Anda di halaman 1dari 26

Pengetahuan Manusia Tentang Alam Semesta

Oleh:
Herlina Febrianti (1720209012)

Dosen Pengampu:
Qum Zaidan Marhani, S.Pd, M.Si

Program Studi Pendidikan Fisika


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji syukur selalu dipanjatkan kehadirat
Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tersusunlah
sebuah makalah pada mata kuliah Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa tentang
Pengetahuan Manusia Tentang Alam Semesta. Makalah ini telah disusun dengan
sistematis dan sebaik mungkin.
Dengan selesainya makalah ini, tidak lupa diucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Khususnya kepada
Bapak Qum Zaidan Marhani, S.Pd, M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah
Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa.
Demikian makalah yang telah dibuat. Mohon kritik dan sarannya apabila
ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Palembang, Maret 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
2.1 Pengertian Alam Semesta ................................................................. 3
2.2 Bumi dan Planet-planet Lainnya ...................................................... 3
2.3 Pemikiran Manusia Tentang Alam Semesta ..................................... 4
2.4 Dengan Sains Manusia Menangkap Realitas Alam Semesta ........... 5
2.5 Proses Penciptaan Manusia............................................................... 6
2.6 Unsur-unsur Pengetahuan Manusia .................................................. 10
2.7 Proses Penciptaan Alam ................................................................... 13
2.8 Unsur-unsur dan Hukum Alam......................................................... 16
2.9 Hubungan Manusia dan Alam............................................................. 19
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 22
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 22
3.2 Saran ................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada beberapa permasalahan dalam kehidupan manusia seperti: masalah
keyakinan, masalah alam, dan masalah kemanusiaan. Masalah keyakinan
berkaitan dengan kepercayaan terhadap sesuatu atau seseorang yang dianut
dan dijalankan dalam kehidupan. Masalah alam berkaitan dengan tempat
(ruang) dimana manusia berada. Ruang dalam hal ini mempunyai dua makna,
yaitu ruang dalam arti ekologis yang berarti lingkungan dan ruang dalam arti
kronologis, yaitu alam semesta. Berkaitan dengan alam semesta ini tidak
hanya menyangkut bumi dan beberapa planet lainnya, bagaimana proses
penciptaan, tetapi juga menyangkut pola hubungan antara alam semesta dan
manusia. Bagaimana manusia menempatkan, emmperlakukan dan
memandang alam semesta. Yang ketiga adalah permasalahan humanism,
yaitu masalah yang berkaitan dengan manusia dalam yang muncul sebagai
sebab akibat dari adanya pola hubungan dengan manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengetian alam semesta?
2. Apa itu bumi dan planet-planet lainnya?
3. Bagaimana pemikiran manusia tentang alam semesta?
4. Bagaimana dengan sains manusia menangkap realitas alam semesta?
5. Bagaimana proses penciptaan manusia?
6. Apa saja unsur-unsur pengetahuan manusia?
7. Bagaimana proses penciptaan alam?
8. Bagaimana unsur-unsur dan hukum alam?
9. Bagaimana hubungan manusia dan alam?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengetian alam semesta.
2. Untuk mengetahui apa itu bumi dan planet-planet lainnya.
3. Untuk mengetahui pemikiran manusia tentang alam semesta.
4. Untuk mengetahui dengan sains manusia menangkap realitas alam
semesta.
5. Untuk mengetahui proses penciptaan manusia.
6. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur pengetahuan manusia.
7. Untuk mengetahui proses penciptaan alam.
8. Untuk mengetahui unsur-unsur dan hukum alam.
9. Untuk mengetahui hubungan manusia dan alam.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Alam Semesta


Alam semesta adalah fana, berarti ia berasal dari pada sesuatu yang
tiada, kemudian diciptakan menjadi sesuatu yang bersifat jisim, sama ada
dilihat mata kasar ataupun hanya Nampak jika ditelit. Adapun konsep
penciptaan itu, dapat juga disimpulkan sebagai proses dri ketiadaan menjadi
ada, dan akhirnya hancur. Di antaranya juga ada penciptaan manusia dan
makhluk hidup lainnya. Begitulah juga perihal penciptaan alam semesta, yang
diyakini dicipta dan diadakan atas sesuatu dasar dan tujuan.
Ramai yang beranggapan, bahwa penciptaan kejadian alam semesta
merupakan salah satu dari keajaiban dan misteri penciptaan. Lalu muncullah
berbagai persepsi dari para ilmuan dunia,sama ada dari zaman lampau
hinggalah kezaman dewasa yang sama,yaitu cuba merungkai
Namun, sebagai seseorang yang berjiwa musliam,pertemuan
pemahaman ayat Al-quran dan sains astronomi adalah sebanding,dinyatakan
bahwa alam semestaa ini berawal dan berakhir,dan Al-quran lebih jauh
memberi petunjuk bahwa alam semesta mempunyai penciptaannya .
Fenomena ini diharapkan menjadi pembuka jalan dan pemicu integrasi islam
dalam kehidupan manusia.

2.2 Bumi dan Planet-planet Lainnya


Jika diumpakan betapa luasnya alam semesta ini, boleh diibaratkan
sebagai satu titik kecil ditengah-tengah sebidang kertas yang sangat besar,
ataupun diumpamakan seperti seekor sumut kecil ditengah-tengah gurun
pasir. Titik hitam kecil dan sumut tersebutlah yang diumpamakan sebagai
salah satu galaksi yang kita diami kini, merupakan suatu kawasan yang sangat
sempit jika dibandingkan dengan keluasan alam semesta yang pastinya tidak
terjangkau oleh pemikiran manusia, maupun alatan modern untuk
menghitungnya. Didalamnya, terdapat berjuta-juta system dan galaksi yang
secara teratur bergerak dalam kelompoknya yang tersendiri, tanpa

3
menimbulkan hura-huru dan perlanggaran antara satu sama lain. Salah
satunya adalah galaksi Bima Sakti yang kita diami, yang didalamnya terdapat
planet-planet yang tidak asing didengar dan sebuah bintang yang hebat
memberi sumber cahaya dan puncak orbit kepada setiap planetnya.
Matahari merupakan sebuah bola gas pijar raksasa, lebih dari 1.250.000
kali ukuran Bumi dan bermassa 100.000 kali lebih besar Bumi dan planet-
planet lain yang tidak berdaya, terlambat oleh gravitasi, terseret Matahari
mengelilingi pusat Galaksi lebih dari 200 juta tahun untuk sekali edar penuh.
Pengiring Matahari lainnya adalah planet Merkurius, Venus, Mars, Jupiter,
saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto, asteroid, komet dan sebagainya. Ragam
masing-masing dikatakan berupa sosok bolak gas, bola beku, karang tandus
yang sangat panas, semuanya tak terpilih seperti planet Bumi, yang
dipercayai satu-satunya tanah yang mampu didiami oleh manusia, karena
struktur jisimnya yang diciptakan seumpama itu.

