fase luteal. Fase folikuler adalah

pembentukan folikel sampai masak sedangkan fase luteal adalah setelah ovulasi

sampai ulangan berikutnya dimulai. Panjangnya kecepatan berahi tergantung pada

15
spesies masing-masing hewan. Pada ternak sapi potong kecepatan berahi

mencapai 18 sampai 24 hari (rata-rata 21 hari).

Interval antara timbulnya satu periode berahi ke permulaan periode

berikutnya disebut sebagai suatu siklus berahi. Siklus berahi pada dasarnya dibagi

menjadi 4 fase atau periode yaitu proestrus, estrus, meteestrus, dan diestrus

(Hafez, 2000; Marawali, dkk., 2001; Sonjaya, 2007). Berdasarkan perubahan-

perubahan dalam ovaria siklus estrus dapat dibedakan pula menjadi 2 fase, yaitu

fase folikel, meliputi proestrus, estrus serta awal metestrus, dan fase luteal,

meliputi akhir metestrus dan diestrus.

Fase 1. Proestrus (prestanding events). Faseini hanya berlangsung 1-2

hari. Betina berperilaku seksual seperti jantan, berusaha menaiki teman-temannya

(homoseksualitas), menjadi gelisah, agresif, dan mungkin akan menanduk,

melenguh, mulai mengeluarkan lendir bening dari vulva, serta vulva mulai

membengkak.

Fase 2. Estrus (Standing Heat). Pada fase ini hewan betinadiam bila

dinaiki oleh temannyaatau standing position. Tetapi juga perlu diperhatikan hal

lain seperti seringkali melenguh, gelisah, mencoba untuk menaiki teman-

temannya. Sapi betina menjadi lebih jinak dari biasanya. Vulva bengkak, keluar

lendir vulva jernih, mukosa terlihat lebih merah dan hangat apabila diraba.

Fase 3. Metestrus (Pasca Berahi). Periode ini berlangsung selama 3-4 hari

setelah berahi, sedikit darah mungkin keluar dari vulva induk atau dara beberapa

jam setelah standing heat berakhir. Biasanya 85% dari periode berahi pada sapi

dara dan 50% pada sapi induk berakhir dengan keluarnya darah dari vulva (untuk

16
cek silang saat mengawinkan inseminasi harus sudah dilakukan 12-24 jam

sebelum keluarnya darah). Keadaan ini disebut perdarahan metestrus (metestrual

bleeding), ditandai dengan keluarnya darah segar bercampur lendir dari vulva

dalam jumlah sedikit beberapa hari setelah berahi. Perdarahan ini biasanya akan

berhenti sendiri setelah beberapa saat. Yang perlu diingat adalah bahwa tidak

semua siklus berahi pada sapi berakhir dengan keluarnya darah. Keluarnya darah

tidak selalu berarti ovulasi telah terjadi dan tidak selalu menunjukkan bahwa bila

diinseminasi ternak akan bunting atau tidak. Keluarnya darah hanya akan

menunjukkan bahwa ternak telah melewati siklus berahi.

Fase 4. Diestrus. Berlangsung selama 12-18 hari setelah periode metestrus

sampai periode proestrus berikutnya dan alat reproduksi praktis ”tidak aktif”

selama periode ini karena dibawah pengaruh hormon progesteron dari korpus

luteum.

Hormon progesteron mulai meningkat pada akhir berahi dengan

terbentuknya Corpus Luteum (CL). Corpus luteum memproduksi hormon

progesteron dan akan bertahan beberapa waktu, dan menunjukan hewan berada

dalam fase luteal (Senger, 2003). Pada akhir fase luteal jika tidak terjadi

kebuntingan, CL akan mengalami regresi atas pengaruh PGF2α yang dihasilkan

oleh endometrium uterus, dengan menurunnya konsentrasi P4 maka akan terjadi

pembentukan folikel baru untuk memasuki siklus berahi yang baru (Senger,

2003). Selama fase luteal, hormon progesteron tinggi karena corpus luteum aktif,

sedangkan hormon LH dan FSH rendah akibat umpan balik negatif dari

Progesteron terhadap Hipotalamus dan Hipofisa Anterior (Gambar 2), pada akhir

17
fase luteal, uterus menghasilkan hormon Prostaglandin yang akan melisiskan

Korpus Luteum yang berdampak terhadap penurunan hormon Progesteron yang

selanjutnya terjadi peningkatan hormon LH dan FSH disertai pertumbuhan dan

pematangan folikel serta peningkatan estrogen dan akhirnya timbul berahi

(Gambar 2).

Gambar 2 : Level Hormon dan Aktivitas Ovarium pada Siklus Berahi


(Mottershead, 2001).

Menurut Yusuf (1990), tidak semua ternak yang berahi dapat

memperlihatkan semua gejala berahi dengan intensitas atau tingkatan yang sama.

