Anda di halaman 1dari 4

Macet di Jakarta? Sudah Biasa!

Jakarta, kota metropolitan yang terletak di sebelah utara pulau Jawa. Kota yang
luasnya sedikit lebih besar dari negara Singapura ini memiliki bentang alam yang unik.
Di dominasi bangunan beton yang berdiri, Jakarta punya laut di sisi utaranya, ada hutan
mangrove, ada banyak danau, bahkan di Jakarta memiliki “gunung”, Gunung Sahari.
Penduduknya pun tak kalah unik dan bervariasi. Ada lebih dari 10 juta orang yang tinggal
di Jakarta, dari berbagai suku, ras, agama, dan golongan. Sangking bervariasinya,
Jakarta bisa dibilang sebagai “Miniatur Indonesia”.

Jakarta bukan hanya tempat tinggal saja, tapi juga tempat bekerja,tempat
menuntut ilmu dan tempat wisata bagi banyak orang yang tinggal di luar Jakarta. Ada
sekitar 47,5 juta orang yang keluar masuk Jakarta setiap harinya. Tentu saja ada
masalah yang menghantui Kota Jakarta. Macet pada hari-hari kerja adalah masalah
yang dianggap wajar karena disaat hari kerja, setumpuk kendaraan di Jakarta baik roda
dua maupun roda empat, banyak yang hanya berisi satu orang saja.

Beruntungnya Jakarta, punya berbagai alat transportasi massal sebagai


penunjang warga yang beraktivitas di Jakarta. Dari angkot, bajaj, taksi, ojek, ojek online,
taksi online, Transjakarta, KRL, bahkan becak dan ojek sepeda pun masih bisa dijumpai.
Tak tanggung-tanggung, biaya perjalanan menggunakan alat transportasi masal ini
relatif murah dan waktu tempuh ke tujuan

A. Macet hampir di semua jalan


Sudah jelas, sebagai ibukota Indonesia, Jakarta memiliki transportasi yang
bervariasi, tetapi tetap saja jalan-jalan di Jakarta selalu didominasi warna merah ketika
diperiksa di Google Maps terutama saat rush hour. Wajar saja, karena tak sedikit juga
yang menggunakan kendaraan pribadinya untuk beraktivitas di Jakarta, dari sepeda
hingga mobil.

Di berbagai tempat di Jakarta, sedang ada banyak pengerjaan konstruksi yang


sedang dibangun bersamaan, pembangunan jalan misalnya, hal inilah salah satu
penyebab kemacetan di Jakarta. Sudah sesak karena ramainya kendaraan, ditambah
juga dengan penyempitan jalan di sebagian tempat. Hal ini yang dialami Nasrul yang
menjadi mahasiswa di UNJ setiap berangkat dan pulang kuliah menggunakan motor.

Nasrul yang tinggal di Depok, setiap harinya ketika berangkat dan pulang kuliah
selalu melewati ruas Jalan D.I. Panjaitan, Kebon Nanas. Pembangunan jalan tol
becakayu yang belum selesai ini membuat Nasrul harus menghadapi kemacetan ketika
dia menuju ke Jakarta. Dalam situasi normal, dan jalan lancar, waktu tempuh yang
dibutuhkan dari Depok menuju Kampus UNJ Rawamangun, Nasrul hanya membutuhkan
waktu sekitar 30 hingga 60 menit. Jika macet, waktu tempuh yang dibutuhkan bisa lebih
lama, yaitu sekitar 90 menit bahkan hingga 180 menit perjalanan.

Nasrul pun berangkat dari rumah pukul 06.00 pagi, jika ada kuliah pagi. Waktu
tempuh yang dibutuhkan sekitar 60 menit, sudah termasuk macet “sedikit” di dalamnya.
Selain Kebon Nanas, titik macet yang Nasrul lewati adalah Pasar Induk Kramat Jati.
Adanya pasar tumpah pada pagi hari, membuatnya harus berada diantara ramainya
kendaraan yang merayap karena kemacetan ini.

Salah satu kasus kemacetan yang parah pada awal bulan April ini terjadi di
kawasan Kebon Nanas. Kontur Jalanan yang menuju ke arah utara, tidak rata, dan agak
menyempit semenjak ada proyek tol becakayu. Adanya perbaikan jalan pada awal bulan
April 2018, menyebabkan kemacetan yang panjang.