2.3 Pemikiran Manusia Tentang Alam Semesta


Kesan umum luas dan megahnya alam semesta diperoleh penghuni
Bumi dengan megahnya alam semesta diperoleh penghuni Bumi dengan
memandang langit malam yang cerah tanpa cahaya Bulan. Langit tampak
penuh taburan bintang yang seolah tak terhitung jumlahnya. Struktur dan luas
alam semesta sangat sukar dibayangkan manusia, dan progress persepsi dan
rasionalitas manusia tentang itu memerlukan waktu berabad-abad.
Deskripsi pemandangan alam semesta pun beragam dulu alam semesta
dimodelkan sebagai ruang berukuran jauh lebih kecil dari realitas seharusnya.
Ukuran diameter Bumi 12.500 km baru diketahui pada abad ke-3 oleh
Eratosthene, jarak ke Bulan 384.400 km pada abad ke-16 oleh Tycho Brahe,
jarak ke Matahari sekitas 150 juta km pada abad ke-17 oleh cassini, jarak
bintang 61 Cygni abad ke-19, jarak ke pusat Galaksi abad ke-20
(Shapley,1918), jarak ke galaksi luar (1929), Quasar dan Big Bang (1965).
Perjalanan panjang ini terus berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya.
Benda langit yang terdekat dengan bumi adalah bulan. Gaya gravitasi
bulan menggerakkan pasang surut air laut dibumi, tak henti-hentinya selama

4
berjuta tahun. Disebabkan periode orbit dan rotasi Bulan sama, manusia di
Bumi tak pernah bisa melihat salah satu sisi permukaan Bulan tanpa bantuan
teknologi untuk mengorbit Bulan. Rahasia sisi bulan lainnya, baru didapat
dengan penerbangan luna 3 pada tahun 1959
Berbagai contoh diatas merupakan bukti bagaimana manusia
sebenarnya turut mengambil serius terhadap keajaiban yang ditunjukkan oleh
alam semesta kepada penghuninya. Mereka terus berusaha mencari
penemuan-penemuan baru, semata-mata ingin memenehi keperluan ilmiah
mereka tentang data dari angkasa tersebut. Di sebalik penemuan-penemuan
hebat itu juga, timbul beberapa persoalan yang bersifat rohaniah. Contohnya,
mengapa tidak semua planet diciptakan bisa dan layak didiami seperti Bumi?

2.4 Dengan Sains Manusia Menangkap Realitas Alam Semesta


Pemahaman manusia tentang alam semesta mempergunakan seluruh
pengetahuan dibumi, berbagai prinsip-prinsip, kepercayaan umum dalam
sains, serta berbagai aturan untuk keperluan praktis. Melalui sebuah kerangka
besar gagasan yang menghubungkan berbagai fenomena cuba dikemukakan
sebagai satu penjelasan . Berbagai hipotesis, gagasan awal atau tentative
dikemukakan untuk menjelaskan fenomena. Tentu saja gagasan tersebut
masih perlu diuji kebenarannya untuk dapat dikatakan sebuah fakta ilmiah.
Kemampuan mata manusia untuk mengamati setiap ciptaan da nisi alam
semesta adalah amat terbatas. Namun, manusia tetap berusaha untuk keluar
dari pada bulatan kekurangan itu, lalu dinalarkan untuk mengambil berbagai
insiatif lain, sekedar menutupi kelemahan manusia yang bersifat terhad itu.
Salah satunya adalah kekuatan sains dan pemikiran manusia, yang akhirnya
Berjaya membuktikan beberapa fenomena alam. Hasil dari pada beberapa
penemuan tersebut, manusia dapat mengeluarkan beberapa teori dan bukti
yang dapat menyokong pemikiran mereka selama ini.
Sebagai contoh, di dalam konsep gravity, manusia mendapati setiap
planet berputar dan mengelilingi atas satu orbit yang sejajar. Demikianlah,
metode sains mencoba dengan lebih cermat menerangkan realitas alam
semesta yang berisi banyak sekali benda langit.

5
Pengetahuan kita tentang hal alam semesta sangat bergantung pada
pengetahuan kita tentang hukum alam ciptaan-Nya, sudah lengkap dan sudah
sempurnakah, ataukah baru sebagian kecil, sehingga mungkin bisa
membentuk ekstrapolasi persepsi yang salah? Sangat saying bila kita tidak
sempat melihat kosmos hari ini. Sangat saying kita tidak berencana sujud
berserah kepada Tuhan Yang MahaKuasa.

2.5 Proses Penciptaan Manusia


Dalam kitabnya al-Madhnûn al-Shaghîr dan Mi’râjus Sâlikhîn yang
dikutip oleh Abidin Ibn Rusn, al-Ghazali menjelaskan pertemuan antara dua
unsur pembentuk manusia-sebagai proses kejadiannya yaitu nafs dan nuthfah
(sel benih). Menurutnya, nafs atau jiwa diciptakan ketika sel benih (nuthfah)
telah memenuhi persyaratan untuk menerimanya. Kata nuthfah disini
bukanlah sel benih pada sperma lakilaki saja, melainkan sel benih yang telah
menyatu dengan sel telur wanita pada rahimnya. Pada saat tertentu, nuthfah
mempunyai kesiapan untuk menerima jiwa, dan kondisi memenuhi syarat
untuk menerima jiwa ini disebutnya al istiwa’. Proses ini sesuai dengan
firman Allah sebagai berikut:
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepaada paara malaikat,
sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya ddan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. Al Hijr: 28-29).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pandangan al Ghazali
mengenai terciptanya manusia, ia terbentuk dari dua unsur yang sifatnya
berbeda yakni: bentuk luar yang disebut jasad dan wujud dalam yang disebut
hati atau ruh.
Akan tetapi, walaupun kedua unsur tersebut mempunyai sifat yang
berbeda, dalam membentuk makhluk sempurna, manusia, keduanya
berhubungan erat, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan,
dan hubungan itu bersifat khusûsi. Artinya, satu unsur tidak berada di jasad
juga tidak diluarnya, tidak terpisah dan juga tidak menyatu, tetapi keduanya