Tingkat intensitas berahi ini dapat dibandingkan dengan skor intensitas berahi 1

sampai dengan 3, yakni skor 1 (berahi kurang jelas), skor 2 (berahi yang

intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas).

Intensitas berahi skor 1 diberikan bagi ternak yang memperlihatkan gejala

keluar lendir kurang (++), keadaan vulva (bengkak, basah dan merah) kurang jelas

(+), nafsu makan tidak tampak menurun (+) dan kurang gelisah serta tidak terlihat

gejala menaiki dan diam bila dinaiki oleh sesama ternak betina (-), sedangkan

intensitas berahi skor 2 diberikan pada ternak yang memperlihatakan semua gejala

18
berahi di atas dengan simbol ++, termasuk gejala menaiki ternak betina lain

bahkan terlihat adanya gejala diam bila dinaiki sesama betina lain dengan

intensitas yang dapat mencapai tingkat sedang. Sementara intensitas dengan skor

3 (jelas) diberikan bagi ternak sapi betina yang memperlihatkan semua gejala

berahi secara jelas (+++) (Yusuf, 1990).

Berahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum folikel-

folikel ovarium. Menurut Ihsan (1992), bahwa deteksi berahi umumnya dapat

dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak dan keadaan vulva. Tanda-tanda

sapi berahi antara lain vulva nampak lebih merah dari biasanya, bibir vulva

nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak gelisah, ekornya seringkali

diangkat bila sapi ada di padang rumput sapi yang sedang berahi tidak suka

merumput. Kunci untuk menentukan sapi-sapi yang saling menaiki tersebut berahi

adalah sapi betina yang tetap diam saja apabila dinaiki dan apabila di dalam

kandang nafsu makannya jelas berkurang (Siregar dan Hamdan, 2007).

Siklus berahi pada sapi berlangsung selama 18-21 hari (Toelihere, 1985).

Menurut Prihatno (2006), pengamatan berahi merupakan salah satu faktor penting

dalam manajemen reproduksi sapi. Faktor-faktor yang mempengaruhi siklus

berahi adalah umur, pakan, sistem pemeliharaan dan lingkungan (Toelihere,

1985). Deteksi berahi paling sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi

hari dan sore/malam hari. Berahi pada ternak di sore hari hingga pagi hari

mencapai 60%, sedangkan pada pagi hari sampai sore hari mencapai 40%

(Laming, 2004).

19
METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober - Desember 2015 bertempat di

Desa Mattirowalie, Kecamatan Tanete Riaja, Kabupaten Barru.

Materi Penelitian

Penelitian ini menggunakan induk sapi Bali dengan umur berkisar antara

4-8 tahun. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GnRH 5

ml/ekor, PGF2α 2 ml/ekor, dan Estrogen 5 ml/ekor, spuit, plastik, sarung tangan 5

jari, alkohol 70 %, semen beku + N2 cair, kapas, gun inseminasi buatan, thermos

straw, gunting stainless, pinset stainless.

Rancangan penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 30 ekor induk sapi Bali

yang dibagi dalam tiga kelompok masing-masing 10 ekor tiap perlakuan.

Perlakuan A dengan penyuntikan GnRH tunggal, perlakuan B dengan hormon

GnRH, PGF2α, dan GnRH, sedangkan perlakuan C dengan hormon GnRH,

PGF2α, dan Estradiol. Rincian masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut :

1. Perlakuan A: Penyuntikan tunggal GnRH sebanyak 5 ml pada

hari ke-10, pada hari ke 0 di IB.

GnRH IB

-10 0

20
2. Perlakuan B: Metode Ovsynch, penyuntikan GnRH sebanyak 5 ml pada hari ke

-10 kemudian PGF2α sebanyak 2 ml pada hari ke -3 selanjutnya penyuntikan

GnRH sebanyak 5 ml pada hari ke -1, pada hari ke 0 di IB.

GnRH PGF2α GnRH IB

-10 -3 -1 0

3. Perlakuan C: Metode Heatsynch, penyuntikan GnRH sebanyak 5 ml pada hari

ke -10 kemudian PGF2α sebanyak 2 ml pada hari ke -3 selanjutnya

penyuntikan Estradiol sebanyak 5 ml pada hari ke -2, pada hari ke 0 di IB.