Dari Cililitan menuju Rawamangun yang seharusnya bisa ditempuh sekitar 30


menit menggunakan motor dan bus transjakarta, diperpanjang otomatis hingga menjadi
2 jam perjalanan akibat adanya penyempitan jalan karena perbaikan. Begitu juga di jalan
tol Ir. Wiyoto Wiyono. Kemacetan di jalan tol tersebut tidaklah berbeda dengan
kemacetan yang berada di bawah jalan tol.

Ruas jalan dari arah Tanjung Priok menuju Rawamangun juga tak lepas dari
jeratan kemacetan. Kendaraan dari arah Tanjung Priok, tidak hanya didominasi
kendaraan pribadi, tetapi ditambah juga Truk Transformer yang turut meramaikan
macetnya jalanan ke arah Rawamangun. Rekayasa lalu lintas yang buruk di daerah
Kelapa Gading pun turut menyukseskan antrian panjang kendaraan yang bertujuan ke
arah pusat Jakarta. Beruntungnya, kemacetan yang ditemui tidak separah kemacetan
yang ada di selatan Jakarta.

Berbeda dengan dari arah Cililitan, waktu tempuh yang diperlukan dari arah
Tanjung Priok ke arah Rawamangun cenderung lebih cepat. Jalur transjakarta dari arah
Tanjung Priok lebih steril dan lebih panjang dibandingkan dengan jalur transjakarta radi
arah Cililitan. Sehingga waktu tempuh yang diperlukan untuk mencapai Rawamangun
dari Tanjung Priok menggunakan motor, mobil, dan transjakarta adalah sekitar 30
sampai 60 menit, termasuk juga mobil-mobil yang melintas di jalan tol Ir. Wiyoto Wiyono.

B. Tak mau mengalah


Yang tidak boleh dilupakan adalah pelanggaran lalu lintas. Pelanggaran lalu
lintas inilah biang kerok kemacetan. Jika ada satu pelanggar, akan ada 100 orang di
belakangnya yang mengikuti. Akibatnya lalu lintas kacau tidak karuan. Ada motor yang
sein kanan belok kiri, ada mobil yang tidak konsisten di lajurnya, ada juga ojek online
yang lawan arus ketika macet untuk memangkas waktu.

Jakarta sering dibilang keras, apalagi ketika macet di lampu merah. Macet yang
terjadi di Jakarta ini juga menyebabkan karena Lampu Merah memiliki fungsi sampingan
sebagai penghias persimpangan jalan. Lampu merah Kayu Putih Rawasari misalnya,
seolah-olah lampu merah hanya sebagai hiasan warna-warni terang di jalan.

Mobil-mobil dari sisi kanan-kiri-depan-belakang maju dan berkumpul ditengah-


tengah, berhadap-hadapan layaknya “banteng bertarung”. Sepeda motor yang pun
harus menjadi belut dan hampir menyenggol spion mobil sebelahnya. Termasuk juga
ojek online penumpangnya harus terpaksa duduk tidak nyaman atas pelanggaran yang
terkadang dilakukan oleh oknum driver-nya.

Malangnya nasib bus transjakarta yang terjebak hanya bisa menonton “banteng“
dan “belut”, lebih malang orang yang ada di dalam bus transjakarta dan tidak mendapat
kursi. Mereka harus menjadi korban keegoisan manusia yang merasa lelah beraktivitas
di kota Jakarta ini. Seolah hanya dia saja yang ingin pulang ke rumah beristirahat.

Tidak jarang juga lampu merah juga menjadi saksi bisu arena tinju jalanan.
Kompetisi kendaraan yang berujung naiknya suhu emosi pengendara, sering terjadi. Tak
ada yang mau mengalah penyebabnya. Petugas polisi lalu lintas dan satgas pengaman
transjakarta yang mencoba memecah kemacetan pun gagal karena kewalahan
mengatur lalu lintas yang tersendat karena keegoisan oknum-oknum pengendara yang
nakal.

Padahal dalam mengatasi kemacetan, seharusnya pihak yang berwenang harus


tegas dan teliti dalam bertindak, karena penyebab kemacetan yang sesungguhnya
adalah ketidaktertiban masyarakat dalam berkendara. Menyandang nama Ibukota,
seharusnya Jakarta menjadi percontohan dalam banyak hal. Sebagai Ibukota tidak
hanya disorot oleh daerah lain, tetapi juga disorot oleh negara-negara lain dari aspek
politik, ekonomi, pendidikan, dan termasuk transportasi.

Anda mungkin juga menyukai