6
saling membutuhkan. Hal ini dijelaskan al Ghazali sebagaimana yang telah
dikutip oleh Abadin Ibn Rusn adalah sebagai berikut:
“Maka hatilah yang mengetahui Allah. Dialah yang mendekati Allah.
Dialah yang bekerja karena Allah. Dialah yang berjalan karena Allah. Dan
dialah yaang membuka apa yang disisi Allah dan yang ada padaNya. Dan
sesungguhnya anggota badan itu adalah pengikut, pelayan dan alat yang
dipergunakan oleh hati dan yang dipakainya. Laksana pemilik memakai
budaknya, pemimpin menerima layanan rakyatnya dan pekerja bagi
perkakasnya.”
Mengenai hubungan antara kedua unsur manusia itu akan menjadi lebih
jelas lagi kalau kita membaca uraian al Ghazali tentang Junûdul Qalbi
(pasukan hati).
Menurutnya, bahwa hati mempunyai dua macam pasukan. Pertama,
pasukan yang tampak, yang meliputi: tangan, kaki, mata, dan seluruh organ
tubuh. Semuanya itu mengabdi dan tunduk kepada perintah hati. Inilah yang
disebut sebagai pengetahuan. Kedua, pasukan yang ada kaitannya dengan
yang dapat menentukan perbedaan antara manusia dan binatang, karena
mempunyai dasar yang lebih halus, terutama beberapa bagian dari
pasukannya seperti syaraf dan otak. Inilah yang disebut kemauan. Kedua
pasukan hati yakni (pengetahuan dan kemauan) inilah yang tidak hanya
membedakan manusia dari binatang tetapi juga membedakan antara orang
dewasa dan anak-anak.
Selain itu, fenomena penciptaan itu terjadi sesuai dengan uraian yang
ada dalam al Qur’an dan akan membawa arti sangat penting bagi orang-orang
yang berakal.
Menurut Harun Yahya dalam penciptaan manusia terkandung berbagai
informasi bagi mereka yang ‘arif dan berakal sehat, yang menunjukkan
kepada mereka bagaimana “mereka diciptakan” dan keajaiban penciptaan ini.
Kisah penciptaan manusia berawal di dua tempat yang saling berjauhan.
Manusia menapaki kehidupan melalui pertemuan dua zat terpisah di dalam
tubuh lelaki dan perempuan, yang diciptakan saling terpisah namun sangat
selaras. Jelas, sperma di dalam tubuh lelaki tidak dihasilkan atas kehendak

7
dan kendali lelaki tersebut, sebagaimana sel telur di dalam tubuh perempuan
tidak terbentuk atas kehendak dan kendali perempuan tersebut.
Sesungguhnya, mereka bahkan tidak menyadari pembentukan sel-sel ini.
“Kami telah ciptakan kamu, maka mengapa kamu tidak membenarkan
(hari berbangkit) maka terangkanlah kapadaku tentang nuthfah yang kamu
pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang
menciptakannya. (QS, Al Waqi’ah, 56: 57-59).
Jelaslah bahwa kedua zat tersebut, yang berasal dari lelaki dan
perempuan, diciptakan sangat bersesuaian. Penciptaan kedua zat ini,
pertemuan antara keduanya, dan perubahannya menjadi manusia sungguhlah
suatu keajaiban besar. Seluruh kosmos sering kali dilukiskan sebagai
lingkaran yang terdiri atau dua busur (qaws), Busur Turun dan Busur Naik.
Puncak lingkaran itu sama dengan akal pertama, sementara dasarnya sesuai
dengan tubuh lahiriah manusia. Manusia sebagai manusia mulai naik dari titik
dasar lingkaran jika mereka sampai pada akhir perjalanan mereka, mereka
bergabung dengan Akal Aktif, yang identik dengan akal pertama.
Ada dua perbedaan mendasar antara manusia dengan semua makhluk
lainnya. Yang pertama adalah bahwa manusia merupakan totalitas, sementara
makhluk-makhluk lainnya adalah bagian dari totalitas. Manusia
memanifestasikan seluruh sifat makrokosmos, sementara makhluk-makhluk
lainnya memanifestasikan sebagian sifat dengan mengesampingkan yang
lainnya. Manusia diciptakan dalam citra Allah, sementara makhluk-makhluk
lainnya hanyalah sebagian bentuk dan konfigurasi kualitas-kualitas Allah.
Hakikat utama manusia tidak diketahui. Mereka harus mengalami
proses yang bisa membantu mereka menjadi apa yang seharusnya. Pada
mulanya, semua manusia memiliki potensialitas tak terbatas yang sama
karena mereka adalah bentuk bentuk Ilahi. Nasib utama dari setiap manusia
“dibatasi“ hanya oleh sumber bentuk Ilahi, yakni bahwa manusia
didefinisikan oleh fakta bahwa mereka terbuka lebar-lebar menuju Zat Maha
Tak Terbatas.
Kemudian Allah mulai menciptakan seorang khalifah atau wakil bagi
diri-Nya dari tanah liat kering. Dan kemudian ia tiupkan sebagian dari ruh-