GnRH PGF2α Estradiol IB

-10 -3 -2 0

Prosedur Penelitian

a. Kelompok sapi Bali induk dipelihara secara semi intensif.

b. Masa adaptasi pakan dilakukan selama 3 minggu dengan komposisi pakan yang

sama. Selanjutnya dilakukan injeksi dengan beberapa metode sinkronisasi yaitu

metode penyuntikan tunggal GnRH, metode Ovsynch, dan metode Heatsynch.

c. Pengamatan terhadap sapi Bali induk yang memperlihatkan gejala berahi atau

tanda berahi meliputi kecepatan berahi dan intensitas berahi dengan melihat

dan mengamati penampakan ciri-ciri berahi pada ternak sapi kemudian

dilakukan pencatatan.

d. Analisis data terhadap setiap perlakuan dilakukan untuk mengetahui kondisi

reproduksi sapi Bali induk dan melakukan perbandingan dari setiap perlakuan.

21
Parameter yang Diukur

Pada akhir penelitian, pengamatan dilakukan dengan mengamati beberapa

perubahan antara lain :

a. Persentase Birahi

Persentase berahi dihitung dari jumlah sapi yang berahi dari ketiga metode

sinkronisasi.

b. Kecepatan Berahi (jam)

Kecepatan timbulnya berahi dihitung mulai dari penyuntikan hormon

GnRH hingga timbulnya berahi yang dinyatakan dalam jam.

c. Intensitas Estrus

Intensitas berahi yang meliputi waktu mulainya berahi dan akhir

berahi. Menurut Yusuf (1990), tidak semua ternak yang berahi dapat

memperlihatkan semua gejala berahi dengan intensitas atau tingkatan yang sama.

Tingkat intensitas berahi ini dapat dibandingkan dengan skor intensitas berahi 1

sampai dengan 3, yakni skor 1 (berahi kurang jelas), skor 2 (berahi yang

intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas).

Intensitas berahi skor 1 diberikan bagi ternak yang memperlihatkan gejala

keluar lendir kurang, keadaan vulva (bengkak, basah dan merah) kurang jelas,

nafsu makan tidak tampak menurun dan kurang gelisah serta tidak terlihat gejala

menaiki dan diam bila dinaiki oleh sesama ternak betina, sedangkan intensitas

berahi skor 2 diberikan pada ternak yang memperlihatkan sebagian dari gejala

berahi pada skor 1. Sementara intensitas dengan skor 3 diberikan bagi ternak sapi

betina yang memperlihatkan semua gejala berahi secara jelas (Yusuf, 1990).

22
Analisis Data

1. Data persentase berahi yang diperoleh dianalisa dengan analisis deskriptif.

2. Data kecepatan berahi yang diperoleh pada penelitian ini diolah dengan

menggunakan Uji T Test.

3. Data intensitas berahi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan

analisis deskriptif. Hasil pengamatan di lapangan dianalisis dan dibandingkan

dengan hasil penelitian dan referensi pendukung.

23
HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Berahi

Persentase ternak yang memperlihatkan gejala berahi dari ketiga metode

sinkronisasi masing-masing adalah perlakuan GnRH tunggal (A) 0% kemudian

metode Ovsynch (B) 100% dan Heatsynch (C) 100%. Tidak timbulnya gejala

berahi pada sapi Bali induk pasca melahirkan pada perlakuan A mungkin

disebabkan kelompok sapi yang disinkronisasi Hipofisa Anterior belum merespon

terhadap penyuntikan hormon GnRH eksogen dan juga bisa disebabkan oleh

keseimbangan energi negatif, dalam arti jumlah pakan yang dikonsumsi lebih

sedikit dibanding energi yang keluar untuk proses kelahiran dan menyusui.

Pada metode Ovsynch dan Heatsynch, persentase berahinya

memperlihatkan persentase yang sama, lebih jelasnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase berahi dengan perlakuan hormon berbeda.


Persentase
Perlakuan Σ (ekor)
Berahi (%)
A (GnRH tunggal) 0 0
B (Ovsynch) 10 100
C (Heatsynch) 10 100

Keterangan : Perlakuan A = GnRH tunggal. Perlakuan B = Ovsynch. Perlakuan C = Heatsynch .

Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase berahi pada perlakuan Ovsynch

dan Heatsynch masing-masing 100 %. Respon berahi pada perlakuan Ovsynch

dan Heatsynch disebabkan karena Hipofisa Anterior pada sapi Bali induk yang

disinkronisasi merespon terhadap penyuntikan GnRH eksogen dan estradiol.

GnRH eksogen akan menstimulasi Hipofisa Anterior untuk mensekresi FSH dan

24
LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk

pembentukan folikel antrum. FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk

mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrogen

mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan

dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak

pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan

terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan

melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum

akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk

menjaga kebuntingan (Hafez and Hafez,. 2000).

Pada kejadian silent heat dan sub estrus sebenarnya hormon LH mampu

menumbuhkan folikel pada ovarium sehingga terjadi ovulasi, tetapi tidak cukup

mampu dalam mendorong sintesa hormon estrogen oleh sel granulosa dari folikel

de Graaf. Hal inilah yang menyebabkan tidak munculnya birahi. Penanganan

kasus silent heat dan sub estrus dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas

pakan agar ternak mendapat nutrisi yang cukup sehingga mekanisme hormonal

dalam tubuh dapat berjalan dengan baik (Hafez and Hafez,. 2000).

