Anda di halaman 1dari 191

Prisma diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

dan dimaksudkan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah pembangunan ekonomi,
perkembangan sosial dan perubahan kultural di Indonesia dan sekitarnya. Berisi tulisan ilmiah populer,
ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis atau gagasan orisinal yang kritis dan segar. Redaksi mengun-
dang para ahli, sarjana, praktisi dan pemuda Indonesia yang berbakat untuk berdiskusi dan menulis
secara bebas dan kreatif sambil berkomunikasi dengan masyarakat luas. Tulisan dalam Prisma tidak
selalu segaris atau mencerminkan pendapat LP3ES. Redaksi dapat menyingkat dan memperbaiki tu-
lisan yang dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Negara, Kesejahteraan & Dilarang mengutip, menerjemahkan, dan memperbanyak, kecuali dengan izin tertulis dari Redaksi.
Demokrasi © Hak cipta dilindungi Undang-undang.

Vol. 36, No. 1, 2017 ISSN 0301-6269

TOPIK KITA

Daniel Dhakidae 2 Demokrasi, Demografi, dan Kemaslahatan


Olle Törnquist et al. 3 Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi

Haryanto 22 Konfigurasi Elite dan Demokrasi:


Aktor, Sumber Daya, dan Strategi Kontestasi
Hasrul Hanif 42 Demokrasi Tak Terlembagakan
Caroline Paskarina 53 Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal
Willy Purna Samadhi & 67 Gerakan Pro-Demokrasi: Mengambang Tanpa
Wegik Prasetyo Strategi yang Berakar
Cornelis Lay 83 Tautan Politik antara Pengrajin Batik, Parlemen,
dan Masyarakat Sipil di Yogyakarta
Amalinda Savirani 112 Pertempuran Makna “Publik” dalam Wacana
Proyek Reklamasi Teluk Jakarta
Eric Hiariej 127 Politik Jokowi: Politik Pasca-Klientelisme
dalam Rantai Ekuivalensi yang Rapuh
Airlangga Pribadi Kusman 148 Kuasa Oligarki dan Posisi Masyarakat Sipil:
Relasi antara Intelektual dan Kekuasaan
Purwo Santoso 161 Demokratisasi Terpimpin: Wacana Refleksi Epistemik
Menolak Kemandekan

ESAI
Vedi R Hadiz 38 Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia

DIALOG
100 Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil?

BUKU
Rocky Gerung 179 Pasifikasi Aktivisme

Diterbitkan atas kerja sama dengan Power, 184 P A R A P E N U L I S


Welfare, and Democracy (PWD), Departemen
Politik dan Pemerintahan, Fisipol-UGM, Vol. 36, No. 2, 2017: Ekonomi Politik Situs Bersejarah
Yogyakarta Vol. 36, No. 3, 2017: Kedaulatan Energi

Pendiri: Ismid Hadad, Nono Anwar Makarim • Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi: Daniel Dhakidae • Direktur Bisnis &
Pengembangan: Elya G Muskitta • Dewan Redaksi: A Tony Prasetiantono, Azyumardi Azra, Jaleswari Pramodhawardani,
Kamala Chandrakirana, Satrio B Joedono, Sumit Mandal (Jerman), Taufik Abdullah, Vedi R Hadiz (Australia) • Redaktur Pelaksana
Jurnal & Portal: Harry Wibowo • Redaktur Ekonomi: Fachru Nofrian Bakarudin • Redaksi: E Dwi Arya Wisesa, Nezar Patria,
Rahadi T Wiratama • Sekretariat & Produksi: Awan Dewangga • Teknologi Informasi & Marketing: Christiawan Budi S
Alamat: LP3ES, Jalan Pangkalan Jati No. 71, Pondok Labu-Cinere, Depok 16513, Indonesia. Telp/Faks: (6221) 27654031
Email: prisma@prismajurnal.com; prisma.redaksi@gmail.com; Website: www.prismajurnal.com; www.prismaresource.com
Bank: MANDIRI, KCP RSKD, Jakarta. Nomor Rekening: 117-000-800-046-5 a/n Prisma
Prisma TOPIK KITA

Demokrasi, Demografi, dan Kemaslahatan


Demokrasi yang dijunjung tinggi masa Namun, orang seperti Martin Heidegger
modern ini, pada masa purba peradaban politik (1889-1976), filsuf Jerman, dengan serta-merta
sering dianggap bentuk rusak dari sistem yang menghina demografi, demokrasi, dan statistik
dianggap “baik”, seperti monarki, tempat raja dalam hubungan dengan perwakilan. Menurut
yang berkuasa; aristokrasi, orang-orang terbaik dia, upaya menghitung manusia sebagai unsur
yang berkuasa. Sedangkan rakyat sama sekali demografis dalam demokrasi tidak lain dari cara
tidak terpikirkan sebagai orang yang akan atau melihat di mana manusia seolah-olah menjadi
boleh memegang tampuk pemerintahan untuk kumpulan karung-karung kering. Konsep seperti
berkuasa. massa pemilih tidak lain adalah konsep perusak
Membaca sebuah disertasi doktoral dari yang membuat manusia menjadi rusak dan
Universitas Sorbonne abad ke-17, atau tepatnya kehilangan autentisitas sebagai manusia.
pada 1658, memperkuat hal itu saat di sana Dengan memungkinkan orang lain mewakili
jelas-jelas tertulis, “... multos imperitare malum diriku, semakin aku memperdalam kerusakan-
est, Rex unicus esto” atau “... orang banyak atau ku. Yang dicari adalah pemimpin, der Führer,
orang kebanyakan memerintah jelek adanya, yang bisa menjadi penubuhan kehendak se-
Raja hanya boleh satu dan satu-satunya.” sungguhnya dan kehendak umum, the real or
Revolusi Perancis menjadi tonggak paling general will of the people. Itu berarti perwakilan
penting untuk berkembang dan meluasnya secara hakiki tidak dimungkinkan.
demokrasi, dan baru terjadi pada 1789—jarak Apa jalan untuk menyelamatkan demokrasi
antara disertasi di atas dengan Revolusi Perancis dari tuduhan yang sedemikian fundamental?
persis 131 tahun! Itu pun sama sekali bukan Pertama, membangun legitimasi sistem perwa-
berarti monarki hilang telak dari muka bumi, kilan dengan ciri utama keautentikannya dalam
karena negara-negara dengan demokrasi paling empati yang menghubungkan wakil dengan
maju pun masih mempertahankan bentuk mo- rakyat pemilih dan bukan pemilih. Tanpa em-
narki seperti Kerajaan Inggris, Denmark, Be- pati, perwakilan tidak dimungkinkan. Empati
landa di Eropa, Jepang dan Thailand di Asia, dan saja, pada gilirannya, tidak cukup karena harus
lain-lain lagi dengan prinsip yang sama, “Rex diimbangi oleh kemampuan profesional untuk
unicus esto.” menggali dan mengenal tuntutan rakyat.
Ketika rakyat yang harus berkuasa, maka Kedua, perwakilan dan kekuasaan, yang
semua dengan mudah mengantarkan kita ke- diperoleh sebagai akibatnya, adalah semata-
pada demografi; catatan tentang jumlah rakyat mata alat. Dengan demikian, konsep teleologis
itu. Dengan demikian, hubungan ketiga hal melekat di dalam demokrasi. Ke mana demo-
berikut tampak sangat mesra: demokrasi, de- krasi itu bergerak tidak lain dari menuju kemas-
mografi, dan statistika, yang selalu dianggap lahatan rakyat. Tanpa kedua hal itu, demokrasi
teknikalitas dalam menentukan legitim tidaknya tidak lebih dari pepesan kosong.
demokrasi itu. Sebuah pertanyaan abadi dan tak mendapat-
Dengan demikian, bisa dicatat, misalnya, kan jawaban semestinya, apakah demokrasi
hanya 124.972.491 orang yang memilih, kira- dalam praktik berhasil membawa kemakmuran.
kira 50 persen dari penduduk, yang berarti Pandangan selintas ke wilayah Asia Tenggara
itulah demos aktif sesungguhnya. Semuanya akan menghasilkan jawaban lantang dan negatif,
memperebutkan 20.389 kursi perwakilan di di mana yang paling tidak demokratis paling
tingkat kabupaten, provinsi, hingga parlemen makmur adanya; sedangkan yang paling demo-
nasional republik. Dua puluh ribu lebih orang kratis tidak/belum berhasil membangun sistem
itulah yang disebut wakil dari seluruh rakyat sosial untuk mengejar kemaslahatan rakyat, dan
dalam sebuah sistem perwakilan demokrasi atau keadilan pun tidak tampak di dalamnya•
demokrasi perwakilan.
DanieDaniel Dhakidae
Prisma Olle
SU R Törnquist
V E I et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 3

Penyebab Kemandekan dan Jalan


Menuju Demokratisasi 2.0
Olle Törnquist et al.*

Pada awalnya, demokratisasi di Indonesia memperlihatkan hasil lebih dari-


pada yang diharapkan. Namun, beberapa tahun kemudian, demokratisasi
di negeri ini berhenti dan tidak ada yang dapat menjelaskan kenapa hal
ini bisa terjadi. Studi lanjutan kami menunjukkan ada sejumlah kompromi
yang membentuk institusi-institusi bisa diterima para elite berpengaruh,
namun pada saat bersamaan ada kekuatan yang meredam gerak maju
reformasi. Karena itu, dibutuhkan demokratisasi “generasi kedua” (2.0)
yang melampaui kelemahan dan kekurangan strategi demokratisasi liberal
melalui politik demokrasi yang transformatif dengan memperkuat serta
membuka peluang dan ruang seluas-luasnya bagi aktor reformis.

Kata Kunci: demokratisasi, kajian demokrasi, keterwakilan kepentingan,


partisipasi

S
ekitar tiga dekade, argumentasi utama rintahan yang adil.1 Para ekonom politik radikal
mengenai demokratisasi di Dunia Se- berpendirian bahwa sebagian besar institusi
latan adalah bahwa demokratisasi bisa liberal baru hanya formalitas karena pada ke-
diciptakan oleh para elite moderat didukung nyataannya mereka tetap didominasi oligarki.
secara internasional guna membendung ke- Karena itu, perubahan riil membutuhkan kapi-
lompok-kelompok reaksioner dan gerakan talisme yang lebih inklusif dan perombakan
massa populer sekaligus memberikan ruang relasi kekuasaan secara radikal.2 Cukup banyak
kepada sejumlah pihak untuk melakukan peru- akademisi pendukung peran negara yang kuat
bahan ke arah ekonomi dan tata kelola peme- berpendapat bahwa kebebasan dan demokrasi
rintahan liberal. Kini, keraguan pendukung
posisi itu mulai meningkat. Mereka mengakui 1
Untuk tinjauan awal; lihat, misalnya, Thomas
adanya kondisi kultural yang tidak mengun- Carothers, Critical Mission: Essays on Democracy
tungkan dan kebutuhan untuk meningkatkan Promotion (Washington, DC: Carnegie Endow-
pembangunan institusi yang berkaitan dengan ment for International Peace, 2004). Untuk
sistem kepartaian, khususnya tata kelola peme- contoh awal; lihat, Journal of Democracy Vol. 13,
No. 1 dan No. 3, 2002, serta Vol. 26, No. 1, 2015.
2
Lihat, misalnya, Sunil Bastian dan Robin Luckham
(eds.), Can Democracy be Designed?: The Politics
*
Hasrul Hanif, Eric Hiariej, Willy Purna Samadhi, of Institutional Choice in Conflict – Torn Societies
dan Amalinda Savirani. (London dan New York: Zed Books, 2003).

A R T I K E L
4 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

yang sedang berkembang hanya akan mengha- untuk menambahkan analisis seberapa jauh
silkan konflik dan korupsi. Dengan demikian, institusi-institusi penting tersebut sungguh-
perkembangan demokrasi mengandaikan sungguh merawat demokrasi, yang lazim dise-
aturan hukum yang tegas dan kapasitas negara but pemantauan urusan publik berdasarkan
7
yang kuat serta didukung oleh para penguasa persamaan hak politik. Ini merupakan isu em-
3
dominan yang tercerahkan. Namun, seberapa piris yang seharusnya tidak bisa diangggap
logis argumentasi itu? seperti itu, terutama di negara-negara demo-
Kami berpendapat bahwa cara terbaik un- krasi baru.
tuk membahas silang-pendapat pro-kontra itu Ketiga, diperlukan sejumlah kajian empiris
adalah dengan berkonsentrasi pada hal-hal yang tentang demokratisasi yang tidak bias untuk
menurut mereka merupakan kasus-kasus ke- mengganti asumsi-asumsi normatif bahwa pak-
berhasilan yang dianggap penting, seperti ta-pakta liberal pro-elite adalah cara ampuh
Indonesia,4 sebelum beralih ke analisis kritis. untuk mengatasi rezim otoriter dan kelemahan
Bagaimanapun juga, mengingat arus utama demokrasi. Dengan kata lain, ada semacam ke-
kerangka berpikir kajian demokrasi sangat butuhan akan kajian proses dan kegunaannya
dipengaruhi keberpihakan pada demokratisasi bukan hanya satu, tetapi beberapa teori yang
liberal, maka kerangka itu perlu dibenahi se- bisa membantu menjelaskan demokratisasi.
5
belum melangkah jauh ke depan. Pertama, Keempat, perlu dilakukan sejumlah kajian lebih
praktik informal dan bentuk deliberatif tata cermat dan tidak memihak untuk mengimbangi
kelola pemerintahan harus dimasukkan ke asumsi-asumsi normatif, dan hal demikian tentu
dalam lembaga-lembaga demokrasi liberal dan memerlukan sumber-sumber empiris yang le-
perlu diawasi, karena corak deliberatif cen- bih baik. Kami berpendapat bahwa informasi
derung merupakan satu-satunya patokan para pakar di bidang tertentu dari waktu ke
6
(benchmark) “alami”. Kedua, ada kebutuhan waktu mungkin bisa menggantikan informasi
yang selama ini diperoleh dari para informan
3
Lihat, misalnya, Edward D Mansfield dan Jack
Snyder, “The Sequencing ‘Fallacy’”, dalam manusia yang utuh dan universal (termasuk
Journal of Democracy, Vol. 18, No. 3, 2007, hal. 5- kebutuhan dasar); (v) keterwakilan politik yang
9; Francis Fukuyama, Political Order and Political demokratis melalui partai politik dan pemilihan
Decay: From the Industrial Revolution to the umum yang bebas dan adil; (vi) partisipasi warga
Globalization of Democracy (New York, NY: negara berbasis hak dalam pemerintahan umum;
Macmillan, 2014). (vii) saluran-saluran resmi keterwakilan kepen-
4
Lihat, Larry Diamond, “Indonesia’s Place in tingan dan isu serta tata kelola pemerintahan
Global Democracy”, dalam Edward Aspinall dan daerah yang partisipatif; (viii) demokrasi lokal
Marcus Mietzner, Problems of Democratisation yang dibuat nyata dan dikombinasikan dengan
in Indonesia: Elections, Institutions and Society pengaruh relevan di tingkat lain; (ix) kontrol
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, demokratis terhadap instrumen koersi (termasuk
2010), hal. 21-52. pasukan pengamanan swasta); (x) tata kelola pe-
5
Untuk detail dan daftar pustaka mengenai hal merintahan yang transparan, tidak memihak, dan
itu; lihat Olle Törnquist, Assessing Dynamics of akuntabel; (xi) kemandirian dan kapasitas peme-
Democratisation: Transformative Politics, New rintah dalam menyusun kebijakan dan melaksa-
Institutions, and the Case of Indonesia (New York, nakannya; (xii) kebebasan dan kesempatan yang
NY: Palgrave Macmillan, 2013). sama untuk mengakses wacana publik, budaya,
6
Kami memfokuskan pada institusi-institusi, soal dan akademia dalam kerangka hak asasi manusia,
(i) kesetaraan dan kewarganegaraan inklusif da- dan (xiii) swapengorganisasian warga negara
lam kaitan dengan urusan publik yang dijelaskan secara demokratis.
dengan baik; (ii) penegakan hukum (termasuk 7
Lihat, David Beetham et al., International IDEA
hukum internasional dan konvensi-konvensi Handbook on Democracy Assessment (Kluwer Law
PBB); (iii) keadilan yang setara; (iv) hak asasi International, 2002).

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 5

kosmopolitan, terutama sampai tersedianya Kriteria pemilihan para pakar-informan


bank data yang bisa lebih dipercaya. adalah kepemimpinan yang telah diakui dan
Pembaca yang kritis mungkin akan berta- memiliki pengalaman bertahun-tahun (minimal
nya apakah itu bukan sekadar daftar keinginan lima tahun) menerapkan demokrasi di garis
penting lainnya, namun beberapa faktor berle- depan utama yang diidentifikasi dalam pene-
10
bihan justru membuatnya tidak realistis untuk litian sebelumnya; mereka terlibat sejumlah
mendapatkan informasi yang dapat dipercaya. kegiatan terkait upaya penegakan hak asasi
Namun demikian, Indonesia sebagai negara manusia (HAM), tata kelola pemerintahan yang
terbesar dalam jajaran negara demokrasi baru, lebih baik, dan hak-hak buruh. Ketiga survei
terbukti berhasil menggabungkan studi-studi berisi ratusan pertanyaan itu lebih banyak me-
jajak-pendapat para ahli dengan beberapa pene- nekankan standar institusi dan kapasitas serta
litian tematis lanjutan—sebuah pendekatan prioritas politik para aktor politik dominan seka-
yang diilhami oleh pelbagai program riset ten- ligus potensial (yang menjawab wawancara sela-
11
tang kekuasaan dan demokrasi yang disupervisi ma enam hingga delapan jam) dikombinasikan
publik di Skandinavia—antara tahun 2001 dan dengan perbincangan secara mendalam selama
2015.8 Hal tersebut dimungkinkan berkat kerja berlangsungnya penelitian bersifat tematis. Ber-
sama di antara akademisi, jurnalis, dan para kat kepercayaan serta komitmen para informan
pakar setempat yang memiliki komitmen kuat dalam penelitian itu, meski ada sangat sedikit
pada demokratisasi. Karena kami tidak bekerja yang menyatakan berhenti, terutama dalam dua
dengan sampel responden yang teridentifikasi proyek penelitian pertama, ketika momentum
12
secara statistik melainkan dengan para pakar- demokratisasi masih sedemikian tinggi.
cum-informan, maka prinsip-prinsip alternatif Hasil penelitian telah dipaparkan dan diana-
secara ketat perlu diterapkan untuk menyeleksi lisis dalam pelbagai laporan dan publik dapat
mereka. Para ahli sebanyak 900 orang dalam
survei pertama dan sekitar 700 orang pakar
dalam survei kedua dan ketiga diidentifikasi di akademisi Indonesia yang berkualitas (dengan
honor memadai dari pendonor internasional), pu-
tingkat pusat dan kotamadya/kabupaten me-
taran kedua studi dirancang dengan melibatkan
wakili seluruh negeri bekerja sama dengan para kerja sama para akademisi Universitas Gadjah
informan kunci cukup terpercaya yang berbagi Mada (termasuk Aris Mundayat dan Nicolaas
9
tanggung jawab dengan memakai nama asli. Warouw). Namun, menjelang putaran ketiga, pim-
pinan baru Demos memilih mengurangi persya-
ratan akademis serta ada beberapa masalah in-
8
Salah satu yang terbaru adalah program Nor- ternal di UGM. Karena itu, pengaturan kelemba-
wegia; lihat, Ø Østerud (ed.), “Special Issue on gaan baru di UGM yang tak terelakkan membuat
Norway: The Transformation of a Political keadaan semakin sulit untuk menggabungkan
System”, dalam West European Politics, Vol. 28, prioritas para akademisi dan sarjana serta aktivis
No. 4, 2005, hal. 705-720. lainnya. Dukungan dana disediakan oleh sumber-
9
Putaran awal survei dan studi lanjutan dilakukan sumber daya masyarakat Norwegia dan penda-
oleh wartawan investigasi (dipimpin Stanley Adi naan awal dengan jumlah yang setara dari Swedia
Prasetyo) dan organisasi riset Demos (diarahkan dan Ford Foundation serta Tifa Foundation.
oleh almarhum Asmara Nababan dengan AE 10
Tentang rangkaian persiapan penelitian; lihat, Olle
Priyono, Willy Purna Samadhi, Attia Nur, dan Törnquist, “Floating Democrats”, dalam Stanley
Debbie Prabawati) serta didukung para aktivis Adi Prasetyo, AE Priyono, dan Olle Törnquist
pro-demokrasi terkemuka—seperti almarhum (eds.), Indonesia’s Post-Soeharto Democracy
Munir, yang dibunuh dan calon penerima Hadiah Movement (Jakarta: Demos, 2003), hal. 3-46.
Nobel, dan almarhum Th Sumartana—bekerja 11
Daftar pertanyaan, lihat lampiran dalam laporan
sama dengan Universitas Oslo (UiO) melalui Olle utama sebagaimana dirujuk Catatan Kaki 13.
Törnquist dan mitra internasionalnya. Karena su- 12
Untuk detail pekerjaan; lihat, Törnquist, Assess-
lit menarik kepercayaan dan keterlibatan para ing Dynamic Democratisation….

A R T I K E L
6 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

mengakses semua data penelitian ini dalam tingan mereka dalam mempersempit ruang ge-
13
http://pwd.polgov.id/. Utamanya, dalam arti- rak demokratisasi ke tahap selanjutnya—khu-
kel ini, kami mengacu laporan-laporan tersebut susnya berkait dengan tata kelola pemerintahan
agar para pembaca bisa merangkum dan men- yang efektif dan tidak memihak, organisasi-
diskusikan argumentasi yang muncul serta organisasi yang demokratis, serta representasi
membandingkannya dengan pandangan utama kepentingan dan aktor-aktor progresif. Karena
pada tingkat wacana internasional mengenai itu, kami berpendapat, ada semacam kebutuhan
demokratisasi. Mudah-mudahan hal tersebut untuk melakukan langkah demokratisasi (2.0)
dapat menghasilkan penelitian dan perdebatan melampaui kekurangan strategi liberal dengan
berikutnya. mendorong sekaligus mempraktikkan politik
Pendek kata, hasil empiris menunjukkan demokratis transformatif yang memperkuat
bahwa ketiga argumen dominan (liberal, struk- dan membuka ruang bagi lebih banyak aktor
tural, dan etatis) tersebut tidak mencukupi; awal reformis; kami mengemukakan beberapa pro-
demokratisasi Indonesia meraih keberhasilan ses yang bisa mendorong ke arah itu.
ketimbang yang diharapkan. Hal itu memper-
kuat argumentasi liberal dan menyangkal seba-
Tiga Pandangan tentang
gian besar kritik tajam para penganut struk-
Indonesia
turalis dan etatis. Namun demikian, selama ber-
tahun-tahun demokratisasi mengalami keman- Cara berpikir utama orang Indonesia ten-
dekan dan tidak ada satu pun mazhab pemikiran tang demokratisasi berkait erat dengan apa
mampu menjelaskan mengapa seperti itu. Te- yang dibicarakan di tingkat internasional. Pan-
muan-temuan kami mengampu pernyataan para dangan liberal menganggap bahwa Indonesia
14
sarjana, seperti Edward Aspinall , bahwa pe- memenuhi persyaratan untuk demokratisasi
nyebabnya terutama bersumber dari kompromi dalam tempo singkat dan masalah-masalah
yang menghasilkan keberhasilan model liberal yang sebenarnya riel tidak lebih buruk daripada
awal. Kami menambahkan bahwa kompromi yang ada di tempat lain di Dunia Selatan atau
tersebut tidak hanya membentuk lembaga- selama tahap awal demokratisasi di Amerika
lembaga yang bisa diterima oleh sebagian besar Utara dan Eropa. Reformasi kebijakan seperti
elite yang berkuasa, tetapi juga mengonsolidasi lebih besarnya pendanaan publik untuk partai
kekuatan sekaligus membangkitkan kepen- politik dan upaya-upaya yang dilakukan oleh
aktivis masyarakat sipil dan para pemimpin
13
Tiga laporan utama dimaksud sebagai berikut:
serikat buruh untuk bergabung dengan politik
AE Priyono, Willy Purna Samadhi, dan Olle
Törnquist, Making Democracy Meaningful: arus-utama pada akhirnya akan membawa ne-
Problems and Options in Indonesia (Jakarta: geri menuju demokrasi liberal sepenuhnya.15
Demos, 2007); Willy Purna Samadhi dan Nicolas Beberapa rekan yang lebih skeptis mengingat-
Warouw, Building Democracy in the Sand (Jakarta kan adanya sejumlah tantangan bagi aspirasi
dan Yogyakarta: PCD Press dan Demos, 2008), rakyat,16 serta beratnya hambatan-hambatan ke-
serta Amalinda Savirani dan Olle Törnquist, Re-
claiming the State: Overcoming Problems of Demo-
cracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogyakarta: 15
Lihat, Thomas Carothers, “How Democracies
Penerbit PolGov dan PCD Press, 2015). Pende- Emerge: The ‘Sequencing’ Fallacy”, dalam
katan dan teori terkait dielaborasi dan dibahas Journal of Democracy, Vol. 18, No. 1, 2007, hal. 12-
dalam Törnquist, Assessing Dynamics of Democrat- 27; cf. Donald L Horowitz, Constitutional Change
isation. Spesifikasi dan referensi laporan tambahan and Democracy in Indonesia: Problems of Inter-
mengikuti seluruh uraian dalam artikel ini. national Politics (Cambriudge: Cambridge
14
Lihat, Edward Aspinall, “The Irony of Success”, University Press, 2013).
dalam Journal of Democracy, Vol. 21, No. 2, 2010, 16
Lihat, Aspinall, “The Irony of…”; Edward
hal. 20-34. Aspinall, “The Triumph of Capital? Class Politics

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 7

lembagaan dan buruknya pemenuhan hak-hak melihat potensi untuk mencapai perubahan
17
warga negara. struktural melalui serikat buruh dan gerakan
20
Posisi ekonomi-politik yang berseberangan sosial progresif, namun sebagian besar eko-
namun semakin berpengaruh itu didukung nom politik, termasuk kelas menengah pro-
18
oleh para akademisi berhaluan Marxis. gresif dan asosiasi-asosiasi bisnis, melihat kedua
Mereka melakukan survei mengenai politik aktor tersebut tidak punya kekuatan. Karena
Indonesia kontemporer dan menyimpulkan itu, hasil akhir analisis-analisis strukturalis,
bahwa sangat sedikit yang berubah sejak ber- demokrasi yang lebih substantif di Indonesia
akhirnya era Soeharto, kecuali bahwa negeri ini harus menunggu perkembangan kapitalisme
tidak lagi diperintah seorang diktator tetapi melampaui akumulasi berdasarkan penjarahan
oleh orang-orang yang berada di lingkaran dan tenaga kerja murah serta munculnya ke-
dalam, sanak kerabat, dan figur-figur penting lompok bisnis yang berkepentingan dalam hal
yang, menurut Dan Slater, membentuk kartel aturan perundang-undangan yang transparan
19
politik. Selain itu, sistem desentralisasi negara melalui penegakan hukum (rule of law).
dan politik memungkinkan lingkaran lebih luas Sementara itu, corak pemikiran etatis kon-
para pelaku bisnis memperoleh akses ke servatif memiliki akar yang tertanam kuat di
kontrak-kontrak dan konsesi melalui politik. Indonesia. Perspektif mereka berawal pada
Dalam pandangan tersebut, Indonesia adalah tahun 1950-an ketika komunis diharapkan
sebuah demokrasi oligarkis dan, karena itu, memenangkan pemilihan umum dan ketika
reformasi mengharuskan adanya perubahan Indonesia dianggap tidak cakap berdemokrasi.
struktural. Penganut Marxis, seperti Max Lane, Samuel Huntington menggeneralisasi tesisnya
dengan menyatakan bahwa modernisasi yang
digabung dengan demokrasi liberal sebelum
and Indonesian Democratisation”, dalam Journal hadirnya kelas menengah yang cukup kuat akan
of Contemporary Asia, Vol. 43, No. 2, 2013, hal. menghasilkan konflik dan penyalahgunaan
226-242; dan Tery L Caraway and Michele Ford, kekuasaan yang bisa berubah menjadi lahan
“Labour and Politics under Oligarchy”, dalam
subur bagi oposisi yang dipimpin kaum ko-
Michele Ford dan Tom B Pepinsky (eds.), Beyond
Oligarchy? Wealth, Power and Contemporary munis. Karena itu, kebebasan dan demokrasi
Indonesian Politics (Ithaca, New York: Cornell harus didahului dengan membangun lembaga-
University Press, 2014). lembaga negara yang kuat, yang membutuhkan
17
Nordholt, “Decentralisation in Indonesia”; Van “ketertiban politik” (politic of order).21 Itulah
Klinken, “Patronage Democracy in Provincial
alasan intelektual yang mengabsahkan pem-
Indonesia”; Tomsa dan Ufen, Party Politics in
Southeast Asia; dan Berenschot, The Political bunuhan massal dan tiga puluh tahun lebih
Economy of Clientelism. pemerintahan otoriter Soeharto, serta kudeta
18
Lihat, Jeffry A Winters, Oligarchy (Cambridge: kelas menengah di Amerika Latin; bahkan salah
Cambridge University Press, 2011); Jeffry A satu kudeta di Cile mengambil nama “Operasi
Winters, “Oligarchy and Democracy in Indo- Jakarta.” Namun demikian, saat ini, hanya ada
nesia”, dalam Ford dan Pepinsky (eds.), Beyond
Oligarchy?...; Richard Robison dan Vedi R Hadiz,
sedikit dukungan terbuka untuk otoriterisme
Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets (London: Rout-
ledge Curzon, 2004); serta Richard Robison dan 20
Lihat, Max Lane, Decentralization and It Dis-
Vedi R Hadiz, “The Political Economy of contents: An Essay on Class, Political Agency and
Oligarchy and the Reorganisation of Power in National Perspective in Indonesian Politics
Indonesia”, dalam Ford dan Pepinsky (eds.), (Singapore: ISEAS, 2014).
Beyond Oligarchy?.... 21
Lihat, Samuel P Huntington, ‘Political Develop-
19
Lihat, Dan Slater, “Democratic Careening”, ment and Political Decay’, dalam World Politics,
dalam World Politics, Vol. 65, No. 4, 2013. Vol. 17, No. 3 , 1965, hal. 386-430.

A R T I K E L
8 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dan lebih banyak dukungan diberikan pada akan mengulas kembali proposisi itu dalam
pendefinisian ulang mengenai posisi Huntington hubungannya dengan hasil kajian kami.
oleh Francis Fukuyama bahwa ada kebutuhan
akan negara yang berfungsi dengan baik untuk
22 Kemajuan Tak Terduga
mendorong dan menerapkan demokrasi.
Dalam nada yang sama dengan penganut Pada tahap awal survei, kearifan lazimnya
teori modernisasi seperti Juwono Sudarsono, adalah para informan aktivis kami akan tampak
yang menambahkan pentingnya lembaga ne- bias dan sangat kritis. Karena itu, ketika kali
gara yang solid menurut paham Huntington dan pertama mengamati data umum, reaksi lang-
peran kunci militer, akademisi seperti Ramlan sung kami ada sesuatu yang mungkin keliru
Surbakti sejak dini memperingatkan pelang- dengan tabulasi. Namun demikian, tabulasi para
23
garan terhadap penyelenggaraan pemilu, dan aktivis terbukti jauh lebih seimbang dan dapat
para pakar hukum terkait Komisi Pemberan- dipercaya ketimbang tabulasi para pakar politik
tasan Korupsi bersama dengan media yang saat itu. Para informan kami melaporkan adanya
mendukung kerap melontarkan pendapat bah- kemajuan cukup berarti terkait kebebasan sipil
wa demokrasi justru merawat penyalahgunaan dan kebebasan politik, termasuk di media mas-
kekuasaan dan mesti diperangi dengan cara sa dan masyarakat sipil, sehingga kian mene-
lain. Sementara itu, para pendukung politis ter- gaskan posisi optimistis kaum liberal. Selain
masuk Wakil Presiden Jusuf Kalla melalui per- masalah-masalah HAM perseorangan, kebe-
nyataannya menegaskan bahwa demokrasi basan itu juga berlaku dan diterapkan di seba-
berada di urutan bawah setelah stabilitas serta gian besar daerah di Indonesia (tentunya tidak
ekonomi24 serta keinginan akan “kepemimpinan termasuk Papua dan Aceh). Bahkan, lebih dari
yang kuat” sebagaimana ditawarkan pada 2014 50 persen informan mengatakan bahwa lem-
oleh calon presiden waktu itu, jenderal purna- baga-lembaga yang seharusnya mendorong dan
wirawan Prabowo Subianto. mendukung kebebasan sipil dan politik serta
Posisi keempat berorientasi sosial-demo- pemilu menjalankan tugas dengan cukup baik.
krasi mungkin sedang bermunculan sebagai- Hanya dalam tempo lima tahun setelah era
mana ditunjukkan oleh hasil kajian dengan para kediktatoran, sudah ada beberapa tanda yang
aktivis demokrasi yang memiliki pertimbangan disebut oleh banyak akademisi “mengakarnya
mendalam. Sementara setuju dengan kebutuhan nilai-nilai Asia” (entrenched Asian values) dan
akan perubahan struktural, para aktivis demo- Indonesia tampil sebagai suar di kawasan Asia
krasi mendaku hal itu bisa saja dilakukan melalui Tenggara.
25
reformasi demokratis yang transformatif. Kami Selain itu, 75-90 persen informan menegas-
kan pemahaman umum di antara para pakar
22
Lihat, Fukuyama, Political Order and …. liberal dan donor bahwa lembaga-lembaga yang
23
Lihat,https://successfulsocieties.princeton.edu/ diharapkan mendukung penegakan hukum
interviews/juwono-sudarsono dan https:// (rule of law) dan “tata kelola pemerintahan yang
www.stratfor.com/the-hub/understanding-
baik” (good governance) ternyata berada dalam
flaws-indonesias-electoral-democracy (diakses
21 Mei 2016). kondisi mengenaskan. Namun, yang paling
24
Sebagai contoh, Media Indonesia, 25 September penting, para pakar informan kami menam-
2006. Tentang daftar pustaka dan analisis beri- bahkan bahwa lembaga-lembaga yang utamanya
kutnya; lihat Bab 6 dalam Olle Törnquist et al.
Aceh: The Role of Democracy for Peace and Recons-
truction (Yogyakarta: PCD Press, 2011). Decade of Reformasi”, dalam Samadhi dan Warouw
25
Lihat, Olle Törnquist, “Floating Democrats”; (eds.), Building Democracy in…; Törnquist, Assess-
Priyono, Samadhi, dan Törnquist, Making ing Dynamic Democratisation…; serta sebagian
Democracy Meaningful…; Samadhi dan Asgart, “A Caraway dan Ford, “Labour and Politics…”.

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 9

mewakili kepentingan rakyat sama buruknya kekuatan politik telah bergeser dari kemam-
26
atau bahkan lebih parah. Secara logika, keti- puan untuk mengendalikan cara-cara koersi dan
dakhadiran representasi tersebut tentu saja administrasi publik ke modal ekonomi dan
lebih serius daripada kekurangan atau kele- hubungan baik dengan aktor-aktor berpenga-
29
mahan terkait penegakan hukum dan tata ruh (modal sosial). Ketiga, risiko mengenai
kelola pemerintahan dengan catatan bahwa ambruknya perekonomian dan balkanisasi Indo-
yang pertama sedikit kemungkinan akan men- nesia setelah era Soeharto yang banyak diper-
jadi lebih baik ketimbang memperbaiki masalah bincangkan dibendung dengan munculnya ko-
yang terakhir dengan cara-cara demokratis. munitas politik di seluruh negeri berkat corak
Namun, siapa yang peduli? Banyak gerakan berpikir lembaga-lembaga yang masih dangkal,
demokrasi telah kalah dalam keterwakilan namun berorientasi pada demokrasi. Lembaga-
politis pada awal pemilu dan beralih ke cara lain lembaga tersebut memunculkan bos atau tokoh
dalam membuat perbedaan27. Para pakar arus berpengaruh dan juga pemberontak di tingkat
utama (dan donor kami di kedutaan Norwegia lokal dengan ruang gerak yang cukup untuk
dan Swedia) meyakini bahwa masalah hukum menjauhkan diri dari “gejolak” terbuka. Bukti
dan tata kelola pemerintahan serta kebutuhan sangat sahih adalah proses perdamaian di Aceh
untuk meningkatkan keterwakilan dapat di- pada 2005, sebagian besar berkat kepercayaan
tangani oleh elite itu sendiri, bahwa dukungan yang sedang tumbuh di lembaga-lembaga de-
internasional untuk berbagai kebebasan dan mokratis baru bersamaan dengan pemberian
HAM akan mencegah pelanggaran, dan bahwa hak-hak khusus di Aceh untuk berpartisipasi
sesungguhnya tidak ada pilihan lain yang rea- dalam pemilu dengan melibatkan partai politik
listis di kalangan pro-demokrasi. lokal.30
Sebenarnya, posisi liberal juga dibenarkan Keempat, (sebagaimana ditegaskan oleh
oleh beberapa kesimpulan lain yang mence- para ahli penyusun strategi liberal yang men-
ngangkan dari hasil survei kami. Pertama, dukung kepemimpinan elite moderat), gerakan
menurut para informan-aktivis, sebagian besar pro-demokrasi masih belum mampu bersatu di
aktor dominan sebenarnya berpegang dan balik pilihan-plihan alternatif dan melakukan
mematuhi kaidah dan peraturan-peraturan baru. sesuatu yang berbeda dalam pemilu. Seba-
Karena itu, demokrasi kelihatannya menjadi liknya, aktivitas gerakan tersebut, terutama
“satu-satunya aturan-main” dan sesuai dengan sekarang ini, terbatas pada urusan lobi dan
teori-teori tentang pentingnya lembaga, mantan aktivisme masyarakat sipil.31 Kelima, informan
pengikut Soeharto yang taat aturan otomatis kami dalam survei kedua menyusun beberapa
28
menjadi demokrat. Kedua, sumber utama evaluasi awal yang positif tentang upaya-upaya
publik sejak pertengahan 2000 dalam meme-
26
Lihat, Nur Iman Subono, “Deficit of Democracy:
Civil and Political Freedom vs Other Instruments dalam Priyono, Samadhi, dan Törnquist (eds.),
of Democracy”, dalam Priyono, Samadhi, dan Making Democracy Meaningful….; Törnquist,
Törnquist (eds.), Making Democracy Mean- Assessing Dynamic Democratisation…, khususnya
ingful…; cf. Samadhi dan Asgart, “A Decade of Bab 3.
Reformasi…”, dalam Samadhi dan Warouw 29
Lihat, Priyono dan Subono, “Oligarchic Demo-
(eds.), Building Democracy in…. cracy…”; Nur Iman Subono dan Willy Purna
27
Lihat, Nur Iman Subono, AE Priyono, dan Willy Samadhi, “Towards the Consolidation of Powerful
Samadhi, “The Floating and Marginalised Demo- Elite Democracy”, dalam Samadhi dan Warouw
crats”, dalam Priyono, Samadhi, dan Törnquist (eds.), Building Democracy on….
(eds.), Making Democracy Meaningful…. 30
Cf. Törnquist et al., Aceh: The Role of Democracy
28
Lihat, AE Priyono dan Nur Iman Subono, “Oli- for….
garchic Democracy: Colonisation of the Ins- 31
Lihat, Subono, Priyono, dan Samadhi, “The
truments of Democracy by the Dominant Elite”, Floating and Marginalised…”.

A R T I K E L
10 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

rangi korupsi dan memperbaiki keterwakilan Gubernur DKI Jakarta dan sekarang Presiden
34
melalui pemilihan langsung para pengambil Republik Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo.
keputusan politik. Sampai batas tertentu, lang- Singkat kata, sementara tesis berorientasi
kah-langkah anti-korupsi mendelegitimasi par- ekonomi-politik bahwa demokratisasi Indonesia
tai-partai politik arus utama beserta para pe- dibatasi secara struktural tetap berlaku, hal itu
mimpin dan pemodal mereka. Hal itu membuka hanya memperjelas landasan argumen dan
jalan seperti yang dinamakan James Manor tidak dapat menerangkan hasil-hasil positifnya.
dalam penelitiannya tentang India sebagai Selain itu, tesis dasar etatis bahwa demokratisasi
32
pasca-klientelisme (post-clientelism). Pasca- mungkin bisa menggerus stabilitas dan pem-
klientelisme mencakup langkah sebagian besar bangunan sangat keras “dirusak” oleh fakta
politikus yang tidak bisa lagi memenangi pemilu bahwa demokratisasi liberal dan proses desen-
hampir tidak atas dasar patron-klientelisme tralisasi yang digerakkan oleh para elite tam-
personal yang telah tergerus perubahan ekono- paknya mendorong kemajuan ekonomi dan
mi dan sosial. Karena itu, politikus harus me- secara jelas mendukung proses demiliterisasi
nyertakan praktik orang kuat dan atau politik kapasitas negara sekaligus kesatuan bangsa.
berorientasi personal, gagasan-gagasan populis,
dan mobilisasi untuk menarik dukungan massa,
Mengapa Mandeg?
ditambah pemahaman dengan para pemimpin
masyarakat sipil dan serikat pekerja untuk Namun, selama survei kedua dan ketiga
mendapatkan simpati di kalangan kelas me- serta studi lanjutan terkait, para informan me-
nengah terdidik dan buruh. nekankan munculnya pernyataan beberapa sar-
Dari survei kedua, tetapi terutama survei jana bahwa demokratisasi mengalami proses
35
ketiga, jelas bahwa kendati sebagian besar pelambatan sebelum benar-benar mandek.
kekuatan ekonomi dan sosial oligarki serta Kendati ada tanda-tanda cukup mengganggu
pimpinan partai politik Indonesia tetap utuh, mengenai berkurangnya kebebasan beragama
mereka sudah kehilangan sebagian legitimasi kelompok minoritas dan seksual serta masalah
politik dan otoritas serta tidak mampu mendo- kebebasan berkumpul dan mendiskusikan hal-
minasi seperti masa sebelumnya. Selain itu, hal kontrovesial tanpa harus menjadi sasaran
kurang lebih seperempat dari sekitar 2.000 intimidasi, mayoritas informan pada 2013 tetap
aktor yang diidentifikasi oleh informan kami menganggap kebebasan dan perluasan masya-
pada 2013 sesuai dengan karakteristik khas rakat sipil berkembang secara positif. Namun,
oligarki yang berurat-akar semasa pemerin- kebebasan dan masyarakat sipil hanya meru-
tahan Soeharto. Yang lain adalah “elite baru,” pakan pengecualian. Adapun lembaga-lembaga
yang mengumpulkan sejumlah sumber daya demokrasi lainnya cenderung mandek. Sebagai
untuk memperoleh legitimasi politik dan oto- contoh, menurut 65 hingga 75 persen informan,
33
ritas. Orang paling berhasil dari para pemim-
pin itu tentu saja mantan Wali Kota Solo, Jawa 34
Tentang asal-usul Jokowi; lihat, Pratikno dan
Tengah, yang kemudian terpilih menjadi Cornelis Lay, “From Populism to Democratic
Polity: Problems and Challenges in Surakarta,
32
Lihat, James Manor, “Post-Clientelist Initiatives”, Indonesia”, dalam Kristian Stokke dan Olle
dalam Olle Tornquist, Neil Webster, dan Kristian Tornquist (eds.), Democratisation in the Global
Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation South: The Importance of Transformative Politics
(New York: Palgrave, 2013) . (Basingstoke: Palgrave, 2013).
33
Amalinda Savirani, “Consolidated State, Conso- 35
Lihat, Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic
lidated Business Actors, and New Populist Stagnation: Antireformist Elites and Resilient
Leaders”, dalam Savirani and Törnquist (eds.), Civil Society”, dalam Democratization, Vol. 19,
Reclaiming the State…, hal. 55-70. No. 2, 2012, hal. 209-229.

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 11

kualitas lembaga-lembaga inti yang menangani aturan. Dengan kata lain, strategi demokratisasi
urusan kewarganegaraan, hukum, dan terutama liberal telah mencapai batas-batasnya—dan
tata kelola pemerintahan serta keterwakilan pertanyaannya adalah mengapa?
kian memburuk atau mandek;36 dan keperca- Sangat mudah untuk setuju dengan pakar
yaan terhadap sistem hukum serta partai-partai ekonomi-politik dan etatis bahwa kondisi struk-
politik mapan dan politikus khususnya sangat tural dan kemampuan negara yang buruk telah
lemah. Selain itu, sementara sejumlah upaya te- menggerogoti demokrasi liberal yang lebih
lah dilakukan untuk membendung korupsi baik. Akan tetapi, persis seperti para teoretikus
skala besar, partai mantan presiden jenderal tajam belum lama ini yang gagal memahami
purnawirawan Susilo Bambang Yudhoyono ber- bahwa demokratisasi di Indonesia sangatlah
sama para pembantu dekatnya, yang pernah mungkin (dengan penuh simpati menyuarakan
berjanji membuat perbedaan, dalam tempo sebagian dari kita yang bertingkah idealis),
singkat terbukti menyalahgunakan kekuasaan mereka sekarang menjadi kurang jelas saat
di atas ukuran normal khas Indonesia. Bahkan, menerangkan mengapa demokrasi tidak akan
38
belum lama berselang, Presiden Jokowi yang membuahkan hasil yang diharapkan. Pertama-
dikenal sangat anti-korupsi mengalami kesulitan tama, ada sedikit yang mengatakan bahwa
dalam mempertahankan sepenuhnya upaya- kondisi-kondisi struktural dan kemampuan
upaya pro-aktif Komisi Pemberantasan Korupsi kelembagaan yang mengalami kemunduran
(KPK). signifikan telah menyebabkan kemandekan.
Singkat kata, bukan belum dicoba reko- Memang, kemandekan dapat terjadi karena
mendasi-rekomendasi biasa untuk memper- kondisi yang terus-menerus memburuk akan
baiki sistem pemilu dan lembaga lainnya serta membuat demokratisasi sulit beranjak lebih
untuk memerangi korupsi, namun hasilnya maju. Namun, sebelum menarik kesimpulan,
yang justru sangat buruk. Selain itu, berdasar- harus dibuktikan lebih dahulu bahwa ada be-
kan hasil survei ketiga, peningkatan jumlah berapa upaya memajukan demokratisasi dan
aktor dominan dalam tempo singkat yang me- upaya-upaya ini telah diredam. Sebenarnya, pe-
matuhi kaidah dan aturan-aturan berdemokrasi nyebab sangat penting yang memunculkan
seperti terlihat dari survei pertama dan kedua masalah tersebut mungkin terletak pada stra-
37
akhirnya berhenti sama sekali. Jadi, seperti tegi liberal itu sendiri. Jadi, siapa yang benar?
dalam permainan sepak bola, seandainya se- Beberapa argumen yang mencuat tentang
mua mematuhi aturan yang sama di lapangan, masalah-masalah strategi liberal versus struk-
tim yang memiliki kekuatan uang cenderung tural bisa ditelusuri secara empiris berdasarkan
keluar sebagai pemenang. Lebih buruk lagi: hasil survei dan studi tematis kami. Kami telah
aktivis pro-demokrasi yang merasa tidak punya mengoperasionalisasi faktor-faktor krusial de-
harapan di dalam sistem politik cenderung mokratisasi dari segi kapasitas politik para aktor
menciptakan praktik-praktik informal di luar dalam mengelola kondisi-kondisi yang bisa
membantu perkembangan lembaga-lembaga
36
Hasrul Hanif dan Eric Hiariej, “Democratic
demokratis; dalam hal ini kami mendasarkan
Institutions: From Good Governance to Vibrant pernyataan para sarjana terkemuka mengenai
CSOs”, dalam Savirani dan Törnquist (eds.), masalah dan pilihan-pilihan yang tersedia.
Reclaiming the State…, hal. 33-54; Amalinda Argumen ilmiah meringkasnya menjadi kapa-
Savirani, “Demands for Welfare Rights but sitas para aktor (i) menangani eksklusi untuk
Fragmented Demos”, dalam Savirani dan Törnquist
(eds.), Reclaiming the State…, hal. 19-32.
37
Lihat, Subono dan Samadhi, “Towards the 38
Sahabat baik dan para analis yang memuaskan
Consolidation of…”; Hanif dan Hiariej, “Demo- dan disukai, termasuk Harold Crouch, Richard
cratic Institutions…”. Robison, dan Vedi Hadiz.

A R T I K E L
12 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

mendapatkan inklusi dalam politik dan tata terhadap cendekiawan yang memiliki prinsip
kelola pemerintahan yang diartikan secara luas, maupun terhadap korban pelanggaran HAM.
(ii) mengubah ekonomi, sosial, budaya, dan Secara umum, hal tersebut juga mengusik
sumber-sumber kekuasaan lainnya menjadi kebebasan pers dan wacana publik.40
otoritas dan legitimasi politik, (iii) memasukkan Sebagai tambahan, tindasan yang diber-
isu-isu utama mereka ke dalam agenda publik lakukan di sekolah-sekolah dan kehidupan
dan politik, (iv) melibatkan orang-orang ke dunia publik yang merupakan sejarah kejahatan ter-
politik melalui mobilisasi dan organisasi, (v) hadap kemanusiaan pada akhirnya menahan ke-
mendorong keterwakilan yang sepenuhnya majuan demokrasi; mengubah situasi itu bukan
didukung rakyat, dan (vi) mengembangkan prioritas dalam demokratisasi liberal.41 Namun,
strategi politik yang efektif untuk meraih studi kami menunjukkan bahwa masalah uta-
39
tujuan-tujuan mereka. manya, yakni otoriterisme dan hak istimewa, te-
Bagaimana demokratisasi liberal bisa ter- lah diperjuangkan melalui swastanisasi urusan
pengaruh kondisi politik? Jika strategi liberal publik daripada partisipasi yang setara dalam
tidak berjalan atau bahkan dihambat, bisa saja pemerintahan dan tata kelola pemerintahan. Hak
disimpulkan bahwa kemandekan demokratisasi warga negara dipandang lebih negatif ketim-
disebabkan oleh kendala-kendala struktural. bang positif. Kapasitas negara dan pemerintah
Namun, bila strategi tersebut sebagian besar dalam menangani hal-hal yang dianggap rakyat
telah berjalan sesuai dengan rencana dan hasil menjadi sebuah perhatian publik sangat penting
demokrasi tetap buruk, maka penyebab ma- seperti lapangan kerja dan kesejahteraan, telah
salahnya harus dicari di dalam strategi itu dikurangi demi mendukung upaya swakelola
sendiri. Berikut adalah rangkuman bukti em- melalui organisasi-organisasi non-negara atau
piris survei dan kajian tematis kami yang solusi yang ditentukan oleh pasar. Walaupun te-
bertalian dengan enam dimensi tersebut. lah dihasilkan sekian banyak aturan perundang-
undangan, seperti undang-undang tahun 2012
Lebih Berkebebasan Ketimbang tentang program kesehatan masyarakat, negara
Lingkup Demokrasi masih belum mampu menyediakan layanan
Liberalisasi sangat berhasil melucuti hak yang memadai.42
istimewa kaum militer, partai politik lama, dan
organisasi massa korporatis bentukan negara Keutamaan Ekonomi dan Modal
yang malang-melintang selama tiga dasawarsa Sosial
lebih era kediktatoran Soeharto. Kini, hak-hak Sementara itu, hasil yang mencengangkan
sipil atau hak kewarganegaraan formal cende- dari strategi demokratisasi liberal di Indonesia
rung sama dan secara terang-benderang bebe- adalah bahwa kekuasaan politik tidak lagi tum-
rapa orang atau kelompok dilarang berpar- buh berkembang dari tubuh militer dan ke-
tisipasi di bidang sosial dan politik. Namun, kuatan koersif lainnya; angka untuk para aktor
kebebasan berkumpul dan menyatakan penda- dominan berada jauh di bawah 10 persen dari
pat ditegakkan secara selektif, khususnya bagi
mereka yang memiliki hak istimewa dan keka- 40
Lihat, Eric Hiariej, “The Rise of Post-Clientelism
yaan berlimpah. Hak warga negara untuk ber- in Indonesia”, dalam Savirani dan Törnquist
serikat kerap kali digunakan oleh kelompok- (eds.), Reclaiming the State…, hal. 71-96.
kelompok yang tidak menghormati hak orang
41
Lihat, Olle Törnquist, “The Politics of Amnesia”,
dalam Economic and Political Weekly, Vol. 50,
lain, dan para ekstremis bebas meneror, baik
No. 40, 2015, hal. 24-26.
42
Savirani, “Demands for Welfare Rights …”, dalam
39
Tentang perincian dan daftar pustaka; lihat, Savirani dan Törnquist (eds.), Reclaiming the
Törnquist, Assessing Dynamic Democratisation…. State…, hal. 19-32.

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 13

jumlah total jawaban. Ada juga tanda yang diharapkan sama seperti di media sosial, serta
terang-benderang tentang meningkatnya arti pendidikan dan penelitian. Pendek kata, keme-
penting parlemen dan khususnya para pe- rosotan pengetahuan berbasis politik dan kebi-
mimpin politik terpilih dengan menyisihkan jakan alternatif di bawah liberalisme pemilik
para birokrat. Bagaimanapun juga, salah satu uang telah mengubah Indonesia menjadi se-
kelemahan utama strategi tersebut adalah kian buah kubu relativisme pasca-modern tempat
meningkatnya arti penting sumber daya eko- pengetahuan faktual menjadi kurang penting
nomi dalam menghasilkan otoritas dan legi- ketimbang hak seseorang menurut interpretasi
timasi politik. Akses ke kekuatan ekonomi yang mereka sendiri, selama mereka memiliki ba-
sangat besar merupakan sebuah keharusan nyak uang dan hubungan baik.43
dalam lingkar politik untuk membiayai layanan
dan kampanye. Pada kenyataannya, pengusaha Dari Isu Tunggal ke Tuntutan
swasta tidak hanya membayar juru bicara di Negara Kesejahteraan
pelbagai media dan dunia politik serta rekanan Demokratisasi liberal memberi prioritas
mereka di pemerintahan; dalam banyak hal tinggi terhadap politisasi sejumlah isu tunggal
mereka sendiri juga politikus. Sebaliknya, orang yang tersebar di organisasi-organisasi masya-
miskin dengan pendidikan formal rendah di- rakat sipil dan serikat buruh dengan agenda
batasi untuk ikut pemilihan sebagai calon. Ham- khusus masing-masing dan ketidakmampuan
pir dua dasawarsa setelah lengsernya rezim luar biasa dalam membangun platform bersama
Soeharto, para pegawai negeri sipil juga dilarang dan mengembangkan perspektif alternatif yang
aktif menggeluti dunia politik dalam kapasitas lebih luas. Sementara itu, aktor-aktor dominan
mereka sebagai warga negara biasa. Hal demi- lama tetap mempertahankan hegemoni ideologi
kian sangat ironis saat “ketentuan” itu dikena- menyangkut agenda-agenda yang lebih besar.
kan kepada para guru yang telah dikekang Di samping pernyataan-pernyataan propagan-
selama beberapa dasawarsa oleh rezim oto- dis, ada kekurangan sangat serius dalam hal
44
ritarian, tetapi dengan potensi demokratis agenda-agenda pembaruan ekonomi alternatif.
mereka menjadi luar biasa penting dalam seja- Namun demikian, survei ketiga mencatat ada-
rah perjuangan Indonesia untuk hak-hak ke- nya perubahan besar selama beberapa tahun
warganegaraan. Di samping itu, para informan terakhir dalam hal prioritas di kalangan aktivis
menganggap modal sosial dalam hal membina dan rakyat pada umumnya. Tampaknya ada
hubungan baik serta jejaring dengan “orang semacam pergerakan ke arah sebaliknya, baik
kuat” dan berpengaruh hampir sama penting terhadap imbas pembangunan ekonomi yang
dengan sumber daya ekonomi. tidak merata maupun demokratisasi liberal—
Dalam konteks itu, para aktor alternatif juga
terhubung dan kian bergantung pihak pemberi 43
Lihat, Priyono, Samadhi, dan Törnquist (eds.),
dana atau pemodal karena lemahnya kekuatan Making Democracy Meaningful…, data apendiks;
ekonomi dan sosial alternatif mereka yang Subono dan Samadhi, “Towards the Consolidat-
ion of…”; Samadhi dan Warouw (eds.), Building
selama ini bertumpu pada organisasi dan mobi- Democracy on…, data apendiks; Savirani, “Conso-
lisasi massa. Bahkan, kapasitas mereka untuk lidated State…”; dan Hiariej, “The Rise of Post-
mengubah kekuasaan berdasarkan pengeta- Clientelism…”.
huan dan partisipasi dalam diskursus publik 44
Lihat, Subono, Priyono, dan Samadhi, “The Float-
menjadi otoritas dan legitimasi politik, yang ing and Marginalised…”; S Karyadi, “Populist
Shortcut to Progress?”, dalam Samadhi dan
sangat penting dalam awal proses demokrati-
Warouw (eds.), Building Democracy on…; serta A
sasi, telah direduksi oleh komersialisasi dan Nur dan Olle Törnquist, “Crafting Representat-
tumbuhnya kepentingan aktor-aktor dominan ion”, dalam Samadhi dan Warouw (eds.), Building
dalam memengaruhi suntingan media, yang Democracy on….

A R T I K E L
14 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

memperkuat pertanyaan lebih luas tentang besar dan satu-satunya partai politik modern
kebijakan pembangunan ekonomi dan kesejah- berbasis massa, Partai Komunis Indonesia (par-
teraan. Bahkan, sebagian besar aktivis (terma- tai komunis terbesar ketiga di dunia), telah
suk banyak di antara informan kami) yang dibubarkan rezim Soeharto. Mereka jelas tidak
dahulu menolak negara dan “politik kotor” serta terlibat dalam demokratisasi pasca-Orde Baru.
gempita menyambut penekanan liberal pada Gerakan demokrasi baru itu sendiri bersifat eli-
masyarakat sipil dan swakelola, sekarang men- tis dan terfragmentasi. Alih-alih mencoba me-
desak politikus dan pemerintah untuk sungguh- ngubah hal itu, para tokoh moderat berorientasi
sungguh mempertimbangkan upah lebih layak, reformasi menolak aktivis pro-demokrasi segera
pembangunan negara yang menjamin kesejah- setelah Soeharto tumbang.46 Karena itu, mereka
teraan, dan kompromi untuk tanggung jawab menghalangi munculnya kembali gerakan dan
lingkungan dalam menangani pertumbuhan organisasi-organisasi berbasis keanggotaan yang
perkotaan yang kacau-balau. luas dengan mendukung organisasi sosial keaga-
Presiden Jokowi memang sangat terampil maan dan organisasi kemasyarakatan lokal yang
membingkai dan mengemas masalah-masalah berorientasi pada isu tertentu, serta serikat-
tersebut selama menjabat Wali Kota Solo dan serikat buruh. Hal semacam itu disukai oleh
Gubernur DKI Jakarta, tetapi tidak ada satu pun sarjana-sarjana liberal dan para pakar, seperti
politikus yang mampu mengenyampingkan ser- terlihat dalam sebuah konferensi internasional di
ta mengabaikan tuntutan-tuntutan baru. Bahkan, Jakarta pada Agustus 1998 dengan tema bagai-
47
dalam pemilihan presiden tahun 2014, mantan mana merancang demokrasi Indonesia.
perwira tinggi TNI Jenderal Prabowo Subianto Sebagian dari hasil kesimpulan awal kami
yang sekalipun berorientasi pemerintahan oto- harus dikatakan bahwa gerakan demokrasi
riter tetap berusaha merangkul serikat-serikat pasca-Soeharto sama “mengambangnya” se-
buruh radikal, aktivis lingkungan, dan kelom- perti yang dikehendaki Soeharto dari orang-
pok-kelompok tani yang telah kehabisan dana orang yang berada di bawah pemerintahannya
dan ide-ide segar (yang dengan naif berpikir untuk “menjauhi” organisasi politik berbasis
48
bisa memanfaatkan dia), dan dia hampir meme- kelas. Sejak itu, para aktor alternatif mencoba
nangi pilpres itu. Jadi, terlepas dari semakin pelbagai cara “berpolitik” dengan membangun
pentingnya tuntutan akan kesejahteraan rakyat, isu yang lebih membumi serta membentuk
para politisi dominan tetap berhasil memper- organisasi-organisasi berbasis isu dan kepen-
tahankan posisi awal dan hegemoni, sedangkan tingan. Namun, cara tersebut menjadi landasan
gerakan berbasis kepentingan rakyat banyak dari prioritas khusus yang sudah ada dan tak
dan para aktivis tetap tidak memiliki banyak terhitung dari kelompok-kelompok masyarakat
pilihan selain mengekor dari belakang.45 sipil, serikat buruh, ditambah partai-partai kader.
Dengan demikian, dua hasil pokok cukup pen-
Menghindari Pergerakan Massa ting adalah memberi prioritas untuk melakukan
Tonggak dasar strategi demokratisasi li- lobi, kampanye media, dan jejaring aktivisme
beral—menghindari mobilisasi massa demi
kompromi-kompromi moderat-elitis—mudah 46
Digambarkan dengan baik dalam pertemuan
diterapkan di Indonesia. Gerakan rakyat sangat antara mahasiswa dan para tokoh demokrasi
moderat terkemuka di Ciganjur, 10 November
45
Savirani, “Demands for Welfare Rights…”, dalam 1998; yang terakhir menolak terlibat dalam
Savirani dan Törnquist (eds.), Reclaiming the pengorganisasian dan mobilisasi masa.
State…, hal. 19-32; Samadhi dan Törnquist, 47
Lihat, Willian R Liddle (ed.), Crating Indonesian
“Bypassing the Problems of…”, dalam Savirani Democracy (Bandung: Mizan Pustaka, 2001).
dan Törnquist (eds.), Reclaiming the State…, hal. 48
Lihat, Törnquist, Prasetyo, dan Priyono (eds.),
87-116. “Floating Democrats”.

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 15

berbasis internet, atau menautkan berbagai upaya mendukung langkah-langkah seperti


gerakan dan kelompok-kelompok civil society yang dilakukan Friedrich-Ebert-Stiftung justru
dengan para pemimpin politik baru yang me- dicegah. Alternatif utama adalah masyarakat
mihak rakyat dan pihak tertentu. Cara-cara sipil serta kelompok-kelompok lobi dan jejaring
tersebut dipakai untuk mendapatkan akses ke berbasis agama dan etnis selain partisipasi
sumber pendanaan dan organisasi-organisasi langsung di tingkat lokal serta gelaran dialog
massa serta menjangkau rakyat biasa dengan kerakyatan. Akan halnya partai politik, kaum
memberikan kesempatan kepada mereka men- liberal arus utama tidak hanya melarang partai
calonkan diri dalam ajang pemilu. Sejauh ini, su- Marxis sembari menerima partai lama warisan
dah tampak beberapa tanda positif menyangkut Soeharto, partai sayap kanan, dan kelompok-
mobilisasi dan tumbuhnya organisasi indepen- kelompok agama. Mereka juga menerapkan
49
den. Kami akan kembali mengulas perseku- persyaratan luar biasa ketat bagi parpol yang
tuan singkat yang berhasil terjalin pada 2010– hendak bertarung dalam pemilu. Persyaratan
2012 di antara serikat buruh, organisasi masya- dasar untuk diperbolehkan mengikuti pen-
rakat sipil dan organisasi-organisasi lain, serta calonan, bahkan di tingkat lokal, adalah partai
politikus progresif menyangkut aturan perun- bersangkutan harus bisa meyakinkan peme-
dangan baru tentang layanan kesehatan nasional. rintah bahwa partai ini benar-benar hadir secara
fisik di seluruh negeri. Karena luas Indonesia
Keterwakilan yang Dibatasi hampir setara luas Uni Eropa, persamaan Indo-
Prestasi besar demokratisasi liberal di nesia dengan Eropa adalah, misalnya, partai
Indonesia adalah membongkar keterwakilan politik di Jerman atau Swedia yang ingin mengi-
aktor-aktor organisasi korporatis bentukan kuti pemilu lokal pertama-tama harus mem-
rezim Soeharto. Namun, demokratisasi ter- bangun (dan membiayai) cabang-cabang partai
sebut justru menjauhkan pengorganisasian yang ada hampir di seluruh negara anggota Uni
massa dari bawah dengan mencap partai-partai Eropa. Di Indonesia, bagi siapa pun yang tidak
politik berbasis pergerakan ketinggalan zaman, memiliki sumber daya ekonomi besar, hampir
tidak realistis, dan mengenyampingkan keter- tidak mungkin bisa mendirikan partai dan
wakilan kelompok-kelompok kepentingan kor- berpartisipasi dalam pemilu melalui partai
poratis sosial-demokrasi non-negara. Bahkan, alternatif yang demokratis.
Salah satu alasan pembuatan aturan-aturan
49
Lihat, Törnquist, Prasetyo, dan Priyono (eds.), yang membatasi itu adalah untuk mengon-
“Floating Democrats”; Törnquist, “The Political
solidasi sistem kepartaian yang solid dan ter-
Deficit”; Priyono dan Subono, “Oligarchic
Democracy…”; Subono, Priyono, dan Samadhi, padu. Akan tetapi, bahkan setelah misi itu ram-
“The Floating and Marginalised…”; Subono dan pung dan mengingat fakta bahwa Indonesia
Törnquist, “Crafting Representation…”; Olle adalah yang terbaik dibandingkan dengan India
Törnquist, Michael Tharakan, dan Nathan (yang belum terpecah belah meski desen-
Quimpo, “Popular Politics of Representation: New tralisasi dan undang-undang mengenai partai
Lessons from the Pioneering Projects in Indonesia,
Kerala, and the Philippines”, dalam Tornquist,
politik dan pemilihan umum diterapkan di
Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular…; negeri ini), alasan utama pemberlakuan aturan
Hiariej, “The Rise of Post-Clientelism…”; Samadhi yang membatasi itu mungkin untuk melindungi
dan Törnquist, “Bypassing the Problems of kepentingan dan hak istimewa partai-partai
Democratisation…”; serta Luky Djani, Olle mapan. Bahkan, ketika partai-partai lokal di
Törnquist, Osmar Tanjung, dan Surya Tjandra,
Aceh diperbolehkan mengikuti pemilu sebagai
Beyond Populist Transactionalism: What are the
Prospects Now for Popular Politics in Indonesia? bagian dari isi perjanjian perdamaian yang dipe-
Working Paper (Jakarta: Institute for Strategic rantarai dunia internasional pada 2005, pem-
Initiatives, 2016). bukaan proses demokrasi segera merongrong

A R T I K E L
16 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

efektivitas peraturan tanpa kritik signifikan dari kepentingan anggota parlemen dan politikus
kaum liberal di dalam dan luar negeri. Ketika eksekutif. Karena itu, anggota dan pimpinan
pendukung reformasi bergerak maju dalam komisi-komisi tersebut tidak dapat bertindak
ruang demokrasi baru, para mantan pemimpin mewakili isu demokrasi dan organisasi kepen-
50
pemberontak yang konservatif diberi perlakuan tingan dan masyarakat lainnya.
khusus yang menggerogoti lawan-lawan re-
formis mereka sebagai kompensasi atas peng- Memintas Demokratisasi
hentian perjuangan bersenjata dan mobilisasi Ketika membicarakan strategi-strategi aktor
suara untuk presiden dan partai di tingkat politik dalam mencapai tujuan yang diinginkan,
pemilihan umum nasional. efek serius dari demokratisasi liberal pada
Sementara itu, ada beberapa upaya untuk awalnya adalah untuk memenangkan beberapa
menjegal partai-partai yang tidak jujur dan para strategi reformis, yakni rencana-rencana yang
pemimpinnya; namun strategi utama liberal berhubungan dengan langkah ke depan seperti
adalah mengajukan calon perseorangan yang membangun aliansi khusus untuk memajukan
ada dalam daftar partai dan mendorong pemi- pembaruan tertentu, yang pada gilirannya me-
lihan langsung untuk para eksekutif partai. Hal mungkinkan koalisi para aktor lebih luas melak-
tersebut membuat semakin banyak kandidat sanakan reformasi lanjutan yang mendorong
perseorangan terlibat praktik “politik uang.” pembangunan lebih inklusif, sistem kesejah-
Satu-satunya pengecualian adalah beberapa teraan lebih baik, pendidikan lebih berkualitas,
kandidat progresif yang terpilih sebagai anggota dan demokrasi yang lebih luas. Sebagian besar
partai politik arus utama dan anggota Dewan informan kami malah memikirkan beberapa
Perwakilan Daerah (DPD), dan juga terpilih strategi dalam hal perhitungan tentang bagai-
sebagai lurah, bupati, wali kota, dan gubernur. mana memperoleh koneksi terbaik di dalam ne-
Namun, DPD tidak memiliki kekuatan dan gara serta dunia politik dan selanjutnya menda-
anggota partai politik serta eksekutif terpilih patkan akses ke posisi politik berpengaruh dan
sebagian besar berkat kemurahan hati para bos sumber daya publik sebanyak mungkin untuk
dan penyandang dana yang memiliki kekuasaan merawat kepentingan, proyek, dan organisasi
besar. Pemimpin seperti Presiden Jokowi mereka sendiri di luar negara dan pemerintah.
mungkin bisa mengimbangi pengaruh para Ide mengembangkan proposal pembaruan
patron dan penyandang dana mereka melalui dan memobilisasi dukungan seluas mungkin,
kerja sama dengan gerakan kerakyatan dan serta pelaksanaannya yang berimbang lewat
aktivis, dan mungkin saja ada yang lebih dari itu. perbaikan layanan negara dan pemerintah,
Namun, sejauh ini, gerakan dan para relawan tampaknya hampir sama sekali asing di antara
di belakang Jokowi belum diberikan hak keter- para aktor alternatif. Sebenarnya, bukti-bukti
wakilan demokratis yang terlembaga, hanya empiris menunjukkan bahwa aktor-aktor do-
“transaksional kerakyatan,” termasuk akses
kepada para pemimpin populis yang cenderung 50
Lihat, Priyono dan Subono, “Oligarchic
mempresentasikan diri sebagai penjelmaan Democracy…”; Priyono, Samadhi, dan
Soekarno. Meningkatnya jumlah badan/komisi Törnquist, Making Democracy Meaningful…;
dan dewan penasihat di tingkat pusat dan daerah Karyadi, “Populist Shortcut to…”; Nur dan
yang menangani isu tertentu, seperti korupsi, Törnquist, “Crafting Representation”; Törnquist,
HAM, dan perencanaan, memiliki potensi pen- Tharakan, dan Quimpo, “Popular Politics of
Representation…”; Törnquist, Prasetyo, dan
ting sebagai jembatan antara negara dan masya-
Birks, Aceh: The Role of…; Törnquist, “Stagnation
rakat. Namun demikian, para anggota komisi dan or Transformation in…”; Hiariej, “The Rise of
dewan-dewan tersebut dipilih berdasarkan ka- Post-Clientelism…”; Samadhi dan Törnquist,
pasitas perseorangan dan ditunjuk sesuai dengan “Bypassing the Problems of…”.

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 17

minan lebih mampu mengembangkan strategi organisasi masyarakat sipil yang terserak di
komprehensif untuk merengkuh legitimasi berbagai tempat yang pada gilirannya membuka
serta otoritas dan dengan demikian bisa meraih jalan bagi berlanjutnya hegemoni ideologis elite
kepercayaan dalam pemilu. Setelah itu, mereka lama tentang bagaimana memerintah suatu
tidak hanya memperoleh akses ke pemangku negeri, (iv) menghalangi politik berbasis massa
jabatan publik dan sumber daya, tetapi juga bisa yang memungkinkan elite melakukan kom-
meminta banyak hal untuk dilakukan oleh pe- promi dan individualisasi aktivisme dalam me-
merintah. Aktor-aktor alternatif di bawah demo- dia, lobi, dan jaringan, (v) mengabaikan repre-
kratisasi liberal sungguh sangat lemah, se- sentasi kepentingan dan gagasan-gagasan sa-
hingga fokus utama mereka adalah melobi dan ngat penting yang mungkin mendorong demo-
“mendapatkan akses” ke sumber-sumber daya kratisasi dan sebaliknya membuka kemung-
untuk kegiatan di luar negara dan pemerintah; kinan penggabungan elitis kelompok-kelompok
tidak berusaha memenangi pemilu atau mem- yang disukai, populisme, dan “demokrasi lang-
bangun organisasi massa dan persekutuan lebih sung”, serta (vi) mengabaikan semua pemba-
luas. Dalam jangka pendek, jalan pintas itu ruan strategis, termasuk menyangkut masalah
merupakan cara lebih rasional untuk mem- paling penting dari demokratisasi, dan sebalik-
peroleh beberapa hasil ketimbang berjuang di nya membuka pelbagai upaya memasuki negara
sepanjang perjalanan demokrasi yang berliku- dan mendapatkan akses keuntungan serta
liku dan penuh tantangan yang mungkin se- sumber daya untuk semua kegiatan di luar
terusnya terhalang. Barangkali yang terburuk urusan tata kelola pemerintahan publik. Apa
dalam konteks itu adalah segelintir, jika ada, yang harus dilakukan?
aktor membangun strategi yang membahas Banyak pakar ekonomi-politik dan pendu-
dan mencoba memperbaiki masalah-masalah kung peran negara (etatis) tetap bersikeras
51
serius yang sudah diidentifikasi di atas. bahwa demokrasi yang lebih baik mengandai-
kan perubahan struktural, berkurangnya keti-
daksetaraan, dan negara yang lebih efisien
Alternatif Sedang Bermunculan?
menjelang demokrasi. Ada banyak contoh un-
Dengan demikian, dalam kesimpulan se- tuk itu, namun pertanyaan sangat penting
mentara, bukti empiris kami menunjukkan adalah bagaimana jika kondisi yang lebih baik
bahwa kurang berlanjutnya kemajuan demo- tidak dapat terwujud melalui pembaruan demo-
krasi bukan semata-mata disebabkan oleh krasi yang lebih transformatif?
kendala-kendala struktural atau kapasitas ne- Memang benar bahwa secara historis aktor-
gara yang buruk, melainkan karena strategi aktor progresif yang tangguh di Amerika Utara
awal liberal berhasil (i) memerangi hak-hak dan terutama di Eropa bagian utara tumbuh dari
istimewa dan otoritarianisme dengan mela- perkembangan industri yang komprehensif,
kukan swastanisasi dan menyerahkan kepada gerakan buruh yang kuat, kompromi dengan
pasar ketimbang memperluas ruang lingkup kaum tani dan kelas menengah, dan pertum-
politik yang demokratis, (ii) mendorong pen- buhan koalisi yang setara dengan para pemberi
tingnya ekonomi dan modal sosial didominasi kerja yang terorganisasi baik—semuanya men-
oleh elite untuk mendapatkan otoritas dan dorong ke arah tata kelola pemerintahan publik
legitimasi politik, (iii) memupuk pelbagai akti- yang lebih baik dan kebijakan kesejahteraan
vitas menyangkut isu tunggal di kalangan lebih luas. Sedikit sekali yang tidak setuju
dengan pembangunan yang pesat, tetapi tidak
51
Samadhi dan Törnquist, “Bypassing the Pro- merata dan berbelit-belit, di negeri seperti
blems of…”; Djani et al., Beyond Populist Indonesia akan menghasilkan proses serupa.
Transactionalism…. Baik buruh maupun sebagian besar kelas

A R T I K E L
18 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

menengah dilemahkan oleh informalisasi kon- Kedua, studi empiris kami menunjukkan
disi lapangan kerja neo-liberal sementara orang- bahwa para aktor perubahan di Indonesia yang
orang yang beruntung dan lebih kaya kian sejauh ini terpencar-pencar dan lemah kemung-
sukses. Sebagian besar kompetisi di tingkat kinan bisa membangun semacam gerakan
global dan prioritas penanaman modal masih perlawanan terhadap pembangunan ekonomi
bertumpu pada “penjarahan” dan penerapan yang berbelit-belit dan berliku, sebagaimana
upah rendah. Walaupun demikian, hasil pene- pernah diidentifikasi oleh Karl Polanyi.54 Per-
litian kami dari Indonesia dan perbandingan tumbuhan daerah perkotaan yang semrawut
internasional menunjukkan bahwa kebebasan telah mendorong sejumlah kompromi di antara
politik dikombinasikan dengan pertentangan beberapa kelompok bisnis, kelas menengah,
baru akan membuka jalan alternatif bagi aksi dan kaum miskin kota. Banyak di antara mereka
52
bersama dan kemajuan demokrasi. berhasrat membangun kota lebih layak-huni
Pertama, meningkatnya jumlah aktor-aktor dengan akumulasi modal melalui perampasan
nasional dan internasional yang ingin mengu- tanah penduduk dan sumber daya lainnya
rangi ketergantungan pada ekstraksi sumber ketimbang berdasarkan produksi. Kerja sama
daya alam dan ekploitasi buruh murah yang paling terkenal adalah yang diperantarai Jokowi
menopang pertumbuhan pasar melalui pem- di Solo, Jawa Tengah, dan di Jakarta sebelum dia
bangunan inklusif membutuhkan lebih banyak terpilih sebagai Presiden. Selain itu, buruh
aturan perundang-undangan dan sedikit korupsi. yang terorganisasi mulai menyadari bahwa me-
Memang benar bahwa banyak di antara mereka reka harus menautkan hubungan dengan buruh
menyatakan takjub akan peningkatan “stabilitas” kontrak dan pekerja mandiri untuk berjuang
dan bahkan kembalinya sebagian “politik ke- bersama demi mendapatkan lebih banyak pe-
tertiban” ketimbang demokrasi yang lebih fung- kerjaan dan skema kesejahteraan lebih baik
sional. Namun demikian, fakta bahwa seha- serta melawan informalisasi hubungan kerja.
rusnya para pemangku jabatan dan adminis- Itulah latar belakang munculnya gerakan yang
trator tercerahkan (yang diharapkan mema- meluas untuk skema jaminan kesehatan masya-
jukan tata kelola pemerintahan lebih baik) rakat secara nasional.
terus-menerus memperoleh dan meraup keun- Sangat banyak kelas menengah yang be-
tungan dari korupsi dan ekstraksi sumber daya kerja di bawah kondisi yang berbahaya juga
alam daripada pertumbuhan inklusif, sungguh khawatir dan mendukung kesejahteraan publik.
mengharuskan pemikiran-ulang.53 Jika demi- Kesediaan mereka membayar pajak untuk pe-
kian, ada kemungkinan upaya menumbuhkan nyediaan layanan seperti itu (bukannya mencari
koalisi nasional dan internasional lebih luas solusi pribadi) mengandaikan kepercayaan para
mendukung keterwakilan yang lebih baik dan aktor yang mendukung pemerintahan yang
peningkatan kapasitas politik terhadap pertum- efektif dan adil. Namun, hal yang sama juga
buhan inklusif dan tata kelola pemerintahan. berlaku untuk aksi bersama kota-kota yang
layak-huni serta aliansi lebih luas di kalangan
52
Lihat, Samadhi dan Törnquist, “Bypassing the
Problems of …”; Olle Törnquist dan J Harriss.
buruh yang menghendaki kondisi kerja dan
“What are the Prospects now for Social Demo- skema kesejahteraan lebih baik. Karena itu,
cratic Development?”, dalam Olle Tornquist dan semua gerakan tersebut dapat menambah dan
John Harris (eds.), Reinventing Social Democratic memasukkan sejumlah tuntutan untuk tata
Development: Insights from Indian and Scandina- kelola pemerintahan yang lebih baik. Yang
vian Comparisons (New Delhi: Oxford University
Press, 2016).
53
Cf. Daren Acemoglu dan James Robinson, Why 54
Lihat, Karl Polanyi, The Great Transformation:
Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Social and Economic Origins of Our Times
Poverty (London: Profile Books, 2012). (Boston, MA: Beacon Press, 1944).

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 19

paling penting, persatuan yang meluas dan bangan kebijakan, pengorganisasian demokra-
berpihak pada pembaruan yang dilaksanakan tis, dan kapasitas untuk memerintah. Hal itu
dengan baik ke arah hubungan kerja dan kese- memerlukan dukungan melalui politik dan kebi-
jahteraan yang layak serta bisa mendorong aksi jakan-kebijakan transformatif yang menghasil-
57
bersama lebih luas dan terorganisasi dengan kan kondisi lebih baik untuk perubahan.
lebih baik, yang pada gilirannya menjadi dasar Lantas, apa yang bisa dilakukan?
bagi perjalanan demokrasi menuju perbaikan
ekonomi melalui pakta-pakta pertumbuhan
Demokratisasi 2.0
sosial historis yang mendahului negara kese-
jahteraan menyeluruh. Sebagai hasil dari bukti empiris, demo-
Sebagaimana disimpulkan dalam studi baru- kratisasi harus memasuki fase kedua. Tahap
baru ini tentang “Reinventing Social Democratic pertama ditandai keterlibatan para aktor ber-
Development”, 55 dengan sendirinya hal ter- pengaruh dalam penyusunan agenda-agenda
sebut menjadi skenario yang terbalik. Diban- pembaruan sederhana dan terutama pemba-
dingkan dengan sejarah pertumbuhan pakta- ngunan institusi-institusi liberal yang dapat
pakta sosial di Skandinavia antara perwakilan mereka terima. Tahap kedua juga harus mengi-
modal dan buruh yang terorganisasi dengan kutsertakan perhatian lebih luas dan kepen-
baik, yang menghasilkan kepastian dan kepen- tingan yang terpinggirkan, namun dibutuhkan,
tingan (bahkan di kalangan para pemberi kerja) untuk mengatasi masalah-masalah besar sisa
dalam pembaruan kesejahteraan yang juga dari pembaruan tata kelola pemerintahan yang
mendorong pembangunan ekonomi, skenario terbatas dan buruknya keterwakilan aktor-aktor
yang mungkin terjadi di negeri-negeri belahan perubahan. Kami pun berpendapat bahwa prio-
Selatan dengan pembangunan tidak merata ritas utama demokratisasi 2.0 seharusnya
adalah bahwa perjuangan untuk hak-hak, kese- mengedepankan isu representasi sosial-demo-
jahteraan, serta penerapan yang berimbang krasi dan kelompok-kelompok kepentingan
sangat mungkin membuka jalan bagi pertum- untuk melengkapi pemilu demokrasi liberal dan
buhan pakta-pakta sosial. Tanda-tanda adanya partisipasi langsung warga negara.
potensi seperti itu di Indonesia sebagian mengi- Pada awalnya sangatlah lumrah menentang
ngatkan pada dinamika baru-baru ini yang negara otoriter dan berjuang untuk kebebasan
dilakukan Indian Common People’s Party (Aam menghentikan penyalahgunaan kekuasaan
Admi Party/AAP) terhadap pemerintah daerah yang pernah dilakukan dalam perjuangan mela-
56
di New Delhi. wan penjajahan, namun kemudian ditiadakan
Akan tetapi, sebagaimana dibuktikan oleh lagi. Namun, sekarang, negara Indonesia (di
tantangan langsung, baik di Indonesia maupun tingkat pusat dan daerah) mengingatkan kem-
India, gerakan ke arah sebaliknya dan politik bali sebagian isi rumah yang dijarah dan dikelola
serta tata kelola pemerintahan yang terorgani- sangat buruk dengan hanya dua jalan masuk;
sasi tidaklah sama. Ada semacam kebutuhan satu pintu belakang untuk karyawan yang di-
yang meningkat tidak hanya untuk memfasi- rekrut oleh orang dalam dan satu pintu depan
litasi usaha-usaha yang muncul dari aliansi- yang terbatas untuk elite politik dan pemodal
aliansi lebih luas, tetapi juga untuk pengem- mereka yang menang dalam pemilihan umum.
Izin masuk yang dibatasi membuat sebagian
55
Törnquist and Harriss, Reinventing Social besar aktor mencoba melakukan segala cara
Democratic Development….
yang memungkinkan mereka masuk dan men-
56
Lihat, John Harriss, “What are the Prospects for
a Social Democratic Alliance in India Today?”, dapatkan akses pada sumber daya dan kapasi-
dalam Tornquist dan Hafrris, Reinventing Social
Democratic Development…. 57
Harriss, “What are the Prospects…”.

A R T I K E L
20 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

tas yang tersisa, seperti dengan cara “membina perluas prinsip-prinsip tripartit Organisasi Per-
hubungan baik” dengan orang dalam atau me- buruhan Internasional (ILO) menyangkut ne-
mecahkan kaca jendela atau memanjat teras. gosiasi pasar tenaga kerja ke sektor dan aktor-
Tidak ada cara masuk yang tidak mungkin; aktor lain. Mengingat pengalaman-pengalaman
istilah untuk itu sangat bervariasi, termasuk sejarah, keterwakilan demokratis akan isu dan
melobi, korupsi, dan “politik transaksional”; dan kepentingan krusial yang telah diabaikan itu
cara-cara tersebut digunakan oleh aktor-aktor juga bisa mengandung penyalahgunan kekua-
lama maupun aktor pro-rakyat. Bahkan, serikat- saan di kalangan politikus dan birokrat serta
serikat buruh, organisasi-organisasi kerakyatan, meningkatkan kapasitas politik para pelaku
dan perkumpulan-perkumpulan warga negara perubahan. Namun, apakah itu layak secara
turut menyesuaikan, seperti yang juga dilaku- politik di Indonesia?
kan oleh para cendekiawan. Seni melintasi ma- Sebagaimana telah kita saksikan, pemimpin
salah-masalah demokrasi itu tentunya berakar kurang elitis seperti Jokowi membutuhkan du-
pada relasi-relasi kuasa, tetapi juga dalam aksi kungan tidak hanya dari aktor-aktor berpenga-
kolektif, yakni tidak ada orang yang berubah ruh saja, melainkan juga dari organisasi-organi-
kecuali yang lain berubah. Karena itu, harus ada sasi warga, serikat buruh, dan pelbagai organisa-
lebih banyak pintu untuk negara dan politik si kepentingan lainnya. Ada tanda-tanda bahwa
yang terorganisasi. yang terakhir bisa hadir bersama dengan tun-
Dari sudut pandang normatif, izin masuk tutan akan hubungan kerja yang lebih layak, re-
seharusnya diatur secara demokratis untuk formasi kesejahteraan, dan implementasi la-
menahan konfrontasi serta penjarahan dan pe- yanan terkait yang efisien dan adil. Pertanyaan
netrasi baru, tetapi juga untuk mendorong kerja penting yang membutuhkan penelitian lebih
sama antara negara dan masyarakat melalui lanjut adalah seandainya pun mereka menye-
keterwakilan ambisi dan kepentingan dalam pakati tuntutan keterwakilan yang demokratis
mendukung perubahan yang progresif. Hal dalam pengembangan dan pelaksanaan kebijak-
tersebut dimungkinkan dengan dimasukkannya an-kebijakan tersebut (dengan demikian turut
serikat-serikat buruh demokratis, asosiasi- meningkatkan kapasitas mereka sendiri) —dan
asosiasi pengusaha, dan organisasi-organisasi jika dipahami oleh para pemimpin politik dan
masyarakat sipil yang relevan dalam pengem- pengusaha yang berkepentingan dengan pem-
bangan dan pelaksanaan reformasi ke arah tata bangunan inklusif, kesepakatan-kesepakatan itu
kelola pemerintahan yang efektif dan skema kemungkinan akan menguntungkan mereka
kesejahteraan yang memajukan pembangunan juga. Sokongan bisa diberikan oleh organisasi
inklusif. Bidang kebijaksanaan adalah soal pembangunan, organisasi buruh, dan organisasi
prioritas dan tentunya harus diputuskan oleh pro-demokrasi internasional untuk kepentingan
politikus yang terpilih berdasarkan preferensi agenda dan kesepakatan lebih luas dan tidak
warga negara. Namun, penunjukan wakil rakyat perlu partisan dalam kaitan dengan partai-partai
dari atas ke bawah ala Soeharto serta proses politik. Namun, isu kuat di bawah agenda demo-
pemilihan saat ini yang bersesuaian dengan krasi dan organisasi-organisasi kepentingan
kepentingan politikus tidak jujur, harus diganti juga bisa menjadi landasan terbaik bagi pengem-
dengan perwakilan yang transparan dan tidak bangan partai-partai yang kurang elitis serta
58
memihak serta dipilih oleh dan bertanggung partai-partai yang dikendalikan oleh oligark.
jawab kepada mereka yang membangun isu
58
Lihat, Samadhi dan Törnquist, “Bypassing the
demokrasi dan kepentingan organisasi nasional.
Problems of Democratisation…”; Savirani et al.,
Sumber-sumber inspirasi mungkin bisa merujuk “Recommendation”, dalam Savirani dan
model korporatisme sosial dan komisi-komisi Törnquist, Reclaiming the State…; Djani et al.,
publik Skandinavia, serta kemungkinan mem- Beyond Populist Transactionalism….

A R T I K E L
Olle Törnquist et al., Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 21

Akhirnya, apa implikasinya terhadap ana- pokok pun telah ditetapkan berdasarkan fakta-
lisis demokratisasi? Tentu saja Indonesia tidak fakta cukup kuat. Karena itu, menurut kami,
sama dengan Dunia Selatan, tetapi Indonesia sudah saatnya menarik diri untuk sementara
merupakan salah satu kasus penting utama waktu dari kajian-kajian tentang demokrasi yang
menyangkut demokratisasi liberal. Kita bisa sangat besar dan korelasinya dengan beberapa
mengandalkan survei yang cukup luas dan studi faktor agar bisa lebih fokus pada persoalan
lanjutan yang telah dilaksanakan selama lebih apakah dan bagaimana kekurangan atau kele-
dari satu setengah dasawarsa. Masalah-masalah mahan demokratisasi liberal bisa diatasi•

A R T I K E L
22
Prisma Prisma
S UVol.
R V36,ENo.
I 1, 2017

Konfigurasi Elite dan Demokrasi


Aktor, Sumber Daya, dan Strategi Kontestasi

Haryanto

Sistem politik Indonesia pasca-Orde Baru semakin inklusif. Konfigurasi elite


pun mengarah pada pluralitas dengan hadirnya aktor dominan dan aktor
alternatif, baik yang berpredikat “elite lama” maupun “elite baru.” Aktor-aktor
tersebut mengandalkan dan berupaya keras menyinergikan pelbagai sumber
daya, terutama sumber daya ekonomi, untuk meraih dan mempertahankan
kekuasaan. Namun demikian, strategi yang mereka terapkan dalam kon-
testasi pemilihan umum cenderung menghidupkan praktik-praktik patronase
yang dapat menghambat keberlangsungan proses demokratisasi.

Kata Kunci: demokratisasi, pluralitas aktor, strategi kontestasi, sumber daya

K
ajian tentang politik Indonesia dasa- Sejak pertengahan tahun 1980-an, “pende-
warsa tahun 1980-an, saat rezim katan” transisi demokrasi banyak dipakai untuk
Orde Baru berkuasa, didominasi oleh menjelaskan perubahan dan perilaku elite politik
pemaparan di tingkat nasional terfokus pada di berbagai belahan dunia, termasuk di Indo-
struktur politik yang melingkupinya. Kondisi nesia, dan kajian tentang elite politik pun dinilai
tersebut juga menyasar studi-studi tentang elite penting dalam konteks penyusunan dan pelak-
politik Indonesia yang sebagian besar terfokus sanaan kebijakan publik. Pada titik itu, elite politik
pada hierarki dan penyangga kekuasaan Orde dipahami sebagai sekelompok kecil individu
Baru—militer, birokrat, dan teknokrat. Namun, yang berada pada level tertinggi serta memiliki
setelah Orde Baru runtuh pada 1998, arah studi
politik dan pemerintahan di Indonesia mulai si 1998. Hal paling konkret adalah perubahan
bergeser cukup jauh. Fase itu ditandai oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang
perubahan arah dan corak pemerintahan dari Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Un-
dang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang
semula berbasis otoritarian menjadi lebih de- Pemerintahan Desa serta pemberlakuan UU No.
mokratis. Salah satu di antaranya adalah per- 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No.
ubahan aturan perundang-undangan tentang 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
pemilihan umum dan partai politik serta dite- dan Daerah. Bahkan, sejak perubahan UUD 1945
rapkannya desentralisasi kekuasaan melalui telah diberlakukan delapan UU yang mengatur
tentang pemilihan umum. Kedelapan undang-un-
kebijakan otonomi daerah.1
dang tersebut memiliki keterkaitan dengan pene-
rapan desentralisasi; lihat, Titi Anggraini, et al.,
1
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di- Kajian Kodifikasi Undang-Undang Pemilu (Jakarta:
selenggarakan di Indonesia sejak pasca-Reforma- Yayasan Perludem, 2014) hal. 50, 55.