8
Nya sendiri pada acuan tanah liat itu dan kemudian lahirlah manusia.
Manusia tersebut lahir dari dua hakikat yang berbeda; tanah bumi dan ruh
suci dalam bahasa manusia, simbol kerendahan dan kenistaan dan kekotoran
adalah lumpur. Dan tidak ada suatu apapun di dalam alam yang lebih rendah
dan hina dari pada lumpur, dari mana manusia telah diciptakan.
Evolusi manusia memang berbeda daripada evolusi hewan atau
organisme-organisme lain yang lebih rendah. Kalau sebelum manusia evolusi
itu bersifat biologis atau genetis, maka dalam perkembangan manusia medan
evolusi yang utama adalah mental dan sosial, atau kulturil. Sejak munculnya
manusia-manusia Cro Magnon, kira-kira 30.000 tahun yang lalu, dapatlah
dikatakan bahwa bentuk dasar tubuh manusia tidak banyak mengalami
perubahan lagi. Misalnya dalam hal isi otak, volume sekitar 1500 cm³ kurang
lebih tetap dipertahankan hingga sekarang.
Demikianlah, yang menjadikan manusia makhluk dominan di bumi ini
bukanlah sifat-sifat jasmaninya, melainkan penemuannya dan
penggarapannyia terhadap suatu evolusi yag lain dari yang ditempuh hewan.
Manusia mampu menyesuaikan lingkungannya, yaitu alam, demi mendukung
hidupnya.
Begitulah Adam beserta anak cucunya yang dilebihkan oleh Allah dari
kebanyakan makhluk-makhluk cipataan-Nya, akan tetapi keberadaannya di
dunia penuh rintangan dan ujian dalam menghadapi kemelut perkembangan
duniawi yang semakin menggelitik nafsu dan hati, disebarluaskan oleh
Syaithân di setiap pelosok penjuru dunia.
Penciptaan langsung dari tidak ada tidak akan menimbulkan akibat
perubahan pada dzat Allah karena irâdah Allah yang kadim memang
menghendaki adanya penciptaan yang seperti itu. Dengan irâdah yang qadîm
itu, demikian pernyataan Imam al Ghazali, Allah dapat menentukan waktu
dimana Allah akan menjadikan atau tidak menjadikan alam ini, dan sesuai
dengan ketentuan itu, alam ini ada atau tidak ada.

9
2.6 Unsur-unsur Pengetahuan Manusia
Di dalam filsafat, pembahasan tentang pengetahuan manusia tidak
kurang pentingnya dari pada pembahasan tentang perbuatan manusia.
Pembahasan demikian disebut epistemologi. Membahas pengetahuan menjadi
penting karena, pengetahuan adalah hasil aktivitas substansi esensial manusia.
Pengetahuan juga penting karena, ia merupakan keharusan yang mengawali
perbuatan. Perbuatan tidak dapat dibayangkan terwujud tanpa didahului oleh
pengetahuan, baik pengetahuan dipandang sebagai sebab maupun sebagai
kondisi.
Menurut al Ghazali di dalam Ma’ârij al Quds menjelaskan arti
mengetahui (al Idrâk) sebagai menangkap contoh (misal) realitas objektif.
Bukan realitas objektifnya yang ditangkap, karena realitas objektif tidak
mungkin berpindah ke dalam daya tangkap manusia. Kalaupun dikatakan
yang ditangkap itu realitas, ia harus dibedakan dari realitas objektif; ia adalah
subjektif. Karena itu, yang dinamakan al mahsûs (hasil tangkapan indera
manusia) bukanlah objek yang ada di luar manusia, melainkan gambar objek
itu. Demikian juga yang di sebut al ma’qûl (hasil tangkapan akal) bukan
objek di luar akal, melainkan hakikat objek itu setelah diabstraksi dari segala
aksidens dan atribut-atribut tambahan lainnya. Hasil tangkapan indera lebih
sederhana dari pada hasil tangkapan akal. Ini berarti bahwa pengetahuan
tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang diketahui itu. Kegiatan mengetahui
melibatkan tiga hal, yaitu: subjek yang mengetahui, objek yang diketahui, dan
pengetahuan (realitas subjektif). Kegiatan mengetahui adalah proses
abstraksi. Suatu objek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens
dan atribut-atribut tambahan yang menyelubungi hakikatnya. Ketika subjek
berhubungan dengan objek yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan
ukuran (qadar), cara ( kayf), tempat dan situasi.
Dengan adanya al-dzauq, akal tidaklah hilang dari sarana pengetahuan.
Kedudukan akal dibatasi pada kegiatan menangkap pengetahuan dengan jalan
berpikir dan kelihatannya, objeknya dibatasi pada pengetahuan yang
berkaitan dengan fenomena.

10
Menurut Ibn Sina (w. 1037), sebagaimana dikutip oleh Mehdi Ha’iri
Yazdi, bahwa dalam analisisnya yang terkenal mengenai “emanasi” (Qâ’idah
al –Wâhid), adalah sementara Akal Aktif tetap berada dalam tatanan wujud
yaag terpisah-transenden, tak berubah, dan mutlak tak terusakkan- ia
memunculkan dalam pikiran manusia semua bentuk pengetahuan dari
potensialitas total menjadi aktualitas gradual. Dalam komentarnya mengenai
Surat an-Nur dalam al Qur’an, dan analisisnya mengenai simbolisme ayat ini,
Ibnu Sina menyatakan sebagaimana yang telah dikutip oleh Mehdi Ha’iri
Yazdi:
“Diantara kemampuan-kemampuan (intelektual) jiwa menyangkut
kebutuhan(nya) untuk mentransendensi substansinya (dari akal potensial) ke
akal aktual adalah (sebagai berikut): pertama, kemampuan reseptivitas
(Quwwat al isti’dâdiyyah) ke arah hal-hal bisa terpahami yang disebut oleh
sebagian filosof sebagai akal ketika wujud-wujud terpahami yang disebut
oleh sebagian filosof sebagai akal material. Ini adalah ceruk (misykât)
(cahaya-cahaya).
Selanjutnya adalah kemampuan lain yang diperoleh oleh akal ketika
wujud-wujud terpahami primer muncul di dalamnya. Munculnya wujud-
wujud primer ini merupakan landasan yang di atasnya wujudwujud sekunder
bisa didapatkan (proses pemerolehan ini) dimunculkan entah melalui
kontemplasi, yang disebut pohon zaitun, jika pikiran tidak cukup tajam, atau
dengan dugaan yang disebut bahan bakar (minyak dari pohon zaitun), jika
pikiran benar-benar cerdik (dalam hal yang manapun) kemampuan yang
disebut akal habitual ini sama transparannya dengan kaca. Kemuliaan
tertinggi dari kemampuan ini adalah kemampuan Ilahi yang minyaknya
seolah-olah menyala sendiri tanpa disentuh api. Kemudian, datanglah kepada
akal itu suatu kekuatan dan kesempurna: kesempurnaan ini sangat penting
bagi kemampuan untuk mencerap hal-hal yang terpahami dalam suatu aksi
yang sedemikian rupa sehingga pikiran bisa mencerap mereka selagi
tergambar dalam pikiran. Ini adalah cahaya diatas cahaya.
Dalam analisis ini, sebagaimana yang dinyatakan dengan jelas, fokus
penafsirannya adalah membebaskan pikiran manusia sepenuhnya dari