Ketika diinjeksi GnRH pada hari -10 (Fixed Time AI) tetapi kondisi

ovarium sapi tidak diketahui, maka GnRH eksogen akan memicu pelepasan LH

yang menyebabkan ovulasi dan memulai siklus lagi jika pada saat itu ovarium

memiliki folikel matang. Jika ada CL, GnRH akan memicu pelepasan FSH yang

menciptakan kelompok baru folikel kemudian jika sapi baru saja ovulasi dalam 4-

5 hari, GnRH tidak akan berfungsi (Pursley,dkk., 1997).

25
Kecepatan Berahi

Kecepatan timbulnya berahi (jam) yaitu selang waktu dari mulai

penyuntikan hormon GnRH sampai timbulnya gejala berahi. Pengamatan

kecepatan timbulnya estrus dilakukan setelah penyuntikan hormon GnRH yaitu

pada saat timbulnya estrus dengan mengamati gejala estrus. Data kecepatan

timbulnya berahi hanya dilakukan pada metode B dan C karena metode A tidak

memperlihatkan gejala berahi (Gambar 3).

233.5 225.8
250

200
Kecepatan Berahi (Jam)

150

100

50
0,00
0
A B C
Metode
Gambar 3. Kecepatan berahi dengan beberapa metode sinkronisasi berahi
Keterangan : Kecepatan berahi dengan beberapa metode sinkronisasi birahi, pada perlakuan ini kecepatan
estrus mulai dihitung sejak dilakukannya penyuntikan GnRH pertama sampai dilakukannya IB ;
A: GnRH tunggal
B : GnRH1(pertama) PGF2α GnRH2(kedua)
C : GnRH PGF2α Estradiol

Pada penelitian ini rata-rata kecepatan timbulnya berahiadalah 233,5 dan

225,8 jam setelah penyuntikan GnRH sampai dilakukannya IB pada kedua

perlakuan. Perbedaan waktu metode Ovsynch dan Heatsynch disebabakan oleh

perbedaan waktu setelah penyuntikan PGF2α, disuntik GnRH satu hari sebelum

IB untuk metode Ovsynch dan pada metode Heatsynch setelah penyuntikan

26
PGF2α kemudian disuntik dengan estradiol 2 hari sebelum dilakukannya IB.

GnRH tidak secara langsung mempengaruhi ovarium, tetapi hormon yang

dihasilkan Hipothalamus ini bekerja merangsang sintesis dan pelepasan hormon

follicle stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari Hipofisa

Anterior. Senger (2003) menyatakan hormon Gonadotrophin releasing hormone

(GnRH) mengatur sekresi gonadotropin yang juga disebut LH/FSH releasing

hormone (LH/FSH-RH).

Pemberian GnRH selama siklus estrus menyebabkan regresi dan ovulasi

folikel dominan dan inisiasi segera gelombang folikel baru (Pursley, et al., 1995).

Hal ini disebabkan tingginya FSH dan LH mempengaruhi aktivitas enzim

proteolitik yang ada di permukaan folikel dominan aktif memecah membran

folikel (Sonjaya, 2007). Pemberian GnRH diketahui akan menyebabkan ovulasi

folikel dominan atau regresi sampai atresia tergantung pada status folikel-folikel

pada saat pemberian GnRH. Penyuntikan GnRH akan dapat menginduksi

pelepasan LH dan FSH dari hipofisa anterior, yang efeknya tergantung kepada

dosis GnRH yang digunakan (Twaqiramungu et al., 1995).

Peranan PGF2α adalah luteolisis atau meregresi CL pada ternak dan

memiliki fungsi alami untuk mengontrol siklus estrus. Pada perlakuan Ovsynch

yang menggunakan subtitusi pemberian GnRH kedua ini akan menginduksi

ovulasi dan waktu IB dapat ditentukan secara tepat. Hal ini sesuai dengan

pendapat Larson dkk. (2006), bahwa metode Ovsynch dengan pemberian GnRH

kedua akan mempercepat terjadinya induksi berahi.

27
Proses perkembangan folikel antrum hingga mencapai fase preovulasi

adalah fase dimana mulai terbentuknya reseptor FSH pada sel-sel granulosa, maka

disekresikan estrogen. Proses yang menyebabkan peningkatan konsentrasi

estrogen dalam darah dan dengan adanya rangsangan LH pada proses

perkembangan folikel, maka sel-sel theca interna menghasilkan hormone

progesteron dan selanjutnya diubah menjadi hormon estrogen di sel granulosa

dengan bantuan enzim aromafase. Secara fisiologis, seiring dengan peningkatan

konsentrasi estrogen dalam darah dan waktu ovulasi, konsentrasi estrogen

mencapai suatu tingkat maksimum, sehingga ternak akan mengalami berahi lebih

cepat (Sonjaya, 2007).

