Anda di halaman 1dari 8

BAB III

Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)

A. Definisi
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal
ambulatorik kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucuian darah dengan
menggunakan peritoneum (selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah.
Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga
perut. CAPD bersifat kontinyu dan biasanya dapat dilakukan sendiri. Metode ini bisa
dikerjakan di rumah oleh pasien. Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan
fisiologis pasien akan terapi dialisis dan kemampuanya untuk mempelajari prosedur
ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, serta diperlukan
petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan yakin dalam
melaksanakannya.

B. Prinsip-Prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang
stabil. Nilainya bergantung pada:
 fungsi ginjal yang masih terpisah
 volume dialisa setiap hari
 Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.
Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim
dibandingkan dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung
secara konstan. Kadar elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin
lama waktu retensi, klirens molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini
merupakan toksin uremik yang signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini
meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan berdifusi lebih

1
cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisis.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi
sehingga tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan beberapa ukuran volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml, sehingga
memungkinkan pemilihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan
kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara
memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Dialisis Peritoneal diawali dengan
memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke dalam rongga perut
melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada di dalam
rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan
tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah
akan pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran
peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut
Difusi. Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk
menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut
Ultrafiltrasi.

Gb1. Prinsip Kerja CAPD

Proses penggantian cairan dialysis dalam prosesnya tidak menimbulkan rasa sakit dan
hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Proses tersebut terdiri dari 3 langkah:
1. Pengeluaran cairan

2
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.

2. Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter. Proses ini hanya
berlangsung selama 10 menit.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6 jam,
tergantung dari anjuran dokter.

Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung kontinyu selama 24
jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran
dengan interfal yang didistribusikan disepanjang hari ( misalnya pada pukul 06.00 pagi,
16.00 sore dan 24.00 malam ). Setiap pertukaran memerlukan waktu 30 hingga 60 menit

3
atau lebih tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama
waktu penukaran terdiri atas 5 atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20 menit
periode drainase (pengeluaran cairan dialisa) dan waktu retensi selama 10 menit, 30 menit
atau lebih

C. Indikasi CAPD
CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis
sendiri di rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan
(maintenence) atau HD kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang
sekarang, seperti gangguan fungsi atau kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus
yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala pasca dialisis dan anemia berat yang
memerlukan transfusi.
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering
dipertimbangkan sebagai indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia
dan hiperglikemia lebih mudah diatasi dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau
masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan penyakitnya,
menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta keinginan untuk
melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan terapi CAPD. Selain
kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan CAPD harus
dipertimbangkan ketika memilih terapi ini.
Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin,
mengontrol sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan
meningkatkan asupan cairan, menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol
tekananan darah, bebas dari keharusan pemasangan jarum infus(venipuncture) dan
merasa sehat secara umum meskipun CAPD memberi kesan pasien tampak bebas,
terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga pasien harus menjalani dialisis selama
24 jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara ini membatasi kebebasanya
dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.

4
D. Kontraindikasi CAPD
Kontraindikasi dilakukan CAPD adalah adanya :
1. Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik
sebelumnya. Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
2. Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus
intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen yang
kontinyu
3. Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat
meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan
kontraindikasi absolut untuk CAPD.
4. Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat
kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
5. Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
6. Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan
bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.

E. Komplikasi CAPD
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
1. Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu
antara 60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan
oleh adanya kontaminasi dari Staphylokokus epidermidisyang bersifat aksidental,
dan Staphylococcus aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih serius
serta lebih lama. Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri
abdomen yang difus, hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika
penyebabnya S. Aureus. Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah
sel, pewarnaan Gram, dan pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab
mikroorganisme dan arahan terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah
dan tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis
peritoneal intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama
dapat terapi suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat jalan
5
dan terapi antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat AB peroral
selama 10 hari. Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari . AB harus
diberikan dengan cermat dan tidak bersifat nefrotoksik agar tidak memperparah
fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi bedah mungkin diperlukan jika peritonitis
akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen
diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan
peritoneal positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara
menggunakan HD selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang
baru. Pasien dengan peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam
jumlah besar, malnutrisi akut, serta kelambatan penyembuhan
2. Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka
pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan
jika terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat
keluarnya kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalah
aktifitas abdomen yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air besar.
Kebocoran dapat dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume
kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml
3. Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada
wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik
darah dari uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum
peritoneal. Kejadian ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian cairan
mengingat darah akibat prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta
pada pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma.
Adapun intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran
cairan lebih sering untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah
4. Komplikasi lainnya adalah
a. Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik, dan
umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
6
b. Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah
aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama
kematian pada populasi pasien ini.
c. Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum
selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan dengan
absorpsi glukose.
d. Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.

F. Keuntungan dan Kerugian CAPD


 Keuntungan dari CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1. Fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan.
2. Dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat kerja.
3. Tidak tergantung pada bantuan orang lain.
4. Tekanan darah pasien lebih terkendali.
5. Kebutuhan akan suplemen zat besi dan eritropoietin (EPO) jauh lebih sedikit.
6. Lebih bebas mengonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman.
7. Kadar kalium darah lebih terkontrol.
 Kerugian CAPD
Kerugian CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1. Risiko terjadinya peritonitis (infeksi peritoneum).
2. Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses
dialisis peritoneal.

7
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Perubahan
konduksi
elektrikal
jantung
Pemenuhan
Kerusakan 8 nutrisi ↓
hantaran impuls
saraf

Anda mungkin juga menyukai