11
pemilikan aktivitas inisial jenis apa pun dengan menisbatkan semua operasi
intelektual kepada Akal Aktif yang terpisah itu. Ibnu Sina, dalam mengutip
ungkapan Al-Quran menyebut akal yang terpisah ini sebagai “api” (nar).
Menurut Fritjof Capra, dalam paradigma lama deskripsi-deskripsi
ilmiah mengenai epistemologi atau sumber ilmu pengetahuan dipercayai
bersifat objektif, yakni bebas dari pengamatnya dan dari proses mengetahui.
Dalam paradigma baru dipercayai bahwa epistemologi, pemahaman atas
proses pengetahuan, harus tercakup secara eksplisit dalam pemaparan
fenomena alamiah.
Sedangkan fenomelogi merupakan tuntutan terhadap pengetahuan
subjektif untuk menetapkan kondisi dan posisi pengetahuan manusia ke arah
pengetahuan yang objektif.Salah satu tokoh filsafat Jerman, Habermas,
menilai bahwa fenomenologi lebih mengukuhkan dasar yang kuat bagi
terciptanya emansipasi intelektual manusia. Karena fenemenologi lebih
memandang dunia (labenswelt) sebagai objek yag harus dipahami dan harus
terlibat menjadi stimulus yang mempengaruhi setiap keputusan manusia.
Artinya, secara mendasar suatu kemampuan ‘mengetahui’ yang dilakukan
manusia (capable before trusting), pastilah diperoleh melalui kesadaran akan
keterlibatan dunianya. Dia menegaskan, “hanya menurut dasar kriteria yang
dapat dipercaya, kesahihan keputusan kita dapat ditentukan; apakah kita
yakin dengan pengetahuan kita? Jika ‘kritik tersebut dengan sendirinya harus
mengklaim diri menjadi sebuah pengetahuan-yang semata-mata transenden,
sejauh manakah kemampuan kognitif itu dapat dikatakan kritis?”
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa tidak mungkin pengetahuan
manusia diperoleh hanya melalui berbagai pengetahuan pikiran. Lebih dari
itu, pengalaman pengetahuan manusia juga diperoleh melalui penilaian
terhadap dunia dan lingkungan sosialnya. Pada posisi ini, Habermas
mengkritik keterbatasan epistemologi Kant.
Secara umum, pengetahuan manusia, menurut Bouyer, bermula dari
suatu kebangkitan kognisi yang diterima secara luas dan umum, yang dapat
disebut sebagai “pengetahuan awal mengenai realitas kosmis” (the initial
knowledge of cosmic reality). Pengetahuan ini mengalami perkembangan

12
dalam beberapa tahap. Tahap pertama pengetahuan ini adalah pengetahuan
mitis yang berkembang dari akar pengalaman individual dan dan kolektif
akan dunia (atau lebih tepatnya, dari pengalaman individual dalam komunitas
manusia). Pengetahuan mitis ini kemudian disaring oleh logos lewat
penalaran diskursif. Selanjutnya lewat pergeseran misterius yang mencakup
baik mitos maupun logos, muncul pengetahuan atas dasar pewahyuan.
Menurut Bouyer, meskipun pengetahuan wahyu dan sains berkembang
secara terpisah dari penngetahuan mitis, keduanya selalu melekat pada yang
terakhir ini. Atas dasar mitoslah pengetahuan sains dan wahyu membuka diri,
masing-masing melalui akal budi kritis dan inspirasi misterius. Keduanya
mengubah kesadaran kita akan dunia dan sekaligus kesadaran kita sebagai
pengada-pengada di dunia. Akan tetapi, tidak satupun dari keduanya yang
dapat secara total mengabaikan kesadaran mitis tanpa mengalami perpecahan
(disintegrasi).
Semua pengetahuan manusia mengenai realitas, baik yang berupa
mitos, sains, maupun wahyu, menurut Bouyer, memiliki beberapa sifat.
Pertama, pengetahuan manusia, selain bersifat individual, juga bersifat sosial
yang dinyatakan dalam bentuk tradisi. Kedua, pengetahuan di peroleh
manusia lewat kerja sinergis indra-indra dan akal budinya. Ketiga,
pengetahuan manusia mengalami proses sintetis terus-menerus sehingga
manusia semakin memahami dunia sebagai satu kesatuan yang utuh.
Keempat, pengetahuan manusia pada dasarnya bersifat simbolis, dalam arti
bahwa pengetahuan itu memusatkan diri pada salah satu aspek dari realitas
yang menarik perhatian manusia.

2.7 Proses Penciptaan Alam


Pandangan tentang proses jagad raya adalah menjadi topik sentral yang
dikemukakan oleh para kosmolog sejak masa klasik hingga modern. Berbagai
pendapat tersebut hingga kini terbagi menjadi beberapa poros berbeda.
Pertama, dari kaum Stoa yang menyatakan bahwa di dalam wujud ini yang
ada hanyalah materi. Tiap-tiap wujud tersusun dari dua unsur, pasif dan aktif.
Unsur aktif adalah kekuatan yang memberi gerak dan semua bentuk pada