Pada metode Ovsynch penyuntikan GnRH berperan untuk memicu sekresi

puncak LH melalui penyuntikan GnRH pada fase folikuler, dengan adanya

tambahan GnRH eksternal maka akan menstimulasi Hipotalamus dan Hipofisa

Anterior untuk mensekresikan FSH dan LH yang akan memicu pertumbuhan

folikel di ovarium. Selanjutnya dengan penyuntikan PGF2α untuk melisiskan CL

jika ada, kemudian dilanjutkan penyuntikan GnRH kedua untuk lebih

meningkatkan sekresi LH dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi

dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum (Sonjaya,

2007).

Pada metode Heatsynch penyuntikan estradiol setelah penyuntikan PGF2α

akan menambah sekresi estradiol yang menyebabkan kontrol umpan balik positif

terhadap Hipotalamus pada fase folikuler sehingga menggerakkan sekresi puncak

28
FSH untuk memicu pertumbuhan folikel diovarium sehingga timbul gejala berahi

(Sonjaya, 2007).

Hormon reproduksi yang berhubungan dengan berahi salah satunya adalah

hormon estrogen. Hormon estrogen adalah hormon kelamin betina yang berfungsi

untuk menimbulkan berahi (Toelihere, 1985). Menurut Tagama (1995), kadar

estrogen dalam tubuh akan berpengaruh terhadap panjang dalam estrus.Tagama

(1995) juga menambahkan bahwa kadar estrogen yang tinggi akan menimbulkan

masa berahi lebih lama tetapi tidak menjamin ovulasi.

Fungsi utama dari hormon estrogen adalah untuk manifestasi gejala estrus.

Seperti yang dikemukakan oleh Nessan dan King (1981) bahwa kerja dari hormon

estrogen adalah untuk meningkatkan sensitifitas organ kelamin betina yang

ditandai dengan terjadinya perubahan pada vulva, dan keluarnya lendir transparan

dari vulva tersebut. Jelasnya gejala berahi akibat diberi hormon estrogen diperkuat

oleh laporan Henrick dan Torrence (1977) bahwa meningkatnya konsentrasi

estrogen dalam darah, berahi yang timbul akan semakin jelas.

Intensitas Berahi

Tampilan gejala berahi dan intensitas berahi dari sapi-sapi betina yang

diamati dalam penelitian ini sangat berbeda antar perlakuan (Gambar 4). Gejala

berahi yang umumnya terlihat adalah gejala keluarnya lendir, perubahan kondisi

vulva (merah, bengkak dan basah), gelisah dan nafsu makan menurun, menaiki

dan diam ketika dinaiki. Tidak semua ternak yang berahi dapat memperlihatkan

semua gejala berahi dengan intensitas atau tingkatan yang sama. Untuk

29
membandingkan tingkat intensitas berahi ini ditentukanlah skor intensitas berahi 1

s/d 3, yaknii skor 1 (berahi kurang jelas), skor 2 (berahi yang intensitasnya

sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas) (Yusuf, 1990).

Pada metode Ovsynch dan Heatsynch, intensitas berahinya

memperlihatkan persentase yang berbeda, lebih jelasnya disajikan pada Gambar 4.

7
Jumlah Sapi (ekor)

5
skor 1
4
skor 2
3
skor 3
2

0
Metode A Metode B Metode C
Metode

Gambar 4. Tampilan Intensitas berahi dengan perlakuanhormon berbeda.


Keterangan : Skor 1 (berahi kurang jelas), skor 2 (berahi yang intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi
dengan intensitas jelas).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat intensitas berahi pada

perlakuan Ovsynch lebih banyak pada skor 2 dan perlakuan Heatsynch lebih

banyak pada skor 3. Perbedaan ini disebakan karena hormon yang digunakan

berbeda yaitu pada perlakuan Ovsynch digunakan hormon GnRH secara berulang

sedangkan pada perlakuan Heatsynch digunakan adalah hormon estradiol, yang

berfungsi untuk menampakkan gejala berahi. Pada pengamatan berahi, tampak

induk sapi Bali pada metode C dengan penyuntikan estradiol memperlihatkan

30
tanda-tanda berahi sangat jelas yaitu bagian vulva terdapat lendir yang

menggantung, transparan, ketika diraba terasa hangat dan berwarna kemerahan,

ternak terlihat gelisah, menurunnya nafsu makan dan sering melenguh, tingkah

laku terlihat jelas serta ternak saling menaiki sesama betina dan diam ketika

dinaiki. Hal ini sesuai dengan pendapat Partodihardjo (1992), yang menyatakan

bahwa ciri dari berahi adalah ternak menjadi gelisah, nafsu makan berkurang,

vulva bengkak, keluar lendir dan vulva menjadi kemerahan. Intensitas berahi yang

sangat jelas tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan

folikel yang dipengaruhi oleh tingkatan nutrisi. Pertumbuhan dan perkembangan

folikel lebih dari satu hingga fase folikel de graaf sangat ditentukan oleh kadar

FSH dalam darah (Ridwan, 2006).