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 23

kemampuan mengendalikan proses politik dan dalam pengertian kelas penguasa dan eksekutif
kebijakan publik. Dengan kata lain, elite politik pemerintahan, melainkan lebih dari itu adalah
adalah bagian dari struktur masyarakat berjen- seseorang (individu) atau sekelompok individu
jang yang memiliki privilese untuk menjadi kelas yang berupaya masuk ke dalam jajaran elite
penguasa (the ruling class) atau elite yang atau mereka yang memiliki kemampuan ter-
memerintah (governing elite). Namun demikian, tentu dalam memengaruhi proses pembuatan
cara pandang tersebut mengisolasi penjelasan kebijakan publik.
lain tentang elite yang tidak hanya memiliki Selain berupaya membaca peta konfigurasi
pengaruh karena berada pada posisi tinggi dalam elite (politik) di Indonesia pasca-Orde Baru,
hierarki politik dan pemerintahan (dalam kon- tulisan ini juga mencoba mengupas beberapa
teks penyusunan kebijakan dan pengambilan data hasil Survei Power, Welfare, and Demo-
keputusan), melainkan juga karena elite tersebut cracy (PWD) 2013, sebuah proyek penelitian
memiliki modal kultural dan ekonomi lebih dari kolaborasi Universitas Gadjah Mada, Yogya-
cukup. karta, dengan Universitas Oslo, Norwegia.
Namun demikian, dalam konteks demokra- Berdasarkan hasil Survei PWD, tulisan ini akan
tisasi, studi tentang elite di Indonesia seharus- menelisik lebih jauh aktor sekaligus elite yang
nya tidak semata bersandar pada analisis me- berpengaruh dalam proses demokrasi, sumber
ngenai elite dalam jenjang hierarki tertinggi daya yang dijadikan modal untuk meraih dan
dengan konsep rulling class dan terfokus pada mempertahankan kekuasaan, mekanisme kon-
elite di level nasional. Lebih dari itu, proses testasi elektoral, dan strategi memenangi kon-
demokratisasi yang membuka ruang demokrasi testasi untuk meraih kekuasaan. Tulisan ini
lebih luas dan mendorong suasana semakin memetakan konfigurasi elite di Indonesia de-
inklusif ditambah pelaksanaan kebijakan desen- ngan dua proses yang saling berkait, yakni
tralisasi membuat studi tentang elite turut demokratisasi dan kebijakan desentralisasi.
berkembang lebih jauh seiring dengan per-
kembangan dan perubahan politik di tingkat
Elite dalam Demokrasi dan
lokal. Dalam konteks itulah studi tentang elite
Desentralisasi
sebaiknya “diperlakukan” dan diletakkan se-
bagai bagian dari dinamika dan konstelasi politik Sejak pertengahan tahun 1960-an hingga
di tingkat lokal yang pada saat bersamaan bisa dekade 1990-an, praktik politik Indonesia di
dikaitkan relasinya dengan elite di tingkat bawah Orde Baru Soeharto cenderung sangat
nasional. sentralistik. Hal tersebut terlihat jelas dari kajian
Tulisan ini, beranjak dari pemaparan di atas, para Indonesianis yang sebagian besar mem-
tidak berkehendak memakai definisi elite yang bahas politik dan pemerintahan Indonesia.
terbatas sebagaimana dikonsepsikan Mosca Hampir seluruh sumber daya dikuasai Presiden
dan Pareto, yakni ruling class atau governing Soeharto, kerabat, dan para kroninya, serta
elite sebagai satu-satunya aktor atau agen yang dibagi-bagikan kepada segelintir pendukung.
berperan penting dalam proses demokratisasi. Corak dan sistem politik pun mengacu pada
Di sini, terminologi elite digunakan secara cair model otoritarian. Dalam kondisi seperti itu,
tidak hanya untuk aktor yang berada pada selain Presiden Soeharto, beberapa aktor lain,
jenjang hierarki tertinggi dan pemerintahan, seperti birokrat, teknokrat, dan militer, juga
melainkan juga untuk para aktor yang memiliki ditempatkan sebagai aktor-aktor penting yang
modal sosial-ekonomi kuat serta mampu me- bisa memengaruhi jalannya proses politik. Pada
mengaruhi penyusunan kebijakan publik dan masa itu, studi para Indonesianis juga mela-
pengambilan keputusan. Dengan kata lain, aktor hirkan sejumlah konsep dan teori, misalnya,
yang dimaksud bukan hanya merujuk elite tentang bureaucratic polity dan bureaucratic

A R T I K E L
24 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

pluralism, untuk menjelaskan keberadaan dan lebih inklusif dan sekaligus meningkatkan
2
tingkah laku elite politik. kinerja institusi-insitusi penopang demokrasi.
Namun demikian, tidak lama setelah rezim Hal lain yang juga penting dicermati adalah
Orde Baru runtuh pada pertengahan Mei 1998, penerapan kebijakan desentralisasi yang mem-
corak dan sistem sekaligus peta konstelasi poli- buat peta kekuasaan berubah dari semula ber-
tik di Indonesia mengalami perubahan cukup poros dan dikendalikan secara terpusat menjadi
drastis. Beberapa perubahan mencolok pada tersebar ke sejumlah daerah.4 Konstelasi dan
era Reformasi itu adalah menyangkut kebijakan peta perpolitikan di tingkat daerah pun turut
dan aturan perundangan tentang pemilihan berubah menjadi lebih terbuka dan inklusif;
umum, termasuk pembatasan kekuasaan ekse- dinamika dan proses politik pada level nasional
3
kutif dan legislatif, serta partai politik. Pelem- terus berlanjut hingga level lokal. Hal tersebut
bagaan sistem elektoral “baru” yang membuka ditunjukkan dalam pelbagai kajian dengan fokus
ruang demokratis lebih luas secara langsung desentralisasi di tingkat lokal.5 Pada titik ter-
membuat kehidupan politik menjadi lebih terbu- tentu, penerapan desentralisasi melahirkan
ka dan inklusif. Dengan kata lain, proses demo- “benturan” kebijakan serta perebutan sumber-
kratisasi melalui mekanisme elektoral men- sumber daya, baik antar-elite lokal maupun
dorong kehidupan politik di Indonesia menjadi dengan elite pada level nasional. Selain mem-
bawa dan mendistribusikan kekuasaan hingga
tingkat lokal, kebijakan desentralisasi juga mem-
2
Lihat, Karl D Jackson, “Bureaucratic Polity: A buka lebih lebar sekaligus mengintegrasikan
Theoretical Framework for the Analysis of Power
denyut kehidupan politik di tingkat lokal dengan
and Communications in Indonesia” serta Donald
K Emmerson, “The Bureaucracy in Political penetrasi pasar bebas global.6
Context: Weakness in Strength”, dalam Karl D
Jackson dan Lucian W Pye (eds.), Political Power 4
Beberapa studi relevan yang menelaah dinamika
and Communications in Indonesia (Los Angeles: serta relasi demokrasi dengan kebijakan desen-
University of California Press, 1978), Bandingkan tralisasi pasca-Orde Baru; lihat, Edward Aspinall
dengan karya Donald K Emmerson tentang dan Greg Fealy (eds.), Local Power and Politics in
konfigurasi elite dalam “Understanding the New Indonesia: Decentralisation & Democratisation
Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia”, (Singapore: ISEAS, 2003). Tentang kebijakan
dalam Asian Survey, Vol. 23, No. 11, November desentralisasi yang membuka kesempatan
1983, hal. 1220-1241 (diakses 2 September 2016). sekaligus tantangan terhadap dinamika politik
Tentang teknokrat, birokrat, dan Golkar yang di tingkat lokal dan nasional; lihat, Maribeth
bekerja sebagai mesin politik Orde Baru Soeharto; Erb, Priyambudi Sulistiyanto, dan Carole
lihat, R William Liddle, “Evolution from Above: Faucher (eds.), Regionalism in Post-Soeharto
National Leadership and Local Development in Indonesia (New York: Routledge Curzon, 2005).
Indonesia”, dalam The Journal of Asian Studies, 5
Di antaranya kajiannya Henk Schulte Nordholt
Vol. 32, No. 2, Februari 1973, hal. 287-309 (diakses dan Gerry van Klinken (eds.), Politik Lokal di
15 September 2016). Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV,
3
Beberapa studi menyebutkan bahwa Presiden 2007). Sementara respons terhadap desentralisasi
Soeharto menginisiasi perubahan sistem pemilu dan demokratisasi di Indonesia; lihat, Nico L Kana,
pada 1995 akibat desakan dan tuntutan yang tak et al., Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Peru-
dapat dibendung; lihat, Dwight Y King, Half- bahan, Tantangan dan Harapan (Salatiga: Pustaka
Hearted Reform: Electoral Institution and the Percik dan Ford Foundation, 2001).
Struggle for Democracy in Indonesia (Westport: 6
Dua hal berlangsung simultan pada era desen-
Preager Publisher, 2003), hal. 47. Sebagai per- tralisasi, yakni lokalisasi sekaligus globalisasi.
bandingan lihat, Hermawan Sulistyo, “Electoral Misalnya, gagasan good governance, semangat
Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy”, inovasi, kewirausahaan, pemberantasan korup-
dalam Aurel Croissant dan Marei John (eds.), si, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran
Electoral Politics in Southeast and East Asia HAM, serta kekerasan berbasis etnis dan
(Singapore: FES, 2002), hal 78-79. agama; lihat, Vedi R Hadiz, Localising Power in

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 25

Proses demokratisasi di Indonesia yang di- selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi.8 Hal
ikuti dengan penerapan kebijakan desentrali- tersebut membuat jabatan-jabatan politik dan
sasi menjadikan proses politik di negeri ini eksekutif terbuka lebar bagi setiap aktor yang
berjalan lebih dinamis dan kian inklusif. Bagi menginginkannya. Mereka yang mampu dan
elite di tingkat nasional dengan rekam jejak berhasil menduduki jabatan tinggi yang di-
terkait rezim Orde Baru, keterbukaan dan inginkan, “berhak” menyandang predikat se-
inklusivitas tersebut jelas mengancam keber- bagai “elite”.9 Dalam konteks itu, demokrasi
lanjutan dominasi mereka. Namun, bagi para elektoral menjadi sebuah jembatan sangat pen-
aktor di tingkat lokal, proses demokratisasi ting bagi para aktor yang saling bersaing mem-
dan desentralisasi justru membuka peluang perebutkan kekuasaan dan posisi tertentu
yang bisa dimanfaatkan dalam meraih ke- yang dianggap memiliki pengaruh besar.
kuasaan. Dengan kata lain, demokratisasi dan Selain sirkulasi elite, proses penyusunan
desentralisasi dijadikan basis oleh aktor-aktor kebijakan dan pengambilan keputusan secara
lokal untuk terlibat langsung proses politik kolektif juga merupakan hal-hal krusial. Dalam
melalui ajang pemilihan umum; mereka tampil konteks itu, pengambilan keputusan secara
lebih menonjol ketimbang masa sebelumnya. demokratis mengharuskan adanya mekanisme
Hal itulah yang menjelaskan latar munculnya kontrol popular. Sebagaimana dipaparkan David
dan berkembangnya studi-studi tentang elite Beetham, mekanisme kontrol popular dalam
lokal di Indonesia.7 kerangka penyusunan kebijakan dan pengam-
Sebagaimana diketahui, proses demokrati- bilan keputusan menyangkut kepentingan pu-
sasi saat ini menjamin berlangsungnya sir- blik mensyaratkan adanya persamaan hak seca-
kulasi elite di ranah eksekutif serta legislatif ra politis.10 Dengan kata lain, demokrasi meru-
mulai dari level nasional hingga level lokal pakan proses kontrol popular terhadap penyu-
sunan kebijakan dan pengambilan keputusan
berdasarkan persamaan hak politik.
Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Dalam hal itu, elite sebagai aktor politik
Perspective (California: Stanford University
merupakan bagian penting dalam setiap proses
Press, 2010), hal. 2; Erb, Sulistiyanto dan
Faucher, Regionalism in Post-Soeharto…, hal. 8. penyusunan kebijakan dan pengambilan kepu-
7
Konfigurasi elite di tingkat lokal kerap dipenga- tusan sekaligus kontrol popular. Sementara itu,
ruhi oleh kondisi sosial-ekonomi masyarakat pada level masyarakat, keberadaan aktor dapat
bersangkutan yang memegang teguh nilai-nilai dipilah berdasarkan posisinya sebagai voters,
tradisional; lihat, Syarif Hidayat, “‘Shadow
sumber daya yang dimiliki, pengaruhnya ter-
State?’, Business and Politics in The Province of
Banten”, dalam Henk Schulte Nordholt dan
Gerry van Klinken (eds.), Renegotiating 8
Pasca-Orde Baru, sirkulasi elite yang memegang
Boundaries: Local Politics in Post-Soeharto jabatan politik dan pemerintahan bertumpu pada
Indonesia (Leiden: KITLV, 2007); Abdul Hamid, prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan, aturan perun-
“Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca dangan terkait pemilihan umum mensyaratkan
Orde Baru: Studi Kasus Kiai dan Jawara di kedua jabatan tersebut harus melalui mekanis-
Banten”, dalam POLITIKA, Jurnal Ilmu Politik, me pemilihan langsung oleh warga negara.
Vol.1, No. 2, 2013, hal. 32-45. Sementara studi 9
Secara sederhana, meminjam pendapat Vilfredo
tentang “local strongmen”; lihat, John T Sidel, Pareto, Gaetano Mosca, Suzanne Keller, dan
“Bossism and Democracy in the Phillippines, beberapa teoretikus lainnya, elite merujuk pada
Thailand and Indonesia: Towards an Alternative individu atau sekelompok individu yang memiliki
Framework for the Study of Local Strongmen”, pengaruh penting dalam membentuk sikap dan
dalam John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam bidang
Törnquist (eds.), Politicising Democracy: The New tertentu.
Local Politics of Democracy (Basingstoke: 10
Lihat, David Beetham, Democracy and Human
Palgrave Macmillan, 2005). Right (Oxford: Polity Press, 1999).

A R T I K E L
26 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

hadap proses pembuatan kebijakan, dan sebe- Setelah tumbangnya Orde Baru, muncul
rapa kuat dan mampu mewacanakan isu publik kegairahan luar biasa di pelbagai kalangan.
menjadi kepentingan publik. Secara lebih spe- Banyak aktor, baik yang mengusung sejumlah
sifik, aktor bisa dipilah berdasarkan posisinya agenda pro-demokrasi maupun yang meng-
sebagai governing elite ataukah non-governing angkat ambisi-ambisi pribadi, berlomba-lomba
11
elite. Dalam hal itu, aktor tidak serta-merta ambil bagian dalam proses demokratisasi di
merujuk pada elite dengan privilese tertentu bidang politik. Kehadiran aktor-aktor tersebut
yang bisa menyusun dan membuat kebijakan, juga disertai perbaikan dan peningkatan kualitas
tetapi juga mereka yang mampu memengaruhi pelembagaan demokrasi, baik institusi maupun
proses politik—termasuk dalam gerakan politik. regulasi. Data yang diperoleh dari hasil Survei
Dalam tulisan ini, aktor atau elite mencakup PWD 2013 menunjukkan bahwa aktor-aktor
mereka yang berada di luar ranah negara yang yang memiliki pengaruh besar dalam menen-
memiliki kapasitas, legitimasi, dan otoritas tukan “arah” demokrasi Indonesia tampak sa-
dalam memengaruhi proses politik. ngat beragam. Bila dibandingkan dengan era
sebelumnya, dapat dikatakan berlangsung per-
geseran dan diversifikasi aktor-aktor berpe-
Pemetaan Elite dan Aktor
ngaruh sejak demokrasi bergulir dan desen-
Pada zaman Orde Baru, sangat sedikit aktor tralisasi diberlakukan (lihat, Tabel 1).
di luar pemerintahan yang dapat dan mampu Analisis terhadap data Tabel 1 menun-
memengaruhi proses penyusunan kebijakan jukkan bahwa lima teratas aktor berpengaruh
dan pengambilan keputusan. Tidaklah menghe- dalam proses demokratisasi di Indonesia sejak
rankan pada era tersebut muncul istilah “massa awal Reformasi berturut-turut adalah aktivis
mengambang” (floating mass); sebagian besar organisasi masyarakat sipil (OMS) sebesar 16,4
warga negara sebagai subjek “terdampak ke- persen, pengusaha (14,6%), pejabat publik
bijakan” sengaja dieksklusi oleh elite dalam (14,3%), anggota parlemen (11,8%) dan fung-
proses penyusunan dan pembuatan kebijakan. sionaris partai politik (10,6%). Walaupun de-
Dalam konteks demikian, secara sadar elite mikian, menurut sejumlah informan Survei
penguasa melakukan depolitisasi terhadap PWD 2013, ditemukan aktor berpengaruh
warga negara sendiri demi menjaga dan mem- lainnya yang menempati posisi sebagai aka-
pertahankan kekuasaan. Hasilnya adalah ter- demisi, birokrat, tokoh agama/adat/masya-
ciptanya kultur politik tertutup (eksklusif) rakat, militer/polisi, dan komisioner lembaga-
bercorak patron-klien yang melulu berorientasi lembaga sampiran negara (state’s auxiliary
pada upaya memonopoli kekuasaan dan akses agencies). Namun, kecuali tokoh agama/masya-
sumber daya.12 rakat/adat, persentasenya tidak terlalu signi-
fikan karena berada di bawah 10 persen.
11
Tom B Bottomore, Elite dan Masyarakat, diterje- Ada dua hal perlu dicatat mengenai Survei
mahkan oleh Abdul Harris dan Sayid Umar PWD 2013. Pertama, pengusaha tampil sebagai
(Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006), hal. 1-5.
12
Tentang kekuasaan didominasi negara (Soeharto)
salah satu aktor berpengaruh. Artinya, pengu-
bersama para pendukungnya, termasuk kong- saha mampu memengaruhi proses penyusunan
lomerat, birokrat, dan militer, yang membuat kebijakan dan pengambilan keputusan, teru-
seluruh sumber daya strategis hanya berputar tama yang menyangkut ekspansi dan pengem-
di dalam lingkaran itu saja; lihat, Eric Hiariej, bangan bisnis. Karena memiliki pengaruh politik
Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto (Yogya-
langsung di ranah eksekutif dan legislatif, maka
karta: IRE Press, 2005). Susunan seperti itu mirip
struktur oligarkis; lihat, Vedi R Hadiz, “Kapitalis-
me, Kekuasaan Oligarkis, dan Negara di Indo- saan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto
nesia”, dalam Vedi R Hadiz, Dinamika Kekua- (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005).

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 27

Tabel 1. Posisi Aktor Berpengaruh

No. Posisi Persentase

1 Aktivis/pengurus/pimpinan
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) 16,4

2 Pemilik Usaha/Pengusaha 14,6

3 Pejabat Publik 14,3

4 Anggota Parlemen Nasional/Daerah 11,8

5 Pimpinan Partai/Tokoh Politik Terkemuka 10,6

6 Tokoh Masyarakat/Adat/Etnis 10,5

7 Birokrat 5,6

Sumber: Diolah dari hasil Survei PWD 2013.

pengusaha bisa berperan sebagai aktor utama bisa tampil dominan karena memiliki akses luas
atau aktor pendukung dalam pemilu. Dewasa ini terhadap proses penyusunan kebijakan dan
semakin banyak pengusaha tampil sebagai pengambilan keputusan yang memengaruhi
aktor utama berpengaruh di tingkat lokal diban- kepentingan dan kehidupan publik.
ding era sebelumnya. Selain menegaskan ada- Selain memetakan posisi aktor berpenga-
nya keterkaitan antara politik dan ekonomi, hal ruh, para informan Survei PWD 2013 juga
tersebut juga bisa menjelaskan mengapa prak- mengidentifikasi bahwa tidak semuanya adalah
tik elektoral di Indonesia tak bisa dilepaskan “elite lama” (old elite). Sebagian di antara aktor
13
dari “politik uang”. berpengaruh adalah “elite baru” (new elite).
Kedua, posisi para aktor yang berada di Dalam hal itu, old elite dan new elite dibedakan
dalam ranah politik dan ranah negara cende- berdasarkan keterlibatan atau keterkaitan me-
rung menguat jika dibandingkan dengan survei reka dengan kekuasaan yang pernah diperoleh
yang dilakukan lembaga Demos pada 2007.14 semasa rezim Orde Baru.15 Hasil Survei PWD
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian 2013 menunjukkan bahwa 20,4 persen old elite
besar aktor berpengaruh berada di wilayah yang terkait dengan Orde Baru berada di ranah
politik formal—ranah politik dan ranah negara negara, diikuti ranah ekonomi (16,5%), politik
serta mengisi pelbagai jabatan publik. Dengan (13,90%), dan masyarakat sipil (1,8%). Sedang-
kata lain, aktor-aktor di wilayah politik formal kan new elite yang tidak memiliki keterkaitan
dengan Orde Baru sebagian besar (40,70%)
13
Lihat, Edward Aspinall dan Mada Sukmajati
berada di ranah politik, disusul ranah masyara-
(eds.), Politik Uang di Indonesia: Patronase dan
Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogya- 15
Kajian serupa terfokus pada elite lokal, khusus-
karta: Penerbit PolGov, Fakultas Ilmu Sosial dan nya rulling elite, dikerjakan Nankyung Choi di
Politik, Universitas Gadjah Mada, 2015). Pontianak dengan terminologi riser dan holdovers
14
Lihat Tabel B.27 hasil Survei Demos 2007 dalam yang merujuk konfigurasi elite baru dan elite
AE Priyono, Willy Purna Samadhi, dan Olle lama; lihat, Nankyung Choi, “Local Political
Tornquist (eds.), Menjadikan Demokrasi Ber- Elites in Indonesia: ‘Risers’ and ‘Holdovers’”,
makna: Masalah dan Pilihan Indonesia (Jakarta: dalam SOJOURN: Journal of Social Issues in
Demos, 2007), hal. 332. Southeast Asia, Vol. 29, No. 2, 2014, hal. 364-407.

A R T I K E L
28 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tabel 2. Aktor Berpengaruh dan Keterkaitannya dengan Orde Baru (dalam persen)

No. Ada/Tidak Ada Ranah Ranah Ranah Ranah


Keterkaitan Negara Politik Ekonomi Masyarakat

1 Old Elite/Ada 20,4 13,90 16,5 1,8

2 New Elite/Tak Ada 37,4 40,70 30,1 39,3

3 Tak Jelas 42,2 45,47 53,4 59,0

Sumber: Diolah dari hasil Survei PWD 2013.

kat sipil (39,3%), ranah negara (37,4%), dan hadap penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
ranah ekonomi (30,1%). Sementara itu, persen- publik. Pada dasarnya, keberadaan aktor-aktor
tase aktor berpengaruh yang tidak diketahui dominan dan alternatif di Indonesia memiliki
dengan jelas apakah pernah mengait atau tidak keterkaitan dengan sistem politik “warisan”
dengan rezim Orde Baru jauh lebih besar di Orde Baru (lihat, Tabel 3).
setiap ranahnya dibanding persentase new elite Tabel 3 memperlihatkan bahwa aktor do-
dan old elite (lihat, Tabel 2). minan yang memiliki keterkaitan dengan Orde
Kajian ini memilah aktor-aktor berpenga- Baru sebanyak 24,4 persen, tidak terkait men-
ruh menjadi “aktor dominan” (dominant actor) capai 46,8 persen, dan tidak diketahui pasti ada
16
dan “aktor aalternatif” (alternative actor). atau tidak terkait dengan Orde Baru sebesar
Aktor dominan merujuk mereka yang seba- 28,8 persen. Di sisi lain, aktor alternatif yang
gian besar menduduki jabatan formal peme- memiliki jejak keterkaitan dengan rezim Orde
rintahan serta memiliki akses langsung terha- Baru hanya 3,6 persen, sedangkan aktor alter-
dap penyusunan kebijakan dan pengambilan natif yang sama sekali tidak memiliki kaitan
keputusan strategis, Sedangkan aktor alternatif dengan Orde Baru sebesar 55,2 persen. Begitu
adalah mereka yang menguasai wacana publik, pula persentase aktor alternatif yang tidak jelas
namun tidak memiliki akses langsung terhadap apakah terkait atau tidak dengan Orde Baru
pengambilan keputusan. Pemilahan tersebut berada pada angka 41,1 persen.
diharapkan dapat memberi gambaran lebih luas Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan
dan perinci tentang aktor-aktor yang terlibat bahwa sebagian besar aktor berpengaruh, baik
dalam proses politik, khususnya kontrol ter- berpredikat dominan maupun alternatif, tidak
memiliki keterkaitan dengan Orde Baru. Bah-
kan, persentase aktor berpengaruh yang tidak
16
Ringkasan Eksekutif kajian PWD menyebut jelas apakah terkait atau tidak dengan rezim
pembedaan aktor dominan dan aktor alternatif
berdasarkan pengaruh kedua aktor ini dalam
Orde Baru tampak lebih besar dibandingkan
penyusunan kebijakan dan pengambilan kepu- dengan persentase aktor berpengaruh yang
tusan; lihat juga, Caroline Paskarina, “Patronase terkait dengan Orde Baru. Dengan kata lain,
vs Populisme: Strategi Mengelola Kesejahteraan sebagian besar aktor berpengaruh saat ini
dalam Politik Perkotaan di Bandung”, dalam adalah “elite baru” yang sama sekali tidak
Caroline Paskarina, Mariatul Asiah, dan Otto
memiliki keterkaitan dengan rezim Orde Baru.
Gusti Madung (eds.), Berebut Kontrol atas
Kesejahteraan (Yogyakarta: Penerbit PolGov Bila ditelusuri lebih jauh, posisi aktor-aktor
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas berpengaruh yang terkait ataupun tidak dengan
Gadjah Mada, 2015), hal. 50. rezim Orde Baru sangat beragam. Sebagaimana

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 29

Tabel 3. Keterkaitan Aktor Dominan dan Aktor Alternatif dengan


Pemerintahan Orde Baru (dalam persen)

Konfigurasi
No Relasi Aktor Aktor Aktor
Dominan Alternatif

1. Ada Keterkaitan (old elite) 24,4 3,6

2. Tidak Ada Keterkaitan (new elite) 46,8 55,2

3. Tidak Jelas 28,8 41,1

Sumber: Diolah dari hasil Survei PWD 2013.

terlihat pada Tabel 4, aktor dominan dan aktor aktor. Penyusunan kebijakan publik dan pe-
alternatif, baik terkait maupun tidak dengan ngambilan keputusan tidak lagi didominasi
Orde Baru, menempati hampir semua posisi. aktor-aktor di wilayah negara. Dalam konteks
Semua aktor dominan yang duduk sebagai itu, pengaruh aktivis OMS, baik dalam penyu-
komisioner pelbagai lembaga sampiran negara sunan kebijakan publik maupun pengambilan
dan lebih dari 50 persen aktivis/pengurus/pim- keputusan, tampak kian menguat. Dengan kata
pinan OMS tidak memiliki keterkaitan dengan lain, proses pembuatan kebijakan publik tidak
rezim Orde Baru. Sementara itu, aktor alter- lagi ditentukan oleh aktor dominan, baik new
natif yang berada pada posisi komisioner pelba- elite maupun old elite yang berada di ranah ne-
gai lembaga sampiran negara tidak mempunyai gara ataupun ranah politik, mengingat perse-
keterkaitan sebesar 91,4 persen, sedangkan baran mereka tidak hanya di ranah negara atau
aktor alternatif pada posisi sebagai aktivis/ politik. Namun demikian, sebagian besar pe-
pengurus/pimpinan OMS yang tidak terkait luang penyusunan/pembuatan kebijakan masih
dengan rezim Orde Baru sebesar 68,3 persen. tetap dipegang para aktor dominan di ranah
Hal lain yang juga perlu diperhatikan dari negara dan ranah politik, karena mereka ini
Tabel 4 adalah bahwa semua aktor dominan memiliki basis otoritas dan legitimasi yang
yang berada pada posisi milisi sipil—kelompok- lebih besar.
kelompok warga sipil yang diorganisasikan Kedua, menurut para informan Survei PWD
mirip pasukan paramiliter—memiliki keter- 2013, konfigurasi aktor-aktor politik di Indo-
kaitan dengan Orde Baru, namun semua (100%) nesia lebih banyak berada di sisi elite baru (new
aktor alternatif yang berada pada posisi yang elite) yang notabene tidak memiliki titik sing-
sama justru tidak diketahui kejelasan relasinya. gung dengan rezim Orde Baru. Hasil survei ter-
Hal cukup menarik adalah aktor dominan yang sebut juga memperlihatkan bahwa “kelompok”
menjadi anggota militer/kepolisian dan memi- elite baru itu menempati berbagai posisi stra-
liki keterkaitan dengan Orde Baru. Jumlahnya tegis, seperti komisioner beberapa lembaga
“hanya” 38,5 persen, jauh di bawah persentase sampiran negara atau menjadi pejabat publik
aktor alternatif yang semuanya memiliki keter- seperti bupati dan wali kota atau anggota DPR
kaitan dengan rezim Orde Baru. dan DPRD. Dengan demikian, hasil Survei
Setidaknya dua hal bisa ditarik dari data PWD 2013 tidak mendukung tesis yang di-
yang ada. Pertama, dinamika dan proses demo- kemukakan Vedi Hadiz dan Richard Robison
kratisasi di Indonesia mengarah pada pluralitas dalam Reorganizing Power in Indonesia bahwa

A R T I K E L
30 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tabel 4. Posisi Aktor Berpengaruh dan Keterkaitannya dengan Orde Baru (dalam persen)

Dominan Alternatif
No Posisi Terkait Tidak Tidak Terkait Tidak Tidak
Jelas Jelas

1. Anggota DPR/DPRD 6,9 63,1 30,0 12,7 59,5 27,8

2. Fungsionaris Parpol/Politisi 36,9 46,4 16,7 10,6 57,6 31,8

3. Pejabat Publik yang terpilih melalui Pemilu 33,3 49,6 17,1 14,3 76,2 9,5

4. Birokrat 15,0 40,0 45,0 5,6 72,2 22,2

5. Komisioner Lembaga Sampiran Negara 0,0 100 0,0 0.0 91,4 8,6

6. Pengusaha 26,0 11,0 63,0 14,0 18,6 67,4

7. Aktivis/Pengurus/Pimpinan OMS 0,0 65,9 34,1 0,8 68,3 31,0

8. Tokoh Masyarakat/Adat/Etnis 18,8 37,5 43,8 4,3 48,9 46,7

9. Tokoh Agama 4,8 28,6 66,7 0,0 62,8 37,2

10. Militer/Polisi 38,5 30,8 30,7 100 0.0 0,0

11. Milisi Sipil 100 0,0 0,0 0,0 0,0 100

12. Akademisi/Profesional 3,6 60,7 35,7 1,6 57,1 41,3

Sumber: Diolah dari hasil Survei PWD 2013.

aktor-aktor politik pasca-Orde Baru sama dan sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk
sebangun dengan aktor-aktor politik era Orde memperoleh dan mengelola pengaruh. Dalam
17
Baru. kajian PWD, ada empat jenis sumber daya: (a)
sumber daya ekonomi terkait dengan kepe-
milikan aset dan uang; (b) sumber daya sosial
Sumber Daya Aktor
mencakup jejaring dengan berbagai pihak; (c)
Aktor memerlukan sumber daya (resource) sumber daya kultural mencakup kepemilikan
sebagai modal untuk menjadikan diri ber- atas sejumlah pengetahuan (knowledge); dan
pengaruh di tengah masyarakat. Banyak ragam (d) sumber daya koersif mencakup kepemi-
likan instrumen untuk melakukan intimidasi,
17
Para aktor yang dimaksud adalah birokrat, anggo- pemaksaan, bahkan tindak kekerasan fisik.
ta dan pengurus Golkar, anggota dan aktif di lemba- Berdasarkan keterangan informan, aktor
ga-lembaga korporatis negara seperti Korpri, PWI, dominan lebih banyak bersandar pada sumber
PGRI, PKK, Karang Taruna, Dharma Wanita, dan
daya ekonomi (45,5%) dan sumber daya sosial
para pengusaha kroni rezim Orde Baru; lihat,
Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing (31,8%) sebagai modal untuk memperoleh dan
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age mengelola pengaruh di tengah masyarakat.
of Markets (London: Routledge, 2004). Hanya sedikit aktor dominan yang bertumpu

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 31

Tabel 5. Aktor dan Basis Sumber Daya (dalam persen)

Dominan Alternatif
No Jenis Sumber Daya
Rank 1 Rank 2 Rank 1 Rank 2

1. Ekonomi 45,5 12,5 15,2 4,8

2. Sosial/Jaringan 31,8 34,8 52,5 29,3

3. Budaya/Pengetahuan 8,3 23,0 25,0 46,4

4. Koersif 8,9 18,2 2,8 8,6

Sumber: Dioalah dari hasil Survei PWD 2013.

pada sumber daya koersif (8,9%) dan sumber (lihat, Tabel 6). Mayoritas aktor dominan men-
daya kultural (8,3%). Sementara itu, aktor jadikan sumber daya ekonomi dan sosial seba-
alternatif lebih banyak mengandalkan sumber gai modal utama merawat kekuasaan serta me-
daya sosial (52,5%) dan sumber daya kultural makai sedikit sumber daya kultural dan koersif
(25%). Namun demikian, aktor alternatif dalam sebagai basis pijakan. Sumber daya ekonomi
jumlah relatif kecil menjadikan sumber daya menjadi modal untuk beraktivitas oleh aktor
ekonomi (15,2%) dan sumber daya koersif dominan yang berposisi sebagai pengusaha/
(2,8%) sebagai basis tumpuan beraktivitas (lihat, pelaku bisnis (84,9%), pejabat publik (51,1%),
Tabel 5). pimpinan partai/politisi (44,0%), anggota parle-
Hal menarik yang perlu dicatat dari hasil men (36,9%), dan birokrat (36,7%). Sedangkan
Survei PWD 2013 adalah bahwa sebagian besar sumber daya sosial dijadikan basis oleh aktor
aktor dominan menjadikan sumber daya eko- dominan yang menempati posisi sebagai aktivis
nomi sebagai basis atau modal untuk meraih OMS (53,7%), tokoh agama (47,6%), tokoh adat/
pengaruh. Sebaliknya, modal sumber daya eko- etnis (43,8%), dan anggota parlemen (40,0%).
nomi relatif tidak berarti bagi aktor alternatif Sementara itu, sumber daya kultural (penge-
yang sebagian besar bertumpu pada sumber tahuan) dijadikan basis tumpuan oleh aktor
daya sosial dan kultural masing-masing berupa dominan yang berposisi sebagai akademisi/
kepemilikan jejaring dan kepemilikan atas pe- profesional (28,6%).
ngetahuan. Catatan menarik lainnya, persen- Jika dilihat konfigurasi seperti itu—dengan
tase sumber daya sosial berupa kepemilikan mengecualikan aktor yang berposisi sebagai
jejaring ternyata cukup signifikan bagi sebagian pengusaha—aktor dominan yang berada di
besar aktor dominan dan aktor alternatif. Mere- ranah negara adalah pihak yang paling banyak
ka (aktor dominan dan aktor alternatif) men- menggunakan sumber daya ekonomi untuk
jadikan sumber daya sosial sebagai salah satu merawat kekuasaan dan pengaruh. Sedangkan
modal utama “didorong” oleh corak dan sistem aktor dominan yang lebih banyak mengguna-
politik yang berlaku saat ini lebih mengedepan- kan sumber daya sosial adalah mereka yang
kan persamaan, kebebasan, dan keterbukaan. berada di ranah masyarakat sipil (civil society).
Penelusuran lebih jauh memperlihatkan Dari analisis terhadap basis sumber daya, tam-
bahwa para aktor yang memanfaatkan berbagai pak jelas aktor yang berada di wilayah negara
jenis sumber daya sebagai modal/basis pijakan memiliki kapasitas ekonomi lebih mumpuni
ternyata berlatar posisi yang juga beragam dibanding aktor di ranah masyarakat sipil.

A R T I K E L
32 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tabel 6. Posisi Aktor Dominan dan Aktor Alternatif serta Basis Sumber Daya (dalam persen)

Ekonomi Sosial Kultural Koersif


No Posisi Aktor
Dom Alt Dom Alt Dom Alt Dom Alt

1 Anggota DPR/DPRD 36,9 27,8 40,0 53,2 6,3 16,5 10,6 1,3

2 Pimpinan Partai/Politisi 44,0 31,8 28,6 47,0 7,1 18,2 6,0 1,5

3 Pejabat Publik 51,1 28,6 32,0 47,6 4,8 9,5 6,9 4,8

4 Birokrat 36,7 11,1 25,0 55,6 20,0 16,7 11,7 16,7

5 Komisioner Lembaga Sampiran Negara 0,0 2,9 20 68,6 20,0 22,9 20,0 2,9

6 Pengusaha/ Pemilik Bisnis 84,9 53,5 1,4 20,9 4,1 9,3 8,2 7,0

7 Aktivis OMS 17,1 6,6 53,7 57,9 22,0 28,9 4,9 2,5

8 Tokoh Masyarakat/ Adat/Etnis 29,2 16,3 43,8 47,8 12,5 20,7 14,6 4,3

9 Tokoh Agama 33,3 14,1 47,6 73,1 14,3 10,3 4,8 1,3

10 Militer/Polisi 20,0 0,0 6,7 100,0 20,0 0,0 53,3 0,0

11 Milisi Sipil 0,0 0,0 0,0 100,0 0,0 0,0 100,0 0,0

12 Akademisi/Profesional 28,6 6,3 28,6 34,1 28,6 53,2 3,6 1,6

Sumber: Diolah dari hasil Survei PWD, 2013.


Catatan : Dom = Aktor Dominan; Alt = Aktor Alternatif

Apalagi, dengan kemampuan aktor dominan pelbagai jenis sumber daya dan memiliki akses
menggunakan sumber daya koersif tak pelak langsung terhadap pembuatan kebijakan stra-
membuatnya memiliki legitimasi lebih dari tegis. Berdasarkan analisis itu, sumber daya
cukup untuk mempertahankan kekuasaan dan yang dijadikan basis pijakan atau modal aktor
pengaruh. dominan tidak bersifat tunggal.
Hal menarik lain yang perlu dicermati dari Sementara itu, data yang tersaji juga meng-
fakta di atas adalah mengapa aktor dominan gambarkan aktor alternatif yang tersebar di ber-
yang tersebar dalam beragam posisi menja- bagai posisi. Sebagaimana diungkapkan oleh
dikan berbagai jenis sumber daya sebagai basis beberapa informan, sebagian besar aktor alter-
pijakan. Analisis yang bisa diajukan di sini adalah natif mengandalkan sumber daya sosial (52,5%)
karena hal tersebut terkait dengan “predikat” yang termanifestasi dalam bentuk kepemilikan
mereka sebagai aktor dominan yang memiliki jejaring dan 25,0 persen aktor alternatif bersan-
akses langsung terhadap penyusunan kebi- dar pada sumber daya kultural dalam bentuk
jakan dan pengambilan keputusan strategis. kepemilikan pengetahuan sebagai modal dan
Dalam konteks itu, penyusunan kebijakan tentu basis pijakan merawat kekuasaan. Sementara
harus melibatkan sejumlah pihak dengan bera- itu, aktor alternatif yang menjadikan sumber
gam posisi; para aktor yang bertumpu pada daya ekonomi sebagai basis pijakan hanya

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 33

sebesar 15,2 persen. Namun, menarik untuk beraktivitas. Hal tersebut diduga terkait dengan
dicatat, sebagian besar aktor alternatif yang posisi aktor dominan dalam kepemilikan akses
bersandar pada sumber daya ekonomi tersebut untuk memanfaatkan instrumen kekerasan
berposisi sebagai pelaku bisnis (53,5%). yang dilegitimasi serta kepemilikan akses
Sebagian besar aktor alternatif yang men- langsung terhadap pembuatan kebijakan stra-
jadikan sumber daya sosial sebagai basis pijakan tegis. Aktor dominan yang memiliki akses
tidak bisa dilepaskan dari predikat mereka yang langsung cenderung menggunakan sumber
memang tidak memiliki akses langsung ter- daya koersif sebagai basis pijakan beraktivitas
hadap penyusunan kebijakan strategis dan diduga lebih dikarenakan untuk memastikan
pengambilan keputusan. Dalam kondisi seperti pengaruhnya atas proses pengambilan kepu-
itu, upaya aktor alternatif untuk menjaga eksis- tusan yang tengah berlangsung. Sementara itu,
tensi diri cenderung menggunakan sumber aktor alternatif yang tidak memiliki akses
daya sosial sebagai basis pijakan beraktivitas di langsung diduga tidak terlalu terbebani dalam
tengah masyarakat. Sumber daya sosial juga memengaruhi proses pengambilan keputusan.
bisa dijadikan basis tumpuan untuk mengubah Ringkasnya, interpretasi yang bisa dikemu-
predikat menjadi aktor dominan yang memung- kakan berdasarkan paparan di atas adalah
kinkan aktor alternatif memiliki akses langsung bahwa para aktor, baik yang menyandang pre-
terhadap pembuatan kebijakan strategis. Selain dikat dominan maupun alternatif, dapat menyan-
itu, aktor alternatif juga menjadikan sumber darkan diri pada beragam basis sumber daya.
daya kultural sebagai basis pijakan untuk me- Setiap aktor bisa “menyatukan” beragam sum-
ngenali dan memahami isu-isu strategis guna ber daya itu secara sinergis dan simultan seba-
menjaga agar aktor dominan tidak bertindak gai modal untuk meraih kekuasaan melalui
sewenang-wenang. politik elektoral sekaligus mengelola pengaruh
Aktor dominan dan aktor alternatif tidak yang dimilikinya di tengah masyarakat. Secara
banyak memakai sumber daya koersif—kepe- keseluruhan, sumber daya sosial dalam bentuk
milikan atas instrumen untuk melakukan intimi- kepemilikan jejaring bisa dianggap sebagai
dasi, pemaksaan, bahkan tindak kekerasan sumber daya yang perlu dan harus dimiliki
fisik—sebagai basis untuk memperoleh dan serta dimanfaatkan oleh setiap aktor sebagai
mengelola pengaruh di tengah masyarakat. modal utama dan basis pijakan beraktivitas di
Aktor dominan yang menjadikan sumber daya pentas politik.
koersif sebagai modal beraktivitas hanya 8,9
persen, sedangkan aktor alternatif yang menja-
Strategi Kontestasi dan Prospek
dikannya sebagai modal jauh lebih sedikit,
Demokrasi
yakni 2,8 persen. Itu mengindikasikan bahwa
dalam upaya meraih dan mengelola pengaruh Ketika kontestasi pemilihan umum dijadi-
dengan menerapkan caraa koersif dianggap kan instrumen meraih kekuasaan dan proses
sebagai sebuah metode yang tidak populer. Hal pembuatan kebijakan menuntut aktor dan pu-
tersebut menunjukkan kematangan dan blik ikut terlibat di dalamnya, maka kemam-
“kedewasaan” beraktivitas para aktor dalam puan merumuskan strategi menjadi salah satu
konteks demokrasi, yang juga bisa dibaca variabel penting. Strategi yang diterapkan
sebagai titik awal prospektif bagi proses demo- tentu saja tidak bisa dilepaskan dari sumber-
kratisasi. sumber daya yang dimiliki sang aktor. Seba-
Hal lain yang perlu dicermati adalah menga- gaimana telah diuraikan, hasil Survei PWD
pa jumlah aktor dominan lebih banyak diban- 2013 menunjukkan bahwa sumber daya eko-
dingkan dengan aktor alternatif yang bersandar nomi merupakan basis pijakan penting bagi
pada sumber daya koersif sebagai basis pijakan aktor dominan dalam upaya meraih kekuasaan

A R T I K E L
34 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dan memperoleh pengaruh, sedangkan sum- bangun patronase.18 Dalam konteks kontestasi
ber daya kultural merupakan modal yang pemilihan, hubungan patronase itu bisa diter-
paling sedikit dijadikan sandaran oleh aktor jemahkan sebagai pertukaran keuntungan, baik
dominan. Lebih lanjut, hasil survei tersebut berupa uang, barang, dan jasa maupun keun-
19
memperlihatkan bahwa sumber daya sosial tungan ekonomi lainnya. Dengan demikian,
merupakan basis pijakan utama aktor alter- dalam merumuskan strategi kontestasi diper-
natif, sedangkan sumber daya ekonomi dinilai lukan keterampilan meramu sumber daya de-
relatif sedikit dimanfaatkan oleh aktor alternatif ngan mempolitisasi identitas dan membangun
sebagai basis dan modal utama. patronase demi memenangi pemilu dan mem-
Bila data tersebut dikaitkan dengan hasil pertahankan pengaruh.
survei yang menunjukkan bahwa 72,7 persen Hasil Survei PWD 2013 juga menunjukkan
informan menyatakan aktor dominan tidak bahwa 16,4 persen informan menyatakan stra-
mengalami kesulitan untuk menjadi pimpinan tegi yang paling sering diterapkan aktor do-
politik yang legitimate dan otoritatif dibanding- minan berwujud tindak sosialisasi program
kan dengan aktor alternatif, maka argumen melalui media, sedangkan 15,7 persen informan
yang mendukung kemudahan aktor dominan menempatkan tindakan populis-karismatik seba-
menjadi pemimpin politik yang legitimate dan gai strategi aktor dominan, terutama saat me-
otoritatif ditengarai terletak pada sumber daya ngangkat isu-isu pelayanan publik. Sebagai
ekonomi yang dijadikan basis dan modal meraih strategi, tindakan populis-karismatik dilakukan
kekuasaan. Argumen itu memang perlu ditelaah sekaligus bersama kegiatan sosialisasi program.
lebih mendalam karena kedua aktor tersebut Sinergisitas penerapan dua strategi itu tampak
juga bersandar pada sumber daya sosial; aktor dalam wujud upaya para aktor mendekatkan diri
dominan memanfaatkannya sebagai basis no- dengan massa melalui gerakan populis-karis-
mor dua (31,8%) setelah sumber daya ekonomi matik dan pada saat bersamaan diinformasikan
dan basis utama (52,5%) bagi aktor alternatif. sekaligus dijanjikan kepada publik segala hal
Hal itu sekaligus mempertegas argumen bahwa tentang pemenuhan pelayanan pendidikan,
20
sumber daya ekonomi berpengaruh signifikan kesehatan, kesejahteraan, dan jaminan sosial.
terhadap kemudahan seseorang untuk menjadi
pemimpin politik yang legitimate dan otoritatif. 18
Tentang relasi emosional-tradisional berbasis
Sebaliknya, sumber daya sosial dinilai tidak identitas (etnis, suku, dan agama) berperan
terlalu berpengaruh dalam konteks kemudahan penting sebagai instrumen untuk merengkuh
atau memobilisasi dukungan; lihat, Edward
untuk menjadi pemimpin politik.
Aspinall,.”Democratization and Ethnic Politics in
Selain harus mempertimbangkan sumber Indonesia: Nine Theses”, dalam Journal of East
daya, perumusan strategi juga harus memper- Asian Studies, Vol. 11, No. 2, 2011, hal. 289.
timbangkan karakter publik yang mempunyai 19
Patronase memiliki banyak varian, misalnya, vote
hak suara dalam kontestasi elektoral serta buying, individual gift, pelayanan dan aktivitas,
perumusan kebijakan publik. Dengan kata lain, club goods, dan proyek-proyek “gentong babi.”
Bahkan, praktik patronase telah menembus aras
untuk memperoleh dukungan penuh, para akar rumput; lihat, Aspinall dan Sukmajati (eds.),
aktor harus mendekatkan diri dan memahami Politik Uang di Indonesia…, hal. 22.
kehendak massa. Salah satu karakter menonjol 20
Sebagai contoh, Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki
di tengah kehidupan masyarakat saat ini adalah Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai pasangan calon
kentalnya relasi komunal dalam kerangka emo- gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada
2012. Mereka blusukan ke sejumlah kawasan di
sional-tradisional berbasis identitas etnis, suku,
Jakarta, yang jarang disentuh oleh aparatur dan
serta agama. Relasi itulah yang kemudian elite pemerintahan sebelumnya, sambil menawar-
dipolitisasi untuk meraih dukungan dan me- kan program-program unggulan, seperti pendi-
menangi kontestasi pemilihan dengan mem- dikan dan layanan kesehatan.

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 35

Dalam penerapan strategi tersebut, seba- sumber daya kultural yang kuat. Dengan demi-
gian besar aktor akan mengangkat isu-isu pela- kian, pengaruh aktor alternatif ditentukan oleh
yanan publik dalam program yang disosiali- kemampuan mereka memperluas jejaring de-
sasikan sekaligus, baik eksplisit maupun impli- ngan sesama aktor alternatif sembari mem-
sit, menebar janji untuk segera merealisasikan- bangun kepercayaan publik melalui program-
nya bila kekuasaan telah digenggam. Pada program advokasi.
posisi itu, aktor akan menawarkan sejumlah Paparan di atas, sebagaimana telah diurai-
program serta “mengumbar” janji dan publik kan, memperkuat temuan bahwa aktor dominan
menanggapi dengan memberi dukungan mela- menyandarkan diri pada sumber daya ekonomi
lui suara yang mereka masukkan ke kotak dan sumber daya sosial, sedangkan aktor
suara. Hal tersebut tampaknya sejalan dengan alternatif lebih banyak bertumpu pada sumber
keinginan publik tentang pentingnya kesejah- daya sosial dan sumber daya kultural sebagai
teraan, pendidikan, dan kesehatan serta pela- pijakan untuk beraktivitas. Dalam konteks
yanan publik sebagai isu-isu penting yang perlu perumusan dan penerapan strategi untuk tam-
segera diperbaiki dan diwujudkan oleh elite/ pil sebagai pemenang dalam kontestasi pe-
aktor pemerintah. milihan umum, sumber-sumber daya utama itu
Penerapan strategi-strategi tersebut tidak dipakai sebagai basis pijakan. Penerapan stra-
bisa dilepaskan dari sumber-sumber daya uta- tegi tersebut juga membawa dampak positif.
ma, yakni sumber daya ekonomi (45,5%) dan Kehidupan demokrasi menjadi lebih baik ada-
sumber daya sosial (31,8%) yang “dimiliki” aktor lah salah satu dampak positif dari strategi yang
dominan. Sumber daya ekonomi dalam wujud diterapkan old elite (10%) dan new elite (12,9%).
kekayaan material dan sumber daya sosial Artinya, dampak strategi muncul lebih dikarena-
dalam bentuk kepemilikan jejaring dapat dinya- kan konten dan penerapan strategi itu sendiri,
takan tepat untuk menopang penerapan stra- bukan karena latar belakang aktor yang memi-
tegi-strategi tersebut. Sumber daya ekonomi liki atau tidak memiliki keterkaitan dengan
dan sumber daya sosial yang memadai setidak- rezim Orde Baru.
nya akan menjadikan aktor lebih leluasa melaku- Adanya dampak strategi aktor berupa kehi-
kan improvisasi dan memperluas jangkauan dupan demokrasi menjadi lebih baik memberi
sosialisasi program-program populis. secercah harapan bagi terwujudnya kehidupan
Sementara itu, hasil Survei PWD 2013 yang demokratis. Namun, hasil Survei PWD
menunjukkan bahwa 23,8 persen informan 2013 juga menunjukkan masih ada sederet tan-
menyatakan strategi yang paling banyak dite- tangan yang bisa mengganjal keberlangsungan
rapkan aktor alternatif berwujud penguatan proses demokratisasi. Tantangan paling menon-
organisasi, jaringan, dan basis dukungan, serta jol bagi perkembangan demokrasi terkait de-
20,4 persen informan menempatkan kampanye ngan sikap masyarakat terhadap proses demo-
melalui berbagai media sebagai strategi aktor kratisasi. Hal itu bisa disimak dari dampak lain
alternatif. Strategi yang diterapkan aktor alter- penerapan strategi aktor. Sebanyak 9,5 persen
natif sedikit banyak terkait dengan sumber daya informan menyatakan bahwa strategi aktor
utama yang dijadikan basis pijakan mereka, dominan membuat warga semakin pasif dan
yakni sumber daya sosial (52,5%) dan sumber pragmatis. Sebaliknya, strategi yang dijalankan
daya kultural (25%). Dua jenis sumber daya aktor alternatif, menurut 9,6 persen informan,
yang “dimanfaatkan” oleh aktor alternatif itu justru menjadikan warga lebih aktif sekaligus
dinilai tepat dalam menopang penerapan stra- membuka akses partisipasi lebih luas.
tegi penguatan organisasi, jaringan, dan basis Adanya kontradiksi tersebut dapat ditelu-
dukungan. Menjadikan kampanye sebagai stra- suri melalui posisi aktor yang menerapkan stra-
tegi juga mensyaratkan sumber daya sosial dan tegi tertentu. Dampak “positif” atau “negatif”

A R T I K E L
36 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

yang ditimbulkan tidak bisa dilepaskan dari nase dan populis, perlu diinisiasi pembentukan
sumber daya yang dijadikan basis oleh aktor institusi-institusi demokrasi yang diharapkan
bersangkutan. Sebagaimana telah dipaparkan, dapat berfungsi optimal.
ditemukan aktor dominan (8,9%) yang ber-
sandar pada sumber daya koersif dalam ber-
Catatan Penutup
aktivitas, baik ketika merumuskan maupun
menerapkan strategi. Hal tersebut diduga Pasca-Orde Baru dan didorong oleh proses
menjadi salah satu penyebab warga bersikap demokratisasi, sistem politik Indonesia menjadi
pasif dan pragmatis. Sebaliknya, jumlah aktor lebih inklusif. Selain itu, dengan diberlaku-
alternatif yang memanfaatkan sumber daya kannya kebijakan desentralisasi menyebabkan
koersif jauh lebih sedikit (2,8%). Sebagaimana peta politik formal tidak lagi terpusat, tetapi
diketahui, aktor dominan yang memiliki banyak meluas dan tersebar. Kondisi demikian mem-
akses langsung cenderung ingin memastikan buat kehidupan politik tidak melulu terfokus
pengaruhnya atas proses pembuatan kebijakan, pada “pergulatan” politik di tingkat nasional,
sedangkan aktor alternatif yang tidak memiliki melainkan juga di tingkat lokal. Sulit dimungkiri,
akses langsung diduga tidak terlalu terbebani perbincangan politik menjadi lebih dinamis
dalam memengaruhi proses penyusunan kebi- dengan diterapkannya kebijakan desentralisasi
jakan dan pengambilan keputusan. yang menampilkan tarik-menarik antara politik
Keberlangsungan demokratisasi juga di tingkat nasional dengan politik di tingkat lokal.
menghadapi kendala terkait kentalnya praktik- Pada gilirannya, kondisi tersebut menuntun
praktik patronase dan populis yang pada giliran- berlangsungnya sebuah proses demokratisasi
nya mempertebal pengaruh politik berwarna yang mengarah pada pluralitas aktor.
personalistik. Praktik patronase yang mengha- Dalam konteks itu, proses politik tidak
dirkan aktor sebagai figur yang diharapkan hanya didominasi para aktor yang berkiprah di
mampu memenuhi kebutuhan publik justru ranah negara saja, tetapi juga pengaruh aktor
menghambat terbangunnya sistem politik ber- yang berada di luar negara terasa menguat dan
corak demokratis yang mengharuskan keha- dijadikan pertimbangan dalam setiap penyu-
diran kontrol publik berdasarkan persamaan, sunan kebijakan dan pengambilan keputusan.
21
sebagaimana diungkapkan David Beetham. Walaupun demikian, harus diakui bahwa pe-
Praktik patronase yang disertai tawar-menawar luang penyusunan kebijakan lebih banyak
program berkarakter populis tidak jarang me- dipegang oleh aktor dominan yang berada di
ngabaikan aturan main dan menabrak bangunan ranah negara dan ranah politik. Konfigurasi
institusi demokrasi demi keberlangsungan dan aktor politik yang semakin plural tersebut lebih
keberhasilan program itu sendiri. banyak berada di sisi new elite yang notabene
Beragam tantangan tersebut dapat dimini- tak bersinggungan dengan rezim Orde Baru.
malisasi dalam konteks membangun kondisi Dalam menjalankan aktivitas, aktor dominan
yang kondusif bagi keberlangsungan proses serta aktor alternatif bertumpu pada basis
demokratisasi. Hal itu bisa dilakukan antara lain sumber daya beragam dan dimanfaatkan secara
dengan mendorong warga untuk lebih menya- sinergis sebagai modal untuk meraih kekua-
dari hak dan kewajiban yang melekat pada diri saan sekaligus mengelola pengaruh mereka di
mereka yang pada gilirannya diharapkan dapat tengah masyarakat. Sumber daya sosial berupa
menghapus sikap pasif dan pragmatis. Selain kepemilikan jejaring dianggap sumber daya
itu, untuk meminimalisasi praktik-praktik patro- yang harus dimiliki dan dimanfaatkan, meski
sumber daya ekonomi tidak bisa diabaikan
sebagai basis pijakan, terutama dalam konteks
21
Lihat, Beetham, Democracy and Human... politik elektoral.

A R T I K E L
Haryanto, Konfigurasi Elite dan Demokrasi 37

Para aktor memanfaatkan beragam sumber hanya di antara partai politik saja, melainkan juga
daya untuk merumuskan strategi guna meme- antar-aktor dalam partai yang sama. Karena itu,
nangi kontestasi dalam pemilu. Namun, strategi bisa dinyatakan bahwa sistem proposional ter-
mereka merengkuh kekuasaan kerap memun- buka dalam kontestasi pemilu kian memperbesar
culkan sejumlah tantangan sekaligus kendala praktik patronase-populis yang bisa menyubur-
bagi keberlangsungan proses demokratisasi. kan bahkan melestarikan praktik-praktik klien-
Berbagai strategi yang diterapkan justru meng- telistik dan oligarkis. Dengan sistem pemilu se-
hadirkan praktik patronase-populis yang mem- perti itu, gangguan terhadap proses demokra-
buka peluang terjadinya benturan dengan prak- tisasi tentunya akan semakin besar.
tik demokrasi. Dengan demikian, tidak berle- Namun demikian, terlepas dari sederet
bihan jika dikatakan bahwa proses demokra- tantangan dan kendala, masih ada secercah
tisasi yang masih berlangsung saat ini menga- harapan bagi keberlangsungan proses demo-
rah pada demokrasi patronase berbalut corak kratisasi. Setidaknya, peluang dan kesempatan
populis berbasis aktor secara personal. untuk menjadikan kehidupan dan sistem politik
Dalam praktik patronase-populis yang ber- menjadi (lebih) demokratis sudah dan masih
potensi mengganggu proses demokratisasi, terbuka lebar. Pertanyaannya adalah bagaimana
perlu ditelisik lebih jauh mekanisme kontestasi para aktor dapat memanfaatkan peluang dan
pemilu dengan corak proporsional terbuka yang kesempatan itu sebaik-baiknya untuk memper-
menjadikan persaingan semakin ketat bukan kuat demokrasi di Indonesia•

A R T I K E L
38 Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017
Prisma ESAI

Populisme Baru dan


Masa Depan Demokrasi
Indonesia
Vedi R Hadiz

Populisme adalah fenomena dengan Namun demikian, manifestasi spesifik


sejarah yang panjang. Pada hakikatnya, populisme baru bisa amat berbeda. Di
populisme adalah suatu pemahaman yang beberapa tempat, seperti Yunani, misalnya,
menghadapkan politik “rakyat banyak” ia dapat melekat pada proyek politik Kiri
dengan politik “elite” yang digambarkan maupun Kanan dengan basis sosial yang
sebagai tamak dan jahat. Namun, populis- saling bersinggungan. Karena itu, penting
me masa kini—bisa disebut “populisme untuk memahami konstelasi kekuasaan
baru”—berkembang khususnya sebagai dan kelas sosial yang terjelma secara
reaksi terhadap berbagai ketimpangan historis di setiap masyakarat, guna menda-
yang tajam dan dislokasi sosial akibat patkan gambaran tentang kemungkinan
proses globalisasi neoliberal. Ia mengeks- aliansi sosial yang muncul, jenis kendaraan
presikan ketidakpuasan mendalam dengan dan strategi yang dikembangkan, serta
kondisi sosial-ekonomi serta ketidakperca- aneka kepentingan sosial yang siap mendo-
yaan yang semakin bertambah kuat terha- minasi aliansi-aliansi tersebut. Di tempat
dap perangkat lembaga pemerintahan. kekuatan organisatoris politik Kiri sudah
Tidak jarang, basis sosial populisme baru melenyap atau lama meredup, misalnya,
melibatkan segmen masyarakat berbagai kemungkinan besar proyek politik Kanan
kelas, baik di negeri maju ataupun di akan lebih mendominasi populisme baru
negeri berkembang. tersebut. Akibatnya, populisme cenderung
Esai 39

diberi karakter ekslusi dan mengandung logikanya mesti seperti itu, karena popu-
diskriminasi sosial serta xenofobia diban- lisme sebagai politik rakyat banyak seha-
dingkan karakter egalitarian yang berakar rusnya menjadi kebalikan langsung dari
pada tujuan mengubah pola kekuasaan oligarki sebagai politik segelintir orang?
yang berlaku secara lebih menyeluruh. Belum tentu juga. Populisme dan oligarki
Jadi, populisme (dan populisme baru) ternyata bisa berdiri berdampingan mes-
adalah fenomena sosial dan politik yang ki dalam hubungan yang penuh dengan
amat kompleks. Ia tidak bisa digambarkan kontradiksi.
sebagai produk irasionalitas masyarakat Pada kenyataannya, arus populisme di
semata, seperti pernah dinyatakan oleh tempat lain dapat dengan mudah dijadikan
beberapa sarjana terkenal seperti Michael alat persaingan antar-elite serta sarana
Conniff, misalnya, seorang ahli politik mengendalikan—bahkan meredam—tun-
Amerika Latin. Pada tingkat paling men- tutan dan arus perubahan lebih mendasar
dasar, populisme baru adalah wujud keke- dalam masyarakat. Sebagai contoh, miliar-
cewaan yang meluas seiring dengan janji- der Donald Trump tampil sebagai tokoh
janji modernitas. Hal yang menarik, janji- populis di Amerika Serikat karena “menya-
janji tersebut justru telah banyak dibatal- lurkan” kekecewaaan rakyat yang ter-
kan oleh fase kapitalisme global yang tinggal oleh proses globalisasi dan siap
dikenal sebagai neoliberalisme, di antara- menyalahkan kaum imigran untuk nasib
nya adalah janji menyangkut jaminan mereka maupun “elite Washington” yang
terhadap mobilitas, kesejahteraan, dan terputus dari masyarakat karena dipercaya
peningkatan keamanan sosial secara lebih sibuk mengadakan perjanjian per-
umum untuk setiap generasi. Karena itu, dagangan dengan pemerintah-pemerintah
yang tergerak oleh politik populisme bukan asing daripada memikirkan kesejahteraan
hanya kaum paling terpinggirkan dalam rakyat banyak. Walaupun demikian, tidak
masyarakat, sebagaimana yang selama ini ada niat sedikit pun dalam diri Trump
dibayangkan, melainkan juga segmen untuk mendongkel posisi oligarki yang
tertentu masyarakat seperti kelas mene- berkuasa mengingat posisi dan kepen-
ngah terdidik yang memiliki berbagai tingan sosialnya sendiri.
impian tentang perbaikan kondisi material Lebih dekat dengan Indonesia, bekas
dan status sosial yang tidak akan pernah pemimpin Thailand, Thaksin Shinawatra,
terwujud. yang juga pengusaha besar, pernah men-
Bagaimana dengan Indonesia? Apa- jalin aliansi dengan rakyat miskin sebagai
kah populisme merupakan tantangan alat bertarung dengan blok kekuasaan di
mendasar bagi kekuasaan oligarki yang sekitar istana, kelompok bisnis terkait,
sudah lama mencengkeram? Bukankah dan institusi militer. Cara yang dipakai
40 Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017

Thaksin adalah mengumpulkan dukungan perangkat demokrasi hasil reformasi ham-


masyarakat luas melalui berbagai program pir dua dasawarsa yang masih saja dira-
sosial—kendati akhirnya dia kalah ber- suki politik uang dan korupsi. Selain itu,
tarung dan harus menjalani hidup dalam justru di alam demokrasi tingkat
pembuangan politik hingga sekarang. ketimpangan kekayaan di Indonesia telah
Indonesia pun sebenarnya memiliki memecahkan rekor sebelumnya dengan
perjalanan sejarah politik populisme cukup adanya pemupukan modal luar biasa di
panjang yang cabang-cabangnya dapat tangan keluarga-keluarga yang sebagian
ditelusuri setidaknya hingga populisme besar juga telah menikmati kemakmuran
ala Islam yang diwakili oleh organisasi lebih semasa Orde Baru.
seperti Sarekat Islam di zaman kolonial Yang juga menarik adalah populisme
hingga populisme nasionalis yang per- kedua tokoh yang bersaing itu ternyata
wujudan utamanya adalah Soekarnoisme. mengambil wujud agak berlainan. Bagi
Namun, dahulu istilah populisme tidak Jokowi, yang banyak menikmati manfaat
banyak ditemukan dalam kosakata ana- pribadi dari proses demokratisasi dan
lisis politik Indonesia kontemporer. Hal desentralisasi, program sosial yang populis
itu dikarenakan otoriterisme Orde Baru dapat menjadi alat tawar-menawar efektif
sangat membatasi politik tingkat akar- dengan para elite partai politik yang sulit
rumput yang dibutuhkan untuk me- menemukan figur yang dapat memesona
numbuhkan arus populisme yang berarti. rakyat yang sudah jenuh dengan janji-janji
Sebagai warisan otoriterisme Orde Baru palsu. Karena itu, dia lebih menekankan
tersebut, hingga hari ini pun “civil society” program kesehatan dan pendidikan yang
di Indonesia masih sangat kurang ter- digabungkannya dengan klaim keber-
organisasi, sehingga sulit memunculkan hasilan sebagai manajer institusi publik
basis sosial bagi politik populisme yang saat menjabat wali kota Solo dan gubernur
jitu. Jakarta.
Terlepas dari kekurangan seperti itu, Sementara itu, bagi Prabowo, arus po-
ciri-ciri politik populisme belakangan ini pulisme memberi kesempatan dalam me-
sudah mulai terlihat sebagaimana diiden- majukan alternatif politik “orang kuat” dan
tifikasi oleh banyak pengamat ketika Joko oligarki yang lebih tersentralisasi ketim-
Widodo bertarung dengan Prabowo bang tercerai-berai setelah tumbangnya
Subianto dalam pemilihan presiden 2014. Orde Baru. Dia memanfaatkan “nostalgia”
Keduanya memilih menampilkan diri se- terhadap “keteraturan” zaman Soeharto,
bagai orang “di luar elite” dan “pro-rak- selain reputasinya sebagai mantan perwira
yat”, sebuah strategi yang manjur karena tinggi militer. Hal tersebut tidak menghe-
meruyaknya kekecewaan terhadap kinerja rankan, karena dapat dikatakan Prabowo
Esai 41

sendiri pernah menjadi korban tuntutan sejak masa kolonial. Di Indonesia, po-
Reformasi yang membawa demokratisasi pulisme Islam itu, meski cukup vokal,
dan desentralisasi. Namun, “proyek” belum ditata cukup rapi sehingga menjadi
Prabowo seperti itu pasti membuat gusar kekuatan besar sebagaimana di Turki
bagian-bagian dari oligarki yang tidak ter- atau di Tunisia dan Mesir (dengan ken-
masuk dalam lingkaran dekatnya. Terle- daraan utamanya adalah Ikhwanul
pas dari perbedaan di antara mereka, baik Muslimin yang kini dalam keadaan
Jokowi maupun Prabowo mewakili sub- terpuruk karena represi militer yang
cabang dari tradisi populisme nasionalis sangat hebat). Kemungkinan mengambil
yang idiom dan terminologinya diambil alih kekuasaan negara masih sangat
dari kamus perjuangan nasional. kecil, meski kemampuan sesekali
Di samping tradisi itu, ada juga popu- memunculkan kericuhan sosial terlihat
lisme Islam yang ekspresinya dewasa ini cukup tinggi.
bercabang-cabang. Idiom, terminologi, Apakah implikasi jangka panjang po-
dan simbolisme yang dipakai untuk me- pulisme untuk negeri seperti Indonesia?
narik dukungan serta merekat berbagai Yang mesti diingat adalah negeri ini tidak
elemen masyarakat yang berbeda ter- memiliki politik Kiri yang mampu meng-
utama berasal dari kamus lain, yakni galang dan memperluas kekecewaan me-
kamus agama. Di sini yang menjadi kata nuju proyek politik alternatif lebih pro-
kunci bukanlah “rakyat” melainkan gresif. Ia juga tidak memiliki arus politik
“umat”—yang kerap digambarkan seba- liberalisme yang benar-benar memajukan
gai pihak yang dinistakan dan diping- sebuah agenda reformasi liberal berda-
girkan sejak zaman kolonial, Soekarno, sarkan basis sosial kelas menengah urban
Soeharto, hingga masa Reformasi. Di satu atau borjuasi yang percaya diri dalam alam
sisi, populisme semacam itu tersalurkan pertarungan pasar bebas. Karena itu,
dalam bentuk dukungan pada berbagai “ruang kosong” ini dapat diisi oleh berba-
partai politik yang mengklaim diri sebagai gai jenis politik populisme. Lebih jauh lagi,
perwakilan dari kepentingan umat Islam bisa jadi politik Indonesia di masa depan
yang seragam—kendati di antara umat ini akan semakin ditandai oleh pertarungan
ada yang kaya, miskin, tinggal di kota, di berbagai varian populisme itu—bukan
desa, dan sebagainya. Di luar itu, ada pertarungan antara populisme dan libe-
sejumlah kendaraan organisatoris yang ralisme, misalnya. Namun, beragam ben-
sama-sama menyatakan diri sebagai alat tuk populisme itu lebih mungkin menjadi
perjuangan umat, tetapi menganggap alat pertarungan antar-elite predatoris yang
bahwa demokrasi hanya melanggengkan berkompetisi ketimbang menjadi alat
posisi keterpinggiran sosial yang dialami politik sejati kaum yang terpinggirkan•
42
Prisma Prisma
S UVol.
R V36,ENo.
I 1, 2017

Demokrasi Tak Terlembagakan?*


Hasrul Hanif

Penilaian tentang perkembangan demokratisasi di Indonesia selama ini


sangat beragam dan cenderung melihat adanya kemandekan bahkan ke-
munduran. Studi ini mencoba mengupas seberapa dalam penilaian ter-
sebut tetap relevan selama periode 2008-2013. Dengan menakar kuali-
tas dan pelembagaan demokrasi serta dukungan aktor politik terhadap
institusi demokrasi, maka demokrasi di Indonesia cenderung semakin
liberal, namun kurang demokratis. Aspek kebebasan dengan derajat dan
cakupan berbeda terlembaga dengan baik. Namun, kontrol rakyat yang
tidak efektif membuat tata kelola pemerintahan yang baik tetap dianggap
paling bermasalah.
Kata Kunci: aktor, demokratisasi, hak dasar, kebebasan, pelembagaan
demokrasi

C
apaian proses demokratisasi Indonesia geri ini untuk menjaga keberlanjutan institusi-
selama hampir dua dasawarsa terakhir institusi demokrasi yang baru lahir dalam re-
1
dicatat dengan penilaian yang berbeda- formasi yang berjalan perlahan-lahan. Amy
beda dan bahkan menunjukkan kesimpulan Freedman dan Robert Tiburzi juga menekan-
yang bertolak belakang satu dengan yang lain. kan bahwa demokrasi telah mengakar di ma-
Ada studi yang memuji stabilitas yang dicapai di syarakat, meski capaian pertumbuhan ekonomi
tengah berbagai upaya reformasi politik. Larry Indonesia tidak semaju negara lain dan nilai-nilai
2
Diamond, misalnya, mengapresiasi kemampuan tradisional masih punya tempat.
rezim yang demokratis dalam mengatasi de- Namun demikian, tidak sedikit pula yang
ngan baik berbagai riak politik di tengah te- ragu melihat perkembangan demokrasi Indone-
kanan dan meyakini bahwa kondisi tersebut sia. Marcus Mietzner, misalnya, menyebutkan
memberikan kesempatan yang layak bagi ne- bahwa demokrasi Indonesia mengalami

*
Tulisan ini sebagian besar telah dipublikasikan 1
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward
sebagai salah satu bab yang ditulis bersama Eric Consolidation (Baltimore: The John Hopkins
Hiariej dalam Amalinda Savirani dan Olle University Press, 2008), hal. 220.
Tornquist (eds.), Reclaiming the State: Overcom- 2
Amy Freedman dan Robert Tiburzi, “Progress
ing Problems of Democracy in Post-Soeharto and Caution: Indonesia’s Democracy”, dalam
Indonesia (Yogyakarta: Penerbit PolGov dan PCD Asian Affairs: An American Review, Vol. 39, No. 3,
Press, 2015), hal. 33-52. 2012, hal. 131-156.

A R T I K E L
Hasrul Hanif, Demokrasi Tak Terlembagakan 43

kemandekan. Ada berbagai upaya serius untuk pemerintah (Ornop), partai politik, hingga
menahan laju reformasi, meski tidak selalu birokrasi yang terekam dalam baseline survey
berhasil sehingga demokrasi Indonesia seolah- “Power, Welfare, and Democracy” 2013 (selan-
olah “membeku” di pertengahan tahun 2000. jutnya: Survei PWD 2013) dengan pengayaan
Para elite konservatif pun berupaya merebut data dari berbagai sumber sekunder.
kembali “hak istimewa” lama mereka dan men-
cegah reformasi, khususnya dalam isu pemilu,
Menakar Pelembagaan
pemberantasan korupsi, dan perlindungan hak-
Demokrasi
hak minoritas, di tengah dukungan masyarakat
terhadap demokrasi yang tetap berlanjut, Di tengah tradisi atau perspektif untuk
kendati agak kecewa melihat tidak terwujudnya mengukur derajat demokratisasi yang amat
3
tata kelola pemerintahan yang efektif. Kajian- beragam, tulisan ini mencoba memahami de-
kajian lain juga melihat demokrasi Indonesia mokrasi di Indonesia dengan menekankan
4
kian berkelindan dengan patronase, diwarnai aspek kelembagaan yang dipahami sebagai pola
5
oleh kartel politik yang kuat, bahkan dido- norma yang membentuk perilaku individu yang
minasi para oligark.6 pada gilirannya menstrukturisasi perilaku sosial
7
Tulisan ini berusaha melihat seberapa jauh warga negara untuk berperilaku serupa. Pada
kesimpulan-kesimpulan tersebut tetap relevan dasarnya, tulisan ini menempatkan demokrasi
dalam menggambarkan perkembangan demo- sebagai nilai-nilai ideal yang diejawantahkan
krasi Indonesia periode 2008-2013. Secara melalui institusi atau praktik (prosedur dan
8
sederhana, kajian yang akan meninjau kualitas mekanisme).
dan seberapa jauh pelembagaan institusi demo- Bila demokrasi didefinisikan sebagai (1)
krasi serta dukungan aktor politik terhadap kontrol rakyat atas urusan-urusan publik ber-
institusi demokrasi di Indonesia ini, sepenuh- dasarkan (2) kesetaraan politik, maka dibutuh-
nya disandarkan pada penilaian para aktivis pro- kan perangkat penilaian untuk melihat derajat
demokrasi yang berasal dari berbagai latar kontrol rakyat yang efektif sekaligus inklusif.
belakang mulai dari aktivis organisasi non- Dengan kata lain, dibutuhkan adanya instrumen
penilaian untuk melihat seberapa jauh dua
prinsip ideal tersebut terlembagakan dalam tata
3
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic kelola pemerintahan. Karena itu, prinsip-prinsip
Stagnation: Anti-Reformist Elites and Resilient tersebut perlu diturunkan menjadi nilai peran-
Civil Society”, dalam Democractization, Vol. 19,
tara (mediating values) lebih konkret dan
No. 2, 2012, hal. 209-212.
4
Lihat, Edward Aspinall dan Gerry van Klinken, terukur berupa partisipasi, otorisasi, represen-
“The State and Illegality in Indonesia”, dalam tasi, akuntabilitas, transparansi responsivitas,
9
Edward Aspinall dan Gerry van Klinken (eds.), dan solidaritas. Ada sejumlah alasan mengapa
The State and Illegality in Indonesia (Leiden:
KITLV Press, 2011).
5
Lihat, Dan Slater, “Indonesian’s Accountability 7
Hans-Joachim Lauth, “Informal Institutions and
Traps: Party Cartels and Presidential Power After Democracy”,dalam Democratization, Vol. 7, No.
Democratic Transition”, dalam Indonesia 78, 4, 2000, hal. 23; lihat, David Beetham, Democracy
Oktober 2004; Kuskridho Ambardi, Mengungkap and Human Rights (Cambridge: Polity Press,
Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian 2007), hal. 4-153.
di Indonesia Era Reformasi (Jakarta: Gramedia 8
Lihat D Beetham, Democracy and Human... hal.
dan LSI, 2009). 4-153.
6
Lihat, Richard Robison dan Vedi Hadiz, 9
Olle Törnquist, Assessing Dynamics of Democrati-
Reorganising Power in Indonesia: The Politics of sation: Transformative Politics, New Institutions
Oligarchy in an Age of Markets (London: and the Case of Indonesia (New York: Palgrave
Routledge Curzon, 2004). Macmillian, 2013), hal. 31.

A R T I K E L
44 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

nilai-nilai tersebut dianggap sebagai nilai ka sendiri atau terhadap perjuangan demo-
10
perantara: krasi di luar negeri.
• Tanpa adanya partisipasi warga dan hak-
hak dasar, kebebasan dan sarana untuk Namun demikian, nilai perantara tidak bisa
berpartisipasi, prinsip kontrol rakyat atas terealisasikan begitu saja tanpa adanya institusi
pemerintahan tidak bisa direalisasikan; yang menjadi sarana untuk merealisasikan nilai-
• Titik awal partisipasi adalah memberikan nilai tersebut. Demokrasi dimulai dari serang-
otoritas kepada representasi publik atau kaian prinsip atau idealitas yang regulatif dan
pejabat melalui pilihan-pilihan bebas dan kemudian datang prosedur dan tatanan insti-
adil dalam pemilu, yang akan menghasilkan tusional yang dengannya prinsip-prinsip itu
produk-produk legislasi yang merepre- direalisasikan. Karena itu, tulisan ini akan me-
sentasikan beragam kecenderungan opini lihat demokrasi Indonesia dari wajah beragam
publik; sarana institusional (selanjutnya: aturan main
• Jika berbagai kelompok warga negara yang dan regulasi) tersebut yang dikelompokkan
berbeda diperlakukan dengan pijakan yang menjadi empat klaster utama, yaitu (1) kewarga-
sama sesuai jumlah mereka, maka lemba- negaraan, hukum, dan hak asasi manusia; (2)
ga-lembaga publik utama juga akan mere- representasi yang demokratis; (3) tata kelola
presentasikan wajah warga secara sosial; pemerintahan yang akuntabel; dan (4) masya-
• Akuntabilitas semua pejabat, baik yang rakat sipil yang partisipatoris, mandiri, dan
11
diberikan kepada masyarakat secara lang- dinamis.
sung maupun melalui lembaga mediasi par- Sebagai praktik, tentu saja kehadiran insti-
lemen, pengadilan, ombudsman, dan lemba- tusi yang baik tidak cukup bagi terwujudnya
ga pengawas lainnya, sangat penting jika demokrasi yang baik. Aktor politik utama juga
pejabat bertindak sebagai agen atau pelayan turut memberikan kontribusi dan berkehendak
masyarakat, bukan sebagai tuan mereka; (will) serta memiliki kapasitas, terutama untuk
• Tanpa adanya keterbukaan atau transparan- menjadikan institusi demokrasi sebagai “the
12
si dalam pemerintahan, tidak mungkin ada only one game in town”. Institusi yang baik
akuntabilitas yang efektif; hanya akan menghadirkan demokrasi yang
• Responsivitas atas kebutuhan-kebutuhan baik bila terinternalisasi dalam relasi antar-aktor
masyarakat melalui berbagai lembaga tem- dalam berbagai proses politik yang ada. Seba-
pat kebutuhan tersebut dapat diartikulasi- liknya, bila aktor politik cenderung menyalah-
kan merupakan indikasi utama tentang gunakan (abuse) institusi yang ada, maka
tingkat pengaruh yang bisa mengontrol kualitas demokrasi dalam satu negara bisa
dari rakyat kepada pemerintah; dipastikan tidak baik. Terlebih ketika para aktor
• Meskipun kesetaraan berjalan sebagai utama menggunakan institusi bukan demokrasi
sebuah prinsip melalui semua nilai peran- dalam permainan politik mereka, maka sangat
tara, kesetaraan juga menjadi ekspresi sulit bagi kita untuk menemukan tatanan yang
khusus dalam solidaritas tempat berbagai
warga negara tunjukkan kepada siapa pun
yang berbeda dari mereka di tempat mere- 11
Beetham, Carvalho, Landman dan Stuart Weir,
Assessing the Quality of Democracy…, hal. 24-25.
12
Bandingkan dengan Olle Törnquist dan Nicolaas
Warrouw, “Approaching Democracy: Some Brief
10
David Beetham, Edzia Carvalho, Todd Landman, Introductory Notes on Concepts and Methods”,
dan Stuart Weir, Assessing the Quality of dalam Willy Purna Samadhi dan Nicolaas
Democracy: A Practical Guide (Stockholm: IDEA Warouw (eds.), Building Democracy on the Sand
International, 2008), hal. 24. (Yogyakarta: PCD Press dan Demos, 2009).

A R T I K E L
Hasrul Hanif, Demokrasi Tak Terlembagakan 45

Tabel 1. Kualitas Proses Demokrasi (Tata Aturan dan Regulasi)

Sumber: Data primer Survei PWD 2013

A R T I K E L
46 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

demokratis.13 Singkat kata, institusi tidak hadir memberikan variasi yang lebih detail dari per-
14
terisolasi atau bekerja di ruang hampa. Peran kembangan masing-masing sarana institutional
penting institusi sangat erat kaitannya dengan demokrasi yang ada. Kesimpulan awal yang
relasi kuasa yang ada. ingin dielaborasi lebih mendalam dalam tulisan
ini adalah politik di Indonesia cenderung se-
makin liberal, namun kurang demokratis.
Lebih Liberal, Kurang
Demokratis
Ekspresi Kebebasan dengan
Berdasarkan data Survei PWD 2013, wajah
Beragam Derajat
demokrasi Indonesia selama 2008-2013 menun-
jukkan sesuatu yang lebih dinamis. Selama ini, Bila membandingkan hasil survei yang
sebagian besar studi menunjukkan adanya sama pada 2003 dan 2007, jumlah aktivis pro-
keberlanjutan dukungan terhadap gagasan demokrasi yang memberikan nilai “baik” atas
demokrasi di dalam masyarakat, namun ada sarana institutional demokrasi yang terkait
semacam kemandekan, data Survei PWD 2013 dengan kebebasan mengalami peningkatan dari
mengonfirmasi hal tersebut. Sebagian besar waktu ke waktu. Data menunjukkan bahwa
aktivis pro-demokrasi yang menjadi narasum- aturan main dan regulasi terkait “kebebasan
ber dalam survei menyebutkan demokrasi dalam mengakses peluang” dan “jaminan warga
Indonesia secara umum diyakini tidak menga- negara mengelola diri sendiri” dalam klaster
lami perubahan sejak pemilukada terakhir di Masyarakat Sipil yang Beradab dan Bernas
daerah masing-masing (2008/2009). Walaupun berada dalam posisi tertinggi sebagai institusi
demikian, rerata narasumber yang menyatakan yang dinilai bagus oleh para narasumber. Se-
bahwa demokrasi Indonesia membaik masih baliknya, jumlah aktivis pro-demokrasi yang
lebih besar (35,4%) dibandingkan dengan me- memberikan penilaian “baik” terhadap klaster
reka yang menilai demokrasi Indonesia mem- Tata Pemerintahan yang Akuntabel dan klaster
buruk (14,1%) (lihat, Tabel 1). Representasi tidak signifikan atau separuhnya,
Namun demikian, bila ditelusuri lebih lanjut, sebagaimana digambarkan Tabel 2.
ada variasi temuan dalam 13 aturan main dan Tingginya penilaian “baik” atas aturan main
regulasi yang dikaji dalam Survei PWD 2013. dan regulasi terkait “kebebasan dalam meng-
Variasi itu sesungguhnya bukan hal menge- akses peluang” dan “jaminan warga negara
jutkan mengingat beberapa studi demokrasi mengelola diri sendiri” tentu saja tidak bisa
Indonesia sebelumnya menunjukkan variasi dilepaskan dari berbagai faktor. Di satu sisi,
capaian: ada kemajuan dalam beberapa aspek, struktur kesempatan politik yang sangat luas
namun ada juga kemandekan atau kemunduran bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam
dalam aspek yang lain. Survei PWD 2013 lebih berbagai proses kebijakan dan diskursus politik
15
di Indonesia saat ini telah tersedia. Berbagai
mekanisme partisipatif dalam proses kebijakan
13
Guillermo O’ Donnell, “Human Development, Hu-
man Rights and Democracy,” dalam Guillermo
memberikan ruang lebih lapang bagi masya-
O’Donnell, Jorge Vargas Cullell, dan Osvaldo M. rakat sipil untuk mengakses, mengontrol, dan
Iazzetta (eds.), the Quality of Democracy: Theory
and Applications (USA: University of Notre Dame
Press, 2004), hal. 9-92. 15
Nyman Mikaela, Democratising Indonesia: The
14
Bandingkan dengan Sunil Bastian dan Robin Challenges of Civil Society in the Era of Reformasi
Luckham, Can Democracy be Designed? The (Kopenhagen: NIAS Press, 2006); Rena Beit-
Politics ofInstitutional Choice in Conflict-Torn tinger Lee, (Un) Civil Society and Political Change
Societies (London and New York: Zed Books, in Indonesia: A Contested Arena (London:
2003), hal. 2. Routledge, 2009)

A R T I K E L
Hasrul Hanif, Demokrasi Tak Terlembagakan 47

Tabel 2. Penilaian Umum tentang Tata Aturan dan Regulasi Demokrasi Formal

Sumber: Data primer survei PWD 2013.

A R T I K E L
48 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

memengaruh proses yang ada. Reformasi ke- Pertama, kelompok-kelompok minoritas tetap
lembagaan yang memberi peluang bagi hadir- sulit mengekspresikan keyakinan dan pendapat
nya lembaga-lembaga sampiran negara (state mereka dengan mudah. Indonesia masih me-
auxillary institution), seperti berbagai Komisi nyisakan persoalan terkait kebebasan kelom-
pada level nasional maupun lokal, serta desain pok-kelompok minoritas dan “minority within”,
multistakeholders forum seperti Dewan Kehu- seperti pelarangan dan pengusiran dari tempat
tanan Nasional, multistakeholders grup di tinggal bagi Jamaah Ahmadiyah dan Syiah di
Extractive Industries Transparency Initiatives Sampang, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain,
(EITI), forum CSR di berbagai daerah, dan serta tidak mudahnya mendapatkan surat izin
sebagainya, telah menjadi sarana baru bagi mendirikan rumah ibadah bagi kelompok-
masyarakat sipil untuk mengakses, terlibat, dan kelompok minoritas.
memengaruhi kebijakan dan wacana publik di Kedua, bentuk kebebasan yang teraktuali-
luar media yang biasa mereka gunakan. Di sisi sasi sepenuhnya berbeda-beda antara satu
lain, ada peningkatan kapasitas dan perluasan tempat dengan tempat lain. Ada tempat yang
skala (scaling up) masyarakat sipil itu sendiri. memberi peluang kebebasan ekspresi budaya,
Kehadiran berbagai jejaring dan koalisi, seperti namun tidak ramah dengan ekspresi sosial-
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Publish politik. Hal itu terkonfirmasi dalam expert survey
What You Pay (PWYP), Aliansi Strategis Mela- lembaga Elsam tentang “Praktik Kebebasan
wan Pemiskinan (Strategic Alliance for Poverty Berekspresi” di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera
Alleviation, SAPA) bukan hanya memberikan Barat, Kalimantan Barat, Yogyakarta, dan Papua
penguatan kapasitas di dalam internal organisasi pada 2011-2012 dengan melihat tiga dimensi
masyarakat sipil, melainkan juga memperkuat ekspresi, yaitu sosial-politik, agama, dan buda-
derajat pengaruh mereka, baik pada level lokal ya. Hasil survei Elsam menunjukkan kebebasan
16
maupun nasional bahkan global. berekspresi di provinsi-provinsi tersebut dalam
Namun demikian, beberapa studi menun- kondisi baik.18 Namun, survei itu juga mem-
jukkan bahwa masih terdapat keterbatasan perlihatkan bahwa seluruh provinsi yang dikaji
dalam berbagai mekanisme partisipatoris. Me- hampir semuanya memiliki satu dimensi eks-
kanisme partisipatoris lebih sering menjadi presi dengan skor buruk. Hanya Kalimantan
ruang formal tempat kontrol masih dikendali- Barat yang seluruh dimensinya baik, meski tak
kan oleh para elite. Selain itu, ada kecende- bisa dilepaskan dari pelbagai pelanggaran yang
rungan partisipan diseleksi dari atas serta keti- menyelimutinya. Jakarta, Yogyakarta, dan Pa-
dakjelasan siapa sebenarnya yang partisipan pua memiliki kondisi buruk dalam praktik
representasikan dan kepada siapa mereka ekspresi sosial-politik. Adapun Sumatera Barat
mesti akuntabel.17 memiliki kondisi buruk dalam ekspresi agama.
Wajah kebebasan di Indonesia selama Ketiga, pelanggaran atas kebebasan sering
kurun 2008-2013 bukan tanpa masalah. kali melibatkan aktor negara, baik dalam bentuk
kesengajaan maupun pengabaian. Misalnya,
16
Lihat, Hasrul Hanif, “Networking-Based Policy:
The Wahid Institute mencatat adanya 245 kasus
CSO Networking for Advocating Public Budget pelanggaran atas kebebasan beragama dan
Reform,” dalam PM Laksono, Sukamdi, Rik berkeyakinan pada 2013. Dalam laporan lem-
Habraken, dan Lau Schulpen (eds.), Local Civil baga tersebut disebutkan bahwa banyak kasus
Society Dynamics in Indonesia (CAPS UGM-
CIDIN Nijmegen University, 2013).
17
Salah satu di antaranya studi A Anam Thamrin 18
Roichatul Aswidah dan Wahyudi Djafar, Ragam,
dan V Sri Wijayanti, Menjaring Uang Rakyat Corak Dan Masalah Kebebasan Berekspresi Di
Ragam Advokasi Anggaran di Indonesia (Jakarta: Lima Propinsi Periode 2011-2012 (Jakarta: Elsam
Idea Press dan TIFA, 2006). dan TIFA, 2013).

A R T I K E L
Hasrul Hanif, Demokrasi Tak Terlembagakan 49

Diagram 1. Pengaduan Masyarakat Tentang Praktik Korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK)

Sumber: http://acch.kpk.go.id/rekapitulasi-laporan-pengaduan

pelanggaran diinisiasi atau dilakukan oleh aktor sen dari total narasumber memberikan nilai
non-negara. Namun, aktor negara juga terlibat “baik” dalam klaster Tata Kelola Pemerintahan.
dalam pelanggaran tersebut; pemerintah se- Sisanya 39,9 persen menilai sedang (fair) dan
tempat atau aparat keamanan ikut mengambil 37,5 persen menilai buruk.20 Indikasi keluhan
keputusan saat pelaku intoleran melaporkan masyarakat terhadap akuntabilitas pemerin-
kelompok minoritas yang dinilai mengganggu tahan bisa dilihat dari data pengaduan ma-
lingkungannya.19 syarakat tentang praktik korupsi ke Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menun-
jukkan tidak ada perubahan signifikan (lihat,
Kontrol Rakyat Tidak Efektif
Diagram 1).
Data Survei PWD 2013 menunjukkan bah- Ironisnya, keluhan akan transparansi, im-
wa upaya kontrol rakyat mendorong peme- parsialitas, dan akuntabilitas itu muncul di
rintahan yang akuntabel tampak tidak berjalan tengah berbagai usaha pemerintah mendorong
efektif. Hal itu terlihat dari penilaian para aktivis tata kelola pemerintahan yang lebih transparan
pro-demokrasi yang 19,8 persen dan 19,1 per- dan akuntabel. Misalnya, sejak 2008, Indonesia

19
Lihat, “Catatan The Wahid Institute tentang 20
Lihat Tabel 3.1 dalam Hasrul Hanif dan Eric
Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Hiariej, “Democratic Institutions: From Good
di Indonesia”, dalam http://www.wahidinstitute. Governance to Vibrant CSOs”, dalam Amalandia
org/wi-id/indeks-berita/266-catatan-the-wahid- Savirani dan Olle Tornquist (eds.), Reclaiming
institute-tentang-potret-kebebasan-beragama- the State: Overcoming Problems of Democracy in
dan-berkeyakinan-di-indonesia.html (diakses Post-Soeharto Indonesia (Yogyakarta: Penerbit
April 2015). PolGov dan PCD Press, 2015), hal. 33-52.

A R T I K E L
50 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

mensahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun Tabel 3. Relasi Aktor terhadap Aturan Main
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Regulasi yang Demokratis (dalam persen)
(KIP) yang mewajibkan pemerintah pusat dan
daerah untuk lebih transparan. Bukan hanya Aktor Utama Mempro- Menyalah
memastikan informasi-informasi publik bisa mosikan gunakan
diakses oleh warga, UU tersebut juga menga-
manatkan kehadiran Komisi Informasi, baik di Aktor Dominan 47,7 29,5
pusat maupun di daerah, yang berfungsi mem-
Aktor Alternatif 60,8 7,0
fasilitasi berjalannya implementasi aturan per-
undangan dan menyelesaikan sengketa infor- Sumber: Data primer survei PWD 2013.
masi. Bahkan, pemerintah Indonesia menjadi
bagian dari anggota dan co-founder serta co-chair
masing-masing pada 2011 dan 2011-2014 dalam
Merayakan Dukungan Melalui
aliansi global di antara negara-negara yang
Sosialisasi
bersedia mendorong tata pemerintahan yang
terbuka, Open Government Partnership Hasil Survei PWD 2013 juga menunjukkan
21
(OGP). bahwa seluruh aktor politik cenderung mem-
Bila ditelusuri lebih dalam, ada semacam promosikan ketimbang menolak demokrasi.
kecenderungan formalisasi yang justru meng- Baik aktor dominan (mereka yang saat ini ber-
hasilkan paradoks. Di satu sisi, menjamur ada di dalam kekuasaan) maupun aktor alterna-
berbagai produk regulasi formal yang menjadi tif (mereka yang berada di luar lingkar kekua-
sarana institutional demokrasi, seperti UU KIP saan) sama-sama mendukung demokrasi, mes-
(2008), Undang-Undang Sistem Perencanaan ki kecenderungan aktor untuk menyalahguna-
Pembangunan Nasional (2004), Undang-Un- kan demokrasi lebih tinggi (lihat, Tabel 3). Du-
dang Sistem Jaminan Sosial Nasional (2004), kungan hampir semua aktor politik terhadap de-
UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mokrasi mengindikasikan adanya kecende-
(2011), dan sebagainya, serta upaya Pemerin- rungan menjadikan demokrasi sebagai “the only
tah Indonesia meratifikasi berbagai kovenan game in town”.23 Tak pelak, hal tersebut akan
dan konvensi internasional terkait Hak Asasi mendorong demokrasi Indonesia membaik
Manusia (HAM). Namun, di sisi lain, sebagian secara berkesinambungan.
besar substansi produk regulasi tidak berban- Sekali lagi, sesungguhnya itu bukan temuan
ding lurus dengan semangat demokratis. Aki- baru bila dibandingkan dengan studi-studi sebe-
batnya, banyak aktivis masyarakat sipil menga- lumnya tentang demokratisasi di Indonesia.
jukan permohonan peninjauan kembali Namun, yang menarik untuk diperdalam adalah
(judicial review) atau pengujian konstitusional bentuk dukungan seperti apakah yang muncul.
(constitutional review) terhadap produk regula- Ternyata bentuk dukungan paling konkret
si tersebut. Mahkamah Konstitusi sendiri, sejak adalah sosialisasi. Berbagai narasumber yang
2003 sampai 2013, telah menerima dan mem- diwawancarai oleh para peneliti dalam survei itu
proses 503 peninjauan kembali yang diajukan menyebutkan bahwa sarana promosi aturan dan
masyarakat dan mengabulkan pembatalan 167 regulasi terkait demokrasi adalah sosialisasi.
22
UU. Para aktor utama tersebut hadir dalam berbagai
sosialisasi aturan main yang ada di pelbagai
21
Lihat, http://www.opengovpartnership.org/
forum publik.
country/Indonesia (diakses 1 Agustus 2014).
22
Lihat, https://www.mpr.go.id/files/pdf/2013/
11/06/no-09th-viiseptember-2013.pdf (diakses 26 23
Bandingkan dengan Diamond, Developing
0ktober 2014). Democracy…, hal. 65.

A R T I K E L
Hasrul Hanif, Demokrasi Tak Terlembagakan 51

Tabel 4. Strategi Aktor Dominan untuk Mencapai Tujuan

Sumber: Data primer Survei PWD 2013.

Hasil survei menunjukkan bahwa sosialisasi Kondisi tersebut kian mempertegas temuan
program dan aksi media menjadi tindakan yang survei sebelumnya tentang para “demokrat
paling sering diambil oleh aktor dominan mengambang” dan terpinggirkan, kondisi para
(16,4%) (lihat, Tabel 4). Sedangkan aktor alter- aktor alternatif yang tidak cukup memiliki akar
natif menjadikan sosialisasi dan aktivitas media, kuat dalam pengorganisasian gerakan sosial.24
seperti seminar, workshop, dan media sosial, Aktor-aktor alternatif tidak hanya mengambang
sebagai sarana utama memengaruhi diskursus dalam strategi pengorganisasian, namun juga
publik atau mempromosikan institusi demo-
krasi. Data survei menunjukkan strategi itu 24
Lihat, AE Priyono, Willy Purna Samadhi, dan
sebagai pilihan kedua terbanyak setelah peng- Olle Törnquist (eds.), Menjadikan Demokrasi
organisasian massa (20,4%) (lihat, Tabel 5). Bermakna (Jakarta: Demos, 2007).

A R T I K E L
52 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tabel 5. Strategi Aktor Alternatif untuk Mencapai Tujuan

Sumber: Data primer Survei PWD 2013.

terjebak dalam pendangkalan isu yang mereka hana tentang proses itu bisa dilihat dari imple-
dorong. mentasi Rencana Aksi Daerah Hak Asasi
Pilihan sosialisasi atau aksi media sebagai Manusia (Randa HAM) yang sebenarnya meru-
strategi dapat promosi tentu saja problematik. pakan desain kebijakan strategis yang didorong
Dengan sebatas sosialisasi, para aktor utama pemerintah pusat agar internalisasi nilai-nilai
tidak bisa memastikan aturan main dan regulasi HAM dalam proses kebijakan serta sinkronisasi
yang ada bisa diterapkan dengan baik. Mereka produk kebijakan dan pelayanan publik berorien-
juga tidak bisa mendorong berbagai aturan main tasi pada hak-hak dasar. Namun, kenyataan
dan regulasi yang ada berorientasi kepentingan menunjukkan bahwa banyak pengalaman Randa
publik. Ada proses pendangkalan proses politik HAM tidak lebih sekadar rutinitas kegiatan
dan informasi yang disampaikan. Ilustrasi seder- sosialisasi HAM kepada masyarakat•

A R T I K E L
Prisma SURVEI Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 53

Politik Kesejahteraan di Tingkat


Lokal
Caroline Paskarina

Pengelolaan sumber daya tidak dapat dilepaskan dari praktik


kekuasaan yang menentukan bagaimana sumber daya didistribusikan.
Pengelolaan sumber daya juga menjadi isu strategis berdemokrasi
karena tidak hanya menyangkut terpenuhinya kesejahteraan secara adil
dan merata, tetapi juga ketersediaan akses bagi publik dalam mengon-
trol dan mengelola sumber-sumber daya tersebut. Tulisan ini mema-
parkan bagaimana strategi politisasi kesejahteraan dipraktikkan para
aktor di tingkat lokal dan bagaimana mengelola relasi kekuasaan demi
mewujudkan demokrasi yang menyejahterakan.

Kata Kunci: aktor, kekuasaan, pengelolaan sumber daya, politik


kesejahteraan, demokrasi

D
alam pembicaraan mengenai demo- masyarakat menjadi lebih aktif berpartisipasi
krasi, kesejahteraan sering kali di- memelihara hak-hak sipil dan kebebasan ter-
tempatkan dalam hubungan yang sebut. Partisipasi itu diperlukan untuk men-
bersifat kausal. Kesejahteraan dalam penger- dukung bekerjanya sistem politik, karena mela-
tian sebagai pencapaian kemakmuran ekonomi lui partisipasi yang otonom, kepentingan-kepen-
dianggap sebagai prakondisi bagi modernisasi tingan publik dapat diartikulasikan dan diagre-
1
politik yang mengarah pada demokratisasi. gasikan sebagai bahan perumusan kebijakan.
Kondisi masyarakat yang tercukupi kebutuhan- Sebaliknya, kebebasan dan pengakuan hak-hak
kebutuhan pokoknya serta terlindungi hak-hak sipil akan menjamin tersedianya kondisi yang
sosial, ekonomi, dan politiknya akan membuat mendukung bagi pemenuhan kesejahteraan,
yakni meningkatnya kapasitas individu dalam
1
Lucien W Pye, “The Concept of Political Deve- memenuhi segala kebutuhannya.2 Penjelasan
lopment”, dalam The Annals of the American kausal tersebut menegaskan adanya hubungan
Academy of Political and Social Science (1965), positif antara demokrasi dan kesejahteraan.
hal. 1-13; Seymour M Lipset, “Some Social
Requisites of Democracy: Economic Develop-
ment and Political Legitimacy”, dalam The Ame- 2
Lihat, Alexander Petring et al., Welfare State and
rican Political Science Review, Vol. 53, No. 1, Social Democracy (Berlin: Friedrich-Ebert
1959, hal. 69-105. Stiftung, 2012).