13
materi. Kekuatan tersebut adalah api, lalu api bergerak dan sebagian berubah
jadi udara, sebagian berubah jadi air dan sebagian lagi berubah jadi debu.
Segala sesuatu akan kembali menjadi api dan kembali lagi seperti semula.
Tuhan adalah alam itu sendiri dan alam ini adalah jasad Tuhan.
Kedua, para ahli kosmos kuno menganggap bahwa alam bagaikan
bulatan (bola) raksasa. Berpusat di bumi dan sekitarnya hingga ke orbit bulan
sebagai batas alam bumi. Sedang apa yang berada di atas bulan sampai
kebulatan langit. Pertama adalah alam langit. Pandangan ini dikemukakan
aoleh Aristoteles (384-322 SM)45. Bola raksasa sebagai tempat
menempelnya bintang-bintang disebut langit dengan putarannya selama 24
jam.
Pendapat lain (ketiga) bahwa alam ini diciptakan Tuhan baru muncul
pada aliran Neo-Platonisme yang menggambarkan alam sebagai limpahan
Dzat-Nya. yang pertama keluar ialah akal yag menarik dua fungsi yakni
memikirkan Tuhan dan dirinya. Dari akal tersebut keluarlah jiwa alam dan
memunculkan jiwa-jiwa manusia dan tabiat. Jiwa alam ini termasuk dalam
alam ruhani dan dekat dengan alam inderawi. Ia mejadi perantara antara alam
inderawi dan akal.
Keempat, pandangan yang menyatakan bahwa alam semesta dimanapun
dan bagaimanapun selalu sama. Berdasarkan prinsip tersebut, alam semesta
terjadi pada suatu saat tertentu yang telah lalu dan segala sesuatu selalu tetap
sama, walaupun galaksi saling bergerak menjauhi satu sama lain. Teori ini
ditunjang oleh kenyataan bahwa galaksi baru mempunyai jumlah yang
sebanding dengan galaksi lama. Dengan demikian teori ini secara ringkas
menyatakan bahwa tiap-tiap galaksi lahir, tumbuh, menjadi tua dan akhirnya
mati.
Kelima, pada abad 17, Isaac Newton (1642-1727) berpendirian bahwa
keadaan alam semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya (tanpa
awal dan tanpa akhir). Disebut tidak terbatas dan besarnya tak terhingga,
sebab kalau ia terbatas, bintang dan galaksi yang ada di tepi akan merasakan
gaya tarik grafitasi dari satu sisi saja, yaitu ke arah pusat alam semesta,
sehingga lama kelamaan benda-benda langit tersebut akan mengumpul pada

14
satu titik. Namun kecenderungan semacam itu tidak pernah nampak pada
pengamatan.
Pendapat terakhir (keenam) muncul kemudian pada tahun 1927, George
Lemaitre (1894-1966) untuk pertama kalinya merumuskan teori “big bang”
(BB) yang kemudian didukung George Gamao (1904-1968) dengan dasar
pembuktian nyata pada tahun 1948. teori ini menjadi pegangan penting
menjelaskan asal usul universum. Bahwa unversum lahir dari suatu ledakan
dahsyat 150 milyar tahun lalu yang berasal dari materi dalam keadaan
superkerapatan dan superpanas. Sampai sekarang dalam menjelaskan
kejadian alam semesta, para kosmolog masih berpegangan pada teori “BB”.
Pecahan inilah yang akan menjadi bintang-bintang dan galaksi. Karena
pemuaian alam, galaksi bergerrak saling menjauhi dan akan terus bergerak.
Pandngan ini diperkuat oleh observasi radio-astronomi Arno Penzias (L.
1933) pemenang nobel 1978 dan Robert Wilson (L 1936) pada tahun 1964
mengungkapakan adanya gelombang mikro yang meluncur ke bumi dari
segala penjuru alam yang tersisa dari peristiwa “BB” pada saat yang sama
Bob Dicke L (1916) menemukan gelombang radiasi serupa kilatan
peninggalan era “BB” yang terdeteksi melalui radiasi gelombang mikro
bersuhu -2700 C yang sampai saat ini membanjiri kosmos.
Sedangkan dalam al Qur’an, berkenaan dengan sains sekarang ini, yang
mana telah dikaji oleh para ilmuan, mereka telah dapat mengidentifikasi enam
tahap proses alam semeta sebagaimana diillustrasikan oleh al Qur’an sendiri,
yaitu: Tahap pertama, sejak penciptaan sampai suhu kosmos menjadi seratus
juta-juta-juta-juta-juta derajat. Dalam tahap ini seluruh kosmos yang terdiri
dari ruang, materi, dan radiasi telah ditentukan interaksinya, sifat serta
kelakuannya.
Tahap kedua, sejak berakhirnya tahap pertama sampai suhu kosmos
turun hingga mencapai seratus ribu juta derajat. Kerapatan materi dalam alam
semesta adalah empat juga ton tiap liter. Dalam tahap ini bahan penyusun
nuklir yaitu penyusun inti-inti atom telah tertentu jumlahnya.
Tahap ketiga, sejak berakhirnya tahap kedua sampai suhu kosmos
tinggal seribu juta derajat dan kerapatan materinya tinggal dua puluh kilo

15
gram tiiap liter. Dalam tahap ini muatan kelissstrikan di alam semesta telah
diitetapkan.
Tahap keempat, sejak berakhirnya tahap ketiga sampai suhu kosmos
beradda dibawah seeratus juta deerajat. Kerapatan materinya tinggal
sepersepuluh kilo gram tiiap liiiter. Dalam tahap ini telah dimuali penyusunan
inti-inti atom, kecuali itu, pada waktu itu kemungkinan terjadinya
pengelomkpokan-pengelompokan materi, ssebagai akibat dari adanay ketidak
seragaman lokal, yag nantinya akan berevolusi menjadi galaksi-galasksi.
Tahap kelima, sejak berakhirnya tahap keempat smapai mulainya
terbentuk atom-atom, sehingga elektron bebas dalam kosmos menjadi sangat
berkurang jumlahnya. Dalam tahap ini cahaya mengisi seluruh ruang kosmos.
Tahap keenam, ketika kabut materi yang terdiri dari atom atom mulai
mengumpul dan membentuk bintang-bintang dan galaksi. Diantara bintagn-
bintang ini terdapat matahari yang diputari oleh bumi dan planet-planet.

2.8 Unsur-unsur dan Hukum Alam


Ide tentang atom sebagai struktur yang rijid (kaku), memenuhi ruang,
seperti yang telah kita lihat, menghadapi kesulitan segera sesudah usaha
dilakukan untuk menggambarkan proses pertubrukan, selaras dengan
hipotesis fundamental dan hukum mekanis. Daya yang diperlukan untuk
mendorong atom-atom terpisah setelah bertubrukan, tidak dapat dideduksikan
dari konsep Substansi sebagai sesuatu yang menempati ruuang, atau dari
sifatnya yang tidak tertembus.
Segala bentuk yang tidak berubah, yang dianggap sebagai dasar semua
perubahan dalam alam-wahana yang identik dengan dirinya sendiri dengan
ciri khas yang dapat berubah dari semua badan yang dapat dicapai oleh
persepsi indera, dikenal sebagai Substansi. Kini, entitas apa yang identik
dengan dirinya sendiri, dan konsep apa yang diperlukan untuk
membentuknya? Setiap penunjukkan yang lebih dekat lagi-lagi hanyalah
pernyataan tentang atribut. Oleh karena itu, jika dikehendaki bahwa substansi
itu seharusnya bukan merupakan sesuatu yag merupakan ketidakmampuan
tampil intuitif dan yang tidak dapat dispesifikasikan lebih jauh dan yang