Perkembangan folikel lebih dari satu selama siklus dan menjadi folikel de

graaf merupakan kinerja sinergis antara FSH, estradiol (estrogen) dan juga LH.

Hormon FSH bersamaan dengan estrogen, merangsang pertumbuhan sel-sel

granulosa sehingga membentuk folikel (Wumbu, 2003).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat intensitas berahi sedang

(skor 2) lebih banyak pada metode Ovsynch dibanding metode Heatsynch.

Sedangkan tingkat intensitas berahi kurang jelas (skor 1), yaitu 2 ekor pada

metode Ovsynch. Rendahnya intensitas berahi bervariasi yang ditandai dengan

vulva yang memerah tapi tidak membengkak, lendir dengan konsistensi yang

kurang kental dan jumlahnya sedikit serta tingkah laku ternak terlihat gelisah

tetapi menolak dinaiki oleh ternak lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Kune dan

Solihati (2007) menyatakan bahwa berahi dengan intensitas kurang jelas atau

31
sedang, lebih disebabkan oleh faktor individu yang mungkin lebih berhubungan

dengan pola hormonal terutama level hormon estrogen yang berperan dalam

merangsang berahi.

Ovarium menghasilkan hormon estrogen yang mempunyai peran penting

dalam intensitas berahi. Tingkah laku berahi ini dipengaruhi oleh hormon

estrogen yang berperan besar dalam penampilan gejala-gejala berahi. Menurut

Partodihardjo (1992), estrus adalah fase terpenting dalam siklus berahi, karena

dalam fase ini hewan betina mau menerima pejantan untuk kopulasi. Toelihere

(1985) menambahkan bahwa saat estrus estradiol dari folikel de Graaf yang

matang menyebabkan perubahan-perubahan pada saluran reproduksi tubuler yang

maksimal pada fase ini. Penerimaan pejantan selama estrus disebabkan oleh

pengaruh estradiol pada sistem syaraf pusat yang menghasilkan pola-pola tingkah

laku yang khas bagi hewan jantan.

32
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

 Respon berahi pada metode penyuntikan GnRH tunggal tidak

memperlihatkan gejala berahi.

 Tidak terlihat perbedaan nyata kecepatan berahi antara perlakuan Ovsynch

dan Heatsynch.

 Pada metode Heatsynch memperlihatkan gejala berahi yang lebih nyata

dibandingkan metode Ovsynch.

Saran

Metode sinkronisasi yang sebaiknya diaplikasikan dimasyarakat yaitu

metode Heatsynch karena dapat menampakkan gejala berahi yang jelas sehingga

mudah dalam mendeteksi berahi. Akan tetapi perlu dilakukan pengamatan untuk

mengetahui tingkat ovulasi pada metode Ovsynch dan Heatsynch.

33
DAFTAR PUSTAKA

Achyadi, K. R., 2009.Deteksi Berahi pada Ternak Sapi. Tesis MS Pascasarjana


IPB. Bogor.

Bartolome, J.A. F.T. Silvestre, S. Kamimura; A.C.M. Arteche; P. Melendez, D.


Kelbert,J. McHale, K. Swift, L.F. Archbald, 2005. Resynchronization of
ovulation and timed insemination in lactating dairycows,Theriogenology.
Facultad de Ciencias Veterinarias, Universidad Nacional de La Pampa,
Argentina.

Cerri. R.L.A., J.E.P. Santos, S.O. Juchem, K.N. Galvao, and R.C. Chebel. 2004.
Timed artificial insemination with estradiol cypionate or insemination at
estrus in high-producing dairy cows. J.Dairy Sci. 87: 3704-3715.

Chenault, J. R., D.D Kratser, R.A Rzepkowski, and M.C. Goodwin. 1990. LH and
FSH response of Holstein Heifer To Fertirelin Acetate, Gonadrelin And
Buserin. Theriogenology 53:1407–1414.

Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam


Ekosistem Pertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.

Darodjah,S. 2011. Teknologi Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan UNPAD.


http://blogs.unpad.ac.id/daatje/files/2011/03/BAB-I-Penyerentakan
Berahi. Diakses pada, 10 September 2015.

Djojosoebagio, S. 1990. Fisiologi Kelenjar endokrin Volume II. Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat, IPB.

Feradis. 2010. Reproduksi Ternak.Alfabeta. Bandung.

Frandson, R. D., 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-7, diterjemahkan
oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Fricke, P. M., J. N. Guenther, and M. C. Wiltbank. 1993. Effect Of Decreasing


The Dose Of Gnrh Used In A Protocol For Synchronization Of Ovulation
And Timed Ai In Lactating Dairy Cows. Theriogenology 50:1275–1284

Hafez, E.S.E,. and Hafez, B. 2000. Reproduction in farm animals, 76 Ed.


Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.

Henrich. D.M. dan A.X. Torrence, 1977. Endogenous Estrogen in Bovine Tissues.
J. Anim. Sci. 45: 63.

34
Ihsan, M.N., 1992. Inseminasi Buatan. LUW.Universitas Brawijaya. Malang

Kune, P dan Solihati, N. 2007. Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali
Timor yang Diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2007, Volume 7
No.1, 1-5.

Laming, S 2004. Performens reproduksi sapi perah dan sahiwal kross di


kabupaten serdang skripsi, fakultas peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Larson, J.E., G.C. Lamb, J.S. Stevenso, S.K. Johnson, M.L. day, T.W Geary,
D.J.kesler, J.M. Dejarnette, F.N Schrick, A. DiCoztanzo and J.D.
Arseneau. 2006. Synchronization Of Estrus In Sucled Beef Cows For
Detected Estrous And Artificial Insemination Using Gonadotroping-
Releasing Hormone, Prostaglandin F2α, And Progesteron. J. Anim. Sci.
71:61.

Luqman, M., 1999. Fisiologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran


Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Marawali, A., M.T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-dasar ilmu
reproduksi ternak. Departemen pendidikan nasional direktorat
pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia
timur. Jakarta.

Mauget R, Mauget C, Dubost G, Charron F. 2007. Non-invasive assessment of


reprodukctive status in Chinese water deer (hydropotes inermis):
Correlation with sexual behaviour. Mamm. Biol. 72 (2007)1:14-26.

Mottershead, J. 2001. The Mare’s Estrous Cycle. Available at: http://www.equine-


reproduction.com/articles/estrous.htm. Accesion date: 03th December
2014.

Nessan, G.K. dan G.J. King, 1981. Sexual behavior in ovariectomized cows
treated with oestradion benzoat and testosterone propionate. J. Reprod.
61 : 171-178.

Partodiharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya.


Jakarta.

Prihatno, A. 2006. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. PT. Agromedia Pustaka,
Jakarta.

Pursley, J. R., M. W. Kosorok, and M. C. Wiltbank. 1997. Reproductive


management of lactating dairy cows using synchronization of ovulation.
J. Dairy Sci. 80:301–306.

35
Pursley, J.R., M.O. Mee, and M.C. Wiltbank. (1995). Synchronization of
ovulation in dairy cows using PGF2α and GnRH. Theriogenology. (44):
915-923.

Putro, P.P., 2008. Dampak Crossbreeding terhadap Reproduksi Induk


Turunannya: Hasil Studi Klinis. Lokakarya Lustrum VIII Fak.
Peternakan UGM, 8 Agustus 2009.

Ridwan. 2006. Fenomena Estrus Domba Betina Lokal Palu yang Diberi
Perlakuan Hormon FSH. J. Agroland 13 (3): 294-298.

Schmitt, E.J.P., M. Drost, T. Diaz, C. Roomes and W.W. Tacher. 1996. Effect of a
gonadotropin-releasing hormone agonist on follicle recruitment and
pregnancy rate in cattle. J.Anim Sci. 74:154-161.

Senger, P.L. 1999. Pathway to Pregnancy and Parturition. Washington: Curren


Conception Inc.

Senger, P.L. (2003). Pathways to Pregnancy and Parturition. 2nd revision


edition. Washington State University Research & Technology Park.
Current Conceptions Inc., Washington. Halaman : 210–230

Silaban, N.L. Setiatin E.T. dan Sutopo. 2012. Tipologi Ferning Sapi Jawa Brebes
Betina Berdasarkan Periode Berahi. Animal Agriculture Journal, 1(1):
777 – 788.

Siregar T.N. dan Hamdan. 2007. Teknologi Reproduksi Pada Ternak. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. CV. Mita
Mulia. Banda Aceh.

Solihati, N. 2005. Pengaruh Metode Pemberian PGF2α Dalam Sinkronisasi Estrus


Terhadap Angka Kebuntingan Sapi Perah Anestrus. Makalah. Fakultas
Peternakan. Universitas Padjajaran.

Sonjaya, H., E. Abustam, M. D. Pali., L. Tolleng and Sudirman. 1991. Survei data
Dasar ternak Sapi Bali di Daerah Pedesaan Provinsi Sulawesi Selatan.
Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang.

2007. Bahan Ajar Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas


Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

2012. Dasar Fisiologi Ternak. IPB Press.

Stevenson, J.S. Tiffany, S.M., Lucy, M.C. 2004. Use of Estradiol Cypionate as a
Substitusi for GnRH in Protocols for Synchronization Ovulation in dairy
Cattle. J. Dairy. Sci. 87:3298-3305

36
Tagama, T. R. 1995. Pengaruh Hormon Estrogen, Progesteron dan Prostaglandin
F2α terhadap Aktivitas Berahi Sapi PO Dara. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Peternakan. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Sudirman.
Purwokerto

Toelihere, M.R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa.


Bandung.

2002. Increasing the success rate and adoption of artificial


insemination for genetic improvement of Bali cattle. Workshop on
strategies to improvebali Cattle in Eastern Indonesia. Udayana eco lodge
Denpasar Bali 4–7 February 2002.

Twaqiramungu, H., L.A. Guilbault, and J.G. Proulx. (1995). Influence of corpus
luteum and induced ovulation on ovarian follicular dynamics in post
partum cyclic cows treated buserelin and cloprostenal. J. Anim. Sci. (72):
1796–1805.

Wumbu, M.I., 2003. Pengaruh Pemberian Implan Progesteron dan Berbagai Dosis
Estradiol Benzoat Terhadap Estrus dan Kebuntingan Pada Domba Ekor
Gemuk. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjran, Bandung.

Yusuf. T. L. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2 alfa Gonadotrophin Terhadap


Aktivitas Estrus dan Super Ovulasi dalam Rangkaian Kegiatan Transfer
Embrio pada Sapi FH, Bali dan PO. Disertasi. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yusuf, M., T. Nakao, C. Yoshida, S.T. Long, S. Fujita, Y. Inayoshi, and Y.


Furuya. 2010. Comparison in effect of Heatsynch with heat detection
aids and CIDR-Heatsynch in dairy heifers. Reprod. Dom. Anim. 45,500-
504.

37
Lampiran :

Kecepatan Berahi
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Metode B 19.6000 10 6.20394 1.96186


Pair 1
Metode C 36.4000 10 7.90499 2.49978

Kecepatan Berahi
N Correlation Sig.

Metode B
Pair 1 10 -.021 .953
Metode C

Kecepatan Berahi
Paired Differences

95% Confidence
Sig. (2-
Std. Std. Error Interval of the t df
Mean tailed)
Deviation Mean Difference

Lower Upper

-
Pair Metode B -
1.68000 10.15218 3.21040 -9.53757 -5.233 9 .001
1 Metode C 24.06243
E1

38
DOKUMENTASI KEGIATAN

1. Sosialisasi Perencanaan Kegiatan

a. b.

Pemaparan rencana kegiatan di kantor Sesi tanya jawab


Desa Mattirowalie
c. d.

Pemaparan metode penyuntikan hormon Sesi tanya jawab

2. Pendataan Ternak

a. b.

Pendataan ternak setelah sosialisasi Pendataan ternak di lapangan

39
c. d.

Pendataan kelompok ternak Pendataan kelompok ternak di


lapangan
3. Pemberian perlakuan hormon
a b.

Pengelompokan induk sapi yang akan Penyuntikan hormon


diberi perlakuan penyuntikan hormon.
c. d.

Melakukan pemilahan induk sapi yang Melakukan kegiatan sinkronisasi di


akan diberi perlakuan hormon. padang penggembalaan

40
RIWAYAT HIDUP

Darussalam lahir di Belajen pada tanggal 20 Desember

1992, anak pertama dari enam bersaudara. Dibesarkan oleh

orang tua Drs. Jedi (Ayah) dan Dra. Jauhar (Ibu). Tingkat

pendidikan dimulai dari TK Aisyiah Belajen kec. Alla pada

tahun 1998, kemudian melanjutkan di SDN 176 Belajen

pada tahun 1999. Setelah lulus SD, melanjutkan di MTs Muh. Kalosi pada tahun

2005, kemudian melanjutkan di SMA Negeri 1 Alla Kab. Enrekang pada tahun

2008 dan lulus pada tahun 2011. Setelah menyelesaikan SMA, penulis kemudian

diterima di PTN (Perguruan Tinggi Negeri) melalui jalur Undangan di Fakultas

Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Hingga akhirnya lulus Pendidikan

Sarjana (S1) Program studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas

Hasanuddin Makassar pada Tahun 2016.

Selama kuliah penulis aktif di organisasi UKM Sepak Bola Unhas dari

tahun 2012-2016, penulis juga aktif pada UKM KOMPAS Fakultas Peternakan,

Universitas Hasanuddin, Makassar. Selain itu penulis juga ikut di lembaga

eksternal kampus yaitu HPMM Komisariat Unhas.

41

Anda mungkin juga menyukai