A R T I K E L
54 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Keterkaitan itu memberikan legitimasi pada pencarian tipe rezim yang paling tepat
konseptual bagi penyebaran demokrasi seka- untuk mengelola kesejahteraan, tetapi
ligus justifikasi bagi negara-negara di berbagai bagaimana merancang institusi yang dapat
belahan dunia untuk mengubah tata kelola mengelola kesejahteraan secara efektif.4
pemerintahan menjadi lebih demokratis. Na- Proses penciptaan kesejahteraan bukan
mun demikian, penjelasan tersebut tidak me- semata sebuah upaya ekonomi, tetapi juga di-
ngungkap secara mendalam bagaimana se- tentukan oleh konteks politik. Karena itu, perlu
sungguhnya demokrasi bekerja untuk me- ada perspektif lain dalam memahami keter-
wujudkan kesejahteraan. Karena itu, penjelasan kaitan antara demokrasi dan kesejahteraan.
kausal tersebut tidak cukup memberikan ana- Tulisan ini menggunakan konsepsi kekuasaan
lisis yang kritis terhadap fakta adanya negara untuk mengungkapkan bagaimana demokrasi
dengan tingkat pertumbuhan ekonomi relatif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
tinggi, tetapi tidak demokratis. Sebaliknya, Demokrasi dalam tulisan ini dimaknai sebagai
praktik demokrasi elektoral juga pada kenya- kontrol publik dalam pengelolaan kepentingan
5
taannya tidak serta-merta melahirkan peme- publik. Kepentingan publik paling utama adalah
rintahan yang dapat mewujudkan kesejahteraan kesejahteraan, sehingga demokratisasi senan-
lebih baik bagi warganya. Walaupun demikian, tiasa berlangsung di atas kontestasi kesejah-
6
mempertimbangkan sistem otoritarian sebagai teraan. Mengacu pada konsepsi itu, demokrasi
pilihan dalam pengelolaan sumber daya juga merupakan pola relasi kekuasaan yang tercer-
memiliki banyak kelemahan, terutama me- min dalam politik kesejahteraan, yakni penga-
nyangkut kapasitasnya dalam menyelengga- turan yang dipakai untuk mengelola berbagai
rakan tata pemerintahan secara akuntabel. sumber daya yang diperlukan untuk mencapai
Seiring dengan menurunnya kapasitas negara, taraf hidup yang lebih baik. Pengaturan demi-
sentralisasi tampaknya tidak lagi menjadi pilihan kian berfokus pada bagaimana sumber-sumber
tepat untuk mengelola kompleksitas urusan daya diatur kepemilikannya dan ditentukan pola
publik. Di masa sekarang, politik kesejahteraan distribusinya kepada siapa, oleh siapa, dan
lebih diarahkan pada pengentasan kemiskinan dengan cara apa.
dalam arti luas, mencakup perluasan akses dan Sebagai suatu bentuk pengaturan, politik
peluang individu dalam meningkatkan taraf kesejahteraan tidak terbatas pada kebijakan
hidup serta pengaturan institusional yang dapat pembangunan semata atau hanya mencakup
menjamin redistribusi penciptaan kesejah- isu-isu kesejahteraan dari sisi sosial dan eko-
3
teraan. Dalam konteks itu, pilihan rezim yang nomi. Politik kesejahteraan pada praktiknya
bercorak otoritarian menjadi tidak kompatibel memiliki cakupan lebih luas yang di dalamnya
dengan misi perluasan akses, kapabilitas, dan
redistribusi sumber daya. Persoalannya bukan
4
Gordon White, “Building a Democratic Deve-
lopmental State: Social Democracy in the Deve-
loping World”, dalam Democratization, Vol. 5,
3
Adrian Leftwich, “Developmental States, Effect- No. 3, 1998, hal. 1-32.
ive States, and Poverty Reduction: The Primacy 5
Lihat, David Beetham, Democracy and Human
of Politics”, Policy Paper bagi United Nations Rights (Oxford: Polity Press, 1999).
Research Institute for Social Development 6
Purwo Santoso, “Demokrasi sebagai Perebutan
(UNRISD) Project on Poverty Reduction and Kontrol atas Kesejahteraan”, dalam Caroline
Policy Regimes”, dalam http://www.unrisd.org/ Paskarina, Mariatul Asiah, dan Otto Gusti
unrisd/website/projects.nsf/89d2a44e5722c4f4 Madung (eds.), Berebut Kontrol atas Kesejahte-
80256b560052d8ad/68c40b61b9f737f6c1257439 raan: Kasus-kasus Politisasi Demokrasi di Tingkat
00508c69/$FILE/Leftwichweb.pdf (diakses 23 Lokal (Yogyakarta: Penerbit PolGov bekerja
April 2010). sama dengan PCD Press, 2015), hal. xvi-xx.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 55

juga berlangsung relasi kekuasaan, aktor, serta aktivitas politik tidak hanya dilakukan oleh
mekanisme untuk mengelola sumber daya. negara atau pemerintah tetapi juga oleh aktor-
Proses penciptaan kesejahteraan tersebut ber- aktor non-negara, seperti pasar dan masyarakat.
kaitan dengan mekanisme yang digunakan da- Aktivitas politik tersebut dapat berlangsung
lam mengelola sumber daya agar dapat meng- dalam berbagai arena, termasuk di tingkat lokal.
hasilkan manfaat sebesar mungkin bagi ma- Secara umum, “lokal” merujuk pada the
syarakat. Untuk mengungkap politik kese- “grounding” of human activities in specific
8
jahteraan di tingkat lokal, terlebih dahulu perlu places. Namun, dalam konteks politik, definisi
diuraikan bagaimana rezim kesejahteraan be- “lokal” tidak terbatas pada tempat atau lokasi.
kerja. Dalam konteks politik lokal, bekerjanya Harris dan kawan-kawan menguraikan bahwa
rezim kesejahteraan tidak terlepas dari relasi “lokal” juga mengandung makna ruang (sphere)
9
kekuasaan antar-aktor politik, sehingga penting yang bukan sekadar arena (space). Sebagai
untuk mengidentifikasi siapa aktor dominan dan ruang, “lokal” mencakup berbagai institusi,
alternatif serta strategi yang digunakan para forum, dan praktik yang bersifat publik dan
aktor dalam mengelola sumber daya. terbuka, tempat setiap orang dapat hadir untuk
berdeliberasi dan bernegosiasi tentang berbagai
Politik Kesejahteraan dan Lokal urusan publik. Sementara itu, “lokal” sebagai
sebagai Arena Kekuasaan arena merujuk pada bagian-bagian yang lebih
terstruktur dan formal dari suatu wilayah serta
Pada awalnya, studi tentang mekanisme sering kali dikaitkan dengan tempat berlang-
pengelolaan sumber daya berkembang dalam sungnya sebuah permainan, seperti halnya
kajian-kajian ekonomi karena berhubungan erat dalam politik. Konsepsi tersebut menunjukkan
dengan upaya penciptaan kemakmuran dalam bahwa “lokal” mengandung makna yang luas,
arti material. Akan tetapi, pilihan terhadap baik sebagai ruang dan arena bagi berlang-
mekanisme yang digunakan sangat ditentukan sungnya praktik pengelolaan urusan publik
oleh struktur kekuasaan yang berlaku, khu- maupun sebagai tingkatan pemerintahan. De-
susnya menyangkut sistem pengambilan ke- ngan menempatkan “lokal” sebagai ruang, po-
putusan. Struktur kekuasaan itulah yang me- litik kesejahteraan di tingkat lokal tidak semata
nentukan bagaimana pengambilan keputusan berbicara tentang praktik pengelolaan sumber
dalam hal produksi, alokasi, dan distribusi daya dalam suatu wilayah (provinsi, kabupaten
sumber daya, siapa yang paling menentukan atau kota, kecamatan atau desa), tetapi juga
pengambilan keputusan, serta siapa yang paling sebagai arena atau ruang tempat isu-isu publik
diuntungkan dari keputusan tersebut. Karena
itu, studi tentang pengelolaan sumber daya juga States, Effective States, and Poverty Reduction:
mulai dikembangkan dari perspektif politik The Primacy of Politics”, Makalah kebijakan bagi
yang mengkaji tentang konteks kekuasaan di United Nations Research Institute for Social De-
balik mekanisme tersebut, seperti konfigurasi velopment (UNRISD) Project on Poverty Reduct-
ion and Policy Regimes, dalam http://www.
kekuasaan yang menentukan produksi, pengor- unrisd.org/unrisd/website/projects.nsf/89d2a
ganisasian, distribusi, dan redistribusi sumber 44e5722c4f480256b560052d8ad/68c40b61b9f
daya, norma yang digunakan, serta konsekuen- 737f6c125743900508c69/$FILE/Leftwichweb.pdf
7
si dari aktivitas tersebut. Dalam pengertian itu, (diakses 23 April 2010).
8
Lihat, John Harriss, Kristian Stokke, dan Olle
Tornquist, Politicising Democracy: The New Local
7
Adrian Leftwich, “Governance, Democracy, and Politics of Democratisation (New York: Palgrave
Development in the Third World”, dalam Third Macmillan, 2005).
World Quarterly, Vol. 14, No. 3, 1993, hal. 605- 9
Lihat, Harriss, Stokke, dan Tornquist,
624; juga Adrian Leftwich, “Developmental Politicising Democracy….

A R T I K E L
56 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dibicarakan sebagai bentuk demokratisasi, pertukaran, dan solidaritas. Pada mekanisme


misalnya, dalam berbagai komunitas di masya- hierarki, negara bekerja mewujudkan kese-
rakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), jahteraan melalui institusi-institusi yang ada di
partai politik, lembaga-lembaga perwakilan dalam negara dan sistem birokrasi yang be-
masyarakat, media massa, dan sebagainya. kerja atas dasar rantai komando dan struktur
Politik kesejahteraan adalah instrumen hierarki. Dalam mekanisme itu, pembangunan
kekuasaan yang menentukan mekanisme pe- dilaksanakan melalui skema state-directed
ngelolaan sumber daya. Karena itu, untuk me- development atau state-led development atau
mahami politik kesejahteraan harus diawali state-centred development (etatisme). Peran
dengan pemahaman akan mekanisme penge- negara yang dominan dalam pengelolaan sum-
lolaan sumber daya yang berperan membingkai ber daya publik dijustifikasi dengan gagasan
pilihan-pilihan dalam berdemokrasi. Secara pemerataan, yang terutama berorientasi pada
umum, pengelolaan sumber daya terbagi dalam penciptaan kesejahteraan secara merata bagi
10
tiga mekanisme , yakni mekanisme hierarki, semua anggota masyarakat. Menurut paham
itu, pemerataan kesejahteraan hanya bisa ter-
wujud bila negara menjadi penentu dalam pro-
10
Karl Polanyi membagi mekanisme pengelolaan
sumber daya menjadi: (a) redistribusi, tempat ses alokasi dan distribusi sumber daya.
sumber-sumber daya dikumpulkan dan didis- Mekanisme pengelolaan sumber daya se-
tribusikan melalui pengambilan keputusan seca- cara hierarkis mendominasi praktik pemba-
ra terpusat dan dikontrol oleh birokrasi; (b) per- ngunan berbagai negara di dunia, terutama
tukaran pasar, tempat aktivitas produksi, distri-
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Keru-
busi, dan pertukaran sumber daya dilakukan
oleh perorangan atau perusahaan. Transaksi sakan akibat perang menyebabkan mekanisme
pada aras makro dilakukan berdasarkan sistem pasar tidak dapat bekerja dengan baik, sehing-
keuangan, pilihan rasional, kompetisi bebas, se- ga negara harus melakukan intervensi untuk
dangkan pada aras mikro dilakukan atas dasar mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi
relasi kontraktual; (c) resiprositas, tempat alokasi dalam industri dan infrastruktur yang menyerap
sumber daya didasarkan atas resiprositas ber-
banyak tenaga kerja dibiayai dari anggaran
basis altruisme. Mekanisme yang disebut, me-
minjam istilah Kornai, ethical coordination itu publik dalam rangka mewujudkan kondisi full
menekankan pada kebiasaan atau tradisi seba- employment, meningkatkan pendapatan per
gai norma yang melandasi perilaku partisipan. kapita, menumbuhkan daya beli, tabungan,
Sekalipun terjadi pertukaran sumber daya, na- investasi, dan akhirnya menimbulkan efek
mun dasarnya bukan nilai uang tapi nilai-nilai
domino berupa peningkatan kesejahteraan.
tradisi, kekerabatan, atau relasi-relasi informal.
Kategorisasi mekanisme hampir serupa juga
dikemukakan Guy Peters dan Jon Pierre serta Villages (Hong Kong: The Chinese University
Roderick Arthur William Rhodes yang mengait- Press, 2007); Janoz Kornai dalam Xiyi Huang,
kan mekanisme pengelolaan sumber daya Power, Entitlement, and Social Practice: Resource
dengan konteks governance dan memasukkan Distribution in North China Villages (Hong Kong:
mekanisme jaringan (network) sebagai salah sa- The Chinese University Press, 2007); Guy Peters
tu mekanisme dalam produksi, alokasi, dan dan Jon Pierre, “Governance Without Govern-
distribusi sumber daya. Mekanisme jaringan be- ment? Rethinking Public Administration”, dalam
kerja atas dasar prinsip resiprositas dan keper- Journal of Public Administration Research and
cayaan (trust), sehingga esensinya tidak jauh Theory, Vol. 8, No. 2, 1998; Roderick Arthur
berbeda dengan model yang ditawarkan Polanyi William Rhodes, Understanding Governance
dan Kornai; lihat, Karl Polanyi, The Great Trans- (Buckingham: Open University Press, 1997)
formation: The Political and Economic Origins of dalam Pratikno, “Manajemen Jaringan dalam
Our Time (Beacon Hill: Beacon Press, 1944) Perspektif Strukturasi”, dalam Jurnal Adminis-
dalam Xiyi Huang, Power, Entitlement, and Social trasi Kebijakan Publik, Vol. 12, No. 1, Mei 2008,
Practice: Resource Distribution in North China hal. 1-19.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 57

Negara dan birokrasi sebagai penyelenggara kungan politik dengan cara memanipulasi pa-
12
urusan pemerintahan sehari-hari berperan sar. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan protek-
dominan dalam menentukan arah pemba- sionis yang diterapkan negara sering kali tidak
ngunan yang termuat dalam visi, misi, dan diimbangi dengan peningkatan kuantitas dan
program pembangunan yang berlaku sama ba- kualitas produksi dalam negeri, sehingga me-
13
gi semua wilayah negara bersangkutan. Sistem ngarah pada kelangkaan sumber daya.
itu memungkinkan penciptaan kesejahteraan Kegagalan negara dalam mengelola sumber
menjadi lebih efektif dan efisien, karena me- daya disebabkan oleh kelemahan dalam ka-
kanisme pembangunan serba terkontrol dan pasitas institusional. Kelemahan itu umumnya
negara dapat bertindak cepat tatkala ada pe- “diderita” oleh negara-negara yang menerapkan
nyimpangan dalam pelaksanaan visi, misi, dan strategi industrialisasi berporos negara. Mere-
program pembangunan. ka mengalami kesulitan fiskal dalam membiayai
Namun demikian, dalam konteks demo- pembangunan, keterbatasan kapasitas untuk
kratisasi dan desentralisasi, tempat terjadinya mengelola investasi yang masuk, mengawasi
perubahan konstelasi kekuasaan yang kian kinerja dan kepatuhan pengelola perusahaan,
tersebar, kapasitas negara mengalami penu- serta keterbatasan untuk memperoleh, me-
runan sehingga tidak dapat lagi mengelola ngolah, dan menggunakan informasi yang
sistem pembangunan yang sentralistis. Sistem diperlukan guna meningkatkan kapasitas fiskal
hierarki dan rantai komando pada organisasi tersebut. Untuk meminimalisasi kegagalan
birokrasi pemerintah menyebabkan negara tersebut, diperlukan institusi birokrasi profe-
lamban bergerak dalam mengantisipasi berba- sional sebagai institusi yang memiliki kewe-
gai perubahan yang berlangsung dinamis, nangan koordinasi terpusat di bidang ekonomi
sehingga negara sering kali gagal menyediakan dan industri.
pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan Ketika kapasitas negara melemah, muncul
standar kualitas yang layak. kekuatan alternatif: pasar yang bekerja melalui
Model pembangunan berbasis pada negara mekanisme exchange atau pertukaran. Interaksi
mengalami kegagalan di berbagai negara di di antara para aktor berlangsung atas dasar
Afrika, Eropa Timur, dan Amerika Latin pada kesepakatan terhadap harga sebagai nilai yang
akhir tahun 1970-an. Intervensi negara dalam digunakan untuk mempertukarkan barang dan
perekonomian melalui berbagai perusahaan jasa. Berdasarkan asumsi laissez faire, laissez
negara berdampak pada inefisiensi anggaran passer yang diungkapkan Adam Smith, ketika
publik dan kegagalan untuk mencapai hasil setiap individu mengejar keuntungan pribadi,
pembangunan secara berkelanjutan. Kegagalan maka akan berakibat pada masyarakat yang
itu disebabkan oleh penyimpangan dalam pe- juga mendapatkan keuntungan.14 Intervensi
ngelolaan sumber daya. Berbagai kelompok negara diminimalisasi karena justru otoritas
kepentingan menggunakan institusi negara pemerintahlah yang membebani diri sendiri
untuk memelihara kepentingannya sendiri me-
lalui mekanisme rent seeking, sehingga terbina 12
Lihat, Robert H Bates, “The Role of the State in
hubungan patron-klien di balik kebijakan-ke- Development”, dalam Barry R Weingast dan
bijakan populis.11 Intervensi negara dalam eko- Donald A Wittman, The Oxford Handbook of
nomi juga kerap dimanfaatkan oleh politikus Political Economy (New York: Oxford University
dan birokrasi untuk membangun basis du- Press Inc, 2006).
13
Lihat, Matthew Lockwood, The State They’re In:
an Agenda for International Action on Poverty in
11
Lihat, John Malloy (ed.), Authoritarianism and Africa (Warwickshire: ITDG Publishing, 2005).
Corporatism in Latin America (Pittsburgh: 14
Lihat, Mohtar Mas’oed, Negara, Kapital, dan
University of Pittsburgh Press, 1977). Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

A R T I K E L
58 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dengan perhatian yang tidak perlu, bahkan sama besar, bahkan lebih besar dibanding
pemerintah juga mengambil alih wewenang negara, terhadap pengelolaan sumber daya.
15
yang bukan miliknya. Interaksi antar-aktor itulah yang mengatur
Mekanisme pertukaran dijustifikasi oleh bekerjanya mekanisme penciptaan kesejah-
ideologi liberalisme dan kapitalisme, terutama teraan. Relasi kekuasaan dalam mekanisme
yang berorientasi pada penciptaan kesejahte- pasar bersifat transaksional, bukan hierarkis,
raan melalui akumulasi kapital secara masif karena diasumsikan setiap aktor memiliki posi-
melalui industrialisasi berbasis pasar. Menurut si yang setara dalam hubungan tersebut. Ma-
paham itu, pemerataan kesejahteraan akan sing-masing pihak memiliki rasionalitas dan
terwujud secara alamiah lewat trickle-down kebebasan dalam berpikir dan bertindak, se-
effect. Investasi yang ditanamkan dalam sektor hingga intervensi negara tidak terlampau di-
industri akan meningkatkan produktivitas, perlukan dalam menjamin bekerjanya relasi
sehingga diharapkan mampu menyerap lebih transaksional tersebut.
banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja Relasi transaksional dalam mekanisme
tersebut akan berdampak pada peningkatan pasar, selain dilandasi rasionalitas, akan meng-
penghasilan per kapita dan peningkatan daya hasilkan akumulasi kapital secara optimal bila
beli masyarakat, sehingga terjadi peningkatan diimbangi dengan “keunggulan komparatif.” Hal
taraf hidup masyarakat karena mampu me- itu bisa dibentuk melalui spesialisasi dalam
menuhi semua kebutuhan hidup. Gagasan pembagian kerja16 atau melalui keunggulan
untuk meminimalisasi peran negara sejalan komparatif berbasis karakteristik geografi suatu
17
dengan keyakinan bahwa pasar dapat berperan negara. Dengan keunggulan komparatif, me-
sebagai mekanisme pengelolaan sumber daya kanisme pertukaran dapat berlangsung lebih
yang lebih efisien. Dalam mekanisme pasar, seimbang karena kedua belah pihak saling
pihak yang memiliki kelebihan dapat menjual, diuntungkan. Karena itu, kebijakan-kebijakan
dan pihak lain yang memerlukan dapat mem- yang membatasi perdagangan bebas, seperti
beli. Dengan demikian, terjadi pertukaran pembatasan tarif atau kuota, akan menimbulkan
(exchange) barang dan jasa publik secara ala- inefisiensi dan penurunan pendapatan.
miah tanpa harus melalui intervensi negara. Hal Meskipun demikian, mekanisme pertu-
itu sesuai dengan asumsi Adam Smith bahwa karan juga memiliki kerentanan tersendiri
keteraturan interaksi dalam mekanisme pasar ketika kondisi yang ada tidak memenuhi syarat
dijamin melalui bekerjanya invisible hand. bagi bekerjanya pertukaran secara adil. Kondisi
Seperti dalam sistem hierarki berbasis oto- yang dimaksud antara lain terjadinya ekster-
ritas negara dan birokrasi, sistem pertukaran nalitas negatif, ketersediaan informasi secara
dalam mekanisme pasar juga memiliki pola asimetris, monopoli dalam penguasaan sumber-
relasi kekuasaan tersendiri. Bila relasi ke- sumber daya, dan berbagai pembatasan yang
kuasaan dalam sistem hierarki didominasi oleh menyebabkan inefisiensi. Untuk mengatasi
negara dan birokrasi sebagai institusi andalan kegagalan pasar digunakan strategi marketisasi,
menjaga keteraturan dalam penciptaan kese- yakni penciptaan kondisi bagi berlangsungnya
jahteraan, maka relasi kekuasaan dalam meka- pertukaran atas dasar sistem harga. Caranya
nisme pasar ditentukan oleh hukum permin-
taan dan penawaran. Negara hanya menjadi
salah satu aktor dalam mekanisme pasar, ka-
16
Adam Smith dalam Richard Peet dan Elaine
Hartwick, Theories of Development: Contentions,
rena banyak aktor lain yang memiliki akses
Arguments, Alternatives (USA: Guilford Publicat-
ions, Inc., 2009).
17
David Ricardo dalam Peet dan Hartwick,
15
Lihat, Mas’oed, Negara, Kapital, dan …. Theories of Development….

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 59

Tabel 1 Mekanisme Pengelolaan Sumber Daya

Mekanisme Hierarki/ Mekanisme Pertukaran/ Mekanisme Solidaritas/


Pembanding
Etatisme Pasar Resiprositas/Intimitas

Basis Hubungan Struktur hierarki Kontrak Resiprositas/imbal-balik

Arena/Medium Hubungan Otoritas formal Harga Kepercayaan

Prakondisi Bekerjanya Sentralisasi kekuasaan Keterbukaan, informasi Nilai-nilai tradisi/adat/


Mekanisme simetrik, rasionalitas kebiasaan

Karakter Hubungan Subordinatif Kompetitif, transaksional Altruistik, ethical coordination

Tingkat Ketergantungan Tergantung Independen Saling tergantung

Penjaminan Kepatuhan Kontrol birokrasi Konsensus berbasis Kepatuhan pada adat/tradisi,


sistem harga dan kontrak solidaritas sosial

Penyelesaian Konflik Aturan dan perintah Tawar-menawar Diplomasi/negosiasi


(mekanisme pasar) dan
pengadilan

Penciptaan Redistribusi oleh Akumulasi kapital oleh Maksimalisasi kemanfaatan


Kesejahteraan negara individu-individu untuk bersama dicapai melalui
menghasilkan kemak- tindakan kolektif (collective
muran bersama action)

Sumber: diolah dari Karl Polanyi18, Guy Peters dan John Pierre 19, serta Roderick Arthur William Rhodes20

adalah dengan mendorong agar setiap barang melalui mekanisme resiprositas atau kedekatan
dan jasa yang dihasilkan memiliki nilai harga (intimitas), terutama yang berlangsung di ranah
tertentu serta mendorong para pekerja mem- masyarakat. Dalam mekanisme itu, akumulasi,
produksi barang dan jasa untuk memperoleh distribusi, dan redistribusi kesejahteraan di-
keuntungan. Melalui strategi marketisasi, aku- dasarkan pada nilai-nilai solidaritas untuk me-
mulasi kapital dapat berlangsung dengan efektif ngatasi masalah kolektif. Kelompok-kelompok
karena akan terbuka kebebasan lebih luas dalam masyarakat mengelola sumber daya
untuk saling bersaing dalam pembentukan dengan menggunakan kapasitas sendiri, ter-
harga di pasar. utama untuk memenuhi kebutuhan komunitas
Selain mekanisme hierarki dan pertukaran, internal serta komunitas lain di luar kelompok
pengelolaan sumber daya juga dapat dilakukan mereka. Mekanisme solidaritas bekerja bila
negara dan pasar gagal memenuhi kebutuhan
publik. Mekanisme tersebut dapat menjadi
18
Lihat, Polanyi, The Great Transformation…, alternatif ketika negara gagal menyediakan
dalam Xiyi Huang, Power, Entitlement, and Social pelayanan sosial dasar, termasuk dalam mem-
Practice: Resource Distribution in North China bantu meringankan beban anggaran publik
Villages (Hong Kong: The Chinese University untuk menyediakan pelayanan tersebut. Karena
Press, 2007). basisnya adalah kedekatan personal atau inti-
19
Lihat, Peters dan Pierre, “Governance Without
Government?....”.
mitas, maka prinsip kepercayaan (trust), sistem
20
Lihat, Rhodes, Understanding…, dalam Pratikno, kebersamaan (gathering system), jejaring kerja
“Manajemen Jaringan…”. sama (networking), dan modal sosial (social

A R T I K E L
60 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

capital)21 menjadi penting untuk menjaga kese- sumber daya, pada masa sekarang, tidak ada
imbangan dan ketertiban dalam pengelolaan satu pun mekanisme yang benar-benar dominan.
sumber daya oleh masyarakat. Prinsip-prinsip Ketiganya dipandang sebagai mekanisme yang
itu diharapkan dapat memulihkan solidaritas saling melengkapi; negara tetap berperan pen-
sosial yang menipis akibat dari persaingan ting meregulasi dasar-dasar institusional yang
bebas dalam mekanisme pasar. Secara ringkas, menjamin bekerjanya mekanisme pertukaran
prinsip ketiga mekanisme tersebut dapat dilihat dan solidaritas. Sekalipun pemikiran mainstream
pada Tabel 1. Mekanisme Pengelolaan Sumber dewasa ini lebih mengarah pada gagasan pro-
Daya. pasar, tetapi pada kenyataannya peran negara
Ketiga mekanisme pengelolaan sumber masih diperlukan. Dalam konteks transisi
daya tersebut memiliki keunggulan dan kele- demokrasi, tempat nilai-nilai baru belum benar-
mahan masing-masing, karena itu tidak ada satu benar terlembagakan, bekerjanya otoritas
mekanisme yang dapat diterapkan dalam suatu negara dan pasar tersebut sering kali harus
periode waktu atau pada wilayah tertentu. Ber- difasilitasi oleh mekanisme budaya lokal. Ka-
beda dengan praktik pembangunan periode rena itu, yang diperlukan adalah upaya menge-
tahun 1950-an dan 1980-an, dengan salah satu lola ketiga mekanisme tersebut sehingga meng-
mekanisme mendominasi praktik pengelolaan hasilkan kebijakan pembangunan yang dapat
mengalokasi dan mendistribusikan sumber
daya dalam rangka penciptaan kesejahteraan
21
Modal sosial terutama berkaitan dengan nilai- bagi publik.
nilai suatu jaringan kerja (network) yang
mengikat orang-orang tertentu (yang biasanya
memiliki kesamaan tertentu, seperti kesamaan Relasi Kekuasaan dalam
pekerjaan, kesamaan tempat tinggal, kesamaan Pengelolaan Sumber Daya
suku, agama, dan sebagainya), serta bersifat
menjembatani (bridging) antar-orang yang Analisis tentang mekanisme pengelolaan
berbeda dengan suatu norma pertukaran imbal- sumber daya perlu diletakkan dalam konteks
balik (reciprocity). Modal sosial lebih menekan-
kekuasaan dengan mengidentifikasi model
kan potensi kelompok dan pola hubungan antar-
individu dalam suatu kelompok dan antar- pengelolaan kekuasaan atau otoritas yang
kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan umum berlangsung di antara aktor yang ter-
sosial, norma, nilai, dan kepercayaan kepada libat, baik aktor dominan maupun aktor alter-
sesama yang lahir dari anggota kelompok dan natif. Karakter politik kesejahteraan sangat
menjadi norma kelompok. Inti dari modal sosial
ditentukan oleh besarnya peran para aktor,
adalah bagaimana kemampuan masyarakat
dalam suatu entitas atau kelompok bekerja sama status, masyarakat, dan modal, dalam meme-
membangun suatu jaringan untuk mencapai tu- nuhi nilai-nilai kesejahteraan tersebut. Karena
juan bersama. Modal sosial menunjuk pada nilai- karakter dari sebuah politik kesejahteraan tidak
nilai dan norma yang dipercaya dan dijalankan dapat diidentifikasi hanya dengan mempertim-
oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam bangkan kesejahteraan yang dihasilkan, maka
kehidupan sehari-hari yang langsung maupun
tidak langsung memengaruhi kualitas hidup
penting untuk mengungkap relasi kuasa yang
22
individu dan keberlangsungan komunitas; lihat, terbangun di antara para aktor yang terlibat.
Robert Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Dalam kaitan dengan demokrasi, pengung-
Revival of American Community (New York, kapan tersebut mengarah pada evaluasi bagai-
USA: Simon & Schuster, 2000); Francis Fukuyama, mana institusi mengelola sumber daya publik
Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemak-
muran (Yogyakarta: Qalam, 2002); juga Stephen
Aldridge dan David Halpern, “Social Capital: A
Discussion Paper”, dalam http://www.bepress. 22
Lihat, Santoso, “Demokrasi sebagai Perebutan
com/cgi?article (diakses 6 April 2011). Kontrol…”, hal. xvi-xx.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 61

dan keberlangsungan kerja demokrasi dalam Bekerjanya mekanisme patronase menim-


23
membangun sistem kesejahteraan. bulkan fenomena hybrid, tempat kekuasaan
Bila demokrasi dijabarkan sebagai penggu- sebenarnya dalam pengambilan keputusan
naan peluang untuk menentukan pemimpin publik tentang distribusi sumber daya berada di
atau wakil rakyat semata, maka demokrasi luar institusi-institusi formal kenegaraan. Proses
terjebak dalam relasi kuasa atas nama penye- pengambilan keputusan tersebut berada di
jahteraan yang pada tataran praktik termanifes- tangan politikus bersama para kroninya yang
tasi dalam berbagai corak, termasuk di antara- terhubung melalui jejaring relasi informal dan
nya patronase berkedok populisme, ikatan etnis personal. Implikasi dari corak relasi kekuasaan
(etnisitas), diskriminasi, aristokrasi, dan seba- patronase terhadap pengelolaan sumber daya
gainya. Karena itu, praktik kekuasaan dalam adalah penyimpangan peran pemerintah yang
pengelolaan kesejahteraan perlu dipahami hanya mengumpulkan dan mendistribusikan
lebih dari sekadar penentuan pemimpin politik, sumber-sumber daya pada para pendukung
melainkan juga konteks kekuasaan yang mela- atau kliennya, sehingga ada sekelompok kecil
tarbelakangi dan mengarakterisasi interaksi orang yang memperoleh kesejahteraan lebih
proses kekuasaan. Pemetaan terhadap konteks baik ketimbang sebagian besar anggota ma-
kekuasaan dalam pengelolaan sumber daya syarakat lainnya.
menjadi relevan untuk menganalisis proses Mekanisme patronase bekerja berdasarkan
penciptaan kesejahteraan di negara-negara Asia relasi imbal-balik di antara patron, klien, dan
25
dan Afrika yang memiliki pengalaman sejarah, publik di luar patron-klien. Patron memelihara
institusi, dan budaya berbeda dengan negara- dukungan klien-nya dengan memberikan in-
negara Eropa atau Amerika. Proses industriali- sentif berupa sejumlah kemudahan maupun
sasi yang berlangsung di Eropa dan Amerika keluasan akses dalam pengelolaan sumber
melahirkan mekanisme pengelolaan sumber daya, termasuk dengan mendudukkan klien
daya berbasis hierarki, pertukaran, dan solida- pada jabatan-jabatan penting dalam struktur
ritas sosial. Namun, di negara-negara Asia dan formal kenegaraan. Patron membebankan
Afrika, ada mekanisme lain yang justru mendo- seluruh pembiayaan atas pemberian insentif itu
minasi praktik pengelolaan sumber daya, yakni kepada publik, misalnya, melalui mekanisme
24
mekanisme patronase dan populisme. pajak. Pajak tidak sepenuhnya berfungsi sebagai
instrumen redistribusi pendapatan karena digu-
nakan sebagai sumber pembiayaan untuk me-
23
Lihat, Robert Goodman, Gordon White, dan
melihara loyalitas klien. Kalaupun ada program-
Huck-ju Kwon (eds.), The East Asian Welfare
Model: Welfare Orientalism and the State (New program pelayanan publik yang diselengga-
York: Routledge, 1998). rakan dengan menggunakan dana pajak,
24
Patronase yang lazim disebut patrimonial atau umumnya tidak disertai dengan kualitas dan
neopatrimonial mengacu pada sistem governance aksesibilitas merata. Mekanisme patronase
atau pengelolaan urusan publik, tempat aparat akan bertahan selama patron mampu
formal-legal negara/pemerintah berada berdam-
pingan dengan dan ditopang oleh sistem govern-
memberikan insentif yang diperlukan untuk
ance bersifat informal. Patronase didefinisikan memelihara loyalitas klien. Bahkan, dalam
sebagai pengaturan sosial dan politik, tempat
patron memelihara kesetiaan dan dukungan klien
dengan memberikan manfaat yang berasal dari Working Papers, 2006) dalam Farzana Nawaz,
sumber-sumber daya yang dimilikinya atau “Corruption and Resource Distribution in Neo-
dimiliki negara; lihat, Christian von Soest, “How patrimonial Systems”, dalam www.U4.no (diakses
Does Neopatrimonialism Affect the African State? 31 Mei 2010).
The Case of Tax Collection in Zambia” (German 25
Lihat, Nawaz, “Corruption and Resource
Institute of Global and Area Studies (GIGA) Distribution…”.

A R T I K E L
62 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

beberapa kasus, loyalitas klien dipelihara de- tuennya melalui program-program yang ber-
26
ngan menggunakan instrumen etnis/tribalisme pihak pada aspirasi publik. Mengutip pendapat
27
atau identitas sosial-budaya lainnya sehingga Laclau , populisme pada dasarnya harus di-
daya ikatnya lebih erat. pahami dalam dua konteks, yaitu secara struk-
Mekanisme patronase memiliki kemiripan tural terkait dengan kondisi momen-momen
dengan mekanisme solidaritas karena basis krisis struktural ekonomi dan krisis institusi
nilai-nilai sosial dan kedekatan personal yang politik yang mendorong tampilnya politik po-
mendasari relasi sosialnya, tetapi kedua me- pulisme serta populisme sebagai sebuah wa-
kanisme ini juga berbeda dalam hal hubungan cana yang menghubungkan setiap elemen dari
orientasinya. Mekanisme solidaritas/intimitas gerakan sosial dan politik yang terlibat di
berorientasi pada motif-motif altruistik dan etis, dalamnya. Sebagai sebuah wacana terbuka,
sedangkan mekanisme patronase berorientasi populisme bisa terartikulasi dalam beragam
pada pemeliharaan kelanggengan kekuasaan ekspresi, tergantung pada perimbangan formasi
patron (incumbency). Meskipun patron menun- kekuatan sosial dalam arena politik di suatu
jukkan kepedulian terhadap pemenuhan kebu- tempat, serta dalam kondisi spesifik yang
tuhan klien, tetapi sebatas untuk memelihara memunculkannya. Dengan demikian, populis-
ketergantungan klien, tidak untuk member- me menjadi wacana alternatif untuk membe-
dayakan klien sehingga posisi sosialnya naik. Itu baskan praktik demokrasi dari kooptasi pa-
berbeda dengan mekanisme solidaritas sosial tronase tersebut.28
yang di dalamnya terkandung motif pember- Kendati secara konseptual berbeda, tetapi
dayaan sosial. patronase maupun populisme menjadi strategi
Mekanisme patronase itu menjadi relevan yang digunakan para aktor politik untuk men-
untuk dikaji dalam konteks politik kesejah- dekatkan hubungan dengan masyarakat, khu-
teraan, karena ada konteks relasi kekuasaan susnya dalam konteks politik tempat sistem
yang menjadi perhatian dalam menjelaskan distribusi kesejahteraan belum berjalan dengan
pengelolaan sumber daya. Dalam mekanisme baik. Berlangsungnya mekanisme patronase
patronase, produksi dan distribusi kekuasaan dan populisme menunjukkan bahwa penge-
ditentukan juga oleh kedekatan personal dan lolaan sumber daya bukan sekadar fenomena
emosional. Legitimasi kekuasaan patron diten- ekonomi, tetapi juga politik. Di situ ada ke-
tukan oleh kemampuannya mengeksplorasi pentingan kekuasaan yang menentukan proses
dan mengeksploitasi sumber daya untuk mem- akumulasi dan distribusi sumber daya. Karena
berikan kesejahteraan kepada klien-nya, se- itu, pemetaan terhadap relasi kekuasaan dalam
hingga dapat memelihara ketergantungan dan arti konteks dan proses interaksi dari berbagai
kepatuhan klien pada patron. Karena itu, akun- struktur kekuasaan menjadi penting untuk
tabilitas patron pun terbatas hanya pada klien, memahami bagaimana sumber daya dikelola
bersifat personal, dan informal, sehingga kon- dalam rangka penciptaan kesejahteraan.
sep akuntabilitas publik seperti dikenal dalam
konsep demokrasi prosedural menjadi tidak 26
Lihat, Kurt Weyland, “Clarifying a Contested
relevan. Patronase menghambat realisasi kon- Concept: Populism in the Study of Latin American
disi ekonomi-politik yang memberikan ruang Politics”, dalam Comparative Politics, Vol. 34, No.
partisipasi politik yang bermakna bagi publik 1, 2001, hal. 1-22, atau http://www.jstor.org/
untuk menentukan tatanan ekonomi-politik stable/422412 (diakses 3 Oktober 2011).
27
Lihat, Ernesto Laclau, On Populist Reason
yang adil dalam ruang politik demokrasi.
(London dan New York: Verso, 2005).
Sementara itu, populisme muncul ketika 28
Margareth Canovan, “Trust the People! Populism
para aktor politik berupaya membangun kede- and the Two Faces of Democracy”, dalam
katan hubungan dengan warga atau konsti- Political Studies, Vol. 47, No. 1, 1999, hal. 2-16.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 63

Strategi Politisasi Kesejahteraan regulasi dan kewenangan formal, tetapi juga


di Tingkat Lokal melalui politik diskursus untuk membentuk
klaim kebenaran tentang bagaimana seha-
Dengan menempatkan demokrasi dalam rusnya kesejahteraan dikelola. Politik wacana
kerangka kontrol popular dan persamaan po- juga menciptakan batasan-batasan tentang kri-
litik, pengelolaan kesejahteraan dipahami se- teria pengelolaan kesejahteraan yang demo-
bagai isu publik yang tunduk pada kedua hal itu. kratis, seperti tergambar dalam konsep good
Artinya, pengelolaan kesejahteraan bukan governance, yang didefinisikan secara instru-
semata persoalan manajerial menyangkut me- mental sebagai terpenuhinya nilai-nilai parti-
tode pengelolaan dan pendistribusian sumber sipasi, akuntabilitas, penegakan hukum, trans-
29
daya, melainkan juga persoalan politik yang paransi, dan sebagainya. Pembatasan itu
memerlukan partisipasi publik secara substantif mengabaikan kemungkinan munculnya praktik-
dalam keseluruhan proses pengambilan ke- praktik tata kelola kesejahteraan yang berbeda
putusan. Demokrasi memberi peluang bagi dan secara riil berlangsung di tingkat lokal.
setiap orang memperoleh akses yang setara Karena itu, untuk keluar dari perangkap mono-
terhadap sumber daya untuk meningkatkan poli pemaknaan, penting untuk menempatkan
taraf hidup. Kendati akses itu kerap harus strategi para aktor di tingkat lokal dalam ke-
diraih melalui kompetisi, tetapi demokrasi rangka politisasi isu kesejahteraan yang ber-
diyakini memberikan jaminan bagi tersedianya sumber dari pemahaman mereka terhadap
aturan main yang fair, sehingga tidak ada orang konstruksi kekuasaan di tingkat lokal. Politisasi
yang kemudian termarginalkan dalam per- yang dimaksud adalah upaya atau tindakan
tarungan tersebut. Kondisi demikian hanya untuk membawa dan menjadikan isu serta
dapat diraih ketika pengelolaan kekuasaan kepentingan warga yang semula terabaikan atau
dilakukan dengan membuka seluas mungkin tereksklusi dari agenda publik bertransformasi
peluang bagi munculnya keberagaman dan menjadi isu-isu dan kepentingan publik, baik
pengambilan keputusan berdasarkan kese- melalui strategi aksi maupun deliberasi. Poli-
pakatan bersama, sebagaimana yang menjadi tisasi adalah lawan dari depolitisasi yang meru-
prinsip demokrasi. Upaya merebut kontrol atas pakan upaya atau tindakan mengeksklusi warga
kesejahteraan mengarah pada perubahan relasi atau sebagian warga dari urusan politik. Strategi-
kekuasaan yang selama ini menentukan pe- strategi politisasi itu membantu kita memahami
ngelolaan sumber daya. Pada praktiknya, pe- cara pandang aktor lokal dalam mengenali
nentuan hal-hal tersebut tidak semata dilakukan masalah-masalah publik di tingkat lokal serta
oleh negara sebagai institusi formal yang ber- pilihan tindakan yang dapat dilakukan untuk
wenang mengelola urusan publik, karena dalam mengatasi masalah tersebut.
arena pengelolaan kesejahteraan itu senantiasa Keterkaitan antara demokrasi, kontrol pu-
berlangsung pertarungan kepentingan. Karena blik, dan kesejahteraan merupakan benang
itu, memahami peta kekuasaan dan aktor politik merah yang merangkum sejumlah kasus poli-
yang ada di balik pertarungan tersebut menjadi tisasi demokrasi di daerah-daerah yang menjadi
langkah awal yang penting dilakukan untuk lokasi survei Power, Welfare and Democracy
merebut kontrol atas kesejahteraan. (PWD) 2013, kerja sama Universitas Gadjah
30
Langkah selanjutnya adalah mengidenti- Mada dan Universitas Oslo, Norwegia. Isu
fikasi strategi aktor-aktor tersebut dalam mem-
perjuangkan kontrol popular atas pengelolaan 29
Lihat, Harriss, Stokke, dan Tornquist, Poli-
kesejahteraan. Monopoli atas kontrol kesejah- ticising Democracy….
teraan tidak hanya dilakukan melalui instrumen 30
Terdapat 30 lokasi penelitian dalam Survei PWD
kekuasaan yang kasat mata dalam bentuk 2013 mencakup 28 kabupaten/kota serta DKI

A R T I K E L
64 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

kesejahteraan yang muncul di seluruh daerah memperoleh akses terhadap sumber daya.
berkaitan dengan soal pemenuhan kebutuhan Menguatnya strategi politik figur juga mengin-
publik yang secara konkret dirasakan melalui dikasikan dominasi elite dalam politik kesejah-
pelayanan publik yang diterima masyarakat, teraan serta menegaskan belum mapannya
sehingga isu pelayanan publik menjadi isu perubahan sistemik yang dihasilkan oleh refor-
strategis. Di sini, demokrasi menjadi ukuran masi politik.
dari ketersediaan akses bagi publik untuk mem- Di sisi lain, politik identitas masih menjadi
peroleh pelayanan semudah mungkin dengan fenomena yang kerap mewarnai praktik relasi
kualitas yang memadai. Dalam kaitannya de- kekuasaan di beberapa daerah. Identitas men-
ngan pemerataan akses publik, mendemokra- jadi bagian dari strategi untuk memperebutkan
tisasikan pelayanan publik merupakan upaya akses atas sumber daya yang, antara lain,
politik untuk mengubah pola relasi kekuasaan digunakan untuk mengeksklusi atau mengin-
antara negara dan rakyat demi mewujudkan klusi aktor-aktor politik yang menjadi pesaing.
kontrol publik terhadap pengelolaan urusan Politisasi identitas sesungguhnya menunjukkan
publik. Temuan Survei PWD 2013 memaparkan bahwa identitas merupakan basis potensial
dinamika relasi kekuasaan antara negara dan untuk memunculkan aktor-aktor alternatif yang
rakyat mulai dari bagaimana ruang kontrol dapat menjadi penyeimbang dalam konstelasi
popular diciptakan dan direalisasikan, strategi kekuasaan. Namun, potensi itu belum diman-
yang dipakai dengan melibatkan atau meming- faatkan dengan baik untuk membentuk demos
girkan pihak tertentu dalam mengontrol kese- bahkan publik. Hal yang sering terjadi justru
jahteraan, hingga okapasitas yang seharusnya ikatan-ikatan primordial dipakai sebagai strategi
diperkuat agar publik dapat mengontrol penge- untuk melakukan eksklusi, sehingga pemilahan
lolaan kesejahteraan tersebut. sosial tetap berlangsung dan menghambat
Strategi yang dipakai para aktor di tingkat terbentuknya identitas baru sebagai publik.
lokal dalam memolitisasi kesejahteraan mewu- Pengelolaan akses kesejahteraan adalah
jud dalam tiga strategi, yakni melalui politik proses politik yang ditentukan oleh konstruksi
31
figur, politik identitas, dan politik wacana. relasi kekuasaan. Karena itu, pengelolaan kese-
Strategi politik figur tampak dari menguatnya jahteraan juga harus dilihat dari perspektif
pola patronase dan populisme yang melandasi publik sebagai pihak yang harus berperan aktif
pengelolaan kesejahteraan. Walaupun negara dalam mengontrol pengelolaan kesejahteraan
tetap hadir sebagai institusi yang memiliki tersebut. Ketika elite menggunakan populisme,
otoritas tertinggi dalam pendistribusian sumber patronase dan primordialisme sebagai strategi
daya, namun para aktor dominan maupun alter- untuk menentukan siapa yang berhak meng-
natif lebih banyak menggunakan relasi patri- akses sumber daya, yang utama dituntut dari
monial serta jejaring informal lainnya untuk publik adalah kapasitas representasi dan kontrol
untuk menyeimbangkan relasi kekuasaan. Na-
mun demikian, kapasitas aktor-aktor alternatif
Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sementara itu, dalam buku antologi kasus-kasus
dalam mengubah wacana itu menjadi agenda
politisasi kesejahteraan, hanya diungkap kasus kebijakan sangat bervariasi dan tergantung
dari 15 daerah (Bandung, Jakarta, Surabaya, pada keluasan jejaring yang mereka miliki. Itu
Poso, Aceh Selatan, Belu, Ternate, Banda Aceh, bukan berarti institusi masyarakat sipil gagal
Bekasi, Sidoarjo, Ambon, Banjarmasin, Kupang, melaksanakan fungsi representasi dan kontrol,
Lampung Selatan, dan Yogyakarta); lihat,
tetapi karena keduanya tidak dilaksanakan
Paskarina, Asiah, dan Madung (eds.), Berebut
Kontrol atas Kesejahteraan…. secara sistemik dan lintas sektoral sehingga
31
Lihat, Paskarina, Asiah, dan Madung (eds.), tidak berdampak signifikan terhadap peru-
Berebut Kontrol atas Kesejahteraan…. bahan kebijakan. Kehadiran aktor-aktor

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Politik Kesejahteraan di Tingkat Lokal 65

alternatif sebagai penyeimbang kekuasaan tidak hubungan balas-budi daripada pertimbangan


serta-merta mengubah relasi kekuasaan bila rasional.
tidak diimbangi dengan kapasitas representasi Representasi politik yang terbentuk melalui
dan kontrol terhadap pengelolaan urusan publik. pemilihan adalah mekanisme utama bagi akun-
Partisipasi yang meluas sebagai sisi positif dari tabilitas formal dalam sistem patronase. Akun-
liberalisasi hanya akan menjadi simbol ketika tabilitas itu terbentuk bukan atas dasar peme-
aktor-aktor alternatif gagal mewacanakan ke- nuhan aspirasi konstituen, tetapi berdasarkan
pentingan publik secara kritis sebagai bahan manfaat (benefit) yang diperoleh langsung
agenda kebijakan. konstituen selama masa kampanye dan setelah
kandidat terpilih. Kompetisi politik dalam relasi
patronase dapat berubah menjadi pertarungan
Memperluas Ruang bagi
kemampuan ekonomi; kekuasaan bisa diraih
Politisasi Kesejahteraan
oleh kandidat yang dapat “membeli” lebih
Penekanan terhadap upaya mencari model banyak suara dibanding kandidat lainnya. Hal
demokrasi yang menyejahterakan tidak dapat tersebut menyebabkan suksesi bahkan rege-
dilepaskan dari kritik terhadap demokrasi nerasi kepemimpinan menjadi terhambat ka-
elektoral yang dilekatkan bersama dengan rena akses untuk menduduki jabatan-jabatan
pendekatan pengelolaan sumber daya yang politik amat sangat ditentukan oleh kemampuan
berporos pasar. Keduanya lahir dan berkem- ekonomi dan keterampilan membina hubungan
bang dalam karakter budaya masyarakat in- personal dengan konstituen.
dustri maju dengan tingkat pendidikan formal Instrumentasi demokrasi diperlukan seba-
cukup tinggi, mampu berpikir rasional, dan gai upaya untuk membangun dan mengem-
bertindak otonom. Karakter sosiologis itu sa- bangkan institusi baru melalui pengelolaan
ngat kompatibel dengan cara kerja demokrasi konteks kekuasaan untuk mengalokasikan
elektoral yang mengutamakan keajekan pro- sumber daya secara lebih merata. Esensi ins-
sedur yang dijalankan oleh institusi politik dan trumentasi demokrasi dalam kaitan dengan
pemerintahan yang memiliki kewenangan ter- penciptaan kesejahteraan adalah menata ulang
pisah, sehingga di antara institusi tersebut institusi dalam pengelolaan sumber-sumber
berlangsung check and balances agar peng- daya sehingga alokasi dan distribusinya dapat
gunaan kekuasaan tidak menyimpang dari mengarah pada pemerataan kesejahteraan.
kepentingan publik. Keajekan prosedur itu akan Untuk itu, karakter dari setiap mekanisme
berlangsung mapan sebagaimana sebuah sis- pengelolaan sumber daya menjadi penting
tem, karena individu-individu yang berada di untuk dipahami. Dalam konteks demokrasi
dalamnya mampu bertindak rasional dan men- yang menyejahterakan, negara dituntut untuk
junjung tinggi perbedaan di antara mereka. dapat mengelola urusan publik dengan meng-
Masalahnya, karakter sosiologis tersebut be- gunakan berbagai mekanisme yang tersedia,
lum sepenuhnya terbentuk dalam masyarakat baik berbasis hierarki, pertukaran, maupun
dari negara-negara yang struktur sosialnya solidaritas sosial secara sinergis. Pengelolaan
dibentuk dan bekerja atas dasar patrimonialis- relasi kekuasaan—konteks dan proses interaksi
me yang menjadi ciri utama masyarakat agraris sumber-sumber kekuasaan—dalam rangka
atau masyarakat transisi pada tahap awal indus- penguatan kapasitas negara itulah yang menjadi
trialisasi. Akibatnya, ketika demokrasi elektoral isu kunci dalam politisasi kesejahteraan.
diterapkan di negara-negara tersebut, keajekan Dalam konteks politik kontemporer, tem-
prosedur itu tidak terwujud karena bekerjanya pat kekuasaan kian tersebar dan berkembang
institusi-institusi politik dan pemerintahan lebih kutub-kutub kekuasaan baru, relasi kekuasaan
ditentukan oleh kedekatan personal dan menjadi semakin fleksibel. Salah satu yang

A R T I K E L
66 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dapat dilakukan dalam pengelolaan relasi ke- pisahkan dengan tegas. Bekerjanya pasar, mi-
kuasaan tersebut adalah menggeser kontrol salnya, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
32
hierarkis menjadi regulasi responsif. Pen- trust yang merupakan nilai yang ada di masya-
dekatan itu berupaya mengelola sumber-sum- rakat. Negara pun dapat mendorong tumbuhnya
ber daya secara proporsional melalui meka- pasar yang efektif melalui regulasi yang men-
nisme delegasi kewenangan kepada pihak lain jamin berlangsungnya pertukaran secara adil
di luar negara. Kepatuhan demikian ditum- dan terbuka. Kewenangan regulasi yang dimiliki
buhkan melalui pendelegasian kewenangan negara akan melemah bila pasar mendorong
dalam mengawasi beragam pihak yang terkena terjadinya deregulasi. Di sisi lain, berbagai
dampak langsung maupun tidak langsung dari asosiasi komunitas juga dapat memaksa negara
regulasi tersebut. mengeluarkan regulasi untuk mengatur pasar
Responsivitas regulasi juga ditentukan oleh demi menjamin ketertiban sosial atau peme-
kesesuaian desain institusi (sistem dan meka- liharaan lingkungan hidup.
nisme) dengan tujuan yang ingin dicapai. Karena Rekonseptualisasi politik kesejahteraan
itu, desain institusi bisa berbeda-beda sesuai dalam kerangka demokrasi yang menyejahte-
dengan tujuannya. Model responsive regulation rakan tidak hanya diarahkan untuk mengha-
pada dasarnya berupaya memadukan meka- silkan negara yang dapat mengelola pasar bagi
nisme hierarki, pertukaran, dan solidaritas kepentingan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga
sosial, dalam pengelolaan sumber daya karena mampu melaksanakan fungsi redistribusi sum-
menyadari bahwa ketiga mekanisme yang ada ber daya melalui kebijakan-kebijakan sosial.
memiliki keterbatasan, terutama dalam konteks Perubahan peran negara dalam kerangka ke-
kutub-kutub kekuasaan yang telah makin ter- bijakan redistributif dilandasi oleh nilai-nilai
sebar, sehingga tidak mungkin dikelola dengan sosial demokrasi, tempat pemerataan hasil
cara klasik. Demikian pula, domain bekerjanya pembangunan secara berkelanjutan dicapai me-
ketiga mekanisme tersebut tidak dapat lagi di- lalui reinterpretasi terhadap pola pengelolaan
sumber daya yang selama ini berlangsung.
32
Lihat, Ian Ayres dan John Braithwaite, Responsive Dengan demikian, penggunaan mekanisme di
Regulation: Transcending the Deregulation Debate luar negara dan pasar menjadi akuntabel dan
(New York: Oxford University Press, 1992). legitimate•

A R T I K E L
Prisma S U R V E I Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 67

Gerakan Pro-Demokrasi
Mengambang Tanpa Strategi yang Berakar

Willy Purna Samadhi dan Wegik Prasetyo

Untuk menelaah berbagai dimensi demokrasi dan dinami-


ka demokratisasi, sangatlah penting melihat bagaimana
strategi para aktivis gerakan sosial memengaruhi proses
demokratisasi. Bahwa para aktor gerakan demokrasi sulit
menggerakkan aksi-aksi kolektif dari bawah, selain karena
adanya berbagai perbedaan dan strategi mengartikulasi-
kan kepentingan, juga terutama karena mereka tidak
cukup memperhatikan capaian (outcome) serta tidak
adanya visi/ideologi dan orientasi terhadap kebijakan.
Pilihan strategi mereka cenderung bersifat instrumental
berdasarkan kebutuhan jangka pendek.

Kata Kunci: aktor demokrasi, demokratisasi, gerakan


sosial, strategi demokrasi

T
1
ulisan ini memaparkan analisis tentang mencapai tujuan-tujuan itu. Tulisan ini menga-
strategi yang dijalankan para aktor da- nalisis bagaimana hubungan antara strategi para
lam memengaruhi proses demokrati- aktivis gerakan demokrasi dengan proses insti-
sasi. Fokus terhadap aspek strategi itu penting tusionalisasi demokrasi serta bagaimana kapa-
untuk mengangkat ke permukaan dimensi sitas politik para aktor dalam menjalankan stra-
dinamis demokrasi dan demokratisasi, bukan tegi yang mereka pilih. Dengan cara seperti itu,
sekadar membandingkan situasi statis demo- tulisan ini akan menarik kesimpulan tentang
krasi dari waktu ke waktu. Melihat dan mem- bagaimana pilihan-pilihan strategi yang telah
bandingkan bagaimana para aktor berinteraksi dijalankan para aktor gerakan demokrasi me-
dengan situasi dan dengan sesama aktor me- mengaruhi jalannya demokratisasi. Beberapa
mungkinkan kita mengangkat dimensi dinamis kajian telah memberikan indikasi tentang per-
tersebut. Tujuan tulisan ini sendiri adalah soalan-persoalan utama yang muncul dalam
memperlihatkan kecenderungan politisasi de- proses demokratisasi dan akan dijadikan bahan
mokrasi yang dilakukan oleh para aktivis ge- untuk mengevaluasi pengaruh implementasi
rakan demokrasi. strategi demokrasi para aktor. Basis data utama
Tulisan ini melengkapi tulisan lain dalam yang digunakan tulisan ini adalah informasi dan
edisi khusus Prisma kali ini, yang mengulas
bagaimana kapasitas politik para aktivis gerakan
demokrasi, apa saja tujuan yang hendak dicapai, 1
Lihat, artikel-artikel Eric Hiariej dan Olle
dan bagaimana strategi yang dijalankan untuk Törnquist dalam edisi ini.

A R T I K E L
68 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

temuan survei Power Welfare Democracy batas geografis dengan pembatasan pada isu-
(PWD), Universitas Gadjah Mada (UGM)- isu atau kepentingan spesifik atau berbasis
Universitas Oslo (UiO) 2013. sektoral, misalnya, pembentukan Partai Perseri-
katan Rakyat (PPR) yang bersifat nasional
2
berbasis organisasi tani. Temuan kedua adalah
Indikasi dari Studi-Studi
identifikasi atas pilihan-pilihan strategi yang
Sebelumnya
digunakan organisasi masyarakat sipil untuk
Instrumen survei PWD UGM-UiO berhasil menerobos masuk ke dalam sistem politik. Ada
menghimpun data yang mencakup informasi lima pilihan strategi go politics yang telah dan
sangat luas tentang kapasitas politik dan pilihan- sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di
pilihan strategi yang dijalankan para aktivis. Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peran sebagai
Setidaknya ada tiga pertanyaan besar yang kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3)
ditanyakan kepada para informan. Pertama, apa memanfaatkan partai politik yang ada, (4) men-
saja strategi yang telah dijalankan oleh para dirikan partai alternatif, dan (5) menerobos
3
aktor selama ini. Kedua, persoalan apa saja yang jaring-jaring kekuasaan pemerintahan.
mendasari para aktor untuk menentukan pilihan Studi lain yang dilakukan Olle Törnquist
strateginya. Ketiga, bagaimana strategi yang juga berhasil mengidentifikasi jalur-jalur politi-
mereka jalankan memengaruhi persoalan-per- sasi yang sudah dan sedang ditempuh berbagai
soalan itu. Data survei tersebut tidak dianalisis gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Jalur-
secara eksklusif. Data tersebut perlu dilihat jalur politisasi itu adalah (1) politik berbasis
keterkaitannya dengan data dan temuan yang kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan
diperoleh dari studi-studi lain yang juga me- (civil society and popular interest politics), (2)
miliki fokus tentang strategi aktor dalam demo- politik komunitas kaum tertindas (dissident
kratisasi. Temuan studi-studi lain itu dibutuhkan community politics), (3) partisipasi politik
untuk menjadi bahan perbandingan dengan langsung, (4) politik wacana publik, dan (5)
temuan PWD UGM-UiO. kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah politi-
Sebuah studi yang dilakukan lembaga De- sasi melalui sistem kepartaian dengan melaku-
mos pada 2009, misalnya, memaparkan data kan, (6) front dari dalam, (7) membangun partai
menarik mengenai terobosan-terobosan aksi serikat buruh, (8) partai multisektoral, (9) partai
politik yang dilakukan berbagai gerakan sosial nasional berbasis ideologi, dan (10) partai politik
di Indonesia. Ada dua temuan penting yang lokal.4
diperoleh studi itu. Temuan pertama mengung- Kedua studi tersebut mengungkapkan bah-
kap pola-pola perluasan gerakan politik yang wa upaya para aktivis untuk go politics telah
dilakukan organisasi masyarakat sipil. Dengan membuka harapan baru bagi perbaikan demo-
menggunakan dimensi isu, dimensi kepen- krasi. Akan tetapi, di sisi lain, kedua studi itu
tingan, dan dimensi geografis sebagai indikator
perluasan gerakan, AE Priyono dan kawan- 2
Lihat, AE Priyono dan Attia Nur, “Rekoneksi
kawan mengidentifikasi tiga pola perluasan Gerakan Sosial dan Masyarakat Sipil Indonesia
gerakan, yaitu (1) rekoneksi intra-lokal, (2) Pasca-Orde Baru”, Monograf laporan riset Demos
rekoneksi lokal-supralokal, dan (3) rekoneksi tentang Link Project, tidak dipublikasikan, 2009.
nasional-lokal. Pola pertama dan kedua bersifat 3
Priyono dan Nur, “Rekoneksi Gerakan Sosial
memperluas gerakan melalui perluasan isu dan dan Masyarakat Sipil…”, hal. 83-95.
4
Lihat, Olle Törnquist, “The Problem is Repre-
kepentingan, misalnya, dengan membangun
sentation! Towards an Analytical Framework”,
koalisi atau aliansi lintas-sektoral, namun ter- dalam Olle Törnquist, Neil Websterm, dan
batas pada lingkup geografis tertentu. Pola Kristian Stokke (eds.), Rethinking Popular Repre-
ketiga, sebaliknya, mencoba meleburkan batas- sentation (New York: Palgrave, 2009).

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 69

memperlihatkan bahwa upaya-upaya untuk go mengombinasikannya dengan ketokohan


politics tampaknya tidak terlalu berhasil men- karismatik tertentu. Kelemahan aktor-aktor
ciptakan situasi representasi yang baik. Bahkan, dengan karakter seperti itu adalah longgarnya
dari beberapa kasus go politics yang dipelajari relasi mereka dengan basis-basis massa
kedua studi tersebut ditemukan sejumlah indi- terorganisasi. Ketiadaan basis ekonomi yang
kasi terjadinya persaingan dan konflik hori- cukup juga membuat mereka rentan terhadap
sontal di antara sesama gerakan sosial. Artinya, keseimbangan relasi-kuasa yang mereka ba-
pilihan strategi para aktor tidak selalu berpe- ngun dengan para tokoh dan partai politik
ngaruh positif terhadap situasi demokrasi, juga tertentu.
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi Klaster kedua juga mencerminkan karakter
para aktor itu sendiri. Selain itu, upaya-upaya populis yang kuat, namun cenderung mem-
yang lebih integratif, seperti membangun par- bangun strategi yang menghubungkan mereka
tai, juga terkendala oleh peraturan yang meng- dengan massa terorganisasi secara langsung,
haruskan partai politik bersifat nasional. Upaya sehingga mereka memiliki kemampuan dalam
tersebut tentu saja membutuhkan dana yang menggerakkan aksi-aksi massa. Basis hubung-
tidak sedikit dan sangat sulit dicukupi oleh an yang mereka bangun adalah menawarkan
gerakan sosial. perlindungan tertentu bagi kelompok-kelompok
Yang terbaru, dengan memanfaatkan data yang bersedia memberikan dukungan. Karena
hasil survei PWD UGM-UiO, Willy Purna itu, aktor-aktor tersebut memiliki kapasitas
Samadhi mengidentifikasi setidaknya terdapat besar dalam menggerakkan demonstrasi dan
tiga klaster kapasitas politik aktor pro-demo- aksi massa. Para pemimpin atau aktor yang
krasi, yang sekaligus menunjukkan kecende- selama ini bekerja bersama gerakan buruh
rungan strategi yang diambil para aktor di setiap adalah salah satu kelompok yang mencermin-
5
klaster. Gugus pertama adalah mereka yang kan karakter seperti itu. Sementarra klaster
memilih bekerja sama dengan partai politik atau ketiga, yang merupakan kelompok terkecil,
setidaknya para politisi partai. Secara kapasitas boleh dikatakan tidak memiliki kecenderungan
politik, kelompok tersebut mencerminkan populis. Strategi gerakan kelompok aktor itu
karakter “populis-karismatik.” Kelompok itu adalah melakukan pengorganisasian kelompok-
merupakan kelompok mayoritas dan karenanya kelompok basis dan membangun jejaring de-
mencerminkan karakter umum aktor gerakan ngan sesama aktor independen. Gugus tersebut
demokrasi saat ini. Mereka cenderung bersikap sedikit-banyak ditandai pula dengan orientasi
sangat inklusif, terbuka pada keterlibatan ber- yang relatif lebih besar pada lembaga-lembaga
bagai pihak, termasuk tokoh-tokoh politik pemerintahan dan birokrasi.
berbasis partai, dan karena itu memiliki basis Jika dibandingkan dengan hasil studi sebe-
sosial atau koneksi yang kuat. Kekuatan mereka lumnya yang dilakukan Demos-UiO, temuan
terutama terletak pada kemampuan memenga- tentang karakter kapasitas politik aktor gerakan
ruhi wacana publik melalui atau ke dalam demokrasi memperlihatkan pergeseran yang
kelompok-kelompok kepentingan dan partai cukup signifikan. Pada periode sebelumnya,
politik dengan menggunakan isu-isu populis dan karakter kapasitas paling menonjol mirip de-
ngan klaster ketiga yang ada saat ini. Kecende-
rungan ke arah populis-karismatik saat itu bu-
5
Lihat, Willy Purna Samadhi, “Optimalisasi kannya tidak ada, namun lebih mengemuka
Kapasitas Politik Aktor Demokrasi Melalui
sebagai pilihan aksi daripada kapasitas. Banyak
Pengembangan Blok Politik Kesejahteraan”,
Tesis MA Ilmu Politik, Jurusan Politik dan aktor yang ketika itu memilih menempuh jalan-
Pemerintahan, Fisipol, Universitas Gadjah Mada, pintas populis sebagai cara utama yang diang-
Yogyakarta, 2015. gap paling strategis untuk mendobrak kebun-

A R T I K E L
70 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

tuan upaya-upaya membangun demokrasi po- tingan dan isu berbeda yang dibawa oleh setiap
6
puler. Barangkali itulah yang menumbuhkan elemen BPD; (2) kegagalan membangun struk-
karakter populis-karismatik akhir-akhir ini, tur organisasi BPD yang berjenjang; (3) terlalu
sehingga menjadi kecenderungan kapasitas berorientasi pada politik pemenangan pilkada;
politik yang paling umum. dan (4) kesulitan menghimpun dana dan sum-
Sebaliknya, karakter sebagaimana klaster ber daya ekonomi lainnya. Akibatnya, awal-mula
ketiga yang semula menjadi karakter kapasitas pembentukan BPD berlangsung secara spo-
politik paling menonjol, saat ini menjadi ciri radis, jauh dari sifat integratif sebagaimana
sekelompok terkecil aktor gerakan demokrasi. direncanakan. BPD dibentuk secara temporer
Yang paling khas dari pemilik karakter itu sebagai siasat taktis memengaruhi proses
adalah aktor gerakan demokrasi “kelas mene- pemilu, khususnya pemilihan kepala daerah,
ngah”, yakni mereka yang aktif membangun dengan target sangat sederhana, yakni men-
berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) desakkan kontrak politik. Alih-alih menjadi
atau organisasi non-pemerintah (ornop) di kota- sebuah institusi alternatif bagi penguatan repre-
kota besar untuk menggarap sektor-sektor hak sentasi, BPD tereduksi menjadi aliansi yang
asasi manusia (HAM), pemberantasan korupsi, cair dan tak memiliki kekuatan apa pun (lihat
serta reformasi kepartaian dan pemilu. Dras- Boks: Pelajaran dari Eksperimen Pembentukan
tisnya penurunan proporsi aktor yang ber- Blok Politik Demokratis)
karakter seperti itu memang dapat dengan
mudah dirasakan dan terlihat dari penurunan
Persoalan Utama Demokratisasi
aktivitas LSM. Tampaknya, di samping faktor
dukungan donor yang berkurang, para aktor Mengingat bahwa tujuan dan strategi aktor
cenderung mengikuti arus yang sedang meng- Indonesia sering kali tak menentu arahnya—
gejala, yaitu membangun karakter populis- sama halnya dengan aktor-aktor yang terus
karismatik atau patron-populistik. mengalami fragmentasi—dan karena itu sulit
Kajian lain yang juga penting diperhatikan diidentifikasi, metode yang paling realistis
adalah studi evaluatif yang dilakukan Demos untuk melakukan analisis adalah dengan meng-
terhadap upaya lembaga ini menginisiasi pem- identifikasi terlebih dahulu berbagai persoalan
bentukan sejumlah “blok politik demokratis” paling pokok yang muncul dalam proses de-
(BPD), gagasan yang ditawarkan berdasarkan mokratisasi. Berbagai studi, termasuk studi
hasil survei Demos pada 2007. Dalam konsep PWD UGM-UiO, telah menyodorkan sejumlah
awal, BPD diharapkan dapat membuka ruang kesimpulan yang berguna. Setelah itu, kita
baru bagi aktivis gerakan demokrasi menja- dapat melihat ke dalam berbagai indikasi—
lankan strategi go politics. Pada kenyataannya, yang kita miliki dari survei serta studi kasus—
upaya Demos mewujudkan gagasan yang di- tentang tindakan dan strategi aktor serta men-
rekomendasikannya menemui kegagalan. Seti- diskusikan bagaimana aspek-aspek di setiap
daknya ada empat persoalan utama yang meng- pilihan strategi berpengaruh terhadap tan-
hadang keberhasilan awal pembentukan BPD: tangan atau persoalan yang muncul dalam
(1) kegagalan menemukan dan menyusun isu proses demokratisasi.
bersama yang bisa mengakomodasi kepen- Laporan survei PWD UGM-UiO yang telah
7
dipublikasikan, menguraikan sejumlah per-
6
Lihat, Syafa’atun Kariadi, “Jalan Pintas Populis
untuk Penguatan Representasi Popular”, dalam 7
Lihat, Amalinda Savirani dan Olle Törnquist
Willy P Samadhi dan Nicolaas Warouw, Demo- (eds.), Reclaiming the State: Mengatasi Problem
krasi di Atas Pasir (Jakarta-Yogyakarta: Demos- Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto (Yogya-
PCD Press, 2007). karta: PolGov dan PCD Press, 2015).

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 71

soalan paling pokok dan mendasar dari demo- rakan demokrasi dalam upaya mereka men-
10
krasi di Indonesia. Jika dirangkum, persoalan- jalankan go politics. Para aktivis gerakan
persoalan tersebut mencakup: demokrasi, termasuk mereka yang berlatar
(1) Stagnasi demokrasi: Perkembangan belakang aktivis LSM, cenderung menggeluti
mengesankan menyangkut, misalnya, kebebasan aktivitas politik secara individual dan mening-
sipil dan politik, pelaksanaan pemilu, kebebasan galkan basis-basis konstituen dan organisasi
pers, lambat laun mengalami kemandekan atau mereka. Boleh jadi memang saat ini ada cukup
stagnasi. Data survei mengindikasikan masih ada banyak aktivis elemen masyarakat sipil yang
beberapa hal yang mengalami kemajuan, akan aktif di lingkaran kekuasaan publik, namun hal
tetapi sebagian besar informan menyatakan itu tidak serta-merta mengindikasikan keter-
11
perkembangan itu tidak sepesat sebelumnya, wakilan kelompok masyarakat sipil.
bahkan cenderung mengalami kemunduran. (4) Pembangunan institusi demokrasi
Beberapa studi lain mengonfirmasi bahkan mem- cenderung bersifat teknokratis, sehingga kerap
8
beri penekanan tentang gejala itu. mengabaikan aspek relasi aktor dengan institusi
(2) Good Governance , Rule of Law, yang dibangun.
dan lembaga perwakilan: Ketiga problem itu (5) Dominasi kelompok elite dan tokoh
berkaitan dengan institusi-institusi demokrasi individual dalam perumusan isu publik, se-
yang paling mendasar. Persoalan good govern- hingga mengabaikan aspirasi warga yang lebih
ance ditunjukkan dengan masih sangat menyo- luas. Termasuk di dalam konteks itu adalah
loknya praktik korupsi dan kolusi di tengah- berlangsungnya privatisasi berbagai urusan
tengah arus reformasi birokrasi. Persoalan rule publik. Privatisasi itu berlangsung dengan logika
of law ditandai oleh kerapnya ketidakkonsis- pasar yang tentu saja kontras dengan kepen-
tenan penerapan hukum. Namun, di antara tingan negara sebagai pengelola urusan publik.
ketiganya, persoalan representasi adalah per- (6) Fragmentasi publik: Dominasi elite
soalan paling pelik dan mendesak untuk diatasi berdampak pada fragmentasi publik berda-
karena perbaikan pada kedua aspek terdahulu sarkan kecenderungan “kepatuhan” atau
mustahil bisa dilakukan sepanjang tidak adanya “kesukaan” kelompok-kelompok warga terha-
keterwakilan yang baik. Persoalan menyangkut dap elite atau tokoh individual. Situasi pemi-
representasi itu memperkuat kesimpulan Olle lahan publik seperti itu semakin berkembang di
Törnquist seperti yang sudah disampaikan di tengah arus penggunaan media sosial daring
atas. yang juga semakin luas, sehingga kini dikenal
(3) Persoalan representasi sendiri men- istilah polarisasi lovers versus haters. Selain itu,
cakup tiga problem yang tidak sederhana, yaitu hanya ada sedikit organisasi yang bekerja dan
meluasnya praktik politik uang,9 sistem kepar- memobilisasi dukungan atas dasar kepentingan
taian yang sangat elitis dan eksklusif, serta dan gagasan universal atau ideologis. Keba-
kecenderungan pendekatan top-down dan juga nyakan di antara mereka masih memilih fokus
eksklusif yang dilakukan oleh para aktivis ge- pada isu-isu tunggal, sektoral, atau lokal. Benar

10
Lihat, Kariadi, “Jalan Pintas Populis untuk
8
Lihat, misalnya, Marcus Mietzner, “Indonesia’s Penguatan…”.
Democratic Stagnation: Antireformist Elites and 11
Temuan serupa diungkap oleh, misalnya, studi
Resilient Civil Society”, dalam Democratization, Stanley Adi Prasetyo, AE Priyono, dan Olle
Vol. 19, No. 2, 2012, hal. 209-229. Törnquist (eds.), Gerakan Demokrasi di Indonesia
9
Lihat, Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, Pasca-Soeharto (Jakarta: Demos, 2003); juga AE
Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientel- Priyono, Willy P Samadhi dan Olle Törnquist
isme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta: (eds.), Menjadikan Demokrasi Bermakna
PolGov, 2015). (Jakarta: Demos, 2007).

A R T I K E L
72 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

bahwa survei PWD UGM-UiO berhasil me- informasi dan data tentang strategi para aktor
motret dua gejala umum tentang kerinduan berkaitan dengan persoalan-persoalan demo-
akan negara kesejahteraan dan berkembang- kratisasi sebagaimana tertera pada daftar di
nya politik-populis, namun indikasi itu masih atas. Seperti telah disampaikan pada bagian
samar-samar dan boleh jadi hanya mereflek- awal tulisan ini, pertanyaan yang ingin dijawab
sikan kecenderungan politik di kota-kota besar. adalah: bagaimana strategi para aktor ber-
(7) Aktivis gerakan demokrasi yang pengaruh terhadap persoalan-persoalan demo-
mendorong demokratisasi secara sosial-eko- krasi dan seperti apa hasilnya?
nomi masih mengambang. Itu merupakan ma-
salah kronis yang sudah terindikasi sejak survei
Strategi Aktor Dominan
serupa dilakukan pada 2003 dan 2007 oleh
12
Demos dan UiO. Mereka terutama masih me- Berkaitan dengan aktor dominan, ada ke-
ngandalkan koneksi antar-tokoh dan penge- cenderungan yang jelas bahwa mereka memiliki
tahuan ketimbang menghimpun kekuatan ber- pemikiran yang lebih strategis dan lebih fokus
basis pekerjaan dan aktivitas produksi (sumber pada aktivitas politik, termasuk politik massa,
daya ekonomi) serta aksi kolektif dan orga- dibandingkan dengan aktivis gerakan demokra-
nisasi. Akibatnya, tentu saja kekuatan inidividual si. Publikasi laporan survei PWD UGM-UiO yang
para aktivis lebih berpengaruh daripada ke- mengulas tentang kapasitas politik para aktor
kuatan kolektif. memberikan gambaran yang cukup jelas me-
(8) Corak politik populisme, dalam ngenai perbandingan antara kelompok aktor
13
pengertian yang tidak ideologis, muncul me- dominan dan aktivis gerakan demokrasi. Para
ngiringi corak politik klientelisme, setidaknya di aktor dominan tampak lebih memiliki kemam-
daerah perkotaan. Akan tetapi, corak populisme puan dalam mengakumulasi secara seimbang
tersebut tidak diiringi pengintegrasian kepen- sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk
tingan-kepentingan populer melalui organisasi- membangun kekuasaan politik, yakni dengan
organisasi demokratis yang mengakar, juga menggabungkan ekonomi, sosial, budaya serta
tidak terorganisasikan secara demokratis. Po- sumber daya dan paksaan (coercion). Mereka
pulisme yang muncul lebih bergantung pada juga terlibat dan cukup memiliki pengaruh dalam
sosok “orang-kuat”, ketokohan, yang berupaya masyarakat sipil dan aktivitas masyarakat pada
menyatukan berbagai kepentingan dan me- umumnya. Mereka menggabungkan berbagai
ngemasnya menjadi sebuah isu publik yang cara menempatkan isu-isu dalam agenda; me-
menarik minat dan dukungan publik yang luas. nambahkan populisme pada praktik patronase;
Joko “Jokowi” Widodo, Basuki “Ahok” Tjahaja cukup mampu membangun hubungan kemitraan
Purnama, Rismawati, Ridwan “Emil” Kamil, dengan kalangan masyarakat sipil; merekrut dan
Azwar Anas, antara lain, adalah beberapa sosok mengooptasi tokoh-tokoh populer dari masya-
yang muncul dengan corak politik seperti itu. rakat sipil untuk partai mereka. Kalangan aktor
Namun, pada saat bersamaan, fenomena ter- dominan juga tidak melulu aktif dan membangun
sebut justru membuat gerakan demokrasi se- pengaruh di berbagai organisasi masyarakat dan
makin mengambang dari basis dan semakin lembaga-lembaga kerja sama negara-masyarakat
tergantung ke tokoh-tokoh politik individual itu. (komisi-komisi nasional), tetapi lebih penting
Pada bagian berikut, kita melanjutkan pem- lagi, mereka aktif membangun pengaruh pada
bahasan dengan melihat bagaimana berbagai lembaga-lembaga administrasi publik, peradilan,

12
Lihat, Priyono, Samadhi, dan Törnquist (eds.), 13
Lihat, Eric Hiariej, “Lahirnya Pasca-Klientelisme
Menjadikan Demokrasi…; serta Samadhi dan di Indonesia”, dalam Savirani dan Törnquist
Warouw (eds.), Demokrasi di Atas…. (eds.), Reclaiming the State….

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 73

Pelajaran dari Eksperimen


Pembentukan Blok Politik Demokratis
Gagasan membentuk Blok Politik Demo- ketika para aktor melakukan kampanye nasional
kratis (BPD) merupakan rekomendasi hasil anti-politikus busuk menjelang Pemilu 2004.
survei Demos-UiO 2007. BPD dibayangkan Faktor lain yang penting, yang mendorong
sebagai sebuah wadah aktor masyarakat sipil- usulan pembentukan BPD, adalah kecende-
para aktivis sekaligus jembatan penghubung rungan sebagian aktor untuk secara individual
antara masyarakat sipil dengan organisasi politik masuk ke partai-partai politik. Upaya yang
formal seperti partai politik dan parlemen. disebutkan terakhir itu memang sedikit banyak
Rekomendasi BPD bertujuan memperbaiki telah berhasil memperkuat posisi politik seba-
representasi politik, representasi kepentingan, gian pemimpin gerakan demokrasi, mengeluar-
dan partisipasi langsung. BPD diharapkan kannya dari posisi marginal dalam proses
menjadi sebuah common platform yang kemu- demokratisasi. Namun, aksi-aksi para pemimpin
dian menjadi agenda bersama dan diperjuang- gerakan justru berorientasi pada jalan pintas
kan secara bersama-sama. populis yang menghubungkan mereka secara
*
Dengan cara itu, para aktor dan gerakan de- langsung dengan partai-partai politik.
mokrasi melalui BPD memiliki daya-tawar tinggi Ide utamanya adalah membawa kepenting-
terhadap organisasi-organisasi politik formal. an banyak orang, namun upaya itu dilakukan
Namun, gagasan pembentukan BPD tidak dapat secara individual dan mengabaikan pengorgani-
diwujudkan sebagaimana direncanakan. Paparan sasian basis dukungan. Akibatnya, mereka justru
ini memetakan penyebab kegagalan pemben- terserap ke dalam mekanisme politik oligarkis
tukan BPD yang dianggap sebagai strategi ideal yang berlaku di dalam partai politik. Pun ketika
untuk mengatasi masalah representasi politik. sebagian aktor berhasil menjadi anggota parle-
Dalam memetakan penyebab kegagalan BPD, men, keberadaannya di sana tidak memberikan
penting untuk melihat kembali karakteristik pengaruh yang besar. Keterlibatan para aktor
kapasitas politik yang dimiliki dan kecende- gerakan demokrasi di dalam proses politik tidak
rungan umum yang digunakan sebagai basis cukup memperbaiki kelemahan fundamental
rekomendasi pembentukan BPD. Dengan meli- demokrasi Indonesia sejak prosesnya dimulai
hat dua hal tersebut, setidaknya dapat dicari pada 1998, yaitu aspek representasi.
faktor penyebab kegagalan BPD. Karena itulah BPD diharapkan dapat menja-
di jawaban yang tepat untuk menyatukan ke-
Gagasan Blok Politik kuatan yang terpecah-pecah, mengoptimalkan
Sejumlah temuan tentang kapasitas politik kekuatan jejaring para tokoh gerakan demo-
pada saat itu mengindikasikan mendesaknya krasi, serta memperkuat basis organisasional
penyatuan gerakan berbasis sektoral dan aksi para aktor yang telah masuk ke dalam lingkaran
individual para aktor yang mengakibatkan frag- partai-partai politik. Dengan menggunakan BPD
mentasi. Peluang untuk mempersatukan mereka sebagai instrumen organisasional, para aktor
ke dalam BPD juga terbuka karena para aktor gerakan demokrasi dapat melanjutkan dan
umumnya memiliki jejaring yang kuat di antara mengembangkan strategi politiknya, namun
mereka, beberapa kali terwujud dalam gerakan dengan posisi yang jauh lebih kuat ketimbang
bersama atau aliansi untuk merespons isu-isu
politik yang berkembang. Salah satu aliansi *
Kariadi, “Jalan Pintas Populis untuk Penguatan…”,
besar-besaran yang cukup fenomenal adalah hal. 118-134.

A R T I K E L
74 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

mengandalkan koneksi-koneksi personal de- umum selesai, para pemimpin faksi-faksi yang
ngan para tokoh politik. membangun blok politik kembali mengurus
Pembentukan BPD juga dianggap lebih kepentingan masing-masing. Hasil evaluasi
masuk akal untuk perbaikan representasi poli- Demos tentang program pembentukan BPD
tik, karena serangkaian aturan dan regulasi memperlihatkan bahwa sejak dimulai pada 2008
demokratis yang berkaitan dengan aspek itu hingga 2011, BPD hanya berhasil dibangun di
justru telah sangat ketat menutup pintu bagi 15 wilayah—sepuluh di tingkat provinsi dan
hadirnya kekuatan-kekuatan alternatif baru di lima di tingkat kabupaten/kota. Implementasi
luar kelompok dominan. Syarat yang mengha- program itu pun tidak bersandar sepenuhnya
ruskan setiap partai politik untuk bersifat pada gagasan BPD sebagaimana yang dirumus-
nasional, misalnya, tidak mungkin dapat dipenu- kan dalam rekomendasi awal.
hi oleh para aktor gerakan demokrasi karena Dari segi teknis pengelolaan, gagasan BPD
memerlukan biaya yang sangat besar. Padahal, sebagaimana direkomendasikan Demos-UiO
para aktor gerakan demokrasi jelas tidak memi- 2007 mengundang serangkaian langkah-langkah
liki basis kekuatan ekonomi yang memadai. ekstra-istimewa yang tidak begitu mudah ditem-
puh. Pembentukan BPD, misalnya, diharapkan
Kegagalan Blok Politik dapat diawali oleh sebuah kelompok perintis
Pada kenyataannya, gagasan pembentukan yang terdiri dari tokoh-tokoh paling kritis dan
BPD tidak dapat diwujudkan sebagaimana yang terkemuka dari berbagai sektor gerakan demo-
direncanakan. Satu penjelasan penting adalah krasi di tingkat nasional. Mereka diharapkan
rekomendasi pembentukan BPD didasarkan menyusun sebuah rancangan platform bersama
pada kecenderungan umum. Di balik kecen- yang menjadi agenda utama perjuangan BPD.
derungan umum, sangat mungkin ada beberapa Kesulitan yang segera terasa pada tahap itu
karakter kapasitas politik yang berbeda. Ada dua adalah siapa yang harus masuk dan tidak masuk
kemungkinan yang menjelaskan kegagalan dalam kelompok perintis. Benar bahwa ada
pembentukan BPD. Pertama, rekomendasi tradisi berjejaring yang kuat di antara mereka,
pembentukan BPD belum tentu sesuai dijalan- namun fragmentasi internal bukannya tidak ada.
kan seluruh kelompok aktor gerakan demokrasi. Lantas, bagaimana platform dapat disusun seta-
Kedua, aktor-aktor gerakan demokrasi tidak jam mungkin yang mencakup sebanyak mung-
saling berbagi peran dan tidak spesifik dalam kin ideologi, kepentingan, prioritas yang berbeda
pembentukan BPD. Pada titik inilah telaah dari para tokoh itu? Benar bahwa proses terse-
tentang apakah ada perbedaan karakteristik yang but dapat dilakukan, namun dapat segera me-
signifikan di antara para aktor gerakan demokrasi nyebabkan sebagian aktor menarik diri dari
menjadi penting untuk dilakukan. Hal itu untuk proses selanjutnya ketika tidak ada kesesuaian
memastikan tidak kembali terjebak menghasil- antara yang disepakati di dalam diskusi dengan
kan rekomendasi BPD yang menggenaralisasi yang selama ini diperjuangkan.
karakter kapasitas para aktor. Persoalan lain yang juga sulit diwujudkan
Sebab utama kegagalan itu karena ketia- adalah alur pembentukan BPD yang diidealkan
daan komitmen politik yang jelas dalam mem- dibangun secara berjenjang mulai dari tingkat
bangun blok politik sebagai sebuah organisasi terbawah di tingkat lokal hingga tingkat nasional.
yang berdisiplin. Akibatnya, blok politik menjadi Siapa yang akan melakukan bimbingan dan
koalisi sementara dan bekerja hanya berda- pengawalan terhadap proses itu sejak dari
sarkan kontrak-kontrak politik temporer men- tingkat desa, misalnya, hingga ke tingkat kota/
**
jelang proses elektoral. Setelah pemilihan kabupaten dan provinsi? Jejaring para aktivis

**
Lihat, Amalinda Savirani, Eric Hiariej, Hasrul Survei Demokrasi (Democracy Baseline Sur-
Hanif, Olle Tornquist, Ringkasan Eksekutif Hasil vey), (Yogyakarta, 2013).

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 75

dapat digunakan dan dikerahkan untuk itu, tik kapasitas politik menjadi penting untuk
namun proses tersebut berlangsung di ruang dilakukan, bukan melulu didasarkan atas penga-
terbuka yang sangat rentan dipengaruhi ke- matan terhadap kecenderungan-kecenderung-
kuatan-kekuatan kepentingan lain. an umum situasi maupun kapasitas politik para
Pembentukan BPD yang pada umumnya aktor.
dilakukan menjelang pemilihan umum dan Temuan menyangkut aspek-aspek kapasitas
pemilihan kepala daerah juga cenderung me- politik gerakan demokrasi Indonesia memper-
ngarahkan agenda kerja BPD lebih terfokus lihatkan ada sebuah pergeseran cukup berarti
pada upaya memenangi pemilihan-pemilihan menyangkut akumulasi basis kekuatan sosial.
itu. Untuk itu, BPD cenderung melakukan pen- Para aktor pada umumnya kini telah memper-
dekatan-pendekatan langsung kepada para luas jejaring koneksi mereka hingga ke partai
kandidat dan partai politik, namun upaya demi- dan tokoh-tokoh politik, tidak lagi terbatas pada
kian tidak membuahkan hasil positif. Selain itu, jejaring sesama aktor di wilayah masyarakat
ada kesulitan dalam mengajak anggota BPD sipil sebagaimana yang dahulu terjadi. Koneksi
untuk membayar iuran anggota. Format BPD dengan para tokoh dan partai politik tersebut
yang longgar dan tidak terikat sebagai sebuah berhasil membawa mereka masuk ke dalam
organisasi menyulitkan pengelolaan dan kontrol lingkaran politik-kekuasaan di berbagai daerah
atas uang iuran yang terkumpul. dan memengaruhi wacana publik dalam posisi
Pada akhirnya, sebagai jalan pintas untuk yang lebih kuat. Maka para aktor kini tak lagi
mengatasi berbagai kendala ideal, berbagai berada pada posisi marginal dan tereksklusi,
prakarsa pembentukan BPD berlangsung seca- tetapi relatif telah berhasil menempatkan diri
ra sporadis, jauh dari sifat integratif sebagaimana dan memengaruhi pusat-pusat kekuasaan poli-
direncanakan, dan—ini kecenderungan utama- tik, terutama melalui koneksi dengan para
nya—dibentuk secara temporer sebagai siasat tokoh politik.
taktis memengaruhi proses pemilu dan khu- Akan tetapi, seperti pada masa lalu, kebera-
susnya pemilihan kepala daerah. Itu pun, daan mereka di lingkungan politik sifatnya tetap
sebagaimana telah disebutkan, hanya berhenti personal (individual), tidak atas dasar dukungan
pada upaya mendesakkan kontrak politik kepa- basis-basis organisasional, kendati secara kuan-
da para kandidat. Alih-alih menjadi sebuah titas proporsinya kini relatif semakin masif.
institusi alternatif bagi penguatan representasi, Konkretnya, mereka berhasil melakukan mobi-
BPD tereduksi menjadi aliansi yang cair dan tak lisasi vertikal melalui klaim ketokohan sebagai
memiliki kekuatan apa pun. pemimpin atau perwakilan konstituen tertentu.
Di luar faktor-faktor itu, penjelasan penting Di samping itu, para aktor gerakan demokrasi
yang barangkali perlu digarisbawahi adalah masih belum dapat meningkatkan kapasitas
rekomendasi itu melulu didasarkan pada kecen- mereka dalam basis ekonomi.
derungan umum kapasitas aktor gerakan demo- Persoalan lain yang lebih mendasar adalah
krasi. Padahal, di balik kecenderungan umum, mereka tidak memiliki orientasi dan kapasitas
sangat mungkin ada beberapa variasi karakter untuk meningkatkan kinerja pelembagaan re-
kapasitas politik. Dalam situasi seperti itu, ada presentasi politik. Para aktor gerakan demo-
dua kemungkinan yang perlu dijajaki lebih krasi masih memiliki kecenderungan untuk
dalam. Pertama, rekomendasi pembentukan selalu memanfaatkan jalur-jalur representasi
BPD belum tentu sesuai untuk dijalankan selu- berbasis kepentingan melalui kontak dengan
ruh kelompok aktor gerakan demokrasi. Atau tokoh-tokoh informal dan organisasi masya-
kedua, aktor-aktor gerakan demokrasi perlu rakat sipil. Relasi dengan masyarakat politik
berbagi peran berbeda dan spesifik dalam relatif terbatas dan digunakan semata-mata
pembentukan BPD. Pada titik itulah telaah hanya sebagai instrumen populisme dan patro-
tentang perbedaan (atau persamaan) karakteris- nase, bukan sebagai medium representasi•

A R T I K E L
76 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tabel 1. Lima Persoalan Utama yang Dihadapi Aktor Dominan dalam


Menjalankan Strategi Demokratisasi

dan eksekutif politik untuk memengaruhi indikasikan rendahnya kecenderungan aktor


kebijakan. Mereka tidak hanya menggunakan dominan untuk terlibat dan memengaruhi lem-
masyarakat sipil dan media sebagai mediator, baga-lembaga negara dan politik.
melainkan juga organisasi kepentingan dan Tidak kalah menariknya adalah temuan lain
masyarakat politik. yang mengindikasikan bahwa para aktor do-
Selain aspek-aspek kapasitas politik, data minan cenderung tidak menghadapi masalah
tentang pilihan strategi yang dijalankan mem- cukup serius saat menerapkan atau menjalankan
perlihatkan kelompok aktor dominan yang strategi-strategi mereka. Bagi aktor dominan,
memiliki strategi lebih beragam, dan karena itu berbagai hambatan berupa perlawanan oposisi
lebih seimbang, dibandingkan dengan yang dari parlemen, kurangnya dukungan dari biro-
dilakukan oleh aktivis gerakan demokrasi. krat atau lembaga peradilan, juga kemungkinan
Namun, pilihan-pilihan strategi yang dijalankan masalah lain yang disebabkan faktor pendanaan,
para aktor dominan tampaknya tidak dibangun tampaknya bukan merupakan persoalan-per-
atas dasar ideologi dan program yang jelas. Hal soalan serius. Sangat sedikit informan yang
itu diindikasikan oleh sangat kurangnya strategi menyatakan sederetan persoalan tersebut meru-
yang terarah pada upaya-upaya pembangunan pakan penghambat terhadap aktor dominan.
ekonomi dan good governance. Mereka juga Yang paling menjadi masalah, menurut para
relatif tidak memiliki perhatian terhadap pen- informan, adalah sulitnya aktor dominan
tingnya membangun organisasi-organisasi ber- memperoleh dukungan publik atas strategi-
basis isu dan kepentingan. Perhatian mereka strategi yang mereka jalankan serta kompetisi di
lebih tertuju pada sosialisasi program-program antara kalangan elite sendiri. Para aktor dominan
melalui media, menampilkan kepemimpinan tampaknya tidak terlalu terpengaruh dengan per-
yang populis, dan membangun karisma, atau soalan-persoalan demokratisasi yang ada, juga
membangun aliansi di antara sesama elite. Data tidak terlalu peduli dengan berbagai kelemahan
tersebut sejalan dengan data lain yang meng- atau keterbatasan mekanisme demokrasi yang

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 77

ada. Aktor dominan melakukan apa saja yang sangat diwarnai oleh kepentingan elitis. Itu
dianggap perlu dilakukan, atau mau mereka sebabnya Demos dan UiO menyerukan reko-
lakukan (lihat, Tabel 1). mendasi go politics kepada para aktivis gerakan
Lantas, apa pengaruh strategi yang dite- demokrasi agar dapat merebut kembali kendali
rapkan aktor-aktor dominan terhadap situasi jalannya demokratisasi.
demokrasi? Survei PWD UGM-UiO memang Akan tetapi, berdasarkan hasil survei De-
tidak menyediakan data cukup kuat untuk men- mos dan UiO berikutnya pada 2007 dan kajian
jawab pertanyaan itu. Akan tetapi, secara umum, yang dilakukan Olle Törnquist, terungkap jelas
lebih dari separuh tanggapan yang diberikan bahwa para aktivis gerakan demokrasi yang
informan menyatakan bahwa strategi aktor berusaha melakukan penetrasi ke lingkungan
dominan cenderung berpengaruh negatif terha- masyarakat politik justru menempuh strategi-
dap situasi demokrasi. Hanya kurang dari seper- strategi yang cenderung liberal, individual, dan
tiga responden yang menyatakan sebaliknya. pada gilirannya memperparah soal fragmentasi.
Namun, dari tanggapan positif yang sangat sedi- Mereka juga kemudian terkooptasi dan tidak
kit itu pun tidak ada yang secara jelas berhubung- dapat berbuat apa-apa di dalam partai atau par-
an dengan persoalan-persoalan utama demokrasi lemen karena tidak cukup memiliki basis du-
sebagaimana telah diterangkan di atas. Hanya kungan sosial dan organisasional. Berdasarkan
sedikit yang terkait dengan hak sosial dan kuali- survei PWD UGM-UiO pada 2013, gejala ter-
tas pelayanan publik, serta tidak ada yang me- sebut tampak masih terus berlangsung dan
nyatakan bahwa strategi aktor dominan memberi terlihat sebagai sebuah fenomena politik dias-
15
dampak positif terhadap berlangsungnya pem- pora, namun tidak cukup dapat memengaruhi
bangunan yang lebih inklusif. perbaikan politik. Dalam analisis lebih lanjut,
Willy Samadhi memperlihatkan bahwa kecen-
derungan tersebut menjadi kecenderungan
Strategi Aktor Gerakan
paling umum di kalangan aktor pro-demokrasi.16
Demokrasi
Kecenderungan itu boleh jadi disebabkan
Buku Gerakan Demokrasi di Indonesia oleh ketiadaan saluran kelembagaan yang co-
Pasca-Soeharto14 mengungkap gejala marginali- cok dan memadai untuk dimanfaatkan oleh para
sasi politik yang dialami gerakan demokrasi. aktivis gerakan demokrasi. Gagasan reformasi
Banyak di antara para aktivis, menurut buku itu, kepartaian yang mendorong diperbolehkannya
gagal melakukan penetrasi ke arena politik atau partai-partai di tingkat lokal sudah jelas tidak
sebagian malah sengaja menghindari aktivitas diterima, baik oleh kalangan elite dominan
politik. Gejala itu menandai tahun-tahun awal maupun sebagian anggota masyarakat yang
demokratisasi Indonesia, dan terus berlangsung melihat hal tersebut sebagai potensi perpe-
setidaknya hingga Demos dan UiO melakukan cahan nasional. Apalagi, kasus di Aceh justru
survei pada 2003-2004. Temuan survei itu mem- memperlihatkan bahwa para aktivis gerakan
perlihatkan indikasi serupa. Namun, yang demokrasi di daerah itu tidak memiliki kemam-
terpenting dari temuan itu adalah bahwa puan dan kapasitas yang baik untuk mengelola
marginalisasi politik yang dialami para aktivis partai lokal. Karena itu, aktivis gerakan demo-
gerakan demokrasi telah membuat arena krasi tidak memiliki alternatif kecuali memasuki
demokrasi dan proses demokratisasi didomi- partai politik nasional yang besar, meski tetap
nasi dan dimonopoli oleh kalangan elite politik. tidak dapat berbuat banyak.
Karena itu, agenda-agenda demokrasi pun
15
Lihat, Hiariej, “Lahirnya Pasca-Klientelisme…”.
14
Lihat, Prasetyo, Priyono, dan Törnquist (eds.). 16
Lihat, Samadhi, “Optimalisasi Kapasitas Politik
Gerakan Demokrasi di Indonesia…. Aktor…”.

A R T I K E L
78 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Sebenarnya sistem pemilihan langsung eksperimen yang cukup menarik untuk dicer-
kepala daerah cukup membuka ruang partisi- mati. Pertama, upaya para aktivis gerakan demo-
pasi. Melalui sistem pemilihan langsung, aktivis krasi dalam membentuk kelompok dan gerakan
gerakan demokrasi berkesempatan memilih lebih luas yang ditujukan untuk mendekati dan
dan mendukung kandidat-kandidat politikus memengaruhi beberapa politikus progresif yang
terbaik di antara yang buruk. Sayangnya, merakyat, seperti Jokowi. Para aktivis gerakan
meskipun terbuka, tidak banyak kesempatan demokrasi yang mencoba upaya itu melakukan
bagi aktivis gerakan demokrasi untuk maju negosiasi yang konkret dengan politikus ber-
sebagai kandidat alternatif non-partai, karena kenaan dengan masalah-masalah sosial-ekonomi
persyaratan-persyaratan untuk maju sebagai dan pembangunan perkotaan. Pemberlakuan
kandidat tetap relatif sulit dipenuhi. Akan tetapi, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar
peluang untuk masuk ke dalam lingkungan adalah contoh keberhasilan aktivis gerakan
masyarakat politik dan memengaruhi proses demokrasi di Jakarta dalam proses negosiasi
pembuatan kebijakan melalui kedekatan politik dengan Jokowi.
mereka dengan para kandidat tidak juga Kedua, jenis ekseperimen yang juga mena-
sepenuhnya mendatangkan perubahan yang rik adalah upaya yang dijalankan para aktivis
positif. Di satu sisi, aktor-aktor dominan yang serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil
menjadi kandidat memainkan politik populis (OMS) yang bersama-sama membangun aliansi
yang sangat membangun ketokohan personal, berbasis massa untuk berunding dengan para
sedangkan di sisi lain para aktivis gerakan politikus di parlemen, sehingga menghasilkan
demokrasi tidak mampu membangun sebuah berbagai kebijakan baru yang berorientasi pada
kekuatan yang terintegrasi dan memperluas kesejahteraan publik. Lahirnya UU Jaminan
basis dukungan mereka untuk memperoleh Sosial dan berlakunya program BPJS adalah
posisi-tawar politik yang setara dengan kandidat contoh keberhasilan upaya itu. Baik jenis
ataupun dengan partai-partai pendukung. Aki- eksperimentasi yang pertama maupun kedua,
batnya, kekuatan kandidat tetap lebih menen- yakni bekerja bersama politikus berbasis partai
tukan dibandingkan upaya para aktor aternatif dan memperluas gerakan massa sebagai alat
dalam memobilisasi dukungan. desak dalam melakukan negosiasi dengan
Di sisi lain, gagasan pembentukan Blok parlemen, tampaknya menjadi kecenderungan
Politik Demokratis juga gagal direalisasikan dan paling umum yang dilakukan oleh para aktivis
tak mampu mempersatukan berbagai kekuatan gerakan demokrasi, sebagaimana terungkap
sektoral dan lokal berdasarkan common plat- pula dalam studi yang dilakukan Samadhi. Lan-
form yang disepakati bersama. Selain itu, mere- tas, bagaimana hasil survei PWD UGM-UiO
ka juga mengalami kesulitan dalam mengaloka- memperlihatkan data tentang strategi yang te-
sikan sebagian dana organisasi sebagai dana lah dipaparkan di atas memengaruhi persoalan-
bersama di dalam blok politik. Di Nusa Teng- persoalan pokok demokrasi?
gara Timur, misalnya, persoalan keuangan Situasinya tidak terlalu menggembirakan.
justru menjadi sumber perpecahan baru ketika Tidak ada data yang cukup jelas mengindikasi-
sebagian aktivis pro-demokrasi di provinsi itu kan bahwa strategi para aktivis gerakan demo-
berupaya membangun blok politik.17 krasi bertujuan untuk menjawab tantangan
Bagaimanapun juga, di tengah-tengah ke- demokrasi. Bahkan, kecenderungan para akti-
gagalan eksperimentasi pembentukan blok poli- vis gerakan demokrasi jauh lebih besar diban-
tik di berbagai tenpat, setidaknya ada dua jenis dingkan dengan aktor dominan untuk bekerja
dan menyelesaikan urusan kepentingan publik
17
Lihat, Samadhi, “Optimalisasi Kapasitas Politik melalui lembaga-lembaga berbasis komunitas
Aktor…”. dan berbagai komisi negara. Mereka sangat

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 79

Tabel 2. Lembaga Perantara yang Digunakan Aktivis Gerakan Demokrasi

jarang mencoba menyelesaikan urusan publik kualitas pelayanan publik, sedangkan di India
melalui lembaga-lembaga pelayanan publik demokratisasi telah menumbuhkan masyarakat
yang dikelola pemerintah. Lebih dari itu, aktivis politik menjadi semakin kuat dan dianggap
gerakan demokrasi jauh lebih percaya pada penting oleh rakyat. Berdasarkan data itu, si-
lembaga swasta daripada lembaga eksekutif. tuasi di Indonesia harus dilihat lebih menye-
Pola serupa juga tampak dalam kecende- dihkan lagi karena situasinya justru disebabkan
rungan aktor memilih mediator. Para aktivis oleh strategi-strategi yang dijalankan oleh para
gerakan demokrasi justru meninggalkan lem- aktivis gerakan demokrasi sendiri.
baga-lembaga yang berbasis kepentingan dan Temuan yang tidak menggembirakan itu
politik, tetapi malah memilih untuk mendekati diperkuat lagi dengan data yang mengindikasi-
media (26 persen), memanfaatkan jejaring or- kan bahwa kelompok aktivis gerakan demokrasi
ganisasi masyarakat sipil (23 persen), dan memiliki kemiripan dengan aktor dominan ten-
membangun kontak dengan tokoh-tokoh infor- tang bagaimana strategi mereka dalam memilih
mal (23 persen). Kecenderungan untuk menga- lembaga representasi untuk menyelesaikan
baikan lembaga-lembaga politik dan kepen- urusan-urusan publik yang dihadapi. Berdasar-
tingan juga sama diperlihatkan oleh kelompok kan data, yang terpenting bagi kalangan aktivis
masyarakat pada umumnya (lihat, Tabel 2). gerakan demokrasi adalah mendatangi dan me-
Gejala seperti yang ditunjukkan oleh data mengaruhi institusi-institusi yang memiliki oto-
tersebut dapat disimpulkan untuk sementara ritas lebih besar (19 persen), memperoleh hasil
bahwa demokrasi dan demokratisasi di Indo- yang cepat dan memuaskan (15 persen), dan
nesia mengalami depolitisasi. Dari perspektif memilih institusi-institusi representasi yang
perbandingan politik, kita dapat juga menga- dianggap paling berpengaruh (13 persen). Lebih
takan bahwa ada indikasi berlangsungnya pele- dari itu, aktivis gerakan demokrasi juga mengang-
mahan pengelolaan dan pelayanan publik di gap hambatan yang harus dihadapi dalam mem-
Indonesia, jika dibandingkan dengan yang bangun institusi representasi adalah publik yang
pernah berlangsung di Brasil dan India. Di Bra- cenderung pasif serta masih adanya perbedaan
sil, demokratisasi justru berhasil mengangkat kepentingan dan pemahaman di antara para

A R T I K E L
80 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tabel 3. Lima Strategi Paling Umum yang Dijalankan Aktivis Gerakan Demokrasi

aktor. Sangat sedikit jawaban informan yang basis tidak cukup menonjol dan tidak dapat
mengindikasikan adanya persoalan lain yang dikatakan menjadi pilihan utama. Pilihan untuk
jauh lebih strategis dan mendasar yang meng- masuk ke partai politik semakin jarang, sedang-
hambat penerapan strategi mereka. kan kegiatan-kegiatan yang bersandar pada
Hasil wawancara dengan para informan juga politik identitas tampaknya tidak lagi menjadi
secara jelas memperlihatkan indikasi bahwa pilihan utama; kemunculannya pun sangat ter-
kelompok aktivis gerakan demokrasi hampir batas (lihat, Tabel 3).
tidak terlalu peduli dengan persoalan-persoalan Pola yang sama juga terlihat dalam jawaban-
demokrasi paling mendasar. Tidak tampak ada- jawaban para informan mengenai masalah yang
nya strategi aktivis gerakan demokrasi yang dihadapi para aktor dalam menerapkan strategi
dibangun berdasarkan program-program terarah mereka. Persoalan-persoalan demokrasi yang
yang dijalankan secara bertahap. Aktivis gerakan seharusnya menghambat aktivitas para aktivis
demokrasi juga cenderung tidak memiliki stra- gerakan demokrasi, termasuk masalah yang ber-
tegi yang mengarah pada pembangunan yang kaitan dengan kapasitas politik mereka, tampak-
semakin merata dan inklusif, memperjuangkan nya jarang menjadi batu sandungan bagi para
perbaikan dan pemenuhan hak-hak sosial dan aktor dalam menerapkan pilihan strategi mere-
ekonomi masyarakat, serta tidak menaruh per- ka. Temuan demikian agak janggal, namun tam-
hatian pada pentingnya melakukan pengem- paknya berkaitan dengan kecenderungan kuat
bangan kapasitas politik mereka sendiri. dan umum para aktivis gerakan demokrasi untuk
Lebih dari itu, dalam hal aktivitas politik, menempuh jalan pintas setiap kali menghadapi
para aktivis gerakan demokrasi lebih memen- persoalan atau kasus-kasus yang muncul.
tingkan bentuk-bentuk kegiatan berupa advo- Rendahnya dukungan dari birokrasi, ketidak-
kasi, kampanye, lobi, dan seminar. Mereka me- cukupan sumber daya, dan fragmentasi di ka-
mang melakukan kegiatan pengorganisasian langan organisasi-organisasi pro-demokrasi me-
atau menggalang dan memperkuat basis sosial, mang dianggap cukup menjadi penghambat ge-
namun jika dibandingkan dengan jenis kegiatan rakan para aktor. Akan tetapi, persoalan-persoal-
lainnya, kecenderungan untuk memperkuat an yang lebih mendasar, seperti resistansi ang-

A R T I K E L
Willy Purna Samadhi & Wegik Prasetyo, Gerakan Pro-Demokrasi 81

Tabel 4. Lima Persoalan Utama yang Dihadapi Aktivis Gerakan


Demokrasi dalam Menjalankan Strategi Demokratisasi

gota parlemen, tidak adanya cukup dukungan dari terhadap kasus-kasus yang dihadapi dari hari ke
partai politik, upaya para elite memonopoli politik, hari (lihat, Tabel 4).
persoalan penegakan hukum, politik uang, serta Terakhir, hal apa saja yang menjadi pertan-
masih kuatnya praktik politik patronase, cende- da atau indikator bahwa strategi yang dijalankan
rung dianggap bukan masalah yang menghambat para aktivis gerakan demokrasi membuahkan
penerapan strategi para aktivis gerakan demo- keberhasilan? Sekali lagi, sulit menemukan ja-
krasi. Secara rata-rata, respons terhadap hal-hal waban dari para informan yang secara jelas me-
yang disebutkan belakangan itu hanya di bawah 2 nyatakan bahwa pilihan strategi para aktor telah
persen, jauh di bawah persoalan-persoalan yang mewujudkan perkembangan situasi menjadi le-
disebutkan lebih dahulu. bih inklusif dan egaliter, tercapainya kesetaraan
Lebih dari itu, bagi mereka, persoalan yang dan adanya jaminan atas hak-hak sosial, ataupun
dianggap justru paling menghambat penerapan membaiknya kualitas layanan publik dan sema-
strategi adalah rendahnya dukungan publik (14 camnya. Para informan survei PWD UGM-UiO
persen) dan ketidakmampuan para aktor dalam menyatakan keberhasilan strategi para aktor
menyusun program dan strategi yang baik un- ditandai oleh menguatnya posisi dan basis
tuk dijalankan (13 persen). Jawaban-jawaban sosial mereka, berlangsungnya pemerintahan
seperti itu tentu saja benar, namun tidak cukup yang lebih baik serta meningkatnya kesadaran
membantu menjelaskan bagaimana persoalan- dan partisipasi populer.
persoalan demokrasi yang lebih mendasar Benar bahwa hanya sekitar seperempat
menjadi penghambat para aktor dalam mene- jawaban informan yang menyatakan bahwa
rapkan pilihan strategi mereka. Dengan kata strategi para aktivis gerakan demokrasi justru
lain, temuan itu memperkuat indikasi bahwa berpengaruh negatif terhadap perkembangan
para aktivis gerakan demokrasi tampaknya demokrasi dan sebaliknya ada lebih dari sepa-
tidak cukup tanggap terhadap persoalan-per- ruh yang menyatakan berdampak positif. Na-
soalan utama demokratisasi ketika mereka mun, penting untuk diperhatikan bahwa penga-
menjalankan berbagai aktivitas; lebih reaktif ruh-pengaruh positif itu tidak secara langsung

A R T I K E L
82 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

menyentuh persoalan utama demokrasi seba- krasi, tetapi juga karena kekuatan-kekuatan pro-
gaimana telah diidentifikasi. demokrasi masih terpecah-belah secara sek-
toral dan tidak berhasil membangun diri sebagai
kekuatan yang bersatu.
Kesimpulan
Temuan itu mengingatkan kembali pada
Analisis di atas mengantarkan kesimpulan situasi yang sama seperti temuan survei Demos
bahwa aktor-aktor gerakan demokrasi menga- dan UiO sebelumnya. Survei 2003-2004 me-
lami kesulitan dalam menggerakkan aksi-aksi ngungkap indikasi kuat bahwa aktor-aktor pro-
kolektif dari bawah. Kesulitan itu bukan hanya demokrasi adalah “demokrat mengambang.”
disebabkan adanya perbedaan kepentingan di Dengan kondisi seperti itu, para aktor tidak
antara kelompok-kelompok sektoral, melainkan cukup memiliki basis sosial yang cukup dan ha-
terutama karena para aktivis gerakan demokrasi nya membangun aliansi dan jejaring di antara
tidak cukup memiliki perhatian terhadap ca- sesama aktor pro-demokrasi. Demikian pula,
paian (outcome), tidak adanya visi/ideologi dan menyangkut ketiadaan kerangka kerja yang
orientasi terhadap kebijakan. Pilihan strategi jelas, visi dan ideologi, situasi itu mirip dengan
mereka cenderung bersifat instrumental dida- temuan survei berikutnya pada 2007 yang me-
sarkan atas kebutuhan-kebutuhan jangka nemukan kecenderungan kuat di kalangan ak-
pendek untuk mengatasi persoalan atau kasus- tor pro-demokrasi untuk menempuh jalan pin-
kasus yang mereka hadapi. tas melalui aksi-aksi populis. Mereka sekadar
Selain itu, mereka lebih terbiasa meman- berupaya masuk ke lingkungan masyarakat
faatkan cara-cara non-organisasi, yaitu dengan politik, tetapi tidak memiliki visi yang dapat me-
melakukan lobi, memanfaatkan kontak-kontak mandu aktivitas mereka setelah berada di
personal, jejaring antar-tokoh, dan semacamnya, lingkungan masyarakat politik.
sebagai jalan pintas demi memperoleh solusi Ke depan, para aktor harus membangun
instan atas persoalan-persoalan yang dihadapi. strategi dan melakukan upaya serius untuk
Dengan kata lain, mereka cenderung menga- mengatasi kedua persoalan di atas. Para aktivis
baikan berbagai saluran dan lembaga repre- gerakan demokrasi perlu mempersempit ruang
sentasi kepentingan dan politik demokratis. perbedaan kepentingan sektoral di antara me-
Benar bahwa lembaga-lembaga formal demo- reka dan membangun platform bersama. Basis-
krasi masih bermasalah, akan tetapi tidak ada basis sektoral yang selama ini mereka bangun
agenda yang didesakkan untuk memperbaiki perlu diperluas dengan membangun sebuah blok
kelemahan dan keburukan lembaga-lembaga politik bersama seperti yang pernah direkomen-
yang ada. Cara-cara individual dan non-organisasi dasikan. Dengan basis lebih luas yang mencakup
seperti itu mungkin bisa menjadi alternatif stra- berbagai kepentingan, potensi penguatan aksi
tegi yang efektif untuk menyelesaikan kasus per kolektif dari bawah dapat lebih mungkin dilaku-
kasus yang dihadapi, namun sulit berkembang kan. Pada saat bersamaan, mereka harus mulai
menjadi solusi yang baik untuk kepentingan membangun visi atau kerangka ideologi yang
pembangunan demokrasi jangka panjang. jelas dan mengarahkan strategi mereka meme-
Kedua kesimpulan tersebut mengindikasi- ngaruhi perubahan substansial jangka panjang,
kan bahwa pilihan strategi para aktor ternyata terutama dalam mendesakkan agenda perbaikan
tidak cukup memberi pengaruh terhadap per- institusi representasi. Para aktivis gerakan
soalan-persoalan utama demokrasi. Represen- demokrasi seharusnya dapat lebih fokus me-
tasi tampaknya masih menjadi persoalan paling ngarahkan strategi mereka terhadap persoalan-
krusial dalam proses demokratisasi. Persoalan persoalan paling mendasar, bukan semata-mata
itu bukan hanya karena masih buruknya kinerja merespons aneka masalah yang muncul di
lembaga-lembaga representasi formal demo- permukaan•

A R T I K E L
Prisma SURVEI Cornelis Lay, Tautan Politik 83

Tautan Politik antara


Pengrajin Batik, Parlemen, dan
Masyarakat Sipil di Yogyakarta
Cornelis Lay*

Tulisan ini merupakan paparan hasil penelitian yang mencoba mengung-


kap ada tidaknya tautan politik antar-partai politik/parlemen dan orga-
nisasi masyarakat sipil dengan kelompok pengrajin batik, serta bagai-
mana tautan politik terbentuk, siapa yang mengawali, serta implikasi-
nya bagi proses demokratisasi di Indonesia. Dengan mengambil kasus
di Yogyakarta, kealpaan politik mengindikasikan proses demokratisasi
Indonesia kian berliku. Harapan bahwa demokrasi bisa menjadi
instrumen pencapaian kesejahteraan masih membutuhkan kerja sangat
keras.

Kata Kunci: tautan politik, masyarakat sipil, partai politik, parlemen,


pengrajin batik

R
iset ini merupakan kelanjutan pene- pada tautan politik antara kelompok pengrajin
litian penulis tentang Redemocratizat- batik dengan partai politik melalui represen-
ion in Local Indonesia: A Case Study tasinya di parlemen lokal, baik di tingkat pro-
on the Linkage Function of Political Party in vinsi maupun kabupaten. Hal-hal yang hendak
Yogyakarta yang diselenggarakan pada 2009. diungkap dalam penelitian pertama mencakup
Penelitian pada tahun itu berupaya mengung- ada tidaknya tautan politik, bagaimana tautan
kap tautan politik (political linkages) antara politik terbentuk, siapa yang menginisiasi, serta
partai politik dengan kelompok pengrajin batik tipologi tautan politik berikut implikasinya.
di Dusun Kembangsongo, Desa Trimulyo, Ban- Secara umum, hasil penelitian tahun 2009
tul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada riset menunjukkan absennya tautan politik antara
tahun 2009, penulis memfokuskan perhatian parlemen dengan kelompok pengrajin batik.
Keduanya hadir sebagai dua entitas terpisah
yang tak pernah bersentuhan satu dengan yang
*
Penulis mengucapkan terima kasih kepada asisten
lain.
penulis, Eko Agus Wibisono dan Ahmad
Mubarrak Massardhi yang membantu proses Studi tentang tautan politik sangat krusial
penelitian pada 2009 serta Devy Dian Cahyati dan karena merupakan salah satu tantangan paling
Umi Lestari yang membantu penelitian pada 2016. serius bagi banyak negara dalam menjamin

A R T I K E L
84 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

kelangsungan partai politik sebagai tulang pung- sebagai persoalan juga muncul dari studi
1
gung demokrasi elektoral. Di Indonesia, hal itu Gianpaolo Baiocchi dan Patrick Hillar di Brasil,
menjadi tantangan serius bukan hanya bagi Nathan Quimpo di Filipina, serta Michael
partai politik ataupun parlemen, tetapi juga bagi Tharakan di Kerala.5 Demikian pula dengan isu
2
proses demokratisasi secara menyeluruh. di sekitar kegagalan membangun blok politik
Dengan pelabelan berbeda-beda, isu di sekitar atau kegagalan membangun agenda bersama,
kealpaan atau terputusnya tautan politik antara terutama di kalangan organisasi masyarakat
6
lembaga demokrasi (partai ataupun parlemen) sipil (OMS). Ahli lainnya mengungkapkan
dengan rakyat atau konstituen, dimunculkan persoalan di atas secara tidak langsung melalui
oleh banyak ahli sebagai penjelas penting man- diskusi tentang kegagalan koordinasi ataupun
deknya, bahkan terjadinya kemunduran yang egoisme sektoral yang lebih bersifat tekno-
diistilahkan sebagai democracy held-back dalam kratis sebagai persoalan serius dalam penge-
perkembangan demokrasi. 3 Olle Törnquist, lolaan pemerintahan di Indonesia.7 Sekalipun
misalnya, mengargumentasikan persoalan di
sekitar representasi ataupun kegagalan dalam 5
Gianpaolo Baiocchi dan Patrick Heller, “Repre-
membangun blok politik sebagai induk dari
4
sentation by Design? Variations on Participatory
kesulitan membangun demokrasi di Indonesia. Reforms in Brazilian Municipios”, hal 119-140;
Törnquist tidak seorang diri. Representasi Olle Törnquist, PK Michael Tharakan (dengan
Jos Chatukulam), dan Nathan Quimpo, “Popular
Politics of Representation: New Lessons from the
1
Lihat, Kay Lawson, Political Parties and Linkage: Pioneering Projects in Indonesia, Kerala, and
A Comparative Perspective (New Haven: Yale the Philippines”, hal 197-222, dalam Törnquist,
University, 1980); Kay Lawson, “When Linkage Webster, dan Stokke (eds.), Rethinking Popular...
Fails”, dalam Kay Lawson dan Peter H Merkl 6
Willy Purna Samadhi, “Optimalisasi Kapasitas
(eds.), When Parties Fail: Emerging Alternative Politik Aktor Demokrasi Melalui Pengembangan
Organization (Princeton: Princeton University Blok Politik Kesejahteraan”, Tesis, Universitas
Press, 1988), hal.13-38; Larry J Diamond dan Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015.
Richard Gunter (eds.), Political Parties and Demo- 7
Di Indonesia, forum kerja sama antar-daerah ber-
cracy (Baltimore: The John Hopkins University basis regional dan sektoral berkembang cukup
Press, 2001); Russell J Dalton, David M Farrell, pesat, di antaranya Subosuko Wonosraten yang
dan Ian McAllister, Political Parties & Democratic merupakan kerja sama antara Surakarta, Boyo-
Linkage: How Parties Organize Democracy (Oxford: lali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen,
Oxford University Press, 2013). Klaten; Sekber Pawonsari merupakan kerja sa-
2
Cornelis Lay, “Democratic Transition in Local ma tiga kabupaten, yaitu Pacitan Wonogiri, dan
Indonesia: An Overview of Ten Years of Demo- Wonosari; Java Promo yang merupakan kerja
cracy”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sama sektor pariwisata 13 kabupaten/kota di
Vol. 15, No. 3, 2012, hal. 207-219; Cornelis Lay, Jawa Tengah dan DIY; Barlingmascakeb yang
“Tautan Politik (Political Linkages) Organisasi mencakup Banjarnegara, Purbalingga, Banyu-
Masyarakat Sipil dan Parlemen di Indonesia: mas, Cilacap, Kebumen; dan Kartamantul yang
Studi Kasus Tautan Politik dalam Pembuatan meliputi Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Ada-
UU Pornografi, UU Pemerintahan Aceh, dan UU nya forum-forum kerja sama regional itu tidak
Pertahanan Negara”, Disertasi Doktoral, Unive- diiringi dengan koordinasi yang terpadu dan
rsitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2015. masih kuatnya ego sektoral yang tampak dengan
3
Olle Törnquist, “Indonesia’s Held-Back Demo- masih adanya kendala mekanisme kerja yang
cracy and Beyond: Introduction and Executive belum jelas, pendanaan, sistem pendukung yang
Briefing”, dalam Willy Purna Samadhi dan lemah, serta kerangka regulasi yang belum jelas;
Nicolaas Warrow (eds.), Building Democracy on lihat, Pratikno et al., “Penguatan Kapasitas Ke-
the Sand (Jakarta: Demos, 2009), hal. 1-37. lembagaan Kerja Sama Kartamantul”, Laporan
4
Lihat, Olle Törnquist, Neil Webster, dan Kristian akhir penelitian, Sekber Karrtamantul dan GTZ
Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation Urban Quality, 2004; Tim Peneliti S2 PLOD,
(Palgrave Macmillan, 2009). “Asosiasi Antar Daerah dalam Tata Pemrintahan

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 85

dengan label berbeda-beda, semua studi di atas tautan politik yang melibatkan ketiganya, yakni
merujuk pada situasi yang sama: kealpaan atau kelompok pengrajin batik, politisi, dan aktivis
kesulitan dalam membangun tautan politik di OMS (civil society organization, CSOs). Ba-
antara lembaga-lembaga (demokrasi) dengan gaimana tautan politik terbentuk dan siapa yang
rakyat dan di antara sesama lembaga demokrasi menginisiasinya, serta apa implikasinya bagi
yang berada di arena yang sama (misalnya, demokrasi.
arena civil society) ataupun arena yang berbeda- Pemilihan aktivitas terkait kerajinan batik
beda (economic society, political society, dan civil dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai,
society) sebagai tantangan politik serius bagi pertama, proxy indicator dari “mode of economic
banyak negara. governance.” Hal itu juga dituntun oleh hasil
Pada riset kedua, tahun 2016, yang disiap- Survei PWD tahun 2013 yang melibatkan 592
kan untuk menjadi bagian dari edisi khusus aktivis di 30 kabupaten/kota termasuk Daerah
jurnal Prisma ini, peneliti memperluas objek Khusus Ibu Kota Jakarta dan Daerah Istimewa
riset dengan menyertakan OMS. Penambahan Yogyakarta yang dijadikan informan karena
aktor OMS itu dilatarbelakangi oleh baseline memiliki pengetahuan yang memadai atas
survey Development of Democracy yang meru- daerah masing-masing. Menurut baseline survey
pakan bagian dari proyek penelitian Power, PWD 2013, mode of economic governance
Welfare, and Democracy (PWD) tahun 2013, merupakan isu publik urutan kedua terpenting
sebuah survei elite yang merupakan kolaborasi setelah pelayanan publik yang membutuhkan
8
Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), perhatian serius.
Fisipol UGM dengan Universitas Oslo (UiO) Kedua, aktivitas ekonomi di sekitar sektor
dengan dukungan Kedutaan Norwegia. Menu- batik dijadikan sebagai perwakilan dari aktivitas
rut baseline survey PWD 2013, aktivis OMS sektor informal yang di satu sisi menunjukkan
merupakan aktor yang paling aktif dalam men- daya tahan (resilience) sangat luar biasa dalam
dorong isu-isu terkait urusan publik (50,5%). menghadapi krisis9, dan di sisi lain mewakili
Karena itu, penyertaan OMS ke dalam riset ini corak ekonomi dari rakyat kebanyakan dengan
menjadi penting. tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi,
Setelah lebih dari lima tahun berselang dan terutama di kalangan perempuan. Di samping
setelah masuknya batik sebagai bagian dari itu, sektor ekonomi tersebut menunjukkan ke-
warisan budaya dunia, berikut ditetapkannya cenderungan peningkatan dari waktu ke waktu.
Yogyakarta sebagai kota batik dunia, serta Data Kementerian Perindustrian menyebutkan
semakin krusialnya pembangunan ekonomi bahwa jumlah unit usaha industri batik di Indo-
sebagai masalah publik yang harus disele- nesia pada 2012 mencapai 48.300 unit usaha
saikan, penelitian yang kedua itu hendak me- kecil dan menengah serta 17 unit usaha skala
lihat adakah tautan politik yang terbentuk an-
tara kelompok pengrajin batik dengan (politisi)
parlemen dan dengan (aktor) OMS, serta
8
Isu pelayanan publik berada di peringkat
pertama isu kesejahteraan (55 persen dari 592
informan), disusul pembangunan ekonomi
(28,1%), dan di peringkat ketiga isu hak
Indonesia”, Laporan akhir, Program S2 Politik kewarganegaraan (4,56%); lihat, “Baseline
Lokal dan Otonomi Daerah, UGM bekerja sama Survey on Development of Democracy, Data
dengan BRIDGE-Bappenas-UNDP, 2005; Tim Compilation” (Yogyakarta: Universitas Gadjah
Peneliti S2 PLOD, “Model Kerjasama Antar Mada dan University of Oslo, 2013) hal 15-16.
Daerah”, Laporan akhir, Program S2 Politik Lo- 9
Bevaola Kusumasari, “Women Adaptive Capacity
kal dan Otonomi Daerah, UGM dan Asosiasi in Post Disaster Recovery in Indonesia”, dalam
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia-APEKSI, Asian Social Science, Vol. 11, No. 12, 2015, hal.
2006. 281-289.

A R T I K E L
86 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

besar dengan penyerapan tenaga kerja seba- ekspor batik DIY juga mengalami lonjakan.
nyak 797.351 orang, nilai produksi 3.141 triliun Pada 2014, jumlahnya mencapai 6,5 juta dolar
10
rupiah, dan total ekspor 110 juta dolar AS. Data AS atau 95,8 miliar rupiah, naik dua kali lipat
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi pada 2015 menjadi 11,6 juta dolar AS, dengan
dan UKM Provinsi DIY menunjukkan pertum- tujuan ekspor meliputi Jerman, Jepang, Belan-
14
buhan pesat jumlah Industri Kecil Menengah da, dan Thailand.
(IKM) batik.11 Pada 2015, IKM batik berjumlah Ketiga, lebih dari sekadar proxy ekonomi
8.000 yang tersebar di lima kabupaten/kota, informal, batik telah diakui secara internasional
meningkat hampir tiga kali lipat dibanding melalui penetapannya oleh United Nations
tahun 2013 yang hanya berjumlah 3.000.12 Rata- Educational, Scientific and Cultural Organizat-
rata IKM batik mampu memproduksi 20 meter ion (Unesco) pada 2009 ke dalam daftar warisan
kain per hari dengan mematok harga mulai 500 budaya dunia sebagai masterpiece of oral and
ribu rupiah per lembar untuk batik tulis dan intangible cultural heritage of humanity. Bagi
13
mulai 150 ribu rupiah untuk batik cap. Nilai masyarakat Yogyakarta, posisi batik semakin
istimewa karena Yogyakarta merupakan salah
satu rumah tradisional penting batik di luar Solo
10
“Rencana Strategis 2015-2019 Balai Besar
Kerajinan dan Batik, Kementerian Perindus- dan Pekalongan. Sedemikian eratnya masya-
trian”, dalam http://203.190.113.26/file_lam- rakat Yogyakarta dengan dunia batik menjadi-
piran/media/Renstra_BBKB_2015-2019.pdf kan Yogyakarta sejak 2014 mendapatkan status
(diakses 15 September 2016). sebagai Kota Batik Dunia dari World Craft
11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Council.
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mendefi-
nisikan Industri kecil sebagai kegiatan ekonomi Keempat, di balik potensi batik sebagai
produktif yang dilakukan oleh orang perorangan kekuatan ekonomi rakyat yang menjanjikan dan
atau badan usaha yang bukan merupakan anak reputasi internasional yang telah ditorehnya,
perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang sebagaimana telah dibahas secara ringkas,
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik sederetan persoalan klasik masih dihadapi
langsung maupun tidak langsung dari Usaha
sektor ini. Masa depan batik dihadapkan pada
Menengah dan Usaha Besar yang memiliki
kekayaan lebih dari Rp 50.000.000,00 sampai tantangan serius dalam hal permodalan, pema-
15
dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 tidak saran, dan regenerasi. Bahkan, ketiga tan-
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, tangan itu jauh lebih serius. Status sebagai Kota
atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Batik Dunia oleh World Craft Council yang
Rp 300.000.000,00 sampai dengan paling banyak
berlaku 4 tahun hingga tahun 2018 terancam
Rp 2.500.000.000,00. Definisi itu berbeda dengan 16
definisi industri kecil versi Badan Pusat Statistik dicabut karena masalah regenerasi.
yang mengklasifikasi industri kecil berdasarkan
jumlah tenaga kerja. Industri rumah tangga jika 14
Ujang Hasanudin, “Ekspor Batik Naik, Tan-
mempekerjakan 3 orang, industri kecil mempe- tangan Ikut Meningkat”, dalam http://harian-
kejakan 5-19 orang, industri sedang mempe- jogja.bisnis.com/read/20151003/1/5104/ekspor-
kerjakan 20-99 orang, dan industri besar jika batik-naik-tantangan-ikut-meningkat (diakses
mempekerjakan lebih dari 100 orang. 16 September 2016).
12
Peningkatan itu tampaknya terkait dengan 15
Lihat, “Batik Masih Pasang Surut: Kemasan dan
ditetapkan batik oleh United Nations Educational, Pemasaran Belum Maksimal”, dalam Kompas, 6
Scientific and Cultural Organization (Unesco) Oktober 2016.
dalam daftar warisan budaya dunia pada 2009. 16
Pito Agustin Rudiana, “Status Yogyakarta Jadi
13
Lukman Hakim, “DIY Dorong Perajin Batik Kota Batik Dunia Terancam Dicabut”, dalam
Tingkatkan Daya Saing”, dalam http://jogja. https://m.tempo.co/read/news/2015/09/30/
antaranews.com/berita/338469/diy-dorong- 058705209/status-yogyakarta-jadi-kota-batik-
perajin-batik-tingkatkan-daya-saing (diakses 16 dunia-terancam-dicabut (diakses 16 September
September 2016). 2016).

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 87

Jika keseluruhan situasi seperti digambar- narasumber aktor pengambil kebijakan dila-
kan di atas dikaitkan dengan kepedulian pokok kukan dengan partai politik dan parlemen.
yang diungkapkan narasumber baseline survey Secara spesifik, di samping wawancara dengan
PWD, aktivitas ekonomi di sekitar batik mesti- Ketua DPRD DIY, narasumber parlemen, yakni
nya menjadi titik penting yang bisa menghu- Komisi B DPRD DIY karena komisi ini mem-
bungkan OMS dan parlemen. Sektor tersebut bidangi, di antaranya, perekonomian, perindus-
bisa menjadi titik masuk strategis bagi palemen trian, perdagangan, koperasi, seni, kebudayaan,
dan OMS untuk mewujudkan mimpi menjadi- dan pariwisata. Wawancara lapangan dilakukan
kan demokrasi sebagai instrumen pencapaian antara 5-21 September 2016.
kesejahteraan masyarakat. Hal demikian terkait Artikel ini disusun dalam empat bagian.
dengan kenyataan, di tengah-tengah derasnya Pertama adalah pengantar yang menjelaskan
arus pilihan atas demokrasi sebagai jalan politik latar belakang riset, rumusan pertanyaan yang
bagi semakin banyak negara di dunia, demo- hendak dijawab, serta desain riset. Bagian
krasi menghadapi kritik keras terkait kega- kedua, ekonomi-politik batik dan pengorgani-
galannya dalam “menghasilkan” kesejahteraan sasian pengrajin batik terdiri dari dua sub-bab,
tidak kecuali di Indonesia.17 Itulah yang menjadi yaitu sejarah ekonomi-politik batik dan kon-
sentral pergulatan artikel ini. sekuensi model ekonomi batik. Bagian ketiga
Dari sudut metodologi, identifikasi atas menguraikan potret konstituen bersegmentasi
OMS yang bekerja mendampingi kelompok batik. Bagian keempat, mendeskripsikan hasil-
pengrajin batik dilakukan melalui wawancara hasil temuan. Bagian akhir berisi kesimpulan.
dengan kelompok Sekar Nitik di Kembang-
songo dan kelompok pengrajin batik tulis Giri- Ekonomi Politik Batik dan
loyo. Kedua daerah yang berada di Kabupaten Pengorganisasian Pengrajin
Bantul itu merupakan area penelitian tahun Batik
2009. Dusun Kembangsongo yang berada di
Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, terkenal de- Penelitian 2009 mengungkapkan, kerajinan
ngan ciri khas motif nitik. Dua kelompok peng- batik merupakan bagian integral dari aktivitas
rajin batik tulis Giriloyo di Desa Wukirsari, budi daya masyarakat petani, khususnya kaum
Kecamatan Imogiri, yang diwawancara adalah perempuan. Keterampilan membatik pada awal-
kelompok Berkah Lestari dan Sidomulyo; nya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
keduanya tergabung dalam Paguyuban Batik “batin” petani Jawa dan bagian dari kreasi buda-
Tulis Giriloyo. Dari wawancara dengan nara- ya, bukan sebagai komoditas untuk memenuhi
sumber, teridentifikasi tiga OMS yang pernah kebutuhan pasar. Pergeseran aktivitas mem-
atau masih melakukan kerja pendampingan batik menjadi bagian dari aktivitas ekonomi
pengrajin batik, yaitu Institute for Research and komersial mulai terjadi ketika kekuatan ekonomi-
Empowerment (IRE Yogyakarta), Dompet politik global yang direpresentasikan oleh ke-
Dhuafa, dan Sekar Jagad. Wawancara dengan kuatan kolonial memasuki wilayah perdesaan.
Komodifikasi batik diawali dengan masuknya
kain mori yang menjadi bahan baku batik sebagai
17
Lihat, Amalinda Savirani dan Olle Törnquist (eds.), bagian integral dari sistem ekonomi kolonial.
Reclaiming the State: Overcoming Problems of Kain mori menjadi komoditas yang dimonopoli
Democracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogyakar- oleh semua kekuatan kolonial mulai dari Inggris,
ta: Penerbit PolGov kerja sama dengan PCD Press,
India, Jepang, Cina di sepanjang periode mulai
2015); Caroline Paskarina, Mariatul Asiah, dan
Otto Gusti Madung(eds.), Berebut Kontrol atas dari VOC hingga kolonial Hindia-Belanda.
Kesejahteraan: Kasus-Kasus Politisasi Demokrasi di Kain mori bukan sekadar komoditas eko-
Tingkat Lokal (Yogyakarta: PolGov, 2015). nomi, namun juga arena kontestasi kekuasaan

A R T I K E L
88 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

petani Jawa produsen batik dengan kekuatan kembangan teknologi mengakibatkan adanya
ekonomi dari luar seperti yang tergambar me- proses pencanggihan dalam teknik membatik.
lalui sengketa politik dan proses pembentukan Selain hal-hal di atas, perkembangan batik
komonitas di Jawa Tengah. Proses awal peng- juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
organisasian politik Indonesia menemukan Pada masa keemasan batik tahun 1950-an dan
“perebutan” kain mori sebagai salah satu energi 1960-an, model pengelolaan ekonomi Indonesia
pentingnya. Lahirnya Sarekat Dagang Islam, bertumpu pada negara. Negara mengeluarkan
misalnya, merupakan akibat logis dari perta- kebijakan satu pintu dalam pengadaan kain mori
rungan antara pengusaha batik pribumi dan dan menjadikan Gabungan Koperasi Batik
Tionghoa dalam mengontrol alur perdagangan Indonesia (GKBI) sebagai pemegang monopoli.
18
kain mori. Kebijakan pemerintah Orde Baru berupa substi-
Kain mori mampu mempertahankan sen- tusi impor membuat kain mori mudah masuk ke
tralitas sebagai arena utama kontestasi politik Indonesia, sehingga memukul eksistensi kope-
hingga tahun 1967. Namun, kondisi itu tidak rasi batik.
tampak lagi pada komunitas pembatik di Bantul. Dalam konteks Yogyakarta, kejayaan batik
Batik kehilangan dayanya sebagai kekuatan tumbuh di kawasan Prawirotaman, Kauman, dan
pokok bagi pengorganisasian masyarakat yang Kadipaten, dengan sentra produksi berpusat di
berwatak politis. Pergeseran politik global kawasan Imogiri, Wedel, Mangiran, dan Pandak.
membawa implikasi terhadap perkembangan Kemunculan batik di sekitar Imogiri karena
batik dengan hadirnya balatentara pendudukan banyak abdi dalem yang bermukim di wilayah
Jepang yang mentransformasi watak ekonomi- ini menjadi “penghubung” antara keraton dan
politik batik di Jawa. Kain mori diintegrasikan petani. Batik menjadi instrumen keraton untuk
sebagai bagian dari sistem ekonomi perang, menjangkau para petani sebagai kawula ke-
menyebabkan kemerosotan fungsi mediasi raton. Hal itu ditunjukkan dengan persembahan
batik dan kemerosotan produksi batik. Namun batik terbaik kepada keraton. Saat ini, hampir
demikian, kondisi itu memunculkan kreasi baru 70 persen pengrajin batik di DIY berasal dari
20
yang mendorong ke arah diversifikasi motif Kabupaten Bantul.
batik, misalnya, muncul motif batik isuk sore Ikatan yang kuat antara keraton dan pem-
(pagi sore). batik juga melekat pada masyarakat di Dusun
Pasang surut perbatikan juga ditentukan Kembangsongo. Dusun itu merupakan basis
oleh pasang surut budi daya tanaman kapas. batik dengan motif nitik yang terdiri 150 jenis
Soeri Soeroto mencatat terjadinya malaise yang motif. Motif nitik awalnya berasal dari Gujarat
ditandai oleh krisis lingkungan yang membawa yang terinspirasi dari motif Patola. Dari pantai
kemarau panjang yang menyulitkan petani utara Jawa, motif itu mulai menyebar ke bebe-
19
Jawa. Kondisi tersebut mendorong petani rapa daerah. Di lingkungan keraton Yogyakarta
membudidayakan kapas, dan kemudian me- motif nitik mulai dikenal pada tahun 1940-an.
munculkan aktivitas tenun dan perbatikan di Sesepuh Dusun Kembangsongo yang bekerja
sepanjang Grobogan hingga Tuban. Faktor lain sebagai pembatik di lingkungan keraton kemu-
yang menentukan pasang surut batik adalah dian mengajarkan kemampuan itu kepada ma-
pergeseran dan perkembangan teknologi. Per- syarakat dusun.

18
Lihat, Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: 20
Antara, “Perajin Bantul Dominasi Kerajinan
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Batik DIY”, dalam http://www.sinarharapan.co/
Pustaka Utama Grafiti, 1997). news/read/140826002/perajin-bantul-dominasi-
19
Lihat, Soeri Soeroto, “Sejarah Kerajinan di Indo- kerajinan-batik-diy-, 26 Agustus 2014 (diakses
nesia”, dalam Prisma, No. 8, Agustus 1983. 16 September 2016).

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 89

Pasca-1967, batik memasuki fase baru yang disintegrasi kelembagaan ke dalam satuan
disebut kawasan mode atau fashion (gaya/ teritorial yang semakin sempit mengikuti pe-
corak berpakaian). Penggunaan batik mulai ngembangan corak batik di sisi lain. Meskipun
meluas dan mampu menjadi bagian integral dari satuan terorganisasi berbasis teritorial yang
politik dan identitas negara. Perkembangan secara imajiner ditentukan oleh pilihan corak
tersebut mencapai fase sebagai bagian dari batik, para pengrajin batik terhubung melalui
mode terus berlanjut hingga kini. Munculnya jaringan imajiner dari satu kelompok ke kelom-
Iwan Tirta, Nian S. Jumena, Ardiyanto, mewaki- pok lain. Pengrajin batik juga mengalami inte-
li sejumlah nama yang mengintegrasikan batik grasi ke dalam hierarki mata rantai ekonomi
ke dalam dunia mode modern. Sementara itu, dari hulu (produsen) hingga hilir (konsumen).
di tingkat lokal Yogyakarta dikenal nama Penelitian 2009 juga menemukan bahwa ber-
Koeswadji, Soelardjo, Sumihardjo, dan Amri tahannya eksistensi kelembagaan pembatik
Yahya. berbasis kesamaan corak batik yang dihasilkan
Pada era Orde Baru, batik bukan hanya secara koinsiden bertumpang-tindih dengan
mengalami masifikasi dalam hal produksi, tetapi wilayah tertentu. Batik tertentu menjadi ciri
fungsi batik juga mengalami pergeseran. Batik khas dari sentra produksi tertentu, seperti
digunakan sebagai identitas rezim. Ibu Tien Dusun Kembang Songo dengan ciri khas motif
21
Soeharto sebagai Ibu Negara memperkenalkan nitik , batik Giriloyo di Desa Wukirsari dengan
motif batik “Wonogiren” (Wonogiri), daerah motif lunglungan (corak lengkung).
asal Ibu Tien. Hal tersebut mengakibatkan para Akibat lebih lanjut, kesatuan organisasi
pemakai batik motif itu secara cepat diiden- pembatik yang berskala kecil tidak berada
tifikasi sebagai representasi lingkaran inti dalam skala prioritas para politisi dan partai
kepresidenan. politik. Pola pengorganisasian seperti itu ber-
Namun, memasuki tahun 1970, dunia per- seberangan dengan logika politik elektoral yang
batikan mengalami kemerosotan akibat peru- mengagungkan kuantitas besar yang memusat
bahan teknologi dan masuknya ekonomi Indo- (mass-based politics) sebagai insentif utama.
nesia ke sistem ekonomi pasar. Perubahan Akibatnya, tidak ada pola relasi yang stabil
watak itu ditandai dengan terjadinya proses antara politisi dan pembatik; tidak pernah ter-
masifikasi produk batik dengan munculnya bentuk tautan politik di antara keduanya. Hu-
teknologi printing yang menghasilkan batik bungan yang terbentuk terjadi dengan agensi di
cetak. Teknologi itu menjadi “pembunuh nomor luar agensi politik dan didominasi oleh pola
satu” batik tradisional yang berbasis industri hubungan bersifat ekonomi antara produsen,
rumahan. Hadirnya batik yang diproduksi mas- penjual, dan konsumen. Kondisi itu juga me-
sal yang dipelopori Danar Hadi dan Keris di nguak rendahnya akses pembatik, baik sebagai
Solo diikuti munculnya industri sandang dalam individu maupun sebagai satu kesatuan kelas,
skala lebih massal, seperti Damatex di Salatiga, lemahnya atau hampir tidak terbentuk linkage
yang mengakhiri masa keemasan batik. Sejak antara demos dan parlemen sebagai arena
tahun 1990-an, gairah produksi di kalangan
pembatik tradisional mengalami penurunan. 21
Motif nitik merupakan motif yang terdiri dari
Latar belakang sejarah di atas merupakan unsur titik-titik besar dan kecil yang memben-
penjelas penting dari memudarnya signifikansi tuk suatu pola geometris, bunga, daun sulur,
politik komunitas pembatik tradisional. dan garis-garis panjang. Kekhasan motif nitik
terletak pada penggunaan canting cawang yang
Watak ekonomi-politik batik, sebagaimana
ujungnya terbelah menjadi empat bagian; lihat,
telah digambarkan, mengakibatkan pengrajin I Made Sukanadi et al., “Studi dan Penciptaan
batik mengalami proses pengorganisasian yang Motif Nitik di Sentra Batik Kembangsongo”, da-
panjang di satu sisi dan mengalami proses lam Jurnal Riset Daerah, Vol XII, No 3, hal 47-65.

A R T I K E L
90 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

pengambilan keputusan, serta masih adanya puan dalam industri kerajinan batik sebagai-
problematik representasi di Yogyakarta. Hu- mana diindikasikan di atas. Segmentasi peng-
bungan-hubungan ke wilayah politik justru di- rajin batik yang cukup kecil, yang sepenuhnya
bentuk oleh faktor di luar posisi mereka sebagai melibatkan perempuan dengan pola kantong
kelas ekonomi tersendiri dan dihubungkan ke dalam komunitas kecil, dengan basis kegiatan
wilayah yang bersifat non-politis. ekonomi rumah tangga sering kali dianggap
sebagai hal remeh-temeh oleh para politisi,
termasuk politisi perempuan. Ia menjadi objek
Potret Konstituen
yang sangat rapuh dari pengabaian atau bahkan
Bersegmentasi Batik
eksklusi politik justru karena ukuran dan faktor
Dilihat dari sudut pengorganisasian ber- perempuannya. Penelitian 2009 menemukan
basis produksi, industri batik tulis di Yogyakarta bahwa pengrajin yang tersebar di beberapa
lebih bercorak industri rumahan skala kecil. kawasan di Kecamatan Imogiri, Bantul, me-
Karakter industri batik tulis Yogyakarta berbeda ngaku besarnya apresiasi terhadap mereka
dengan daerah lain seperti Pekalongan, misal- lebih diberikan oleh kalangan NGO, Asosiasi
nya.22 Batik tulis di Yogyakarta memiliki karak- Pecinta Batik Sekar Jagad, universitas melalui
ter rumahan, skala kecil, tidak terkonsolidasi beberapa pusat studi, akademisi, dan peme-
dalam skala pabrikan, serta hidup dalam komu- rintah daerah dalam kerangka program-program
nitas kecil dalam unit dusun dan desa. Karena pasca-gempa. Kelompok itu menjadi agen pen-
itu, berbeda dengan di Pekalongan, misalnya, ting yang membangun tautan politik dengan
tempat batik yang justru menjadi fondasi pen- komunitas batik. Namun, tidak dengan partai
ting dari politik lokal, bahkan mampu memeli- politik dan politisi, termasuk anggota dewan
23
hara keberlanjutan hidup sebuah dinasti , di yang praktis tidak membangun relasi secara
Yogyakarta batik tidak memiliki nilai politik politis bahkan sosial dengan pengrajin batik.
yang signifikan. Pada awalnya, batik tulis adalah Hasil penelitian tahun 2009 menunjukkan ham-
kegiatan budi daya sekunder bahkan tersier pir tidak ada perhatian dari kalangan politisi,
dibandingkan kegiatan pertanian di Yogyakarta. termasuk perempuan politisi kepada pengrajin
Membatik hanya dilakukan di sela-sela waktu batik. Anggota parlemen dari DPRD Bantul
senggang para perempuan petani. Karena itu, yang berangkat dari Dapil Bantul 4 yang meli-
sekali lagi, berbeda dengan Pekalongan, misal- puti kawasan Pleret, Imogiri, Piyungan, dan
nya, dari sudut ekonomi, batik di Yogyakarta Dlingo maupun anggota DPRD Provinsi DIY
juga bukan merupakan kekuatan ekonomi po- dari dapil Bantul mengaku, mereka tidak melirik
kok masyarakat. segmentasi khusus semacam pengrajin batik.
Di luar isu politik dan ekonomi, menarik Komunitas pembatik menjadi kekuatan
untuk membaca secara khusus peran perem- non-artikulatif yang tidak penting secara politik
di mata para politisi. Secara indikatif, kecende-
rungan tersebut terkait dengan tiga hal: per-
22
Untuk karakter industri batik Pekalongan serta
perspektif ekonomi-politik batik Pekalongan;
tama, skala pengorganisasiannya kecil dan
lihat Amalinda Savirani, “Business and Politics terkotak-kotak sehingga tidak menjanjikan
in Provincial Indonesia: The Batik and Cons- dukungan politik memadai yang diperlukan
truction Sector in Pekalongan, Central Java”, dalam pemilu. Kedua, kecenderungan kuat di
Disertasi PhD, University of Amsterdam, Negeri kalangan politisi yang menempatkan demos
Belanda, 2015.
dalam sistem kategori ideologi tunggal tanpa
23
Amalinda Savirani, “Survival against the Odds:
The Djunaid Family of Pekalongan, Central diferensiasi—sebagai rakyat, sebagai wong
Java”, dalam South East Asia Research, Vol. 24, cilik, sebagai pemilih, konstituen—sehingga
No. 3, 2016, hal. 407-419. komunitas batik hanya ditempatkan sebagai

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 91

salah satu kemungkinan kategori tunggal di organisasi dalam wajah sebagai “kelompok.”
atas. Ketiga, “suara” komunitas pembatik se- Jika pada masa sebelum gempa para pembatik
demikian tersamar, gagal melahirkan hiruk- tidak teroganisasi dengan baik, pasca-gempa
pikuk politik yang dapat memaksa politisi mulai terbentuk kelompok-kelompok pengrajin
memperhatikan mereka. batik. Di Dusun Kembangsongo yang terdiri
Perhatian terhadapi komunitas pembatik dari 15 rukun tetangga terdapat tiga kelompok
secara sosial-politik justru ditentukan oleh pe- pembatik, yaitu Sekar Nitik, Sekar Sari, dan
ristiwa lain, bukan sebagai akibat dari status Batik Trimulyo. Sekar Nitik dan Sekar Sari
mereka sebagai kelas pekerja. Dalam kasus merupakan kelompok dengan spesialisasi batik
komunitas batik di Bantul, peristiwa non-politis tulis, sedangkan Batik Trimulyo memproduksi
adalah bencana gempa 2006 yang meluluh- batik cetak. Pada awal berdiri, Sekar Nitik
lantakkan kawasan ini. Pengakuan Mbak beranggotakan 50 orang. Namun, saat ini,
Aminah dari kelompok Sekar Nitik meng- jumlah itu menyusut menjadi 15 orang karena
ungkapkan bahwa perhatian pengrajin batik sa- ada anggota yang meninggal dunia atau me-
ngat tinggi setelah terjadinya gempa tahun mutuskan keluar dari kelompok. Ibu Aminah,
2006. Pasca-gempa, perhatian dari pemerintah misalnya, menuturkan kelompok Sekar Nitik
ke kelompok Sekar Nitik ditunjukkan dengan sulit berkembang, stagnan karena kendala
kehadiran Ibu Ida Idham Samawi, istri bupati pemasaran dan lemahnya kapasitas kepemim-
Bantul saat itu. Dia datang berkunjung atas pinan dalam kelompok. Pertemuan kelompok
undangan Bapak Daud Wirjo, seorang pedagang masih dilakukan setidaknya sebulan sekali
batik yang bersinggungan dengan komunitas untuk musyawarah jika ada pesanan atau jika
itu. Dalam kunjungan tersebut, istri Bupati ada acara. 24
menawarkan pinjaman modal sebesar 40 juta Di Wukirsari, kelompok-kelompok peng-
rupiah kepada kelompok Sekar Nitik. Namun, rajin bahkan terkonsolidasi pada aras desa.
kelompok itu memutuskan untuk tidak mene- Mereka tergabung dalam Paguyuban Batik
25
rima bantuan. Mereka menilai bantuan itu akan Tulis Giriloyo dengan struktur kepengurusan
membebani pengrajin batik di kemudian hari, yang aktif dan kesepakatan aturan main, mi-
karena adanya kewajiban untuk mengembali- salnya, mengenai persentase hasil penjualan
kan. Bantuan juga datang dari Paguyuban Pe- batik tulis yang dipajang di workshop pagu-
cinta Batik Sekar Jagad yang dipelopori Ibu yuban. Jumlah anggota di setiap kelompok
Larasati Suliantoro dengan usaha membangkit- beragam: 20, 30, 50, bahkan 80. Karakter
kan batik sebagai salah satu terapi bagi pe- keanggotaan kelompok di paguyuban itu lintas
rempuan korban gempa. dusun dan bersifat cair. Pembatik di kelompok
Kalangan akademisi atau universitas juga Sukamaju, misalnya, bisa mengerjakan batik
26
melakukan pendampingan ke Sekar Nitik. dari kelompok lain, dan lintas dusun.
Pada 2007, Universitas Gadjah Mada melalui
pusat studi seperti Pusat Inovasi Agrotek-
nologi memberikan hibah modal sebagai ben- 24
Wawancara dengan Ibu Aminah, Kembang-
tuk stimulan bagi kelompok Sekar Nitik yang songo, 5 September 2016.
baru terbentuk dan program Kuliah Kerja 25
Kelompok pengrajin batik yang bergabung
Nyata (KKN). Pada 2013, Institut Seni Indo- dalam Paguyuban Batik Tulis Giriloyo, yaitu
nesia (ISI) Yogyakarta melakukan pendam- Sidomulyo, Sekar Arum, Sekar Kedaton,
Sukamaju, Giri Indah, Sidomukti, Sri Kuncoro,
pingan sekaligus penelitian pengembangan
Berkah Lestari, Sari Sumekar, Sungsang
penciptaan desain nitik. Tumpuk, dan Bimasakti.
Gempa juga menjadi momentum konso- 26
Wawancara dengan Mbak Nurjanah, Wukirsari,
lidasi pengrajin batik untuk membentuk 5 September 2016.

A R T I K E L
92 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Tautan Politik Batik Ditinjau 60 juta rupiah ke kelompok Suka Maju guna
Ulang menopang aktivitas yang mereka rancang.
Pada aras desa, IRE mendorong kelompok
IRE memulai kerja pendampingan kelom- pembatik dan pemerintah desa melakukan
pok pengrajin batik Giriloyo pasca-gempa tahun penguatan kelembagaan melalui beberapa stra-
2006. Jauh sebelumnya, IRE telah menjalin dan tegi. Pertama, penataan sistem kebijakan peme-
mempunyai relasi yang baik dengan peme- rintah desa untuk desa wisata batik. Kedua,
rintah Desa Wukirsari. Salah satu aktivitas IRE penataan kelembagaan dengan mendorong
di desa itu adalah penelitian mengenai indus- lahirnya Paguyuban Batik Tulis Giriloyo. Ketiga,
trialisasi desa yang diikuti oleh aktivitas pendam- penataan kapasitas melalui pelatihan pengelo-
pingan. Pendampingan dimaksudkan untuk laan desa wisata. Hasil pendampingan IRE yang
melakukan penguatan pada dua aras: kelompok paling tampak secara fisik adalah bangunan
batik dan desa. Pendampingan pada aras kelom- joglo dan gazebo sebagai arena workshop Pagu-
pok pengrajin batik dilakukan pada 2007-2008 yuban Batik Tulis Giriloyo yang berdiri di tanah
di kelompok Suka Maju yang anggotanya bera- kas Desa Wukirsari. Workshop tersebut selain
sal dari tiga dusun, yaitu Cengkehan, Giriloyo, berfungsi sebagai ruang pamer, juga sebagai
dan Karang Kulon. Pada tahap persiapan, hasil tempat menerima tamu dari beragam kalangan
participatory need assessment yang dilakukan serta berfungsi menyelenggarakan kelas bagi
IRE bersama pengrajin batik menunjukkan ada pelatihan membatik. Selama melakukan pen-
kebutuhan untuk mengembangkan kapasitas dampingan, IRE tidak menjalin kerja sama
perempuan pengrajin batik. Hasil assessment dengan OMS lain, dinas pemerintah, ataupun
menunjukkan bahwa yang diperoleh pembatik anggota DPRD dan partai politik. IRE lebih
dari pembuatan pola dan mencanting tidak concern pada penguatan kelembagaan desa;
sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah desa yang didorong untuk aktif
untuk membeli kain mori, minyak tanah, dan mengambil inisiatif dalam melakukan kerja
28
canting. Ketidakmampuan pengrajin mewarnai, sama dengan berbagai pihak. Dengan demi-
mengakibatkan mereka harus menjual hasil kian, tautan politik, baik antar sesama OMS
setengah jadi batik kepada pengepul. Akibat- maupun antara OMS dengan lembaga-lembaga
nya, kelompok itulah yang menjadi penikmat demokrasi di ranah political society, praktis
terbesar dari hasil kerja pengrajin. Pengrajin tidak terbentuk.
mengalami kerugian berlipat ganda karena Jika jangkauan pendampingan IRE lebih ke
tidak pernah menjual hasil akhir produksi, tidak kelembagaan pada aras desa, Dompet Dhuafa
pernah melihat hasil akhir batik, serta bergan- dalam kerja pendampingan pengrajin batik tulis
tung pada pengepul untuk pemasarannya. De- Giriloyo berada pada aras kelompok. Lembaga
ngan latar belakang tersebut, IRE merancang filantropi itu mendampingi satu kelompok peng-
tiga prioritas kegiatan, yaitu memperkuat kapa- rajin batik, yaitu Berkah Lestari di Dusun
sitas produksi dengan meningkatkan keahlian Karangkulon. Dompet Dhuafa mulai mendam-
dalam pewarnaan dan desain, modal dan akses pingi kelompok pengrajin batik Berkah Lestari
pasar, penguatan organisasi dan kelembagaan pasca-gempa tahun 2006. Bentuk pendam-
kelompok pengrajin batik dengan memfasilitasi pingan yang dilakukan berupa pelatihan pewar-
pelatihan tentang organisasi dan koperasi, serta naan sintetis maupun alami. Pewarnaan menjadi
memperkuat desa sebagai sentra atau desa
wisata batik.27 IRE menyediakan dana bergulir
(Yogyakarta: IRE dan The Asia Foundation,
2011), hal 79.
27
Borni Kurniawan et al., Menjembatani Rakyat 28
Wawancara dengan Mbak Dina Mariana,
dan Negara: Pengalaman Advokasi IRE Yogyakarta Yogyakarta, 8 September 2016.

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 93

kebutuhan yang dinilai penting karena sebe- narasumber, misalnya, mengatakan pernah
lumnya masyarakat tidak memiliki kemampuan mendengar IRE melakukan pendampingan
mewarnai. Saat itu, pengrajin batik menjual batik di Giriloyo, namun Dompet Dhuafa sama
dalam bentuk batik mentah ke juragan di Kota- sekali tidak pernah menjalin komunikasi terkait
29
gede. Selain membantu pengrajin dengan kete- pendampingan batik Giriloyo.
rampilan pewarnaan, Dompet Dhuafa juga Sedangkan di kelompok Sekar Nitik, fasi-
melakukan pendampingan desain dan pema- litasi pelatihan atau pendampingan di antaranya
saran. Pendampingan tahap pertama dilakukan dilakukan oleh kelompok mahasiswa melalui
hingga pertengahan 2011. Ada dua alasan yang program KKN, Dinas Perindustrian, dan dari
mendasari Dompet Dhuafa mendampingi ke- Sekar Jagad, terutama Ibu Hani Winotosastro.
lompok batik. Pertama, Giriloyo merupakan Ibu Hani merupakan generasi kedua penerus
sentra batik tulis di Yogyakarta dengan sejarah perusahaan Batik Winotosastro yang berdiri
yang terentang panjang. Pada masa lalu, semua pada 1940, sedangkan untuk generasi pem-
orang yang datang ke makam Imogiri harus batik di keluarganya, beliau adalah generasi
menggunakan kain. Dari sini, pembatik keraton kelima. Ibu Hani sendiri saat ini sedang me-
mulai mengajarkan keterampilan membatik nyelesaikan naskah buku yang mengupas
kepada penduduk sekitar. Kedua, batik memiliki seluk-beluk motif nitik. Ibu Hani menuturkan,
potensi perekonomian yang besar. Dengan kata pasca-gempa 2006, Sekar Jagad memberikan
lain, di samping motif yang bersifat budaya, bantuan alat batik dan mendorong pengrajin
kesejahteraan menjadi visi utama yang men- batik membentuk kelompok. Bentuk bantuan
dasari tautan politik yang terbentuk antara lain adalah mengajak kelompok pembatik
Dompet Duafa sebagai OMS dengan kelompok mengikuti pameran.
pengrajin Berkah Lestari sebagai bagian dari Sekar Jagad lebih banyak bekerja sama
economic society. Setelah lima tahun vakum, dengan lembaga pemerintah dan kampus, mi-
Dompet Dhuafa kembali mendampingi ke- salnya, menggandeng Dinas Kebudayaan DIY
lompok Berkah Lestari pada awal 2016. untuk melatih kemampuan membatik di empat
Alasannya, pembinaan di Berkah Lestari belum kabupaten dan kota. Tujuannya adalah agar
maksimal. Program Dompet Dhuafa pada pen- warga yang dilatih bisa memproduksi batik
dampingan periode kedua itu memperbaiki sebagai mata pencaharian. Kerja sama Sekar
workshop yang mengalami kerusakan secara Jagad dengan Balai Besar Kerajinan dan Batik
fisik, penguatan di pengemasan (packaging), salah satunya berupa pembuatan canting cap.
dan pemasaran melalui media internet. Tan- Sekar Jagad juga bekerja sama dengan Balai
tangan yang dihadapi Berkah Lestari adalah Pelestari Budaya guna melatih guru sekolah
menemukan pasar yang tepat. Hingga saat ini dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah
Dompet Dhuafa belum menemukan pasar yang menengah pertama (SMP) agar memiliki ke-
dimaksud, sehingga akan mencari melalui mampuan dalam membatik. Selain dengan dinas
internet marketing. Sumber pembiayaan pemerintah, Sekar Jagad juga menjalin kerja
Dompet Dhuafa dalam melakukan kerja pen- sama dengan akademisi dari Fakultas Biologi,
dampingan Berkah Lestari berasal dari Dompet Teknik Kimia dan Pertanian UGM untuk pe-
Dhuafa pusat. ngolahan limbah batik dan pewarnaan, serta ISI
Sama halnya dengan IRE, dalam melakukan untuk pengembangan motif batik.
pendampingan kelompok Berkah Lestari, Dom- Sementara itu, tautan politik antara OMS
pet Dhuafa tidak pernah bekerja sama dengan dengan partai politik yang dimaksud adalah
instansi pemerintah seperti Dinas Perindus-
trian atau Pariwisata maupun dengan OMS lain, 29
Wawancara dengan Mas Bambang Edi Prasetyo,
termasuk dengan IRE. Mas Bambang sebagai Yogyakarta, 21 September 2016.

A R T I K E L
94 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

pengurus partai politik dan representasi partai dapatkan bantuan dana dan bantuan pe-
31
politik di parlemen, baik di fraksi maupun masaran.
komisi. Wawancara dengan Mbak Yustina, Partai politik maupun anggota parlemen
Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DIY, me- dalam menyuarakan isu batik lebih mengandal-
nyatakan bahwa dalam konteks kebijakan kan negara selain melalui Disperindagkop dan
partai, tidak ada kebijakan atau program yang UMKM juga melalui eksekutif. Kerja-kerja
secara khusus menyasar konstituen pengrajin pemberdayaan yang dilakukan bupati—mes-
batik. Dia menyebut perhatian partainya ke kipun juga tidak merata ke komunitas batik—
pembatik diberikan melalui kepala daerah dianggap telah mewakili kerja partai dan ang-
yang berasal dari PDI Perjuangan. Sebagai gota dewan dalam berkontribusi terhadap ke-
contoh, Idham Samawi sewaktu menjabat majuan komunitas batik. Padahal, legislatif
Bupati Bantul turut membantu pembatik di sendiri menyadari bahwa kerja pemerintah
Wijirejo, Bantul, dengan memberikan bantuan dalam pemberdayaan batik masih sebatas pada
modal. Begitu pula Hasto Wardoyo sebagai program pemasaran (seperti acara pameran)
Bupati Kulonprogo yang mempromosikan dan pengenalan motif-motif batik. Selain itu,
batik motif geblek renteng dan melalui pro- pihak legislatif juga menyadari bahwa ada
30
gram bela-beli Kulonprogo. kendala dalam proses manajemen usaha peng-
Kealpaan perhatian juga berlangsung di rajin batik dan banyak dari pengrajin batik yang
parlemen DIY; tidak ada fraksi yang mela- secara mandiri berusaha sendiri tanpa bantuan
32
kukan inisiatif mendorong pemberdayaan dari pihak mana pun. Kendati demikian, kesa-
pengrajin batik ke aras kebijakan. Jika pun ada daran tersebut tidak mendorong parlemen un-
anggota partai yang berperan dalam pember- tuk membuat kebijakan yang dapat melindungi
dayaan batik, tidak lebih karena inisiatif priba- komunitas batik. Ide untuk melindungi pem-
di dan tidak bisa dilihat sebagai program partai. batik, seperti perlindungan terhadap “serbuan”
Hal demikian menandai tidak diprioritaskannya pakaian impor yang dapat merusak pasar, tidak
isu batik dalam proses legislasi di tubuh par- lebih sebatas gagasan normatif politisi yang
lemen. Di Komisi B, Ibu Marthia Adelheida tidak direalisasikan dalam bentuk kebijakan.
dari Partai Amanat Nasional (PAN) menya- Kondisi di atas dapat dikonfirmasi dari
takan bahwa program dewan terkait pem- pernyataan narasumber yang menyebut jika
berdayaan batik dilakukan melalui kerja sama kehadiran partai politik serta anggota dewan
dengan Disperindagkop dan UMKM DIY. tidak memberikan kontribusi yang baik ter-
Komisi B yang membidangi perekonomian hadap pemberdayaan kelompok batik. Ibu
berperan dalam mengawasi kinerja Dinas Aminah, misalnya, menceritakan tentang keda-
Koperasi dan UMKM. Selain fungsi penga- tangan anggota DPRD Bantul dan Ibu Idham
wasan, Komisi B berperan dalam pengang- Samawi hanya saat peresmian berdirinya
garan terkait kebutuhan pemberdayaan yang kelompok Sekar Nitik. Mereka tidak membawa
dilakukan dinas, termasuk pemberdayaan perubahan bagi kelompok Sekar Nitik, terlebih
batik di dalamnya. Sebagai anggota dewan dari kedatangan mereka hanya terjadi sekali, bersifat
Dapil Sleman, Ibu Marthia telah mencoba seremonial, dan tidak ada tindak lanjutnya.
menghubungkan pembatik dengan Dinas Per- Perhatian dari partai politik, parlemen, dan
industrian. Strategi yang digunakan adalah politisi sangat minimal—bahkan nyaris tidak
mengusulkan kelompok batik di Sleman men-
31
Wawancara dengan Ibu Marthia Adelheida,
Yogyakarta, 15 September 2016.
30
Wawancara dengan Mbak Yustina, Yogyakarta, 32
Wawancara dengan Bapak Yoeke Indra Agung
9 September 2016. Laksana, Yogyakarta, 19 September 2016.

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 95

ada—sehingga komunitas batik harus mampu tindak lanjutnya belum tampak. Bahkan,
berusaha berdiri sendiri tanpa bantuan dari Wukirsari yang menjadi basis suara Partai
kelompok-kelompok itu. Kebangkitan Bangsa (PKB) tidak menjadi fokus
Tidak adanya tautan yang terbentuk antara kebijakan para anggota dewan dari PKB. 33
partai politik dengan pengrajin batik mene- Senada dengan Pak Tarom, Mbak Nur menge-
gaskan temuan penelitian tahun 2009. Dalam mukakan kedatangan anggota-anggota DPRD
penelitian 2009 disebutkan bahwa intensitas ke workshop Paguyuban Batik Tulis Giriloyo.
hubungan yang terbangun tidak dalam ke- Anggota DPRD menjaring aspirasi masyarakat
rangka untuk menjangkau atau dijangkau ko- seputar masalah apa yang dihadapi kelompok
munitas pembatik sebagai konstituen politik, pengrajin batik. Kelompok pengrajin batik
tetapi sebagai bagian dari sentimen kewilayah- mengemukakan yang mereka butuhkan adalah
an yang lebih luas: para pembatik adalah warga sambungan internet yang bagus untuk memper-
dari kawasan yang diperlukan untuk mendapat- luas jangkauan pemasaran. Sinyal untuk komu-
kan suara dalam pemilu. Kondisi tersebut kem- nikasi melalui telepon genggam memang ku-
bali tersua di Dusun Kembangsongo. Walaupun rang bagus di daerah Wukirsari. Namun, Mbak
PDI Perjuangan mendapatkan suara mayoritas Nur menyatakan pertemuan dengan anggota
dalam pemilu terakhir di Kembangsongo, tidak DPRD tersebut tidak ada tindak lanjutnya dan
ada anggota dewan dan partai yang memberi hingga hari ini masalah sinyal belum terselesai-
perhatian pada kelompok batik di dusun ini. kan. Padahal, jaringan telekomunikasi menjadi
Pada saat kampanye Pemilu 2014, juga tidak pendukung penting dalam hal pemasaran batik.
ada calon anggota legislatif (caleg) yang khusus Fenomena kealpaan tautan politik juga ter-
mendatangi pengrajin batik. Hanya ada tim jadi antar-sesama lembaga demokrasi yang ber-
sukses caleg yang menempel poster-poster beda di ranah yang berbeda, yakni OMS yang
kampanye. berada di ranah civil society dengan partai politik
Gejala yang terjadi di Kembangsongo juga dan parlemen yang berada di ranah political
terjadi di Giriloyo. Partai politik memang masuk society. Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad
ke desa, tetapi tidak fokus ke kelompok batik. menyatakan bahwa mereka tidak memiliki
Dari cerita narasumber, ketika musim kampa- ikatan dengan DPRD maupun partai politik.
nye, ada dua kubu yang masuk ke wilayah ke- Paguyuban yang memiliki visi melestarikan
lompok Berkah Lestari. Kubu yang satu mem- batik tulis itu lebih banyak bekerja sama dengan
buat jalan, sedangkan kubu yang lain membuat Dinas Kebudayaan Provinsi, Dinas Perindus-
masjid di kampung tersebut. Dari cerita itu, trian, Koperasi dan UMKM, untuk memajukan
tampak bahwa kelompok-kelompok pengrajin komunitas pengrajin batik. Tidak berbeda de-
batik bukan dilihat sebagai konstituen politik, ngan Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad, IRE
tetapi lebih sebagai massa yang dapat dimobi- yang memiliki program pemberdayaan batik
lisasi untuk memberikan suara dalam pemilu. Giriloyo juga tidak menjalin komunikasi dengan
Kealpaan tautan politik antara pembatik dan anggota DPRD atau partai politik. Bagi IRE,
DPRD sendiri tampak di Desa Wukirsari. Keda- lebih penting mendorong pemerintah desa
tangan wakil rakyat di kawasan itu hanya seba- untuk aktif mengambil inisiatif dalam melaku-
tas penjaringan aspirasi tanpa adanya tindak kan kerja sama dengan berbagai pihak.
lanjut atas persoalan-persoalan yang dialami dan Citra partai politik dalam hal pemberdayaan
dikeluhkan komunitas batik. Bapak Tarom, ternyata dinilai negatif dan menyebabkan OMS
Kepala Dusun Karangkulon sekaligus Ketua II
Paguyuban Batik Tulis Giriloyo, mengatakan
ada anggota DPRD yang datang untuk menja- 33
Wawancara dengan Bapak Tarom, Bantul, 5
ring aspirasi kelompok pembatik, namun untuk September 2016.

A R T I K E L
96 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

tidak membangun jaringan kerja ke partai pemberdayaan yang dapat mengangkat pro-
politik. Hal itu terkait dengan persepsi yang duktivitas dan keberlangsungan komunitas
mengarah pada ketidaknetralan dan bekerja pengrajin batik. Batik telah dijadikan ikon
dengan partai politik bisa menghadirkan konflik daerah, namun banyak pihak perlahan-lahan
serta memunculkan klaim sepihak. Bahkan, membiarkan komunitas batik berjalan sendiri.
persepsi itu sedemikian kuat sehingga OMS Nasib batik yang sepenuhnya berada di tangan
lebih memilih untuk menghindari partai politik. para pengrajin gagal mendapatkan dukungan
Dompet Dhuafa, misalnya, lebih memilih fokus kebijakan politik yang diperlukan.
ke program penguatan kelompok yang masih Sebagaimana telah disebutkan, Indonesia
menghadapi problem seperti pemasaran mau- mendapatkan pengakuan dari Unesco yang
pun regenerasi dibandingkan membawa per- memutuskan batik tulis Indonesia sebagai
34
soalan batik ke aras kebijakan pemerintah. warisan pusaka dunia pada 2009. Menyusul
Tampaknya fenomena ketidaktertarikan timbal- pada 2014, Yogyakarta dinobatkan sebagai
balik atau bahkan kecurigaan timbal-balik yang World City Batik oleh World Craft Council.
terbentuk merupakan penjelas penting kealpaan Baik pengakuan dari Unesco maupun peno-
tautan politik di antara keduanya. batan World City Batik mendapatkan dukungan
Pada tingkat normatif, narasumber dalam penting dari Paguyuban Pecinta Batik Sekar
penelitian ini pada umumnya menyepakati batik Jagad dan pihak keraton Yogyakarta. Dukungan
merupakan sumber daya yang potensial se- tidak diberikan oleh politisi, baik anggota le-
bagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan gislatif maupun partai politik. Padahal, untuk
kesejahteraan masyarakat. Ketua DPRD DIY menjadi World City Batik dilakukan dengan cara
Yoeke Indra Agung Laksana dalam wawancara tidak mudah, karena ada beberapa kriteria
35
dengan peneliti, misalnya, melihat prospek untuk menjadi kota batik dunia, antara lain,
pengrajin batik di Yogyakarta yang menjanjikan memiliki historical value, cultural value,
karena pangsa pasar luas tidak kalah bersaing transgeneration value, economic value, green
dengan batik Solo maupun Pekalongan. Watak value, global value, dan consistency value.
dari kerja membatik yang melibatkan tenaga Artinya, untuk tetap menjaga Yogyakarta se-
dengan keahlian beragam secara hipotetis bagai kota batik dunia, maka Yogyakarta harus
memungkinkn aktivitas ini menjadi tulang- tetap memenuhi tujuh kriteria tersebut. Pada
punggung ekonomi sebuah masyarakat. Untuk 2015, ancaman pencabutan World City Batik
menghasilkan selembar kain batik tulis dibu- terjadi karena persoalan regenerasi: minat
tuhkan banyak orang dalam setiap prosesnya generasi muda pada dunia perbatikan berada
mulai dari menggambar motif, menyanting, pada titik sangat mengkhawatirkan.
mewarnai sampai menjahit. Batik juga meru- Regenerasi memang menjadi persoalan
pakan jenis pekerjaan yang tidak mengenal yang tidak bisa dianggap kecil. Ketika tidak ada
batas usia. Sebagaimana karakter kerajinan generasi penerus dalam dunia perbatikan, maka
berbasis industri rumah tangga, membatik tetap lambat-laun batik akan hilang dari basis sentra
bisa dilakukan oleh pengrajin berusia lanjut. batik. Kekhawatiran itu dirasakan oleh Ibu
Ironinya, keyakinan bahwa batik mampu men- Aminah dari Kelompok Sekar Nitik yang me-
jadi salah satu potensi ekonomi dan budaya lihat kian berkurangnya niat generasi muda
Yogyakarta tidak terwujud dalam program untuk menjadi pembatik. Karakter batik yang
membutuhkan kesabaran dan waktu dalam
proses produksinya, dianggap tidak lebih po-
34
Wawancara dengan Mas Bambang Edi Prasetyo,
Yogyakarta, 21 September 2016. tensial dibanding dengan bekerja di pabrik yang
35
Wawancara dengan Bapak Yoeke Indra Agung dengan cepat mampu mendatangkan uang. Di
Laksana, Yogyakarta, 19 September 2016. dusun yang menjadi sentra motif nitik ini,

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 97

sebagian besar pembatik adalah perempuan penelitian tahun 2009 menyebutkan bahwa
berusia kepala empat. Selain itu, dalam hal masifikasi produk batik dengan teknologi
pembuatan canting motif nitik pun, ada ancaman printing menjadi “pembunuh nomor satu” batik
regenerasi. Dewasa ini, hanya ada empat orang tradisional berbasis industri rumahan (home-
di dusun itu yang mampu membuat canting industry). Akibat dari menjamurnya batik
khusus motif nitik. Persoalan regenerasi juga printing dan cap, pengrajin batik tulis harus
terjadi di kelompok Berkah Lestari di Wukir- bersaing sangat keras dalam memasarkan
sari, desa yang dijadikan sebagai desa wisata produk batik tulis. Situasi tersebut kian mem-
batik. Dompet Dhuafa yang mendampingi buruk karena hingga kini tidak ada kebijakan
kelompok itu menyatakan bahwa tidak banyak yang mengatur pasar batik di Indonesia.
anak muda yang tertarik dalam dunia perba- Bagi kelompok Sekar Nitik di Dusun Kem-
tikan. Dari total 50 anggota kelompok Berkah bangsongo, pemasaran menjadi kendala ter-
Lestari, hanya 5 orang yang benar-benar bisa besar. Karena mengalami masalah pemasaran,
membatik halus. Perhatian pada persoalan kelompok itu lebih banyak mengandalkan
regenerasi batik justru diberikan oleh dinas juragan batik yang berasal dari Kota Yogyakarta
pemerintah dan Paguyuban Pecinta Batik Sekar dan menjual batik dalam bentuk mentah tanpa
Jagad. Salah satu program kerja sama kedua pewarnaan. Saat pengrajin batik menjual batik
lembaga itu adalah pelatihan membatik bagi dalam kondisi mentah, maka keuntungan ter-
siswa-siswi sekolah di Yogyakarta. besar justru dinikmati oleh pedagang yang
Namun, isu regenerasi batik tidak menjadi umumnya adalah para juragan. Selain bergan-
perhatian anggota dewan, terlebih partai politik. tung pada juragan, kelompok itu juga mengan-
Bentuk perhatian partai politik dan wakil di dalkan kerja sama dengan pemandu wisata
parlemen lebih pada konteks nasionalisme yang menawarkan batik Sekar Nitik kepada
bahwa batik merupakan warisan budaya yang wisatawan. Bantuan dari dinas pemerintah
harus dilestarikan dan bangga bahwa batik dalam hal pemasaran pun masih sangat ter-
telah diakui Unesco sebagai warisan budaya batas. Bantuan dan program-program yang
dunia. Rasa nasionalisme dan kebanggaan akan tersentralisasi di sentra produksi batik tertentu
batik ditunjukkan dengan menjadi konsumen; menyebabkan banyak kelompok batik di desa
sebatas memakai busana berbahan batik. lain tidak mendapatkan perhatian.
Kurangnya perhatian politisi terhadap batik ju- Kondisi berbeda dengan kelompok Sekar
ga dikonfirmasi oleh Ibu Haniwinotosastro dari Nitik dialami oleh komunitas batik di Desa
Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad. Menu- Giriloyo. Pengorganisasian kelompok batik dan
rutnya, politisi tidak tahu banyak mengenai paguyuban yang baik serta banyaknya bantuan
batik dan hanya mengangkat batik dengan cara yang datang dari berbagai pihak menjadi bagian
menggunakan baju batik, yang tidak selalu batik pendorong kemajuan komunitas dalam me-
tulis namun batik cap atau printing. Padahal, masarkan batik. Komunitas di Desa Giriloyo
penghargaan dari Unesco dan World Craft tidak lagi menjual batik mentah sebagaimana
Council diberikan untuk produksi batik tulis, terjadi saat sebelum gempa 2006. Para pembeli
bukan batik cap dan printing. Posisi parlemen diharapkan datang langsung ke workshop atau
sebagai pengambil kebijakan dan menggalang ke kelompok batik tanpa melalui, atau memi-
aspirasi rakyat, tidak digunakan oleh anggota nimalisasi keterlibatan, tengkulak. Meskipun
dewan untuk membuat kebijakan pemberda- sudah cukup baik dalam memasarkan, or-
yaan komunitas batik, termasuk kebijakan ganisasi masyarakat sipil seperti Dompet
untuk melindungi eksistensi batik tulis. Dhuafa ingin lebih memberdayakan kelompok
Terkait regenerasi, komunitas batik juga Berkah Lestari dengan pemasaran berbasis
menghadapi persoalan pemasaran. Temuan internet.

A R T I K E L
98 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Masih adanya sejumlah persoalan dalam dengan memakai busana berbahan batik.
pengembangan batik menunjukkan bahwa batik Kedua, skala pengorganisasian aktivitas mem-
tidak mendapatkan cukup perhatian di kalangan batik yang kecil dan terkotak-kotak tidak men-
pembuat kebijakan dan politisi. Karakter pro- janjikan dukungan politik memadai yang diperlu-
duksi batik yang berskala kecil dan berbasis kan dalam pemilu. Logika pengorganisasian
rumah tangga tidak masuk menjadi agenda pembatik yang menyebar, tidak paralel dengan
pembangunan pemerintah daerah Yogyakarta logika politik elektoral yang berbasis pada mass-
yang kini lebih fokus pada pembangunan pro- politics yang dapat dengan mudah dimobilisasi
perti maupun pusat-pusat perbelanjaan. Se- bagi tujuan-tujuan elektoral. Ketiga, kecende-
mentara itu, komunitas batik berusaha untuk rungan kuat di kalangan politisi yang menem-
dapat bertahan dan berkembang secara mandiri patkan demos dalam sistem kategori ideologi
dengan dibantu oleh OMS yang jumlahnya pun tunggal tanpa diferensiasi—entah sebagai rak-
sangat terbatas. Tampak tidak adanya tautan yat, sebagai wong cilik, sebagai pemilih, kons-
politik yang menjadikan batik sebagai isu ber- tituen—sehingga komunitas batik hanya ditem-
sama yang menjadikan batik sebagai potensi patkan sebagai salah satu kemungkinan kate-
ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan, batik gori tunggal di atas. Keempat, suara (voice)
sudah semakin jauh dari arena kontestasi komunitas pembatik sedemikian tersamar dan
politik sebagaimana yang terjadi pada masa gagal melahirkan hiruk-pikuk politik yang dapat
kolonial. memaksa politisi memperhatikan mereka.
Akibat dari hal-hal di atas, komunitas pembatik
menjadi kekuatan non-artikulatif yang tidak
Kesimpulan
penting secara politik di mata politisi.
Dari diskusi yang mengalir sejauh ini, be- Kedua, kealpaan tautan politik bukan hanya
berapa kesimpulan penting bisa diambil. Per- terjadi antara kelompok pembatik dengan partai
tama, di tengah retorika tentang pentingnya politik dan parlemen, melainkan juga antar-
pemberdayaan ekonomi rakyat yang disuara- sesama OMS dan antara OMS dengan parlemen
kan oleh elite politik sebagaimana dikonfirmasi dan partai. Penjelasan mengenai fenomena itu
melalui baseline survey PWD 2013 dan di te- memang masih sangat kabur, tetapi beberapa
ngah-tengah pengakuan dunia atas batik tulis, kemungkinan bisa dirumuskan. Pertama, dalam
temuan hasil riset tahun 2016 menunjukkan kaitan dengan kealpaan tautan politik antar-
tetap bertahannya pola yang sama dengan hasil sesama OMS, adanya perbedaan kapasitas dan
penelitian tahun 2009, yaitu tidak adanya tautan watak organisasi menyebabkan tidak terben-
politik antara partai politik ataupun parlemen tuknya kehendak untuk menempatkan perso-
dengan kelompok/komunitas pembatik. alan perekonomian batik sebagai agenda politik.
Hal itu tampaknya terkait dengan beberapa Lebih jauh, persaingan dan keinginan kuat un-
hal. Pertama, cara kerja dan cara pandang poli- tuk bisa mendaku keberhasilan bagi diri sendiri
tisi di parlemen yang menekankan pada pende- —rendahnya kehendak untuk berbagi keberha-
katan legalistik; aktivitas sekitar batik dipahami silan—menjadi motivasi psikologis lainnya yang
semata-mata sebagai wilayah kewenangan dan membuat pembentukan tautan politik antar-
tanggung jawab eksekutif, sementara dewan sesama OMS tidak menarik untuk dikerjakan.
hanya berfungsi sebagai pengawas. Di samping Kedua, dalam kaitan dengan kealpaan tautan
itu, cara pandang politisi melihat batik lebih dari politik antara OMS dan partai politik/parlemen
sudut pandang ideologis, yakni sebagai iden- tampaknya bersumber dari sentimen negatif
titas kebangsaan. Hal tersebut diperparah oleh atau distrust OMS terhadap politisi.
pengungkapan atas sudut pandang yang dila- Ketiga , sekalipun diterima pemahaman
kukan melalui pemihakan secara dangkal, yakni bahwa batik merupakan representasi sektor

A R T I K E L
Cornelis Lay, Tautan Politik 99

informal yang sangat potensial dalam memfa- berdayaan OMS. Tautan politik yang terbentuk
silitasi kesejahteraan masyarakat sekaligus bekerja secara cukup efektif dan sangat ber-
simbol identitas (kebangsaan Indonesia) di manfaat. Namun demikian, perlu digarisbawahi
antara politisi dan OMS, hal itu tidak mampu bahwa sekalipun antara OMS dan kelompok
menjadikan batik sebagai simpul tautan politik pembatik telah terbentuk tautan politik, secara
yang mampu menghubungkan parlemen/partai prinsip semua narasumber dalam penelitian ini
politik (political society), OMS (civil society), dan menempatkan tanggung jawab atas persoalan di
kelompok batik (economic society). Ketiganya sekitar batik sepenuhnya berada di pundak
hidup dalam dunia sempit serta tenggelam da- pemerintah, yakni eksekutif. Baik OMS maupun
lam keasyikan masing-masing. Di samping parlemen dan partai politik, sama-sama menga-
serangkaian penjelasan di atas, ketiganya tam- cungkan telunjuk kepada Dinas Perindustrian
pak dituntun oleh ketidaktertarikan, bahkan Perdagangan Koperasi dan UKM Daerah Is-
ketidakpercayaan timbal-balik di antara mereka. timewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan, Balai
Mereka juga tampak meyakini ketidak-ber- Besar Kerajinan dan Batik sebagai solusi bagi
manfaatan dari adanya tautan politik. Secara ku- persoalan yang dihadapi kelompok-kelompok
mulatif, hal-hal di atas membuat pembentukan pengrajin batik.
tautan politik sebagai opsi yang sama sekali tak Kelima, kealpaan tautan politik antara partai
terpikirkan. politik/parlemen dengan kelompok pembatik,
Keempat, berbeda dengan parlemen atau antar-sesama OMS, serta antara segitiga partai
partai politik, data menunjukkan adanya tautan politik/parlemen-OMS-kelompok pembatik,
politik antara OMS dengan kelompok pembatik mengindikasikan bahwa proses demokratisasi
sebagaimana didemonstrasikan melalui ke- Indonesia masih tetap harus menempuh per-
terkaitan antara IRE dan Dompet Dhuafa de- jalanan panjang yang sulit. Imajinasi tentang
ngan kelompok-kelompok pembatik. Dalam demokrasi sebagai instrumen ke arah kesejah-
kasus itu, inisiatif tautan politik datang dari teraan tampaknya masih akan menjadi peker-
pihak OMS sebagai bagian dari program pem- jaan yang juga sangat sulit•

A R T I K E L
100
Prisma Prisma
DIA Vol.
L 36,
OG No. 1, 2017

Demokrasi: Kembali ke
Masyarakat Sipil?

Dalam rubrik Dialog kali ini, Prisma mendiskusikan buku berjudul Reclaiming the State:
Overcoming Problems of Democracy in Post-Soeharto Indonesia, yang merangkum hasil
penelitian Power, Wealth, and Democracy. Walaupun menyetujui temuan empirik yang
mendasari penelitian tersebut, yakni proses demokratisasi liberal di Indonesia mengalami
kemandekan dalam satu dekade terakhir pasca-Reformasi, selain karena merebaknya politik
uang dan dominasi oligarki, juga karena aktor pro-demokrasi terus-menerus tercerai-berai
serta lemahnya kemampuan aktor mengajukan alternatif dalam konteks kegagalan negara
mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi serta memperluas kesejahteraan sosial.
Namun demikian, berseberangan dengan “pancingan” buku tersebut yang hendak “mendaku
kembali negara”, benang merah dialog ini mengusulkan semacam politik umum untuk
kembali ke (pengorganisasian) masyarakat sipil yang lebih luas dan tidak hanya bertumpu
pada perjuangan kelas buruh, sebagaimana contoh keberhasilan advokasi berkepanjangan
dalam memperjuangkan perubahan sistem jaminan sosial sejak 2004.
Dalam kerangka pikir tersebut, politik berbasis kepentingan dan konflik kelas ditekankan
kembali oleh beberapa narasumber. Setidaknya, pengalaman historis menunjukkan bahwa
perjuangan kelas tersebut tidak melulu harus dalam pengertian klasik yang diartikulasikan
secara politik, melainkan juga bertumpu pada sebuah model gerakan sosial yang berwatak
progresif. Pada instansi terakhir harus diakui bahwa gerakan sosial, atau setidaknya karakter
gerakan protes, masih terpilah-pilah, baik secara geografis maupun kultural.
Resistansi masyarakat setempat dalam mempertahankan sumber daya, terutama lahan,
sebagaimana kasus dramatis “Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa” atau perlawanan untuk
penentuan nasib sendiri yang dimotori kelompok perlawanan generasi lebih muda di Papua,
merupakan contoh kasus mutakhir di mana “mendaku kembali negara” berarti
mengandaikan kapasitas rakyat untuk mengorganisasi diri, baik secara sosial-ekonomi
maupun kultural. Dalam arti itu, klaim yang relevan bagi masa depan demokrasi dan
gerakan sosial adalah “kembali ke masyarakat sipil.”
Dialog ini merangkum pertukaran pikiran bersama Tamrin Amal Tomagola (Profesor
Sosiologi dari Universitas Indonesia), Lies Marcoes (peneliti masalah resistansi dan
resiliansi perempuan), Rocky Gerung (peneliti di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi),
Muhammad Ridha (Asisten Pengajar Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia), Bonnie Setiawan (aktivis sosial), dan Usman Hamid
(peneliti dan aktivis HAM). Diskusi dipandu AE Priyono dan Harry Wibowo.

D I A L O G
Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil 101

Tamrin Amal Tomagola Singkatnya, karena ada beragam penetrasi di


dalam state, maka negara terkapling-kapling.
Hasil proyek riset Power, Wealth and Kelompok-kelompok kepentingan, termasuk
Democracy (PWD) kerja sama Universitas Oslo partai politik, memanfaatkan kapling-kapling
dan Universitas Gadjah Mada yang dibukukan tersebut untuk membesarkan kelompok atau
dengan judul Reclaiming the State, tampaknya partai bersangkutan.
mengasumsikan bahwa negara adalah sebuah Kedua, di ujung yang lain ada masyarakat
arena yang harus direbut. Negara dibayangkan atau the people yang disebut konstituen. Da-
sebagai entitas yang utuh-terpadu. Negara lam buku Reclaiming the State dijelaskan
memang omnipotence—sangat kuat dan hadir di dengan baik bahwa masyarakat juga menga-
mana-mana—namun karena fungsinya adalah lami fragmentasi. Kita semua tahu akan feno-
menyelenggarakan kesejahteraan sosial, maka mena itu. Namun, apa yang tampaknya perlu
ia harus direbut. Singkatnya, hasil riset PWD dilihat lebih jauh adalah fragmentasi terbesar
dan kerangka berpikir di balik buku Reclaiming sesungguhnya terjadi secara geografis. Apa
the State menegaskan bahwa merebut negara yang sering kali kita sebut sebagai konstituen
adalah tugas demokratisasi. demokrasi sesungguhnya terbatas pada ke-
Selama ini diakui ada tiga kerangka berpikir, lompok kelas menengah di perkotaan. Apa
yakni paham liberal, Marxis, baik yang konser- yang sering kita sebut sebagai aktor-aktor
vatif maupun radikal, dan demokrasi transfor- demokrasi sebenarnya adalah kelompok kelas
matif. Penelitian PWD menggunakan paham menengah perkotaan. Secara diam-diam kita
yang ketiga dan membayangkan demokratisasi menafikan dan tidak memedulikan mayoritas
bisa mentransformasi negara. Negara harus the people yang berada di luar batas-batas
ditransformasi melalui proses demokratisasi wilayah (demokrasi) perkotaan. Dalam kon-
agar seluruh perangkatnya menjadi demokratis teks itu, dan hingga hari ini, demokrasi yang
dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial. kerap kita bayangkan sebenarnya adalah
Mereka membayangkan adanya negara, demo- “demokrasi perkotaan” lengkap dengan aktor-
kratisasi, dan kesejahteraan sosial. Tampak aktor perkotaan. Kita telah mengabaikan se-
sesederhana seperti itu, namun saya melihat buah kelompok sangat besar konstituen yang
ada tiga masalah mendasar. berada di wilayah perdesaan.
Pertama, negara (state) tak pernah utuh- Sayangnya, sebagian besar people di daerah
terpadu. Negara selalu dalam keadaan ter- perdesaan masih terperangkap pola pikir dan
fragmentasi, karena penetrasi berbagai kepen- pola hidup sangat komunal. Golongan yang
tingan kelompok-kelompok masyarakat. Itu komunal tersebut secara sosiologis kerap
terjadi sejak negara lahir. Jadi, state bukan dipahami sebagai entitas yang the whole is
sebuah entitas yang homogen, utuh, dan dig- more important than its parts, apalagi jika “its
daya, untuk melakukan sesuatu. State bisa parts” itu adalah individu. Individu tidak memi-
ditarik ke sana-sini dan digambarkan bergan- liki arti sama sekali dalam kehidupan komunal.
tung pada manipulasi sejumlah aktor yang Kelompok masyarakat seperti itu tidak terserap
memanfaatkan berbagai aturan dan regulasinya dan berpartisipasi dalam demokrasi perkotaan.
untuk kepentingan individu pemakainya dari Dengan memperhatikan fenomena tersebut,
beragam kelompok atau kelas yang menguasai dapat dikatakan bahwa demokratisasi dewasa
negara di berbagai sektor. Dalam konteks ini adalah demokratisasi yang tidak pernah bisa
seperti itu, state tampil dalam banyak rupa, menarik kelompok-kelompok konstituen dari
sehingga tidak bisa dibuat sebuah deskripsi kawasan perdesaan. Kita sendiri bolak-balik
yang jelas tentang state sebagai sesuatu yang mencoba menarik ide kereta demokrasi, namun
homogen, intact, powerful, dan omnipotent. tetap saja banyak yang tertinggal dan tidak

D I A L O G
102 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

terangkut. Barangkali itu merupakan perma- kap dalam kerangka pendekatan Bourdieuan
salahan yang harus kita pikirkan bersama. yang dipakai sejak 2002. Perjalanan dan per-
Sekarang ini, menurut saya, yang bisa kembangan demokratisasi di Indonesia selama
mengambil sikap, melakukan tindakan, dan 15 tahun, sejak dipotret lembaga Demos, telah
mengartikulasikan kepentingan mereka yang melahirkan sejumlah realitas baru. Dahulu
tertinggal itu adalah Aliansi Masyarakat Adat realitas empiris mengharuskan aktor-aktor
Nusantara (AMAN). Selain mencari dan menge- demokrasi merebut kembali negara. Itu hal
nali kelompok-kelompok strategis untuk me- yang masuk akal. Sekarang, kenyataan telah
nyusun aliansi strategis di kalangan warga berkembang dan berubah sedemikian rupa.
perkotaan yang sangat aktif dalam demokrasi Menurut saya, reclaiming the state sudah tidak
perkotaan, kita juga harus mempertimbangkan terlalu relevan. Yang harus dipikirkan secara
aktor-aktor perdesaan, terutama di kalangan programatik bukan itu, tetapi returning to the
masyarakat adat. Posisi paling krusial adalah people. Kenapa saya mengusulkan “kembali ke
perempuan masyarakat adat. Merekalah yang rakyat”?
selama ini dikenal paling vokal, agresif, dan Perjuangan politik demokratisasi sekarang
sangat militan. ini dengan agenda merebut kembali negara
Ketiga, soal yang harus kita bicarakan ulang, sudah acak-acakan dan tidak karuan. Mengutip
yakni proses demokratisasi. Proyek riset PWD- Vedi R Hadiz, kelompok-kelompok Non-Govern-
UGM merupakan kelanjutan dari proyek pene- mental Organisation (NGO, organisasi non-
litian serupa yang pernah dirintis dan dikerjakan pemerintah) dan pejuang masyarakat sipil yang
oleh lembaga Demos. Kerangka awal proyek itu dahulu berhasil menumbangkan Soeharto dan
sangat dipengaruhi pemikiran Pierre Bourdieu menghendaki munculnya tatanan baru lebih
yang dikenal tidak mau terikat pada kerangka demokratis, hampir semuanya sudah terserap
teori tertentu. Menurut pendekatan Bourdieuan, ke dalam proyek-proyek demokratisasi yang
biarkan dinamika realitas menjelaskan diri diagendakan PBB di Indonesia, termasuk yang
sendiri, terutama dari konteksnya yang ter- didukung oleh beberapa lembaga donor seperti
batas. Bahkan, konteks makro struktural cen- Partnership for Government Reform (Kemi-
derung diabaikan. Realitas itu diwakili oleh apa traan, red). Sebagian besar aktivis kemasyara-
yang dilihat oleh aktor-aktor demokrasi. Na- katan memasuki Komisi Pemilihan Umum
mun, kita semua tahu realitas itu berlapis-lapis. (KPU) atau Komisi Pemilihan Umum Daerah
Apa yang dilihat para aktor berada pada tataran (KPUD), ke lembaga-lembaga demokrasi elek-
empiris. Mereka berpikir dan menganggap toral. Mereka menjadi birokrat di lembaga-
bahwa karena kenyataan empiris demokrasi lembaga demokratik. Mereka telah terserap ke
telah dibajak oleh para elite (ini merupakan dalam lembaga-lembaga negara.
salah satu kesimpulan riset Demos saat itu), Dalam konteks ketika pasar menjadi sangat
maka demokrasi harus direbut kembali. Karena dominan dan mencurahkan dana berlimpah
negara telah dibajak, maka aktor-aktor demo- untuk mengembangkan demokrasi elektoral
krasi harus merebut kembali negara untuk yang mendapat dukungan kuat negara, maka
didemokrasikan. Apakah benar realitas per- mereka yang bertahan di luar negara akan
juangan demokratik sesederhana itu? Riset kehilangan sumber-sumber daya kekuasaan.
Demos agaknya melupakan kenyataan aktual Ketika para aktor demokrasi sudah terserap
dan kenyataan riel yang berada di luar kenya- dalam trajektori seperti itu, maka mereka yang
taan empiris, sebagaimana dilihat oleh para seharusnya berada pada tataran among the
aktor demokrasi. people menjadi tidak ada, kosong.
Saya melihat proyek riset yang sekarang Apa yang diamati Vedi Hadiz sekali lagi
dilanjutkan oleh PWD-UGM masih terperang- membuktikan bahwa arena masyarakat sipil kini

D I A L O G
Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil 103

sudah kosong. Itulah sebabnya gagasan atau songan yang terjadi sedemikian rupa itu mem-
berpikir secara programatik agar kembali ke perlihatkan hubungan dialektik yang saling
masyarakat alih-alih merebut negara menjadi mengisi antara fragmen-fragmen di dalam nega-
semakin relevan. Saya membayangkan aktor- ra dan fragmen dalam masyarakat sipil. Dalam
aktor masyarakat sipil, terutama yang berada di proses seperti itu pula kita bisa memahami
wilayah perkotaan, misalnya, bisa meniru sikap bahwa negara telah “mengosongkan” masya-
masyarakat adat yang lantang menyatakan, rakat dari pengaruh aktor-aktor demokrasi.
“karena negara tidak mengakui kami, kami juga Demikianlah, menurut saya, untuk semen-
tidak mengakui negara.” Penegasan tersebut tara demokratisasi harus “turun mesin” ke
benar-benar menunjukkan kesetaraan. Karena tingkat masyarakat. Kita pun harus melihat
itu, proyek demokratisasi harus bergerak kembali konsekuensi hilang atau kosongnya
kembali untuk menemukan kekuatan masyara- aktor-aktor demokrasi di tingkat masyarakat,
kat sipil sembari membangun aliansi lebih karena telah diserap oleh negara. Itu argumen
permanen antara mereka yang berada di kota saya mengapa fokus kita seharusnya adalah
dan desa. returning to the people, bukan reclaiming the
Selain itu, ada hal lain yang perlu direnung- state.
kan kembali, yakni soal kekuasaan. Saya setuju
dengan pandangan Daniel Dhakidae bahwa
Lies Marcoes
kekuasaan ada di mana-mana dan bisa seperti
gurita. Dengan kata lain, kita bicara tentang Saya mau melanjutkan apa yang ditekankan
realitas demokrasi di tingkat real. Yang real Pak Tamrin, khususnya berkait dengan pro-
adalah kekuasaan dalam pengertian siapa yang blematik internal di sekitar gerakan masyarakat
memegang kendali kepemilikan dan siapa yang adat. Saya memakai dua referensi, yaitu ka-
mengakses sumber daya strategis sekarang ini langan perempuan adat suku Tengger dan
adalah negara dan kekuatan bisnis. Demokrasi masyarakat adat Pulau Kodingaren, salah satu
kita berhadap-hadapan dengan dua entitas itu pulau yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan.
yang memiliki real-power, baik ekonomi mau- Perempuan masyarakat adat Tengger mulai
pun non-ekonomi. Tidak ada kekuatan lain di bersentuhan dengan lembaga-lembaga demo-
luar keduanya, apalagi di kalangan aktor demo- krasi desa setelah mereka diundang dan diajak
krasi. oleh kepala desa untuk masuk dan aktif dalam
Bila menggunakan kerangka Bob Jessop forum musyawarah rencana pembangunan
dengan strategic relational approach-nya, kita desa (musrenbangdes). Mereka datang dari
menjadi paham bahwa negara tidak pernah ab- pelosok yang jauh serta tertarik dan terlibat
sen. Bahkan, negara sangat aktif dalam proses dalam forum-forum itu, karena bisa cukup be-
akumulasi kapital serta dalam pembuatan ke- bas dan leluasa menyampaikan aspirasi dan
bijakan material, baik bersifat umum maupun inisiatif untuk membangun wilayah sekitar tem-
khusus. Pada saat yang sama, negara terlibat pat tinggal mereka, termasuk mempertahankan
dalam upaya memperkuat blok-blok kekuasaan serta melestarikan kesenian tradisional. Itu
kapitalis dan memperlemah kelas-kelas dan yang membedakan kelompok perempuan adat
kekuatan-kekuatan subordinat. Kerangka teo- dengan kelompok-kelompok perempuan lain
retis Jessop secara tidak langsung menegaskan yang “didampingi” lebih awal oleh gerakan
pernyataan Vedi Hadiz bahwa negara sangat perempuan milik salah satu organisasi kea-
dominan menguasai sumber-sumber kekuasaan gamaan besar. Kelompok terakhir itu cende-
strategis dan menyerap hampir semua aktor rung didomestikasi dan membuat mereka men-
demokratis, sehingga membuat ruang masya- jadi tidak terlalu aktif dalam kehidupan publik.
rakat sipil menjadi kosong. Proses pengo- Pendekatan dengan cara mendomestikasi

D I A L O G
104 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

perempuan desa kian memperdalam keko- lenggarakan koperasi simpan-pinjam. Akan


songan aktivis masyarakat desa untuk terlibat tetapi, di samping jasa mereka yang “banyak”
dalam kegiatan-kegiatan publik yang berwatak membantu penduduk setempat untuk bertahan
partisipatoris demokratik. hidup, kelompok itu membuat kaum perem-
Sebaliknya, perempuan masyarakat adat puan sangat khawatir dan takut. Mereka mela-
Tengger justru terlibat aktif dalam kegiatan- rang perempuan mengerjakan ini dan itu. Po-
kegiatan publik. Pendekatan perangkat dan koknya, mereka melakukan domestikasi ter-
kepala desa yang fleksibel membuat ekspresi hadap kaum perempuan.
dan aspirasi mereka yang selama ini hanya Dengan dua contoh cerita tersebut, saya
disalurkan melalui pranata-pranata adat, seba- menarik kesimpulan bahwa masyarakat adat
gian besar dalam bentuk ritual adat, bisa tersa- sebenarnya sangat rapuh. Berbeda dengan
lurkan di lembaga-lembaga publik. Namun yang dikesankan Pak Tamrin, kelompok-kelom-
demikian, di situlah masalahnya. Kegiatan dan pok perempuan adat justru selalu menghadapi
keterlibatan mereka dalam proses demokra- bahaya domestikasi.
tisasi desa itu memakan biaya tinggi. Selain ha-
rus secara rutin terlibat dalam upacara-upacara
Tamrin Amal Tomagola
adat, mereka kini mempunyai kegiatan tam-
bahan untuk menghadiri acara-acara desa. Saya punya contoh berbeda. Di Halmahera
Biaya sosial ekonomi untuk kegiatan “baru” itu ada seorang tokoh perempuan bernama Tugo
memang cukup memberatkan. Tumalango. Ketua suku Tubo itu bekerja seba-
Lain lagi cerita dari Pulau Kodingaren. Pen- gai guru sekolah dasar. Ketika salah satu
duduknya sangat makmur berkat hasil keka- perusahaan tambang dari Australia merambah
yaan laut yang berlimpah. Namun, meruyaknya Halmahera berdasarkan izin dan lisensi Peme-
operasi kapal-kapal nelayan asing membuat rintah Indonesia, perempuan itu memimpin
ikan-ikan menghilang. Mulai terjadi proses rakyatnya untuk merebut kembali tanah mere-
pemiskinan luar biasa. Pada saat yang sama, ka. Di tangannya, masyarakat adat setempat,
kelompok fundamentalis-konservatif masuk dan termasuk kaum perempuannya, digiring ke
menawarkan model koperasi ekonomi simpan- wilayah publik untuk bertarung melawan peru-
pinjam. Awalnya, mereka mendirikan taman sahaan.
baca Al Qur’an. Anak-anak diundang dengan
membawa uang seribu rupiah per hari sebagai
Lies Marcoes
tabungan. Mereka melakukan perputaran uang
kolektif. Laporan keuangan disampaikan ke Itu mungkin contoh yang berhasil. Namun,
orangtua mereka setiap hari Rabu. Penduduk kita punya lebih banyak cerita kegagalan. Kasus
setempat sangat terkesan dan menilai praktik lainnya adalah perjuangan dan kiprah Mama
tersebut relatif bisa menyelamatkan mereka Aleta dalam mempertahankan lingkungan dari
dari jurang kemiskinan. cengkeraman perusahaan tambang dan selama
Ketika dahulu makmur dengan hasil tang- belasan tahun memimpin masyarakat adat di
kapan ikan tera, penduduk pulau tersebut bisa Gunung Mutis, Molo, Nusa Tenggara Timur.
membangun sejumlah masjid. Muhammadiyah Dia kemudian terjun ke dunia politik dan men-
datang untuk mengelola pengajian rutin. Namun, jadi anggota DPRD. Apa yang terjadi? Ma-
saat dilanda krisis ekonomi, organisasi yang syarakat adat merasa ditinggalkan. Mereka
bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan tidak dan belum siap bergerak sendiri tanpa
sosial budaya itu berangkat ke kota; tidak ada Mama Aleta. Dengan kata lain, setelah seorang
yang mengurus pengajian. Lantas masuk orang- tokoh adat masuk ke lembaga demokrasi for-
orang baru dari kalangan wahabi yang menye- mal, dia malah tercerabut dari komunitasnya.

D I A L O G
Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil 105

Saya tahu dari Rocky Gerung, masyarakat adat pada pengalaman politik penindasan kapitalisme
di wilayah pegunungan itu sekarang ditangani kota, tetapi kembali menyusu pada nilai-nilai
oleh Walhi. Masyarakat tidak lagi dipimpin dan komunalisme desa. Itu menggambarkan bahwa
dibimbing oleh pemuka adat, tetapi oleh “perjuangan kelas” atau “perjuangan hak untuk
organisasi modern. merebut ini dan itu”, termasuk “merebut
kembali negara”, adalah gagasan yang secara
antropologis tidak masuk akal.
Rocky Gerung
Saya setuju dengan proposisi Pak Tamrin
Saya mencoba kembali ke topik reclaiming bahwa negara telah dikapling-kapling. Satu
the state. Menurut saya, itu semacam doa lama kapling dikuasai aparat keamanan. Kapling
dan kini diulang kembali oleh jemaah “baru.” kepolisian itu sangat jelas–soal narkotika
Pertama, klaim itu ada dasarnya, yakni hak. ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN) dan
Namun demikian, antropologi politik Indonesia soal terorisme ditangani Badan Nasional
tidak mengenal konsep “hak.” Kedua, state yang Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kepala
dimaksud bukan dalam pengertian yang kita Badan Intelijen Negara (BIN) dipegang mantan
pahami sebersih yang dijelaskan Hegel, perwira tinggi kepolisian. Jadi, tiga sektor paling
misalnya, atau seperti yang diterangkan orang strategis sekarang diurus oleh polisi. Lantas
Eropa ketika melihat state. Itu lebih mirip cara kita berpikir tentang para aktor. Ada Gubernur
orang Amerika melihat energi politik dalam DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias
government. Jadi, kalau kita mendengar Ahok, misalnya, yang sebenarnya merupakan
gerakan demokrasi harus merebut kembali bola pingpong yang dimainkan Joko Widodo dan
negara, itu artinya ajakan untuk membongkar Megawati Soekarnoputri. Awalnya, Ahok
lagi berbagai macam konstruksi hukum di muncul dengan politik anti-partai dan
dalamnya. Saya tidak bisa memahami gagasan belakangan didukung PDI Perjuangan dan
itu dari segi etimologis. Hal yang paling bisa didekati Megawati dengan bermacam
dimengerti adalah orang-orang perlu persyaratan. Ahok mengiyakan. Satu-satunya
berbondong-bondong masuk ke pemerintah. alasan yang membuat seseorang didukung dan
Namun, apa memang seperti itu? diangkat tanpa alasan pasti adalah untuk tukar
Persoalan tersebut sama dengan gagasan- tambah saja. Dengan kompromi seperti itu,
gagasan tentang kelas (class). Seperti halnya Ahok seharusnya membubarkan kelompok
konsep negara (state) dan hak (rights), konsep “Teman Ahok” yang non-partai.
“kelas” juga tidak compatible dengan Dulu kita punya teori bahwa mereka yang
antropologi politik Indonesia. Sekadar contoh berada di dalam bisa dikontrol oleh mereka
kecil, selama sebelas bulan buruh kita disiksa yang berada di luar. Silakan masuk—Pak
habis-habisan di kota oleh kapitalisme. Satu Tamrin bilang masuk ke birokrasi, korporasi,
bulan berikutnya dia pulang kampung, mudik, parlemen, istana—tetapi agenda Anda
dengan membawa smartphone serta dipuja-puja ditentukan oleh teman Anda yang berada di
para tetangganya sebagai orang sukses. Dia luar. Mereka yang di luar masih bisa objektif.
bertanya kepada kerabat atau teman yang Sekarang terbalik. Yang di luar “mengemis”
bekerja untuknya di bidang peternakan, kepada mereka yang ada di dalam. Irasional!
“kambing saya sudah beranak belum?” Mengapa bisa terjadi hal seperti itu? Saya
Bayangkan, dia adalah makhluk yang disiksa mengajak untuk memeriksa social origin aktor-
sistem kapitalisme di kota, tetapi saat tiba di aktor itu. Mereka semua “kampungan,” baik
desa mendadak menjadi seorang kapitalis kecil– yang berada di dalam maupun di luar sama-
juncto moralis kecil dan juncto feodal kecil. sama mencari remah-remah proyek. Mereka
Sebagai makhluk politik, dia tidak menyusu berbuat dosa terhadap demokrasi! Jadi,

D I A L O G
106 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

irelevansi gagasan reclaiming the state sebe- Ajakan untuk go politics kembali terulang
narnya juga berlaku pada tataran praksis politik pada 2014. Waktu itu, Andi Wijayanto dan
di kalangan mereka yang masuk lebih dahulu Teten Masduki mengajak saya untuk men-
dan datang menyusul belakangan di luar pintu. dukung Joko Widodo sebagai calon presiden.
Saya cenderung mengiyakan dengan segala
macam pertimbangan rasional bahwa Jokowi
Usman Hamid
bukan berasal dari oligarki, bukan lahir dari
Saya ingin menekankan pentingnya hu- keluarga aristokrat politik Cendana, dan juga
bungan antara negara dan para aktor yang tadi bukan orang berlatar belakang militer. Ini
digambarkan negatif oleh Rocky. Bila aktor- semacam pilihan untuk melakukan emergency
aktor demokrasi dipetakan sebagai gerakan activism, karena saat itu muncul kekhawatiran
sosial di kalangan masyarakat sipil, mereka bisa sangat besar bahwa representasi keluarga Cen-
dibagi dalam tiga kubu. Pertama, yang ber- dana, representasi militer, dan representasi
orientasi pada demokrasi liberal. Kedua, yang oligarki, jauh lebih mungkin menguasai kembali
lebih konservatif. Ketiga, para pemikir radikal. lanskap politik Indonesia, misalnya, melalui
Semua tidak memiliki basis dalam arti organis- kubu Prabowo Subianto plus bergabungnya
ed-politics for collective action. Buku Reclaiming kelompok-kelompok konservatif yang mendo-
the State sebenarnya lebih dari cukup meng- minasi wacana politik Islam.
gambarkan bahwa para aktor demokrasi telah Namun demikian, pertimbangan itu saya
tercerai-berai. Dalam penelitian sebelumnya batalkan persis ketika mendengar kabar bahwa
yang dikerjakan lembaga Demos, mereka seca- Hendropriyono diangkat sebagai ketua tim atau
ra sosial dilukiskan mengambang dan secara Ketua Penasihat Pemenangan Joko Widodo.
politik marginal; ada semacam disorganisasi Alasan penolakan saya sangat sederhana. Mem-
politik dan kita melihat absennya koalisi col- bayangkan bila seorang Jokowi menganggap
lective action aktor-aktor pro-demokrasi. dan mengangkat Hendropriyono pada posisi
Apa yang diceritakan Rocky tentang feno- “terhormat” itu, lantas apa sebenarnya sikap
mena aktivis NGO atau lembaga swadaya ma- dan pandangan dia terhadap orang-orang
syarakat (LSM) yang masuk ke istana atau seperti kita atau saya yang sudah sekian lama
secara keseluruhan masuk ke KPU—Pak berjibaku mempersoalkan tanggung jawab
Tamrin menyebut ada juga yang masuk ke Hendropriyono dalam pembunuhan Munir,
lembaga-lembaga lain—sebenarnya tidak bisa kawan kita yang telah memberikan sebagian
dilepaskan dari situasi struktural berikut: tidak besar dedikasi terbaiknya bagi reformasi mi-
adanya organised politics dan tidak adanya liter, demokratisasi, serta pertanggungjawaban
collective action. Dahulu, ketika Anas Urbaning- atas pelanggaran hak asasi manusia.
rum mengajak saya masuk Partai Demokrat, hal Menurut saya, problemnya kembali pada
pertama yang saya lakukan adalah berkonsultasi setting dan desain struktural politik mau seperti
dengan beberapa rekan, kerabat, dan kawan apa? Ketika hanya digantungkan pada politik
seperjuangan, baik yang sudah maupun belum berbasis tokoh seperti Jokowi, dengan media
terjun ke dunia politik. Sebagian besar menga- darling-nya, saya sulit membayangkan adanya
takan kita memang harus go politics—kurang jaminan akan tanggung jawab politik negara
lebih melanjutkan apa yang diserukan Demos terhadap persoalan hak asasi manusia. Begitu
waktu itu. Namun, saya tetap bertahan di pula Marcus Mietzner, penyelia saya yang sejak
KontraS karena kerja menyoal tanggung jawab awal mendorong saya agar bergabung dengan
negara atas kekerasan politik yang terjadi di pemerintahan, tiba-tiba berada dalam pendulum
masa lalu, penculikan aktivis, penembakan maha- keraguan. Maju-mundur. Itu terjadi persis ketika
siswa, dan lain-lain, belum selesai. saya ditelepon Andi Wijayanto dan diminta

D I A L O G
Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil 107

mendampingi Jokowi ke Jakarta, Aceh, juga ke Bonnie Setiawan


Papua menyangkut soal HAM. Selain saya, ada
satu orang lagi yang diminta bergabung, yakni Saya agak dekat dengan posisi Pak Tamrin
Rizal Sukma, yang menangani urusan dan mengenai returning to the people, bukan
memberi nasihat tentang kebijakan luar negeri. reclaiming the state. Kelemahan rekomendasi
Saya memilih berada di luar, sementara Rizal PWD-UGM dalam buku Reclaiming the State
Sukma menjadi Dubes Indonesia di Inggris. adalah mengaitkan suara “the people” dengan
Pertimbangan lain yang kerap saya lon- “the state”, yang mungkin saja terjadi karena
tarkan dalam berbagai forum adalah dalam responden riset adalah aktor-aktor pro-demo-
bentuk pertanyaan, “bagaimana mungkin ge- krasi dari kalangan kelas menengah. Perspektif
rakan pro-demokrasi Indonesia mendukung mereka tentunya terbatas pada problem ke-
Joko Widodo kalau program politiknya sama lasnya sendiri; politik kelas menengah kita
sekali tidak jelas?” Hampir tidak ada orang yang memang berwatak kompromistis.
bisa menjelaskan Indonesia di bawah Jokowi itu Problem demokrasi kita sesungguhnya
akan seperti apa dalam konteks reformasi tidak jauh berbeda dengan yang pernah terjadi
militer, reformasi partai, atau reformasi dalam di masa lalu. Artikulasi politik popular tidak
hal pertanggungjawaban politik negara di masa cukup terwakili, apalagi setelah kekuatan-ke-
lalu, juga menyangkut persoalan hak asasi kuatan kiri dihancurkan. Faktor tidak adanya
manusia pada umumnya. representasi politik kiri itulah yang menye-
Pada titik itu, saya mengkritik gagasan babkan demokrasi kita tidak bermutu atau
reclaiming the state. Ketika para aktor pro- cacat. Politik kiri mengandalkan massa yang
demokrasi tercerai-berai, tidak ada organized sadar-politik dan sadar-kelas. Namun, karakter
politics, tidak ada collective action, lantas reko- mass-forming politics itu telah hilang dari
mendasi kita mau me-reclaim the state? Saya khazanah proses demokrasi kita. Berbeda
membayangkan keadaan akan lebih beran- dengan mass-forming yang dilakukan Front
takan. Kenapa? Pertama, pengaruh kekuatan Pembela Islam (FPI), yang secara manipulatif
oligarki dalam negara, pemerintahan, dan biro- membawa massa mengambang atau massa
krasi masih sangat luar biasa besar. Kedua, tidak berideologi untuk dimobilisasi. Kenapa
menguatnya konservatisme politik di dalam proses demokratisasi melemah? Menurut saya,
negara akan membuat tidak mungkin ada dialog. itu karena kelas-kelas yang berkuasa masih sa-
Ketiga, merosotnya kualitas rule of law menja- ma. Sumber-sumbernya masih dari kapitalisme
dikan kekuasaan negara tidak bisa dikontrol. inti, kapitalisme birokrat. Tesisnya masih sama
Kita melihat semakin banyak hakim, polisi, dan kekuatan popular tidak bisa menandingi
jaksa, terlibat praktik korupsi. Dengan kata lain, mereka.
institusi-institusi yang diharapkan bisa member- Yang saya bayangkan adalah munculnya
sihkan panggung permainan kembali dikuasai kelas menengah baru, sebuah kelas borjuasi
oleh oligarki, kelompok-kelompok politik kon- nasional progresif yang memiliki kemampuan
servatif, dan mereka yang dahulu memper- mendobrak formasi modal lama. Kelas borjuasi
mainkan hukum demi stabilitas politik dan tu- seperti itu yang tidak ada. Mungkin ini pan-
kar-menukar konsesi politik. Situasi belum dangan fatalis, tetapi saya yakin selama formasi
banyak berubah. Negara tetap didikte oligarki. kelasnya seperti sekarang—elite modal me-
Masyarakat sipil masih berantakan. Merebut nunggangi negara, kelas menengah memble,
negara? Yang terjadi justru para aktor itu dica- dan kelas bawah hancur-hancuran—tidak akan
plok negara. mampu diorganisasi melalui gerakan sosial
yang efektif mengagendakan perubahan mela-
lui demokrasi liberal.

D I A L O G
108 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Muhammad Ridha politik dalam mentransformasi sistem sekaligus


mendorong demokratisasi. Bagaimana dengan
Saya punya perspektif berbeda dalam per- kekuatan kelas buruh? Sejauh ini kita bisa
debatan ini. Posisi saya adalah bahwa kapi- menyaksikan peningkatan kuantitas maupun
talisme telah berubah. Secara demografis, kualitas gerakan buruh dalam memperjuangkan
kelas-kelas sosial dominan di Indonesia juga kesejahteraan. Apakah perjuangan mereka
telah berubah sama sekali. Karena terjadi mendapat dukungan dari, misalnya, kelas mene-
perubahan politik, posisi kelas oligarki di tingkat ngah? Tidak ada! Yang terjadi justru kelas
nasional dan lokal tidak menempel lagi pada menengah mendukung para elite yang terus-
tubuh birokrasi. Hal demikian membentuk satu menerus berupaya menghentikan dan mele-
faksi kapitalis yang saling berkonflik dengan mahkan mobilisasi perlawanan kelas buruh. Hal
kelas lain. Kemelut demokrasi menjadi-jadi itu tampak jelas dengan diundangkannya Pera-
karena fakta itu. Kita sebenarnya sedang me- turan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 ten-
nyaksikan perkelahian antar-kelas. tang Pengupahan yang memuat modus operan-
Rocky mengatakan bahwa isu reclaiming di penghancuran kekuatan politik utama kelas
the state harus dikaitkan dengan hak. Buku buruh, yakni mobilisasi massa. Selama ini
yang sedang kita bahas ini sebenarnya tidak gerakan protes buruh selalu melalui mobilisasi
masuk ke sana, tetapi lebih dikaitkan dengan massa yang jarang menarik perhatian kelas
problem kesejahteraan. Perjuangan mempere- menengah, dan berusaha dihancurkan oleh
butkan kesejahteraan di berbagai tempat selalu pemerintah.
berkaitan dengan perjuangan kelas. Buku ini
juga membicarakan tentang sebuah konteks
Tamrin Amal Tomagola
politik bagaimana demokrasi harus mengantar
kita pada perjuangan membangun negara-ke- Menjawab masalah aktor yang mampu
sejahteraan. Itu problem yang diajukan oleh menggalang massa, maka tesis lama masih
pihak Universitas Gadjah Mada. berlaku hingga sekarang. Tesis lama itu menya-
Mereka juga membuktikan secara empiris takan bahwa hanya ada tiga kekuatan yang
bahwa semua kelompok masyarakat sipil punya mampu melakukan mobilisasi secara luas, yaitu
konsep kesejahteraan sendiri. Yang mereka komunis, militer, dan Islam. Komunis sudah
bahas dalam reclaiming the state adalah mem- lenyap. Militer dan Islam masih bisa melakukan
bayangkan state punya kapasitas menyeleng- mobilisasi, namun tidak ada counterpart-nya.
garakan kesejahteraan. Soal tersebut sebenar- Tidak ada yang bisa menandingi kemampuan
nya sudah menjadi agenda historis sejak negara mobilisasi mereka. Namun, yang secara poten-
ini didirikan. Persoalannya, bagaimana kita sial bisa menghadapi Islam dan militer hanya
melihat isu lama dalam konteks kekinian yang kaum buruh atau setidaknya buruh yang ber-
telah banyak terjadi pergeseran formasi kelas, orientasi kiri. Sebagaimana telah dibuktikan di
ketika komposisi kelas sudah jauh berubah masa lampau, hanya kelompok kiri yang bisa
dibanding pada masa kemerdekaan. Pendek menandingi. Di sini, kelompok buruh yang
kata, isu kelas menjadi relevan untuk dibicara- dimaksud bisa Islam, tetapi yang progresif dan
kan kembali dalam rangka memahami per- kiri—NU atau Muhammadiyah yang kiri. Na-
tarungan merebut negara kesejahteraan. mun, sebagaimana ditegaskan oleh Bonnie
Studi saya sendiri berkisar pada pertanyaan Setiawan, subjek politik kiri telah lama lenyap
apakah kekuatan sosial yang muncul sekarang dari lanskap politik Indonesia.
bisa menjadi otonom di luar kekuatan politik
yang mendominasi. Pertanyaan itu penting
karena mereka memiliki potensi kapasitas

D I A L O G
Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil 109

Lies Marcoes dalam membuat masyarakat adat terseret pro-


ses politik elektoral adalah karena banyak
Sebenarnya yang absen bukan hanya ge- pimpinan elite AMAN di tingkat lokal meru-
rakan kiri. Gerakan progresif dari kalangan pakan bagian dari elite nasional. Mereka bisa
agama juga telah “habis.” Dahulu kita punya menggalang kelompok-kelompok masyarakat
Cak Nur (Nurcholish Madjid—red) dan Gus adat. Mereka bisa masuk partai politik. Mereka
Dur (Abdurrahman Wahid—red) yang banyak bisa bertemu elite nasional karena mereka
melontarkan pemikiran progresif. Kita kerap adalah elite yang dilahirkan setelah diluncur-
mendiskusikan banyak hal di belakang dan kannya kebijakan desentralisasi. Harus pula
bersama mereka. Itu membuat kita punya ana- diingat bahwa masyarakat adat bukan masya-
lisis kritis yang bisa melahirkan banyak tin- rakat yang homogen. Di dalam, mereka terpi-
dakan. Kita tak tergantung hanya pada pemi- lah-pilah akibat perbedaan kelas dan lapisan
kiran tanpa tindakan. Pemikiran saja belum progresifnya bukan berasal dari kalangan elite
tentu menimbulkan harapan. Hanya tindakan masyarakat adat.
yang menjadi ibunya harapan. Sekarang, kea- Kembali ke perdebatan tentang kelas. Saya
daan berbalik total. Wacana keagamaan cen- melihat potensi kelas masih sangat penting
derung menjadi sangat konservatif. Tidak ada dalam proses demokratisasi. Itu karena perbe-
analisis kritis atas situasi empiris. Fiqih alternatif daan kelas bisa menjadi tenaga pendorong
yang dahulu pernah kita rumuskan tidak ada dalam menciptakan “keseimbangan kekuasaan
gemanya. Yang ada dan hendak diresmikan kelas” yang pada gilirannya bisa meningkatkan
adalah formalisasi fiqih lama yang konservatif, kualitas demokrasi agar kesejahteraan tidak
misalnya, melalui perda-perda syariah yang dikuasai oleh elite, tetapi bisa terdistribusi. Pada
dijadikan tandingan dan alternatif hukum posi- akhirnya, negara akan memiliki kapasitas seru-
tif. Islam telah dibajak kalangan konservatif pa melalui “model” negara kesejahteraan.
yang telah menjadi bagian dari negara. Kita Selain menganggap isu kelas tetap ber-
yang kehilangan produk-produk pemikiran baru guna dalam menelusuri kemelut politik demo-
Islam pun tidak bisa berharap banyak dari or- krasi, saya menilai masih relevan untuk be-
ganisasi-organisasi keagamaan besar, karena rangkat dari pemeriksaan klasifikasi kelas. Kita
mereka justru bergerak ke tengah menjadi bisa memeriksa kelas apa sebenarnya yang
pembela konservatisme agama sekaligus kon- mendominasi relasi demokrasi, sehingga me-
servatisme politik. reka bisa merebut agenda demokrasi. Di sisi
lain, kita bisa memeriksa siapa agen yang
secara material berpotensi menantang proses
Muhammad Ridha
pembajakan demokrasi.
Konservatisme dan politik berkembang
karena ada basis materialnya; rekanan-rekanan
Usman Hamid
kaum koservatif itu punya duit. Mereka
“dipaksa” menjadi subjek dalam politik Ada dua studi kasus yang bisa diangkat
konservatif. Itu juga terjadi di lingkungan ma- sebagai bukti keberhasilan pengorganisasian
syarakat adat. Saya hendak memperlihatkan kekuatan-kekuatan rakyat dalam merebut kem-
kepada Pak Tamrin, yang sangat optimistis bali demokrasi, bukan negara, melalui collective
melihat gerakan masyarakat adat, bahwa di situ action—yang berada di luar politik kelas.
juga ada problem “pengonservatifan.” Pertama, gerakan menolak proyek rekla-
Saya pernah melakukan riset selama dua masi di Teluk Benoa, Bali. Gerakan tersebut
bulan dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusan- mampu mengartikulasikan problem secara
tara (AMAN). Salah satu keberhasilan mereka terang-benderang dan jelas serta sangat nyata

D I A L O G
110 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

adanya keterlibatan lintas-aktor, yang juga merdekaan di Papua. Mereka tidak punya
berarti lintas-kelas. Mereka juga berhasil meng- ikatan historis dengan jajak pendapat tahun
galang massa untuk menduduki kota dan menu- 1960-an. Mereka tersadarkan melalui lite-
tup jalan raya. Di situ termasuk keterampilan ratur—terutama melalui internet—aspek revo-
memanfaatkan teknologi baru, misalnya, media lusioner, simbol, bahasa, bahkan mungkin ima-
sosial. Gerakan pengorganisasian kolektif itu ginasi baru tentang sebuah nation. Kemam-
berpengaruh besar dan memiliki daya tahan puan mobilisasi mereka juga melampaui aktor-
luar biasa. Negara gagal mengkriminalisasi aktor pembangkang di berbagai provinsi di
mereka. Bahkan, gerakan itu tetap bertahan negeri ini.
dan berlanjut hingga sekarang setelah beru- Kedua studi kasus itu—Papua dan Bali—
saha dihancurkan oleh kekuatan bisnis via luput dari evaluasi atas kondisi demokratisasi
aparatus negara atau oleh lembaga-lembaga di Indonesia. Dua kasus itu merupakan contoh
adat yang dibayar untuk mendukung proyek tentang soliditas, bukan fragmentasi, masya-
reklamasi. rakat yang bisa dijadikan rujukan bila kita mau
Kedua, dalam dimensi agak berbeda, adalah menyusun apa yang sebaiknya perlu dilaku-
Papua. Gerakan pro-kemerdekaan di tanah kan. Itu mengingatkan kita pada riset Demos
Papua dipelopori anak-anak muda berusia 17- mengenai gerakan-gerakan perlawanan menje-
27 tahun. Pada 2008-2009, mereka membentuk lang lengsernya Soeharto—pengalaman-pe-
wadah Komite Nasional Papua Barat (KNPB). ngalaman terbaik dalam mengorganisasi ke-
Kemampuan mereka dalam mengartikulasi kuatan rakyat, misalnya, petani Bengkulu dan
tuntutan, misalnya, self-determinitation, sangat Lampung atau aksi buruh di Medan dan Sura-
jelas. Pengaruhnya juga meluas di berbagai baya. Semua menyatu dalam sebuah geografi
kabupaten di Papua. Kemampuan mobilisasi perlawanan yang luas dan dirajut dengan perla-
mereka dalam menduduki jalan raya strategis wanan serupa di berbagai kota. Karena itu,
dan “melumpuhkan” Jayapura atau Abepura, yang perlu dilakukan adalah menjahit kembali
bahkan sampai ke Sorong, sungguh luar biasa. perlawanan lintas-aktor, tidak bisa hanya ber-
Sikap negara terhadap gerakan perlawanan harap pada konsolidasi NGO atau konsolidasi
seperti itu juga kian konfrontatif kelas buruh saja.
Mereka, gerakan perlawanan itu, menggu-
nakan media sosial untuk memperluas lingkup
Rocky Gerung
gerakan. Di situ juga ada “politisasi internet.”
Pos komando tersebar di berbagai warnet Saya agak skeptis dengan yang dikatakan
hampir di seluruh Papua. Mereka mengguna- Usman Hamid tentang Papua. Apa yang mau
kan modem, telepon seluler pintar, wifi – istilah kita ambil dari model perlawanan Papua? Bila
mereka untuk pencerahan politik demi lahirnya dilihat secara detail, dana otonomi khusus
kader-kader militan. Kader-kader militan itu (Orsus) Rp 156 triliun telah dikucurkan ke
kemudian menggunakan atribut dan simbol- Papua untuk menghidupi empat juta orang.
simbol revolusioner, seperti Ho Chi Minh, Che Semua “berterbangan” di Papua. Sampai seka-
Guevara, dan lain-lain. Dengan mengenakan rang tidak satu pun aktor negara berani me-
seragam militer, simbol-simbol revolusioner, minta pertanggungjawaban Papua akan penggu-
dan menamakan kamp-kamp mereka “kamp naan dana itu. Sekali Anda minta, mereka akan
Vietnam,” “kamp Bolivia,” spirit revolusioner berontak lagi. Semangat contentious-politics di
tetap terjaga. Sekali lagi, itu merupakan contoh Papua sebenarnya tidak meluas. Hanya empat-
gerakan resistansi lintas-kelas. lima orang tokoh saja yang pintar mengobarkan
Bagaimanapun juga, itu merupakan feno- “perlawanan.” Mereka mendapat dana Otsus
mena baru dalam regenerasi gerakan pro-ke- yang dipakai untuk “belanja revolusi” ke luar

D I A L O G
Demokrasi: Kembali ke Masyarakat Sipil 111

negeri. Mereka kirim sekumpulan anak muda Spearhead Group (MSG) diselenggarakan lagi
untuk belajar teori-teori ilmu sosial dari Bob pada 2017 dan negara masuk ke sana. Artinya,
Yessop, misalnya, dan selama 10 tahun menjadi itu sudah separuh merdeka bagi Papua. Lantas,
diaspora Papua. apa yang diperoleh gerakan pro-demokrasi di
Mereka kali pertama terpengaruh teori Indonesia seandainya dalam satu setengah
perlawanan politik Sandinista. Mereka pun tahun ke depan terjadi lagi eskalasi soal
membayangkan diri terlibat dalam perlawanan Papua—dan akhirnya mereka merdeka—serta
Kontra di hutan-hutan Nikaragua serta men- beberapa minggu kemudian Jokowi “dihajar”
dirikan sejumlah kamp di tempat itu. Mereka tentara. Hanya Jokowi yang beruntung karena
membuka kelas-kelas untuk mencetak “pembe- akan mendapatkan hadiah Nobel. Bukankah
rontak.” Keadaan di hutan Nikaragua diunggah Nobel lebih penting daripada NKRI dalam kasus
dan diolah di server Berkeley University, Ame- Papua. Kalkulasi semacam itu yang mesti
rika Serikat, yang kemudian disebar berupa diradikalisasi. Deviasi liberalisme tidak lantas
pamflet tuntutan politik, arah diplomasi, inter- membuat gerakan demokrasi mendapat efek
nasionalisasi isu Papua, dan sebagainya. Kita di transformatif bagi mereka yang berada di luar
sini gelagapan memahami situasi itu, seolah Papua.
turut menghadapi apa yang dirasakan negara Sekarang soal “kasus” Bali. Kita belum
yang gagal menyelenggarakan distribusi ke- menanyakan kenapa gerakan perlawanan di Bali
makmuran. Yang terjadi adalah dua deviasi. berhasil? Modalnya dari mana? Selain harus
Pertama, deviasi hak untuk menentukan nasib melihat bahwa di sana ada elemen determinasi
sendiri, self-determination. Kedua, deviasi kultural, juga di belakang itu kita bisa menduga
liberalisme. Kita sendiri tiba-tiba merasa ber- ada pertarungan dua korporasi yang sama-sama
dosa, karena mendefinisikan mereka sebagai berkepentingan dengan pembiakan industri
pemberontak dan masyarakat tribal. pariwisata. Jika pesisir pantai itu telah direkla-
masi, maka mereka yang memiliki banyak hotel
di Teluk Benoa akan meraup keuntungan besar,
Tamrin Amal Tomagola
karena semua pertemuan atau konferensi inter-
Ada dimensi lain yang juga harus diper- nasional akan pindah ke tempat itu. Sedangkan
hatikan. Negara tidak berkutik karena telah korporasi pemilik hotel di luar kawasan itu akan
menoleransi sekian banyak kepentingan peru- rugi, termasuk yang dimiliki grup Kompas,
sahaan-perusahaan global raksasa di Papua. karena hotel dan tempat penginapan mereka
kosong. Lantas mengapa analisis kelas tidak
digunakan dalam menelisik kasus tersebut?
Rocky Gerung
Padahal, itu alat analisis satu-satunya yang dapat
Itu soal lain. Yang menjadi masalah adalah dipakai untuk membedah pertarungan yang
bila persoalan tribalisme hanya bisa diselesai- sesungguhnya.
kan dengan self-determination. Sebagian lem- Memang masih ada gerakan (masyarakat)
baga swadaya masyarakat menahan tuntutan sipil yang solid atas nama demokrasi, namun itu
itu, karena telah menjadi bagian dari cara ber- sangat bersifat lokal. Tetap saja fenomena
pikir negara. Mereka adalah bagian dari orto- fragmentasi tidak terjawab, apalagi fragmentasi
doksi. Sekarang kita hitung, misalnya, bila itu dikaitkan dengan faksionalisme modal dan
putaran konferensi negara-negara Melanesian faksionalisme negara•

D I A L O G
112
Prisma Prisma
S UVol.
R V36,ENo.
I 1, 2017

Pertempuran Makna “Publik” dalam


Wacana Proyek Reklamasi Teluk Jakarta
Amalinda Savirani

Tulisan ini berupaya menggali makna isu “publik” dalam proyek reklamasi
pantai utara Jakarta dan pembangunan tanggul raksasa yang saat ini
masih berlangsung antara wacana milik negara plus pengembang versus
wacana milik aktivis masyarakat sipil. Sulit mengandaikan isu publik
sebagai sesuatu yang tuntas, karena setiap pihak melandasi pemahaman
“publik” dari rujukan pengetahuan yang berbeda. Perlawanan melalui
gerakan popular pada akhirnya adalah perang tentang makna kenyataan
dan defnisisi “publik” yang menyertai makna ini.

Kata Kunci: isu publik, masyarakat sipil, politik kota, reklamasi,


pertarungan wacana

P
ersoalan publik merupakan salah satu hak sipil warga negara yang dilakukan oleh
elemen penting dalam gagasan de- negara.
mokrasi yang diargumentasikan oleh Definisi demokrasi ala Beetham itu secara
1
David Beetham. Istilah “publik” dalam gagasan implisit mengandaikan bahwa public affairs
demokrasi Beetham, yakni “kendali popular adalah sesuatu yang given, tuntas, dan kare-
terhadap isu publik berdasarkan persamaan nanya dapat langsung menjadi perekat gerakan
politik” (popular control over public affairs based popular. Asumsi itu agak sulit diterima dalam
on political equality), dapat dimaknai sebagai konteks negara yang sedang berkembang
“urusan yang menyangkut hajat hidup warga demokrasinya. Makna “publik” sangat sumir
kebanyakan”, khususnya di kalangan akar rum- dan cair. Ia mengalami pergerakan dari waktu
put (grassroot). Selain itu, isu publik adalah ke waktu seiring dengan pergantian rezim
perekat yang dapat merekat sekaligus memberi politik yang juga dipengaruhi kerja kapitalisme
arah gerakan. Elemen “isu publik” itulah yang global. Artinya, makna “publik” selalu dalam
membedakan gagasan demokrasi ala Beetham proses pembentukan yang di dalamnya me-
dengan gagasan demokrasi beraliran pluralis ngalami chaos, saling berebut perhatian, dan
berbasis elektoralisme ala schumpeterian dan karenanya tidak atau belum terkonsolidasi.
aliran substantivis yang menekankan jaminan Hasil survei pakar yang dilakukan Uni-
versitas Gadjah Mada bekerja sama dengan
1
Lihat, David Beetham, Democracy and Human Universitas Oslo mengonfirmasi hal itu. Ketika
Rights (Cambridge, UK: Polity Press 1999). informan yang merupakan aktivis masyarakat

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 113

sipil ditanya, “apa isu publik terpenting” di dan makna “publik” terbangun dalam kasus
wilayah kerja mereka, jawaban yang mereka reklamasi Teluk Jakarta.
berikan berbeda ketika ditanya “apa isu publik
terpenting menurut warga kebanyakan di
2 Teori Wacana Reklamasi Teluk
daerah Anda”. Itu menunjukkan bahwa dari sisi
Jakarta
jenis isu publik ada perbedaan cara melihat apa
yang dianggap penting. Politik di era kontemporer bukan hanya
Tulisan ini mencoba memperdalam temuan “politik tentang siapa” (politics of who), me-
survei tersebut dengan mendorong lebih jauh lainkan juga “politik tentang apa” (politics of
perdebatan tentang makna “publik.” Proyek what).3 Tipe yang pertama adalah politik de-
Reklamasi Teluk Jakarta dan pembangunan ngan aliran konvensional yang berorientasi
Tanggul Raksasa (Great Garuda) menjadi titik pada aktor klasik perpolitikan, seperti negara,
masuk pendalaman itu. Dari kedua proyek yang lembaga perwakilan, partai politik, dan masya-
sepenuhnya dibangun oleh pengembang rakat sipil, serta relasi kekuasaan di antara
swasta (reklamasi Teluk Jakarta) dan pen- mereka dalam memperebutkan kekuasaan,
danaannya didukung Pemerintah Belanda sedangkan yang kedua adalah tradisi kajian
(tanggul raksasa), kita akan menggali bagai- politik pasca-strukturalis—analisis wacana
mana makna “publik” sulit dianggap sebagai termasuk di dalamnya.
sesuatu yang tidak bermasalah. Teori wacana mengandaikan bahwa pro-
4
Dengan menggunakan alat bantu teori ses sosial-politik adalah praktik wacana.
wacana (discourse theory), tulisan ini akan Wacana yang dimaksud adalah “artikulasi” atau
memperlihatkan bagaimana proyek reklamasi berargumen. “Artikulasi” dipahami sebagai
Teluk Jakarta dapat dibingkai dalam konteks “kegiatan/praktik apa pun yang membangun
mimpi kota modern; upaya penanggulangan relasi di antara elemen, termasuk identitas,
risiko akibat perubahan iklim (climate change). yang merupakan hasil dari modifikasi kegiatan
Ada dua kelompok wacana utama proyek re- berwacana/berartikulasi” (any practices esta-
klamasi itu: yang mendukung dan yang meno- blishing a relation among elements such as
lak. Teori wacana dioperasionalkan dengan their identity, which is modified as a result of
melacak storylines yang digunakan dalam dua the articulatory practices). Senada dengan itu,
kelompok wacana pro dan anti-reklamasi. Pela- dengan penajaman di beberapa elemen, Hajer
cakan wacana dan storylines dibatasi pada data memahami wacana sebagai “rakitan ide, kon-
periode tiga tahun terakhir, saat wacana re- sep, dan kategori yang diproduksi, direpro-
klamasi terus menguat. Data yang digunakan duksi, dan ditransformasi, dalam praktik yang
adalah kliping media, infografis yang tersebar di spesifik dan melalui praktik tersebut makna
5
media sosial terkait pemberitaan reklamasi realitas sosial dan realitas fisik dibangun”. Wa-
Teluk Jakarta, dokumen presentasi ilmiah para cana tidak pernah bersifat tetap (contingency),
ahli, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
lembaga donor seperti Bank Dunia, dan laman 3
Lihat, Roel Nahuis dan Harro van Lente, “Where
resmi pihak-pihak yang terlibat dalam pem- are the Politics? Perspective on Democracy and
bentukan wacana itu. Semua akan berujung Technology”, dalam Science, Technology, &
pada perdebatan tentang bagaimana gagasan Human Values, Vol. 33, No. 5, September 2008.
4
Lihat, Ernesto Laclau dan Chantal Moffee,
Hegemony and Socialist Strategy (London: Verso,
2
Lihat, Amalinda Savirani dan Olle Törnquist 1985).
(eds.), Reclaiming the State: Overcoming Problems 5
Marteen Hajer, The Politics of Environmental
of Democracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogya- Discourse (Oxford: Oxford University Press,
karta: Penerbit PolGov dan PCD Press, 2015). 1995), hal 44.

A R T I K E L
114 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

karena wacana bersifat relasional dan tidak reklamasi Teluk Jakarta, tulisan ini juga men-
pernah akan dapat membentuk dirinya sendiri dapat manfaat dari operasionalisasi gagasan
7
secara utuh. governmentality Michel Foucault. Sebagai
Sejalan dengan gagasan bahwa proses so- perspektif dalam melihat persoalan, govern-
sial-politik merupakan praktik wacana; pada mentality memberi perhatian khusus bahwa
dasarnya dunia berisi wacana. Antara satu wa- pemerintah (government) selalu terjalin dengan
cana dengan wacana lain berlangsung per- wacana. Teori wacana dapat melacak bagaimana
saingan untuk menjadi yang dominan. Proses proses jalan-menjalin dengan wacana ini lahir,
menjadi dominan melalui pertarungan diskursif tersebar, tertransformasi, menjadi hegemoni,
itu disebut proses hegemoni. Gagasan hege- atau saat ia tidak lagi populer.8 Pemerintah di
moni diambil dari Gramsci, meski Laclau dan sini dipahami sebagai “aktivitas rasional yang
Mouffe mengadaptasinya. Bagi Gramsci, he- tidak selalu terkalkulasi dengan baik, yang
gemoni adalah sebentuk kepemimpinan moral dilakukan oleh beragam aktor otoritas dan agen
dan intelektual yang mendukung relasi domi- … yang berupaya membentuk perilaku dengan
nasi yang sedang berjalan—relasi kapitalistik. cara masuk ke dalam keinginan, aspirasi, ke-
Bagi Laclau dan Mouffe, discourse dan praktik pentingan, dan keyakinan kita.9 Beragam upaya
merebut hegemoni tidak selalu terkait per- untuk membentuk perilaku berlangsung dalam
lawanan terhadap sistem ekonomi yang kapi- rezim perilaku (regime of practices) berupa
talistik, melainkan sebuah fenomena yang mengelola (govern) secara lebih terstruktur dan
6
melekat pada praktik politik apa pun. koheren, seperti dalam sistem pendidikan atau
Pada dasarnya, sebuah wacana bekerja da- sistem jaminan sosial.
lam “field of discursivity” atau arena tanpa batas Pada dasarnya, govermentality menstruk-
yang dinamis. Di dalamnya ada sangat banyak turisasi rezim pemerintahan melalui jawaban
wacana dan makna yang saling tumpang-tindih. terhadap empat hal: (1) bagaimana memerintah
Bagaimana membuat sebuah wacana menjadi (how to govern); (2) etika apa yang mendasari
hegemonik melalui proses (1) empty signifier: kegiatan memerintah (why to govern); (3)
elemen diskursif yang telah dikosongkan isinya pengetahuan apa yang digunakan untuk me-
demi menjadi alat penyatu wacana; (2) pemben- merintah (what to know for governing); dan (4)
tukan nodal points, yakni poin wacana yang struktur spesifik apa yang ada di sebuah ma-
10
diutamakan dalam rangka penyelesaian bersifat salah (what to govern). Keempat elemen
setengah jadi (privileged discursive points of tersebut akan digunakan sebagai kisi-kisi dalam
this partial fixation). Selain itu, ada dua jenis sis- memahami reklamasi Teluk Jakarta antara apa
tem operasi: logika persamaan (logic of equi- yang diwacanakan oleh pemerintah/pengem-
valence) dan logika perbedaan (logic of differ- bang dengan kalangan masyarakat sipil.
ence), atau sistem pembeda bersifat relasional Untuk mengetahui bagaimana keempat
yang mengutamakan otonomi dan perbedaan elemen di atas bekerja adalah dengan melacak
tanpa saling melepas di antara keduanya. storylines, yakni “sejenis narasi yang dipakai
Selain menggunakan teori wacana dalam
melacak discursive practice dalam proyek 7
Lihat, Methmann, “’Climate Protection’ as Empty
Signifier…”.
8
Lihat, Methmann, “’Climate Protection’ as Empty
6
Chris Paul Methmann, “’Climate Protection’ as Signifier…”.
Empty Signifier: A Discourse Theoretical Pers- 9
Lihat, Mitchell Dean, Governmentality: Power and
pective on Climate Mainstreaming in World Rule in Modern Society (London: Thousand Oaks,
Politics”, dalam Millennium: Journal of Internat- CA, dan New Delhi: Sage, 1999).
ional Studies, Vol. 39, No. 2, November 2010, hal. 10
Lihat, Methmann, “’Climate Protection’ as Empty
345-372. Signifier…”.

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 115

oleh aktor politik dengan menggunakan bera- (PP), satu keputusan presiden (Keppres), satu
gam jenis wacana dan dipakai untuk memberi instruksi presiden (Inpres), tiga peraturan men-
makna pada fenomena sosial tertentu.” Story- teri pekerjaan umum, satu peraturan menteri
lines merepresentasikan kenyataan sosial yang lingkungan hidup, satu peraturan menteri dalam
dilakukan dengan cara menggabungkan ber- negeri, dan enam produk peraturan pemerintah
bagai domain argumen. Storylines juga me- provinsi DKI-Jakarta.
nyediakan alat rujukan simbolis pada aktor Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun
untuk menciptakan kesamaan pemahaman. 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Dengan kata lain, storylines bukan sekadar adalah fondasi rujukan hukum kegiatan rekla-
bahasa dengan kandungan argumen tertentu di masi Teluk Jakarta. Ketika itu Presiden Soeharto
dalamnya, melainkan alat politik yang digunakan memproyeksikan perlunya pengembangan
aktor politik untuk membangun sekaligus kawasan di wilayah pantai utara dengan me-
mengatasi beragam variasi wacana.11 Ketika lakukan reklamasi laut menjadi daratan. Dalam
wacana dominan telah diterima (dengan satu bagian konsideran Keppres itu dapat dibaca
storylines tertentu), ia akan diikuti oleh aktor- alasan mengapa dilakukan reklamasi. Itulah
aktor lain yang menggunakan storylines yang storyline reklamasi Teluk Jakarta yang utama.
sama dan pada akhirnya menghasilkan wacana Dalam Perda DKI No.6/1999 Rencana Tata
yang permanen. Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta yang dike-
luarkan pada 1999, era Gubernur Sutiyoso,
dalam Paragraf 4 tentang Rencana Pengem-
Sejarah Reklamasi Teluk
bangan Kawasan Pemukiman pasal 32 ayat b
Jakarta
disebutkan bahwa wilayah reklamasi akan digu-
Jakarta Kekurangan Lahan: nakan untuk “permukiman masyarakat me-
Wacana Reklamasi Era Orde Baru nengah-atas.”
Produk hukum terkait reklamasi Teluk Dokumen RTRW Pemprov DKI Jakarta
Jakarta bersifat multidimensi—aspek sektoral, menjadi dokumen inti kegiatan reklamasi atau
aspek kewilayahan, dan aspek administratif penataan kawasan pantai utara Jakarta, karena
pemerintahan. Yang termasuk dalam aspek sek- di dalamnya mengatur fungsi kawasan tingkat
toral adalah tanah, perairan, perencanaan pem- pemerintah provinsi. Dokumen RTRW yang
bangunan nasional, lingkungan hidup, penang- lahir sekali dalam 20 tahun selalu mengalami
gulangan bencana, penataan ruang, pengolahan perubahan dalam era pemberlakuannya. Pada
sampah, lalu lintas dan angkutan laut, kawasan 1977, misalnya, Menteri Pertanian Thoyib
ekonomi khusus, pengelolaan kawasan pesisir Hadiwidjaja menerbitkan sebuah surat ke-
dan pulau-pulau kecil, dan lain-lain. Aspek skala putusan berisi jaminan hutan Angke Kapuk
mencakup skala administratif, yakni nasional, sebagai hutan lindung. Namun, Gubernur
provinsi atau lokal, dan kewilayahan terkait Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) mengeluar-
dengan spasial yang bukan berarti skala ad- kan keputusan yang isinya berbeda dengan SK
ministratif. Dilihat dari beragamnya sektor yang Menteri Pertanian itu. Pada 15 Agustus 1984,
terlibat dalam kegiatan reklamasi Teluk Jakarta, dia menetapkan areal pengembangan hutan
wacana yang muncul pun sangat kompleks Angke-Kapuk sebagai zona ekonomi. Wiyogo
mencakup semua aspek reklamasi tersebut. menganggap kawasan Angke patut dikembang-
Total 39 produk hukum terkait reklamasi kan karena memiliki nilai ekonomi sangat tinggi.
yang terdiri dari 13 produk hukum berupa Bila hanya sebagai hutan, rawa-rawa, dan tam-
undang-undang, sembilan peraturan presiden bak nelayan, nilai iuran pembangunan daerah
(Ipeda) yang bisa ditarik saat itu hanya Rp
11
Lihat, Hajer, The Politics of Environmental…. 2.000/hektar/tahun. Bila menjadi zona ekono-

A R T I K E L
116 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

mi, seperti wilayah perumahan, nilainya akan yang melakukan reklamasi daratan. Tiongkok
menjadi Rp 2.000.000/hektar/tahun. Kalau adalah negara yang melakukan reklamasi
kawasan yang berubah fungsi seluas 831,63 daratan terluas di dunia, yakni 4.600 mil per segi
hektar, maka pemprov akan mendapat dana atau hampir 1,2 juta hektar. Lokasi reklamasi
12
sekitar 2 miliar rupiah setiap tahun. berada di Laut Kuning (65% wilayah tidal-nya),
14
Yang dilakukan Gubernur Wiyogo saat itu di daratan rendah Yangtzi, dan Shanghai.
sesungguhnya bertentangan atau melanggar Kita akan melihat bagaimana pada era pasca
dokumen Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Orde Baru, line of reasoning (storyline) itu
1985-2005 dan Rencana Bagian Wilayah Kota. bergeser dan berubah.
Padahal, dalam rencana induk (master plan)
disebutkan dengan jelas bahwa kawasan ter- Perlindungan Lingkungan Hidup dan
sebut hanya digunakan sebagai hutan lindung Ancaman Bencana Perubahan Iklim:
dan hutan wisata, sekaligus mencgah bencana Wacana Reklamasi Pasca-Orde Baru
banjir di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Artinya, Pasca lengsernya Presiden Soeharto, pro-
tabrakan jangka panjang kepentingan nasio- yek reklamasi Teluk Jakarta menjalani proses
nal—diwakili oleh kementerian—dengan hukum saling bertentangan antar-kementerian.
kepentingan ekonomi pemerintah provinsi Akar dari pertentangan itu adalah perlindungan
telah berlangsung lama terkait pengelolaan kepentingan lingkungan hidup/sosial jangka
kawasan pantai utara Jakarta. Hal itu semakin panjang melawan perlindungan kepentingan
rumit di era pasca-Orde Baru. ekonomi jangka pendek—diwakili oleh peme-
Agenda reklamasi daratan di Teluk Jakarta rintah provinsi dan pihak pengembang.
terkait penyediaan lahan bagi penduduk ibu Pada 2003, Kementerian Lingkungan Hidup
kota yang akan terus berkembang. Agenda (KLH) menyatakan proyek reklamasi Teluk
kedua yang tak terkait langsung dengan proyek Jakarta tidak layak dilanjutkan karena berpo-
reklamasi adalah kepentingan ekonomi (pajak) tensi menimbulkan beragam ekses negatif ling-
menyangkut status lahan. Alasan kekurangan kungan hidup dan sosial. Pandangan itu tere-
lahan memang salah satu alasan standar dilaku- kam dalam Keputusan Menteri Lingkungan
kannya reklamasi di banyak negara. Proyek Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidak-
reklamasi dilakukan oleh Jepang, misalnya, layakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revi-
dilatari kondisi fisik geografis negara ini yang talisasi Pantai Utara Jakarta. Dari kajian Amdal
terdiri dari pegunungan dan dataran tinggi yang KLH, ada tujuh dampak negatif bila reklamasi
13
sulit dihuni penduduk. Total luas yang direk- daratan tetap di Teluk Jakarta, yakni (a) potensi
lamasi 110 mil per segi atau hampir 28,5 ribu banjir; (b) ketersediaan tanah urukan; (c) keter-
hektar. Negara lain yang memiliki keterbatasan sediaan air bersih; (d) pengaruh terhadap ke-
besaran daratan adalah Belanda. Negeri Kincir giatan-kegiatan yang telah ada; (e) perubahan
Angin itu telah melakukan reklamasi daratan pemanfaatan lahan; (f) pengelolaan sistem
seluas hampir 700.000 hektar dan menjadikan transportasi; dan (d) sistem pengelolaan sam-
15
Belanda sebagai negara kedua terbesar di dunia pah. Menurut pihak Kementerian Lingkungan

12
Budi Prasetyo Samadikun, “Dampak Pertim-
bangan Ekonomis terhadap Tata Ruang Kota Ja- 14
Lihat, World Atlas, “Countries with The Most
karta dan Bopunjur”, dalam Jurnal PRESIPITASI, Land Reclaimed from Seas and Wetlands”, dalam
Vol. 2, No. 1, Maret 2007, hal. 34-38. http://www.worldatlas.com/articles/countries-
13
Carlos Zeballos dan Keita Yamaguchi, “Impacts with-the-most-reclaimed-land.html (diakses 10
of Land Reclamation on the Landscape of Lake Agustus 2016).
Biwa, Japan”, dalam Procedia Social and Beha- 15
Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia,
vioral Science, Vol. 19, 2011, hal. 683-692. “Pertanyaan-pertanyaan yang Sering Diajukan

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 117

Hidup, upaya pengembangan kawasan dan Di tingkat provinsi, Gubernur Fauzi Bowo
perluasan lahan tidak boleh mengorbankan (2007-2012) mengesahkan tiga dokumen yang
aspek lingkungan hidup yang bersifat jangka semuanya mendukung proyek reklamasi. Per-
panjang. tama, Perda No. 1/2012 tentang Rencana Tata
Pada 2003, enam pengembang/kontraktor Ruang dan Wilayah (RTRW) 2010–2030. Dalam
yang akan melakukan reklamasi menggugat bagian lampiran dokumen Perda itu dimasukkan
Surat Keputusan itu ke Pengadilan Tata Usaha reklamasi 14 pulau di Teluk Jakarta. Kedua, di
Negara (PTUN). PTUN mengabulkan gugatan bulan September 2012 lahir Pergub No.121/
para pengembang. Merespons hasil ketetapan 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Re-
PTUN, Kementerian LH mengajukan kasasi ke klamasi Pantai Utara Jakarta. Dalam naskah itu
Mahkamah Agung (MA). Pada 2009, MA me- tercantum akan ada 17 pulau yang diberi nama
menangkan Kementerian Lingkungan Hidup Pulau A sampai Pulau Q dengan luas total wi-
dan membatalkan keputusan PTUN serta me- layah 5.155 hektar, lebih dua kali lipat dari
nyatakan reklamasi melanggar hukum dan rencana awal sebagaimana tercantum dalam
mengabaikan Amdal. Rencana reklamasi harus Keppres No. 52/1995 seluas 2.700 hektar.
dihentikan. Namun, enam kontraktor itu me- Pergub tersebut memproyeksikan akan ada
ngajukan Peninjauan Kembali (PK) dan MA 750.000 penduduk baru di ketujuhbelas pulau
16
memenangkan mereka pada 2011. Akhirnya, baru itu. Jumlah itu lebih sedikit daripada yang
wacana kepentingan ekonomi yang menang diproyeksikan dalam Keppres 1995 sebanyak
ketimbang wacana perlindungan lingkungan 1,7 juta jiwa. Ketiga, diumumkannya izin prinsip
hidup. untuk Pulau F, G, I dan K. Pengganti Fauzi
Dua tahun sebelumnya, antara 2007-2008, Bowo berturut-turut ialah Joko Widodo (2012-
lahir dua peraturan tentang reklamasi. Perta- 2014) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
ma, Gubernur Sutiyoso menerbitkan Surat Ahok mengeluarkan perpanjangan izin prinsip
Gubernur Nomor 1571/-1.711 pada 19 Juli 2007 yang sudah kadaluwarsa untuk Pulau F, G, I,
berisi pemberian izin prinsip kepada PT Kapuk dan K pada 2014. Pada 23 Desember 2014,
Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu Ahok menerbitkan izin pelaksanaan Pulau G
Group) untuk melakukan reklamasi Pulau 2A kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak peru-
yang kemudian menjadi Pulau D. Kedua, Presi- sahaan Agung Podomoro Land. Semua produk
den Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan hukum terkait reklamasi pulau-pulau itu masih
Perpres No. 54/2008 tentang Rencana Tata terkait dengan pesan Kepres 52/1995 tentang
Ruang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, pemenuhan lahan baru bagi warga ibu kota
Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Tujuan reklamasi yang akan terus meningkat.
dalam dua dokumen itu memperkuat isi Kep-
pres 52/1995 tentang “kelangkaan lahan bagi Reklamasi, Proyek Jakarta Coastal
warga ibu kota.” Defense Strategy (JCDS), dan
National Capital Integration Coastal
tentang Proyek Reklamasi Pantai Utara”, dalam
Defense (NCICD)
http://www.menlh.go.id/pertanyaan-perta- Pada 2007, di tengah berlangsungnya aturan
nyaan-yang-sering-diajukan-tentang-proyek- yang saling bertolak belakang antar-kementerian
reklamasi-pantura-jakarta/ (diakses 9 Agustus dan beragam izin yang keluarkan oleh pe-
2016). merintah provinsi, banjir besar melanda Jakarta.
16
Lihat, Evi Mariani, “Kronologi Reklamasi 17
Menurut data Bappenas, kerugian ekonomi yang
Pulau di Teluk Jakarta”, dalam https://medium.
com/@evimariani/kronologi-reklamasi-17-pulau- diderita Jakarta lebih dari Rp 5 triliun (dampak
di-teluk-jakarta-31109ee62efc#.vwxd33g6o ekonomi langsung) dan lebih dari Rp 3,5 triliun
(diakses 1 Agustus 2016). (dampak tidak langsung). Saat itu, fokus per-

A R T I K E L
118 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

hatian lebih pada penyebab banjir. Menurut Proyek JCDS bertujuan menyusun rencana
laporan Bank Dunia, bila penurunan permukaan strategis penanggulangan masalah banjir di Ibu
tanah tidak dihentikan, maka “Jakarta akan Kota yang akan dilaksanakan oleh Direktorat
tenggelam pada tahun 2030.” Pemerintah meng- Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PU.
gunakan data itu sebagai storyline masalah banjir Kebijakan JCDS adalah bagian dari kegiatan
yang dihadapi Jakarta serta kebijakan yang perlu “Partners for Water”, sebuah proyek interna-
diambil. Itulah awal lahirnya storyline, “banjir di sional yang diprakarsai Pemerintah Kerajaan
Jakarta disebabkan kenaikan air laut dan terus Belanda dalam mendorong kerja sama dengan
menurunnya permukaan daratan (land sub- mitra di luar Belanda. Dalam situs resmi dise-
sidience). Tanpa upaya serius, Jakarta akan teng- butkan bahwa proyek tersebut merupakan
gelam.” Storyline tentang kenaikan air laut terkait upaya membentuk “branding” Belanda sebagai
perubahan iklim global pun mulai muncul di negara dengan sistem pengaturan perairan
hadapan publik, terbaik di dunia, yang dicontohkan dalam kasus
Perairan Delta negeri itu. Program yang telah
“Mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo berakhir pada 2015 itu memiliki mitra di dela-
memberikan sejumlah peringatan kepada pan negara. Dalam brosur berjudul “Interna-
penerusnya, Joko Widodo atau Jokowi. Menu-
tionale Waterambitie”, dijelaskan ambisi negeri
rut Foke, Jakarta sudah termasuk dalam 20
kota besar yang akan tenggelam bila tidak kincir angin ini untuk menjadi pusat dunia dalam
ada langkah taktis untuk menanggulanginya. sektor perairan. Wacana yang dibangun doku-
Menanggapi peringatan pria berkumis itu, men tersebut adalah ancaman perubahan iklim
Jokowi mengaku telah melakukan antisipasi. Ia dunia yang berdampak pada siklus air. Berikut
pun menyebutkan proyek Giant Sea Wall rangkaian kalimat awal yang tersua dalam bro-
(Tembok Laut Raksasa) yang merupakan pro-
yek telah digagas sejak masa kepemimpinan
sur tersebut:
Sutiyoso dan Foke sebagai langkah antisipasi Ancaman terhadap banjir terus meningkat
mencegah banjir besar di Jakarta”.17 dengan konsekuensi kemanusiaan dan eko-
nomi yang mengiringinya. Di berbagai be-
Untuk itu, solusi yang ditawarkan Peme- lahan dunia, panen gagal berakibat pada
rintah Indonesia bersama dengan Pemerintah gelombang pengungsian manusia ke negara
Kerajaan Belanda adalah kebijakan Jakarta lain. Tuntutan akan ketersediaan air bersih
akan terus meningkat secara global, karena
Coastal Defense Strategy (JCDS) atau Strategi terus meningkatnya populasi dunia, pertum-
Pertahanan Perairan di Jakarta. Aktor multinas- buhan ekonomi, urbanisasi, dan perubahan
ional pun turut bergabung dalam isu penge- pola konsumsi manusia. … Sebanyak 90
lolaan pantai utara Jakarta. Wacana perubahan persen bencana dunia terkait dengan air.
iklim yang membawa dampak kenaikan per- Sebanyak 40 persen belahan dunia akan
berhadapan dengan masalah terkait air, baik
mukaan air laut pantai utara yang akan membuat
kelebihan air (banjir) ataupun kekurangan
ibu kota tenggelam, bila tidak ditangani secara air (kekeringan).19
serius18, adalah storyline utama. Pada dasarnya,
JCDS merupakan bagian dari Masterplan
17
Lihat, “Foke Ingatkan DKI Tenggelam, Jokowi: Percepatan dan Perluasan Pembangunan Eko-
Giant Sea Wall Dipercepat”, dalam http:// nomi Indonesia (MP3EI), koridor khusus untuk
news.liputan6.com/read/675145/foke-ingatkan- ibu kota negara, dengan wacana ancaman
dki-tenggelam-jokowi-giant-sea-wall-dipercepat.
18
Lihat, “Jakarta Coastal Defense Strategy End of
Project Review”, dalam http://www.partners
voorwater.nl/wp-content/uploads/2012/07/ 19
Lihat, “Internationale Waterambitie”, dalam
FinalMissionReportdefversion.pdf (diakses 5 http://www.partnersvoorwater.nl/ (diakses 14
Agustus 2012). Agustus 2016).

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 119

bencana air sebagai kerangka storyline. Pada air baru dengan kapasitas 330 meter kubik per
perkembangan kemudian, JCDS menjadi bagian menit dan kolam retensi seluas 750 hektar juga
dari proyek bernama Program National Capital dibutuhkan dalam opsi itu, namun tidak perlu
Integrated Coastal Development (NCICD) atau merelokasi banyak penduduk karena kolam
“Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Ne- retensi dibangun di pulau-pulau reklamasi. Opsi
gara.” Program tersebut diawali dengan mem- ketiga sama dengan opsi kedua, tetapi sungai
bangun tanggul raksasa sepanjang 32 kilometer ditutup. Akan dibutuhkan pompa dengan
dari barat hingga timur pesisir utara Jakarta. kapasitas lebih besar, yakni 500 meter kubik
Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah per detik untuk mengeluarkan air banjir sungai,
Korea Selatan menjadi mitra Pemerintah Indo- sedangkan kolam retensi yang dibutuhkan
nesia. Kedua proyek itu asal-usulnya terpisah, seluas 50 kilometer persegi. Kolam itu bisa
namun dalam dokumen yang dilansir Bappenas digunakan untuk membangun pelabuhan laut
dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Peru- karena berukuran lebih besar. Masalah sosial
mahan Rakyat (PUPR) menjadi satu. Mereka juga diminimalisasi. Namun, biaya opsi ketiga
21
disatukan oleh wacana “Jakarta akan tenggelam lebih besar daripada opsi pertama dan kedua.
pada 2030.” Proyek reklamasi yang awalnya Pemerintah tampaknya memilih opsi ke-
juga terpisah, dalam dokumen Kementerian tiga, dengan perkiraan dana sebesar 40 miliar
PUPR menjadi satu dengan NCICD dan me- dolar AS. Dengan membayangkan Jakarta akan
miliki nama baru, yakni “Great Garuda” atau tenggelam pada 2030, Presiden Joko Widodo
proyek garuda—tanggul raksasa dan pulau- dalam sidang kabinet terbatas di Jakarta, 24
pulau reklamasi baru di dalamnya mirip bentuk April 2016, mengingatkan, “tanpa Proyek Ga-
burung garuda, burung mitos terkait dengan ruda, Jakarta bisa tenggelam… Diperkirakan
identitas Indonesia. bahwa seluruh Jakarta Utara akan tenggelam di
Dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Ke- bawah permukaan laut pada tahun 2030…
menterian Infrastruktur dan Lingkungan Hidup Karena itu, pengembangan pantai ibu kota
22
Belanda pada 2012, ada tiga pilihan untuk me- adalah jawaban untuk Jakarta”. Tanggul rak-
lindungi Jakarta agar tidak tenggelam akibat pe- sasa juga dibutuhkan guna menyediakan air
nurunan muka tanah: (a) membangun tanggul bersih bagi warga DKI Jakarta. Bagian dari
di bibir pantai; (b) membuat tanggul di laut “Proyek Garuda” adalah pembangunan waduk
dengan menutup 13 sungai yang ada di Jakarta; air tawar yang fungsinya untuk menyediakan
dan (c) membangun tanggul di laut dan tetap sumber air bersih.
20
membuka aliran 13 sungai. Untuk opsi per- Apa yang bisa digarisbawahi dan dapat
tama, menjaga tanah bebas banjir, dibutuhkan disimpulkan dari uraian produk hukum terkait
pompa air baru berkapasitas 200 meter kubik reklamasi daratan di Teluk Jakarta sejak 1995
per detik dan tambahan kolam retensi (ruang sampai 2012? Pertama, tujuan reklamasi Teluk
terbuka biru) di Jakarta Utara seluas 600 hektar
yang akan “merelokasi” 100-200 ribu penduduk 21
Tempo Online, “Strategi Penanganan Banjir
yang tinggal di daratan. Jakarta Diharapkan Terlaksana dalam 10 ta-
Opsi kedua adalah membangun tanggul hun”, dalam https://metro.tempo.co/read/
yang dikombinasikan dengan proyek reklamasi news/2011/06/28/057343796/strategi-pena-
pulau-pulau baru. Tanggul akan dibangun di nganan-banjir-jakarta-diharapkan-terlaksana-
lahan reklamasi dan di atas laut untuk dalam-10-tahun (diakses 4 September 2016).
22
Lihat, Deutsche Welle. “Presiden Jokowi: Jakarta
mengurangi panjang tanggul. Tambahan pompa
Tenggelam Tanpa Tanggul Raksasa”, dalam
http://www.dw.com/id/presiden-jokowi-jakar-
20
Lihat, “Jakarta Coastal Defense Strategy End ta-tenggelam-tanpa-tanggul-raksasa/a-19222934
of…”. (diakses 3 September 2016).

A R T I K E L
120 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Jakarta dilanjutkan adalah untuk menyediakan apa yang disebut “publik” sulit dianggap sebagai
permukiman kelas menengah-atas, bukan un- sesuatu yang sudah tuntas dan terus mencari
tuk semua lapis kelas sosial, termasuk kelas bentuk. Bentuknya sangat ditentukan oleh
bawah yang merupakan kelompok mayoritas kepentingan yang dimiliki oleh pemilik otoritas
dalam struktur kependudukan di Indonesia. politik, yang biasanya didukung oleh pemilik
Dengan kata lain, “publik” yang dimaksud di otoritas ekonomi/modal.
sini bukan rakyat kebanyakan. Kedua, dalam
naskah Keppres 1995, alasan reklamasi adalah
Wacana Reklamasi Teluk
“kelangkaan lahan di Jakarta” dan pada per-
Jakarta: Antara Versi Negara
kembangannya tujuan itu bergeser menjadi
dan Pengembang Versus
gagasan “pertahanan dari banjir”, dan hal ini
Masyarakat Sipil
diperuntukkan bagi publik. Di sini, makna
publik bergeser dari soal lahan ke soal banjir. Proyek reklamasi pantai utara Jakarta me-
Kita dapat melihat bahwa definisi “publik” ngemuka ke publik saat Komisi Pemberantasan
terus-menerus bergeser meski menyangkut Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua Ko-
urusan pembangunan proyek yang sama. misi D DPRD Provinsi DKI Jakarta Mohammad
Sementara itu, pasca-Orde Baru, isu rekla- Sanusi pada Maret 2016. Sanusi ditangkap
masi Teluk Jakarta, yakni penyiapan daratan karena diduga mendapat dana suap dari pe-
baru untuk menampung warga ibu kota, “ber- ngembang dalam konteks pembahasan ran-
koalisi” dengan tantangan perubahan iklim cangan peraturan daerah (Raperda) Rencana
yang dianggap sebagai akar dari terus meluas- Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara
nya daratan di pantai utara yang tergenang air (RZWP3K) serta revisi Peraturan Daerah No-
dari laut (rob). Jenis masalah bergeser dan mor 8 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Re-
karenanya karakteristik kepublikan juga ber- klamasi dan Rencana Tata Ruang Pantai Utara
geser. Makna publik kian meluas pada era Jakarta. Kasus itu merembet kepada Presiden
pasca-Orde Baru tidak hanya terbatas pada Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman
soal “penyediaan permukiman untuk kelas Widjaja, yang juga ditangkap KPK. Pada Sep-
menengah-atas”, melainkan juga urusan “per- tember 2016, Pengadilan Tindak Pidana
lindungan ibu kota dari bahaya tenggelam pa- Korupsi menjatuhkan vonis tiga tahun penjara
da 2030”. Meminjam istilah Laclau dan kepada Ariesman.
Mouffe, kedua hal itu adalah nodal points. Momentum kedua adalah saat Menteri
Kedua wacana dominan tersebut akan me- Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli,
ngalami dislocation ketika wacana lain dari berdasarkan kajian Komite Gabungan yang
kalangan masyarakat sipil berupaya menan- terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang
dinginya. Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Per-
Yang terpenting dari pergeseran makna ikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan
“publik” itu adalah tidak adanya pelibatan publik Kehutanan, serta Pemerintah Provinsi DKI
secara umum dalam setiap perdebatan. Semua Jakarta, menghentikan proyek reklamasi Pulau
diputuskan oleh negara dan swasta. Publik G, berdasarkan SK Kementerian Lingkungan
tinggal menerima. Proses pemberian izin ke- Hidup No.354/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/
pada para pengembang dilakukan sepenuhnya 2016. Pada September 2016, Menteri Koordi-
oleh gubernur dengan proses kebijakan tek- nator bidang Kemaritiman (pengganti Rizal
nokratis terfokus pada hal-hal teknis, bukan Ramli) Luhut Pangaribuan menyatakan bahwa
melalui proses yang deliberatif. Kembali pada proyek reklamasi dilanjutkan. Sebelum dua
rumusan Beetham tentang isu publik dalam momentum tersebut, kegiatan reklamasi jauh
gerakan popular. Kita dapat memahami bahwa dari jangkauan publik, karena ia sebatas hal

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 121

yang dikelola oleh dua aktor: pemerintah dan sama dalam menjelaskan hasil reklamasi seluas
pengembang. 5.500 hektar yang akan mampu menampung
Tersisihnya peran publik dalam proses sekitar 1,8 juta penduduk baru dan dapat
pembuatan kebijakan reklamasi Teluk Jakarta menyerap 2,6 juta orang tenaga kerja. Dari luas
merupakan ciri penting dari kebijakan ini. tanah baru tersebut, sebesar 45 persen akan
Proses pengambilan kebijakan tidak transparan dibangun lokasi perumahan dengan luas 14,1
dan partisipatoris. Banyak hal serba tertutup, juta meter persegi.24
termasuk dokumen-dokumen hasil proses ke- Sementara itu, Deputi Perwakilan dan Ma-
bijakan yang sulit diakses publik. Atas dasar najer Proyek Witteven+Bos, perusahaan kon-
itulah, kelompok Koalisi Selamatkan Teluk sultan asal Belanda, yang mendampingi proyek
Jakarta mengajukan sengketa informasi kajian reklamasi Teluk Jakarta, Sawarendro, menya-
reklamasi. Tertutup dan tidak partisipatorisnya takan bahwa reklamasi adalah pilihan karena
proses pembuatan kebijakan isu reklamasi Jakarta semakin padat; semakin banyak pen-
bertentangan dengan Pasal 3 Undang-Undang duduk yang membutuhkan lebih banyak ruang
Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin untuk tinggal dan bekerja. Pengembangan ke
hak warga negara untuk mengetahui rencana sisi timur dan barat di dalam kota sudah tidak
pembuatan kebijakan, program kebijakan, dan bisa jadi pilihan. Bekasi dan Tangerang sudah
proses pengambilan keputusan publik, serta berpenduduk sangat padat. Pengembangan ke
alasannya. Pasal 5 Peraturan Komisi Informasi wilayah selatan, yakni ke Depok dan Bogor,
(KI) Nomor 1 Tahun 2013 menegaskan bahwa tidak bisa dilakukan karena telah menjadi
25
penyelesaian sengketa informasi publik melalui wilayah hijau (konservasi).
KI dapat ditempuh apabila pemohon tidak puas Argumen tentang kekurangan lahan di ibu
terhadap tanggapan atas keberatan yang kota dibantah oleh kalangan ahli tata kota yang
23
diberikan. menyatakan sebaliknya: Jakarta tidak keku-
Bagian berikut menggali dan menggunakan rangan lahan. Argumen itu dilandasi penghi-
tiga storylines utama dalam kasus proyek rekla- tungan Koefisien Luas Bangunan (KLB), atau
masi pantai utara Jakarta, yakni (a) Jakarta FAR (Floor Area Ratio), yakni proporsi lantai
membutuhkan reklamasi karena kekurangan terbangun dengan luas lahan yang ada. Setiap
lahan; (b) Jakarta membutuhkan reklamasi kota besar di dunia memiliki KLB yang tinggi.
karena memiliki dampak positif dari sisi eko- KLB terkait dengan densitas atau kepadatan
nomi, sosial, dan lingkungan; serta (c) Jakarta penduduk di sebuah kota. Jakarta sendiri me-
membutuhkan reklamasi karena dapat mence- miliki KLB 3, sedangkan Singapura dengan luas
gah banjir rob. wilayah 72 ribu hektar memiliki KLB 8. Artinya,
luas lantai yang terbangun di negeri itu 8 x 72
Storyline 1: “Reklamasi Dibutuhkan ribu hektar = 576 ribu hektar. Jumlah penduduk
Karena Jakarta Kekurangan Lahan” Singapura 5,5 juta jiwa. Jumlah kepadatan
Storyline itu digunakan oleh pemerintah penduduk per besar lahan adalah 5,5 juta dibagi
dan para pengembang. Deputi Bidang Sarana
dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas 24
Liputan 6, “Pembangunan Giant Sea Wall Masih
Dedy S Priatna menggunakan storyline yang Tahap Studi KelayakanTanah”, dalam http://
news.liputan6.com/read/2018853/pemba-
ngunan-giant-sea-wall-masih-tahap-studi-kela-
23
Tempo online, “Koalisi LSM Ajukan Sengketa yakan-tanah (diakses 15 Agustus 2016).
Informasi Kajian Reklamasi”, dalam https://na- 25
National Geography Indonesia, “Sawendro:
sional.tempo.co/read/news/2016/10/06/1738 Reklamasi adalah Misi” dalam, http://national-
09962/koalisi-lsm-ajukan-sengketa-informasi- geographic.co.id/opini/2015/12/reklamasi-
kajian-reklamasi (diakses 16 Oktober 2016). adalah-misi (diakses 3 Juli 2016).

A R T I K E L
122 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

72 ribu, yakni 76,4 jiwa per hektar, atau separuh persen itu, ada 5 persen milik DKI bisa
kepadatan penduduk Jakarta yang sebanyak didirikan bangunan komersial”.27
152 jiwa/hektar.
Pada intinya, dari penghitungan sederhana Storyline “reklamasi penting bagi ekonomi”
seperti itu dan perbandingan KLB dengan itu diamplifikasi pemerintah provinsi dan di-
Singapura, Jakarta tidak kekurangan lahan. dukung oleh sejumlah ahli dan konsultan. Salah
Karena itu, yang dibutuhkan bukan tambahan seorang di antaranya berpendapat sebagai
kawasan baru, melainkan menambah lantai berikut:
terbangun. KLB yang relatif rendah di Jakarta “Dari reklamasi, berbagai aktivitas ekonomi
merefleksikan berlangsungnya ketakadilan bisa masuk ke situ. Bisa menambah penda-
ruang: ada ruang yang sangat besar dan dihuni patan daerah. Dari positif konsep, reklamasi
oleh sedikit orang, dan sebaliknya ada ruang bisa berkontribusi atas ruang terbuka hijau
yang baru. Karena di Jakarta kalau beli ta-
yang sangat sempit dihuni banyak orang.26 Itu nah kemudian dijadikan ruang terbuka hijau
merupakan wacana keadilan ruang yang coba lebih ada cost-nya ketimbang nanti ada pu-
dibangun oleh kalangan masyarakat sipil. lau reklamasi kemudian berikan 10 persen
Dari uraian di atas, kita dapat mendeteksi untuk ruang terbuka hijau. Ini juga bisa
ada dua storyline berbeda yang sedang ber- mengubah pola arus sesuai dengan yang di-
kehendaki. Ini bisa kita atur sesuai dengan
tempur terkait reklamasi pulau-pulau baru di
kepentingan kita, terutama untuk kepela-
Teluk Jakarta, yakni “reklamasi dibutuhkan buhanan. Jadi, sedimentasi dalam bisa kita
karena Jakarta kekurangan lahan” versus putar. Daerah yang sedimentasinya tinggi
“reklamasi tidak dibutuhkan karena Jakarta bisa jadi rendah”.28
tidak kekurangan lahan.” Data yang digunakan
oleh kedua belah pihak sama-sama solid, dida- Sumber lain yang mendukung reklamasi
sari oleh kajian akademik yang memadai. De- dilansir dari “fakta grafis” melalui media sosial
ngan kata lain, pengetahuan adalah basis pen- twitter menyebutkan manfaat reklamasi, yakni
ting dari terbangunnya storyline. memberi daya tampung baru bagi warga seba-
nyak hampir 750 ribu jiwa penduduk, mem-
Storyline 2: “Jakarta Membutuhkan berikan hunian vertikal kepada lebih dari 2,3
Reklamasi karena Dampak Ekonomi, juta jiwa, dan hunian tapak (landed house) lebih
Sosial, dan Lingkungan yang Positif” dari 187 unit. Ada dugaan akun twitter “fakta
Pemerintah Provinsi DKI adalah pihak grafis” itu didanai oleh pihak pengembang.
paling berkepentingan dengan dampak ekonomi Dampak sosial-ekonomi reklamasi seperti
proyek reklamasi. Sebagaimana dipaparkan itu dianggap ilusi oleh kalangan masyarakat
Basuki Tjahaja Purnama: sipil. Storyline yang dibangun adalah “reklamasi
membawa dampak ekonomi yang buruk bagi
“DKI Jakarta akan mendapat pajak pengha-
silan dan kami dapat tanahnya 45 persen
nelayan yang terkena dampak reklamasi.” Pusat
yang tidak bisa dijual, untuk jalur hijau. Lalu Data dan Informasi Koalisi Rakyat untuk Kea-
5 persen tanah DKI yang bisa dijual akan dilan Perikanan (Kiara) tahun 2014 memper-
dipakai Pemprov. Untung. Kalau diuruk 100 kirakan reklamasi akan menggusur nelayan di
hektarý, maka 100 hektar itu punya DKI. Pi- perkampungan nelayan Kamal Baru, Muara
hak swasta berhak menggunakan 55 persen
lahan, tapi itu bukan punya swasta. Dari 55
27
CNN Indonesia, “Ahok Beberkan Keuntungan
Reklamasi Teluk Jakarta”, dalam http://www.
26
Lihat, Marco Kusumawijaya, “Keseimbangan cnnindonesia.com/nasional/20150422223444-20-
dan Keadilan di Kota”, Presentasi dalam diskusi 48604/ahok-beberkan-keuntungan-reklamasi-
terbatas, 21 Juni 2016. pesisir-jakarta (diakses 14 April 2016).

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 123

Baru, Muara Angke, Kampung Luar Batang, buatan di Teluk Jakarta. Perusahaan pengeruk
permukiman depan Taman Impian Jaya Ancol, pasir milik Belanda, yakni Boskalis dan Van
dan Marunda Pulo. Setidaknya 3.579 KK ne- Oord, mendapat proyek bernama “Pluit City”
layan akan tergusur.29 Penelitian Dr Herdianto (lokasi di Pulau G) dari PT Muara Wisesa Sa-
WK pada 2005 menyebutkan bahwa proyek mudra, anak perusahaan PT Agung Podomoro
reklamasi yang akan menelan biaya sebesar Rp Land. Tujuan dari pembuatan pulau itu adalah
3.499 triliun atau US$ 350 miliar tersebut bagian dari upaya melindungi daratan Jakarta
31
memberikan nilai ekonomis jauh lebih rendah, Utara dari banjir rob. Dalam laman milik
yakni hanya sebesar Rp 572 triliun atau US$ 57 Boskalis juga disebutkan bahwa pembangunan
miliar. pulau baru adalah untuk melindungi Jakarta dari
ancaman kenaikan air laut (to protecting Jakarta
32
Storyline 3: “Jakarta Membutuhkan from the rising sea-level). Nilai kontrak sebesar
Reklamasi karena Dapat Mencegah Banjir 350 juta euro dengan saham Van Oord sebanyak
Rob” 50 persen. Van Oord yang memiliki keahlian di
Direktur Eksekutif Indonesia Water bidang pengerukan (dredging), rekayasa laut
Institute Firdaus Ali, misalnya, memaparkan (marine engineering), dan proyek lepas pantai
bahwa: (off shore), juga terlibat dalam reklamasi Palm
Jumeirah di Dubai.
“Penurunan muka tanah terus terjadi di wila-
yah Jakarta setiap tahun. Penurunan ini ber- Kalangan masyarakat sipil berpendapat
beda di setiap titik di Jakarta, yang paling bahwa reklamasi bukan penyelesaian masalah
parah memang di utara Jakarta. Kalau laju banjir. Penyebab banjir adalah karena terja-
ekstraksi air tanah yang merupakan penye- dinya penurunan permukaan tanah. Penurunan
babnya tidak ditangani serius, maka Jakarta muka tanah disebabkan oleh empat hal: (a) pe-
40 tahun ke depan akan tenggelam. Sangat
disayangkan kekhawatiran yang berlebihan
nyedotan air bawah tanah; (b) beban bangunan
terhadap dampak reklamasi. Sebab, banyak yang memberi tekanan pada tanah; (c) gerakan
solusi untuk mengatasi dampak negatif di tektonik; dan (d) konsolidasi alamiah lapisan
Jakarta jika reklamasi dilakukan. Selain itu aluvial tanah. Penyebab pertama adalah faktor
penambahan lahan sangat penting, karena terbesar.33 Kompleksitas penyebab masalah
ada tidaknya reklamasi, penduduk DKI selalu
banjir itu membuat penyelesaian masalah banjir
mengalami pertumbuhan”.30
harus dengan mengatur tata kelola air.
Pembenahan tata kelola air dilakukan de-
Dalam laman dutchwatersector.com dipa-
parkan informasi tentang proyek pulau-pulau ngan melarang penyedotan air tanah. Kon-

28
Liputan 6, “Ini Dampak Positif adanya Rekla- 31
Dutch Water Sector, “Construction an artificial
masi”, dalam http://bisnis.liputan6.com/read/ island off the coast of Jakarta, Indonesia”, dalam
2503423/ini-dampak-positif-adanya-reklamasi http://www.dutchwatersector.com/solutions/
(diakses 14 Mei 2016). projects/379-constructing-an-artificial-island-off-
29
Lihat, Kertas Posisi, “Koalisi Selamatkan Teluk the-coast-of-jakarta-indonesia.html (diakses 14
Jakarta”, 2016. Koalisi ini terdiri dari Kesatuan September 2016).
Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Wahana 32
Boskalis, “Artificial Island off the Coast of Jakarta,
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Indonesia”, dalam http://boskalis.com/about-
Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Solidaritas Pe- us/projects/detail/artificial-island-off-the-coast-
rempuan, KPI, Yayasan Lembaga Bantuan Hu- of-jakarta-indonesia.html (diakses 14 September
kum Indonesia (YLBHI), Kiara, dan ICEL. 2016).
30
Liputan 6, “Ini Cara agar Jakarta Tak Tenggelam 33
Hasanuddin Z Abidin, et al., “Land Subsidence
40 Tahun ke Depan”, dalam http://news.liput- of Jakarta (Indonesia) and its Relation with
an6.com/read/2299688/ini-cara-agar-jakarta- Urban Development”, dalam Natural Hazards,
tak-tenggelam-40-tahun-ke-depan. No.59, Desember 2011, hal. 1753-1771.

A R T I K E L
124 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

sekuensi dari pelarangan itu adalah membenahi ngandung zat pencemar sebesar 84 miligram
pasokan air bersih ke warga Jakarta. Saat ini, per liter. Hal itu membuat Jakarta berada di
pasokan air bersih untuk warga Jakarta ber- posisi kedua terendah terkait sanitasi di antara
sumber dari Waduk Jatiluhur di Jawa Barat dan ibu kota negara di Asia Tenggara.36
Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya. Data PAM Bagi kalangan masyarakat sipil, penye-
Jaya menunjukkan cakupan layanan air bersih lesaian masalah penurunan permukaan tanah
bagi warga DKI Jakarta sampai dengan tahun adalah dengan tata kelola air yang terintegrasi
2015 mencapai 814.000 sambungan. Angka itu (integrated water governance). Tata kelola itu
merupakan 62 persen dari total wilayah di ibu terentang mulai dari pasokan air bersih dan
kota. Sementara itu, kebutuhan air bersih di kesiapan infrastruktur, pengelolaan limbah,
Jakarta mencapai 29.474 per detik, padahal dan pemeliharaan saluran air. Dengan cara itu,
kapasitas produksi PT PAM Jaya hanya sebesar solusi masalah banjir, air, dan tata kelola air,
17.875 per detik atau sekitar 60 persen dari bersifat jangka panjang dan berkesinam-
34
total kebutuhan. bungan.
Warga ibu kota dan pengelola bangunan “Reklamasi akan mencegah banjir” dibantah
secara mandiri menyedot air dari dalam tanah dari sisi teknis besarnya kapasitas pompa yang
untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Data dapat mengeluarkan air dari Jakarta ke bagian
statistik Jakarta tahun 2015 menyebutkan dalam Teluk Jakarta. Air yang ada di Jakarta
jumlah hotel di Jakarta sebanyak 439 hotel perlu dipompa ke bagian dalam Teluk Jakarta
terdiri dari 228 hotel bintang dan 212 hotel akibat jauhnya muka air (titik terendah untuk
non-bintang. Bahkan, menurut Global Cities mengalirkan air) dari arah hulu. Perkiraan biaya
Retail Guide 2013/2014 dari Cushman & total sebesar Rp 300 miliar per tahun dalam
Wakefield, jumlah mal di Jakarta sebanyak 173 keadaan normal. Muka air yang rendah itu
unit dengan total luas 4 juta meter persegi atau disebabkan oleh sedimentasi (penumpukan
9 kali luas negara Vatikan.35 material di dasar sungai) yang sangat tebal,
Selain penyediaan air bersih, isu pengelo- padahal pelebaran sungai tidak mungkin dila-
laan air limbah (waste management) juga tak kukan akibat padatnya permukiman. Artinya,
kalah penting. Proyek NCICD dirancang de- kapasitas dan biaya penggalian sedimen men-
ngan memperkirakan pengelolaan air limbah jadi biaya rutin yang akan dikeluarkan setiap
Jakarta sudah sempurna. Pada kenyataannya, tahun. Tanpa pompa air, Jakarta akan tetap
Jakarta baru memiliki satu kolam penampungan dilanda banjir.37
dengan kapasitas pengolahan 1.800 meter Senada dengan Muslim Muin, pakar bidang
kubik air limbah per hari. Menurut pihak Peru- kelautan dan oceanografi IPB, Alan Frendy
sahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah (PAL) Koropitan, menyatakan bahwa pembangunan
Jakarta Raya, ratusan ribu meter kubik air tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta akan
limbah masih dibuang ke saluran kota dan menyumbat aliran air di muara dan menambah
berakhir di Teluk Jakarta. Air limbah itu me- sedimentasi, sehingga ancaman banjir justru
bertambah akibat limpasan air:
34
Kompas.com, “Pasokan Air Bersih di Jakarta
Hanya Sepertiga dari Kebutuhan”, dalam http:/
/megapolitan.kompas.com/read/2016/05/25/ 36
Tempo.com, “Jakarta Terancam Jadi Kubangan
19490021/pasokan.air.bersih.di.jakarta.hanya. Limbah”, dalam https://metro.tempo.co/read/
sepertiga.dari.kebutuhan (diakses 30 Mei 2016). news/2016/10/07/083810467/jakarta-terancam-
35
Market Plus, “Jakarta Kota dengan banyak Mall jadi-kubangan-limbah-raksasa (diakses 8 Okto-
di Dunia”, dalam http://marketplus.co.id/2014/ ber 2016).
09/jakarta-kota-dengan-banyak-mall-di-dunia 37
Muslim Muin, “Jakarta Tanpa Tanggul Raksasa”,
(diakses 15 September 2016). dalam Kompas, 6 Juni 2016.

A R T I K E L
Amalinda Savirani, Pertempuran Makna “Publik” 125

“Jika arus mengalami perlambatan, maka tentang banjir, tentang reklamasi, dan tentang
pergerakan material seperti limbah organik, perlindungan keanekaragaman hayati. Proyek
sedimen, dan logam berat ikut terhambat ka-
Pembangunan Kawasan Pesisir Ibukota
rena flushing time (waktu cuci) teluk melam-
bat, sehingga material cenderung tertinggal (NCICD/Great Garuda) menjadi nodal points
dan perairan lebih tercemar. Sebelum dilaku- wacana yang diutamakan dalam rangka pe-
kan reklamasi, Teluk Jakarta memang sudah nyelesaian bersifat setengah jadi. Proyek re-
tercemar. Tapi setidaknya material tersebut klamasi Teluk Jakarta menjadi bagian dari
masih bisa dialirkan. Namun, dengan adanya proyek Pembangunan Kawasan Pesisir Ibu
pulau-pulau kecil dari hasil reklamasi, aliran
ini kian terhambat sehingga Teluk Jakarta
Kota, tempat tanggul raksasa akan dibangun,
makin tercemar dan efek sedimentasinya waduk penampung air bersih bagi warga ibu
dapat memperparah banjir di sekitar hilir kota juga akan dibangun, plus hunian bagi kelas
sungai”. 38 menengah, dan kota modern di area perairan
(waterfront city). Semua menyatu dalam sebuah
Dua Wacana Utama dan nodal points, yakni wacana “Jakarta akan teng-
Analisisnya gelam pada 2030.”
Selain metamorfosa wacana yang sebelum-
Dari pemaparan tiga storylines di atas, kita nya mengambang, menjadi sebuah nodal
bisa melihat bahwa sebelum storyline tentang points, uraian di atas dapat juga diberi kerangka
“perubahan iklim yang berakibat tenggelamnya (mengikuti gagasan Methmann)39 dalam kon-
Jakarta pada 2030” dan berlangsung pening- teks bekerjanya governmentalities terdiri dari 4
katan air yang membanjiri wilayah Jakarta elemen: etik (why do we govern), pengetahuan
Utara, wacana banjir Jakarta masih berupa (what to know for governing), teknis (cara me-
floating signifier; sebuah penanda yang tidak ngelola pemerintahan), dan sektor yang men-
berdampak apa pun pada kebijakan penanganan jadi fokus dari dua kelompok yang pro dan anti-
banjir dan menjadi bagian dari field of discursivity reklamasi.
(arena tanpa batas yang dinamis dan di dalam- Pemetaan tersebut sesungguhnya meru-
nya ada sangat banyak wacana dan makna yang pakan watak umum antara pemerintah dan
saling tumpang tindih). Saat itu, wacana dan masyarakat sipil. Yang pertama bersifat realis,
storylines terkonsentrasi pada masalah di wi- incremental, dan cenderung berjangka pendek,
layah hulu, tempat alih fungsi lahan di wilayah sedangkan yang kedua bersifat idealis dengan
Bogor dan Puncak berlangsung sangat masif. pendekatan lebih komprehensif, berjangka
Upaya yang dilakukan pemerintah provinsi panjang, dan mungkin terlalu bersifat hitam-
adalah bernegosiasi dengan pemerintah daerah putih. Namun demikian, bila kita perhatikan
tetangga dalam menanggulangi masalah itu, poin kedua, yakni “bentuk dan jenis penge-
termasuk membongkar sejumlah vila. tahuan yang digunakan dalam mengelola peme-
Dampak perubahan iklim kemudian men- rintahan”, kita dapat melihat kedua kelompok,
jadi empty signifier (elemen diskursif yang telah baik pro maupun anti-reklamasi, menggunakan
dikosongkan isinya demi menjadi alat penyatu basis pengetahuan ilmu teknik yang sama.
wacana), yang dengan itu semua wacana dan Hasilnya bisa saja berbeda. Pengetahuan men-
storylines masuk ke dalamnya, seperti storyline jadi kunci dalam praktik kebijakan. Pengeta-
huan yang sama bisa berujung pada kesimpulan
yang berbeda, sebuah fokus lain yang berada
38
Kompas.com, “Teluk Jakarta Lebih Butuh Reha-
di luar jangkauan tulisan ini.
bilitasi daripada Reklamasi”, dalam http://bola.
kompas.com/read/2016/04/26/16552771/Pa-
kar.Oseanografi.IPB.Teluk.Jakarta.Lebih.Bu- 39
Lihat, Methmann, “’Climate Protection’ as Empty
tuh.Rehabilitasi (diakses 15 Agustus 2016). Signifier…”.

A R T I K E L
126 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Pro-Reklamasi Anti-Reklamasi
Dimensi
(Pemerintah dan Pengembang) (Kelompok Masyarakat Sipil)

Etis Jakarta sebagai kota modern Jakarta sebagai kota yang adil

Bentuk dan jenis pengetahuan Ilmu teknik Ilmu teknik


dalam mengelola pemerintahan

Teknis (cara mengelola Dikontrol swasta (privatisasi) Dikontrol publik partisipasi/


pemerintahan) dan depolitisasi publik deliberasi

Aspek yang harus dikelola Kelompok urban yang Kelompok urban yang
spesifik (middle class) umum, termasuk kelompok
warga miskin kota

Kesimpulan Kedua, kasus reklamasi Teluk Jakarta meng-


gambarkan bagaimana “pertempuran” wacana
Pada awal tulisan ini dipaparkan bahwa ga- antara pengembang (yang didukung negara) dan
gasan “publik” yang menjadi bagian penting dari masyarakat sipil. Keduanya mengusung storyline
gagasan demokrasi David Beetham mengalami masing-masing dan saling bertolak belakang.
masalah di negara-negara yang sedang “me- Kedua storylines itu memiliki dukungan penge-
ngembangkan” demokrasi. Isu publik di negara- tahuan teknis memadai yang disampaikan oleh
negara tersebut, juga di Indonesia, masih meru- pakar di bidang terkait dengan kegiatan rekla-
pakan arena pertempuran kekuasaan. Di dalam- masi, seperti ahli hidrologi, pakar tata ruang, ahli
nya bekerja beragam cara untuk membenarkan kelautan, ekonom, arsitek, dan lain-lain. Pada
aspek kepublikan, termasuk pengetahuan teknis. dasarnya, storyline yang saling beradu itu adalah
Uraian tentang kasus reklamasi pesisir pantai pengetahuan yang juga saling beradu. Siapa yang
utara Jakarta setidaknya membawa tiga kesim- dianggap benar dan siapa yang tidak, menjadi
pulan. Pertama, rezim kekuasaan telah berganti, tidak relevan. Yang relevan adalah yang mampu
namun definisi isu publik yang dominan tetap masuk dalam kebijakan dan yang mampu mem-
berada di tangan pemerintah. Proses demokrasi bangun “kenyataan” bagi warga.
yang ditandai dengan adanya jaminan kebebasan Ketiga, dari kacamata teori wacana, kasus
berpendapat dan saluran berekspresi yang reklamasi Teluk Jakarta menunjukkan bagaimana
dijamin keberadaannya, tidak banyak membawa makna isu “publik” sangat dinamis dan mudah
dampak pada bagaimana gagasan “publik” dide- bergeser. Pergeseran itu ditentukan oleh apa
finisikan. Ada ruang publik dengan dinamika yang berlangsung di lingkungan global dan nasio-
sangat riuh, tetapi pada akhirnya pemerintah nal, termasuk bencana alam, yang dapat dianggap
yang memiliki definisi akhir tentang sebuah ke- sebagai dislocation dari wacana yang sedang
bijakan. Artinya, tidak ada kaitan antara kian berjalan. Dengan kacamata teori wacana, plus
meningkatnya ruang publik untuk berekspresi konteks negara yang sedang dalam proses kon-
dengan terekam dan tersangkutnya ekspresi solidasi demokrasi, isu “publik” secara alamiah
warga negara dalam proses pengambilan kepu- belum terkonsolidasi sebagaimana yang diasum-
tusan. Tidak ada jembatan yang mampu menga- sikan oleh Beetham. Yang terjadi adalah isu “pu-
wal apa yang sesungguhnya berlangsung di blik” terus-menerus berebut ruang, saling me-
ruang publik dengan apa yang berlangsung di nyingkirkan, dengan variasi makna lebih beragam.
arena kebijakan. Itulah pertempuran politik yang sesungguhnya•

A R T I K E L
Prisma SURVEI Eric Hiariej, Politik Jokowi 127

Politik Jokowi
Politik Pasca-Klientelisme
dalam Rantai Ekuivalensi yang Rapuh

Eric Hiariej

Demokrasi di Indonesia pasca-reformasi mengalami kemandekan ditandai


oleh munculnya pasca-klientelisme; bentuk politik baru yang menggabungkan
gaya populis dan transformasi praktik klientelisme. Pasca-klientelisme tampil
ketika tuntutan-tuntutan masyarakat kian sulit terpenuhi secara kelembagaan.
Tuntutan tersebut saling menjalin hubungan solidaritas dengan harapan
mengkristal menjadi perlawanan bersama. Argumentasi itu mengandaikan
antagonisme antara kekuatan pro-perubahan dengan kekuatan anti-
perubahan.
Kata Kunci: demokrasi, gaya populis, hegemoni, kesejahteraan, rantai
ekuivalensi

S
urvei pakar yang dilakukan Proyek Po- kan, serta korupsi masih merajalela. Lebih
wer, Welfare and Democracy (selanjut- jauh, survei tersebut menunjukkan alih-alih
nya, Survei PWD) menyimpulkan bah- demokrasi yang terkonsolidasi, Indonesia jus-
wa proses demokratisasi di Indonesia menga- tru menyaksikan munculnya pasca-klientel-
1
lami stagnasi. Terlepas dari sejumlah kema- isme (post-clientelism) sebagai bentuk politik
juan dalam hal pembangunan kelembagaan baru yang kian mengemuka. Karakter utama-
demokrasi, politisasi aktivis masyarakat sipil, nya adalah gabungan antara populisme dan
2
serta pakta politik yang mendorong perubahan transformasi praktik klientelisme. Secara
struktural dan kelembagaan yang memung-
kinkan terwujudnya kebebasan politik dan 2
Lihat, Eric Hiariej, “The Rise of Post-Clientelism
ekonomi. Lembaga-lembaga masih diseleweng- in Indonesia”, dalam Amalinda Savirani dan Olle
kan dan praktik klientelisme, termasuk yang Tornquist (eds.), Reclaiming the State: Overcom-
sudah mengalami transformasi masih dilaku- ing Problems of Democracy in Post-Soeharto
Indonesia (Yogyakarta: PolGov dan PCD Press,
2015), hal.71-95; juga, James Manor, “Post-
1
Lihat, Amalinda Savirani dan Olle Tornquist Clientelism Initiatives”, dalam Kristian Stokke
(eds.), Reclaiming the State: Overcoming Problems dan Olle Tornquist (eds.), Democratization in the
of Democracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogya- Global South: The Importance of Transformative
karta: PolGov dan PCD Press, 2015). Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2013).

A R T I K E L
128 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

spesifik, populisme mengacu pada gaya politik lemahnya kekuatan-kekuatan pro-perubahan


seorang pemimpin yang menampilkan diri dalam mengonsolidasi proses ekuivalensi dan
identik dan memiliki hubungan langsung de- melahirkan semacam kekuatan bersama. Aki-
ngan rakyat, sembari membangun sentimen batnya, situasi itu membuka peluang bagi
anti-kemapanan dan anti-kelompok dominan. munculnya pemimpin bergaya populis yang
Sedangkan transformasi praktik klientelisme “menyela” masyarakat yang kecewa (karena
berkaitan dengan metode baru distribusi pa- tuntutannya tidak terpenuhi) dan memulai
tronase untuk mendapat dukungan politik dari proses “identifikasi populer”, yakni upaya
yang bersifat langsung dan menggunakan mengonstruksi “rakyat” sebagai aktor kolektif
sumber daya material – seperti uang – menjadi yang mengonfrontasi kelas berkuasa. Tokoh
tidak langsung dalam bentuk program-pro- populis yang muncul dan mengambil peran
gram distribusi kesejahteraan. Sementara tersebut merupakan bagian dari oligarki yang
bentuk politik pasca-klientelisme bisa dite- perlu memodifikasi praktik distribusi pa-
mukan dalam kehadiran sejumlah pemimpin tronase agar lebih sesuai dengan politik
daerah yang sangat populer. Tulisan ini akan populisme.
membahas hal tersebut dalam konteks ke- Argumentasi ini mengandaikan adanya
munculan Joko Widodo (Jokowi) sejak menja- antagonisme di masyarakat antara kekuatan-
di Wali Kota Solo sampai terpilih sebagai orang kekuatan yang menginginkan perubahan, atau
ke-7 yang menjadi Presiden RI. setidaknya perbaikan rezim demokrasi yang
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sedang berlaku, dengan kekuatan yang enggan
pasca-klientelisme? Apa kaitannya dengan melakukan perubahan dan menghambat proses
persoalan stagnasi demokrasi? Apa dampak- demokratisasi. Politik pasca-klientelisme mun-
nya terhadap masa depan demokrasi di Indo- cul karena kekuatan-kekuatan pro-perubahan
nesia? Terinspirasi oleh pemikiran yang di- sudah kuat, namun belum benar-benar kuat
kembangkan Ernesto Laclau3, tulisan ini ber- memaksakan perubahan dan menggusur
argumen bahwa pasca-klientelisme adalah ben- oligarki. Masa depan demokrasi sangat ber-
tuk politik yang tampil ketika meningkatnya gantung pada perimbangan kekuatan dua kubu
tuntutan masyarakat semakin sulit terpenuhi besar tersebut, terutama kemampuan kubu pro-
secara kelembagaan. Tuntutan-tuntutan yang perubahan dalam memperkuat dan mengonsoli-
tidak terpenuhi itu (sedang dalam proses) dasi kekuatan yang dimiliki.
menjalin hubungan solidaritas—atau ekui- Pembahasan pada bagian-bagian berikut-
valensi—satu sama lain dan (dengan harapan) nya dilakukan sebagai berikut: Pertama-tama
sedang mengkristal menjadi “perlawanan” argumentasi yang diajukan tulisan ini akan dile-
bersama. Akan tetapi, proses ekuivalensi itu takkan dalam kerangka besar perdebatan ten-
ternyata tidak cukup lancar. Selain karena tang demokrasi di Indonesia dan perdebatan
sangat beragamnya tuntutan, ketidaklancaran tentang kemunculan Jokowi. Setelah itu, pem-
tersebut secara signifikan berkaitan dengan bahasan difokuskan pada dua karakter men-
dasar mengenai gaya politik Jokowi yang men-
3
Lihat, Ernesto Laclau, Emancipation(s) (London: jadi penanda politik pasca-klientelisme; sebe-
Verso, 1996); Ernesto Laclau, On Populist Reason lum dilanjutkan dengan uraian tentang kondisi
(London: Verso, 2005); Ernesto Laclau, “Po- perimbangan kekuatan diantara kelompok-
pulism: What’s in a Name?”, dalam Francisco kelompok pro-perubahan, yang sebagian besar
Panizza (ed.), Populism and the Mirror of Demo-
berasal dari masyarakat sipil dan oligarki.
cracy (London: Verso, 2005); Ernesto Laclau dan
Chantall Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Tulisan ini ditutup dengan mengajukan bebe-
Towards a Radical Democratic Politics (London: rapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
Verso, 1985). rangka masa depan demokrasi di Indonesia.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 129

Perdebatan Tentang Demokrasi dekan, praktik klientelisme tradisional maupun


di Indonesia yang baru, korupsi dan berbagai persoalan lain
yang hadir dan bertahan selama proses demo-
Penjelasan tentang demokrasi di Indonesia kratisasi menunjukkan bahwa kelas sosial
diwarnai oleh perdebatan tiga pendekatan arus dominan masih sangat berkuasa dan kekuatan
4
utama. Pendekatan liberal memahami demo- kelas sosial subordinan belum mencapai titik
kratisasi sebagai proses pembentukan lembaga- menuju revolusi demokrasi.
lembaga demokrasi liberal, terutama terkait Namun, persoalannya perimbangan ke-
dengan pelaksanaan pemilihan umum yang kuatan tidak terjadi dengan sendirinya, juga
bebas dan adil. Dalam menghadapi persoalan tidak bisa bergantung sepenuhnya pada kondisi
stagnasi seperti yang hadir dalam bentuk objektif seperti yang dibayangkan Marxisme
politik pasca-klientelisme, pendekatan itu me- ortodoks. Walaupun demikian, kondisi objektif
nyediakan dua jawaban berbeda. Jawaban per- yang dibayangkan Karl Marx tetap diperlukan
tama menganggap persoalan bukan pada model karena dalam kondisi tersebut terdapat kon-
demokratisasi, tetapi pada upaya mengimple- tradiksi—atau antagonisme—yang memung-
mentasikan model tersebut. Jawaban kedua kinkan berlangsungnya perimbangan kekuatan.
menekankan pentingnya prakondisi yang me- Tulisan ini pertama-tama percaya kelompok-
nguntungkan. Stagnasi menegaskan demokra- kelompok sosial subordinan memerlukan
tisasi perlu dilakukan secara bertahap, terutama pemfasilitasian yang memungkinkan penerje-
dengan memberi kesempatan kepada sekelom- mahan kepentingannya menjadi tuntutan ke-
pok elite liberal kelas menengah menciptakan pada rezim berkuasa; kekuatan yang mereka
kondisi yang memungkinkan demokrasi tum- miliki perlu dimobilisasi agar bisa menjadi
buh dan beroperasi tahan lama. counterweight terhadap kelompok sosial do-
Bagi tulisan ini, kelemahan utama pende- minan. Semua peran itu bisa dimainkan oleh
katan liberal terletak pada kegagalannya me- aktor-aktor yang berasal dari masyarakat sipil.6
nangkap arti penting tarik-menarik dan perim- Kritikan demikian membuka jalan bagi pen-
bangan kekuatan antara kelompok-kelompok dekatan ketiga yang menekankan arti penting
sosial utama di tengah masyarakat dalam mem- aktor dalam proses demokratisasi.
perebutkan sumber daya, termasuk yang paling Terdapat dua varian utama dalam pende-
penting hak untuk memerintah. Menurut pen- katan aktor. Varian pertama diwakili tradisi studi
dekatan struktural, yang sangat dipengaruhi transisi menuju demokrasi yang mengemu-
tradisi Marxisme, hubungan kekuasaan antara kakan arti penting sekelompok elite moderat
kelompok—atau kelas-kelas utama—itu, yang yang “menganyam” demokrasi secara kelem-
dipengaruhi perubahan sosio-historis di tingkat bagaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi
makro seperti modernisasi, merupakan kom- yang mengambil jalan liberal. Para elite juga
5
ponen utama proses demokratisasi. Keman- membangun pakta politik terutama untuk me-
ngamankan proses peralihan dari rezim otoriter
4
Lihat, misalnya, Savirani dan Tornquist, Re-
menuju sistem yang lebih terbuka, baik dari
claiming the State….; Olle Tornquist, Neil pengaruh kelompok reaksioner dan konservatif
Webster dan Kristian Stokke (eds.), Rethinking maupun kelompok-kelompok radikal di tengah
Popular Representation (New York: Palgrave
Macmillan, 2009).
5
Lihat, misalnya, Barrington Moore, Jr., Social
Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Stephens, Capitalist Development and Democracy
Peasant in the Making of the Modern World (Cambridge: Polity, 1992).
(Boston: Beacon Press, 1966); Dietrich Rues- 6
Lihat, Rueschemeyer, Stephens dan Stephens,
chemeyer, Evelyn H Stephens, dan John D Capitalist Development….

A R T I K E L
130 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

masyarakat.7 Kemunduran-kemunduran yang Berbeda dengan studi transisi demokrasi, para


terjadi selama proses transisi dianggap wajar aktor dipandang sebagai kekuatan penting yang
sebagai bagian dari proses negosiasi dengan mentransformasi perimbangan kekuatan di
kelompok reaksioner dan juga kelompok ra- antara kelompok-kelompok sosial, terutama
dikal, serta tidak dipandang bermasalah selama dengan cara memperbaiki kualitas representasi
tidak menghambat keseluruhan proses demo- populer. Untuk itu, para aktor wajib memiliki
kratisasi. sejumlah kapasitas yang spesifik, seperti
Sangat dekat dengan cara berpikir pende- kemampuan menginklusi, menggalang sumber
katan liberal, kelemahan utama varian itu juga daya, mengorganisasi dukungan, mengubah isu
terletak pada kecenderungannya mengabaikan menjadi tuntutan, dan memperoleh kekuasaan
proses tarik-menarik kekuatan yang melibatkan yang absah. Seperti tergambar dalam Survei
kelompok-kelompok utama di masyarakat. PWD, para aktor juga perlu mengadopsi strategi
Bahkan studi transisi demokrasi melahirkan tertentu yang tepat dan selalu bisa dievaluasi.
model analisis yang cenderung konservatif Konsekuensi stagnasi dalam demokratisasi
terhadap demokratisasi karena menutup proses yang sedang terjadi di Indonesia adalah produk
tersebut dari peran kekuatan-kekuatan non-elite kapasitas dan strategi aktor. Jika merujuk pada
yang secara sempit mengidentikkan demokrasi temuan-temuan dalam hasil survei PWD, ke-
dengan politik elektoral, dan bahkan bisa me- munculan politik pasca-klientelisme berkaitan
maklumi beberapa bentuk ketertiban sosial atas dengan beberapa faktor berikut:9 (1) belum
nama kelancaran transisi. Sebaliknya, tulisan ini mampunya para aktor mengurangi dominasi
memerlukan analisis yang meletakkan aktor kelompok-kelompok penguasa dan malah iro-
dalam kerangka besar perimbangan kekuatan ninya mudah terkooptasi oleh oligarki; (2) para
di tengah masyarakat dan antagonisme yang aktor, terutama yang berada di luar oligarki dan
melatari perimbangan kekuatan tersebut. Di sini berasal dari masyarakat sipil, cenderung me-
yang terpenting bukan apakah aktor dimaksud ngembangkan kapasitas dan memilih strategi
berasal dari elite atau non-elite, dari negara atau yang ironinya tidak mendorong representasi
masyarakat sipil, tetapi apakah analisis terhadap populer; dan (3) fragmentasi, pengorganisasian
para aktor merefleksikan proses-proses struk- yang lemah dan minimnya ideologisasi masih
tural yang lebih besar dan mendasar, terutama menyulitkan para aktor membangun kekuatan
yang menyangkut pemilahan sosial dan anta- alternatif yang bisa menuntut dan mendorong
gonisme yang berkembang di masyarakat. perubahan lebih substansial dan menyeluruh.
8
Pendekatan transformasi politik bisa men- Kelebihan pendekatan transformasi politik
jawab sebagian kebutuhan analitis tulisan ini. adalah kemampuannya dalam menampilkan arti
penting kapasitas dan strategi aktor dalam
7
Lihat, Guillermo O’Donnell, Philippe C Schmit- mendorong representasi populer. Upaya ter-
ter, dan Lawrence Whitehead (eds.), Transitions sebut pada gilirannya akan mendorong perim-
from Authoritarian Rule: Prospects for Democracy
(Baltimore: The John Hopkins University Press);
Giuseppe Di Palma, To Craft Democracies: An
Essay on Democratic Transitions (Berkeley: Uni- Democratization in the Global South: The Im-
versity of California Press, 1990); Juan Linz dan portance of Transformative Politics (New York:
Alfred Stepan (eds.), The Breakdown of Demo- Palgrave MacMillan, 2013); Olle Tornquist,
cratic Regime, Vol. 1 (Baltimore: The John Assessing Dynamic Democratization: Transfor-
Hopkins University Press, 1978). mative Politics, New Institutions, and the Case of
8
Lihat, Tornquist, Webster, dan Stokke (eds.), Indonesia (New York: Palgrave MacMillan,
Rethinking Popular…; Kristian Stokke dan Olle 2013).
Tornquist, “Transformative Democratic Politics”, 9
Lihat, Savirani dan Tornquist, Reclaiming the
dalam Kristian Stokke dan Olle Tornquist (eds.), State….

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 131

bangan kekuatan yang lebih adil antara negara berubah-ubah posisi berdasarkan isu. Belum
dan masyarakat serta oligarki dan kelompok-ke- lagi definisi “reformasi” dan “status quo” ber-
lompok non-oligarki. Lebih dari sekadar institusi kembang semakin tidak jelas dan terkesan
formal dan kerangka regulasi, demokrasi adalah arbiter. Begitu pula kenyataannya aktor pro-
soal tarik-menarik kekuatan di tengah masya- reformasi dan pro-status quo berasal dari kelas
rakat. Stagnasi demokrasi berkaitan erat dengan sosial yang sama, yang mendominasi kehidupan
tarik-menarik itu dan upaya melancarkan proses sosial-politik Indonesia, membuat antagonisme
demokratisasi dialamatkan pada upaya mem- yang ditampilkan tidak lebih dari pemilahan
perbaiki kapasitas dan memilih strategi. Tidak dalam oligarki. Tidak mengherankan, jawaban
mengherankan jika tradisi transformasi politik kedua mengabstraksikan antagonisme pada
merekomendasikan beberapa jalan keluar, aras kelas sosial dalam bentuk tarik-menarik
seperti “go politics”, “bloc politics”, dan komisi kekuatan antara kelas dominan melawan kelas
negara.10 subordinan. Namun, cara itu menemui masalah
Walaupun demikian, terdapat persoalan serupa secara terbalik. Bukan saja tidak semua
yang mengurangi potensi metodologis pende- anggota kelas dominan pro-status quo, ada
katan itu. Sekalipun bisa ditemukan dalam banyak anggota kelas bawah yang memandang
pelbagai konsep seperti oligarki dan elite, curiga kelompok-kelompok pro-reformasi.
kerangka analisis “aktor alternatif-aktor do- Tulisan ini berpendapat pemilahan antara
minan”, antagonisme hampir tidak pernah tam- pro-reformasi dan pro-status quo—atau ke-
pil secara eksplisit dan cenderung menghilang kuatan-kekuatan pro-perubahan dan kekuatan-
dalam pembahasan. Persoalannya bukan seka- kekuatan yang ingin menghambat perubahan
dar antagonisme penting sebagai cerminan dan laju demokratisasi—adalah awal yang tepat
pemilahan sosial yang menjadi basis struktural dari segi analitis. Akan tetapi, dengan meminjam
bagi proses demokratisasi dan, karenanya, cara berpikir Laclau, pro-perubahan dan pro-
perlu dijelaskan secara panjang lebar, tetapi status quo perlu dilihat sebagai political frontier
lebih pada bagaimana hubungan antara aktor- dari dua proyek hegemoni yang sedang ber-
aktor dan antagonisme diuraikan. Dengan kata tarung mengisi dan membentuk (makna) for-
lain, bagaimana para aktor yang menjadi fokus masi sosial pasca-tumbangnya Soeharto yang
utama digambarkan dalam konteks hubungan sedang dibangun di negeri ini. Demokratisasi
yang antagonistik? Pada aras apa antagonisme adalah upaya kelompok pro-perubahan me-
terjadi? menangkan pertarungan hegemoni dan menjadi
Ada tiga kemungkinan jawaban terhadap penanda utama formasi sosial tersebut. Unit
pertanyaan itu. Pertama, antagonisme berlang- dari sebuah proyek hegemoni adalah posisi
sung pada aras aktor itu sendiri dan pemilahan subjek (subject position) yang terbentuk dari
sosial tampil dalam bentuk tarik-menarik ke- tuntutan (demand) yang umumnya sangat
kuatan—menggunakan istilah yang pernah beragam dan sering kali tidak terpenuhi. Posisi
sangat ngetrend beberapa waktu lalu—antara subjek ini yang memproduksi aktor dalam arti
kelompok “pro-reformasi” melawan kelompok identitas dan tindakan tertentu yang melekat
“pro-status quo.” Namun, muncul kesulitan pada dirinya. Agar sebuah proyek hegemoni
ketika proses demokratisasi itu sendiri mem- bisa berlangsung, tuntutan-tuntutan yang bera-
buat batas antara pro-reformasi dan pro-status gam itu perlu menjalin solidaritas—atau ekui-
quo menjadi tidak jelas. Bukan saja aktor mu- valensi. Tanpa jalinan solidaritas—atau rantai
dah berpindah kubu, tetapi satu aktor bisa ekuivalensi—maka tuntutan-tuntutan hanya
agregasi keluhan beragam yang tidak mampu
10
Lihat, Savirani dan Tornquist, Reclaiming the menghegemoni proses demokratisasi. Rantai
State…. ekuivalensi dicapai ketika wacana tentang

A R T I K E L
132 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

reformasi diartikulasikan atau dengan kata lain terutama dalam hal menyediakan akses bagi
ketika posisi-posisi subjek yang berbeda dikom- kendali atas sumber daya negara. Dalam kaitan
binasikan untuk membentuk sebuah identitas ini, oligarki mencakup sejumlah kecil orang
(bersama) yang baru. kaya, tokoh nasional berpengaruh dan dinasti
Dalam hal ini, masalah buruknya kapasitas politik, atau bisa juga tampil dalam bentuk kartel
dan strategi para aktor yang dikemukakan partai. Apa pun wujudnya, Jokowi adalah pilihan
pendekatan transformasi politik adalah soal para elite yang berkuasa. Kemunculannya
absennya proyek hegemoni. Secara spesifik, mungkin menandai hadirnya elite baru dalam
keberagaman tuntutan belum berhasil mem- demokrasi, tetapi tidak mengakhiri dominasi
bentuk rantai ekuivalensi dan hanya menjadi oligarki dalam politik Indonesia.
sejumlah posisi subjek yang terfragmentasi. Tulisan ini tidak bisa menerima sepenuhnya
Upaya mengombinasikan posisi-posisi yang argumentasi studi oligarki dan, sebaliknya,
berbeda belum mencapai titik identitas bersama percaya para elite merestui Jokowi karena ada
yang solid, baru sebatas membuka jalan bagi struktur sosial lebih besar yang memaksa
terbentuknya secara diskursif aktor kolektif. mereka untuk melakukannya. Seperti dicatat
Seperti yang akan diuraikan lebih jauh, ab- beberapa penulis12, Jokowi adalah pemimpin
sennya proyek hegemoni dan rantai ekuivalensi politik yang mengambil jalan populis karena
yang lemah membuat diskursus aktor kolektif kondisi sosial-politik saat kemunculannya me-
diisi dan menubuh dalam figur politik yang mungkinkan hadirnya populisme dalam proses
berasal dari oligarki. Figur politik itu berada demokratisasi. Dalam proses pemilihan gu-
dalam posisi memenuhi tuntutan-tututan yang bernur Jakarta, misalnya, gaya populis Jokowi
tidak terpenuhi dengan cara mengadopsi, me- bisa mengalahkan Fauzi “Foke” Wibowo lan-
ngisi, dan menerjemahkan penanda sentral— taran kondisi-kondisi seperti melemahnya orde
dalam hal ini “kesejahteraan”—yang mengikat sosial dan memburuknya kepercayaan terhadap
tuntutan-tuntutan beragam tersebut. partai politik, tetapi juga meningkatnya jumlah
warga berusia muda dan berpendidikan dan
terbukanya jalan bagi perwakilan politik di luar
Menjelaskan Jokowi
kelembagaan formal. Dalam kontes mempere-
Bagaimana politik pasca-klientelisme hadir butkan kursi kepresidenan, gaya populis tak
dalam karier politik Jokowi? Untuk menjawab terhindarkan sebagai jawaban terhadap keke-
pertanyaan itu, kita perlu terlebih dahulu me- cewaan yang semakin meningkat di tengah
nempatkan diri dalam perdebatan tentang ke- masyarakat. Kekecewaan itu berkait erat de-
11
munculan Jokowi. Dalam tradisi studi oligarki , ngan sejumlah ketidakmampuan—atau bahkan
kemunculan dan praktik politik Jokowi tidak
terlepas dari bayang-bayang pengaruh se- 12
Marcus Mietzner, “How Jokowi Won and Demo-
gelintir elite penguasa, para kroni dan political cracy Survived”, dalam Journal of Democracy,
fixer-nya. Karier politiknya adalah soal mendapat Vol. 25, No. 4, 2014, hal. 111-125; Marcus
Mietzner, “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s
restu oligarki, terutama sepanjang dirinya mam-
Rise, Democracy, and Political Contestation in
pu melayani kepentingan para elite tersebut, Indonesia”, dalam Policy Studies, Vol. 72, 2015;
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, “Indo-
nesian Politics in 2014: Democracy’s Close Call”,
11
Lihat, misalnya, Vedi R Hadiz dan Richard dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies,
Robison, “The Political Economy of Oligarchy Vol. 50, 2014, hal. 347-369; Abdul Hamid,
and the Reorganization of Power in Indonesia”, “Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta Guber-
dalam Indonesia, Vol. 96, 2013 hal. 35-57; Jeffrey natorial Election”, dalam Journal of Current
Winters, “Oligarchy and Democracy in Indo- Southeast Asian Affairs, Vol. 33, No. 1, 2014, hal.
nesia”, dalam Indonesia, Vol. 96, 2013, hal. 11-33. 85-109.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 133

keengganan—Susilo Bambang Yudhoyono kemenangannya dalam pemilihan presiden


(SBY) mengatasi sejumlah persoalan lama, tahun 2014, bisa dikatakan mencerminkan
seperti ketimpangan sosial dan korupsi yang kemenangan kekuatan-kekuatan anti-oligarki
diperparah gaya kepemimpinannya yang dalam pertarungan politik dan ideologis mela-
peragu dan “lebih banyak bicara ketimbang wan kekuatan oligarki (lama) dan otoritarianis-
13
bertindak”. Perlu dicatat, Jokowi memenang- me.
kan pertarungan bukan karena mengadopsi Sayangnya, dalam beberapa upaya menje-
populisme saja, tetapi juga menerapkan gaya laskan kemunculan dan kemenangan Jokowi,
populis yang spesifik, yang lebih sesuai dengan pendekatan itu justru baru memperlakukan
“mood” masyarakat. pertarungan politik dan ideologis tersebut—
15
Namun demikian, uraian tentang konteks atau antagonisme—secara implisit. Sebagian
sosial saja masih belum memadai. Konteks besar pembahasan dan analisis beralih pada
sosial perlu diterjemahkan menjadi “faktor gaya populis yang diterapkan Jokowi dan kele-
struktural yang memungkinkan” lahirnya politik bihan-kelebihannya. Akibatnya, pendekatan
tertentu—politik pasca-klientelisme—yang tersebut gagal menampilkan penjelasan yang
pada gilirannya membuka jalan bagi muncul- memadai tentang tarik-menarik kekuatan, sem-
nya Jokowi. Seperti telah disinggung di bagian bari cenderung mengagungkan kemenangan
awal, struktur yang memungkinkan adalah anta- Jokowi dan secara gegabah mengidentikkannya
gonisme, pertentangan diantara oligarki— dengan kemenangan demokrasi. Tidak meng-
sebagai kelompok yang cenderung memper- herankan jika pendekatan pluralis mengabai-
tahankan status quo—dan kelompok-kelompok kan fakta penting bahwa Jokowi adalah bagian
yang menghendaki perubahan yang sebagian dari oligarki. Selain itu, ada banyak tindakan
besar diwakili oleh para aktivis masyarakat sipil. Jokowi ketika menjabat Gubernur Jakarta dan
Karena itu, sangat penting penjelasan tentang Presiden Republik Indonesia justru bertolak
kemunculan Jokowi diletakkan dalam konteks belakang dengan “semangat reformasi.” Bila
tarik-menarik kekuatan antara oligarki dan saja pendekatan pluralis lebih eksplisit me-
masyarakat sipil. ngungkapkan antagonisme, maka kemunduran
Dalam menafsirkan politik Indonesia se- yang diperlihatkan Jokowi bisa dipahami dalam
telah jatuhnya Soeharto, pendekatan pluralis konteks tarik-menarik kekuatan di tengah
memberi perhatian sangat besar pada kontes- masyarakat. Pendekatan itu juga tidak perlu
tasi antara kekuatan-kekuatan predatoris mela- terlibat dalam moralisasi politik dengan mem-
14
wan kekuatan-kekuatan anti-oligarki. Oligarki beo menampilkan kontestasi Jokowi-Prabowo
adalah pihak yang sangat kuat, tetapi politik sebagai pertarungan antara “kebajikan” me-
Indonesia tidak berada dalam genggamannya, lawan “kebatilan.”
melainkan hasil dari perjuangan politik dan Studi lain yang dekat dengan pendekatan
ideologis yang melibatkan kelompok-kelompok transformasi politik memberikan kerangka
sosial lebih luas. Kemunculan Jokowi, terutama analisis yang lebih berguna.16 Pertama-tama

13
Lihat, Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”. 15
Lihat, Mietzner, “How Jokowi Won and…”;
14
R William Liddle, “Improving the Quality of Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”;
Democracy in Indonesia: Toward A Theory of Aspinall dan Mietzner, “Indonesian Politics in
Action”, dalam Indonesia, Vol. 96, 2013, hal. 59- 2014…”.
80; Edward Aspinall, “Popular Agency and 16
Yuki Fukuoka dan Luky Djani, “Revisiting the
Interests in Indonesia’s Democratic Transition Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or an
and Consolidation”, dalam Indonesia, Vol. 96, Oligarchic Adaptation of Post-clientelist Ini-
2013, hal. 101-121; Mietzner, “Reinventing Asian tiatives?”, dalam South East Asia Research, Vol.
Populism…”. 24, No. 2, 2016, hal. 204-221.

A R T I K E L
134 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

Jokowi adalah bagian tak terpisahkan dari menguraikan tentang konflik elite sekitar pemi-
oligarki dan bahkan anggota baru oligarki yang lihan wali kota Solo sebelum Jokowi yang
lahir setelah 1998 serta proses desentralisasi membuka jalan bagi meningkatnya aktivisme
kekuasaan. Karier politiknya sejak terpilih kekuatan-kekuatan masyarakat sipil. Slamet
menjadi Wali Kota Solo sampai menjadi Pre- Suryanto, kandidat yang kemudian terpilih dan
siden Republik Indonesia tidak pernah lepas selalu berseberangan dengan Dewan Perwa-
dari campur tangan dan dukungan oligarki. kilan Rakyat Daerah setempat, menggalang
Perhatikan, misalnya, signifikansi dukungan dukungan publik untuk mengamankan kekua-
Prabowo Subianto saat Jokowi berkompetisi saannya. Dukungan publik dilakukan dengan
dalam pemilihan Gubernur Jakarta dan restu cara membuka keran partisipasi bagi aktivis dan
Megawati Soekarnoputri sebelum Jokowi se- organisasi masyarakat sipil dalam banyak pro-
cara resmi mencalonkan diri sebagai Presiden. ses pembuatan kebijakan dan pengawasan. Di
Oligarki tidak punya pilihan lain. Jokowi me- satu sisi, Suryanto memperoleh dukungan yang
miliki profil yang sesuai dengan kebutuhan diperlukan, namun di sisi lain upaya tersebut
melayani pentingnya transformasi praktik dis- memperkuat kekuatan-kekuatan pro-perubah-
tribusi patronase dan meningkatnya tuntutan an. Ketika terpilih sebagai wali kota, Jokowi me-
kesejahteraan yang terutama disuarakan ke- warisi masyarakat sipil yang cenderung kuat,
kuatan-kekuatan masyarakat sipil yang tidak yang tidak bisa diperlakukan dengan cara klien-
bisa lagi diabaikan. Program-program kese- telistik lama dan menjadi bagian yang tidak bisa
jahteraan sebagai bentuk klientelisme baru, diabaikan Jokowi dalam menyusun kebijakan.
gaya politik yang “merakyat”, dan popularitas Kekuatan-kekuatan masyarakat sipil seperti itu
adalah jawaban yang tersedia bagi oligarki dan tentunya tidak cukup kuat mengambil alih ke-
Jokowi semacam memenuhi semua kriteria pemimpinan politik di Solo, tetapi cukup ber-
yang diperlukan. daya untuk membuat Jokowi dan wakilnya, FX
Potensi penjelas yang dimiliki kerangka Hadi Rudyatmo, bergaya populis.
analisis itu bisa diperkuat dengan menambah Artinya, kemunculan Jokowi dimungkinkan
pembahasan lebih substantif tentang kekuatan- oleh beberapa hal. Pertama, keperluan oligarki
kekuatan masyarakat sipil yang menuntut peru- memiliki kepemimpinan politik yang sesuai
bahan. Tanpa itu, pembahasan tentang kemun- dengan kebutuhan program-program kesejah-
culan Jokowi mudah terjebak menjadi sekadar teraan dan gaya politik populis. Kedua, keper-
cerita politik oligarki. Padahal, sekalipun pen- luan tersebut bukan sepenuhnya inisiatif oli-
ting, politik internal oligarki harus dipahami da- garki, tetapi karena meningkatnya tuntutan
lam konteks desakan kekuatan-kekuatan pro- masyarakat yang tidak bisa diabaikan; tercermin
perubahan dari bawah. Di sini, studi lain dalam dari tuntutan “kesejahteraan” sebagai penanda
tradisi transformasi politik, yang tidak secara sentral. Pada saat bersamaan, kombinasi ele-
spesifik menjelaskan kemunculan Jokowi tetapi men yang berada dalam tuntutan-tuntutan yang
membantu menyediakan konteks bagi popu- kian meningkat tersebut memproduksi “rakyat”
17
lisme di Solo, cukup bermanfaat. Studi itu sebagai aktor kolektif yang selama ini tertin-
das—atau setidaknya merugi—yang perlu di-
perjuangkan dan diselamatkan. Ketiga, proses
pembentukan rantai ekuivalensi di antara tun-
17
Lihat, Pratikno dan Cornelis Lay, “From Populism tutan-tuntutan itu tidak cukup kukuh, gagal me-
to Democratic Polity: Problems and Challenges
lahirkan “blok politik”, tidak mampu mempro-
in Solo, Indonesia”, dalam Kristian Stokke dan
Olle Tornquist (eds.), Democratization in the duksi aktor-aktor yang bisa mengisi aktor ko-
Global South: The Importance of Transformative lektif tersebut dengan sebuah identitas ber-
Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2013). sama. Sebaliknya, fragmentasi posisi subjek

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 135

justru membuka jalan bagi para aktor untuk akhirnya memperoleh suara terbanyak dalam
mengejar kepentingan dan idealisme masing- pemilihan putaran kedua mengalahkan calon
masing, sedangkan aktor kolektif—atau “rak- kuat gubernur yang sedang menjabat, Fauzi
yat”—yang diproduksi melalui artikulasi kese- “Foke” Wibowo.
jahteraan ditubuhkan dalam diri figur populis Pemilihan gubernur Jakarta menjadi baro-
yang berasal dari oligarki yang ada. meter bagi tingkat popularitas dan keberteri-
maan (acceptability) Jokowi. Sekalipun miskin
pengalaman kepemimpinan di tingkat nasional,
Politik Jokowi: Gaya Populis
pemilihan tersebut semacam pembuktian bah-
dan Program Kesejahteraan
wa Jokowi layak menjadi calon presiden. Na-
Jokowi merupakan bentuk penubuhan mun, proses menjadi calon presiden jauh lebih
paling canggih dari kombinasi gaya populis dan rumit. Jokowi memerlukan dukungan PDI-P,
program kesejahteraan. Seperti yang dilapor- partai yang hampir selalu mencalonkan Mega-
kan dalam Survei PWD, populisme dan kese- wati. Dia juga menghadapi saingan tangguh
jahteraan sedang menjadi politik dominan da- dengan popularitas yang sedang naik daun dan
lam demokratisasi di Indonesia selama bebe- orang yang pernah mendukungnya dalam pemi-
18
rapa tahun terakhir. Karena itu, Jokowi tidak lihan gubernur Jakarta, yakni Prabowo Su-
seorang diri. Prabowo adalah bentuk penu- bianto. Melalui proses panjang yang melibatkan
buhan yang lain dengan cerita yang tidak terlalu langkah-langkah simbolik dan kultural cukup
sukses. Bahkan, praktis pemimpin-pemimpin rumit, Megawati memastikan dukungan PDI-P
politik di tingkat nasional maupun daerah serta bagi pencalonan Jokowi. Namun, restu Mega-
dari dalam negara maupun berasal dari ma- wati, termasuk tindakan Jokowi mencium ta-
syarakat sipil hampir tidak bisa melepaskan diri ngan Megawati, menimbulkan masalah baru.
dari kecenderungan politik dominan tersebut. Digambarkan sebagai “bonekanya” Megawati—
Karier politik Jokowi bermula pada 2005 ditambah beberapa kampanye hitam yang me-
saat mencalonkan diri dan berkompetisi mem- nuduhnya terkait dengan PKI, berdarah ketu-
perebutkan jabatan wali kota Solo. Mendapatkan runan Tionghoa dan perlu diragukan ke-Islam-
dukungan resmi Partai Demokrasi Indonesia annya—popularitas Jokowi menurun secara
Perjuangan (PDI-P), Jokowi berhasil meme- signifikan. Sementara respons terhadap kam-
nangkan pertarungan dengan selisih suara tidak panye hitam tidak banyak membantu, konsis-
terlanpau besar. Jokowi kembali mencalonkan tensi mengadopsi gaya populis yang spesifik
diri untuk pemilihan wali kota Solo periode dan janji-janji program kesejahteraan diyakini
berikutnya dan menang telak. Menjadi Wali berhasil membuat Jokowi menang tipis atas
Kota Solo memberikan pengalaman, popular- Prabowo.19
itas, dan aspirasi bagi Jokowi untuk melangkah Populisme dan program kesejahteraan di-
ke tingkat lebih tinggi. Pada 2012, dia mem- praktikkan Jokowi sejak menjadi Wali Kota Solo.
beranikan diri bertarung dalam pemilihan gu- Akan tetapi, populisme Jokowi tidak bersifat
bernur Jakarta. Awalnya, sebagai “kuda hitam”, ideologis, tidak dibangun dari pernyataan spe-
Jokowi mendapat dukungan Prabowo dan partai sifik dan logis tentang apa itu rakyat, apa per-
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Megawati soalan yang sedang dihadapi rakyat, mengapa
lebih belakangan memberi restu, sementara persoalan ini bisa terjadi, bagaimana menga-
suaminya, Taufik Kiemas, memberikan du- tasinya dan siapa yang terpilih untuk menja-
kungan pada gubernur petahana. “Kuda hitam” lankan tugas perubahan. Populisme tersebut

18
Lihat, Savirani dan Tornquist, “Indonesian 19
Lihat, Mietzner, “How Jokowi Won and…”;
Politics in 2014…”. Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”.

A R T I K E L
136 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

juga tidak bersandar pada serangkaian program simbol, dan praktik-praktik diskursif lainnya.
dan kebijakan sistematis yang diturunkan dari Seperti umumnya tanda, makna rakyat dibentuk
strategi keberpihakan kepada rakyat yang melalui permainan bahasa yang memerlukan
bersifat jangka panjang berdasarkan visi peru- keberadaan big other yang dinegasikan. Karena
bahan tertentu. Sebaliknya, secara ideologis itu, melekat dalam gaya populis adalah peno-
bisa dikatakan Jokowi adalah tipe pemimpin lakan terhadap apa yang dipahami dan dipro-
yang memilih jalan eklektik. Kebijakan-kebi- duksi sebagai liyan-nya rakyat. Mengatakan
jakan yang dipilihnya sering tidak konsisten dari populisme Jokowi tidak mengandung anti-ke-
sudut pandang satu ideologi saja. Karena itu, mapanan seperti yang diyakini beberapa kajian
bagi penganut pendekatan pluralis, populisme sungguh tidak masuk akal 21, sebab anti-ke-
Jokowi memerlukan nama khusus untuk me- mapanan adalah bagian dari negasi yang me-
nangkap ketidakkonsistenan—dan absennya mungkinkan rakyat yang hadir dalam praktik
ideologi—seperti “populisme teknokratik”.20 diskursif yang melekat pada Jokowi menjadi
Sebaliknya, para pengkaji oligarki melihat memiliki makna.
kecenderungan tersebut sebagai cerminan Jokowi, seperti halnya Prabowo dan hampir
tarik-menarik kekuatan di antara para elite dan semua pemimpin politik masa kini, selalu me-
masih kuatnya kendali para elite terhadap nyatakan pembelaan terhadap rakyat dan rak-
politik Indonesia. yat adalah aktor kolektif yang perlu diselamat-
Sejak awal, tulisan ini dengan sengaja lebih kan dari berbagai bentuk ketidakadilan. Dalam
sering menggunakan istilah “gaya populis” beberapa kesempatan, Jokowi, misalnya, selalu
ketimbang populisme. Istilah tersebut dimak- mengingatkan bahwa dia hanya bisa terpilih jika
sudkan untuk menggambarkan populisme seba- rakyat menginginkannya dan kekuasaan yang
gai sebuah praktik diskursif, yakni serangkaian dimiliki sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
tindakan representasi simbolik yang mengan- Blusukan adalah metode favorit Jokowi untuk
dung dan sekaligus membentuk makna “mem- memperlihatkan kepedulian kepada rakyat
bela rakyat sebagai entitas bersifat tunggal”, dengan cara “terjun langsung” untuk berbicara,
“identifikasi dan memiliki hubungan langsung mendengar keluhan, dan bersama-sama rakyat
dengan rakyat” dan “anti kemapanan.” Lebih mencari jalan keluar.
dari sekadar memilih pendekatan yang ber- Namun, yang lebih penting dan menarik
beda, praktik diskursif menunjukkan bahwa adalah proses menghadirkan dan mengiden-
yang disebut dengan populisme adalah perfor- tikkan rakyat dengan Jokowi itu sendiri. Pertama,
matifitas, atau proses penubuhan melalui se- rakyat menubuh dalam diri Jokowi melalui narasi
rangkaian aksi, sikap, dan perilaku yang men- tentang latar belakang Jokowi yang berasal dari
cerminkan—sekaligus membentuk ulang— keluarga sederhana dan tidak terkenal, menem-
identitas aktor kolektif yang bernama “rakyat.” puh jalan hidup cukup bersahaja, hingga akhirnya
Seperti telah disinggung dan akan diuraikan meniti karier yang semula jauh dari gemerlapnya
lebih jauh pada bagian berikutnya, aktor ko- dunia politik. Beberapa pengkaji demokrasi
lektif bernama rakyat adalah “tanda kosong” Indonesia, mungkin di luar kesadaran, ikut
(empty signifier) yang lahir dalam proses menampilkan rakyat dalam diri Jokowi. Mietzner,
pembentukan rantai ekuivalensi. misalnya, mencatat bahwa, “… Jokowi was not
Dengan kata lain, gaya populis adalah pro- born into a bureaucratic, military, or political
ses mengisi, menampilkan, dan mempraktikkan clan, as most other Indonesian politicians had
makna “rakyat” sebagai aktor kolektif melalui
tindakan, pernyataan verbal, bahasa tubuh, 21
Lihat, Mietzner, “How Jokowi Won and …”;
Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”; Aspinall
20
Lihat, Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”. dan Mietzner, “Indonesian Politics in 2014…”.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 137

been… he was part of a lower middle-class Kedua, proses penubuhan rakyat dalam diri
family—his father was a carpenter and his Jokowi tejadi secara bersamaan dengan proses
mother a house- wife…he had been born ‘in the aksentuasi identitas rakyat sebagai riil, signi-
cheapest room’ of a local hospital … his family fikan, dan secara implisit menolak yang bukan
had to move several times during his childhood, rakyat. Dalam sebuah pernyataan setelah ter-
and was once ‘evicted’ (digusur) from one of its pilih sebagai Presiden Republik Indonesia yang
rented homes…”.22 Laporan semacam itu sangat ke-7, Jokowi menegaskan bahwa programnya
23
menarik bukan saja dalam hal menampilkan adalah “sederhana”, “sopan” dan “jujur”. Seba-
Jokowi sebagai “rakyat” dan memaknai “rakyat” gai keluhuran yang melekat pada rakyat, pre-
dengan cara tertentu, tetapi juga dalam hal dikat sederhana, sopan, dan jujur perlu diton-
mengaburkan narasi lain tentang Jokowi yang jolkan karena di balik ini secara implisit ada
sudah menjadi elite dan bagian tak terpisahkan penolakan tegas terhadap beberapa atribut
dari oligarki. Narasi semacam ini bukan barang kultural yang identik dengan kelompok elite di
baru. Beberapa dekade lalu, narasi serupa yang Indonesia, yakni mewah, sombong dan korup
menubuhkan rakyat dalam sosok elite tertentu atau manipulatif. Artinya, dibaca secara terbalik
hadir dengan tajuk “anak petani dari Dusun Jokowi ingin mengatakan programnya tidak
Kemusuk yang menjadi presiden.” Persoalannya mewah, tidak sombong, dan tidak manipulatif.
bukan pada validitas narasi, melainkan efek narasi Jokowi juga berulang kali menampilkan diri
dalam mengidentikkan rakyat dengan pemimpin sebagai pemimpin yang siap bekerja; bekerja
tertentu. secara serius dan memberikan solusi konkret
Karena itu, dan untuk membuatnya lebih seperti dengan blusukan, berbagai program
nyata, rakyat juga perlu diidentikkan dengan kesejahteraan yang langsung dieksekusi, atau
kehidupan sehari-hari Jokowi. Rakyat adalah langkah-langkah pengawasan penyelewengan
Jokowi yang makan di warung pinggir jalan atau kekuasaan yang bersifat instan. Sekali lagi, di
mengenakan pakaian yang bisa dibeli di pasar pihak sebaliknya adalah penolakan terhadap
rakyat, seperti pasar Tanah Abang, dan me- kebiasaan elite yang hanya ramai bicara dan
milih moda angkutan kelas ekonomi. Rakyat berdebat tanpa mau berpeluh turun ke bawah
adalah juga Jokowi yang menggunakan bahasa dan memberikan jawaban nyata terhadap per-
sederhana diselingi satu dua kata dalam bahasa soalan yang dihadapi rakyat. Dapat dimengerti
Jawa saat berkomunikasi, tanpa istilah-istilah jika Jokowi mempromosikan “revolusi mental”
asing dan ilmiah, dan sering kali tidak terstruk- untuk masa depan Indonesia. Revolusi adalah
tur dengan baik. Dalam konteks itu, kesulitan perombakan total terhadap sistem yang me-
Jokowi berpidato secara sistematis seperti ngandung dan dikuasai yang mewah, sombong,
halnya Prabowo, kekurangannya dalam berba- dan manipulatif, digantikan dengan sederhana,
hasa Inggris adalah aset. Keduanya memper- sopan, jujur, dan kerja keras. Revolusi mental
tegas penubuhan rakyat dalam diri Jokowi. Be- adalah salah satu pernyataan anti-kemapanan
gitu pula wajahnya yang “ndeso” membuatnya paling eksplisit yang di dalamnya menegaskan
tidak berbeda dengan orang kebanyakan. Tidak pemilahan sosial antara “rakyat” dan “elite.”
mengherankan jika Jokowi dapat dengan mu- Jokowi menggabungkan gaya populis de-
dah mendaku diri paham dengan yang dira- ngan transformasi praktik klintelistik. Berbeda
sakan rakyat, memiliki hubungan langsung dengan sebagian elite politik yang ada, Jokowi
dengan rakyat, dan bisa berbicara atas nama merupakan pemimpin yang memelopori janji-
rakyat karena dia adalah rakyat itu sendiri. janji distribusi kesejahteraan melalui program
pemerintah sebagai ganti distribusi patronase
22
Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”, hal.
24. 23
Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”.

A R T I K E L
138 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dengan menggunakan sumber daya material kin. Proses relokasi tersebut tidak sepi konflik
sebagai imbalan atas dukungan politik. Sebagian dan tanpa jaminan kesejahteraan pasca-relokasi
besar janji distribusi kesejahteraan tersebut yang cukup bisa dipercaya. Jokowi juga ramah
dilakukan melalui sejumlah program peme- terhadap investor dalam rangka pembangunan
rintah yang ditujukan untuk secara cepat mem- kota modern yang diharapkan akan mencip-
perbaiki kualitas pelayanan publik. Perbaikan takan lapangan kerja bagi penduduk miskin.
layanan kesehatan dan pendidikan melalui Namun, dalam kasus Solo, sementara para
“kartu sehat” dan “kartu pintar” yang sangat investor bisa menikmati keramahan Jokowi,
terkenal itu merupakan contoh program ung- kesejahteraan yang diperkirakan akan ikut
gulan. Saat menjadi Wali Kota Solo, reformasi mengalir ke warga miskin tidak terwujud.
birokrasi merupakan kebijakan favoritnya yang Program-program kesejahteraan Jokowi
ditujukan untuk memperbaiki layanan birokrasi bisa dipahami dengan tiga cara. Pertama,
kepada masyarakat yang memerlukan izin, program-program tersebut merupakan bagian
membuat KTP atau kepentingan administrasi dari gaya populis, sebagai praktik diskursif yang
lainnya. Sedangkan ketika terpilih sebagai mengaksentuasi Jokowi sebagai pemimpin
Gubernur Jakarta, Jokowi memprioritaskan yang bekerja dan memberikan solusi konkret
penyelesaian proyek transportasi massal. dan berbeda dengan para elite, termasuk pre-
Dalam sebuah kampanye saat pemilihan siden-presiden sebelumnya. Karena itu, pro-
Gubernur Jakarta, Jokowi menjelaskan tentang gram-program tersebut bersifat sporadik, tidak
24
Kartu Pintar dan Kartu Sehat. Kartu Pintar berdasarkan kerangka berpikir yang sistematik,
adalah beasiswa bagi semua anak usia sekolah dan sama sekali tidak berkaitan dengan strategi
dari SD sampai SMA yang orangtuanya tidak besar redistribusi sumber daya di tengah ma-
mampu (miskin). Dalam program itu, sekolah syarakat. Kedua, pada saat bersamaan, program-
mendapatkan sokongan sumber daya yang program kesejahteraan adalah juga praktik
memadai untuk menyelenggarakan pendidikan klientelisme yang sedang bertransformasi.
dengan pengadaan seragam, buku-buku pela- Oligarki tidak bisa terus-menerus bergantung
jaran, dan bahkan uang transpor harian. Se- pada model distribusi patronase yang lama. Di
mentara Kartu Sehat adalah jaminan pelayanan tengah semakin maraknya praktik politik uang,
25
medis secara gratis bagi semua warga yang terutama dalam pemilu legislatif 2014 , oligarki
memiliki KTP setempat yang dirawat di rumah sangat memerlukan cara baru untuk memper-
sakit milik pemerintah maupun swasta. Pela- oleh dukungan yang bisa menjadi pembeda.
yanan medis tersebut mencakup diagnosis Ketiga, transformasi praktik klientelisme dan
sederhana terhadap penyakit ringan sampai program-program pemerintah yang dilancarkan
kemoterapi. Kartu sehat hanya bisa digunakan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari kian mening-
di rumah sakit kelas tiga. Jokowi berpikir katnya tuntutan masyarakat akan perbaikan
dengan cara tersebut Kartu Sehat hanya akan kesejahteraan dan layanan publik. Masyarakat
digunakan warga miskin, karena warga kaya yang menuntut tidak bisa lagi didiamkan dengan
cenderung memilih rumah sakit mewah. politik uang atau distribusi patronase lainnya.
Namun, tidak semua program pemerintah, Oligarki berada dalam situasi yang memaksa
sekalipun menjanjikan distribusi kesejahteraan, Jokowi memodifikasi strategi politiknya agar
bebas dari kontroversi. Dalam rangka melan- bisa terus menjadi penguasa dan memperta-
carkan pembangunan sektor perkotaan, baik hankan status quo.
saat menjadi Wali Kota Solo maupun Gubernur
Jakarta, Jokowi melakukan relokasi warga mis- 25
Edward Aspinall, “Parliament and Patronage”,
dalam Journal of Democracy, Vol. 25, No. 4, 2014,
24
Lihat, Hamid, “Jokowi’s Populism in the 2012…”. hal. 96-110.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 139

Kesejahteraan: Penanda Sentral berantasan Korupsi (KPK). Serangan teroris


dan konflik agama menurun drastis, tetapi
Tulisan ini berargumen bahwa gaya populis kekerasan terhadap kelompok minoritas me-
dan program kesejahteraan perlu dipahami da- ningkat tajam. Di bidang pertumbuhan ekonomi,
lam kondisi struktural yang lebih besar. Bagian SBY mencatat prestasi cukup mengagumkan.
utama dari kondisi struktural tersebut adalah an- Namun, kesenjangan yang tidak mengalami
tagonisme yang merefleksikan pemilahan sosial perubahan membuat sebagian besar warga
mendasar dalam masyarakat. Hubungan kekuasa- miskin merasa pertumbuhan hanya kenikmatan
an dan perubahan perimbangan kekuatan dalam yang dimiliki orang-orang kaya. Semua itu
antagonisme itulah yang melahirkan politik pas- diperparah dengan gaya kepemimpinan SBY
ca-klientelisme. Secara spesifik kondisi struktural yang peragu dan sulit membuat keputusan,
tampil dalam dua bentuk. Pertama, meningkatnya lebih sering berbicara dan “tebar pesona” ke-
tuntutan-tuntutan yang semakin sulit terpenuhi timbang melakukan aksi nyata, dan cenderung
secara institusional. Kedua, meningkatnya kekuat- mengisolasi diri dari persoalan-persoalan riil
an-kekuatan pro-perubahan yang sebagian besar yang dihadapi masyarakat.
berasal dari masyarakat sipil. Kedua kondisi Konteks sosial, ekonomi, dan politik kurang
struktural itu belum menjelma menjadi sebuah lebih sama juga tampil di tingkat lokal saat pe-
27
proyek hegemoni; baru menyisakan rantai ekui- milihan gubernur Jakarta. Terdapat kekece-
valensi yang rapuh dan konstruksi aktor kolektif waan cukup besar terhadap kepemimpinan
yang menubuh dalam diri figur politik dari ka- Foke selama menjadi gubernur pada periode
langan oligarki. pertama yang dianggap tidak becus mengatasi
Banyak penulis telah melaporkan kondisi persoalan-persoalan mendasar di ibu kota ne-
struktural dalam wujud konteks politik, eko- geri ini, di antaranya ketertiban sosial melemah
26
nomi, dan sosial di balik kemunculan Jokowi. dan sistem politik yang ada tidak mampu me-
Umumnya menekankan arti penting periode ngatasi konflik sosial yang terus meningkat.
kedua kepresidenan SBY yang meninggalkan Kriminalitas dan kekerasan meluas. Beberapa
banyak persoalan tak terselesaikan. Sementara perilaku illicit tidak bisa lagi ditoleransi, seperti
kekecewaan masyarakat meningkat dan me- membuang sampah di sembarang tempat,
luas, baik Jokowi maupun Prabowo berusaha berkendara di atas trotoar, merusak fasilitas
tampil sebagai antitesis SBY. Terlepas dari umum, dan lain-lain. Banjir, kemacetan, dan
capaian-capaian dalam pertumbuhan ekonomi kemiskinan, masih terus menghantui dan tam-
dan stabilitas politik, SBY dinilai tidak cukup pak semakin parah. Pada saat bersamaan,
serius memberantas korupsi, apalagi setelah kepercayaan terhadap partai politik dan politisi
sejumlah anggota Partai Demokrat terlibat menurun drastis. Praktik politik uang dalam
skandal politik uang. Tidak ada satu pun kebi- kampanye pemilihan memperburuk situasi dan
jakan yang mendorong reformasi tata kelola membuat masyarakat kian mendambakan figur
demokratis yang diinisiasinya, sementara upaya pemimpin yang “bersih.”
reformasi politik mengalami kemandekan de- Pada dasarnya, kondisi struktural yang diu-
ngan tindakan-tindakan seperti mengusulkan raikan di atas adalah kekecewaan yang terus
penghapusan pemilihan langsung di tingkat meningkat karena ketidakmampuan rezim yang
lokal dan memperlemah kekuatan Komisi Pem- berkuasa memenuhi tuntutan-tuntutan yang
ada. Kekecewaan dan tuntutan-tuntutan tidak
terpenuhi tersebut merupakan bagian dari
26
Lihat, Mietzner, “How Jokowi Won and …”;
Mietzner, “Reinventing Asian Populism…”; proses yang lebih panjang ketimbang masa
Aspinall dan Mietzner, “Indonesian Politics in
2014…”. 27
Lihat, Hamid, “Jokowi’s Populism in the 2012…”.

A R T I K E L
140 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

kepemimpinan SBY atau Foke. Persoalan- penghormatan terhadap hak asasi manusia
persoalan yang diwariskan SBY memperparah (HAM); penguatan lembaga, organisasi dan pro-
situasi, lantaran saat terpilih dia membawa ses-proses dalam masyarakat sipil; serta pem-
semacam harapan baru tuntutan-tuntutan akan bangunan budaya yang lebih sesuai dengan
terpenuhi; seperti halnya Jokowi saat ini yang demokrasi. Kedua, tuntutan di bawah rubrik
sedang menawarkan fantasi tidak berbeda. reformasi tata kelola (governance) dengan bebe-
Sudah sejak paruh kedua dekade 1990-an, rapa kata kunci seperti akuntabilitas, transparan-
Indonesia menyaksikan peningkatan pesat tun- si, rule of law, partisipasi dan kolaborasi, serta pe-
tutan yang berasal dari masyarakat dan kekuat- merintahan yang bersih dan efisien. Ketiga, tun-
an pro-perubahan. Peningkatan itu mengganggu tutan yang memperjuangkan keadilan sosial,
kemapanan, mendestabilisasi oligarki, dan mem- pengurangan ketimpangan ekonomi dan pem-
pertegas ketidakmampuan sistem kelembagaan berantasan kemiskinan, termasuk di dalamnya
dalam merespons tuntutan.28 Krisis moneter tuntutan memperbaiki kualitas pelayanan publik,
yang diikuti tumbangnya Soeharto menciptakan khususnya menyangkut kemaslahatan warga
momentum penting. Tuntutan-tuntutan semakin kelas bawah. Setiap kategori tuntutan diikat oleh
tidak terbendung, bahkan kian beragam dengan satu penanda sentral; “reformasi (politik)” untuk
kekuatan menekan yang terus meningkat di kategori pertama, “good governance” kedua, dan
tengah fantasi berakhirnya kekuasaan oligarki. “kesejahteraan” ketiga. Ketiga penanda sentral
Awalnya, demokratisasi berlangsung dengan itu selalu bersaing satu sama lain—atau dalam
harapan besar semua tuntutan, atau setidaknya proses saling menghegemoni—dalam rangka
tuntutan-tuntutan yang utama, akan terpenuhi. mengisi makna demokrasi. Bisa dimengerti jika
Akan tetapi, oligarki me-(re)-organisasi diri dan ada masanya demokrasi identik dengan refor-
membentuk kekuatan untuk membela dan mem- masi politik, terutama pada periode awal pasca-
pertahankan posisi yang mapan. Perlahan-lahan tumbangnya Soeharto, kemudian berganti good
kekecewaan menggantikan harapan. Harapan- governance sebagai penanda hegemonik, dan
harapan kecil kembali muncul dalam beberapa belakangan ini kesejahteraan tampil paling depan.
pemilihan presiden, tetapi berakhir sama de- Menurut hasil Survei PWD, kesejahteraan
ngan ketidakmampuan rezim memenuhi semua telah menjadi penanda sentral tak terbantahkan
tuntutan dan hanya memperdalam kekecewaan. sejak pemilihan umum kepala daerah (Pemilu-
29
Secara garis besar, tuntutan yang ada bisa kada) diselenggarakan kali pertama. Kesejah-
dikelompokkan menjadi tiga. Ketiganya men- teraan adalah pengikat tuntutan-tuntutan yang
cakup sejumlah posisi subjek yang berbeda, yang menyangkut perbaikan pelayanan publik di sek-
jika diartikulasikan melahirkan tiga identitas tor-sektor utama, seperti kesehatan, pendidikan,
demokratisasi juga berbeda dan bersaing satu dan perumahan. Kesejahteraan juga penanda
sama lain dalam mengisi makna demokrasi se- untuk tuntutan perbaikan upah dan jaminan hari
bagai formasi sosial yang hendak dibangun tua dan harga barang kebutuhan pokok yang
setelah berakhirnya Orde Baru. Pertama, tun- terjangkau. Tuntutan-tuntutan konvensional ber-
tutan berkait dengan reformasi politik yang kaitan dengan, misalnya, pelanggaran HAM dan
menghendaki perubahan kelembagaan yang korupsi masih terdengar, terutama di tingkat
memungkinkan inklusi politik, partisipasi, dan

28
Lihat, misalnya, Arif Budiman dan Olle Tornquist, 29
Lihat, Amalinda Savirani, “Demands for Welfare
Aktor Demokrasi: Catatan tentang Gerakan Perla- Rights but Fragmented Demos,” dalam Amalinda
wanan di Indonesia (Jakarta: Institut Studi Arus Savirani dan Olle Tornquist (eds.), Reclaiming
Informasi, 2001); Eric Hiariej, “The Historical the State: Overcoming problems of Democracy in
Materialism and the Politics of the Fall of Soehar- Post-Suharto Indonesia (Yogyakarta: Polgov dan
to”, Tesis MPhil, Australian National University, 2003. PCD Press, 2015).

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 141

nasional, tetapi sudah tidak senyaring isu kese- siapa yang mendukung dan siapa yang tidak sejak
jahteraan yang menjadi perhatian utama hampir semua kandidat menggunakan uang, karena dalam
di semua kota dan kabupaten yang perlu ikut praktiknya hampir semua pemilih mengambil
menggunakan bahasa-bahasa kesejahteraan. seluruh uang yang ditawarkan program kesejah-
Popularitas penanda itu membangkitkan perde- teraan menjadi pembeda sangat penting.
batan lama hubungan demokrasi dan kesejah- Kedua, kesejahteraan sebagai penanda
teraan. Menurut cara pandang yang dominan, sentral pada mulanya tidak lebih dari pengikat
demokrasi adalah alat untuk mencapai kese- agregasi tuntutan yang membentuk sangat
jahteraan. Konsekuensinya, jika alat itu tidak banyak posisi subjek yang berbeda-beda, yang
memadai, seharusnya tidak menjadi soal kese- dialamatkan kepada rezim yang berkuasa. Tun-
jahteraan diwujudkan dengan instrumen lain. tutan itu, seperti dilaporkan dalam Survei PWD,
Dalam konteks itu tidak mengherankan jika bukan hanya soal layanan pendidikan, kese-
muncul kerinduan akan “figur” Soeharto, pada hatan, dan perumahan saja, melainkan juga
masa lalu yang otoritarian. Soeharto merepre- persoalan banjir, kemacetan, dan keamanan,
sentasikan periode kemakmuran ketika kese- bahkan isu-isu pengakuan atas hak dan pem-
jahteraan berhasil diwujudkan, tetapi tidak de- bangunan infrastruktur. Sekalipun bersifat par-
ngan demokrasi sebagai instrumen. tikular, semua tuntutan tersebut memiliki kesa-
Kemunculan kesejahteraan sebagai penan- maan dalam hal mendelegitimasi dan menolak
da sentral menciptakan beberapa kondisi yang rezim yang berkuasa yang dinilai tidak becus
melahirkan politik pasca-klientelisme. Pertama, menangani, misalnya, pelayanan publik. Parti-
Survei PWD mencatat kemunculan itu berkaitan kularitas tuntutan yang menemukan kesamaan
erat dengan kecenderungan sebagian besar serta terbentuk secara eksternal oleh kehadiran
kepala daerah yang bertarung dalam pemilu- rezim berkuasa dinegasikan menjadi basis bagi
kada pertama menggunakan “bahasa kesejah- rantai ekuivalensi. Dengan kata lain, karena sama-
teraan”, baik dalam kampanye maupun saat sama menolak rezim yang berkuasa, tanpa harus
30
menjabat. Bahkan, keberhasilan dan populari- meninggalkan tuntutan dan kepentingan bersifat
tas beberapa kepala daerah, termasuk Jokowi partikular, jalinan solidaritas di antara posisi
saat menjabat Wali Kota Solo, diukur berdasar- subjek yang beragam itu akan tertempa. Dalam
kan program-program kesejahteraan yang dija- proses menuju terbentuknya rantai ekuivalensi,
lankan. Tuntutan kesejahteraan yang mening- artikulasi tuntutan membuka jalan bagi trans-
kat membuat praktik klientelisme lama dan formasi kesamaan menolak rezim menjadi kons-
jaringan patronase menjadi kurang relevan. truksi aktor kolektif. Secara diskursif aktor
Tuntutan-tuntutan tersebut sangat riil dan tidak kolektif lahir dari kesadaran bersama semua
cukup direspons dengan, misalnya, politik uang. posisi subjek yang ada yang menemukan diri
Jokowi dan para kepala daerah tidak memiliki bersama-sama berada di sisi merugi dalam dis-
pilihan selain ikut mengisi penanda sentral itu tribusi kesejahteraan di Indonesia. Dalam bu-
dengan kebijakan-kebijakan konkret sebagai daya politik Indonesia, aktor kolektif yang me-
jaminan kelangsungan dukungan politik. rugi—teropresi dan terpinggirkan—apalagi da-
Namun, bukan berarti distribusi patronase mo- lam konteks distribusi kesejahteraan, hampir
del lama hilang sama sekali. Politik uang, misal- selalu diberi nama “rakyat.” Survei PWD mema-
nya, tetap bertahan dan bahkan mencapai pun- parkan bahwa sebagian besar masyarakat secara
31
caknya pada perhelatan Pemilu Legislatif 2014. normatif percaya negara adalah aktor paling
Memang, bukan perkara mudah memastikan bertanggung jawab dalam menjamin kesejah-
32
teraan masyarakat. Di satu sisi, temuan itu
30
Lihat, Savirani, “Demands for Welfare Rights…”.
31
Lihat, Aspinall, “Parliament and Patronage”. 32
Lihat, Savirani, “Demands for Welfare Rights…”.

A R T I K E L
142 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

mempertegas semacam “kerinduan” pada ne- Kekuatan Pro-Perubahan Tanpa


gara kesejahteraan. Di sisi lain, secara diskursif Hegemoni
negara perlu ada bukan hanya untuk mewu-
judkan kesejahteraan, tetapi juga menengahi Seiring meningkatnya tuntutan yang diala-
keberagaman tuntutan. Negara adalah big other matkan kepada rezim yang berkuasa, Indonesia
yang menyatukan dan perlu “diciptakan” untuk menyaksikan kelahiran kekuatan-kekuatan pro-
mentransformasi tuntutan-tuntutan partikular perubahan. Sebagian besar berasal dari ma-
menjadi aktor kolektif bernama rakyat yang syarakat sipil, kekuatan pro-perubahan itu awal-
“tunggal” dan “utuh.” nya dipelopori oleh aktivis dari sektor populer,
Ketiga, keberagaman tuntutan masih belum seperti buruh dan petani, pada awal dekade
berhasil membentuk rantai ekuivalensi yang 1990-an, baru kemudian diikuti aktivis-aktivis
solid. Sebagaimana dilaporkan Survei PWD, lembaga swadaya masyarakat (LSM), intelek-
sekalipun memiliki kesadaran yang sama bahwa tual, dan gerakan mahasiswa.34 Berperan cukup
kesejahteraan adalah isu sentral dan negara penting dalam proses kejatuhan Soeharto, po-
secara normatif harus bertanggung jawab me- sisi kekuatan pro-perubahan terus membesar
menuhi tuntutan ini, sebagian besar masyarakat dan menguat, bahkan bisa dibilang telah men-
Indonesia memilih komunitas atau mekanisme jadi arus utama dalam politik Indonesia. Saat ini,
pasar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hampir tidak ada satu pun pemimpin politik di
seperti pendidikan dan layanan kesehatan.33 tingkat nasional serta daerah yang tidak mem-
Absennya negara, terutama sebagai big other pertimbangkan suara dan preferensi kekuatan
yang menyatukan, membuat pemenuhan kese- pro-perubahan. Namun, gambaran itu bisa saja
jahteraan menjadi urusan dan keputusan pri- menipu. Terlepas dari peningkatannya secara
badi-pribadi setiap warga masyarakat. Akibat- pesat, kekuatan pro-perubahan gagal mentrans-
nya, kecenderungan tuntutan-tuntutan hanya formasi posisi subjek yang beragam menjadi
menjadi agregasi posisi subjek yang beragam rantai ekuivalensi yang solid. Akibatnya, pertum-
jauh lebih kuat ketimbang jalinan solidaritas— buhannya yang cukup mengesankan sejak awal
atau rantai ekuivalensi—yang bisa melahirkan, tahun 1990-an belum benar-benar mengha-
misalnya, aksi bersama. “Rakyat” sebagai aktor silkan kemampuan menyingkirkan oligarki.
kolektif yang terbentuk secara diskursif men- Pada dasarnya, kekuatan pro-perubahan
jadi semacam wilayah “tak bertuan” karena sulit terdiri dari beragam aktor yang mengadopsi
menubuh dalam masyarakat yang tercerai berai tindakan, strategi, dan identitas tertentu dalam
dan sibuk sendiri mewujudkan kesejahteraan rangka mengartikulasikan tuntutan-tuntutan
masing-masing. Ruang kososng itu seharusnya spesifik. Aktor-aktor yang dimaksud, di anta-
bisa diisi kekuatan-kekuatan perubahan dari ranya, adalah aktivis masyarakat sipil yang
masyarakat sipil dan tampil sebagai “rakyat” berperan sangat aktif dalam menyuarakan dan
yang sedang menuntut keadilan dan menolak memperjuangkan isu kesejahteraan, sebagai-
rezim yang berkuasa. Namun, seperti diuraikan mana dilaporkan Survei PWD.35 Para aktivis
pada bagian berikutnya, kekuatan-kekuatan yang menjadi tulang punggung kekuatan pro-
masyarakat sipil gagal menjadi “rakyat.” Ruang perubahan tersebut bahkan terlibat lebih jauh
kosong itu kemudian diisi oleh oligarki dan mengawasi proses pembuatan kebijakan terkait
kekuatan-kekuatan masyarakat sipil terlibat aktif Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
menempa proses penubuhan rakyat dalam diri
salah satu figur oligarki yang bernama Jokowi. 34
Lihat, misalnya, Budiman dan Tornquist, Aktor
Demokrasi….; Hiariej, “The Historical Material-
ism and the Politics of …”..
33
Lihat, Savirani, “Demands for Welfare Rights…”. 35
Lihat, Savirani, “Demands for Welfare Rights…”.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 143

Namun, isunya bukan hanya kesejahteraan saja. dan oligarki adalah political frontier. Keduanya
Kekuatan pro-perubahn juga mencakup aktor- mewakili dua proyek hegemoni yang berbeda
aktor lain, seperti mereka yang menyuarakan dan sedang bertarung mengisi formasi sosial,
sikap anti-korupsi, memperjuangkan hak adat, terutama setelah Orde Baru berakhir. Di sini,
atau menuntut perbaikan mutu transportasi oligarki juga perlu dipahami sebagai sekum-
publik. pulan aktor yang dibentuk oleh posisi-posisi
Karena itu, kekuatan-kekuatan pro-peru- subjek tertentu yang diikat oleh beberapa
bahan bisa dibedakan menjadi para aktor yang penanda sentral seperti “stabilitas” atau
mengartikulasi “reformasi politik”, “good govern- “pertumbuhan (ekonomi).” Tulisan ini melihat
ance”, atau “kesejahteraan.” Dalam hal itu, aktor itu sebagai bagian dari proyek besar mem-
dibentuk oleh posisi subjek yang terbentuk da- pertahankan hegemoni penanda sentral, seperti
ri tuntutan diikat oleh penanda sentral ter- pertumbuhan ekonomi, dalam membentuk
tentu—reformasi politik, good governance, atau formasi sosial Indonesia pasca-Soeharto—
kesejahteraan. Namun, dalam prosesnya, tin- ”kekuatan-kekuatan pro-status quo.”
dakan, strategi dan identitas yang dipraktikan Survei PWD menunjukkan adanya gejala
para aktor bisa membentuk ulang posisi subjek fragmentasi di kalangan aktivis masyarakat sipil.
dan memberi makna baru bagi penanda sentral. Fragmentasi tampak jelas dalam hal strategi
Sebagai contoh, Indonesia Corruption Watch mengorganisasi gerakan akar rumput, mem-
(ICW) adalah aktor yang dibentuk oleh posisi bangun aliansi dengan aktor lain, dan memilih
36
subjek bernama anti-korupsi yang diikat good isu. Namun, fragmentasi bukan hal baru serta
governance sebagai penanda sentral. Akan wajar terjadi sebagai cerminan keberagaman
tetapi, tindakan, strategi, dan identitas yang tuntutan, dan justru menjadi basis utama ter-
ditampilkan ICW bisa merekonstruksi anti- bentuknya rantai ekuivalensi. Fragmentasi
korupsi dan memaknai ulang good governance. bermasalah karena para aktor tetap bertahan
Uniknya, para aktor seperti ICW bisa berada pada partikularitas posisi subjek dan tidak
dalam lebih dari satu posisi subjek —atau berhasil membangun rantai ekuivalensi yang
multiplikasi posisi subjek. Multiplikasi tersebut solid. Akibatnya, kebangkitan kekuatan pro-
memungkinkan partikularitas tuntutan bisa perubahan tidak cukup sanggup membuat rak-
berkembang menjadi kolektivitas, publik atau yat menubuh dalam dirinya serta tidak cukup
sosial, dan tidak membuat partikularitas ber- tangguh menyingkirkan kekuatan-kekuatan pro-
ujung perang antar-sesama yang memerlukan status quo. Bagaimana hal demikian bisa terjadi?
kekuatan super besar untuk meredakannya Sebagian besar upaya yang ditempuh ke-
seperti yang diyakini Thomas Hobbes. kuatan-kekuatan pro-perubahan dalam mem-
Namun, yang lebih penting, seperti halnya perjuangkan tuntutan telah memperdalam
tuntutan-tuntutan yang meningkat, kekuatan fragmentasi dan mempersempit jalan bagi
pro-perubahan mendestabilisasi sistem, me- jalinan solidaritas di antara posisi subjek yang
nentang oligarki dan, karenanya, mempertegas berbeda. Para aktivis masyarakat sipil meng-
antagonisme. Kekuatan itu menyediakan ke- habiskan hampir sebagian besar waktu untuk
pemimpinan politik alternatif berasal dari sektor fokus dan mengurus isu yang diusung dan
popular, kalangan LSM, dan kampus, sembari
menegasikan oligarki yang dianggap tidak 36
Lihat, Hiariej, “The Rise of Post-Clientelism…”;
cukup serius memenuhi tuntutan-tuntutan yang Willy Purna Samadhi dan Olle Tornquist,
“Bypassing the Problems of Democratization”,
meningkat dan bahkan bertanggung jawab atas
dalam Amalinda Savirani dan Olle Tornquist
persoalan-persoalan mendasar seperti keke- (eds.), Reclaiming the State: Overcoming Problems
rasan, korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan of Democracy in Post-Suharto Indonesia (Yogya-
sosial. Pada dasarnya, kekuatan pro-perubahan karta: PolGov dan PCD Press, 2015), hal. 97-116.

A R T I K E L
144 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

nyaris tidak memberi perhatian yang memadai lebihan. Namun, jika mencermati kecende-
untuk melihat kaitannnya dengan isu-isu yang rungan “politik berbasis tokoh” (figure-based
37 38
diperjuangkan individu atau organisasi lain. politics) seperti yang dilaporkan Survei PWD,
Para aktivis juga tidak berusaha meng- homologi tersebut mungkin bisa membantu.
hegemoni, yakni tidak menggunakan posisi Pada dasarnya, kecenderungan figure-based
subjek yang membentuknya untuk mendomi- politics bisa digunakan untuk menggambarkan
nasi makna kesejahteraan sebagai penanda semakin pentingnya ketokohan dalam politik,
sentral. Sebaliknya, mayoritas aktor yang bukan saja dalam rangka menjadi pejabat publik,
menjadi kekuatan pro-perubahan menjadi enti- tetapi juga dalam memperjuangkan tuntutan-
tas yang sibuk sendiri-sendiri dan tidak saling tuntutan tertentu. Maksudnya, popularitas
mengganggu; melahirkan semacam kondisi tokoh, penampilan yang karismatik, dan gaya
peaceful coexistence di antara mereka. politik yang merakyat, pro-warga miskin dan
Kompetisi bisa terjadi terutama saat ma- menjanjikan kesejahteraan, merupakan faktor
sing-masing aktor memperebutkan sumber penentu jika ingin memenangkan pemilihan
daya untuk membiayai idealisme. Sumber daya atau mendapat perhatian ketika menyuarakan
yang dimaksud bisa berasal dari donor tuntutan. Di sini, akses ke media massa menjadi
internasional dan belakangan pemerintah. sangat penting. Begitu pula dukungan tim kecil
Begitu pula aliansi-aliansi kecil tumbuh seperti yang memiliki kemampuan dan strategi mar-
dalam kasus “koin untuk Prita” dan “cecak keting jitu. Media massa merupakan arena
versus buaya” atau berlangsung di ruang privat tempat ketokohan ditampilkan, ditempa, dan
dan informal para aktivis yang hampir tidak ada diperjuangkan. Sedangkan tim kecil—sering
kaitannya dengan aktivitas mereka di wilayah disebut “tim sukses”—bertugas memproduksi
publik. Namun, fokusnya tetap pada urusan, isu, tokoh dan memasarkannya dengan mengak-
dan tuntutan masing-masing. Tampak ada se- sentuasi asosiasi-asosiasi kultural tertentu se-
macam homologi antara situasi perjuangan suai dengan “selera pembeli” yang dilekatkan
kekuatan pro-perubahan dengan teori “invisible pada dirinya melalui, antara lain, gaya bahasa,
hands” yang diperkenalkan Adam Smith: biar- demeanour, penampilan fisik, dan modifikasi
kan setiap aktivis memperjuangkan isu dan biografi. Sebaliknya, dalam model itu partai
tuntutan—dengan segala cara yang dibolehkan politik hanya diperlukan secara formal saja.
oleh hukum—tanpa perlu diintervensi dan juga Dukungan masyarakat tidak diperlukan dalam
tidak harus membangun koalisi, maka rangka mobilisasi kepentingan dan tuntutan,
kesejahteraan—dan demokrasi—akan terwujud tetapi sebatas sebagai bukti memiliki banyak
dengan sendirinya. Apakah kekuatan-kekuatan pengikut.
pro-perubahan sedang berada dalam ruang Survei PWD menunjukkan kecenderungan
liberal (liberal space) yang memang alergi “politik berbasis tokoh” bukan hanya milik
kolektivitas dan publik masih perlu diteliti lebih oligarki, tetapi juga mulai menjangkiti aktivis
jauh. Yang jelas bisa dipahami adalah mengapa masyarakat sipil. Para aktivis semakin me-
rantai ekuivalensi antara beragam posisi subjek ninggalkan mobilisasi gerakan akar rumput
tak kunjung terbentuk. dalam memperjuangkan isu-isu tertentu dan
Mengatakan kekuatan-kekuatan pro-peru-
bahan sebagai sekumpulan “tangan-tangan tidak 38
Amalinda Savirani, “Consolidated State, Con-
kelihatan” barangkali terdengar sangat ber- solidated Business Actors and New Populist
Leaders”, dalam Amalinda Savirani dan Olle
Tornquist (eds.), Reclaiming the State: Over-
37
Lihat, Hiariej, “The Rise of Post-Clientelism…”; coming Problems of Democracy in Post-Suharto
Samadhi dan Tornquist, “Bypassing the Problems Indonesia (Yogyakarta: PolGov dan PCD Press,
of…”. 2015b), hal. 55-69.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 145

beralih pada pentingnya publisitas di media dan memperoleh akses ke negara justru
model kepemimpinan yang populis dan karis- memperkuat kecenderungan partikularitas
matik. Karena itu, memperjuangkan tuntutan yang diidap kekuatan-kekuatan pro-perubahan
hampir identik dengan proses meniti karier dan tidak lebih dari memindahkan kompetisi
menjadi tokoh, baik di tingkat nasional maupun internal di antara sesama aktivis dari satu arena
daerah. Kecenderungan demikian mungkin ke arena lainnya.
sebuah ironi, tetapi bisa diterima dari sudut Semua kecenderungan tersebut membuat
pandang “invisible hands.” Karier politik pribadi kekuatan pro-perubahan hanya menjadi kum-
bukan masalah dan justru perlu didorong seba- pulan fragmen-fragmen tanpa jalinan solidaritas
gai bagian “tangan-tangan tidak kelihatan” yang dan, karenanya, tidak berdaya menjadi kekuatan
secara agregat akan membawa efek kemas- dominan yang mengisi makna aktor kolektif
lahatan bagi semua orang. Akibatnya, karier bernama rakyat yang terbentuk dari pening-
politik bisa menjelma menjadi tujuan yang katan pesat tuntutan masyarakat. Menguatnya
sesungguhnya. fragmentasi juga tidak kompatibel dengan
Dalam konteks memasarkan ketokohan rakyat sebagai identitas yang bersifat tunggal,
tertentu yang sedang ditempa, fokus pada utuh, dan tidak terpecah-pecah. Lebih dari itu,
tuntutan yang partikular tampak lebih relevan kekuatan-kekuatan pro-perubahan tidak cukup
sebagai produk yang unik di mata pembeli. mampu menyingkirkan oligarki. Sebaliknya,
Sebaliknya, rantai ekuivalensi tampak kontra- seperti dilaporkan Survei PWD, 40 kecende-
produktif karena bisa mengaburkan partiku- rungan-kecenderungan yang diuraikan di atas
laritas yang diandalkan sebagai selling point. justru membuka jalan bagi banyak aktivis ma-
Karena itu, politik ketokohan berpotensi mela- syarakat sipil untuk menjadi elite baru.
hirkan kompetisi antar-aktor yang berpegang Sebagai gantinya, para aktivis giat berusaha
teguh pada posisi subjek masing-masing dan menemukan figur politik yang bisa memung-
menjauhkan kekuatan-kekuatan pro-perubahan kinkan penubuhan rakyat dalam dirinya. Mene-
dari kemungkinan menjalin solidaritas yang mukan figur yang dimaksud, dalam hal ini
lebih bermakna dalam rangka menghegemoni “menemukan” Jokowi, menjadi penting dalam
formasi sosial Indonesia kontemporer. rangka mengaksentuasi rakyat serta membuat
Situasi menjadi semakin sulit karena alter- kehadiran rakyat sebagai aktor kolektif menjadi
natif terhadap politik berbasis ketokohan ada- riil melalui serangkaian bahasa tubuh, penam-
lah penetrasi negara. Menurut Survei PWD, pilan, atau gaya bicara. Menemukan Jokowi juga
ketimbang membina aksi kolektif dan mem- menjadi bagian penting dari perjuangan ke-
bangun representasi politik yang substantif, kuatan pro-perubahan melawan kekuatan pro-
sebagian besar aktivis masyarakat sipil memilih status quo. Akan tetapi, oligarki tidak tinggal diam.
39
menerobos negara, yakni berupaya memper- Oligarki juga berkeinginan mencetak Jokowi
juangkan tuntutan dengan cara mendapatkan dengan identitas oligarki. Dengan demikian,
akses ke negara melalui berbagai mekanisme dapat dikatakan Jokowi berkembang sebagai
informal, seperti pertemanan, mendukung figur political frontier yang menggambarkan anta-
pejabat publik tertentu, atau berusaha menjadi gonisme antara “perubahan” dan “status quo.”
bagian dari birokrasi. Hingga saat ini belum ada Namun, mengapa rakyat bisa menubuh
jaminan tuntutan-tuntutan yang terus meningkat dalam diri oligarki? Pada dasarnya, oligarki
itu bisa dikelola secara kelembagaan, sehingga adalah big other yang memiliki hubungan am-
bigu dengan kekuatan-kekuatan pro-perubahan
39
Lihat, Samadhi dan Tornquist, “Bypassing the dan masyarakat umum. Oligarki adalah hege-
Problems of Democratization”; Hiariej, “The Rise
of Post-Clientelism…”. 40
Lihat, Eric Hiariej, “The Rise of Post-Clientelism…”.

A R T I K E L
146 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

moni yang ditolak, yang hendak disaingi dengan termasuk Marx, Mouffe, dan juga tulisan ini,
proyek hegemoni alternatif. Akan tetapi, lan- memahami politik yang ontologis sebagai
taran semuanya menolak, kehadiran oligarki wilayah kekuasaan, konflik, dan antagonisme.
pada saat bersamaan menciptakan sensasi kesa- “[B]y ‘the political’,” tulis Mouffe,42 “I mean
tuan di kalangan kekuatan pro-perubahan dan the dimension of antagonism which I take to be
masyarakat. Ironinya, negasi membuat oligarki constitutive of human societies, while by ‘poli-
menjadi identitas yang tunggal dan utuh sesuai tics’ I mean the set of practices and institutions
dengan identitas rakyat yang sedang me- through which an order is created, organizing
merlukan penubuhan. Karena itu, sangat mu- human coexistence in the context of conflictuality
dah menemukan rakyat dalam tubuh anggota provided by the political.”
oligarki. Tulisan ini ingin menegaskan bahwa pasca-
klientelisme adalah politik yang ontik yang
hanya bisa dipahami jika basis ontologisnya
Masa Depan Demokrasi
diinterogasi. Basis ontologis dimaksud adalah
Bagaimana masa depan demokrasi Indo- political frontier yang terbentuk oleh antago-
nesia dalam situasi seperti ini? Apa saja yang nisme antara kekuatan-kekuatan pro-perubahan
perlu dilakukan dalam rangka menghadapi dan oligarki yang membentuk the political.
41
politik pasca-klientelisme? Mouffe, misalnya, Antagonisme bersumber dari pemilahan sosial
membuat pemilahan tegas antara “politics” dan mendasar dalam masyarakat dan struktur sosial
“political” yang keduanya dalam bahasa Indo- yang dominan serta menentukan formasi sosial
nesia agak sulit dikontraskan, karena kerap kontemporer. Jika pasca-klientelisme meru-
diterjemahkan menjadi “politik.” Namun, se- pakan pertanda stagnasi demokrasi, maka upa-
sungguhnya pemilahan itu sangat penting ka- ya mengatasinya tidak cukup hanya dilakukan
rena menggambarkan dua pendekatan yang pada aras ontik, tetapi jauh lebih penting adalah
berbeda. Pendekatan pertama adalah ilmu po- melakukan intervensi pada wilayah ontologis.
litik yang mempelajari dunia politik yang ber- Tulisan ini memperlihatkan bahwa absennya
sifat empirik. Pendekatan kedua adalah teori intervensi pada wilayah ontologis—buruknya
politik yang menjadi domain para filsuf yang rantai ekuivalensi dan tidak adanya proyek
tidak meneliti fakta-fakta politik, tetapi meng- hegemoni—sebaiknya menjadi perhatian uta-
interogasi esensi politik—atau tepatnya ma. Upaya memperjuangkan demokratisasi
political. Pada aras filosofis, Mouffe menggam- perlu terlebih dahulu membawa demokrasi itu
barkan perbedaan itu dengan meminjam pe- sendiri pada aras ontologis atau, seperti sudah
milahan yang dilakukan Heidegger antara ontic ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, mema-
dan ontological. Politik yang “ontik” berkaitan hami dan memperlakukan demokrasi sebagai
dengan berbagai praktik politik konvensional. soal perimbangan kekuatan antara kelompok
Sementara politik yang “ontologis” adalah soal sosial utama di masyarakat dan tarik-menarik
mendasar menyangkut bagaimana sebuah ma- kekuatan yang menghegemoni dan yang ingin
syarakat terbentuk—yang memungkinkan dan melawan hegemoni—dengan melakukan pro-
menentukan praktik-praktik politik sering diha- yek hegemoni alternatif.
dirkan sebagai fakta empirik. Namun, apa yang Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dila-
membentuk politik yang ontologis? Menurut kukan. Hal pertama yang sangat penting adalah
Hannah Arendt, jawabannya adalah ruang kebe- memaksimalkan kesejahteraan sebagai penan-
basan dan deliberasi publik. Pemikir yang lain, da sentral keberagaman tuntutan perubahan
dengan maksud mengeksplisitkan redistribusi
41
Chantall Mouffe, On the Political (London:
Routledge, 2005), hal. 8-9. 42
Mouffe, On the Political, hal. 9.

A R T I K E L
Eric Hiariej, Politik Jokowi 147

sumber daya sebagai sine qua non kesejah- tarian baru—dalam bentuk opresi atas parti-
teraan. Kesejahteraan bukan soal political will kularitas tuntutan—rantai ekuivalensi memer-
atau kepemimpinan “berkualitas negarawan”, lukan konstruksi semacam common sense baru.
tetapi soal mengubah kesenjangan sosial dan Common sense yang baru mengubah identitas
ekonomi. Tujuan utamanya adalah menegaskan setiap aktor dan kelompok aktor yang berbeda
adanya pemilahan sosial yang sesungguhnya dengan cara tuntutan dari setiap aktor hanya
tidak banyak berubah sejak jatuhnya Soeharto bisa diajukan sepanjang mengandung unsur
dan, yang paling penting, mengalihkan demo- ekuivalensi dengan tuntutan yang berasal dari
krasi pada wilayah antagonisme dalam pemi- aktor-aktor lainnya. Seperti ditegaskan Marx
lahan tersebut. Selanjutnya, kekuatan-kekuatan sekitar tiga abad yang lalu: “that the free develop-
pro-perubahan perlu membangun hegemoni ments of each should be the condition for the
dalam rangka “mengisi” kesejahteraan sebagai free development of all.” Artinya, rantai equi-
penanda sentral dan menggiring demokrasi valensi hanya akan bersifat hegemonik jika
pada aras struktural—redistribusi sumber daya, “…it does not simply establish an ‘alliance’
kesenjangan ekonomi, dan antagonisme sosial. between given interests, but modifies the very
Dalam konteks itu, membangun hegemoni identity of the forces engaging in that alliance”.44
memungkinkan para aktor dan kekuatan pro- Tuntutan-tuntutan bersifat sangat partikular
perubahan mengambil peran oligarki dalam tidak diperjuangkan dalam semangat kebe-
mendorong rantai ekuivalensi dan memung- basan individual, tetapi dalam kaitannya dengan
kinkan aktor kolektif bernama rakyat menubuh persamaan hak tuntutan lainnya.
dalam dirinya. Berada di dalam atau luar negara, Dalam konteks itu, perjuangan demokrasi
go politics atau tidak, adalah bagian dari strategi melalui penguatan dan perluasan rantai ekui-
menuju hegemoni yang tidak perlu diperten- valensi tidak menolak atau merombak demo-
tangkan satu sama lain; negara dan masyarakat krasi (liberal) yang sudah ada. Sebaliknya,
sipil bukan political frontier, melainkan dua proyek hegemoni dimaksudkan untuk “mera-
arena antagonisme. dikalkan” demokrasi (liberal) dengan cara (1)
Membangun hegemoni dalam hal ini adalah mengambil alih dominasi makna kebebasan da-
perjuangan demokrasi dengan cara memper- ri tangan oligarki dan kekuatan-kekuatan pro-
kuat dan memperluas rantai ekuivalensi agar status quo; (2) menegaskan kebebasan (tun-
mencakup semua bentuk perjuangan dan tun- tutan-tuntutan partikular) dan persamaan (rantai
tutan yang ada sampai pada titik ketika logika ekuivalensi) sebagai saling membatasi dan
ekuivalensi mengakhiri ruang otonomi masing- tergantung satu sama lain—tanpa ada parti-
masing perjuangan dan tuntutan. Situasi itu kularitas rantai ekuivalensi tidak terjadi dan
bukan karena tuntutan yang bersifat partikular tanpa rantai ekuivalensi partikularitas tidak ada
telah tersubordinasi oleh sesuatu yang lain, maknanya. Demokrasi tidak bisa dibangun
tetapi “…because they all have become, strictly hanya dengan salah satunya saja, tetapi diben-
speaking, equivalent symbols of a unique and tuk dan dipertahankan di atas relasi unik saling
43
indivisible struggle”. Lebih dari itu, agar pro- negasi sekaligus saling membentuk antar-
yek hegemoni tidak berakhir dengan totali- keduanya•

43
Laclau dan Mouffe, Hegemony and Socialist 44
Laclau dan Mouffe, Hegemony and Socialist
Strategy..., hal. 182. Strategy…, hal. 183-184.

A R T I K E L
148
Prisma Prisma
S UVol.
R V36,ENo.
I 1, 2017

Kuasa Oligarki dan


Posisi Masyarakat Sipil:
Relasi antara Intelektual dan Kekuasaan dalam
Politik Indonesia Pasca-Otoritarianisme

Airlangga Pribadi Kusman

Artikel ini merupakan bentuk counter-intuitive terhadap asumsi dominan


studi-studi demokratisasi di Indonesia yang mempercayai entitas masya-
rakat sipil sebagai penggerak utama dan pemrakarsa reformasi politik
dalam proses demokrasi sekaligus aktor yang memiliki agenda politik
bertentangan dengan kekuatan oligarki. Selain itu, tulisan ini juga me-
mandang masyarakat sipil sebagai ruang penggelaran bagi pertarungan
di antara kekuatan sosial dalam memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan dan kemakmuran yang tidak dapat dipisahkan dari proses
sejarah yang bekerja melalui proses pembentukan hegemoni.

Kata Kunci: demokratisasi, masyarakat sipil, oligarki, predatoris,


reformis

M
anusia menciptakan sejarahnya Dalam tradisi pendekatan politik liberal,
sendiri, namun mereka tidak men- masyarakat sipil sering kali dimaknai dengan
ciptakan sesuai dengan kehendak- sendirinya sebagai agensi utama penggerak
nya. Mereka tidak membuat masa depan de- demokrasi. Robert Putnam, misalnya, men-
ngan kondisi-kondisi yang dapat dengan bebas jelaskan pentingnya modal sosial masyarakat
mereka pilih, namun dalam keadaan yang telah sipil dalam ruang publik maupun tata kelola
eksis terjadi dan terwarisi dari masa lalu, tempat pemerintahan, yang tercermin dari trust dan
tradisi dari generasi terdahulu membebani kooperasi dipandang sebagai kualitas budaya
mereka yang hidup seperti sebuah mimpi bu- yang dapat mendorong kemajuan proses de-
2
ruk. Kalimat terkenal dari karya Karl Marx, The mokrasi. Dalam perspektif demokrasi neo-
Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, itu
sangat relevan untuk membongkar problem
kuasa oligarki dan pemahaman atas masyarakat 2
Lihat, Robert D Putnam, Robert Leonardi, dan
sipil di Indonesia pasca-otoritarianisme.
1 Raffaella Y Nanetti, Making Democracy Work:
Civic Traditions in Modern Italy (New Jersey:
Princeton University Press, 1993); Robert
1
Lihat, Karl Marx, Eighteenth Brumaire of Louis Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival
Bonaparte (1852), dalam https://www.marxists. of American Community (New York: Simon
org/archive/marx/works/1852/18th-brumaire/ Schuster, 2000).

A R T I K E L
Airlangga Pribadi Kusman, Kuasa Oligarki 149

tocquevillean seperti dikemukakan John Pendekatan akademik lain yang lebih kritis
3
Keane, masyarakat sipil dipandang sebagai dipengaruhi oleh pendekatan sosial-demokrasi
kategori ideal yang menjelaskan relasi kom- berpijak pada agenda politik demokrasi trans-
pleks dan dinamis dari institusi legal non- formatif. Pendekatan kelompok yang mengu-
pemerintah yang berkarakter anti-kekerasan, sung paradigma demokrasi transformatif itu
swadaya, swa kelola, dan selalu dalam hubungan melihat bahwa kehadiran entitas masyarakat
ketegangan permanen dengan negara yang sipil dan reformasi kelembagaan semata tidak
membingkai, membatasi, serta memberi ke- cukup mendorong kemajuan proses demokrasi
sempatan bergerak kepada mereka. Sementara di Indonesia. Bagi pengusung pendekatan
tradisi pembacaan pendekatan demokrasi sosial-demokrasi kiri dalam kajian demokrasi
4 6
“transitologis” masyarakat sipil dimaknai seba- dan masyarakat sipil di Indonesia, karakter
gai aktor utama demokrasi yang memiliki sum- demokrasi pasca-otoritarianisme yang cende-
bangan besar dalam mempercepat proses rung memarjinalisasi organisasi masyarakat
transisi menuju konsolidasi demokrasi. beserta agenda politiknya dan terbelenggu oleh
Dalam kerangka tradisi-tradisi utama kajian warisan depolitisasi sejak era Soeharto mensya-
politik liberal tentang demokratisasi dan masya- ratkan terjadinya perubahan perimbangan ke-
rakat sipil yang marak di Indonesia sejak jatuh- kuasaan sebagai jalan memperkuat proses
nya rezim Soeharto pada 1998, masyarakat sipil demokratisasi di Indonesia. Bagi kalangan itu,
dalam diskursus politik di Indonesia diasum- alih-alih sekadar reformasi kelembagaan untuk
sikan sebagai aktor protagonis dari demokrasi mendisiplinkan perilaku aktor politik dan bisnis,
Indonesia yang saat ini tengah tumbuh berkem- penguatan kapasitas dan representasi aktor-
bang ditandai dengan pertumbuhan serikat aktor masyarakat sipil dalam memperkuat
pekerja, organisasi non-pemerintah (non-govern- agenda-agenda demokrasi justru menjadi orien-
mental organization/NGO), media massa, dan tasi utama agenda demokrasi di Indonesia.
berjalan beriringan dengan realitas politik Sementara itu, di luar pendekatan liberal
multipartai. Kehadiran masyarakat sipil dengan dan sosial-demokrasi, salah satu tradisi penting
inovasi kelembagaan dalam realitas politik pas-
ca-otoritarianisme diasumsikan dapat membawa 1996); Robert W Hefner, Civil Islam: Muslims and
Indonesia menuntaskan proses demokrasi dan Democratization in Indonesia (New Jersey.
melawan tendensi negara yang korup, kum- Princeton University Press, 2000); Muthiah
pulan masyarakat yang tidak beradab, serta Alagappa, ‘Civil Society and Political Change: An
Analytical Framework”, dalam Muthiah Alagappa
kekuatan anti-reformis yang membelenggu
5 (eds.), Civil Society and Political Change in Asia:
proses demokrasi di Indonesia. Expanding and Contracting Democratic Space
(Stanford, CA: Stanford University Presss, 2004);
3
Lihat, John Keane, Civil Society: Old Images, New Marcus Mietzner, Money, Power, and Ideology:
Visions (New Jersey: Princeton University Press, Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia
1998). (Singapore: NUS University Press, 2013);
4
Lihat, Guillermo O’Donnel, Philippe C Schmitter, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, Problems
dan Laurence Whitehead (eds.), Transition from of Democratisation in Indonesia: Elections, Insti-
Authoritarian Rule: Comparative Perspectives. tutions and Society (Singapore: Institute of
Volume 3 (London: John Hopkins University, Southeast Asian Studies, 2010).
1986); Juan J Linz dan Alfred Stepan, Problems of 6
Amalinda Savirani dan Olle Tornquist (eds.),
Democratic Transition and Consolidation: Reclaiming the State: Overcoming Problems of De-
Southern Europe, South America, and Post- mocracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogyakarta:
Communist Europe (Baltimore dan London: The PolGov dan PCD, 2016); Olle Tornquist, Neil
John Hopkins University Press, 1996). Webster, dan Kristian Stokke (eds.), Rethinking
5
Lihat, Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Popular Representation (New York: Palgrave
Civil Society (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, MacMillan, 2009).

A R T I K E L
150 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dalam kajian tentang proses demokrasi Indo- Pendekatan ekonomi politik kritis sebe-
nesia pasca-otoritarianisme diusung oleh pen- narnya tidak serta-merta mengasumsikan bah-
dekatan critical political economy. Kajian eko- wa terbangunnya tatanan kapitalisme pasar
nomi-politik kritis tentang Indonesia yang di- sebagai prakondisi bagi realisasi demokrasi di
artikulasikan oleh Vedi Hadiz dan Richard Indonesia. Justru sebaliknya, pendekatan itu
Robison menjelaskan inisiatif-inisiatif politik mengkritik pendekatan neo-ekonomi institu-
dalam membangun reformasi politik demokra- sionalisme yang secara optimistis mengandai-
si, good governance, dan keterbukaan ekonomi, kan bahwa reformasi kelembagaan melalui jalan
terhadang oleh mimpi buruk warisan kapi- neoliberal governance dan demokrasi liberal
talisme predatoris rezim otoritarian Soeharto.7 seiring dengan perjalanan waktu dapat mereha-
Corak kekuasaan kapitalisme predatoris Orde bilitasi corak predatoris ekonomi-politik Indo-
Baru—struktur kekuasaan yang memfasilitasi nesia pasca-otoritarianisme. Pendekatan yang
akumulasi privat aliansi bisnis-politik untuk men- berpijak pada relasi pertarungan sosial dalam
jarah sumber daya publik melalui akses atas arena demokrasi, keterhubungan sejarah dan
otoritas negara—menjadi struktur kekuasaan aliansi-aliansi kepentingan di antara kekuatan
yang tertanam kuat, kendati Indonesia tengah sosial yang eksis itu, menegaskan bahwa lin-
mengalami perubahan kelembagaan dari ta- tasan ekonomi-politik di Indonesia di luar corak
tanan otoritarianisme menuju demokrasi. kapitalisme oligarki predatoris, seperti jalur
Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari liberal dan sosial-demokrasi, terhalang oleh
kemampuan kekuatan predatoris lama, yang ketidaktersediaan kekuatan-kekuatan sosial
sebelumnya terlindungi payung politik ke- penopangnya.
kuasaan Soeharto, untuk tetap eksis dan Dalam perspektif pendekatan critical poli-
berhasil mendominasi ruang ekonomi-politik tical economy di atas, tumbangnya sebuah
melalui proses adaptasi terhadap kelembagaan rezim maupun perubahan karakter kelemba-
politik demokrasi dan institusi ekonomi pasar gaan dari institusi otoriter menuju demokrasi
dengan cara menyerap kekuatan-kekuatan baru tidak serta-merta mengubah pola-pola kekua-
ke dalam aliansi bisnis-politik mereka. Se- saan yang terwariskan dari era sebelumnya.
mentara itu, keberhasilan pembentukan oligar- Dalam perubahan institusi politik Indonesia
ki bisnis-politik pasca-Orde Baru juga terkondi- pasca-otoritarianisme, aliansi-aliansi oligarki
sikan oleh lemahnya kekuatan-kekuatan politik, bisnis-politik yang berkarakter predatoris
baik kaum reformis liberal dan aktivis sosial- membangun jejaring dan menyerap kekuatan
demokrasi maupun kekuatan sosialis lainnya, reformis serta berkontestasi dalam arena poli-
dalam melakukan konsolidasi politik. Kegagalan tik demokrasi dan desentralisasi serta memo-
proses konsolidasi politik kekuatan reformis litisasi agenda good governance untuk kepen-
dan progresif tersebut tidak dapat dilepaskan tingan melestarikan kekuasaan dan merawat
dari hancurnya basis-basis sosial-politik sebagai kemakmuran mereka.
prasyarat penguatan agenda demokrasi sejak Pendekatan itu tidak menolak realitas de-
proses depolitisasi negara dijalankan pada era mokrasi tengah bekerja di Indonesia. Namun
Soeharto. demikian, konfigurasi kekuasaan yang ditandai
oleh dominasi oligarki predatoris dalam ruang
7
Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Reorganizing politik memiliki corak yang berbeda dengan
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an idealitas lintasan demokrasi liberal. Realitas
Age of Markets (London: Routledge, 2004);
“politik uang” serta pembajakan sumber daya
Richard Robison dan Vedi R Hadiz, “The Political
Economy of Oligarchy and Reorganization of Po- maupun institusi publik yang menandai proses
wer in Indonesia”, dalam Indonesia, 96, Oktober demokrasi dan pembangunan good governance
2013. di Indonesia menyulitkan penguatan agenda

A R T I K E L
Airlangga Pribadi Kusman, Kuasa Oligarki 151

pemberantasan korupsi dan demokrasi dapat elite-elite populis baru yang membangun
diperkuat dengan inisiatif reformasi kelem- komunikasi langsung dengan massa, seperti
bagaan. Joko Widodo, Tri Rismaharini, Basuki Tjahaja
Berbeda dengan kritik Hasrul Hanif dan Purnama, dan Ridwan Kamil, tidak terputus
Eric Hiarej yang ditujukan kepada pendekatan langsung dari jejaring aliansi elite lama Orde
8
critical political economy, perspektif ini tidak Baru. Kapasitas elite Orde Baru beserta jejaring
menolak temuan bahwa para aktor politik utama aliansi bisnis-politik di dalamnya yang berhasil
cenderung mendukung, merayakan, dan mem- menanamkan kepentingan mereka dalam
bela demokrasi. Mengingat bahwa dalam ana- struktur negara predatoris telah menghalangi
lisis teori oligarki, aktor-aktor politik utama kapasitas elite populis untuk memisahkan diri
telah berhasil beradaptasi dan menanamkan dari arsitektur kekuasaan warisan Orde Baru.
kepentingan kekuasaan dan material mereka Tampilnya para elite populis baru di dalam
dalam pertarungan sosial di arena politik de- panggung arena politik demokrasi tidak bisa
mokrasi. Demikian pula ketidakmampuan me- dilepaskan dari strategi politik aliansi bisnis-
ngonsolidasikan kekuatan politik di kalangan politik yang berakar dari elite lama Orde Baru
reformis dan progresif pada aras gerakan sosial untuk membangun dukungan politik di tingkat
dalam arena politik Indonesia lebih berdasar akar rumput. Sementara itu, berbagai prakarsa
pada konfigurasi kekuasaan dan karakter per- reformasi yang dijalankan oleh elite populis
tarungan sosial di Indonesia yang didominasi kerap kali tersandera oleh manuver politik
oleh aliansi jejaring bisnis-politik oligarki. For- oligarki lama. Karena itu, dalam rangka memper-
masi kekuasaan seperti itu menyebabkan ini- tahankan daya hidup di dalam ruang politik,
siatif perubahan politik tidak cukup mengandai- mereka harus melakukan proses adaptasi da-
kan bekerjanya penguatan kapasitas aktor-aktor lam suasana pertarungan sosial yang tetap
gerakan sosial dan kelompok progresif seperti dikuasai aliansi oligarki yang berjejak di elite
yang dibayangkan oleh pengusung gagasan Orde Baru. Kondisi demikian, misalnya, terjadi
9
sosial-demokrasi di Indonesia. pada kasus Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
Terkait dengan temuan bahwa lahirnya dalam konflik terkait reformasi kebijakan
elite populisme baru yang relatif berhasil men- advertising yang mendorongnya membangun
jaga jarak dari elite Orde Baru, meski masih kompromi politik dengan aliansi bisnis-politik di
terserap dalam hierarki kekuasaan dan belum Surabaya.
berhasil membangun kapasitas politik, perlu Sementara itu, dalam kasus Gubernur DKI
10
dikritisi lebih lanjut. Fenomena munculnya Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, tempat proses
pertarungan politik menjelang Pilkada 2017
mendorongnya untuk membangun aliansi poli-
8
Lihat, Hasrul Hanif dan Eric Hiariej, “Democratic tik dengan sejumlah partai yang diketuai elite
Institutions from Good Governance to Vibrant politik lama berlatar belakang Golkar. Hal lain
CSOs”, dalam Amalinda Savirani dan Olle yang juga tak dapat dikesampingkan adalah
Tornquist (eds.), Reclaiming the State: Over-
coming Problems of Democracy in Post-Soeharto
kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam
Indonesia (Yogyakarta: PolGov dan PCD, 2015),
hal. 33-54.
9
Lihat, Savirani dan Tornquist (eds.), Reclaiming Indonesia (Yogyakarta: PolGov dan PCD, 2015),
the State.... hal.55-70; Eric Hiariej, “The Rise of Post-
10
Lihat, Amalinda Savirani, “Consolidated State, Clientelism in Indonesia”, dalam Amalinda
Consolidated Business Actors, and New Populist Savirani dan Olle Tornquist (eds.), Reclaiming
Leaders”, dalam Amalinda Savirani dan Olle the State: Overcoming Problems of Democracy in
Tornquist (eds.), Reclaiming the State: Overcom- Post-Soeharto Indonesia (Yogyakarta: PolGov dan
ing Problems of Democracy in Post-Soeharto PCD, 2016), hal.71-94.

A R T I K E L
152 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

menginisiasi kebijakan reklamasi pantai di Teluk relasi antara kuasa oligarki dan karakter ke-
Jakarta yang tidak hanya bertendensi menyim- kuasaan, bagian ini mendiskusikan secara lebih
pang dari partisipasi publik dalam skema good mendalam terkait posisi dan peran masyarakat
governance, namun juga inisiatifnya yang meng- sipil di era Indonesia pasca-otoritarianisme.
galang dana non-budgeter dari pengusaha/pe- Untuk mengawali perbincangan tentang posisi
ngembang terkait pembangunan rumah susun masyarakat sipil dalam kuasa oligarki di Indo-
warga rentan terbajak praktik predatorisme nesia pasca-otoritarianisme, artikel ini berangkat
bisnis-politik yang mengingatkan kita pada dari dua hal yang dijelaskan dalam pendekatan
operasi dana non-budgeter yang dilakukan critical political-economy sebagai uraian yang
Bulog semasa pemerintahan Soeharto.11 menyebabkan kekuatan lama yang berlindung
Pada kasus Presiden Joko Widodo, jejaknya di bawah payung politik Orde Baru tetap men-
sejak menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur jadi kekuatan dominan dalam arena politik di
DKI Jakarta memperlihatkan bahwa capaian Indonesia; pertama, kemampuan elite lama
karier politiknya tidak bisa dilepaskan dari untuk beradaptasi dengan pola kelembagaan
dukungan politik yang berangkat dari jejaring demokrasi melalui pembentukan aliansi bisnis-
oligarki dalam persenyawaan elite Orde Baru politik dengan kekuatan baru. Kedua, kegagalan
dan kelompok-kelompok reformis melalui PDI- proses konsolidasi kelompok reformis liberal
Perjuangan dan Partai Gerindra. Sementara itu, maupun progresif sosial-demokrasi untuk mem-
saat menjabat presiden, kehendak Joko Widodo bangun kekuatan politik yang solid dalam
membangun aliansi politik baru dengan menja- mengawal agenda ekonomi-politik mereka.
ga jarak dari basis politik awal (PDI-P) mem- Berangkat dari dua tesis utama pendekatan
buatnya harus ‘menata” perimbangan kekua- critical political-economy tersebut, artikel ini
saan dengan membangun kekuatan politik oli- akan mempertajam dengan pembahasan ten-
garkis yang dikuasai aliansi bisnis-politik ke- tang kekuatan sosial apakah yang memfasilitasi
lompok elite yang berakar dari kekuatan politik kekuatan oligarki predatoris agar mampu
Orde Baru. Sangat eratnya hubungan elite menyesuaikan diri dalam lingkungan politik
populis dengan kekuatan politik oligarkis yang baru pasca-otoritarianisme—selain keterse-
masih tidak terpisah dari konstruksi kekuasaan diaan sumber daya sosial dan material yang
warisan Orde Baru terjadi karena karakter dimiliki oleh elite lama memberikan peran
corak kekuasaan dan pertarungan di antara besar dalam pertarungan sosial di Indonesia
kekuatan-kekuatan sosial di era demokrasi pasca-Orde Baru. Kelompok sosial manakah
pasca-otoritarianisme nyaris tidak memberi yang membantu aliansi bisnis-politik oligarki
ruang bagi munculnya kekuatan-kekuatan ge- dalam menjalankan operasi predatorisme di
nuine baru yang tidak memiliki tali-temali lingkungan politik baru yang berbeda dengan
dengan kekuatan oligarkis warisan Orde Baru. tatanan sebelumnya? Bagaimana karakter
kondisi sosial yang dibentuk oleh pertarungan
antar-kekuatan sosial, sejarah, dan aliansi ke-
Posisi Masyarakat Sipil dalam
pentingan yang membentuk corak Indonesia
Pusaran Kuasa Oligarki
pasca-otoritarianisme memengaruhi posisi dan
Setelah menguraikan secara umum posisi peran kelompok sosial tersebut dalam
pendekatan critical political-economy dalam pertarungan di Indonesia era demokrasi?
perdebatan dengan pendekatan lain terkait Bagaimana kekuatan sosial tersebut memberi
legitimasi ideologis terhadap operasi predatoris
11
Lihat, “‘Rajawali Ngepret’ Sebut Kontribusi kekuatan oligarki berbasis pengetahuan demo-
Tambahan Ahok Cara Orba”, dalam aktual.com krasi dan governance? Apa implikasi dari peran
(diakses 27 Juli 2016). kekuatan sosial yang membantu dan memfa-

A R T I K E L
Airlangga Pribadi Kusman, Kuasa Oligarki 153

silitasi agenda predatorisme kekuatan oligarki produksi kekuasaan kelas sosial dominan suatu
tersebut terhadap gagalnya konsolidasi ke- masyarakat bekerja melalui praktik dominasi/
kuatan reformis liberal maupun progresif sosial- koersi yang berlangsung di arena masyarakat
demokrasi di Indonesia ditinjau dari sudut politik melalui monopoli kekerasan dan represi
pandang relasi kekuasaan? yang teridentifikasi melalui bekerjanya ins-
trumen kekerasan yang dikontrol oleh lembaga
Negara dan Masyarakat Sipil: eksekutif, birokrasi, militer dan polisi, serta
Pendekatan Gramsci arena masyarakat sipil ruang tempat penye-
baran dan internalisasi ideologi yang dilakukan
Untuk menjawab problematika di atas, tu- oleh beragam organisasi, seperti perguruan
lisan ini akan menghampirinya melalui pende- tinggi, sekolah, gereja, serikat pekerja, asosiasi
14
katan tentang masyarakat sipil dari perspektif profesional, dan media massa.
yang dirintis oleh Antonio Gramsci, yang Dalam ruang masyarakat sipil tempat bero-
berbeda dengan pendekatan arus utama liberal perasinya praktik hegemoni dan diseminasi
tentang civil society. Melalui elaborasi atas ideologi itulah kalangan intelektual secara
konsepsi masyarakat sipil, Gramsci memper- organik terikat dengan kepentingan kelas-kelas
kaya, memperluas, dan mengonkretkan teori sosial yang dibelanya. Kalangan intelektual
negara yang diinisiasi Karl Marx dan Friedrich organik bekerja sebagai agen pemberi legi-
Engels dalam kajian ilmu politik.12 Baik Marx, timasi dari tatanan ekonomi-politik yang eksis
Engels, dan Lenin menyepakati bahwa corak maupun artikulator pengetahuan kaum marjinal
pertarungan kelas sosial yang berlangsung me- yang ditundukkan oleh proyek kekuasaan kelas
nyejarah di setiap masyarakat merupakan fak- dominan. Kalangan intelektual yang menjadi
tor konstitutif dari realitas politik negara mo- artikulator kelas-kelas sosial yang dibelanya itu
dern. Riwayat sebuah negara sangat ditentukan terdiri atas akademisi, teknokrat, jurnalis, artis/
oleh pembelahan di antara kelas-kelas sosial budayawan, aktivis sosial yang di pihak ke-
beserta pertarungan merebut kekuasaan dan kuatan sosial dominan bekerja sebagai deputi
meneguhkan dominasi di antara mereka. Peran kelompok dominan yang menjalankan peran
negara sendiri dengan instrumen regulasi dan hegemoni dan kepemimpinan.15
koersif melanggengkan dan mereproduksi Peran dari operasi hegemoni yang ber-
pembelahan sosial tersebut dalam hubungan langsung di dalam arena masyarakat sipil tidak
sosial yang berlangsung di masyarakat.13 kalah pentingnya dengan praktik represi dan
Kontribusi utama Antonio Gramsci terha- koersi yang dilakukan kekuatan masyarakat
dap teori negara adalah memperluasnya de- sipil, mengingat bahwa dalam pertarungan
ngan menemukan sumbangan dari aparatus
privat hegemoni yang bekerja melalui arena 14
Lihat, Antonio Gramsci, Quentin Hoare, dan
masyarakat sipil untuk melanggengkan dan Geoffrey Nowell-Smith, Selections from the Prison
mereproduksi hierarki kekuasaan dan pengua- Notebooks of Antonio Gramsci (USA: International
Publishers, 1971); Nicos Poulantzas, State, Power,
saan suatu kelas sosial di atas kelas sosial lain- Socialism (UK: Verso Books, 2014); Coutinho,
nya dalam proses penguasaan atas alat pro- Gramsci’s Political….
duksi dan sumber-sumber kemakmuran suatu 15
Lihat, Gramsci, Hoare, dan Nowell-Smith, Select-
masyarakat. Menurut Gramsci, mekanisme ions from the Prison…; John Schwarzmantel, The
kerja institusi negara dalam merawat dan mere- Routledge Guidebook to Gramsci Prison Notebooks
(New York, Routledge, 2015); Airlangga Pribadi
Kusman, “The Politics of Good Governance in
12
Lihat, Carlos Nelson Coutinho, Gramsci’s Political Post-Authoritarian East Java: Intellectuals and
Thought (Leiden dan Boston: Brill, 2012). Local Powers in Indonesia”, Disertasi doktoral,
13
Lihat, Coutinho, Gramsci’s Political…. Murdoch University, Australia, 2016.

A R T I K E L
154 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

menegakkan hegemoni di dalam arena masya- Dalam perbincangan mengenai dominasi


rakat sipil inilah persetujuan kolektif terba- aliansi bisnis-politik oligarki serta jejaring pre-
ngun dan kelas-kelas sosial yang ditundukkan datoris dalam arena ekonomi-politik Indonesia
kekuatan dan kepentingannya dipersuasi un- melalui pembajakan atas institusi demokrasi
tuk menerima kekuasaan kelas sosial dominan dan publik yang dikemukakan para pengusung
19
secara moral dan intelektual. Namun demikian, pendekatan critical political-economy , hal
fokus Antonio Gramsci terhadap peran arena yang kurang terelaborasi secara detail adalah
masyarakat sipil dengan kekuatan intelektual terkait dengan bagaimana proses pembentukan
organik dari kelas-kelas yang saling bertarung hegemoni bekerja untuk mengembangkan dan
sebagai pengantar ideologi tiap-tiap kelas tidak merawat kekuasaan serta mempertahankan
menunjukkan analisis Gramsci lebih mende- kemakmuran jejaring elite oligarki di Indonesia
kati Hegel daripada Marx dengan menekan- pasca-otoritarianisme.
kan determinasi ideologi dalam wilayah supra- Dalam praktik politik, keberhasilan ke-
16
struktur sebagai sentral kontestasi politik. kuatan oligarki predatoris untuk bertahan dan
Melalui elaborasi mendalam terkait bagai- mendominasi arena politik demokrasi maupun
mana praktik ideologi yang diusung oleh tata kelola pemerintahan di Indonesia tidak
setiap kalangan intelektual organik bekerja di hanya membutuhkan sumber daya material
arena masyarakat sipil dalam melanggengkan serta penguasaan alat kekerasan negara dan
kekuasaan kelas sosial dominan; Gramsci non-negara saja, namun lebih dari itu juga mem-
memperluas dan memperkuat teori negara butuhkan persetujuan kolektif masyarakat lebih
Marx dalam ruang pembahasan baru di arena luas melalui praktik hegemoni dan diseminasi
politik.17 ideologi kekuatan sosial dominan. Dengan
Dalam perspektif Gramsci, bekerjanya se- demikian, bukan saja arena masyarakat politik
baran dan internalisasi ideologi melalui ruang- seperti institusi trias politica, birokrasi, dan
ruang institusi seperti universitas, sekolah, aparat kekerasan yang menjadi arena tempat
tempat ibadah, partai politik, organisasi masya- beroperasinya kekuatan oligarki-predatoris,
rakat, dan media massa, sangat ditentukan oleh namun lebih dari itu pembentukan persetujuan
riwayat dan sejarah pertarungan di antara kelas- publik yang sedemikian rupa dapat menyem-
kelas sosial dalam hubungan sosial yang ter- bunyikan karakter penjarahan sumber daya dan
hubung dengan corak ekonomi-politik suatu otoritas publik serta memproyeksikan pikiran
masyarakat yang menentukan posisi kelompok dan tindakan dari kekuatan oligarki agar tampak
sosial, seperti kaum intelektual mengemban sejalan dengan proyek demokrasi dan agenda
tugas ideologinya. Dengan kata lain, corak good governance. Semua membutuhkan keter-
pertarungan sosial dan kelas-kelas sosial seperti sediaan aparatus hegemoni di tingkat masya-
apakah yang eksis dan dominan dalam proses rakat sipil, seperti perguruan tinggi, media mas-
ekonomi-politik suatu masyarakat menentukan sa, organisasi masyarakat, Ornop, dan institusi
posisi dan kontribusi bagi pertarungan ideologi gerakan sosial dalam menanamkan kepatuhan
18
yang bekerja di masyarakat. secara moral dan intelektual terhadap dominasi
jejaring aliansi oligarki dan predatoris di
Indonesia.
16
Lihat, Paul Piccone, “Gramsci Hegelian Marx-
ism”, dalam Political Theory, Vol. 2, No. 1, 19
Lihat, Robison dan Hadiz, Reorganizing Power in
Februari 1974, hal. 32-45. Indonesia…; Robison dan Hadiz, “The Political
17
Coutinho, Gramsci’s Political…. Economy of Oligarchy…”; Vedi R Hadiz,
18
Lihat, Gramsci, Hoare, dan Nowell-Smith, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia:
Selections from the Prison…; Poulantzas, State, A Southeast Asia Perspective (Stanford California:
Power…; Coutinho, Gramsci’s Political…. Stanford University Press, 2010).

A R T I K E L
Airlangga Pribadi Kusman, Kuasa Oligarki 155

Dalam konteks Indonesia, temuan riset dijelaskan, pertarungan di antara kelas-kelas


20
penulis, memperlihatkan bahwa kalangan sosial yang berlangsung melalui pembentukan
intelektual, terutama akademisi dan konsultan hegemoni dan penyebaran ideologi di ranah
publik yang dipercaya sebagai pemegang oto- masyakat sipil bukan berarti temuan Gramsci
ritas pengetahuan tentang governance dan menekankan supremasi arena suprastruktur di
demokrasi, beserta wartawan, budayawan, dan atas basis material dalam bekerjanya proses
aktivis dalam peran publik dan posisi sosialnya politik. Gramsci tidak menjadi hegelian ketika
lebih memberikan legitimasi pengetahuan menekankan kontestasi ideologi dalam ranah
berbasis gagasan demokrasi dan governance masyarakat sipil melalui agensi intelektual,
atas kebijakan dan tindakan kekuatan elite namun justru memperluas, memperkaya dan
bisnis-politik dominan yang menjalankan ope- memerinci tradisi politik Marxis terkait realitas
rasi akumulasi primitif atas sumber daya publik pertarungan di antara kelas-kelas sosial dalam
bagi kepentingan privat jejaring aliansi ke- struktur ekonomi-politik yang bekerja melalui
kuasaan mereka. aksi represi serta pembentukan hegemoni.
Penjelasan tentang menguatnya pola aliansi Dalam elaborasi analisis gramscian soal
antara intelektual dan kekuatan oligarki tidak pertarungan sosial yang juga berlangsung di
menafikan hadirnya intelektual publik yang ranah masyarakat sipil, posisi, peran, dan
berusaha masuk dan memperjuangkan kepen- kontribusi sosial kalangan intelektual dan agen-
tingan kelompok-kelompok marginal yang da serta kepentingan siapa yang diusung oleh
mengalami eksklusi sosial di arena ekonomi- mereka, sejarah pertarungan kekuatan sosial
politik. Namun demikian, perjalanan sejarah dalam merawat kuasa dan mempertahankan
Indonesia sampai masa pasca-otoritarianisme kemakmuran menjadi determinan utama. Da-
memperlihatkan bahwa kehadiran kelompok lam kasus Indonesia, proses konsolidasi kekua-
intelektual publik seperti itu tidak mampu saan sejak era Orde Baru melalui praktik de-
bertransformasi menjadi kalangan intelektual ideologisasi dan depolitisasi untuk memargi-
organik sebagai artikulator perubahan dari pola- nalisasi perlawanan terhadap kekuasaan ber-
pola kekuasaan yang eksis. Kehadiran kalangan hasil mengisolasi kelompok-kelompok inte-
intelektual yang berusaha membongkar selu- lektual dari basis sosial di masyarakat. Inter-
bung ide governance dan demokrasi di balik vensi yang mendalam dari aparatus negara
realitas operasi penjarahan atas sumber daya Orde Baru tidak hanya memunculkan riwayat
publik, tidak berhasil memperjuangkan agenda kontrol dan penundukan, melainkan juga ter-
politik kelompok-kelompok sosial-demokrasi bangunnya pertautan kepentingan di antara
dan kepentingan kaum liberal, karena ketidak- mereka yang membuat kalangan intelektual
tersediaan kekuatan basis sosial yang signifikan bergantung dengan aparatus negara Orde Baru.
dan mampu mengintervensi ruang politik. Intervensi mendalam dan pertautan kepen-
Terserapnya kelompok intelektual sebagai tingan di antara aparatus negara dan intelektual
aktor-aktor strategis masyarakat sipil dalam sejak era Orde Baru menghasilkan proses
aliansi bisnis-politik oligarki predatoris serta inklusi dan eksklusi terhadap model-model
relatif absennya basis sosial penggerak agenda pengetahuan yang dilakukan untuk merawat
politik reformis dan progresif, tidak dapat di- dan memberi legitimasi pada kekuatan rezim
lepaskan dari sejarah penggelaran kekuasaan di Orde Baru.
antara kekuatan-kekuatan sosial yang berlang- Tumbangnya Soeharto pada 1998 dan in-
sung sejak masa Orde Baru. Seperti telah jeksi gagasan demokrasi liberal, pasar bebas,
desentralisasi, dan skema good governance tidak
20
Lihat, Kusman, “The Politics of Good Governance membuyarkan aliansi bisnis-politik-intelektual
in Post-Authoritarian East Java…”. yang mengandalkan operasi akumulasi primitif

A R T I K E L
156 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

atas sumber daya dan otoritas negara. Ruang mengabaikan problem kekuasaan, kepentingan,
ekonomi dan politik tidak menjadi terpisah dan dan pertarungan sosial yang menubuh dalam
negara pasca-otoritarianisme tidak bergerak corak ekonomi-politik khususnya di Indonesia
menuju tatanan pasar bebas seperti yang dimim- memudahkan kalangan akademisi dan tekno-
pikan oleh kalangan neo-ekonomi institusional- krat serta aktivis sosial merepolitisasi agenda
isme. Perubahan-perubahan kelembagaan po- anti-politik governance bagi perawatan kepen-
litik tersebut hanya mengubah proses reposisi tingan kuasa elite oligarki.
di antara aktor-aktor bisnis-politik yang ditandai Dalam praktik governance, misalnya, ske-
oleh perubahan dari konsentrasi kekuatan ma partisipasi publik yang diterapkan model
oligarki menjadi penyebaran aliansi jejaring teknokratik governance melalui praktik Musya-
bisnis-politik yang bekerja dalam pertarungan warah Perencanaan Pembangunan (Musren-
sosial di arena demokrasi dan politik lokal. bang) menjadi rentan dari proses eksklusi
Di atas basis material tetap berlangsungnya kalangan yang kritis terhadap kekuatan bisnis-
ketergantungan pencarian akumulasi privat politik dominan dan dimanfaatkan sebagai basis
melalui akses dan sumber daya publik, peran pengetahuan pendukung kekuatan sosial preda-
intelektual sebagai pemegang otoritas penge- toris untuk melegitimasi agenda pembangunan
tahuan demokrasi, governance, dan desen- mereka. Hal tersebut bisa terjadi karena skema
tralisasi menjalankan peran tidak banyak teknokrasi pengetahuan yang menjadi karakter
berubah dari era sebelumnya sebagai deputi dari model partisipasi yang ditawarkan skema
(mitra yunior) dari kekuatan oligarki dan preda- neoliberal governance cenderung mengabaikan
torisme untuk beradaptasi terhadap proses variabel kekuasaan asimetris dan watak kekua-
kelembagaan baru serta memberikan legitimasi saan yang bertolak belakang dengan tujuan
pengetahuan atas operasi-operasi predatorisme skema good governance itu sendiri. Contoh lain,
oleh oligarki dalam diskursus publik. Praktik- program dan janji kampanye dalam politik
praktik advokasi pengetahuan bagi oligarki oleh elektoral di tingkat lokal serta cetak-biru (blue-
kalangan intelektual dalam arena politik lokal print) pembangunan daerah yang dirumuskan
berlangsung dalam momen tertentu, seperti oleh para akademisi dan direproduksi oleh
momen politik elektoral, praktik pembangunan kalangan aktivis sosial juga dapat dengan mu-
melalui skema good governance serta konflik dah dibelokkan menjadi proses legitimasi bagi
sosial yang menghadapkan kepentingan bisnis- manuver bisnis-politik kekuatan sosial dominan
politik dengan kepentingan dan aspirasi yang bertolak belakang dengan idealita normatif
kewargaan. agenda-agenda pengetahuan tersebut.
Selain ketidaktersediaan basis sosial yang Sebagai contoh, skema inisiatif pemba-
memadai dalam konstelasi politik Indonesia, ngunan yang direkomendasikan oleh kalangan
yang dapat menjadi pengantar bagi terciptanya intelektual dalam proses kolaborasi jejaring
agenda reformasi ekonomi dan politik liberal antara negara-pasar dan masyarakat sipil pada
maupun transformasi politik menuju tatanan praktiknya bisa menjadi skema redistribusi bagi
sosial-demokrasi, bertahtanya kuasa oligarki di aliansi jejaring predatoris beserta kelompok
Indonesia juga disumbangkan oleh karakter patron-klien mereka, baik melalui mekanisme
pengetahuan governance dan arus utama neo-
ekonomi institusionalisme yang bercorak anti- ing Governance Theory: From Network to
21
politik. Solusi teknokratis managerial yang Hegemony (London dan Chicago: Policy Press
dan Chicago University Press, 2011); Ben Fine,
Social Capital versus Social Theory: Political
21
Lihat, John Harriss, Depoliticiszing Development: Economy and Social Science at the Turn of the
The World Bank and the Social Capital (London. Millennium Contemporary Political Economy
Anthem Press, 2002); Jonathan Davies, Challeng- (London: Routledge, 2001).

A R T I K E L
Airlangga Pribadi Kusman, Kuasa Oligarki 157

skema bantuan sosial maupun proyek-proyek dalam perspektif sejarah, dapat menjelaskan
pembangunan. Dengan demikian, rekomendasi mengapa di negara-negara tersebut dapat mem-
teknokratik yang berpijak pada skema good bawa peran intelektual dalam hubungan dengan
governance, baik yang direkomendasikan oleh kekuasaan dalam lintasan politik yang berbeda.
kalangan akademik maupun aktivis sosial, dalam Keberhasilan negara-negara kapitalis, se-
konteks struktur kekuasaan yang didominasi perti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat,
kepentingan oligarki di Indonesia dapat dengan dalam merealisasikan desain tatanan neo-liberal
mudah ditunggangi agenda kepentingan aliansi di masyarakat masing-masing adalah imbas dari
bisnis-politik predatoris ketimbang mengabdi keberhasilan dominasi kalangan kelas borjuis
pada tujuan-tujuan normatif skema pengeta- dalam arena pertarungan ekonomi-politik. Pada
huan tersebut. masa sebelumnya, akibat krisis sosial yang
ditimbulkan oleh Perang Dunia II, kekuatan
sosial yang memiliki kepentingan untuk mela-
Posisi Intelektual dalam
kukan ekspansi modal dipaksa oleh keadaan
Perbandingan Sejarah
yang ada membangun konsensus politik demi
Kita dapat menguraikan problem sejarah membangun keseimbangan sosial antara ke-
yang terjadi di Indonesia, ketika kalangan lompok pemodal dan kelas pekerja. Tatanan
intelektual seperti akademisi, aktivis sosial, ekonomi-politik yang kemudian dikenal sebagai
jurnalis, dan konsultan publik mendorong era embedded liberalism itu ditandai oleh ter-
perubahan sosial serta membangun lintasan bukanya institusi negara dalam mendorong
politik di luar tatanan oligarki predatoris dengan kebijakan redistribusi sosial secara ekspansif
perspektif perbandingan politik mancanegara; dan inklusi kelas pekerja dalam proses pe-
seperti halnya yang baru saja terjadi pada mo- ngambilan kebijakan di negara-negara ter-
23
men Arab Spring ataupun tumbuhnya gerakan sebut.
fasisme di Italia dan Jerman akhir tahun 1920- Namun demikian, berlangsung krisis ne-
22
an hingga tahun 1930-an. Krisis politik dan gara kesejahteraan yang ditandai oleh inflasi,
kesempatan sebuah perubahan politik dalam tingkat pengangguran tinggi, dan anggaran
lintasan liberal maupun sosial-demokrasi ter- negara yang terbebani oleh belanja publik yang
hambat oleh lemahnya atau tidak terorgani- tinggi. Krisis sosial di negara-negara yang
sasinya kekuatan sosial yang menjadi peno- mengadopsi model negara kesejahteraan yang
pangnya. Kondisi itu terjadi karena tatanan distimulasi oleh krisis minyak era tahun 1970-
politik sebelumnya berhasil menghancurkan an itu memberi momentum bagi kekuatan
kekuatan tersebut di ranah masyarakat sipil tandingan rezim negara kesejahteraan, yang
hampir tidak menyisakan ruang bagi mereka direpresentasikan kelas sosial borjuasi, untuk
untuk mengonsolidasikan kekuatan politik. memajukan aspirasi dan kepentingan mereka,
Sekelumit pembacaan terhadap peristiwa yang seperti pemotongan pajak bagi kelompok ter-
berlangsung di belahan dunia lain, seperti di kaya, pengetatan anggaran publik, serta swasta-
24
Amerika Serikat, Inggris, dan Amerika Latin nisasi perusahaan-perusahaan publik. Di Ame-
rika Serikat sebelum kemenangan kaum liberal
pada era Presiden Ronald Reagan atau di Inggris
22
Lihat, Robison dan Hadiz, “The Political Economy
of Oligarchy…”; Sheri Berman, “The Promise of
the Arab Spring: No Gain without Pain”, dalam 23
Lihat, David Harvey, A Brief History of Neo-
Foreign Affair, Vol. 92, No.1, Januari-Februari liberalism (New York. Oxford University Press,
2013, hal. 64-74; Nigel Harris, “New Bourgeouis”, 2005); Naomi Klein, The Shock Doctrine: The Rise
dalam The Jurnal of Development Studies, Vol. 24, of Disaster (UK: Allen Lane, 2007).
No. 2, 1988, hal. 47. 24
Lihat, Harvey, A Brief History….

A R T I K E L
158 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

sebelum Margaret Thatcher berhasil merebut Amerika Serikat (Partai Demokrat) dan di Ing-
kursi Perdana Menteri, pola aliansi antara gris (Partai Buruh) dipaksa mengadopsi ga-
kekuatan sosial kaum borjuis dengan kelompok gasan-gagasan yang sesuai dengan dogma
intelektual di ranah masyarakat sipil terbangun ortodoksi ekonomi neo-liberal (Thirdway) seba-
melalui pembentukan sejumlah lembaga riset, gai mekanisme politik mereka untuk tetap eksis
27
baik di Amerika Serikat (Heritage Foundation, di ruang politik.
Hoover Institute, The American Entreprise Sementara lintasan sejarah yang berbeda,
Institute, dan lain-lain) maupun di Inggris baik dengan Amerika Serikat dan Inggris mau-
(Institute of Economic Affair (IEA), Centre for pun di negara-negara Asia Tenggara seperti
Policy Studies (CPS), dan lain-lain). Pola aliansi Indonesia, berlangsung di negara-negara Ame-
antara kekuatan sosial borjuis dan intelektual rika Latin. Relasi intelektual dan kekuasaan
seperti itu juga berkembang di banyak media berlangsung dalam sejarah panjang pertarungan
massa utama Amerika Serikat dan Inggris.25 kelas dalam perebutan kekuasaan dan distribusi
Terbentuknya aliansi kekuatan kapital dan sumber daya. Kekuatan sosial kelompok borjuis
kaum intelektual di Amerika Serikat seperti itu mampu membangun aliansi, baik dengan elite
agaknya memberi ruang cukup luas bagi ka- liberal maupun militerisme fasistik, yang kepen-
langan intelektual pada ranah masyarakat sipil tingan mereka diartikulasikan melalui partai
untuk memajukan gagasan ideologis tentang politik dan intelektual organik di perguruan
pasar bebas di wilayah publik. Keutamaan tinggi serta media massa berhadapan dengan
individualisme, pasar bebas, dan dampak negatif kekuatan sosial kelas pekerja yang terwakili
negara yang “gemuk” dan lamban menjadi dalam partai politik serta kalangan intelektual
kajian utama serta ideologi hegemonik yang sayap kiri di pelbagai perguruan tinggi, media
diciptakan dan direproduksi pada pusat-pusat massa, dan juga aktivis sosial.
lembaga riset serta opini dan ulasan pakar di Eksperimentasi menuju neo-liberalisme di
media massa utama di Amerika Serikat. Seiring negara-negara Amerika Latin berhasil secara
dengan kegagalan kelas-kelas penopang rezim gemilang mendahului kemenangan kekuatan-
negara kesejahteraan dalam mengantisipasi kekuatan sosial itu di Amerika Serikat dan Ing-
krisis dan keberhasilan kekuatan kelas borjuis gris setelah Jenderal Augusto Pinochet di Cile
membangun aliansi politik dengan kelompok melakukan kudeta terhadap Presiden Salvador
intelektual untuk memajukan agenda mereka, Allende pada 1973. Meski mengambil jalur po-
berlangsung proses pemisahan antara kekuat- litik otoritarianisme-militeristik, namun aliansi
an ekonomi dan politik. Dalam kondisi sosial kekuatan militer di Cile (dan negara-negara
seperti itu, kekuatan borjuasi berhasil mem- lainnya) dengan kekuatan borjuasi berskala
bangun rezim neo-liberal yang diperkuat melalui besar berhasil mentransformasi Cile dan be-
ekspansi ideologi pasar bebas dan individualis- berapa negara di Amerika Latin menjadi negara
me serta rezim pengetahuan teknokratik anti- dengan tatanan neo-liberal yang ditandai oleh
politik dalam tatanan politik, baik di Amerika penetrasi sistem pasar bebas yang relatif tidak
26
Serikat dan Inggris maupun Eropa. Implikasi terbendung oleh kekuatan politik predatoris.
dari kemenangan kekuatan neo-liberal itu cukup Rezim otoritarianisme bersanding dengan
besar. Bahkan, partai-partai politik utama di tatanan pasar bebas di negara-negara Amerika
Latin sejak tahun 1970-an hingga tahun 1980-
an, namun kekuatan sosial akar rumput, kelas
25
Lihat, Harvey, A Brief History…; Padma Desai,
pekerja, petani, dan kaum miskin kota yang
“Aftershock in Russia Economy”, dalam Current
History, Vol. 93, No. 585, 1994, hal. 320-323.
26
Lihat, Harvey, A Brief History…; Klein, The Shock 27
Lihat, Alex Callinicos, Against the Third Way
Doctrine…. (Cambridge: Polity Press, 2001).

A R T I K E L
Airlangga Pribadi Kusman, Kuasa Oligarki 159

berpijak pada ideologi politik nasionalisme borjuasi yang otonom dari jejaring kekuatan
kerakyatan dan sosialistik tidaklah hancur. sosial oligarki predatoris. Walaupun mereka
Kekuatan politik berbasis kelas pekerja yang mengusung ideologi itu di ruang publik sebagai
secara struktural tertanam di negara-negara promotor good governance dan gagasan eko-
Amerika Latin mampu mengonsolidasikan diri nomi dan politik liberal, namun sering kali
untuk membangun kekuatan intelektual or- tersandera oleh aliansi politik yang mereka
ganiknya, baik di basis-basis sosial mereka bangun sendiri, yang memiliki kepentingan
28
maupun di ruang universitas dan media massa. berbeda dengan idealitas normatif ekonomi-
Keberhasilan mempertahankan basis sosial pasar bebas dan governance neo-liberal.
kekuatan nasionalisme kiri, sosialisme, dan Di sisi lain, kelompok-kelompok aktivis
sosialis-demokrasi itu menjadi aset utama bagi yang lebih berorientasi sosial-demokrasi serta
kebangkitan gerakan neo-sosialisme dan sosial- kalangan intelektual kritis berbasis kampus
demokrasi radikal di Amerika Latin, yang dito- tidak memiliki kemewahan politik seperti re-
pang oleh kelas pekerja dan masyarakat adat, kan-rekan mereka di negara-negara Amerika
melalui jalan demokrasi akhir tahun 1990-an Latin. Penghancuran kekuatan politik kiri di
yang ditandai oleh kepemimpinan Hugo Indonesia sejak awal era Orde Baru hampir ti-
29
Chavez, Evo Morales, dan Raphael Correa. dak menyisakan ruang-ruang sosial yang mem-
Perbandingan pengalaman politik antara beri kesempatan kepada mereka untuk me-
intelektual dan kekuasaan, baik di Indonesia, ngonsolidasikan diri membangun kekuatan
Amerika Serikat, Inggris, maupun negara-ne- politik yang koheren dan solid pada aras negara
gara Amerika Latin, memperlihatkan bahwa dan masyarakat sipil.
posisi sosial dan peran mereka tidak hanya
ditentukan oleh kerja ilmiah. Keterlibatan
Kesimpulan
intelektual dan ketersediaan ruang struktural
yang memungkinkan mereka melakukan eks- Pembacaan panjang lebar tentang realitas
pansi gagasan ikut menentukan keberhasilan posisi intelektual dalam panggung politik Indo-
ideologi yang mereka usung, baik dalam ruang nesia pasca-otoritarianisme dengan pengham-
politik maupun masyarakat sipil. Lintasan politik piran critical political-economy serta dalam
intelektual di Indonesia memperlihatkan bahwa konteks perbandingan dengan negara-negara
kalangan intelektual neo-liberal dan liberal tidak lain memberikan kita beberapa pemahaman
berhasil mengedepankan gagasan neo-orto- kritis tentang masyarakat sipil dan demokrasi
doksi ekonomi mengingat tidak tersedianya yang berbeda, baik dengan menggunakan pen-
aliansi politik di arena politik, yakni kekuatan dekatan neo-institusionalis maupun pendekatan
sosial-demokrasi yang mengusung politik trans-
formatif.
28
Lihat, Francisco Panizza, Contemporary Latin Pertama, kita tidak dapat membaca dalam
America: Development and Democracy beyond realitas politik di Indonesia pasca-otoritarianis-
Washington Consensus (London dan New York:
Zed Books, 2009); Eduardo Silva, Challenging
me bahwa masyarakat sipil sebagai entitas
Neoliberalism in Latin America (New York: sosial yang tunggal dan solid serta koheren
Cambridge University Press, 2009). sebagai kekuatan sosial dengan sendirinya ber-
29
Lihat, Michiel Baud dan Rosanne Rutten (eds.), potensi menjadi kekuatan yang mampu me-
Popular Intellectuals and Social Movement: ngontrol negara dan menjadi antitesis kekuatan
Framing Protest in Asia, Africa and Latin America
oligarki predatoris yang menguasai negara. Hal
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005);
Jean Grugel dan Pia Riggirozzi (eds.), Governance tersebut terjadi karena realitas politik pasca-
after Neoliberalism in Latin America (New York: Orde Baru memperlihatkan bahwa arena ma-
Palgrave International, 2009). syarakat sipil justru menjadi ruang bagi eks-

A R T I K E L
160 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

pansi kepentingan kekuatan oligarki predatoris mengaburkan praktik-praktik akumulasi primitif


dalam membangun persetujuan kolektif melalui kekuatan oligarki serta menampilkan di ma-
pemanfaatan “ideologi” governance, demokrasi syarakat dukungan formal atas agenda good
liberal, dan pasar bebas untuk merawat dan governance dan demokrasi di wilayah publik.
mempertahankan kekuasaan oligarki predatoris Keempat, problem gagalnya konsolidasi
di Indonesia. politik masyarakat sipil dalam membangun
Kedua, keberhasilan pemanfaatan gagasan kekuatan politik yang solid dan mengusung
governance neo-liberal serta demokrasi liberal agenda perubahan lebih dikarenakan persoalan
sebagai instrumen ideologis yang dibawa oleh relasi kekuasaan dan pertarungan sosial dalam
kalangan intelektual di Indonesia bagi kelang- konteks sejarah ketimbang problem lemahnya
gengan kekuatan oligarki terjadi karena karakter inisiatif politik dan kapasitas aktor masyarakat
anti-politik teknokratis dari gagasan governance sipil, sebagaimana dikemukakan para pendu-
cenderung mengabaikan ketimpangan dan relasi kung gagasan neo-institusionalisme dan kelom-
kekuasaan yang eksis di Indonesia sebagai pok sosial-demokrasi yang mengusung model
bagian internal dari pengetahuan mereka. Dalam politik transformatif. Keberhasilan rezim oto-
konteks perbincangan dan arena masyarakat ritarian Soeharto dalam menghancurkan basis
sipil, seperti perguruan tinggi, media massa, politik kiri dan liberal dalam ranah masyarakat
ruang-ruang publik, momen-momen politik pil- sipil di Indonesia menjadi penyebab utama
kada, dan pembangunan pasca-pemilu cenderung kegagalan kelompok tersebut memenangkan
menjadi ruang atau benteng penyangga berta- orientasi politik mereka dalam realitas Indonesia
hannya kekuatan oligarki-predatoris daripada pasca-otoritarianisme.
menjadi ruang persemaian bagi pembangunan Realita pahit menyangkut arena masyarakat
kekuatan politik gerakan sosial, baik liberal sipil di Indonesia memperlihatkan bahwa pro-
maupun sosial-demokrasi, dalam meredam eks- ses pembentukan aliansi ekonomi-politik di
pansi dan pengaruh kekuatan oligarki. antara kekuatan bisnis-politik dengan kelompok
Ketiga, dari pembacaan di atas, arena intelektual di ranah masyarakat sipil menjadi
masyarakat sipil menjadi ruang dan tempat penghambat proses konsolidasi politik progre-
pembentukan aliansi-aliansi sosial baru serta sif di Indonesia. Dengan demikian, kekuatan
penguatan aliansi-aliansi lama dari kekuatan gerakan sosial masyarakat sipil dalam mem-
oligarki-predatoris untuk beradaptasi dengan bangun lintasan politik diluar tatanan oligarki
pola kelembagaan baru berorientasi pada desain predatoris terganjal tidak hanya oleh manuver
demokrasi liberal dan pasar bebas. Keber- politik kekuatan sosial oligarki predatoris yang
hasilan kekuatan sosial oligarki yang sebe- menguasai negara, melainkan juga oleh eks-
lumnya dilindungi oleh payung politik Soeharto pansi intelektual yang menjadi instrumen or-
untuk berkuasa pada era pasca-Orde Baru tidak ganik kelas-kelas sosial dominan tersebut yang
bisa dilepaskan dari keterlibatan kekuatan- pada gilirannya menghambat perluasan agenda
kekuatan sosial yang berbasis di masyarakat politik demokrasi dan ide-ide progresif dalam
sipil untuk menjadi mitra yunior mereka dalam ranah masyarakat sipil di Indonesia•

A R T I K E L
Prisma SURVEI Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 161

Demokratisasi Terpimpin
Wacana Refleksi Epistemik, Menolak Kemandekan*

Purwo Santoso

Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dengan menawarkan terobosan untuk


memajukan demokratisasi di Indonesia melalui lensa teori wacana dan
hegemoni. Sebagai sebuah proyek politik hegemoni, demokratisasi perlu
membebaskan diri dari ortodoksi demokrasi yang melulu dipandang sebagai
sebuah prosedur, sehingga membuatnya berakar sosial. Pertimbangan lebih
menyeluruh pada dimensi kontekstual demokrasi dan kemauan serta
kemampuan untuk terus-menerus terlibat dalam pertarungan politik menjadi
tak terelakkan dan merupakan bagian dari penyelesaian yang diperlukan.
Kata Kunci: arus-utama, demokratisasi, hegemoni, politik pengetahuan,
komunitas epistemik

K
ita hidup di zaman demokrasi. Ide atau rentan konflik ini dikagumi dunia— sedang da-
nilai “demokrasi” bukan hanya diteri- lam stagnasi, kalau tidak bisa dikatakan menga-
2
ma, melainkan juga diperlakukan se- lami kemunduran. Pokok soalnya, demokra-
sedemikian penting sebagai acuan dalam me- tisasi terhenti bukan karena memang sudah
3
nilai tata kelola pemerintahan (governance) atau- benar-benar sempurna atau tuntas, melainkan
1
pun pengelolaan kepentingan umum. Hal itu karena kita tidak tahu dan tidak bisa mengambil
berlaku baik pada tataran global dan nasional mau- langkah yang diperlukan untuk mendorong
4
pun lokal, bahkan dalam relasi inter-personal. demokratisasi lebih jauh. Assessment terhadap
Dalam syukurnya kita sebagai warga nega-
ra yang berhasil mendemokrasikan diri dengan 2
Marcus Mietzner, “Indonesia’s Democratic Stag-
susah payah, kini kita dirundung kekhawatiran. nation: Anti-reformist Elites and Resilient Civil
Capaian hebat kita—berdemokrasi dalam ta- Society”, dalam Democratization, Vol. 19, No. 2,
tanan sosio-kultural yang sangat beragam dan 2012, hal. 209-229, juga tautan dalam http://
dx.doi.org/10.1080/13510347.2011.572620
3
Lihat, Amalinda Savirani dan Olle Tornquist
*
Ditulis berdasarkan pengalaman saat mengelola (eds.), Reclaiming the State: Overcoming Problems
dan memanfaatkan temuan-temuan proyek PWD, of Democracy in Post-Soeharto Indonesia (Yogya-
tulisan ini merupakan refleksi pribadi dan tidak karta: PolGov and PCD Press, Departemen Politik
mewakili pendapat anggota tim yang terlibat. dan Pemerintahan, Fisipol, UGM, 2015).
1
Louay Abdulbaki, “Democratisation in Indone- 4
Jamie S Davidson, “Dilemmas of Democratic
sia: From Transition to Consolidation”, dalam Consolidation in Indonesia”, dalam The Pacific
Asian Journal of Political Science, Vol. 16, No. 2, Review, Vol. 22, No. 3, 2009, hal. 293-310, juga
2008, hal. 151-172, juga tautan dalam http:// tautan dalam http://dx.doi.org/10.1080/0951274
dx.doi.org/10.1080/02185370802204099. 0903068354

A R T I K E L
162 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

demokrasi Indonesia yang kami selenggarakan Ivan Krastev meyakinkan penontonnya dalam
7
dalam skema Power, Welfare, and Democracy sebuah TEDx show.
5
(PWD), sampai pada kesimpulan bahwa para Relatif lancarnya perjalanan demokratisasi
pejuang demokrasi tidak banyak lagi mengambil Indonesia pasca-1998 menjadikan kita lupa
terobosan yang diperlukan, dan mereka berada bahwa kebebasan yang berhasil diraih justru
dalam kondisi terfragmentasi. menjebak kita pada optimisme yang berlebihan.
Tidak tertutup kemungkinan, jika capaian Tidak ada jaminan bahwa demokratisasi akan
selama ini tidak dapat lagi dipertahankan, kita terus bergulir, dan berlangsung hanya karena
8
akan berjalan mundur ke titik awal. Yang lebih kita sepakat bahwa demokrasi itu baik. Me-
menggelisahkan adalah belum tuntasnya pro- mang, seperti dikatakan Youngho Cho, untuk
9
ses demokratisasi itu tidak menjadi kesadaran tahu demokrasi kita harus mencintainya, na-
bersama. Bagi kebanyakan di antara kita, demo- mun kecintaan itu tidak boleh memabukkan.
krasi adalah kebebasan politik dan saat ini kita Untuk itulah refleksi ini hendak dibagikan
memang sudah bisa hidup bebas. Demokra- kepada sidang pembaca budiman.
tisasi itu dapat dikatakan tuntas demokrasi telah
bisa kita hadirkan sebagai tatanan hegemonik,
Urgensi Merefleksikan
yang menjadikan kita tidak terpikir urgensi
Demokratisasi Kita
persoalannya, apalagi meninggalkan. Istilah
populernya, democracy is the only game in Ada dua pertimbangan penting mengapa
6
town. Ketika kondisi hegemonik itu tidak ter- refleksi kritis terhadap perjalanan demokratisa-
capai dan para partisipannya tidak pasti tentang si kita ini diperlukan. Pertama, problematika
apa yang harus dilakukan selanjutnya, situasi politik keilmuan atau politik pengetahuan.
akan berubah, “.... many people start to believe Kedua, pertimbangan pragmatis-historis.
it is not a game worth playing”, demikian ujar
Problematika Politik Keilmuan
Kesulitan kita menuntaskan agenda demo-
krasi, sebagaimana akan diperlihatkan tulisan ini,
5
Proyek PWD dikelola oleh sekretariat di bawah
Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah 7
Lihat, http://www.ted.com/talks/ivan_krastev_
Mada bekerja sama dengan University of Olso can_democracy_exist_without_trust.
(UiO). Ide dasar proyek itu adalah melakukan 8
Anjuran untuk tidak terlalu optimistis menyikapi
assesment demokrasi secara kolektif di daerah- kemajuan demokratisasi di Indonesia untuk se-
daerah tempat gerakan pro-demokrasi bergulir, mentara waktu disampaikan dalam kajian Amy
meneruskan proyek serupa yang dilakukan oleh Freedman dan Robert Tiburzi. Sejauh ini, bila
lembaga Demos. Dengan mengandalkan instru- proses demokratisasi sudah berjalan lebih jauh,
men yang disiapkan Tim UGM, UiO dengan alasan untuk berhati-hati juga tetap masih ada;
memanfaatkan konsep dan instrumen yang di- lihat Amy Freedman dan Robert Tiburzi,
pakai dalam kajian Demos, dilakukan pengum- “Progress and Caution: Indonesia’s Democracy,”
pulan data yang melibatkan berbagai eksponen dalam Asian Affairs: An American Review, Vol. 39,
di daerah, baik berbasis universitas maupun or- No. 3, 2012, hal. 131-156, juga tautan dalam http:/
ganisasi non-pemerintah. Hasil dari assesment /dx.doi.org/10.1080/00927678.2012.704832
demokrasi itu didalami dalam serangkaian proyek 9
Youngho Cho, “To Know Democracy Is to Love
pendalaman, dengan tiga titik masuk berbeda: It: A Cross-National Analysis of Democratic
(1) kewarganegaraan, (2) pemerintah daerah dan Understanding and Political Support for Demo-
(3) rezim kesejahteraan. cracy”, dalam Political Research Quarterly, Vol.
6
Lihat, Juan J Linz dan Alfred Stepan, Problems of 67, No. 3, September 2014, hal. 478-488, diterbit-
Democratic Transition and Consolidation kan oleh Sage Publications, Inc. atas nama Uni-
(Baltimore: Johns Hopkins University Press, versity of Utah, tautan dalam http://www.jstor.
1996). org/stable/24371886 (diakses 15 Oktober 2016).

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 163

sedikit banyak dikontribusikan oleh para ilmu- harus dibebani pertanggungjawaban ketika
wan yang mencoba mengamalkan ilmu untuk hasil pemikirannya ternyata lebih banyak men-
demokrasi kita. Kesulitan mempraktikkan demo- datangkan mudharat daripada manfaat. Ini dida-
krasi justru bersumber dari sangat tegarnya sarkan pada argumentasi bahwa komunitas itu
kami, para ilmuwan, mendefinisikan hal itu bersifat objektif dan bebas nilai.
secara sepihak. Hal itu biasa kami lakukan demi Pemikiran yang dilontarkan komunitas itu
menjaga objektivitas pernyataan kami. Demi berkontribusi men-setting arah dan bentuk de-
menjamin obyektivitas, ilmuwan “menjaga jarak” mokrasi di Indonesia. Dari segi itu, demokrasi
dengan objek yang dikaji—dalam hal ini demo- kita sebetulnya adalah demokrasi terpimpin,
krasi dan demokratisasi. Demi menjamin pem- tepatnya terpimpin oleh wacana yang diartiku-
buktian akan apa yang diargumentasikan, ilmu- lasikan oleh komunitas. Ide-ide seputar demo-
wan dituntut spesifik dalam membuat pernya- krasi dengan mudah teralih dari ruang kuliah
taan. Apa yang salah dengan hal itu? atau media massa menjadi naskah akademik
Pertama, ilmuwan menempatkan diri, dan dan, dengan perdebatan yang biasanya tidak
secara normatif dituntut untuk bersikap, bukan sangat berarti, dikukuhkan menjadi undang-
sebagai bagian dari fenomena yang diamatinya. undang.
Tugas ilmuwan hanyalah memberikan penje- Kedua, posisi dan praktik keilmuwanan
lasan tentang fenomena yang dihadapi. Pen- berjubah objektivitas itu ter(re)produksi mela-
jelasan yang dihasilkan juga dituntut untuk lui sebuah teknologi kekuasaan yang menga-
spesifik dan terukur. Itu semua dilakukan atas sumsikan bahwa realitas dan kebenaran bersi-
nama objektivitas. fat tunggal, universal, dan objektif, termasuk
Dogma ini menutupi kenyataan bahwa da- realitas demokrasi. Permasalahannya tinggal
lam posisi yang diasumsikan “netral” dan “be- bagaimana menemukan kebenaran yang objek-
bas nilai” tersebut, kami para ilmuwan sebenar- tif tersebut.
nya terjalin dalam komunitas imajiner yang Narasi keilmuwanan yang hegemonik dire-
dipertemukan oleh pengetahuan dan komitmen produksi secara sistematik melalui artikulasi
untuk berdemokrasi. Jalinan itu disebut sebagai kombinasi fungsi normatif ilmuwan untuk ber-
komunitas epistemik.10 Secara sosial, sebagian sikap objektif dan implementasi paradigma
besar orang dalam komunitas itu ditempatkan keilmuwan positivistik tersebut dalam meng-
sebagai acuan bagi anggota masyarakat yang hasilkan penjelasan tentang beragam fenome-
lebih luas, termasuk dalam demokratisasi. Da- na, termasuk fenomena demokrasi dan de-
lam hal ini, anggota komunitas epistemik tidak mokratisasi. Interpretasi alternatif dari demo-
krasi yang tidak sejalan dengan presuposisi
10
Istilah komunitas epistemik (epistemic com- demokrasi yang dominan dieksklusi, baik
munity) untuk kali pertama dipakai oleh Peter melalui strategi kooptasi maupun pelabelan ne-
Haas; lihat, Peter M Haas, “Introduction: Epis- gatif, seperti democracy with adjective dan
temic Communities and International Policy sebagainya.
Coordination”, dalam International Organization,
Vol. 46, No. 1, Knowledge, Power, and Interna-
tional Policy Coordination, Musim Dingin 1992, Trauma Pragmatis-Historis
hal. 1-35, The MIT Press, juga tautan dalam http:/ Refleksi atas dimensi politik pengetahuan
/www.jstor.org/stable/2706951 (diakses 30 di atas erat kaitannya dengan keperluan untuk
Oktober 2016). Penggunaan istilah itu kemudian merespons dan mengatasi trauma pragmatis
meluas tidak hanya terbatas pada politik dan
historis yang meliputi proyek demokratisasi di
hukum internasional, melainkan juga dalam
lingkup domestik. Istilah koalisi dialog, invisible Indonesia. Patut disadari bahwa demokratisasi
college, dan thought collective, sering disamakan pasca-1998 bukanlah yang kali pertama di Indo-
dengan konsep itu. nesia. Dalam pelajaran sejarah, meski dalam

A R T I K E L
164 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

potret yang sebagian besar negatif, kita pernah Iktikad PWD: Mengawal
terlibat dengan proyek yang sama selama ku- Demokratisasi Melalui Kajian
rang lebih sepuluh tahun. Kolaboratif
Refleksi atas kegagalan relatif proyek
tersebut dan keberhasilan proyek-proyek sesu- Sehubungan dengan problema politik keil-
dahnya akan membawa kita pada pengetahuan muan dan kebutuhan mengatasi trauma prag-
baru tentang watak dari makna demokrasi dan matis historis tersebut, assessment demokrasi
demokratisasi dalam konteks Indonesia yang yang dirancang dalam Proyek PWD bukan
spesifik. Konteks yang spesifik itu mencakup hanya sekadar mengukur capaian, melainkan
keragaman elemen-elemen yang membentuk juga mengidentifikasi tantangan dan kendala
Indonesia sebagai sebuah entitas sosial ke- yang dihadapi para aktivis pro-demokrasi.
bangsaan. Hanya saja, perlu dicatat bahwa assessment itu
Potret negatif tentang proyek demokrati- berlangsung dalam kegaduhan di antara orang-
sasi di Indonesia pada periode 1950-an memun- orang tuli. Setiap eksponen menuntut eks-
culkan gambaran yang bisa diperbandingkan ponen lain untuk berubah, dan masing-masing
dengan lontaran Ivan Kratsev di atas. Demokrasi berharap pihak lainlah yang harus menyele-
liberal bukanlah solusi yang tepat, bahkan kon- saikan urusan. Dalam situasi itulah kemandekan
traproduktif, untuk masyarakat yang tengah proses demokratisasi di negeri ini terjadi, dan
membutuhkan kesepakatan tentang proyek kami paham akan beratnya tantangan yang
kebangsaan. Demokrasi terpimpin yang digulir- harus dilalui agar agenda yang disuarakan di
kan oleh Soekarno dan developmentalisme sini bisa menjadi agenda bersama.
Orde Baru, keduanya sama-sama memiliki po- Yang jelas, sisi politik pengetahuan yang
tret yang negatif terhadap demokrasi dalam disadari sebagai basis pelibatan diri dalam
varian liberalnya, terbukti lebih lama bertahan proses demokratisasi mengharuskan kami
dan relatif lebih mampu mereproduksi keko- untuk tidak terikat pada definisi demokrasi
hesifan proyek kebangsaan Indonesia. yang biasanya direduksi sekadar menjadi pemi-
Ada paralelitas yang patut direfleksikan dari lihan umum. Ada cerita seorang enumerator
kedua proyek demokratisasi Indonesia terse- yang menarik: narasumber yang dihubunginya
but. Keduanya relatif gagal meyakinkan bahwa di satu sisi terkejut, namun di sisi lain senang,
demokrasi adalah “the only game in town that ketika tahu bahwa kami mengkaji demokrasi
is worth playing.” Hal itu tanpa mengenyam- tidak mulai dari dan tidak terfokus pada pemi-
pingkan bahwa dalam kedua proyek tersebut, lihan umum. Iktikad PWD untuk menyelami
Indonesia relatif sangat berhasil mengimple- demokratisasi “dari dalam” mengantarkan te-
mentasikan prosedur, aturan, dan mekanisme muan yang mudah diterka. Kami paham bahwa
yang dianggap sebagai representasi demokrasi. selama ini arus-utama (mainstream) kajian de-
Pengalaman kegagalan proyek demokrati- mokrasi/demokratisasi bukanlah pembangun-
sasi di tahun 1950-an, meski dari segi prosedur an.11 Namun, studi ini mengonfirmasi betapa
bisa dikatakan Indonesia adalah sebuah negara pentingnya kesejahteraan bagi proyek demo-
12
yang demokratis, berujung pada rezim yang krasi/demokratisasi. Publik tidak hanya men-
sentralistis, kalau tidak dikatakan otoritarian,
yang berkuasa selama hampir empat dasa- 11
Lihat, Philippe C Schmitter dan Terry Lynn Karl,
warsa. Pengalaman seperti itulah yang berusaha “What Democracy Is . . . And Is Not”, dalam
Journal of Democracy, Vol. 2, No. 3, Musim Panas
dihindari agar tidak terulang lagi. Jika sampai
1991, hal. 75-88, The Johns Hopkins University
terulang, kita akan terjebak dalam ayunan pen- Press.
dulum tak berkesudahan dari satu titik ekstrem 12
Savirani dan Tornquist (eds.), Reclaiming the
ke titik ekstrem yang lain. State….

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 165

dambakan terjaminnya political liberty sebagai- sebagaimana dikembangkan dalam tradisi kajian
mana hendak dijawab oleh pengusung gagasan deliberative democracy, menjadi penting. Sehu-
demokrasi liberal dan tentu saja menolak ta- bungan dengan hal itu, dalam sub-bab ini kita
tanan otoritarian Orde Baru, namun masih perlu menegaskan beberapa hal, agar usulan ini
merawat mimpi yang sebelumnya coba dijawab tidak menghasilkan salah paham.
oleh Orde Baru dengan pembangunanisme. Dalam kaidah keilmuan yang sejauh ini
Pada titik ini bisa disajikan kesimpulan an- masih menjadi mainstream, maju mundurnya
tara, bahwa demokrasi adalah persoalan kese- proses demokrasi, secara keilmuan, adalah
pahaman makna. Karena itu, kita harus memi- gejala yang biasa. Sementara itu, kajian ini justru
liki dan mengarungi rute epistemik. Kajian bermaksud memobilisasi kegelisahan, berang-
demokrasi di Indonesia perlu mengembangkan kat dari berbagai hal yang kita refleksikan di
demokrasi epistemik. Refleksi kritis, sebagai- atas. Dalam konteks ini, demokrasi epistemik
mana coba disajikan di sini, diharapkan dapat mengharuskan kita mencabut sekat pembatas
meminimalisasi problema epistemologis dalam antara masalah keilmuan dengan masalah de-
berdemokrasi. Mengingat kesimpangsiuran mokrasi. Kita tahu bermasalah tidaknya demo-
dalam penuntasan agenda demokrasi adalah krasi kita, justru karena kita pada saat yang
keniscayaan, maka koreksi epistemologis yang sama memosisikan sebagai warga negara aktif
teridentifikasi dari telaah ini perlu diikuti de- (demos) yang berkiprah melalui jalur keilmuan.
ngan pengayaan dan, pada saat yang sama, Dengan cara itu, kita bisa menemukenali sangat
penajaman dalam pewacanaan demokrasi. banyak keluh-kesah yang beredar, dan keluh-
Pada saat yang sama, kejelasan akan aspek kesah ini tidak diartikulasikan dengan istilah
politik pengetahuan sebagaimana disebutkan di demokrasi. Kita tahu korupsi masih saja men-
atas mendekatkan kami pada amanat sila keem- jadi isu publik serta dominasi para pemodal
pat Pancasila bahwa negeri ini harus dipimpin dalam perpolitikan. Selain itu, ada pemberitaan
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawa- gencar tentang mengemukanya politik dinasti
ratan/perwakilan. Privilese epistemik yang dan sebagainya tidak selalu diletakkan dalam
disebutkan di atas perlu didedikasikan untuk bingkai demokratisasi.
mengambil hikmah. Deliberative democracy, Dengan kata lain, justru karena demokrasi
sebagaimana diamanatkan oleh sila keempat memiliki konotasi berbeda-beda, maka komuni-
Pancasila, perlu diseriusi. Teknologi yang ter- kasi publik yang berlangsung juga menjadi
sedia saat ini telah memungkinkan proses medium untuk menegosiasikan makna.13 Secara
permusyawaratan berlangsung jauh melintasi akademik, kesepakatan tentang istilah demo-
dan melampaui sekat-sekat ruang geografis. krasi bukan berarti kesepakatan detail dan
Ajakan untuk mengembangkan telaah da- operasional tentang hal ini. Oleh kalangan
lam jalur demokrasi epistemik dibangun di atas pasca-strukturalis istilah demokrasi tidaklah
14
asumsi bahwa demokrasi bukanlah sekadar lebih dari sekadar empty signifier. Justru ka-
persoalan kekuasaan dalam pengertian formal
sebagaimana sebagian besar kita pahami. Da- 13
Chantal Mouffe, The Return of the Political
lam bahasa kekuasaan, selain kekuasaan dalam (London: Verso, 1993), hal. 3-4.
arti konvensional, ada kuasa pengetahuan yang 14
Anna Marie Smith, Laclau and Mouffe: The Radical
ikut bermain (embedded) dalam proses de- Democratic Imaginary (London dan New York:
mokratisasi. Pada saat yang sama, kita juga Routledge, 1998); lihat juga, Francisco Paniza
(ed), Populism and the Mirror of Democracy
tidak boleh lupa bahwa demokratisasi hanya
(London dan New York: Verso, 2005); Donna
masuk akal untuk didukung kalau alasannya, Strickland, “Worrying Democracy: Chantal
menurut otak dan hati kita, bisa diterima (legi- Mouffe and the Return of Politicized Rhetoric”,
timate). Untuk itulah proses permusyawaratan, dalam Journal of Advanced Composition, Vol. 19,

A R T I K E L
166 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

rena telah diterima sebagai dan menjadi penan- Aksiologi dari pengkajian demokrasi adalah
da baik tidaknya suatu hal, demokrasi yang kita untuk mendapatkan teori demokrasi; teori
perbincangkan tidak perlu merujuk pada hal dibutuhkan “sekadar” untuk menjelaskan atau
spesifik. Dalam konteks ini, pengembangan mengukur. Baginya, teori demokrasi tidak
epistemic democracy adalah negosiasi makna didedikasikan untuk mengubah atau mencip-
untuk semakin detail dan spesifik konotasi dari takan realita ideal itu.
demokrasi. Kecerdasan kita untuk selalu mem- Yang tersirat di balik masifnya studi demo-
bingkai ulang manifestasi demokrasi adalah krasi selama ini adalah bahwa demokrasi hen-
proses penciptaan realita demokrasi itu sendiri. dak dirumuskan secara objektif sebagai
Untuk menjelaskan poin di atas, ada scientific enterprise, bukan sebagai realita yang
baiknya kita pinjam kategorisasi para hendak diciptakan melalui riset atau kajian itu
antropolog ketika membedakan praktik sosial. sendiri. Objektivitas dan netralitas kajian
Ada praktik bersifat etic dan ada pula praktik biasanya amat sangat dijaga. Dengan kata lain,
yang sifatnya emic. Dalam tradisi berpikir emic, perdebatan tentang apa makna demokrasi
lahirlah Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) hasil biasanya dilakukan dalam rangka menghasilkan
kerja sama Bappenas dengan United Nation atau menguji teori demokrasi sedemikian rupa,
15
Development Programme (UNDP). Ketika sehingga demokrasi terjelaskan dengan baik.
kita menggeluti demokrasi di negeri sendiri Bahwa kondisi di lapangan tidak semakin de-
dalam sistem yang menjadikan kita sebagai mokratis, tidaklah menjadi persoalan bagi para
unsur atau pelakunya, maka kita bekerja secara pengkaji. Untuk mudahnya, kecenderungan itu
emic. Dalam tradisi itu, kegiatan keilmuan dan kita beri nama sebagai kajian berorientasi onto-
kegiatan advokasi untuk demokrasi yang lebih logis, karena pertaruhannya ada pada sisi
berkualitas atau bermakna bisa dilakukan sekali ontologis dari demokrasi itu sendiri. Dedi-
jalan, karena keilmiahan satu tindakan mensya- kasinya adalah pada kejelasan, bukan pada
ratkan intersubjektivitas di antara pihak-pihak realisasi nilai, demokrasi.
yang terlibat. Orientasi sebaliknya, yakni orientasi aksio-
Untuk keluar dari kebingungan tersebut, logis, tidaklah terlarang, meski tidak populer.
kita perlu berpegang pada filsafat ilmu, khu- Secara epistemologis dapatlah dibenarkan bila
susnya epistemologi, agar tidak terjebak dalam kajian demokrasi dilakukan sebagai bagian dari
diskusi yang tidak konstruktif, bahwa masing- perjuangan bersama untuk demokratisasi. Yang
masing pihak atau kubu yang terlibat dalam perlu dijamin bukan objektivitas, melainkan
kontroversi memiliki basis epistemologi ter- inter-subjektivitas kajiannya, yang dilakukan
sendiri. Ada yang tetap bersikeras bahwa ilmu- secara inter-subjektif dengan para aktivis pro-
wan harus netral demi objektivitas karya demokrasi itu sendiri.
ilmiahnya. Karena itu, definisi demokrasi harus Dalam bingkai epistemologis demikian,
ditetapkan secara sepihak oleh peneliti. komunitas PWD bermaksud melakukan kajian
dengan aksiologi yang berbeda dari main-
stream: ikut ambil bagian dalam demokratisasi
No. 3, 1999, hal. 476-484, juga tautan dalam http:/ Indonesia. Kami melakukan kajian tentang
/www.jstor.org/stable/20866257 (diakses 15 demokrasi di Indonesia dengan harapan turut
Oktober 2016). berkontribusi dalam mendemokratiskan In-
15
Salah satu laporannya adalah Maswadi Rauf, et donesia. Dalam melakukan kajian itu, tentu saja
al., Demokrasi Indonesia: Ledakan Tuntutan
tidak mungkin untuk menunggu dan mencapai
Publik vs Inersia Politik (Jakarta: Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kea- kesepakatan makna demokrasi bagi Indonesia.
manan Republik Indonesia bersama Badan Pu- Sebaliknya, pengkajian tersebut justru bermak-
sat Statistik Republik Indonesia, 2011). sud untuk menawarkan pemaknaan yang secara

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 167

epistemologis lebih masuk akal. Makna terlacak dari pewacanaan publik yang berlang-
demokrasi seperti itu justru hendak kami cari sung. Demokratisasi diwacanakan sebagai per-
dan komunikasikan ke publik sejauh kami soalan kebijakan publik. Yang tersirat di situ
mampu. adalah adanya urgensi memudahkan cara kita
Ketika hendak mewujudkan idealita itu, membayangkan apa yang seharusnya dilaku-
perlu serangkaian langkah spesifik. Di sinilah kan untuk demokratisasi dan membayangkan
persoalan segera mengemuka. Lagi-lagi, ko- apa saja yang bisa/hendak dihasilkan dari
munitas akademik segera mengedepankan proses demokratisasi. Dalam rangka itulah
ketidaksepakatan perihal detail dan operasio- reduksi dan distorsi makna sedang terjadi.
nalisasinya; bukan saja spesifikasi dan ope- Namun, yang sering kali tidak disadari, reduksi
rasionalisasi maknanya terjebak dalam perde- itu selalu berpotensi mengecoh kita, karena
batan yang tidak berujung konsensus, proses reduksi meniscayakan ada elemen-
Poin yang hendak dikedepankan di sini elemen yang sengaja maupun tidak dieksklusi.
adalah bahwa untuk kepentingan akademik Permasalahannya adalah, “elemen mana yang
boleh saja akademisi berbeda-beda dalam me- harus dieksklusi dan siapa yang menentukan?”
maknai demokrasi ataupun demokratisasi. Akan Di situlah ironi terjadi ketika elite yang se-
tetapi, untuk kepentingan praktis, yakni mewu- harusnya didemokratisasikan malah menjadi
judkan ide demokrasi di alam nyata, yang ber- desainer utama demokratisasi dan publik yang
langsung adalah semua orang di negeri ini. seharusnya menjadi agen dengan peran paling
Demokrasi yang fungsional adalah demokrasi sentral sering kali sekadar menjadi objek.
yang tersirat di balik nalar publik. Mereka Ada juga yang menawarkan cara lain. De-
berdemokrasi ataupun memperjuangkan demo- mokratisasi tidak diwacanakan sebagai proses
krasi dengan makna yang tersirat dalam per- teknokratis sebagaimana dipaparkan di atas,
bincangan dan tindakan mereka, tanpa harus melainkan sebagai proses politis; tepatnya se-
merujuk pada definisi atau spesifikasi konsep bagai sebentuk gerakan politik dengan pe-
yang diperdebatkan para akademisi. Lebih dari merintah sebagai targetnya. Dalam konteks itu,
itu, perlu juga ditegaskan bahwa perdebatan proses demokratisasi berisi berbagai bentuk
para akademisi pada umumnya bukanlah untuk perlawanan terhadap tatanan otoriter dan tar-
memperbaiki demokrasi. Perdebatan itu dilaku- getnya adalah mengganti pemerintah otoriter
kan untuk uji dan kontestasi keabsahan karya serta menggantikan tatanan politik sedemikian
mereka; untuk pengembangan teori atau ilmu. rupa, sehingga terkontrol oleh rakyat. Dengan
Dalam doktrin keilmuan yang populer, aka- terlembaganya kontrol publik, negara diasum-
demisi (baca: ilmuwan) memang diharapkan sikan akan membuat kebijakan dan memberi
“berada di luar” realita yang dibahas agar bisa solusi bagi permasalahan-permasalahan warga
objektif dan netral. negara. Akan ada tatanan sistemik-struktural
Sebagaimana telah dijelaskan, obsesi ne- yang mewujud, yang justru mengonsolidasi
tralitas dan objektivitas ilmuwan seperti itu tidak fragmentasi dan kontestasi yang berlangsung
pernah benar-benar terjadi, karena peran sen- melalui proses policy-making yang efektif.
tralnya sebagai produsen wacana. Misalnya, Imajinasi itu terlalu asumtif dan mudah terjebak
para akademisi juga larut dalam gerakan pro- dalam perumitan yang tak terantisipasi. Para
demokrasi. Namun, dalam posisi itu pun me- pejuang demokrasi kehilangan arah tentang apa
mang ada keperluan untuk menyepakati, meski yang bisa dan harus dilakukan.
secara diam-diam, apa yang kita maksud dengan Dalam kesulitan untuk mewujudkan ga-
demokrasi. gasan dan mengoperasionalkan makna demo-
Urgensi untuk mengonkretkan dan mengo- krasi, ada banyak yang menyerah dengan
perasionalkan ide atau nilai-nilai demokrasi skema demokrasi prosedural. Tawaran model

A R T I K E L
168 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

yang dikenal berwatak Schumpeterian itu, dilakukan “dari dalam sistem” yang hendak
sebagaimana diketahui, bersifat sangat mini- didemokrasikan. Kami bermaksud tidak hanya
malis karena hanya menjangkau aspek kepe- mengukur dan demi komparabilitas hasil pe-
mimpinan dalam berdemokrasi.16 Demokrasi, ngukuran lalu menawarkan indeks. Yang kami
singkat cerita, pada akhirnya berkonotasi se- lakukan adalah survei pakar (delphy method),
kadar sebagai pengisian jabatan publik melalui tempat narasumber memberikan telaah atas
pemilu. Yang perlu dicatat dalam hal itu adalah dasar bidang kepakarannya dan keikutser-
bahwa tawaran yang minimalis diterima lebih taannya dalam gerakan pro-demokrasi. Pilihan
atas dasar mendahulukan realisasi daripada tersebut tentu saja tidak selalu bisa diterima
memperjuangkan kesepakatan inter-subjektif oleh semua orang yang ingin ikut ambil bagian
tentang substansi praktik demokrasi. Ujung- dalam proses demokratisasi, namun memung-
ujungnya demokrasi berperan sekadar empty kinkan pemetaan peluang dan kendala yang ada
signifier, demokrasi tidak bermakna selain di serta sumber daya yang tersedia untuk itu.
masa elektoral. Dalam menelaah demokrasi dan demo-
Sadar akan kontroversi makna demokrasi kratisasi di Indonesia, proyek PWD juga mene-
yang harus diadopsi Indonesia, komunitas gakkan kesadaran bahwa ketika demokratisasi
proyek PWD mendefinisikan demokrasi dalam berlangsung di negeri ini, ada juga proses
17
gaya Bethamian. Sejalan dengan pemaknaan paralel yang berlangsung pada aras global yang,
seperti itu, kami melakukan telaah demokrasi baik langsung maupun tidak, ikut memengaruhi
dari posisi dan sudut pandang aktivis yang dinamika demokratisasi di Indonesia. Hal itu
berjuang untuk demokratisasi itu sendiri. Yang bisa dibahasakan secara netral dengan istilah
jelas, dalam kesadaran tentang tidak bulatnya pengaruh globalisasi terhadap demokrasi,19
konsensus mengenai makna demokrasi, kami ataupun secara lebih berterus terang: “promosi
20
membuka diri bagi munculnya pemaknaan de- demokrasi”.
mokrasi yang berasal dari narasumber kami. Dalam konteks itu, menarik untuk dicatat
Dalam kerangka pikir seperti itu, proses bahwa dalam interseksi antara politik global/
demokratisasi yang terbayang adalah proses internasional dengan politik domestik, makna
yang berlangsung dari bawah (bottom up), dan praktik demokrasi diasumsikan homogen.
18
karena demokrasi digerakkan oleh demos. Promosi demikian berlangsung, baik secara
Lebih dari itu, pelacakan makna demokrasi eksplisit melalui berbagai bantuan luar negeri
maupun implisit, misalnya, melalui jejaring
alumni yang menyambung para profesor/pene-
16
Gerry Mackie, “Schumpeter’s Leadership
Democracy”, dalam Political Theory, Vol. 37, No. liti dari universitas di negara maju yang demo-
1, Februari 2009, hal. 128-153, juga tautan dalam kratis dengan almamaternya di universitas di
http://www.jstor.org/stable/20452683 (diakses
15 Oktober 2016). 19
Ronaldo Munck, “Globalization and Democracy:
17
David Beetham, “Towards a Universal Frame- A New “Great Transformation?”, dalam The
work for Democracy Assessment”, dalam Demo- Annals of the American Academy of Political and
cratization, Vol. 11, No. 2, 2004, hal. 1-17, juga Social Science, Globalization and Democracy, Vol.
tautan dalam http://dx.doi.org/10.1080/13510 581, Mei 2002, hal. 10-12, juga tautan dalam http:/
340412331294182 /www.jstor.org/stable/1049703 (diakses 15
18
Benget M Silitonga (ed.), KRATOS MINUS Oktober 2016).
DEMOS: Demokrasi Indonesia, Catatan Dari 20
Clifton Sherrill, “Promoting Democracy: Results
Bawah, Satu Dasawarsa Perhimpuna BAKUMSU of Democratization Efforts in the Philippines”,
(7 Januari 2000–7 Januari 2010) (Medan dan dalam Asian Affairs, Vol. 32, No. 4, Musim Dingin,
Jakarta: Perhimpunan Bantuan Hukum & Advo- 2006, hal. 211-230, juga tautan dalam http://
kasi Rakyat Sumatera Utara dan Yayasan www.jstor.org/stable/30172883 (diakses 20
Pusataka Obor Indonesia, 2012). Oktober 2016).

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 169

negara yang sedang menjalani agenda demo- salah satu kendala dalam penuntasan demo-
kratisasi. Kegiatan tersebut tentu saja merupa- krasi justru terletak pada ketidaksepahaman
kan bagian dari proyek untuk menjadikan model detail, apalagi ada silang-menyilang risiko dan
demokrasi tertentu menjadi tatanan hegemonik keuntungan yang melekat pada proses itu. Ke-
dalam skala global. Promosi demokrasi ber- tidaksepakatan adalah keniscayaan. Yang dibu-
langsung di balik asumsi bahwa demokrasi tuhkan dalam demokratisasi adalah kemam-
adalah hal yang universal, dan watak universal puan untuk terus-menerus merajut kesepa-
demokrasi kian tidak dipersoalkan lagi sejak katan di antara ketidaksepakatan itu dalam
terjadinya gelombang demokrasi besar-besaran koridor nilai kesetaraan dan kebebasan. Untuk
pada tahun 1980-an.21 itu ada banyak cara dan model di samping
Sehubungan dengan telaah yang disampai- model demokrasi liberal.
kan di atas, kekuasaan yang perlu diperbincang-
kan dalam rangka penuntasan agenda demo- Dalam Pusaran Arus-Utama
kratisasi tidak lagi “sekadar” kekuasaan untuk Kajian Demokrasi
mendorong, misalnya, kapasitas masyarakat
sipil untuk mendesakkan tuntutan kepada pe- Dengan mengedepankan sisi epistemik
merintah, melainkan kekuasaan dalam mem- tersebut di atas, segera terlihat bahwa pemi-
bingkai makna (discursive capacity). Kita berde- kiran demokrasi tidak tunggal; hal itu bermuara
mokrasi karena alasan tertentu—entah apa pada aktualisasi yang juga sangat beragam.
alasannya—dan ketidaksamaan alasan niscaya Sungguhpun demikian, tetap saja ada main-
berimplikasi pada ketidaksepahaman apa yang stream yang sangat berpengaruh. Pemikiran
bisa dan perlu dilakukan. arus-utama yang memandu perjalanan demo-
Dalam set-up transformasi itulah penun- kratisasi di Indonesia adalah yang dikembang-
tasan demokratisasi bukan semakin lama se- kan oleh mazhab transisi menuju demokrasi.
makin mudah, melainkan semakin tidak jelas. Teori-teori demokratisasi itu memiliki akar
Permasalahan kuncinya adalah tidak ada kese- dalam tradisi perbandingan politik yang pada
pahaman apa yang baik yang ingin/harus ditun- dasarnya memahami demokrasi “dari luar.”
taskan dalam proses demokratisasi itu sendiri. Lantas, bagaimana kita menyikapinya?
Artinya, penuntasan agenda proyek demokra- Interpretasi demokrasi yang dominan di
tisasi kita mentahkan sendiri, kalaulah tidak muka bumi saat ini adalah interpretasi yang
dimentahkan pihak lain. Hal itu mengisyaratkan melihat demokrasi seakan-akan identik dengan
22
pentingnya kajian demokrasi mengasah sensi- liberalisme. Dalam ungkapan Marc F Platter,
23
tivitasnya dengan mengingat kembali pesan keduanya tak bisa dipisahkan. Lebih dari itu,
Foucault tentang dualitas power/knowledge. demokrasi dibayangkan sebagai sebuah ide
Maknanya, knowledge-based politics, niscaya
adalah strategi dan elemen krusial dalam pro-
yek demokratisasi sebagai sebuah proyek
22
Mouffe, The Return of…, hal. 6.
23
Marc F Plattner, “Liberalism and Democracy:
politik. Can’t Have One without the Other”, dalam
Demokratisasi mau tidak mau melibatkan Foreign Affairs, Vol. 77, No. 2, Maret-April, 1998,
bongkar pasang tatanan, baik yang membong- hal. 171-180, juga tautan dalam http://www.jstor.
kar maupun yang memasang tidak punya kese- org/stable/20048858 (diakses 20 Oktober 2016);
pahaman detail dan operasional. Dari segi itu, lihat juga, Austin Ranney dan Willmoore Kendall
Democracy; “Confusion and Agreement”, dalam
The Western Political Quarterly, Vol. 4, No. 3,
21
Adam Burgess, “Universal Democracy, Diminish- September 1951, hal. 430-439, juga tautan dalam
ed Expectation”, dalam Democratization, Vol. 8, http://www.jstor.org/stable/442848 (diakses 15
No. 3, 2001, hal. 51-74. Oktober 2016).

A R T I K E L
170 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

yang homogen dan berlaku sebagai standar olok dengan sebutan democracy with adjective.27
24
yang universal. Karena sangat populernya Dalam konteks itu, Fareed Zakaria sempat me-
tradisi pemikiran seperti itu, ketika istilah lakukan perlawanan wacana melalui tulisannya
demokrasi disebut yang terbayang pada dasar- yang terkenal, “the rise of illiberal democracy”.28
nya hanyalah demokrasi liberal. Ketika sebuah Sejalan dengan hal itu, muncul pelbagai laporan
negara atau entitas politik lainnya tidak me- tentang keterbatasan promosi demokrasi li-
menuhi parameter tersebut, negara yang ber- beral. 29 Selain itu, ada juga pendapat yang
sangkutan akan jatuh dalam status “demokrasi membuka ruang bagi lahirnya variasi cara
25
yang menyimpang” (deviant democracy). berdemokrasi, karena perbedaan konteks tem-
Kegagalan memenuhi standar yang ditetapkan pat demokratisasi berlangsung. Dalam rangka
oleh promotor demokrasi menjadikan negara menjaga sensitivitas terhadap konteks itu,
26
yang bersangkutan memiliki cacat, atau diolok- Aurel Croissant dan Wolfgang Merkel mena-
warkan konsep embedded democracy dan ada-
nya external embeddeness yang menjadikan
24
David Altman dan Anibal Pérez-Liñán, “Assess- gagasan demokrasi bisa dijabarkan secara lebih
ing the Quality of Democracy: Freedom, Compe-
kontekstual.30
titiveness and Participation in Eighteen Latin
American Countries”, dalam Democratization, Sehubungan dengan kontestasi makna
Vol. 9, No. 2, 2002, hal. 85-100, juga tautan dalam demokrasi, Milja Kurki melaporkan hasil telaah
http://dx.doi.org/10.1080/714000256; lihat juga,
Michael Coppedge, et al., Conceptualizing and
Measuring Democracy: A New Approach,” dalam istilah defected; lihat, Wolfgang Merkel,
Perspectives on Politics, Vol. 9, No. 2, Juni 2011, “Embedded and Defective Democracies”, dalam
hal. 247-267, juga tautan dalam http://www.jstor. Democratization, Vol. 11, No. 5, Desember 2004,
org/stable/41479651 (diakses 15 Oktober 2016). hal. 33-58, juga tautan dalam http://dx.doi.org/
25
Sila cermati logika Michael Seeberg, “Mapping 10.1080/13510340412331304598.
Deviant Democracy”, dalam Democratization, 27
David Collier dan Steven Levitsky; “Democracy
Vol. 21, No. 4, 2014, hal. 634-654, juga tautan with Adjectives: Conceptual Innovation in
dalam http://dx.doi.org/10.1080/13510347.2012. Comparative Research”, dalam World Politics,
755516; lihat juga, Renske Doorenspleet dan Petr Vol. 49, No. 3, April 1997, hal. 430-451, juga tautan
Kopecký, “Against the Odds: Deviant Cases of dalam http://www.jstor.org/stable/25054009
Democratization”, dalam Democratization, Vol. (diakses 20 Oktober 2016).
15, No. 4, 2008, hal. 697-713, juga tautan dalam 28
Fareed Zakaria, “The Rise of Illiberal Demo-
http://dx.doi.org/10.1080/13510340802191045; cracy”, dalam Foreign Affairs, Vol. 76, No. 6,
serta Wolfgang Merkel dan Aurel Croissant, November-Desember 1997, hal. 22-43, juga tautan
“Conclusion: Good and Defective Democracies”, dalam http://www.jstor.org/stable/20048274
dalam Democratization, Vol. 11, No. 5, 2004, hal. (diakses 20 Oktober 2016). Setelah menuai kon-
199-213, juga tautan dalam http://dx.doi.org/ troversi, Zakaria menerbitkan buku berjudul The
10.1080/13510340412331304651; Matthijs Bo- Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home
gaards (2009), “How to Classify Hybrid Regimes? and Abroad (New York: WW Worton, 2003).
Defective Democracy and Electoral Authorita- 29
Christopher Hobson, “The Limits of Liberal-
rianism”, dalam Democratization, Vol. 16, No. 2, Democracy Promotion”, dalam Alternatives: Glo-
2009, hal. 399-423, juga tautan dalam http:// bal, Local, Political, Vol. 34, No. 4, Oktober-
dx.doi.org/10.1080/13510340902777800. Desember 2009, hal. 383-405, juga tautan dalam
26
Sebagai contoh, cermati pilihan kata flaw dalam http://www.jstor.org/stable/40645283 (diakses
Björn Dressel, “The Philippines: How Much Real 15 Oktober 2016).
Democracy?”, dalam International Political 30
Aurel Croissant dan Wolfgang Merkel (2004),
Science Review/Revue internationale de science “Introduction: Democratization in the Early
politique, Vol. 32, No. 5, November 2011, hal. 529- Twenty-First Century”, dalam Democratization,
545, juga tautan dalam http://www.jstor.org/ Vol. 11, No. 5, 2004, hal. 1-9, juga tautan dalam
stable/41308912 (diakses 15 Oktrober 2016). http://dx.doi.org/10.1080/1351034041233130
Setara dengan istilah flaw, dipergunakan juga 4570.

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 171

yang menarik untuk dicatat. 31 Sehubungan Yang diamanatkan oleh the founding fathers
dengan demokratisasi besar-besaran sejak kita adalah mencari hikmah dalam permusya-
tahun 1980-an, resistansi terhadap wacana waratan perwakilan. Hal itu sangat dengan de-
dominan tersebut di atas semakin merosot.32 ngan usulan Zhen Han dan Lihe Dong: demo-
34
Artinya, pemaknaan demokrasi sebagai tatanan krasi sebagai kompromi-kompromi sosial.
yang homogen dalam standar arus-utama sema- Peran pemegang privilese epistemik dalam pro-
kin tak terelakkan. Dalam promosi demokrasi, ses-proses diskursif kiranya tak bisa dihindari
berlangsung proses yang disebut fine tuning ataupun diabaikan, namun perlu dirumuskan
sedemikian rupa, sehingga resistansi terhadap ulang. Perannya bukanlah menghakimi, apalagi
pemaknaan kalangan arus-utama tergembosi. mengecam, melainkan mengeksplisitkan mak-
Sehubungan dengan itu, Kurki mengingatkan na-makna yang selama ini terartikulasi secara
33
pentingnya pluralisasi dan kontekstualisasi. implisit atau tidak jelas. Penggalangan kom-
Telaah dalam sub-bab berikut sejalan dengan promi sosial didasarkan atas komitmen baru
usulan Kurki tersebut, bahwa keikutsertaan bahwa demokrasi tidak hanya untuk dikaji dan
para pemegang privilese epistemik secara mo- diketahui, namun harus dikerjakan dan repro-
ral terikat untuk berdemokrasi dengan me- duksi pemahaman terus-menerus kiranya akan
nyadari potensinya memonopoli kebenaran. mengentalkan nuansa hegemonik dari demo-
krasi itu sendiri. Kompromi-kompromi dilaku-
kan sebagai komitmen untuk mendemokra-
Mencari Hikmah Pewacanaan: 35
sikan demokrasi, karena ketidaksediaan untuk
Democracy as a Way to Social
menerima penjelasan alternatif yang sama-sama
Compromise
punya basis keilmiahan secara epistemologis
Dalam upaya menemukenali rute alternatif adalah tindakan otoriter. Dalam bahasa Dryzek,
dalam rangka (ikut) menuntaskan proses de- hal tersebut adalah bentuk perlunya untuk
mokratisasi, kita telah mencermati sisi episte- mendemokrasikan rasionalitas36, karena rasio-
mik dan diskursif yang terkait. Muaranya adalah nalitas manusia tidaklah tunggal.
pengkajian dan penerapan ide-ide demokrasi Perlu ditegaskan di sini bahwa kompromi-
secara lebih kontekstual. Pertanyaannya, bagai- kompromi sosial yang dimaksud bukanlah
mana hal itu bisa kita lakukan? kompromi dalam konteks perjuangan kepen-
tingan antar-aktor. Kompromi dipakai dalam
pengertian bahwa eksponen dalam komunitas
epistemik yang dimaksud selalu bersedia untuk
31
Thomas Carothers, “The Backlash against
Democracy Promotion”, Foreign Affairs, Vol. 85, melihat dari cara pandang lain yang tidak terarti-
No. 2, Maret-April 2006, hal. 55-68, juga tautan
dalam http://www.jstor.org/stable/20031911 34
Zhen Han dan Lihe Dong, “Democracy as a Way
(diakses 15 Oktober 2016); Milja Kurki, to Social Compromise”, dalam Frontiers of
“Democracy and Conceptual Contestability: Philosophy in China, Vol. 1, No. 1, Januari 2006,
Reconsidering Conceptions of Democracy in hal. 1-5, juga tautan dalam http://www.jstor.
Democracy Promotion”, dalam International org/stable/30209945 (diakses 15 Oktober 2016.
Studies Review, Vol. 12, No. 3, September 2010, 35
Thomas A Koelble dan Edward Lipuma, “Demo-
hal. 362-386, juga tautan dalam http://www.jstor. cratizing Democracy: A Postcolonial Critique of
org/stable/40931113 (diakses 15 Oktober 2016). Conventional Approaches to the ‘Measurement
32
Mark R Thompson, “Whatever Happened to of Democracy’,” dalam Democratization, Vol. 15,
Democratic Revolutions?”, dalam Democrati- No. 1, 2008, hal 1-28, juga tautan dalam http://
zation, Vol. 7, No. 4, 2000, hal. 1-20, juga tautan dx.doi.org/10.1080/13510340701768075.
dalam http://dx.doi.org/10.1080/135103400084 36
John S Dryzek, Discursive Democracy: Politics,
03682. Policy, and Political Science (Cambridge: Cam-
33
Thompson, “Whatever Happened to…”. bridge University Press, 1994).

A R T I K E L
172 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

kulasi secara lantang. Dalam konteks itu, tidak demikian berlangsung karena komunitas epis-
perlu kesepakatan yang fixed dari kontroversi- temic di bidang itu sangat mudahnya mengim-
kontroversi yang bergulir. Yang dipentingkan plementasikan makna demokrasi yang diso-
adalah adanya kesediaan untuk mendialogkan dorkan sebagai tawaran konsep dalam skema
dan mendialektikakan lalu-lalang wacana yang promosi demokrasi yang dilakukan negara-
38
mengemuka. Upaya untuk terus-menerus men- negara industri maju. Yang tengah terjadi
cari kompromi itulah yang menjadi kebutuhan adalah demokrasi dikerangkakan sebagai se-
untuk menghindari ambiguitas dan ambivalensi. deretan paket kebijakan. Pemerintah yang
Dalam konteks kajian ini, ada urgensi untuk sebenarnya berada dalam proses didemokra-
mengompromikan dua tradisi pengkajian demo- tiskan justru beroperasi sebagai instrumen
krasi. Pertama, tradisi ontologistik yang ber- demokratisasi. Dalam konteks itulah demokra-
sikeras untuk berempati pada pelaku demokrasi tisasi melangkahi demos. Agenda penuntasan
demi objektivitas telaah dan pengukuran de- demokrasi pun tidak bisa dilanjutkan bila ge-
mokrasi yang dilakukan. Mereka mengharus- rakan pro-demokrasi teralienasi dari proses
kan diri merujuk pada referensi yang berlaku di demokratisasi itu sendiri.
kalangan mainstream. Empati pada pelaku Negosiasi untuk meraih kompromi sosial
pejuang demokrasi bukan hanya menjadikan perlu dikawal dengan kesadaran bahwa ruang
kajiannya tidak objektif, melainkan juga kehi- untuk berdemokrasi secara lebih kontekstual
langan reputasi dari mainstream yang tidak adalah dengan merebut legitimasi bagi kajian-
hanya mengglobal tetapi juga terikat pada kajian dari tradisi yang didedikasikan untuk
standar global. Kedua, adalah tradisi yang relatif mengusung perubahan. Dalam derajat tertentu,
baru semacam yang disajikan di sini. Makna sebagaimana diperlihatkan Thomas Carothers,
39
demokrasi justru harus ditanyakan kepada para terjadi backlash against democracy promotion.
pengusung gagasan demokrasi tanpa harus Tanpa mengedepankan dan memopulerkan pen-
menutup kesempatan mereka terekspos ga- dekatan baru, ruang artikulasi bagi pandangan-
gasan-gagasan mainstream. pandangan yang berbeda, tidak akan tersedia.
Untuk mensimulasikan usulan di atas, kita Privilese epistemik yang tersedia memungkin-
bisa kembali ke temuan studi PWD. Bagaimana kan berlangsungnya subversi terhadap main-
mungkin demokratisasi bisa semaju ini tanpa stream, sepanjang telaah dilakukan dengan
dahsyatnya kekuatan demos? Pada saat yang kesadaran itu. Sebaliknya, kesediaan untuk
sama, langkah maju untuk penuntasan demo- mengagendakan subversi terhadap mainstream
kratisasi juga sulit diraih. Meminjam istilahnya berpotensi menghasilkan resistansi secara diam-
40
Verena Beittinger-Lee, civil society Indonesia diam , sebagaimana dipaparkan berikut ini.
sebenarnya un-civil, karena hal itu sebetulnya
37
adalah arena yang diperebutkan. Oleh para
pemikir demokrasi, civil society diyakini sebagai
38
Vedi R Hadiz (2004), “The Rise of Neo-Third
eksponen utama penggerak proses demo- Worldism? The Indonesian Trajectory and the
Consolidation of Illiberal Democracy”, dalam
kratisasi. Lantas, bagaimana memahami apa Third World Quarterly, Vol. 25, No. 1, 2004, hal.
yang telah dipersiapkan itu? 55-71, juga tautan dalam http://www.jstor.org/
Mari kita telaah proses perguliran wacana stable/3993777 (diakses 20 Oktober 2016).
terkait. Dari segi proses pewacanaan, demo- 39
Lihat juga, Thomas Carothers, “The Backlash
kratisasi kita berlangsung secara top-down. Hal against Democracy Promotion”, dalam Foreign
Affairs, Vol. 85, No. 2, Maret-April 2006, hal. 55-
68, juga tautan dalam http://www.jstor.org/
37
Verena Beittinger-Lee, (Un)Civil Society and stable/20031911 (diakses 15 Oktober 2016).
Political Change in Indonesia: A Contested Arena 40
Teri L Caraway, Michele Ford, dan Hari
(London dan New York: Routledge, 2010). Nugroho, “Translating Membership into Power

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 173

Kasus 1 dalam konteks ini adalah suku asli yang men-


Bekerjanya Institusi Adat untuk Mobilisasi diami kawasan yang akhirnya berkembang
Sumber Daya Besar-besaran di Balik Pilkada menjadi kawasan urban menjadi suku minoritas.
di Tana Toraja Utara Dalam posisi minoritas, mereka malah bisa
Telaah terhadap pemilihan kepala daerah memenangkan kontestasi untuk memastikan
langsung di Kabupaten Tana Toraja Utara tahun wakil dari kelompok atau sukunya menjadi wali
2016 adalah contoh menarik. Kontestasi ber- kota. Kelompok pendatang, yang diwakili Dr
langsung luar biasa sengit, meski tidak me- Nuralam, merasa “cukup” dengan posisi seba-
nimbulkan kekerasan. Sementara kalangan gai wakil bupati, meski dalam kalkulasinya
terdidik yang mendesain pilkada langsung dukungan publik yang dimiliki dari kalangan
mewacanakan event itu sebagai penjaminan hak pendatang cukup untuk mendapatkan kursi wali
rakyat, yang sebetulnya terjadi adalah aktivasi kota. Mobilisasi kekuatan ternyata tidak men-
adat, khususnya simpul kekerabatan yang dike- jadi segalanya.
nal dengan istilah tongkonan, sebagai mesin Sebagaimana diperlihatkan dari ilustrasi-
politik untuk berkontestasi. Masing-masing ilustrasi di atas, praktik demokrasi di Indonesia
kontestan memiliki serangkaian jejaring sosial tidak hanya ditandai oleh fragmentasi ke-
41
berbasis tongkonan untuk menggalang soli- kuatan, tetapi juga yang tidak kalah penting
daritas massa, termasuk memobilisasi dana adalah berlapis-lapisnya makna di balik tindakan
pemenangan. Jejaring tersebut bekerja jauh yang terjadi. Menyadari bahwa dibalik kelan-
melampaui batas-batas wilayah kabupaten ber- caran proses demokrasi pada aras elektoral
sangkutan, karena tongkonan memang sangat selama ini, Indonesia sesungguhnya masih
rapi mengadministrasikan warganya dan ang- terjebak dalam kesimpangsiuran wacana. Di
gota kekerabatan ini memiliki mekanisme tang- satu sisi, ada lalu-lalang wacana global yang
gung renteng untuk memobilisasi dana dalam mengusung ide global governance dan hadir ke
jumlah sangat besar untuk upacara adat. Indonesia dan negara-negara berkembang lain-
nya dalam skema promosi demokrasi. Dalam
Kasus 2 skema itu, konsep demokrasi sudah membawa
Kemenangan Suku Minoritas dari Kontes- muatan makna tersendiri. Di sisi lain, bergulir
tasi Sengit di Jayapura berbagai pewacanaan dalam lingkup lokal yang
Hal sebaliknya kita temukan di Jayapura, dalam banyak kasus “tidak hirau”, baik terha-
ibu kota Papua. Di Tanah Papua, tempat ikatan dap wacana nasional maupun internasional.
kesukuan sangat kuat, kontestasi antar-suku Sebagai contoh, orang Daerah Istimewa Yogya-
juga sangat keras. Setelah sekian lama yang karta tidak bisa diajak membayangkan demo-
menjadi gubernur adalah “orang pantai”, kini krasi di daerahnya tanpa memperhitungkan Sri
Papua dipimpin oleh “orang pegunungan” Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Pa-
(Lukas Enembe). Orang gunung menjadi lebih ku Alam. Orang Papua tidak akan bisa berde-
antusias menuntut. Pada saat yang sama, para mokrasi dengan menutup mata terhadap adat.
pendatang dari luar Papua juga sudah menjadi Tragisnya, agenda demokratisasi di Indonesia
segmen dominan dengan menguasai pereko- dilangsungkan tanpa kesadaran tentang penge-
nomian setempat. Yang hendak dikemukakan lolaan wacana di tiga aras berbeda tersebut.
Penuntasan agenda demokratisasi niscaya meli-
batkan pergumulan epistemik. Tantangannya
at the Ballot Box? Trade Union Candidates and
adalah mentransformasi kesimpangsiuran mak-
Worker Voting Patterns in Indonesia’s National
Elections”, dalam Democratization, Vol. 22, No.
7, 2015, hal. 1296-1316, juga tautan dalam http:/ 41
Savirani dan Tornquist (eds.), Reclaiming the
/dx.doi.org/10.1080/13510347.2014.930130. State….

A R T I K E L
174 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

na atau “konotasi demokrasi” menjadi sebentuk Indonesia. Poin-poin tersebut di atas dikemu-
kearifan dan kecerdasan dalam berdemokrasi. kakan bukan demi puja-puji terhadap kepemim-
pinannya, karena gaya kepemimpinan yang
Kasus 3 dilakukan juga memiliki sejumlah kelemahan.
Joko Widodo - Merespons Elektoralisme Yang harus digarisbawahi adalah bahwa per-
dengan Strategi Populisme gumulannya di zona politik epistemik sebenar-
Dalam desain transisi menuju demokrasi, nya keluar dari apa yang diwacanakan dalam
tidaklah terbayangkan adanya orang yang tidak skenario demokratisasi Indonesia. Hanya saja,
memiliki mesin politik, namun memenangkan kecerdasan yang ada adalah kecerdasan indivi-
kontestasi hingga menduduki jabatan presiden. dual, bukan kecerdasan dalam perencanaan.
Orang yang dimaksud ialah Joko Widodo. Ber- Bahkan, kalangan akademisi pun tertinggal
beda dengan para pensiunan jenderal yang setidaknya satu langkah dalam menggeluti zona
berkehendak menjadi presiden dengan mem- epistemik itu.
bentuk partai-partai politik, beliau lebih me-
ngandalkan pesona dan persona, khususnya Bekerjanya Kekuasaan: Upaya untuk
kearifan dan kecerdasannya dalam menangkap Mengambil Hikmah
pesan-pesan di balik wacana yang beredar. Proyek PWD dikerjakan di atas asumsi
Beliau menghadirkan diri sebagai manifestasi bahwa demokrasi adalah persoalan tata kuasa
dari pewacanaan yang bergulir, yang masuk dan demokratisasi adalah rekonfigurasi, kalau
akal jika ditilik dari tolok ukur perpolitikan bukan transformasi tata kuasa tersebut. Ke-
global, dan pada saat yang sama dirinya bisa kuasaan termanifestasi dalam berbagai bentuk,
hadir menyentuh hati masyarakat. Sejalan dan bentuk yang diwacanakan satu mazhab bisa
dengan gagasan representative bureaucracy, bermakna lain oleh mazhab lain. Telaah dengan
beliau memperlakukan dirinya sendiri sebagai mengedepankan politik pemaknaan dan pewa-
representasi rakyat. Berbeda dengan arahan canaan yang dicoba paparkan di sini menye-
akademis yang mengandaikan representasi da- diakan sejumlah hikmah untuk kita pungut.
ri sisi kelembagaan formal, representasi politik Pertama, kebuntuan jalan untuk penuntasan
dijawab dengan kehadiran dirinya secara dekat demokratisasi mengharuskan kita untuk seti-
melalui praktik blusukan. Sadar bahwa imaji daknya mengelola perubahan di tiga domain:
negara Orde Baru yang mighty (agung, tak (1) domain global tempat tersedianya main-
tersentuh, militeristik, formalistik, hierarkis) stream pemikiran dan pemaknaan baku yang
ditolak oleh masyarakat, beliau kemudian seakan tak tersentuh; (2) domain nasional tem-
menghadirkan diri sesuai dengan idealitas pat proses demokratisasi berlangsung secara
masyarakat: bersahaja, hangat, dekat, casual. terbalik, bukan bottom-up melainkan top down;
Sadar akan ketidaksabaran masyarakat ter- dan (3) domain lokal yang tidak hanya beragam,
hadap cara kerja yang konseptual dan tekno- namun dalam banyak kasus bekerja secara
kratis, beliau menghadirkan diri sebagai hal independen dari—tepatnya tidak hirau ter-
yang nyata: kartu sehat, kartu pintar, dan seba- hadap—kedua domain tersebut.
gainya. Kedua, ketika ketiga domain tersebut di
Jelasnya, sensitivitas pada wilayah diskursif atas disimulasikan, wacana global nyaris tak ter-
menjadikan dirinya sebagai jawaban atas kebu- bendung dan alur perubahan secara keselu-
tuhan Indonesia. Pergumulan Joko Widodo di ruhan bersifat top-down. Hanya saja, eksponen
zona epistemik, memungkinkan dirinya meraih sub-nasional memiliki cara sendiri untuk meng-
popularitas, dan karier politiknya naik secara hadapinya. Misalnya, bersiasat praktis sebagai-
berjenjang dari Wali Kota Surakarta, Gubernur mana Presiden Joko Widodo atau berpretensi
DKI Jakarta, dan kemudian Presiden Republik tidak tahu terhadap makna-makna resmi yang

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 175

diusung. Makna pemilu, sebagaimana diper- gaimana disampaikan sebelumnya. Dalam ba-
lihatkan dari kasus-kasus di atas, cukup dire- nyak kasus, representasi politik dirajut melalui
produksi sendiri, tanpa harus mengatakan itu ikatan kekeluargaan; patronase atau paternalis-
demokratis atau tidak. me menjadi basis perpolitikan yang tidak bisa
Ketiga, sensor epistemik dan sensor dis- ditinggalkan.
kursif yang dicoba pakai dalam analisis ini Kelima, sebagaimana dirumuskan dalam
memungkinkan demokrasi permusyawaratan laporan utama PWD43, fragmentasi kekuatan
kita kembangkan dengan mendialogkan dan politik memang sangat jelas dalam perpolitikan
mendialektikakan kajian-kajian yang ada. Beban di era demokrasi ini. Yang tidak kalah mere-
untuk itu ada pada para pengampu privilese potkan adalah silang-menyilang wacana yang
epistemik, tempat proyek PWD bisa ikut ambil pada akhirnya membuat aktivis pro-demokrasi
44
bagian. Tantangannya adalah mendialogkan dan tidak bisa berbuat banyak lagi saat ini. Hal itu
mendialektikakan kajian/pemikiran sangat menjelaskan mengapa yang menonjol adalah
ontologis yang mewakili pemikiran global de- ketokohan. Yang juga perlu ditegaskan adalah
ngan pemahaman terjadap praktik politik ber- bahwa tokoh dan solidaritas sosial yang ter-
sahaja yang manifes dalam keseharian kita. galang melalui elektoral politik dipertemukan
Derasnya alur wacana bersifat top-down itu oleh ide penting: kesejahteraan. Jalinan timbal-
terlacak dari sangat sering dan percayanya pada balik antara tokoh dengan para pengikutnya
apa yang disebut sebagai sosialisasi. Dalam senantiasa melibatkan kesejahteraan atau pe-
seloroh tim saat membaca temuan-temuan la- nyejahteraan. Karena itu, masyarakat mendam-
pangan dari kegiatan riset yang diselenggara- bakan demokrasi yang menyejahterakan. Bu-
kan, ada usulan untuk menyebut demokrasi di kannya political liberty tidak dikehendaki,
42
Indonesia sebagai “demokrasi sosialisasi”. melainkan hal itu tidak menggantikan harapan
Keempat, telaah demokrasi yang mengede- tentang kesejahteraan bila tatanan telah kon-
pankan kekuatan dan pada saat yang sama tidak dusif untuk itu.
sensitif terhadap pengetahuan dan perwa-
canaan, menggiring kita ke kesimpulan yang
Demokrasi yang
terlalu skeptif. Dalam simpulan awal, studi PWD
Menyejahterakan:
menyatakan bahwa politik Indonesia sangat me-
Keseksamaan, Menegosiasi
ngandalkan ketokohan. Pernyataan itu mengi-
Makna, Agenda Setting
syaratkan kuatnya harapan kalangan main-
stream bahwa elektoral politik akan menghasil- Dalam kerangka pengembangan kompro-
kan pelembagaan demokrasi melalui pelem- mi-kompromi sosial sebagaimana dibahas sub-
bagaan institusi-institusi formal. Yang semakin bab di atas, ada urgensi bagi komunitas episte-
terkuak dari studi-studi pendalaman adalah mik untuk mendiskusikan rute kesejahteraan
bahwa tokoh-tokoh tersebut mengandalkan dalam rangka demokratisasi. Dalam kaitan ini,
pada bekerjanya institusi normal yang seakan penting untuk dicatat bahwa privilese yang
tidak berkaitan dengan demokrasi. Tatkala
representasi tidak harus terwadahi dalam sosok 43
Savirani dan Tornquist (eds.), Reclaiming the
resmi (seperti DPRD), melainkan terwadahi State….
melalui ekspresi simbolik (misalnya, repre- 44
Savirani dan Tornquist (eds.), Reclaiming the
sentative bureaucracy), maka kekhawatiran State…; lihat juga, Yuki Fukuoka, “Indonesia’s
‘Democratic Transition’ Revisited: A Clientelist
tentang rapuhnya demos tidaklah se-akut seba-
Model of Political Transition”, dalam Democrati-
zation, Vol. 20, No. 6, 2013, hal. 991-1013, juga
42
Istilah ini dibahas berulang-ulang dalam diskusi tautan dalam http://dx.doi.org/10.1080/
pengolahan data. 13510347.2012.669894.

A R T I K E L
176 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dimiliki hanyalah sebatas untuk mengar- angka tertinggi jika dibandingkan dengan angka
tikulasikan, bukan mengunci pemaknaan demo- untuk negara-negara lain di Asia Tenggara.
krasi. Bagaimanapun juga, privilese yang dimi- Pietsch sangat memahami bahwa demo-
likinya tidak mungkin—dan dalam rangka de- krasi diberi makna secara berbeda-beda, namun
mokratisasi demokrasi tidak semestinya— negara-negara di Asia Tenggara cenderung
mengambil alih makna demokrasi. dengan cara yang sama: memaknai secara
Agenda setting untuk penuntasan demo- instrumental. Kutipan langsung studinya,
kratisasi—mengingat kecenderungannya yang
top-down—haruslah mengikuti rute bottom-up. … at the institutional level, there are a number
Justru di sinilah privilese komunitas epistemik of important indicators that are used to quanti-
tatively measure whether or not a country is con-
didambakan. Starting point dari agenda setting
sidered a democracy. On the surface, it appears
adalah refleksi seksama pada aras akar-rumput, that economic growth is what matters most,
untuk secara seksama menggalang makna: apa especially in countries that are considered more
dan untuk apa kita berdemokrasi. Muara dari democratic. However, when we include a range
proses bottom-up itu adalah menemukenali of other important measures of governance, we
sederetan kelemahan dan kerepotan manakala find that evaluations of democracy depend on the
government’s capacity to provide a fair and equal
demokratisasi direduksi sekadar proyek asis- distribution of basic necessities across the whole
46
tensi negara lain. of society, a place where citizens can protest with-
Pengembangan wacana-tanding sepertinya out fear, fair and equal treatment of all religious
tidak terlalu berlebihan, mengingat temuan- and ethnic groups and a general level of respon-
temuan yang sudah tersedia. Bukan hanya bagi siveness and accountability. While there is a great
deal of variation within Southeast Asia as to
publik Indonesia, publik di negara-negara te-
whether or not people feel as if they live in a
tangga juga tidak memisahkan demokrasi dari democracy and whether or not they have a well-
47
kesejahteraan atau penyejahteraan. Temuan functioning democracy, such variations depend
dari studi kualitatif Asian Barometer Survey on whether governments are able to provide good
tahun 2005-2008 konsisten dengan hal itu. Dila- governance for all groups in society and overall
porkan, jika orang Indonesia diminta memilih expectations and experience of democracy in
practice.48
antara demokrasi dan ekonomi, maka 78,9
persen lebih memilih ekonomi. Sisanya, 10,2
48
persen lebih memilih demokrasi. Itu adalah 48
“... Di tingkat kelembagaan, ada sejumlah
indikator penting yang digunakan untuk mengu-
kur secara kuantitatif apakah suatu negara
45
Christopher Hobson, “The Limits of Liberal- dianggap mempertimbangkan demokrasi atau-
Democracy Promotion”, dalam Alternatives: kah tidak. Di permukaan, tampak bahwa pertum-
Global, Local, Political, Vol. 34, No. 4, Oktober- buhan ekonomi yang terpenting, terutama di
Desember 2009, hal. 383-405, juga tautan dalam negara-negara yang dianggap lebih demokratis.
http://www.jstor.org/stable/40645283 (diakses Namun, ketika kami mencakup berbagai lang-
15 Oktober 2016). kah-langkah penting lainnya dari pemerintahan,
46
Poin yang disajikan di atas yang sejalan dengan kita menemukan bahwa evaluasi demokrasi ter-
temuan ini juga disampaikan oleh Juliet Pietsch gantung pada kemampuan pemerintah untuk
dari telaah dengan cakupan lebih luas, yakni memberikan distribusi yang adil dan setara ke-
negara-negara Asia Tenggara; lihat, Juliet Pitsch, butuhan dasar di seluruh masyarakat, tempat
“Authoritarian Durability: Public Opinion warga bisa melakukan protes tanpa rasa takut,
towards Democracy in Southeast Asia”, dalam perlakuan yang adil dan setara semua kelompok
Journal of Elections, Public Opinion and Parties, agama dan etnis dan tingkat umum responsivitas
Vol. 25, No. 1, 2015, hal. 31-46, juga tautan dalam dan akuntabilitas. Meskipun ada banyak variasi
http://dx.doi.org/10.1080/17457289. di Asia Tenggara, apakah orang merasa seolah-
2014.933836. olah mereka hidup dalam demokrasi dan apakah
47
Pitsch, “Authoritarian Durability…”, hal. 38. mereka memiliki demokrasi yang berfungsi

A R T I K E L
Purwo Santoso, Demokratisasi Terpimpin 177

Temuan-temuan semacam yang ditunjuk- rakyat dan bentuk perwakilan yang diperlukan,
kan di atas, kiranya menjadi bahan untuk mem- komunitas epistemik secara sepihak memba-
beri kerangka ulang atas pewacanaan demo- yangkan perwakilan politik yang terbentuk oleh
kratisasi di negeri ini. pemilu (penggunaan hak pilih). Akibatnya, kita
Agenda penuntasan demokrasi di Indonesia sukses menyelenggarakan pemilu, namun tidak
mengharuskan kita mengartikulasikan best- berhasil melembagakan perwakilan rakyat
practices yang dimiliki di kancah internasional dalam sosok resminya.
tanpa harus terpaku pada sejumlah label yang Yang tidak terartikulasi karena blokade
justru memojokkan diri sendiri. Kita perlu telaah patologis adalah munculnya gejala sema-
belajar dari negara-negara Asia Timur yang se- cam bureaucratic representation. Dalam bahasa
49
cara “diam-diam” mempraktikkan strategi yang Cornelis Lay, ada broken linkage. Namun
berbeda, namun dengan misi yang sama: me- demikian, yang tidak terartikulasi adalah hidden
nunggangi pasar. Ketika praktik diam-diam linkage, baik melalui kekerabatan, patronase,
menyimpang dari mainstream itu akhirnya ikatan alumni, ikatan guru-murid, ikatan kedae-
menjadi praktik yang berlaku di mana-mana, rahan, patrimonialisme, parokialisme, dan seba-
barulah kemudian praktik itu diakui sebagai gainya. Pengobatan diri sendiri (self-healing)
kebenaran. “Penyimpangan” yang pada akhir- harus berlangsung untuk mengakhiri tradisi
nya diterima legitimasi keilmuannya itu kemu- telaah patologis tentang demokrasi. Arena
dian diberi label: developmental state. untuk self-healing itu adalah telaah perpolitikan
Refleksi pada aras akar-rumput bisa dan sehari-hari (the daily life politics), tempat ko-
perlu diawali dengan refleksi dari komunitas munitas epistemik mengasah empati untuk bisa
epistemik demokrasi itu sendiri. Target dari menangkap makna.
refleksi adalah membersihkan diri dari kecen- Untuk keperluan akademik, perlu seri ka-
derungan untuk melihat tantangan demokrati- jian tentang hidden linkage dan politik repre-
sasi secara patologis. Patologis itu kurang lebih sentasi untuk mencari terobosan langkah dalam
bisa dibahasakan secara sederhana, “bahwa demokratisasi. Untuk keperluan praktis, perlu
kesulitan kita berdemokrasi adalah ketidak- dukungan agar para inovator pemerintahan sa-
seriusan masyarakat mengikuti sosialisasi yang ling belajar satu sama lain. Sebagaimana telah
diberikan.” Yang lebih masuk akal, masyarakat disebutkan, keberhasilan Joko Widodo meraih
akan selalu mengikuti arahan warga komunitas dan meniti karier politik di negeri ini adalah
epistemik kalau mereka tidak sepakat dengan karena adanya kecermatan dan kesediaan untuk
asumsi-asumsi dasar yang dijadikan acuan. belajar (baca: membaca gejala sosial secara out
50
Bahwa praktik yang sementara itu disebut of the box). Hanya saja, beliau menjabarkan
money politics atau vote buying adalah hal yang hasil belajarnya dalam bentuk tindakan, bukan
masuk akal. Tanpa ditanya ini itu, masyarakat
tiba-tiba diberi hak pilih oleh undang-undang.
49
Cornelis Lay, “Tautan Politik (Political Linkage)
Dalam konteks ini, komunitas epistemik ikut Organisasi Masyarakat Sipil dan Parlemen di
Indonesia (Studi Kasus Tautan Politik Dalam
mengantar lahirnya peraturan perundang-un- Pembuatan UU Pornografi, UU Pemerintahan
dangan. Tanpa ditanya apa makna perwakilan Aceh, dan UU Pertahanan Negara),” Disertasi,
Program Doktor Ilmu Politik, Fakultas Ilmu
ataukah tidak, variasi tersebut tergantung pada Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
apakah pemerintah mampu menyediakan Yogyakarta, 2015.
pemerintahan yang baik untuk semua kelompok 50
Hasil diskusi dengan Wawan Mas’udi, anggota
dalam masyarakat dan harapan secara keselu- Tim PWD yang secara khusus melakukan
ruhan dan pengalaman demokrasi dalam prak- penelitian tentang Joko Widodo untuk penulisan
tek”; Pitsch, “Authoritarian Durability…”, hal. disertasinya, dan disertasi itu telah di-submit ke
42-43. University of Melbourne.

A R T I K E L
178 Prisma Vol. 36, No. 1, 2017

dalam naskah yang terkodifikasi secara ilmiah. bekerjanya rezim kesejahteraan (welfare re-
Hal serupa dilakukan oleh tokoh-tokoh lokal gime) yang beroperasi di balik bekerjanya
lainnya, yang selama ini ditengarai melakukan demokrasi. Keterlibatan warga dalam proses
berbagai bentuk inovasi dalam penyelengga- demokrasi diwadahi oleh rezim kesejahteraan
raan pemerintahan daerah. Kodifikasi, aku- yang sosoknya kebanyakan informal. Yang
mulasi, dan praktik berbagai pengalaman itu, memungkinkan patronase, klientelisme, dan
niscaya akan mendekatkan ilmu dan amal dalam sejenisnya bisa bergulir secara sah berkat
berdemokrasi, sehingga kalaulah tidak/belum adanya distribusi, alokasi, dan redistribusi yang
51
mendapatkan legitimasi internasional setidak- operasinya juga absah. Sadar akan keterkait-
nya bersifat fungsional. an antara rezim kesejahteraan dengan proses
Sterilisasi demokratisasi dari kajian yang demokrasi yang berlangsung, maka terjebak-
berwatak patologis mungkin terlalu ambisius. nya Indonesia dalam proses demokratisasi
Namun, tetap harus dipastikan bahwa pemba- mestinya sudah terantisipasi. Lebih dari itu,
caaan ulang ini tidak dalam rangka menjusti- demokratisasi perlu dikawal dengan transfor-
fikasi ataupun menutup-nutupi kesalahan, ka- masi rezim kesejahteraan yang beroperasi.
rena pengusung arus-utama pemikiran demo- Tantangan selanjutnya adalah memahami
krasi selalu memojokkan analisis yang tidak dan mengelola silang-menyilang rezim kese-
sejalan dengan harapan yang tidaklah lebih jahteraan. Singkat kata, di sinilah demokrasi
berharga daripada propaganda penguasa yang sebagai kompromi-kompromi sosial justru me-
menutup-nutupi kesalahan dengan pernyataan nemukan arti pentingnya. Ada keperluan untuk
akademis. Namun, kesediaan untuk membaca bersiap menekuni secara lengkap pernik-pernik
ulang fenomena yang menggejala sepanjang persoalan kesejahteraan dari silang-menyilang
proses demokratisasi sebenarnya adalah kese- rezim kesejahteraan tempat warga menam-
diaan untuk mundur sedikit untuk selanjutnya batkan identitas dan mengelola kepentingan
membuat lompatan besar. Sehubungan dengan publik. Lebih dari itu, cakupan rezim kesejah-
ancaman path dependency, proses demokrati- teraan tidak selalu mengacu pada cakupan biro-
sasi harus ditandai dengan peletakan legacy krasi pemerintah. Rezim kesejahteraan teri-
untuk demokrasi yang lebih baik. dentifikasi dari berbagai ikatan sosial yang pada
Kompromi sosial terpenting yang menjadi saat bersamaan juga memberikan pelayanan•
tantangan proyek PWD ke depan adalah men-
dalami dimensi kesejahteraan dalam proses 51
Douglas Webber (2006), “A Consolidated Patri-
demokratisasi dengan mengekang keinginan
monial Democracy?: Democratization in Post-
untuk memberlakukan kriteria-kriteria formal Suharto Indonesia”, dalam Democratization, Vol.
dalam membicarakan demokrasi. Strategi yang 13, No. 3, 2006, hal. 396-420, juga tautan dalam
telah dipersiapkan untuk itu adalah memahami http://dx.doi.org/10.1080/13510340600579284.

A R T I K E L
Prisma Rocky Gerung, Pasifikasi Aktivisme 179
BUKU

Pasifikasi Aktivisme

Judul: Protest, Inc.: The Corporatization of Activism


Penulis: Peter Dauvergne dan Genevieve Lebaron
Penerbit: Polity Press, Cambridge UK, 2014
Tebal: bibliografi, indeks, 206 halaman
ISBN-13: 978-0-7456-6949-6

Billion Rising, suatu gerakan demi menghen-


tikan kekerasan terhadap perempuan, diorgani-
sasi setiap tahun menjadi hari perlawanan global
terhadap seluruh sistem patriarki.
Pada waktu yang lalu, kita mengenal protes
rutin Amnesty Internasional terhadap pelang-
garan hak asasi manusia di negara-negara
“Dunia Ketiga.” Juga, sangat diingat keberanian
kelompok Greenpeace dalam melindungi bumi.
Pada skala protes massal, ada World Social
Forum sebagai tandingan terhadap konferensi
tahunan Economic Forum yang dianggap forum
konsolidasi kartel bisnis dan elite politik tingkat
tinggi negara-negara maju. Pendeknya, ada
suatu kesadaran etik baru pada generasi masa
kini tentang ketidakadilan global akibat mono-

F
poli ekonomi dan sentralisasi politik. Etika
enomena politik dekade ini sungguh lingkungan, etika politik, dan etika kepedulian,
ditandai oleh aktivitas intensif gerakan- membentuk paradigma bersama dalam cita-cita
gerakan masyarakat sipil. Protes terha- baru gerakan sosial global.
dap kekuasaan otoriter, kartel bisnis, perusak Bersamaan dengan itu, aktivitas aktor non-
lingkungan, telah menjadi gerakan global yang negara dalam politik internasional terasa sangat
terhubung melalui media sosial di seluruh dunia. menonjol. Kita kini menyaksikan determinasi
Peristiwa bakar diri seorang pedagang kakilima kelompok ISIS, Wikileaks, atau Panama Papers
di Tunisia sebagai protes terhadap keangkuhan dalam membentuk isu dan kerangka diplomasi
aparat negara, menyulut kemarahan publik di internasional. Artinya, telah terjadi perubahan
seluruh dunia dan mengawali Arab Spring. kerangka pertukaran politik dalam analisis
Gerakan Occupy Wall Street, sebagai simbol politik internasional. Kedudukan negara-bangsa
anti-korporasi, menjadi viral politik generasi masih kuat sebagai pelaku konvensional hu-
muda se-dunia. Demikian pula dengan One bungan internasional, namun isu politik dunia

B U K U
180 Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017

makin ditentukan oleh aktor-aktor non-negara. rangkan proses penundukan aktivis oleh sistem
Bukan saja aktor politik internasional yang kapitalisme. “Lebih mudah membayangkan ber-
berubah dari “negara” ke “non-negara”, tetapi akhirnya dunia ketimbang membayangkan ber-
juga kepemimpinan gerakan protes global itu akhirnya kapitalisme”, kata Fredric Jameson
kini berlangsung “tanpa pusat” dan “tanpa dan Slavoj Zizek. Juga analisis Gramsci dipakai
pemimpin.” Gerakan sosial yang berlangsung untuk menerangkan politik korporatisasi itu, yai-
dalam dekade belakangan ini hanya dipimpin tu sebagai “simptom kapitalisme” (hal. 9).
oleh satu isu: keadilan sosial. Gramsci pernah menerangkan gejala itu seba-
Dalam studi Universitas Harvard beberapa gai normalisasi kesadaran massa untuk mene-
waktu lalu—oleh Yascha Mounk dan Roberto rima aturan dan tabiat elite penguasa. Kapitalis-
Stefan Foa, akan terbit dalam Journal of Demo- me membuat semua pihak merasa natural de-
cracy, 2017)—disimpulkan bahwa generasi ngan keadaan yang tersedia dan karena itu ber-
muda di belahan dunia Barat telah kehilangan sedia mendukung aktivitas bisnis dan politik elite.
kepercayaan pada sistem demokrasi. Intinya, Konstruksi korporatisasi itu menghasilkan
ada sinisme terhadap sistem demokrasi. Kita koordinasi kultur, hukum, dan alam pikiran
boleh memahaminya sebagai kritik terhadap demi mendukung operasi bisnis global. Pere-
lambannya keadilan dihasilkan oleh demokrasi, krutan para aktivis ke dalam manajemen kor-
karena birokratisasi dan korupsi di dalamnya. porasi telah memberi legitimasi etis bagi akti-
Namun, pada saat bersamaan, dunia menyaksi- vitas bisnis korporasi. Bahkan, omzet penjualan
kan gerakan generasi baru yang secara sukarela produk perusahaan-perusahaan besar tersebut
datang ke tempat-tempat bencana dan menjadi meningkat setelah perekrutan itu. Di situ terli-
bagian dari misi kemanusiaan global. Antara hat semacam penerimaan konsumen atas pro-
meragukan demokrasi dan menjalankan misi duk-produk “ramah lingkungan”, “etis” atau yang
kemanusiaan, itulah keanehan politik dekade diiklankan sebagai bagian dari “bantuan sosial”
ini. Sangat mungkin ada kejenuhan dengan dan “beasiswa.” Dalam analisis Gramscian,
politik representasi yang tak efisien, tetapi ide teknik pemasaran tersebut menjadikan korpo-
solidaritas sosial tetap hidup sebagai ideologi rasi dan pasar diterima sebagai hal yang alamiah
gerakan masyarakat sipil. dan masuk akal. Gerald Butts, pejabat tinggi
WWF Canada, misalnya, secara sadar memilih
bekerja sama dengan Coca-Cola Company ka-
Korporatisasi Aktivis
rena bagi dia, dalam berurusan dengan urgensi
Buku ini mengevaluasi secara kritis kondisi lingkungan, Coca-Cola lebih tanggap dibanding
masyarakat sipil hari ini, khususnya proses PBB. Terasa bahwa tugas sosial negara kini
penundukan para aktivis ke dalam ideologi diserahkan kepada korporasi melalui aktivitas
korporasi dengan maksud menjinakkan kritik CSR. Karena itu, persekutuan antara korporasi
mereka sekaligus menjadikan mereka bagian dan aktivis juga melibatkan bantuan institusional
dari aktivitas bisnis korporasi. Proses korpo- negara berupa aturan dan kewajiban sosial
ratisasi itu membentuk tiga strategi penun- korporasi. Koordinasi itulah yang menjauhkan
dukan: (1) securitization of dissent, (2) privati- idealisme aktivis dari upaya perubahan sosial.
zation of social life, dan (3) institutionalization Perjuangan hak asasi, keadilan gender, hak
of activism. Terutama melalui pemanfaatan lingkungan, menjadi kabur karena para aktivis
corporate social responsibility (CSR), berlang- tak lagi berjarak, baik dengan negara maupun
sunglah kerja sama dan relasi politis antara korporasi.
korporasi dengan para aktivis. Tentu itu adalah ongkos ideologi dari kebu-
Apa sebetulnya yang terjadi? Buku ini tuhan manuver program dalam kondisi keku-
memakai tatabahasa kritik kiri dalam mene- rangan sumber daya dilingkungan aktivis.

B U K U
Rocky Gerung, Pasifikasi Aktivisme 181

Sebagian juga atas alasan perluasan akses dolar” sehari adalah seperempat dari penduduk
advokasi dalam forum-forum internasional. bumi. Ada kesenjangan yang menganga. Warren
Alasan paling pragmatis adalah bahwa dengan Buffet, misalnya, pernah mengakui, “Memang
masuk dalam struktur korporasi, para aktivis benar ada perang kelas..., dan kelas saya yang
dapat lebih strategis mengubah kultur korporasi membuat perang itu. Akan tetapi, pemenangnya
dan memengaruhi perubahan kebijakan. Akan adalah kelas kami, kelas kaum kaya.” Namun,
tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah mele- Buffet juga yang mengorganisasi gerakan
mahnya cita-cita radikal aktivis dan kian me- filantropis dunia, bersama Bill Gates dan Mark
nguatnya profil etis korporasi. Ujungnya adalah Zuckerberg, mengampanyekan “The Giving
meningkatnya skala bisnis dan keuntungan Pledge”, suatu gerakan moral untuk mendonasi-
korporasi. kan separuh dari keuntungan kelas kaya raya
Di pihak pemerintah, korporatisasi aktivis Amerika Serikat bagi kegiatan filantropis.
seperti itu menjadikan negara lebih mudah Semacam dilema hadir di situ: ada keun-
menjalankan kebijakan privatisasi dan dere- tungan perbaikan hidup bagi kelas bawah yang
gulasi—dua hal yang telah lama menjadi sasaran sungguh tersisih dalam kompetisi global. Seka-
protes aktivis. Dalam jalan pikiran itulah judul ligus dengan aktivitas filantropis itu, kesadaran
buku ini dipilih: semula protes radikal, kini sosial menjadi wilayah hegemoni korporasi. Pun
menjadi bagian dari korporasi. para aktivis yang terlibat secara langsung atau
tidak dengan proyek-proyek filantropis itu, proses
hegemoni juga berlangsung: kritik tak lagi radikal.
Penswastaan Kehidupan Sosial
Privatisasi kehidupan sosial adalah kons-
Topik yang disampaikan dalam Bab 4 buku truksi dari pelemahan radikalisme aktivis.
ini penting untuk memahami latar historis dari Proses demikian melibatkan perubahan fungsi
kondisi kapitalisme dewasa ini. Paling tidak institusi-institusi publik yang sebelumnya men-
suatu analisis tentang “sistem dunia”, seperti jadi ruang politik radikal, berubah menjadi
kajian Fernand Braudel, memperlihatkan bahwa ruang transaksi kepentingan “tokoh.” Para
pertumbuhan kapitalisme abad ke-20, bersama- aktivis “papan atas” melihat peluang membe-
sama dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sarkan gerakan dengan memanfaatkan rekam
telah memperkuat individualisme, konsumeris- jejak dan aliansi politik. Pers dan forum-forum
me dan kultur transaksi pasar. Akibatnya, aso- publik menjadi tempat investasi kepentingan
siasi-asosiasi sosial dan gerakan kolektif menga- tersebut, dan suatu proses mediasi berlanjut
lami pelemahan dan terurai dalam kondisi ato- dalam kondisi yang mutualistis: negara mengo-
mistik. Kehidupan sosial mengalami privatisasi. optasi radikalisme aktivis dengan menyerap-
Tentu tetap berlanjut di kalangan aktivis nya dalam program-program “pro-rakyat”,
kecemasan terhadap masa depan sistem dunia, lantas korporasi membungkusnya dengan dana
terutama tentang konsekuensi kemajuan tek- CSR. Akibatnya, suara kritis aktivis tak lagi
nologi terhadap perang dan kelestarian ling- berbunyi di media massa. Pada sisi regulasi,
kungan hidup; juga kritik terhadap disparitas negara menjamin “ketertiban sosial” melalui
sosial yang melebar akibat eksploitasi sistem aturan-aturan pembatas kebebasan dengan
kapitalisme. Akan tetapi, secara keseluruhan, alasan ketertiban umum dan ancaman teror.
energi dan kultur gerakan sosial telah goyah Jadi, agenda pembahasan isu-isu sosial radikal
dan tercerai-berai. Masifikasi produk konsumsi tak lagi berlangsung di media massa, tetapi
telah menyamarkan disparitas kelas sosial. berubah menjadi tumpukan naskah masukan
Konsentrasi kekayaan dan kekuasaan dunia bagi pemerintah dan korporasi. Para aktivis
makin mengerucut pada “satu persen” manusia, sekaligus menjadi mitra korporasi dan pe-
sementara mereka yang hidup kurang dari “dua merintah.

B U K U
182 Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017

Artinya, fungsi aktivis sebagai katalisator situ paradoksnya belakangan ini. Selama Orde
ruang publik tak lagi berlangsung. Politik kehi- Baru, para aktivis menegaskan garis per-
langan koordinasi isu dan kehidupan sosial men- juangannya sebagai “masyarakat sipil” dengan
jadi atomistik. Asosiasi-asosiasi politik semacam sangat tebal: “Hanya ada satu kata. Lawan!!”
buruh juga kehilangan kontras ideologi karena Otoritarianisme Orde Baru memang berakhir,
dimediasi oleh para aktivis yang kini berada di- tetapi kultur politiknya menetap: anti-indivi-
dalam tubuh korporasi dan pemerintahan. Kom- dualisme, anti-kritisisme, anti-hak asasi manusia,
pleks politik itu menimbulkan apatisme sosial, anti-liberalisme, anti-komunisme. Kultur itulah
sehingga kepentingan untuk aktif dalam forum yang merangkak perlahan dalam sistem politik
publik juga surut. Kehidupan sosial mengalami sekarang. Artinya, dalam praktik rejimentasi,
privatisasi: tak terkait lagi dengan ruang publik pengendalian dan penaklukan diskursus kritis
yang politis. Sejarawan Erics Hobsbawn telah justru dibenarkan oleh para aktivis yang kini
memperhatikan hal itu sebagai kondisi etik abad bermukim di Istana.
ke-20, bahwa basis moral dari komunitas, yaitu Dalam kasus pengungkapan kejahatan ke-
soal hak dan kewajiban, pengorbanan dan hati manusiaan dalam peristiwa 1965, 1998, dan
nurani, tak lagi menjadi pilihan utama. Sebaliknya, pembunuhan Munir, tak ada promosi sistematis
pasar telah menjadi pengatur pertukaran sosial. dari para aktivis itu untuk menjadikannya tong-
Manusia kini hidup untuk konsumsi (hal. 89). gak penegakan hak asasi manusia. Bahkan,
Buku ini jelas mengambil posisi kritik ter- apologi terasa terlalu dangkal karena konflik
hadap superkultur kapitalisme. Bahkan, untuk kepentingan terlalu dalam. Seri penghukuman
memperlihatkan proses penundukan radikalis- mati dalam kasus narkoba juga tak menimbul-
me para aktivis, penulis buku memilihkan se- kan pandangan kritis dari mereka yang sebelum-
jumlah contoh kolaborasi antara korporasi- nya sangat bemutu dalam menentang “pengam-
korporasi raksasa dunia, seperti Walmart, Nike, bilan nyawa manusia.” Sejumlah penggusuran
McDonald, dengan LSM papan atas dunia se- permukiman rakyat miskin di kota-kota besar,
perti Greenpeace, WWF, Amnesty dan lain-lain. yang seharusnya mengedepankan “prima facie”
Analisis dibuat dengan menelusuri sejarah —sebuah konsep yang sangat dikenal komu-
kesadaran revolusioner melalui telaah kiri, dari nitas aktivis juga berlangsung mulus tanpa
EP Thompson sampai Slavoj Zizek. Satu hal advokasi pembelaan mereka. Bahkan, dalam
yang masih menjadi pertanyaan, bagaimana kasus pelanggaran hak masyarakat terhadap
menyalurkan secara efektif energi perubahan lingkungan, dalam pembangunan pabrik semen,
yang kini terfragmentasi pada berbagai isu yang misalnya, tokoh-tokoh aktivis yang sangat pa-
sering tak menyatu: lingkungan, buruh, hak ham tentang “ekonomi-politik lingkungan” justru
asasi, hak non-manusiawi, dan lain-lain. Kepen- ikut dalam kebijakan “pembiaran.”
tingan sektoral itu sering saling berselisih. “Kekuasaan” telah menjadi variabel hege-
Namun, lebih dari itu adalah soal koordinasi monik yang melumpuhkan etos aktivis. Korpo-
gerakan yang justru menghindari pelembagaan ratisasi aktivis belum bersifat struktural dalam
dan kepemimpinan. ekonomi-politik Indonesia. Yang lebih struktural
adalah proses “penegaraan (negaraisasi) ak-
tivis.” Para aktivis tersebut masuk ke dalam
Indonesia: Negaraisasi Aktivis
sistem pemerintahan sekarang sebagai imbal-
Ke mana arah gerakan LSM di Indonesia? prestasi atas dukungan “masyarakat sipil”
Buku ini tak membahas soal itu. Akan tetapi, terhadap Jokowi, berhadap-hadapan dengan
pertanyaan itu adalah implikasi dari analisis kubu Prabowo yang dipandang “militeristik.”
buku ini: seharusnya mereka berada di luar Akan tetapi, dalam perkembangan politik beri-
wilayah pengaruh kekuasaan. Namun, justru di kutnya, justru Presiden Jokowi menyertakan

B U K U
Rocky Gerung, Pasifikasi Aktivisme 183

dalam pemerintahannya sejumlah mantan tokoh itu sendiri. Jadi, bila kekuasaan berakhir,
pemerintahan Orde Baru dari kalangan militer. kenikmatan dan kemudahan material selama ini
Keperluan transaksi kekuasaan itu dapat di- akan mencari jalan politik untuk menetap pada
pahami sebagai upaya konsolidasi politik dalam kekuasaan yang baru dengan “mental finansial”
rangka penguatan posisi kekuasaan; yang tak yang sama. Artinya, otonomi “masyarakat sipil”
dapat dipahami adalah lumpuhnya kritik para kian menghilang karena kepentingan menetap
aktivis yang justru pada masa Orde Baru ber- dari para aktivis itu telah membentuk semacam
hadapan dengan tokoh-tokoh pelanggar HAM. “kartel LSM.” Yang terjadi bukan “corporati-
Duduk bersama dalam meja bundar kekuasaan zation of activism”, melainkan “statetization of
adalah keanehan yang seharusnya menurun- activism.” Dengan kata lain, para aktivis yang
kan derajat seorang aktivis. Menyetujui kepu- masuk dalam kekuasaan dan justru mencari
tusan meja bundar adalah pengkhianatan ter- suaka dalam kebijakan “pembiaran” dan
hadap etos aktivis. “kompromistis” terhadap pelanggaran hak asasi
Kesulitan utama para aktivis yang menga- manusia dan lingkungan hidup, akan menjadi
lami “negaraisasi” itu adalah mencari jalan pu- beban etis bagi upaya pendalaman demokrasi.
lang ke dalam “rumah masyarakat sipil”, kelak Buku ini ditulis dengan pesan bahwa ideo-
setelah kekuasaan itu berakhir. Pengentalan logi korporasi sedang menjinakkan proyek
hegemonik telah terlalu jauh masuk ke dalam demokratisasi global. Namun, bagi konteks kita
komunitas masyarakat sipil kita sekarang ini, di sini, hari ini, pelemahan demokrasi lebih
karena berlangsungnya kaitan finansial antara disebabkan oleh persekutuan tak etis antara
proyek negara dengan jaringan pendukung negara dan aktivis LSM atau organisasi non-
sang tokoh di sejumlah LSM. Artinya, bukan pemerintah•
saja sang aktivis yang mengalami “negaraisasi”,
tetapi juga jaringan komunitas masyarakat sipil Rocky Gerung

B U K U
184
Prisma Prisma,
P A Vol.
R A36,PNo.
E 1,N2017
ULIS

Airlangga Pribadi Kusman dilahirkan di Kemiskinan pada Era Reformasi”, Jakarta


Jombang, Jawa Timur, 23 November 1976. (Oktober 2008), dan lain-lain. Penulis buku The
Pengajar Ilmu Politik pada Departemen Ilmu Religious Intolerance as a Reflection of the
Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Governance Failure (akan terbit 2017) dan salah
(FISIP) Universitas Airlangga, Surabaya (sejak satu bab dalam buku Bayang-bayang Fanatisme:
2004) dan Direktur Centre for Governance and Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid
Citizenship Studies (CGCS), Universitas (2007) itu, banyak menulis artikel di sejumlah
Airlangga (sejak 2016) serta Staf Ahli Kemen- jurnal serta media massa luring dan daring.
terian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi (sejak 2016). Meraih gelar Amalinda Savirani dilahirkan di Jakarta, 28
Sarjana Politik dari Departemen Ilmu Politik, Januari 1974. Pengajar (sejak 2004) dan Ketua
FISIP Universitas Airlangga (2002) dan Master Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol
Ilmu Politik dari Universitas Indonesia (2006). Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (2016-2021). Menyelesaikan S-1 di Jurusan
(PSIK), Universitas Paramadina (2007-2009) Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM, dengan
dan associate researcher pada Departemen skripsi berjudul “Pemikiran Civil Society Alexis
Politik Soegeng Sarjadi Syndicated (2002-2004) de Tocqueville” (2000). Memperoleh Master of
ini, memperoleh gelar PhD dari Asia Research Arts (2004) dan gelar Doktor (2015) dari
Center Murdoch University, Australia (2006), Universiteit van Amsterdam, Negeri Belanda.
dengan disertasi berjudul “The Politics of Good Aktif dalam pelbagai kegiatan masyarakat sipil,
Governance in Post-Authoritarian East Java: seperti Perempuan Indonesia Anti-Korupsi
Intellectuals and Local Power in Indonesia.” (PIA) Yogyakarta dan Gerakan Masyarakat Sipil
Aktif mengikuti berbagai lokakarya, seminar, yang bergerak di isu perkotaan. Pernah mengi-
serta konferensi tingkat nasional dan inter- kuti summer course “Ethnic Relation & Demo-
nasional, antara lain, lokakarya “Intoleransi cratization in Eastern and Central Europe” di
Keagamaan di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Central European University, Budapes, Ho-
Jakarta (2016); konferensi “Australian Political ngaria. Koordinator Democracy Baseline Survey
Science Association”, Murdoch University, (2011-2016), bagian dari proyek penelitian
Australia (2013); konferensi internasional “The Power, Welfare and Democracy (PWD), kerja
Paradox of Innovation in Governance Prac- sama antara Universitas Gadjah Mada dan Uni-
tices”, University Brunei Darussalam (2012); versitas Oslo, Norwegia, yang kemudian diter-
seminar nasional “Pemilu Lokal dan Problem bitkan dalam bentuk buku berjudul Reclaiming

P A R A P E N U L I S
Prisma Vol. 36, No. 1, 2017 185

State: Overcoming Problems of Democratisation Indonesia (disunting bersama Mudiyati


in Post-Soeharto Indonesia (2015) itu, menyum- Rahmatunnisa, 2016); “Berebut Kontrol atas
bang karya-karya tulis “Resisting Reform: The Kesejahteraan: Kasus-kasus Politisasi Kesejah-
Persistence of Patrimonialism in Pekalongan’s teraan di Tingkat Lokal” (disunting bersama
Construction Sector”, dalam In Search of Mariatul Asiah dan Otto Gusti Madung, 2015),
Middle Indonesia (disunting Ward Berenschot dan lain-lain. Bersama Dede Mariana menyun-
dan Gerry van Klinken, 2014); “Bekasi, West ting buku Modernisasi Perdesaan, Dampak
Java: From Patronage to Interest-group Poli- Mobilitas Penduduk (2008) dan Politik dan
tics?”, dalam Electoral Dynamics in Indonesia: Kebijakan Publik (2006). Saat ini sedang mela-
Money Politics, Patronage, and Clientelism at kukan penelitian tentang politik kewargaan dan
the Grass Root (disunting Edward Aspinall dan pemilu lokal.
Sukmajati, 2016); artikel “Survival Against All
Odds: The Djunaid Family of Pekalongan”, da- Cornelis Lay dilahirkan di Kupang, Nusa
lam jurnal Southeast Asia Research (September Tenggara Timur, 6 September 1959. Meraih
2016); dan lain-lain. Aktif menulis di harian The gelar Sarjana dari Jurusan Ilmu Pemerintahan,
Jakarta Post dan laman The Conversation serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol)
di sejumlah jurnal ilmiah nasional dan inter- Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
nasional. (1987); Master of Arts dari St Mary’s Uni-
versity, Halifax, Kanada (1992); dan Doktor dari
Caroline Paskarina dilahirkan di Bandung, Program Studi Ilmu Politik, UGM (2015). Do-
Jawa Barat, 26 Maret 1977. Dosen Departemen sen Departemen Politik dan Pemerintahan
Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu UGM (sejak 1987) dan Peneliti Pusat Studi
Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran (Unpad), Asia Pasifik (PSAP) UGM (sejak 2009) serta
Bandung. Menyelesaikan S-1 dari Jurusan Ilmu Kepala Research Centre for Politics and Go-
Pemerintahan, FISIP-Unpad (2000); S-2 Ilmu vernment (PolGov), Departemen Politik dan
Politik dari Program Studi Ilmu Politik Konsen- Pemerintahan UGM. Selain menekuni riset
trasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, Fa- tentang security sector reforms (1999-2004),
kultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) dalam beberapa tahun terakhir juga terlibat
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta sejumlah penelitian tentang organisasi masya-
(2004); dan S-3 dari Program Studi Ilmu Politik, rakat sipil bersama Vietnamese Academy of
Fisipol-UGM (2016). Sejak 2006, peneliti pada Social Sciences dan Thailand Development
Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Kewi- Research Institute; Power, Conflict, and Demo-
layahan Lembaga Penelitian dan Pengabdian cracy dengan Universitas Oslo, Norwegia, dan
Masyarakat Universitas Padjadjaran (2003- Universitas Colombo, Srilanka; serta Power,
2010) itu, terlibat dalam berbagai kegiatan Welfare, and Democracy dengan Universitas
penelitian dan publikasi, termasuk proyek Oslo. Peneliti tamu di Flinders University,
penelitian Power, Welfare, and Democracy Australia (1995); Agder College University,
(2009-2013) yang diselenggarakan bersama Kristiansand, Norwegia (2001 dan 2002);
UGM dan Universitas Oslo. Banyak mener- Massachussets University, Amerika Serikat
bitkan karya tulis di antaranya, “Bandung, West (2008); dan KITLV, Negeri Belanda (2010) itu,
Java: Silaturahmi, Personalist Networks and banyak menghasilkan karya tulis di antaranya,
Patronage Politics”, dalam buku Money Politics “Kegaduhan Politik: Demokrasi Politik Para
in Indonesia: Patronage and Clientelism in Politisi Tuli”, dalam Dari Bulaksumur untuk
Legislative Election 2014 (2016); Politik Kese- Indonesia: Kumpulan Pemikiran Insan Univer-
jahteraan: Bunga Rampai Isu-isu Politik, Tata sitas Gadjah Mada (2016); dengan Gerry van
Pemerintahan, dan Kewargaan Kontemporer di Klinken, “Growing Up in Kupang,” dalam In

P A R A P E N U L I S
186 Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017

Search of Middle Indonesia: Middle Classes in the Age of Cunsumer Culture.” Saat ini menja-
Provincial Towns (disunting bersama Gerry van bat Direktur Magister Perdamaian dan Resolusi
Klinken dan Ward Berenschot, 2014); bersama Konflik, UGM (sejak 2013) serta Ketua Depar-
Pratikno, “From Populism to Democratic Polity: temen Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol-
Problems and Challenges in Solo, Indonesia,” UGM (sejak 2012).
dalam Democratization in the Global South
(disunting Kristian Stokke dan Olle Tornquist, Haryanto adalah pengajar di Departemen
2013); “Pengorganisasian Partai Politik” (akan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
terbit), dan sebagainya. dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
(Fisipol-UGM), Yogyakarta (sejak 1980). Me-
Eric Hiariej dilahirkan di Ambon, Maluku, 20 nyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di
November 1970. Dosen di Departemen Ilmu kota kelahirannya, Purworejo, Jawa Tengah.
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Menamatkan S-1 di Jurusan Politik dan Peme-
dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah rintahan UGM (1981), kemudian melanjutkan
Mada (UGM), Yogyakarta. Mencurahkan ba- program S-2 di Department Sociology, Political
nyak perhatian di bidang studi gerakan sosial, Sociology, Ateneo de Manilla University, Filipina
politik identitas, demokrasi, dan globalisasi. dan meraih Master of Arts (1987). Mengambil
Karya-karya peneliti senior pada Centre of program doktoral di UGM dan memperoleh
Security and Peace Studies, UGM, yang pernah gelar Doktor pada 2013 dengan disertasi yang
diterbitkan antara lain sejumlah artikel, sub-bab, kemudian dibukukan berjudul Politik Kain
dan buku, “The Rise of Post Clientelism in Timur: Instrumen Meraih Kekuasaan (diter-
Indonesia” (2015); “Moralisasi, Estetisasi Politik bitkan oleh PolGov, Fisipol-UGM, 2015). Sejak
dan Populisme: Masalah-masalah Demokrasi 2012, terlibat aktif sebagai peneliti di proyek
Indonesia” (2014); “Indonesia’s Democracy and penelitian Power, Welfare and Democracy
the Rise of Populism” (2014); “Aksi dan Iden- (PWD). Terlibat dalam penyusunan RPJPD
titas Kolektif Gerakan Islam Radikal di Indo- 2005-2025 Kabupaten Kepulauan Mentawai
nesia”, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu pada 2013. Pada tahun yang sama, selain men-
Politik (2010); “Pemulihan Kekuasaan Kelas jadi narasumber untuk Diklat PPD Reguler di
Dominan dan Politik Neoliberalisme”, dalam MAP-UGM, juga menjadi narasumber pada
Jurnal Global (2009); “Gerakan Anti Kapi- Diklat Jabatan Fungsional Perencana Tingkat
talisme Global”, dalam Jurnal JSP (2004); Glo- Pertama, Angkatan XIV, MAP-UGM. Sebelum-
balisasi, Kapitalisme, dan Perlawanan (2013); nya, pada 2010-2011, terlibat dalam penyu-
Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: sunan kajian akademik rencana pembentukan
Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Kabupaten Lombok Selatan sebagai pemekaran
Orde Baru (2006); Politik Transisi Pasca Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa
Soeharto (2004); Masyarakat Pasca Militer Tenggara Barat. Menulis beberapa buku di
(2000). Menyelesaikan pendidikan S-1 di Ju- antaranya, Sistem Politik: Suatu Pengantar
rusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol- (1982, akan diterbitkan ulang); Pembahasan
UGM (1995) serta meraih gelar Master of Desa Secara Partisipatif (2003); Kekuasaan
Philosophy (2003) dan Doctor of Philosophy Elit: Suatu Bahasan Pengantar (diterbitkan
(2009) Ilmu Politik dan Hubungan Internasional oleh PLOD, Fisipol-UGM, 2005) dan; bersama
dari Department of Political Science and Inter- Pratikno, AAGN Ari Dwipayana, Sigit Pamung-
national Relations, School of Social Sciences, kas, dan Nanang Indra Kurniawan menulis buku
Faculty of Arts, Australian National University, Berlayar Menuju Pulau Harapan: Agenda
Canberra, Australia, dengan disertasi berjudul Akselerasi Pembangunan Numfor (diterbitkan
“The Politics of Becoming Fundamentalist in oleh PLOD, Fisipol-UGM, 2010).

P A R A P E N U L I S
Prisma Vol. 36, No. 1, 2017 187

Hasrul Hanif adalah pengajar di Jurusan Politik tinggi ini pada 1983. Selama lebih dari satu
dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu dasawarsa—dimulai sebagai co-director se-
Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol-UGM), kaligus penyelia riset di lembaga Demos (2003-
Yogyakarta (sejak 2006) dan dosen Program 2008) serta bekerja sama dengan Fisipol Uni-
Pascasarjana Ilmu Politik, Fisipol-UGM (sejak versitas Gadjah Mada, Yogyakarta—melakukan
2010). Menyelesaikan S-1 Ilmu Politik dari De- sejumlah survei yang melibatkan ratusan res-
partemen Pemerintahan, Fisipol-UGM (2004) ponden “aktor pro-demokrasi” Indonesia guna
dan S-2 bidang studi Hak Asasi Manusia dan mengukur kapasitas “kaum demokrat” dan
Demokrasi dari Pascasarjana Ilmu Politik UGM aktivis masyarakat sipil di Indonesia dalam
kerja sama dengan Departemen Ilmu Politik mendorong dan mempertahankan demokrasi
(Staatvikenskap), Universitas Oslo, Norwegia sekaligus pembangunan melalui politik. Memu-
(2010) dengan tesis “Governing through New blikasi berbagai tulisan terkait isu politik dan
Social Myth: A Post-Marxist Discourse Analysis pembangunan serta demokratisasi dalam pers-
on Welfarism in Decentralised Indonesia.” Ba- pektif perbandingan, khususnya Indonesia,
nyak melakukan kajian dan advokasi terkait tata India, dan Filipina di antaranya, disunting ber-
kelola sumber daya air, demokrasi, HAM, serta sama John Harriss, Reinventing Social Demo-
kesejahteraan dan kewarganegaraan sosial. cratic Development: Insights from Indian and
Koordinator studi “rezim kesejahteraan” pada Scandinavian Comparisons (2016); Develop-
Survei Power, Welfare, and Democracy (PWD), ment and Democracy: Case Studies in the Phi-
kerja sama UGM dengan Universitas Oslo, Nor- lippines, Indonesia and Kerala (2002); ber-
wegia (sejak 2009) serta salah satu anggota sama John Harriss dan Kristian Stokke, Poli-
Dewan Ahli Resource Governance in Asia Pa- ticising Democracy: The New Local Politics of
cific (RegINA), sebuah simpul pengetahuan Democratisation (2005); disunting bersama AE
berbasis universitas untuk tata kelola peme- Priyono dan Willy Purna Samadhi, Making De-
rintahan yang lebih baik dalam industri ekstraktif. mocracy Work: Problems and Options in Indo-
Menerbitkan sejumlah karya tulis antara lain nesia (2007); disunting bersama Neil Webster
Mengembalikan Daulat Warga Pesisir: Partisi- dan Kristian Stokke, Rethinking Popular Repre-
pasi, Representasi dan Demokrasi di Ranah sentation (2009); bersama Kristian Stokke,
Lokal (2008); bersama Purwo Santoso dan AE Democratization in the Global South: The
Priyono, Securing Pace and Direction of Indo- Importance of Transformative Politics (2013);
nesian Democratization (2010); penulis pen- Assessing Dynamic of Democratisation: Trans-
damping, Negara Tanpa Warga: Politik Kewar- formative Politics, New Institutions, and the
ganegaraan, Hak Ekonomi, Komunitas Buruh Case of Indonesia (2013) dan; Dillemas of
dan Desentralisasi (2011); “Network-based Third World Communism: The Destruction of
Policy: CSO Networking for Advocating Public PKI in Indonesia (1984).
Budget Reform”, dalam Local Civil Society
Dynamics in Indonesia (2013); penulis pen- Purwo Santoso adalah Guru Besar Ilmu Peme-
damping, Democratic Institutions from Good rintahan pada Departemen Politik dan Pemerin-
Governance to Vibrant CSOs (2015); serta sejum- tahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
lah artikel dalam berbagai jurnal. Universitas Gadjah Mada (Fisipol-UGM), Yog-
yakarta dikukuhkan pada April 2011 dengan
Olle Törnquist adalah Profesor Ilmu Politik pidato bertajuk “Ilmu Sosial Transformatif.”
dan Kajian Pembangunan dari Universitas Oslo, Direktur Proyek Power, Welfare and Demo-
Norwegia. Sebelumya pernah mengajar di cracy (PWD) yang dedikasi utamanya adalah
Universitas Uppsala, Swedia, setelah meraih melakukan asesmen terhadap demokrasi di
gelar PhD bidang Ilmu Politik dari perguruan Indonesia dengan melibatkan jejaring inter-

P A R A P E N U L I S
188 Prisma, Vol. 36, No. 1, 2017

nasional dan juga jejaring nasional itu, adalah mendorong pemikiran etis di Solidaritas Masya-
Direktur Jurusan Politik dan Pemerintahan rakat Indonesia untuk Keadilan (SMI Keadilan)
serta Direktur Program Pascasarjana Ilmu dan menjadi pengajar program “Kajian Filsafat
Politik, Fisipol-UGM (sejak 2009). Kiprah ilmu- dan Feminisme.”
wan yang dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, 4
Februari 1963, di dunia akademik banyak difo- Vedi Renandi Hadiz adalah Professor of
kuskan pada penelitian tentang isu-isu tata Asian Studies di Asia Institute, Universitas Mel-
kelola pemerintahan, kebijakan publik, dan bourne, Australia (sejak 2016). Sebelumnya,
pemerintahan lokal. Menyelesaikan pendidikan bekerja sebagai Professor of Asian Societies
Sarjana di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Uni- and Politics pada Asia Research Centre, Mur-
versitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1987), dan doch University, Australia, dan Associate Pro-
melanjutkan pendidikan ke jenjang Master fessor di Departemen Sosiologi, Universitas
bidang International Development Studies di St Nasional Singapura (2000-2010). Dilahirkan
Mary University, Halifax, Kanada (1992), de- pada 1964 dan meraih gelar Sarjana Ilmu Politik
ngan tesis “The Politics of Sustainable Deve- dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
lopment in Indonesia.” Gelar PhD Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (1987) dan PhD
diperoleh dari London School of Economic and dari Murdoch University, Australia (1996).
Political Science, Inggris (1999). Salah satu Banyak menerbitkan dan menyunting buku, di
karya tulis Pemimpin Redaksi Jurnal Trans- antaranya Islamic Populism in Indonesia and
formatif, Departemen Pemerintahan, Fisipol- the Middle East (2016); Localising Power in
UGM (sejak 2003); Project Leader “Studi Eva- Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia
luasi Kinerja Pemerintah Provinsi Kalimantan Perspective (2010); Dinamika Kekuasaan:
Timur (2009); dan salah seorang anggota Ke- Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto
lompok Kerja Demokrasi Forum Rektor Indo- (2005); Reorganising Power in Indonesia: The
nesia (sejak Juli 2010) itu, adalah Analisa Kebi- Politics of Oligarchy in an Age of Markets
jakan Publik: Modul Pembelajaran (PolGov-JPP (bersama Richard Robison, 2004); Politik,
UGM, 2010). Selain menulis banyak monograf Budaya dan Perubahan Sosial (1992), Empire
serta artikel dalam harian dan beberapa jurnal and Neoliberalism in Asia (2006); Between
nasional, juga kerap mempresentasikan maka- Dissent and Power: The Transformation of
lah dalam seminar serta simposium nasional Islamic Politics in the Middle East and Asia
dan internasional. (2014); Social Science and Power in Indonesia
(bersama Daniel Dhakidae, 2005), dan seba-
Rocky Gerung lahir di Manado, Sulawesi Utara, gainya. Anggota Dewan Redaksi Jurnal Prisma
20 Januari 1959. Menempuh studi dan meraih yang memperoleh Future Fellowship dari Aus-
gelar Sarjana Sastra dari Universitas Indonesia. tralian Research Council (2010-2014) dan per-
Salah seorang pengajar di Departemen Filsafat nah menjadi peneliti tamu di Centre of South-
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia east Asian Studies, University of Kyoto, Jepang;
(FIB-UI) ini aktif menulis di berbagai media International Institute of Social Studies, Negeri
massa. Menjadi fellow dan peneliti di Per- Belanda; Jurusan Sosiologi Universitas Indo-
himpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) sejak nesia; dan School for Advanced Studies in the
2006 dan turut mendirikan SETARA Institute Social Sciences (EHESS), Perancis itu juga
(2007), sebuah perkumpulan yang didedika- banyak menulis artikel di pelbagai jurnal inter-
sikan bagi pencapaian cita-cita tempat setiap nasional tentang sosiologi politik dan ekonomi-
orang diperlakukan setara dengan menghor- politik, terutama isu-isu terkait kontradiksi
mati keberagaman, mengutamakan solidaritas, pembangunan di Indonesia, Asia Tenggara, dan
dan menjunjung tinggi martabat manusia. Aktif Timur Tengah.

P A R A P E N U L I S
Prisma Vol. 36, No. 1, 2017 189

Wegik Prasetyo Kertosentono dilahirkan di organisasi non-pemerintah yang banyak meng-


Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 21 Juli kaji isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia,
1993. Menyelesaikan pendidikan formal di sebelumnya bekerja sebagai jurnalis dan staf di
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Grojogan, Seko- Litbang Redaksi Harian Umum Republika
lah Menengah Pertama Negeri (SMPN)1 Ple- (1998-2004). Memperoleh gelar Sarjana Ilmu
ret, dan Sekolah Menengah Atas Negeri Politik dari Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu
(SMAN) 1 Sewon. Saat ini sedang menempuh Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
pendidikan di Departemen Politik dan Pemerin- Indonesia dan meraih gelar S-2 dari Jurusan
tahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Po- Politik dan Pemerintahan, Fisipol-UGM. Ba-
litik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), nyak karya tulis yang pernah dihasilkan, di
Yogyakarta, dengan mengambil konsentrasi antaranya (bersama Nicolaas Warouw) Demo-
intermediari mencakup partai politik, parlemen, cracy Building on the Sands: Advances and
representasi, dan pemilu. Selain itu, memper- Seatbacks in Indnesia. Report from the 2 nd
oleh kesempatan cukup luas untuk mengapli- Demos National Expert-Survey (Demos dan
kasikan ilmu dan minat di bidang penelitian PCD Press, 2008) serta bersama AE Priyono
sebagai Asisten Peneliti di Research Centre for dan Olle Törnquist, Making Democracy Mean-
Politics and Government (PolGov) UGM. ingful: Problems and Options in Indonesia
(Demos, PCD Press, dan ISEAS, 2007). Selain
Willy Purna Samadhi saat ini aktif sebagai itu, beberapa tulisannya dimuat dalam buku
peneliti dalam Power, Welfare and Democracy Reclaiming the State: Overcoming Problems of
(PWD), sebuah proyek kerja sama Fakultas Democracy in Post-Soeharto Indonesia (2015)
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas dan Merancang Arah Baru Demokrasi Indo-
Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dengan nesia Pasca-Reformasi (2014). Saat ini sedang
Universitas Oslo, Norwegia. Peneliti dan Wakil menempuh studi doktoral Ilmu Politik di Univer-
Direktur Penelitian Demos (2004-2009), sebuah sitas Gadjah Mada•

P A R A P E N U L I S
190 Prisma Vol. 36 No. 1, 2017

Petunjuk untuk Penulis

1. Penulisan naskah. Naskah yang dikirim ke Prisma belum pernah diterbitkan atau tidak sedang
dalam proses pengajuan untuk diterbitkan di media lain. Naskah berisi tulisan ilmiah populer bisa
berasal dari ringkasan hasil penelitian, survei, hipotesis, atau gagasan orisinal yang kritis,
mencerahkan, dan membuka wawasan.

2. Topik. Isi naskah disesuaikan dengan rubrik Topik Kita yang ditetapkan redaksi dan bisa juga
berisi topik bebas di luar Topik Kita. Tulisan dalam rubrik Esai berisi pendalaman dan pergulatan
pemikiran. Rubrik Survei berisi hasil penelitian tentang segala macam persoalan sosial ekonomi
yang aktual. Rubrik Laporan Daerah berisi hasil pengamatan atau penelitian tentang satu daerah
tertentu di Indonesia. Rubrik Buku berisi tinjauan buku-buku baru atau lama yang masih relevan
dengan kondisi sekarang.

3. Panjang. Panjang tulisan untuk rubrik Topik Kita, Survei dan Laporan Daerah, kecuali atas
kesepakatan dengan redaksi, maksimal 29.000 karakter dengan spasi (sekitar 4.000 kata) dan
sudah termasuk catatan kaki; tetapi belum terhitung di dalamnya jika ada gambar, ilustrasi, bagan
dan tabel. Panjang Esai maksimal 11.600 karakter dengan spasi (tidak perlu disertai catatan kaki).
Tinjauan Buku terdiri dari dua versi: tinjauan pendek sekitar 11.600–14.500 karakter dengan spasi
dan tinjauan panjang sekitar 23.300–29.000 karakter dengan spasi.

4. Abstrak dan Kata Kunci. Setiap naskah harus disertai abstrak dalam bahasa Indonesia. Panjang
abstrak maksimal 800 karakter dengan spasi dan hanya terdiri dari satu paragraf yang meng-
gambarkan esensi isi tulisan secara gamblang, utuh, dan lengkap. Setiap naskah juga harus
disertakan Kata Kunci minimal 3 (tiga) dan maksimal 5 (lima) kata/frasa.

5. Catatan kaki. Semua rujukan pada tubuh tulisan, baik sumber yang merujuk langsung maupun tidak
langsung, harus diletakkan dalam Catatan Kaki dengan urutan nama lengkap pengarang, judul lengkap
sumber, tempat terbit, penerbit, tahun terbit, dan nomor halaman, kalau perlu. Rujukan dari internet
harap mencantumkan halaman http secara lengkap serta tanggal pengaksesannya.

Contoh-contoh:
Buku dengan Satu Orang Penulis
1
Wendy Doniger, Splitting the Difference (Chicago: University of Chicago Press, 1999), hal. 65.
Buku dengan Dua atau Tiga Orang Penulis
2
Guy Cowlishaw dan Robin Dunbar, Primate Conservation Biology (Chicago: University of Chicago
Press, 2000).
Buku dengan Empat Orang Penulis atau Lebih
3
Edward O Laumann et al., The Social Organization of Sexuality: Sexual Practices in the United States
(Chicago: University of Chicago Press, 1994), hal. 225-262.
Buku Terjemahan atau Suntingan
4
Srintil, The Iliad of Homer, diterjemahkan oleh Richmond Lattimore (Chicago: University of Chicago
Press, 1951).
5
Yves Bonnefoy, New and Selected Poems, disunting oleh John Naughton and Anthony Rudolf (Chicago:
University of Chicago Press, 1995).
Bab atau Bagian dari Sebuah Buku
6
Andrew Wiese, “‘The House I Live In’: Race, Class, and African American Suburban Dreams in the
Postwar United States,” dalam Kevin M Kruse dan Thomas J Sugrue (eds.), The New Suburban History
(Chicago: University of Chicago Press, 2006), hal. 101–102.

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Prisma Vol. 36, No. 1, 2017 191

Prakata, Kata Pengantar, atau Pendahuluan dari Sebuah Buku


7
James Rieger, “Kata Pengantar” untuk Mary Wollstonecraft Shelley, Frankenstein; or, The Modern
Prometheus (Chicago: University of Chicago Press, 1982) hal. xx–xxi.
Buku Elektronik
8
Philip B Kurland dan Ralph Lerner (eds.), The Founders’ Constitution (Chicago: University of Chicago
Press, 1987), atau http://press-ubs.uchicago.edu/ founders/ (diakses tanggal 27 Juni 2006).
Artikel Jurnal, Majalah, atau Surat Kabar Cetak
9
John Maynard Smith, “The Origin of Altruism”, dalam Nature 393 (1998), hal. 639.
10
William S Niederkorn, “A Scholar Recants on His ‘Shakespeare’ Discovery”, dalam New York Times,
20 Juni 2002 (Rubrik Seni Sastra).
Tesis atau Disertasi
11
M Amundin, “Click Repetition Rate Patterns in Communicative Sounds from the Harbour Porpoise,
Phocoena phocoena” (Disertasi PhD, Stockholm University, 1991), hal. 22–29, 35.
Makalah
12
Brian Doyle, “Howling Like Dogs: Metaphorical Language in Psalm 59” (Makalah diajukan pada
pertemuan internasional the Society of Biblical Literature, Berlin, Jerman, 19–22 Juni 2002).
Laman
13
Evanston Public Library Board of Trustees, “Evanston Public Library Strategic Plan, 2000–2010: A
Decade of Outreach,” Evanston Public Library, dalam http://www.epl.org/library/strategic-plan-
00.html (diakses tanggal 1 Juni 2005).
Jurnal, Majalah atau Surat Kabar Maya
14
Mark A Hlatky et al., “Quality-of-Life and Depressive Symptoms in Postmenopausal Women after
Receiving Hormone Therapy: Results from the Heart and Estrogen/Progestin Replacement Study
(HERS) Trial”, dalam Journal of the American Medical Association 287, No. 5 (2002), atau http://
jama.ama-assn.org/issues/v287n5/ rfull/joc10108.html#aainfo (diakses tanggal 7 Januari 2004).
Komentar Weblog
15
Komentar Peter Pearson tentang “The New American Dilemma: Illegal Immigration,” The Becker-
Posner Blog, diposting 6 Maret 2006, dalam http://www.becker-posner-blog.com/archives/2006/03/
the_new_america.html#c080052 (diakses tanggal 28 Maret 2006).
Surat Elektronik
16
Surat elektronik Ibu Pengetahuan kepada Penulis, 31 Oktober 2005.
Item dalam Basis Data Maya
17
Pliny the Elder, The Natural History, John Bostock dan HT Riley (eds.), dalam the Perseus Digital
Library, http://www.perseus.tufts.edu/cgi-bin/ptext?lookup= Plin.+Nat.+1.dedication (diakses tanggal
17 November 2005).
Wawancara
18
Wawancara dengan Bapak Sukailmu, Jakarta, 1 Januari 2010.

6. Tabel. Tabel, gambar, bagan dan ilustrasi harus mencantumkan dengan jelas nomor tabel/gambar/
bagan/ilustrasi secara berurutan, judul serta sumber data. Keterangan tabel/gambar/bagan/
ilustrasi diletakkan persis di bawah tabel/gambar/bagan/ilustrasi bersangkutan.

7. Biodata. Penulis wajib menyertakan curriculum vitae dan foto diri terbaru.

8. Pengiriman. Tulisan dikirim dalam dua bentuk, yaitu 1) file elektronik dan 2) naskah tercetak
(2 kopi) ditujukan kepada:
a. File elektronik : prisma@prismajurnal.com; prisma.redaksi@gmail.com;
b. Naskah tercetak : Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma, Gedung LP3ES,
Jl. Pangkalan Jati No 71, Pondok Labu-Cinere, Depok 16513, Indonesia.

9. Nomor bukti. Setiap penulis akan menerima nomor bukti penerbitan.

10. Hak cipta. Dengan publikasi lewat Prisma, maka penulis menyerahkan hak cipta (copyright) artikel
secara utuh (termasuk abstrak, tabel, gambar, bagan, ilustrasi) kepada Prisma, termasuk hak
menerbitkan ulang dalam semua bentuk media.

PETUNJUK UNTUK PENULIS

Anda mungkin juga menyukai