16
seharusnya tetap tidak hanya sebagai postulat, titik perhentian akhir
pengetahuan, namun seharusnya merupakan sarana riil untuk menjelaskan
sesuatu, maka esensial untuk menspesifikasikan unsure fundamentalnya.
Karena secara jelas, sesuatu yang unsurnya tidak diketahui tidak dapat
digunakan untuk penjelasan. Selain itu, unsur atau atribut ini harus bersifat
tidak berubah, konstan, dan identik dengan dirinya sendiri, karena fungsinya
adalah untuk mengungkapkan hakikat Substansi.
Kemudian apa yang tetap tidak berubah? Para filsuf Yunani, Leucippus
dan Democritus, setelah terpaksa melepaskan semua kualitas inderawi
“subjektif” seperti merah, panas, manis, dan sebagainya wajib untuk
memandang “memenuhi atau menempati ruang” sebagai satusatunya kualitas
yang tersisa pada materi.
Dalam kaitannya dengan alam semesta, Ward (2002) menyatakan
bahwa semesta secara keseluruhan mungkin saja terkait dengan proses
entropi, yang bergerak menuju kekacauan akhir. Apabila semesta memiliki
tujuan, maka tujuan itu tidak terletak pada titik akhir fisiknya, melainkan
pada penciptaan dan kontemplasi tahap-tahap yang berharga dalam proses
keberadaannya. Jika tahap-tahap itu ada maka sekalipun akan melenyapkan
dan hilang, dan memang akan begitu, tujuan semesta tetap akan tercapai.
Keseimbangan dan kekuatan yang sangat persis dari gaya-gaya gravitasi,
elektromagnet, dan gaya nuklir dasar harus sedemikian persisnya, apabila
kehidupan yang sadar mau mewujud.
Konstanta-konstanta dasar alam harus sedemikian tepatnya untuk dapat
menghasilkan kehidupan. Hal ini, menurut Atkins, “terasa seperti mukjizat
saja laiknya”. Perkataan seperti itu hanya tepat apabila Tuhan Yang Maha
Bijak memang ingin menciptakan semesta yang dapat melahirkan kehidupan,
jika segalanya memang mempunyai tujuan. Namun hal itu tidak tepat jika
segalanya sekedar kebetulan. Proses entropi, bagaimanapun juga, adalah apa
yang memberi arah temporal pada semesta, dan memebedakan masa lampau
dan masa depan. Dengan demikian, proses itu juga memiliki tujuan yang
jelas.

17
Berdasarkan uraian di atas, Ward telah menolak hipotesis bahwa
semesta berasal dari kebetulan dan hipotesis bahwa semesta terbentuk secara
niscaya. Hipotesis yang terakhir adalah bahwa semesta diciptakan melalui
pilihan bebas dan cerdas. Berdasarkan hipotesis ini ada hal ketiga yang
menghubungkan antara yang abadi dan temporal, antara yang konseptual dan
yang fisik, antara yang niscaya dan yang kontingen.
Menurut Ward, fakta bahwa unsur-unsur materi semesta tunduk pada
hukum-hukum yang umum masih merupakan misteri. Apabila segalanya
memang berlangsung acak, sekedar kebetulan murni, dapat diperkirakan
bahwa keajegan yang diperlihatkan oleh hukum-hukum fisika suatu waktu
akan berubah dan lenyap. Dalam semesta segala sesuatu dapat terjadi,
hukum-hukum dasar fisika pada suaatu waktu dapat saja tidak berlaku lagi.
Lalu, mengapa zarah-zarah materi tetap tunduk dan patuh pada hukum akar
kuadrat dari gravitasi, atau mengapa interaksi antara zarah-zarah nuklir
sepenuhnya berjalan sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan oleh
persamaan Schrodinger? Menurut Newton, alam bertindak sesuai dengan
hukum-hukum impersonal yang dapat diekspresikan secara matematis dan
secara operasional menentukan segalanya.
Tampaklah bahwa alam semesta menyebabkan sesuatu dibangun secara
bertahap atau berevolusi sesuai dengan hukum-hukum yang terdefinisikan
secara baik. Hukum-hukum ini mungkin atau mungkin tidak ditasbihkan oleh
Tuhan, namun tampaknya bahwa kita akan dapat menemukan dan memahami
hukum-hukum itu. Dengan kenyataan tersebut, apakah tidak masuk akal
untuk mengharapkan bahwa hukum yang sama atau serupa yang diyakini
berlaku pada permulaan alam semesta? Dalam teori relativitas umum klasik,
permulaan alam semesta harus berupa sebuah singularitas dari kerapatan yang
tidak terhingga dalam kelukan ruang waktu. Dalam kondisi tersebut, seluruh
hukum fisika yang kita ketahui akan hancur dan runtuh.
Alam semesta dari keadaan yang rata dan teratur. Ini akan mengantar
kita pada penunjuk arah waktu Thermodinamika dan penunjuk arah kosmik
yang terdefinisikan dengan baik, sebagaimana kita amati.

18
Atom yang semula diduga tak dapat dibagi-bagi lagi itu ternyata masih
bisa dibagi menjadi dua, yakni proton dan elektron. Seperti bumi dan
matahari; seperti satu tata surya lainnya; seperti satu universe dengan
universe yang lain di alam raya ini diikat oleh kodrat Tolak dan Tarik
(repultion dan atraction), yang boleh dikatakan masih termasuk jenisnya
kodrat tesis dan anti tesis dalam dialektika, maka demikian juga dua dunia
terkecil taadi, yaitu proton dan elektron tadi, diikat oleh kodrat Tolak dan
Tarik menjadi satu atom atau sintesis atom. Ringkasnya sintesis dari proton
dan elektron adalah atom; sintesis atom dan atom ialah molekul; sintesis
molekul dan molekul yakni badan; sintesis dari bumi dan matahari adalah tata
surya, sintesis dari satu tata surya dengan tata surya lainnya serta akhirnya
satu ‘universe’ dengan ‘universe’ lainnya, ialah alam raya kita.

2.9 Hubungan Manusia dan Alam


Islam sebagai agama wahyu merupakan kerangka acuan paripurna
untuk seluruh aspek kehidupan bagi setiap muslim. Pada dasarnya setiap
muslim yang memahami al Qur’an dan Sunnah dengan tetap dan benar,
meyakini bahwa kedua sumber tersebut memberikan skema kehidupan yang
sangat jelas, maka masyarakat yang harus dibangun oleh setiap muslim
adalah masyarakat yang tunduk pada kehendak Ilahi, sehingga dapat
diklasifiksikan tentang yang baik dan yang buruk juga tentang yang benar dan
yang salah, yang boleh dan yang terlarang.
Pada hakikatnya syari’at Islam bertujuan untuk membangun kehidupan
manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan (ma’rufat), dan membersihkannya
dari berbagai kejahatan (munkarât). Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala
kebajikan dan seluruh kebaikan yang diterima oleh nurani manusia sepanjang
masa, sedang munkarât menunjuk pada setiap kejahatan dan keburukan yang
selalu bertentangan dengan nurani manusia. Syari’at Islam bukan hanya
menunjukkan apa yang termasuk dalam ma’rufat dan apa yag tergolong
munkarat, melainkan juga menentukan skema kehidupan untuk
menumbuhkan ma’rufat dan apa yang tergolong munkarât tidak merancukan
kehidupan manusia.

19
Oleh karena itu, menurut Islam, manusia merupakan makhluk sosial
dan politik, kesejahteraannya dalam segala hal terpaut dengan kesejahteraan
masyarakat. Organisasi individu yang tertinggi adalah masyarakat. Islam
mewajibkan untuk membentuk masyarakat dan mengusulkan kepada dunia
gagasan kemasyarakatan yang praktis. Dari pada itu manusia harus mengerti
tentang lingkungan sekitar dan memanfaatkan sesuai jalan syari’at yang telah
ditentukan.
Al Qur’an dan as Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi
hidupnya dengan bekerja untuk mempetahankan kehidupannya, yaitu dengan
memanfaatkan apa yang telah Allah ciptakan baginya di muka bumi ini. Dari
pandangan Islam, hanya pekerjaan baik dan amal shaleh yang akan
mendapatkan pahala.
Disamping itu manusia sebagai makhluk yang cerdas akan mampu
melaksanaan kegiatan sehari-harinya. Tetapi kadangkala ia juga memerlukan
bantuan orang lain. Sebenarnya alam tercipta untuk dimanfaatkan oleh
manusia. Karena manusia adalah makhluk termulia di bumi ini, maka segala
sesuatu memang disediakan untuknya. Diantara tugas manusia, yaitu
memanfaatkan alam dan tenaga yang dikandungnya guna memenuhi
keperluan dan kebutuhannya dan juga teman-temannya.
Hubungan manusia terhadap alam adalah sebagai pemanfaat, dan bukan
sebagai saingan. Tidak seharusnya manusia mengeksploitasi alam. Al Quran
(2: 29) mengatakan “Ia yang menciptakan bagimu apa yang ada di bumi
semuanya”
Hubungan keduanya menurut ajaran al Qur’an maupun as Sunnah
merupakan hubungan yang dibingkai dengan aqidah, yakni konsep
kemakhlukan yang sama sama tunduk dan patuh kepada al Khâliq, yang
diatur dan akhirnya semua kembali kepadaNya. Dalam konsep kemakhlukan
ini manusia memperoleh konsesi dari Yang Maha Penciptanya untuk
memperlakukan alam sekitarnya dengan dua macam tujuan:
1. al Intifâ’ (pendayagunaan), baik dalam arti mengkonsumsi langsung
maupun dalam arti memproduksi.

20
2. al I’tibâr (mengambil pelajaran) tehadap fenomena yang terjadi dari
hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya, maupun hubungan
antara alam itu sendiri (ekosistem), baik yang berakibat konstruktif
(ishlâh) maupun yan berakibat destruktif (ifsâd).

Dalam sejarah Islam, pada waktu terjadi pembebasan kota Makkah


(Fathu Makkah), kekhawatiran akan terjadinya tindakan-tindakan yang
merusak lingkungan alam di tanah haram itu dengan cepat diantisipasi oleh
Nabi SAW. Beliau melarang perburuan binatang dan mencabuti rerumputan
di tanah haram. Kebijakan ini sangat relevan dengan kondisi alam di tanah
haram yang miskin lingkungan nabati dan hewani. Bahkan sampai
sekarangpun perlindugan flora dan fauna disana masih terus berlaku, dan
dikaitkan dengan prinsip ibadah haji atau umrah. Dapat dibayangkan
seandainya tidak ada perlindungan terhadap kehidupan flora dan fauna di
tanah haram yang menjadi pusat kegiatan haji itu, kemudian setiap orang
jama’ah haji yang jumlahnya jutaan orang mengambil atau memotong
tanaman yang ada disana masing-masing satu potong saja dengan dalih untuk
souvenir atau obat, kemungkinan dalam satu musim haji saja sudah cukup
untuk merusak lingkungan alam, khususnya lingkungan hidup flora dan fauna
juga manusia disana. Dan hal yang demikian tidak dikehendaki oleh Islam.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Manusia hidup karena adanya, sementara itu alam semesta akan hidup
dan berkembang manakala manusia mau melestarikan alam semesta dan
bukan merusaknya. Dengan demikian manusia dan alam semesta tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupannya tidak mungkin tidak
berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan, setiap hari manusia melihat dan
menggunakan alam semesta, bahkan kadang kala disadari atau tidak manusia
merusak alam semesta.
Secara sederhana hubungan manusia dan alam semesta adalah sebagai
perilaku kebudayaan dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan
manusia. Dalam ilmu sosiologi manusia dan alam semesta dinilai sebagai dui
tunggal yang berarti walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan
satu kesatuan. Allah menciptakan manusia dan alam semesta maka alam
semesta mengatur kehidupan manusia sesuai dengannya.

3.2 Saran
Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, oleh karena itu penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini sangat jauh dari kata
sempurna. Karenanya penulis menerima kritikan dan saran yang membangun
untuk kebaikan.

22
DAFTRAR PUSTAKA

Mansoer, Hamdan. 2004. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam


Diperguruan Tinggi Umum. Jakarta: DIKTI
Noor Syam, Mohamad. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Seni Soenoto, Herwindra Aiko. 1991. Abad Kejiwaan: Bunga Rampai
Pembabaran. Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai