Anda di halaman 1dari 93

BAB IV

METODE PRODUKSI
4.1. Sembur Alam (Natural Flow)
Apabila tekanan reservoir cukup besar sehingga mampu mendorong fluida
reservoir dari reservoir ke permukaan, maka sumur yang memproduksi dengan cara
demikian disebut dengan sumur sembur alam. Keadaan demikian umumnya hanya
ditemui pada masa permulaan produksi dan ini tidak dapat dipertahankan karena
adanya penurunan tekanan reservoir.

4.1.1. Konsep Natural Flow / Flowing Well


Pada metode produksi sembur alam, untuk memproduksikan minyak dilakukan
dengan memanfaatkan energi alamiah reservoir dan tanpa menggunakan peralatan
pembantu untuk mengangkat minyak dari dalam reservoir sampai ke permukaan.
Dengan demikian metode ini merupakan metode yang termudah dan termurah,
sehingga pada waktu reservoir dapat diproduksi secara sembur alam diusahakan
selama mungkin agar cadangan dapat diambil secara maksimal.
Usaha yang harus dilakukan untuk mencapai maksud tersebut adalah dengan
menganalisa performance dari sumurnya yang hasilnya berguna untuk menentukan
peralatan-peralatan sumur yang sesuai.
Untuk menganalisa suatu sumur sembur alam dapat dibagi menjadi 3
tingkatan, yaitu :
 Inflow Performance
 Vertikal Lift Performance
 Bean Performance
A. Inflow Performance
Inflow performance adalah aliran air, minyak dan gas dari formasi menuju
kedalaman sumur (dasar sumur), yang dipengaruhi oleh productivity index-nya atau
lebih umum oleh inflow performance relationship (IPR).

177
178

Kalau IPR diumpamakan merupakan grafik linier maka PI merupakan angka


yang akan menentukan potensial formasi yang bersangkutan, dimana angka tersebut
didapat dari persamaan berikut :
q
PI = .......................................................................................(4-1)
Ps  Pwf
Keterangan :
PI = Productivity Index
q = Laju produksi, Bbl / day
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Ps = Tekanan statik reservoir, psi
Untuk menentukan harga PI secara langsung adalah sewaktu sumur tersebut
flowing. Kemudian dicatat harga Pwf dan q sumur tersebut. dari pressure build-up
curve dapat ditentukan tekanan statik reservoir (Ps).
B. Vertical Lift Performance
Adalah meliputi studi mengenai kehilangan tekanan (pressure loss) sepanjang
pipa vertikal yang disebabkan oleh adanya gesekan antara dinding pipa dengan fluida
yang mengalir.
Gradien tekanan yang terjadi pada pipa vertikal secara umum dapat
dinyatakan dengan persamaan berikut :
dP dP dP dP
=( )el + ( )f + ( )acc ........................................... ..……(4-2)
dL dL dL dL
Keterangan :
(dP/dL)el = g/gc  sin , merupakan komponen yang ditimbulkan oleh adanya
perubahan energi potensial atau perubahan ketinggian ( elevasi ).
f v 2
(dP/dL)f = , merupakan komponen yang ditumbulkan oleh adanya
2 gc d
gesekan.
179

vdv
(dP/dL)acc = , merupakan komponen yang ditimbulkan oleh
2 g c dZ
perubahan energi kinetik.
C. Bean Performance
Meliputi studi mengenai pressure loss yang terjadi pada aliran fluida reservoir
pada saat melalui suatu pipa yang diameternya diperkecil pada suatu tempat saja,
kemudian fluida akan mengalir kembali melalui pipa dengan diameter semula.
Pemillihan ukuran bean/choke di lapangan dimaksudkan agar tekanan down-
stream di dalam flow line yang disebabkan oleh tekanan saparator tidak berpengaruh
terhadap tekanan kepala sumur (THP) dan kelakuan produksi sumur. Tekanan kepala
sumur atau tubing sedikitnya dua kali lebih besar dari tekanan flow line.

Peralatan Sumur Sembur Alam


Peralatan sumur sembur alam ini pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua komponen
besar, yaitu peralatan di atas permukaan dan peralatan di bawah permukaan
A. Peralatan Di Atas Permukaan
Merupakan peralatan sumur sembur alam yang terletak di atas permukaan
yang terdiri dari :
a. Well Head
Merupakan peralatan yang digunakan untuk mengontrol kebocoran sumur di
permukaan. Well head tersusun dari dua rangkaian di dalamnya, yaitu casing head
dan tubing head. Casing head berfungsi sebagai tempat menggantungkan rangkaian
casing dan mencegah terjadinya kebocoran. Pada casing head terdapat gas outlet
yang berfungsi meredusir gas yang mungkin terkumpul di antara rangkaian casing.
Tubing head merupakan bagian dari well head yang diperlukan untuk menyokong
rangkaian tubing yang berada di bawahnya dan untuk menutup ruangan yang terdapat
di antara casing dan tubing, sehingga aliran fluida hanya dapat keluar melalui tubing.
b. Christmas Tree
180

Merupakan kumpulan valve-valve dan fitting-fitting yang dipasang di atas tubing


head, yang terbuat dari besi baja kualitas tinggi yang dapat menahan tekanan tinggi
dari sumur dan dapat menahan reaksi dari air formasi yang bersifat korosif yang
bersama-sama mengalir dengan minyak atau dapat menahan pengikisan pasir yang
terbawa ke permukaan. Ditinjau dari sayapnya (wings), Christmas tree dibagi
menjadi dua macam, yaitu bercabang satu (single wing atau single arm) dan
bercabang dua (double wing atau double arm). Christmas tree terdiri dari komponen-
komponen peralatan utama, yaitu :
1. Monitor Tekanan
Merupakan peralatan yang digunakan untuk mengukur tekanan pada casing (Pc) dan
tekanan pada tubing.
2. Master Gate
Merupakan jenis valve yang digunakan untuk menutup sumur jika diperlukan. Untuk
sumur-sumur yang bertekanan tinggi, selain dipasang master gate juga dipasang
suatu valve lain yang letaknya di bawah master gate tersebut.
3. Choke
Choke berfungsi untuk menahan sebagian aliran dari sumur sehingga produksi
minyak dan gas pada suatu sumur dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
Dalam prakteknya dikenal dua macam choke, yaitu :
 Positive choke
Choke jenis ini terbuat dari besi baja pejal dimana pada bagian dalamnya terdapat
lubang kecil berbentuk silinder sebagai tempat mengalirnya minyak dan gas menuju
separator.
 Adjustable choke
Pada choke jenis ini besarnya diameter dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, dengan
jalan memutar handwheel yang tedapat pada bagian atasnya tanpa harus melepas atau
menggantinya. Pemasangan choke jenis ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
penggantian choke yang terlalu sering, terutama pada sumur-sumur yang
menggunakan christmas tree jenis single wing atau single arm.
181

B. Peralatan Di Bawah Permukaan


Peralatan bawah permukaan sumur sembur alam meliputi sekumpulan
peralatan yang terdapat di dalam sumur yang terdiri dari tubing, packer, nipple,
sliding sleeve door, bottom hole choke, blast joint dan flow coupling.
a. Tubing
Merupakan pipa vertikal di dalam sumur, berfungsi mengalirkan fluida reservoir dari
dasar sumur ke permukaan.
b. Packer
Berfungsi menyekat annulus antara casing dan tubing serta memberikan drawdown
yang lebih besar.
c. Nipple
Berfungsi untuk menempatkan alat-alat kontrol aliran di dalam tubing. Terdapat dua
jenis nipple, yaitu leading dan no-go nipple.
d. Sliding Sleeve Door
Alat ini digunakan untuk memproduksikan hidrokarbon dari beberapa zona produktif
dengan single tubing, dengan adanya alat ini memungkinkan hubungan antara
annulus dengan tubing. Cara membuka sliding sleeve door dilakukan dengan metode
wire line.
e. Bottom Hole Choke
Disamping choke yang dipasang di permukaan kadang-kadang dipasang choke yang
ditempatkan di dalam sumur. Pemasangan bottom hole choke diantaranya
dimaksudkan untuk :
 Memperpanjang umur sembur alam dengan jalan membebaskan gas yang
berasal dari larutan minyak untuk memperingan kolom minyak atau
menambah kecepatan alir dalam tubing.
 Mengurangi atau mencegah pembekuan (freezing) pada peralatan kontrol di
atas permukaan dengan jalan memasang choke pada ujung bawah tubing.
182

 Mencegah terjadinya endapan hydrate, karbonat dan paraffin yang mengalir


bersama-sama dengan fluida dari formasi ke permukaan.
f. Blast Joint
Merupakan sambungan pada tubing yang memiliki dinding yang tebal, dipasang tepat
di depan formasi produktif yang berfungsi untuk menahan semburan aliran fluida
formasi.
g. Flow Coupling
Alat ini mempunyai bentuk yang sama dengan blast joint. Alat ini dipasang di atas
dan di bawah nipple yang berfungsi untuk menahan turbulensi fluida akibat adanya
kontrol aliran yang dipasang di nipple.

Pemeliharaan Laju Aliran untuk Sumur Sembur Alam dengan Analisa Sistem
Nodal
Komponen produksi, yang menghubungkan antara formasi produktif dengan
separator dapat dibagi menjadi enam komponen, seperti yang ditunjukkan oleh
Gambar 4.1., yaitu :
1. Komponen formasi produktif/reservoar.
Dalam komponen ini fluida reservoar mengalir dari batas reservoar menuju ke lubang
sumur, melalui media berpori. Ini ditunjukan oleh kurva IPR.
2. Komponen komplesi.
Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack didasar lubang sumur akan
mempengaruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang sumur. Berdasarkan analisa
dikomponen ini dapat diketahui pengaruh jumlah lubang perforasi ataupun adanya
gravel pack terhadap laju produksi sumur.
3. Komponen tubing.
Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak ataupun miring akan mengalami
kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung dari ukuran tubing. Dengan
demikian analisa tentang pengaruh ukuran tubing terhadap laju produksi dapat
183

dilakukan dalam komponen ini. Ini ditunjukkan oleh Vertical Flow Performance
(VFP).
4. Komponen pipa salur.
Pengaruh ukuran pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan suatu sumur,
dapat dianalisa berdasarkan komponen ini. Komponen ini disebut juga Horisontal
Flow Performance.
5. Komponen retreksi/jepitan.
Jepitan yang dipasang di kepala sumur atau dipasang di dalam tubing sebagai “safety
valve”, akan mempengaruhi besarnya laju produksi yang dihasilkan dari suatu sumur.
Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh ukuran jepitan terhadap laju produksi
dapat dianalisa dalam komponen ini.
6. Komponen separator.
Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya tekanan kerja separator.
Pengaruh perubahan tekanan kerja separator terhadap laju produksi untuk system
sumur dapat dilakukan dengan komponen ini.

SEPERTOR

TO SALES
FLOWING
WELLHEAD STOCK
PRESUSURE TANK

INCLINED FLOW
HORIZONTAL FLOW
VERTICAL
INCLINE
TUBING

INTAKE FLOW THROUGH


POROUS MEDIA

Pr, K, IPR

Gambar 4.1
Sistem Sumur Produksi
(Brown K, 1980)
184

Nodal merupakan titik pertemuan antara dua komponen dan pada titik
pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi kesetimbangan, dalam bentuk
kesetimbangan masa fluida yang mengalir ataupun kesetimbangan tekanan. Hal ini
berarti bahwa masa fluida yang keluar dari suatu komponen akan sama dengan masa
fluida yang masuk kedalam komponen berikutnya yang saling berhubungan atau
tekanan di ujung suatu komponen akan sama dengan tekanan di ujung komponen
yang lain yang berhubungan. Pertimbangan dalam pemilihan titik penyelesaian yang
tepat tergantung titik mana yang paling berpengaruh dalam optimasi system produksi.
Sesuai dengan Gambar 4.1. dalam system sumur produksi dapat ditemui 4
titik nodal, yaitu:
1. Titik nodal di dasar sumur.
Titik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen formasi
produktif/reservoar dengan komponen tubing apabila komplesi sumur adalah “open –
hole” atau titik pertemuan antara komponen tubing dengan komponen komplesi
apabila sumur diperforasi atau dipasang gravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur.
Titik nodal ini merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dan
komponen pipa salur dalam hal ini sumur tidak dilengkapi dengan jepitan.
3. Titik nodal di separator.
Pertemuan komponen pipa salur dengan komponen separator merupakan
suatu titik nodal.
4. Titik nodal di “upstream/downstream” jepitan.
Sesuai dengan letak jepitan , titik nodal ini dapat merupakan pertemuan antara
komponen tubing dengan komponen dengan komponen jepitan, apabila jepitan
dipasang ditubing sebagai safety valve atau merupakan pertemuan antara komponen
tubing dipermukaan dengan jepitan, apabila jepitan dipasang dikepala sumur.

Analisa sistem nodal terhadap suatu sumur, diperlukan untuk tujuan:


185

1. Meneliti kelakuan aliran fluida reservoir di setiap komponen sistem sumur


untuk menentukan masing-masing komponen tersebut terhadap sistem sumur
secara keseluruhan.
2. Menggabungkan kelakuan aliran fluida reservoir di seluruh komponen
sehingga dapat diperkirakan laju produksi optimum.

4.1.1.1. Perhitungan Sistem Nodal Untuk Titik Nodal Di Dasar Sumur


Jika dasar sumur digunakan sebagai titik nodal, maka perhitungan dimulai
dari ke kepala sumur dan dilanjutkan ke dasar sumur. Arah perhitungan analisa sistem
nodal di dasar sumur seperti terlihat pada Gambar 4.2. yaitu :
1. Komponen sistem rangkaian pipa keseluruhan
2. Kemampuan sumur untuk berproduksi
Kedua komponen tersebut dinyatakan secara grafis dalam diagram tekanan –
laju produksi, Seperti terlihat pada Gambar 4.3. Perpotongan kedua grafik tersebut
memberikan laju produksi yang sesuai dengan kedua komponen tersebut diatas.

Gambar 4.2.
Arah Perhitungan Untuk Titik Nodal di Dasar Sumur
(Pudjo S, 1990)
186

Gambar 4.3.
Plot Kurva IPR dan Kurva Tubing Intake
(Pudjo S, 1990)
Analisa nodal dengan titik nodal didasar sumur ini terutama digunakan untuk
meramalkan penurunan produksi sebagai akibat perubahan IPR di kemudian hari
untuk sistem rangkaian pipa keseluruhan yang tetap. Analisa nodal berdasarkan
kondisinya pada dasar sumur yaitu open hole atau di perforasi.

4.1.1.1.1. Kondisi Open Hole


Berikut ini adalah prosedur perhitungan analisa sistem nodal untuk kondisi
dasar sumur open hole :
1. Siapkan data penunjang yaitu:
a. Kedalaman sumur (D)
b. Panjang pipa salur (L)
c. Diameter tubing (dt)
d. Diameter pipa salur (dp)
e. Kadar air (KA)
f. Perbandingan gas-cairan (GLR)
187

g. Tekanan seperator (Psep)


h. Kurva IPR
2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi pada sumbu datar.
3. Berdasarkan uji tekanan dan produksi terbaru atau berdasarkan peramalan kurva
IPR, plot kurva IPR pada kertas grafik di langkah 2.
4. Ambil laju produksi tetentu (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju produksi
pada grafik prssure traverse baik untuk aliran horizontal maupun untuk aliran
vertikal.
5. Berdasarkan pada qt, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
6. Pilih garis gradien aliran berdasakan perbandingan gas-cairan (GLR). Seringkali
perlu dilakukan interpolasi apabila garis-garis aliran untuk GLR yang diketahui
tidak tercantum.
7. Berdasarkan garis gradien aliran pada pressure traverse tersebut, tentukan tekanan
kepala sumur, Pwh (tekanan upstream) dari Psep (tekanan downstream).
8. Dari harga qt, dp, dan KA pilih grafik pressure traverse untuk aliran vertikal.
9. Pilih garis gradien aliran untuk GLR yang diketahui. Apabila garis gradien aliran
untuk harga GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
10. Gunakan harga Pwh di langkah 7 (Pwh = tekanan downstream) untuk menentukan
tekanan alir dasar sumur (Pwf = tekanan upstream)
11. Ulangi langkah 4 sampai 10 untuk harga laju produksi yang lain. Dengan
demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwf.
12. Plot qt tehadap Pwf pada kertas grafik yang memuat kurva IPR (langkah 3). Kurva
yang terbentuk disebut kurva tubing intake (TIP).
13. Berdasarkan letak kurva tubing intake terhadap kurva IPR terdapat tiga
kemungkinan, yaitu:
188

a. Kurva tubing intake di atas kurva IPR sehngga tidak dapat ditentukan titik
potongnya. Hal ini berarti bahwa sumur tersebut mati untuk sistem pipa
produksi yang digunakan.
b. Kurva tubing intake tidak memotong kurva IPR, tetapi perpanjangan kurva
tubing intake dapat memotong kurva IPR. Apabila hal ini ditemui, ulangi
langkah 4 sampai dengan 10 untuk harga laju produksi lain yang dapat
menyambung kurva pipa intake sehingga akan memotong IPR pada keadaan c
berikut ini. Disarankan untuk tidak melakukan ekstrapolasi, kecuali apabila
laju produksi yang diperlukan tersedia di pressure traverse.
c. Kurva tubing intake memotong kurva IPR dan perpotongan tersebut
memberikan laju produksi qt. Hal ini berarti bahwa untuk sistem rangkaian
tubing di dalam sumur dan pipa salur di permukaan, sumur dapat berproduksi
sebesar qt.
14. Dengan membuat variasi ukuran tubing dan pipa salur, maka dapat diperoleh
kondisi optimum.

4.1.1.1.2. Kondisi Diperforasi


Dari percobaan pendekatan yang telah dilakukan oleh Dr. Harry McLeod
untuk mengevaluasi sumur yang diperforasi, menunjukkan bahwa disekitar lubang
bor akan terdapat daerah yang mengalami kompaksi dan daerah yang mengalami
kerusakan. Untuk formasi yang kuat, pengaruh dari luas penampang aliran dan
panjang perforasi adalah terhadap laju aliran fluida ke lubang sumur.
Berikut ini adalah prosedur perhitungan analisa sistem nodal untuk kondisi
dasar sumur di perforasi :
1. Siapkan data penunjang yaitu:
a. Kedalaman sumur (D)
b. Panjang pipa salur (L)
c. Diameter tubing (dt)
d. Diameter pipa salur (dp)
189

e. Kadar air (KA)


f. Perbandingan gas-cairan (GLR)
g. Tekanan seperator (Psep)
h. Kurva IPR
i. Tebal formasi produktif (ft)
j. Kerapatan perforasi per foot (SPF)
k. Panjang lubang perforasi (in)
l. Jari-jari lubang perforasi (in)
m. Teknik perforasi (overbalance atau underbalance)
2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi ada sumbu datar.
3. Berdasarkan uji tekanan dan produksi terbaru atau berdasarkan peramalan kurva
IPR, plot kurva IPR pada ketas grafik di langkah 2. Tekanan alir dasar sumur
yang diperoleh dari persamaan kurva IPR merupakan tekanan di permukaan
formasi produktif (sandface).
4. Ambil laju produksi tententu (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse baik untuk aliran horisontal maupun aliran
vertikal.
5. Berdasarkan pada qt, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
6. Pilih garis gradien aliran berdasarkan perbandingan gas-cairan (GLR). Seringkali
perlu dilakukan interpolasi apabila garis-garis aliran untuk GLR yang diketahui
tidak tercantum.
7. Berdasarkan garis gradien aliran pada pressure traverse tersebut, tentukan tekanan
kepala sumur, Pwh (tekanan upstream) dari Psep (tekanan downstream).
8. Dari harga qt, dp, dan KA pilih grafik pressure traverse untuk aliran vertikal.
9. Pilih garis gradien aliran untuk GLR yang diketahui. Apabila garis gradien aliran
untuk harga GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
190

10. Gunakan harga Pwh di langkah 7 (Pwh = tekanan downstream) untuk menentukan
tekanan alir dasar sumur (Pwf = tekanan upstream)
11. Ulangi langkah 4 sampai 10 untuk harga laju produksi yang lain. Dengan
demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwf.
12. Hitung tekanan dasar sumur di permukaan formasi produktif (sandface),
berdasarkan harga laju produksi yang digunakan di langkah 4 sampai 10.
13. Hitung perbedaan tekanan di dasar sumur, antara tekanan di permukaan formasi
produktif dan di kaki tubing, yaitu tekanan di dasar sumur dari langkah 12
dikurangi dengan tekanan dasar sumur pada langkah 11, pada harga laju produksi
yang sama. Plot antara laju produksi dengan perbdaan tekanan di dasar sumur
tersebut.
14. Berdasarkan data perforasi, hitung kehilangan tekanan sepanjang formasi.
15. Plot perbedaan tekanan (kehilangan tekanan) terhadap laju produksi pada kertas
grafik yang sama dengan plot di langkah 13.
16. Perpotongan kurva dari langkah 13 dengan kurva dari langkah 15 (kurva
kehilangan tekanan dalam perforasi) menunjukkkan laju produksi yang diperoleh
pada kerapatan perforasi yang dimaksud.
17. Dengan mengubah harga kerapatan perforasi maka dapat ditentukan kerapatan
perforasi yang optimum.

4.1.1.2. Perhitungan Sistem Nodal Untuk Titik Nodal Di Kepala Sumur


Tujuan dipilihnya kepala sumur sebagai titik nodal adalah digunakan untuk
melihat pengaruh ukuran pipa saluran dan tubing terhadap laju produksi yang di
peroleh. Dengan membuat kurva pipa salur dan kurva tubing untuk beberapa ukuran
maka dapat dipilih kombinasi ukuran pipa salur dan tubing terbaik seperti terlihat
pada Gambar 4.4.
Titik awal nodal dari sistem ini adalah cristmass tree. Seluruh sistem dibagi
atas dua komponen, dengan maksud untuk dapat memecahkan masalah laju alir.
Separator dan flow line dianggap sebagai suatu komponen seperti terlihat seperti pada
191

Gambar 4.5. dan reservoir dengan tubing string dianggap sebagai satu komponen
lainnya Gambar 4.6. dimulai dari Pr asumsikan laju alir yang mengalir ke lubang
sumur. Untuk mendapatkan harga Pwf gunakan plot IPR yang tepat atau dengan
menggunakan tekanan Pwf tersebut, dan terus bergerak naik ke atas tubing string
untuk mendapatkan harga tekanan kepala sumur ( Pwh ), dimana Pwh sangat penting
untuk menentukan laju aliran.

Gambar 4.4.
Plot Kurva Tubing dan Kurva Pipa Salur
(Pudjo S, 1990)

Gambar 4.5.
Komponen Separator dan Flow Line
(Pudjo S, 1990)
192

Gambar 4.6.
Arah Perhitungan Analisa Nodal Dengan Kepala Sumur Sebagai Titik Nodal
(Pudjo S, 1990)
Analisa sistem nodal untuk titik nodal di kepala sumur, dibedakan menjadi
dua prosedur tergantung pada ada atau tidaknya jepitan di kepala sumur.

4.1.1.2.1. Kondisi Tanpa Jepitan


Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut:
1. Siapkan data penunjang, yaitu:
a. Kedalaman sumur (D)
b. Panjang pipa salur (L)
c. Diameter tubing (dt)
d. Diameter pipa salur (dp)
e. Kadar air (KA)
f. Perbandingan gas-cairan (GLR)
g. Tekanan seperator (Psep)
193

h. Kurva IPR
2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi ada sumbu datar.
3. Ambil laju produksi tertentu, (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse untuk aliran horizontal.
4. Berdasarkan pada qt, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
5. Pilih garis gradien aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
6. Dari Psep (tekanan downstream) tentukan tekanan kepala sumur P wh (tekanan
upstream) dengan menggunakan garis gadien alir di langkah 5. Catat harga Pwh
yang diperoleh.
7. Ulangi langkah 3 sampai dengan 6 untuk berbagai harga laju produksi yang lain.
Dengan demikian diperoleh variasi harga qt terhadap Pwh.
8. Plot qt terhadap Pwh pada ketas grafik dilangkah 2. Kurva yang terbentuk disebut
kurva pipa salur.
9. Ambil laju produksi tertentui (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada kertas grafik pressure traverse untuk aliran vertikal.
10. Berdasarkan harga qt, dt, , dan KA pilih grafik pressure traverse aliran vertikal.
11. Pilih garis gradien aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk harga GLR tersebut tidak diketahui, lakukan interpolasi.
12. Menurut persaman IPR yang diperoleh dari uji tekanan dan produksi terbaru atau
menurut peramalan IPR, hitung tekanan aliran dasar sumur (P wf) pada harga qt di
langkah 10.
13. Dari harga Pwf (tekanan upstream) tentukan tekanan kepala sumur, Pwh (tekanan
downstream) dengan menggunakan garis gradien aliran di langkah 11. Catat hara
Pwh yang diperoleh.
14. Ulangi langkah 9 samai 13 untuk berbagai harga laju produksi yang lain. Dengan
demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwh.
194

15. Plot qt terhadap Pwh dari langkah 14 pada krtas grafik langkah ke 2. Kurva yang
diperoleh disebut kurva tubing intake.
16. Apabila kurva tubing memotong pipa salur, maka sumur akan terproduksi dengan
laju produksi (qt) yang ditentukan dari titik perpotongan tersebut. Apabila kurva
tubing tidak memotong kurva pipa salur, maka sumur tidak dapat berproduksi
untuk sistem rangkaian pipa tesebut. Apabila kurva tubing dan kurva pipa salur
tidak berpotongan tetapi perpanjangan kedua kurva tersebut memberikan
kemungkinan untuk berpotongan, maka ulangi langkah 3 sampai dengan untuk
harga laju produksi yang lain, sehingga kurva tubing dan kurva pipa salur dapat
diperpanjang, dan kemudian tentukan titik potongnya. Titik potong ini
memberikan laju produksi yang diperoleh. Tidak dibenarkan melakukan
ekstrapolasi, kecuali laju produksi tidak tersedia di grafik pressure traverse.
17. Dengan membuat kurva tubing dan kurva pipa salur untuk berbagai ukuran tubing
dan ukuran pipa salur, maka dipilih pasangan ukuran tubing dan pipa salur yang
dapat menghsilkan laju produksi yang optimum.

4.1.1.2.2. Kondisi Dengan Jepitan


Prosedur perhitungannya adalah sebagai berikut:
1. Siapkan data penunjang, yaitu:
a. Kedalaman sumur (D)
b. Panjang pipa salur (L)
c. Diameter tubing (dt)
d. Diameter pipa salur (dp)
e. Kadar air (KA)
f. Perbandingan gas-cairan (GLR)
g. Tekanan seperator (Psep)
h. Kurva IPR
i. Ukuran jepitan
195

2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi ada sumbu datar.
3. Ambil laju produksi tertentu, (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse untuk aliran horizontal.
4. Berdasarkan pada qt, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
5. Pilih garis gradien aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
5. Berdasarkan persamaan IPR yang diperoleh dari tekanan dan produksi terbaru
atau menurut peramalan IPR, hitung tekanan alir dasar sumur (P wf) pada harga di
langkah 3.
6. Dari harga Pwf (tekanan upstream) tentukan tekanan kepala sumur (tekanan
downstream) dengan menggunakan garis gradien aliran di langkah 5.
7. Ulangi langkah 3 sampai dengan 7 untuk berbagai harga laju produksi yang lain.
Dengan demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwh.
8. Plot qt terhadap Pwh dari langkah 8 pada kertas grafik langkah 2. Kurva yang
diperoleh disebut kurva tubing.
9. Pilih korelasi aliran fluida dalam jepitan yang sesuai dengan kondisi lapangan.
10. Berdasarkan korelasi yang dipilih, buat hubungan antara laju poduksi degan
tekanan kepala sumur.
11. Plot antara laju porduksi terhadap tekanan kepala sumur yang diperoleh dari
langkah 11, pada kertas grafik langkah 2. Kurva yang diperoleh disebut sebagai
kurva jepitan.
12. Perpotongan antara kurva tubing dengan kurva jepitan menunjukkan harga laju
produksi yang dihsilkan oleh sumur, dengan menggunakan ukuran jepitan yang
diberikan.
13. Untuk mengetahui pengaruh ukuran jepitan terhadap laju produksi sumur, maka
dibuat kurva jepitan dengan menggunakan langkah 11, untuk beberapa ukuran
jepitan yang berbeda.
196

14. Perpotongan kurva-kurva jepitan dengan kurva tubing menunjukkan laju produksi
yang dipeoleh untuk setiap ukuran jepitan.

4.1.1.3. Perhitungan Sistem Nodal Untuk Titik Nodal Di Separator


Arah perhitungan analisa Nodal jika Separator digunakan sebagai titik nodal
ditunjukkan pada Gambar 4.7. Komponen reservoir dan sistem pipa di dalam sumur
dan di permukaan ditentukan dengan harga tekanan Separator yang direncanakan,
secara grafis ditunjukkan pada diagram laju produksi - tekanan pada Gambar 4.8.
Cara ini digunakan untuk melihat dengan mudah pengaruh tekanan separator terhadap
laju produksi yang akan diperoleh.

Gambar 4.7.
Arah Perhitungan Analisa Nodal Dengan Separtor Sebagai Titik Nodal
(Pudjo S, 1990)
197

Gambar 4.8.
Kurva Analisa Sistem Nodal Pada Titik Noda di Separator
(Pudjo S, 1990)
Berikut ini adalah prosedur perhitungan analisa sistem nodal untuk titik nodal di
Separator :
1. Siapkan data penunjang yaitu :
 Kedalaman sumur ( D )
 Panjang pipa saluran ( L )
 Diameter tubing ( dt )
 Diameter pipa saluran ( dp )
 Kadar air ( KA )
 Perbandingan gas-cairan ( GLR )
 Tekanan separator ( Psep)
 Kurva IPR
2. Pada kertas grafik kartesian buat system sumbu dengan tekanan pada
sumbu tegak dan laju produksi pada sumbu datar.
3. Plot kurva IPR pada kertas grafik di langkah 2.
198

4. Anggap laju produksi (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse untuk aliran horizontal dan vertikal.
5. Pilih grafik pressure traverse aliran vertical sesuai dengan qt, KA, dan dt.
Apabila KA tidak sesuai dengan KA yang tersedia pada grafik, pilih grafik
pressure traverse dengan KA yang terdekat.
6. Pilih kurva gradient tekanan aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila
untuk harga GLR tersebut tidak tersedia kurva gradient alirannya lakukan
interpolasi.
7. Bedasarkan kurva IPR dilangkah 3, baca harga tekanan alir dasar sumur,
Pwf pada qt.
8. Gunakan grafik pressure traverse (langkah 5) dan kurva gradient aliran
(langkah 6) untuk menentukan tekanan kepala sumur Pwh (tekanan
downstream) berdasarkan (tekanan upstream, lihat lngkah 4 pada
perhitungan tekanan upstream atau downstream).
9. Catat haraga Pwh yang diperoleh.
10. Pilih grafik pressure traverse aliran vertical sesuai dengan qt, KA, dan dt.
Apabila KA tidak sesuai dengan KA yang tersedia pada grafik, pilih grafik
pressure traverse dengan KA yang terdekat.
11. Pilih kurva gradient tekanan aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila
untuk harga GLR tersebut tidak tersedia kurva gradient alirannya lakukan
interpolasi.
12. Gunakan grafik pressure traverse (langkah 10) dan kurva gradient aliran
(langkah 11) untuk menentukan tekanan masuk di separator (Pins)
berdasarkan harga Pwh dari langkah 9.
13. Catat harga Pins dan qt.
14. Ulangi langkah 4 sampai dengan 13 untuk berbagai harga laju produksi
Dengan demikian akan diperoleh hubungan antara Pins terhadap qt.
15. Plot harga Pins terhadap qt pada kertas grafik di langkah 2.
199

16. Plot Psep pada sumbu tekanan dan dari titik ini tari garis datar ke kanan
sampai memotong kurva yang diperoleh dari langkah 15.
17. Perpotongan tersebut menunjukkan laju produksi yang diperoleh.

4.2. Sumur Buatan (Artificial Lift)


4.2.1. Gas Lift
Gas lift didefinisikan sebagai suatu proses atau metode pengangkatan fluida
dari lubang sumur dengan cara menginjeksikan gas yang bertekanan relatif tinggi ke
dalam kolom fluidanya.

4.2.1.1. Prinsip Kerja Gas Lift


Pengangkatan fluida dengan cara gas lift didasarkan pada pengurangan
gradien tekanan fluida di dalam tubing, pengembangan dari gas yang diinjeksikan
serta pendorongan fluida oleh gas injeksi yang bertekanan tinggi.

4.2.1.2. Tipe Gas Lift


Ada dua cara pengangkatan buatan dengan metode gas lift, yaitu
penginjeksian secara kontinyu (continuous flow gas lift) dan penginjeksian terputus-
putus (intermittent flow gas lift).

4.2.1.2.1. Continuous Gas Lift


Dalam continuous flow gas lift, volume yang kontinyu dari gas bertekanan
tinggi diinjeksikan ke dalam fluida dalam tubing sehingga menurunkan harga tekanan
alir pada dasar sumur dan sumur tersebut dapat mengalirkan fluida yang ada di dalam
reservoir.
Metode ini digunakan pada sumur yang mempunyai Productivity Index (PI)
tinggi dan tekanan statis dasar sumur (Ps) tinggi, relative terhadap kedalaman sumur,
dimana PI tinggi besarnya adalah > 0.5 B/D/psi dan Ps tinggi artinya dapat
mengangkat kolom cairan minimum 70% dari kedalaman sumur.
200

Pada tipe sumur ini, laju produksi berkisar antara 200 – 20000 B/D, melalui
ukuran tubing yang normal.

4.2.1.2.2. Intermittent Gas Lift


Intermittent flow gas lift digunakan pada sumur-sumur dengan volume fluida
rendah atau sumur-sumur yang mempunyai Productivity Index (PI) rendah dan Ps
rendah, dimana PI rendah mampunyai besar < 0.5 B/D/psi dan Ps rendah artinya
kolom cairan yang terangkat kurang dari 70%.
Dalam intermittent flow gas lift, gas diinjeksikan secara terputus-putus pada
selang waktu tertentu sehingga dengan demikian injeksi gas merupakan suatu siklus
injeksi dan diatur sesuai dengan rate fluida yang mengalir dari formasi ke lubang
sumur.
Intermittent flow gas lift juga dapat disesuaikan dengan gas “multi-point”
melalui lebih dari satu katub gas lift. Instalasi ini harus direncanakan sehingga katub
gas lift paling bawah terbuka sementara slug paling bawah melewati masing-masing
katub.
Secara normal, jenis pengangkatan seperti ini dilaksanakan dengan
menggunakan katub-katub fluid-operated (tekanan fluida dalam tubing yang
dominan).

4.2.1.3. Peralatan Gas Lift


Peralatan gas lift dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu peralatan di atas
permukaan dan peralatan di bawah permukaan, dimana peralatan-peralatan tersebut
saling berhubungan dalam kelancaran proses gas lift.

4.2.1.3.1. Peralatan Gas Lift Diatas Permukaan


Peralatan di atas permukaan adalah peralatan instalasi gas lift yang mencakup
1. Well Head
201

Well head sebenarnya bukan alat khusus bagi gas lift saja tetapi juga
merupakan salah satu alat yang digunakan pada metode sumur sembur alam,
dimana dalam periode masa produksi, alat ini berfungsi untuk
menggantungkan tubing atau casing disamping itu well head merupakan
tempat dudukan x-mass tree.
2. X-mass Tree
Gas diinjeksikan ke dalam annulus sesudah melalui motor yang
berfungsi mengatur jumlah gas yang masuk ke dalam sumur dan tekanan gas
injeksi dijaga agar konstan.
3. Stasiun Kompressor
Alat ini berfungsi untuk menaikan tekanan gas injeksi sesuai dengan
keperluan. Di dalam stasiun kompressor ini terdapat beberapa buah
kompressor yang dihubungkan dengan manifold. Dari stasiun kompressor ini,
gas bertekanan tinggi dikirim ke sumur-sumur gas lift melalui stasiun
distribusi.
4. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat
beberapa cara, antara lain :
a. Sistem Distribusi Langsung
Di dalam stasiun ini terdapat system manifold yang menuju ke sumur-
sumur secara langsung, system ini kurang effisien karena mampunyai
beberapa kelemahan, antara lain :
1. Penggunaan stasiun pusat compressor yang tidak rasionil karena
kebutuhan gas yang tidak sama untuk setiap sumur.
2. Pemakaian pipa transport gas yang panjang sehingga tidak
ekonomis.
b. Sistem Distribusi dengan Pipa Induk
System ini lebih ekonomis karena panjang pipa dapat diperkecil, tetapi
adanya hubungan langsung antara satu sumur dengan sumur lainnya,
202

jika salah satu sumur sedang diinjeksikan gas maka sumur lain sumur
lain bisa terpengaruh.
c. Sistem Distribusi dengan Stasiun Distribusi
System ini sangat rasional dan banyak dipakai, gas dibawa dari pusat
compressor ke stasiun distribusi kemudian dibagi ke sumur-sumur
dengan menggunakan pipa.
5. Peralatan Kontrol
Peralatan kontrol yang digunakan dalam operasi gas lift adalah :
a. Choke control dan regulator
Choke control adalah alat yang berfungsi untuk mengatur jumlah gas
yang diinjeksikan, sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka)
gas tersebut dapat mancapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan.
Choke control ini dilengkapi pula dengan regulator yang berfungsi
untuk membatasi gas injeksi yang dibutuhkan. Bila gas injeksi cukup
maka regulator akan menutup. Choke control dan regulator tersebut
hanya khusus dipergunakan untuk intermittent gas lift.
b. Time cycle control
Alat ini berfungsi untuk mengontrol aliran gas injeksi dalam
intermittent gas lift untuk interval waktu tertentu. Time cycle control
dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.

4.2.1.3.2. Peralatan Gas Lift Dibawah Permukaan


Peralatan di bawah permukaan dari metode gas lift tidak berbeda jauh dengan
peralatan pada sumur sembur alam, hanya pada gas lift ditambah dengan valve
(katup) gas lift. Secara umum pemakaian katub gas lift berfungsi untuk :
1. Untuk mengosongkan sumur dari fluida workover atau kill fluid supaya injeksi
gas dapat mencapai titik optimum di dalam sumur.
2. Mengatur aliran injeksi gas ke dalam tubing baik proses unloading maupun
proses pengangkatan fluida.
203

Industri gas lift telah mengkategorikan katup gas lift tergantung pada mana
yang paling sensitif berpengaruh terhadap proses membuka katup (valve), apakah
tekanan casing (Ps) yang disebabkan oleh kolom gas injeksi dalam casing atau
tekanan tubing (Pt) yang ditentukan oleh kolom fluida dalam tubing. Sensitivitas ini
ditentukan oleh konstruksi mekanik dari katup gas lift. Tekanan yang bekerja pada
bagian yang paling luas dari katup (valves) merupakan tekanan yang paling dominan
berpengaruh pada valve tersebut.
Ada 4 (empat) macam katup gas lift, yaitu :
1. Casing pressure operated valve ( pressure valve)
Valve jenis ini 50-100% sensitive terhadap tekanan casing pada posisi tertutup
dan 100% sensitive terhadap tekanan casing pada posisi terbuka. Membutuhkan
penambahan tekanan casing untuk membuka valve dan pengurangan tekanan casing
untuk menutup valve.
2. Throttling pressure valve
Valve ini disebut juga proportional valve atau continuous flow valve. Valve
ini sama dengan pressure valve pada posisi tertutup, akan tetapi pada posisi terbuka
valve ini sensitive terhadap tekanan tubing. Valve ini membutuhkan penambahan
tekanan casing untuk membuka dan pengurangan tekanan tubing atau tekanan casing
untuk menutup.
204

Gambar 4.9.
Skema Thortling Pressure Valve
(Brown K, 1980)
3. Fluid operated valve
Katup ini konstruksinya hampir sama dengan casing pressure operated valve,
tetapi tekanan tubing bekerja pada permukaan bagian valve yang lebih luas,
sedangkan tekanan casing bekerja pada permukaan yang lebih kecil. Gambar 4.5
memperlihatkan sketsa untuk jenis valve ini.

Gambar 4.10.
Fluid Operating Valve
(Brown K, 1980)
4. Combination valve
Valve ini juga disebut fluid open-pressure closed valve. Valve ini
membutuhkan penambahan tekanan fluid untuk membuka dan pengurangan tekanan
casing atau tekanan tubing untuk menutup.

4.2.1.4. Instalasi Gas Lift


205

Secara umum macam instalasi secara prinsip dipengaruhi oleh apakah sumur
itu akan ditempatkan sebagai aliran intermittent atau aliran continyu, juga pemilihan
jenis valve tergantung pada sumur yang akan ditempatkan sebagai sumur intermittent
gas lift atau sebagai sumur continuous gas lift.
Kondisi sumur akan menentukan jenis instalasi yang akan dipilih. Tipe
complesi juga penting, misalnya openhole completion, perforated completion atau
gravel packed completion. Selain itu untuk perencanaan instalasi gas lift juga
diperhatikan masalah produksi pasir, water conning atau gas coning.
Dalam menentukan tipe instalasi awal harus bertitik tolak dari kemampuan
sumurnya termasuk tekanan dasar sumur dan Productivity Index (PI).

4.2.1.4.1. Instalasi Terbuka


Pada installasi ini tubing dipasang dalam sumur tanpa packer dan standing
valve, gas diinjeksikan melalui casing-tubing annular dan fluida diproduksikan
melalui tubing. Tipe ini baik untuk continuous gas lift, dimana packer tidak dipasang
dengan suatu alasan seperti gas tidak dapat menyembur di sekitar tubing. Jika
instalasi ini digunakan pada intermittent gas lift maka pada saat shut-down time fluida
akan ke annulus casing. (Gambar 4.11).

4.2.1.4.2. Instalasi Setengah Tertutup


Installasi setengah tertutup mirip dengan intallasi terbuka, bedanya pada
installasi ini dipasang packer dan tidak menggunakan standing valve (Gambar 4.11).
Installasi ini cocok untuk continuous flow gas lift dan intermittent flow gas lift.

4.2.1.4.3. Instalasi Tertutup


Pada installasi tertutup mirip dengan instalasi setengah tertutup hanya pada
installasi tertutup dipasang packer dan standing valve (Gambar 4.11). Standing valve
diletakan dibawah valve yang paling bawah atau pada ujung tubing string,
206

dimaksudkan untuk mencegah masuknya gas yang diinjeksikan ke dalam


sumur.Standing valve ini dipasang pada installasi intermittent gas lift dan dengan
pemasangan ini akan menaikan laju produksi.

Gambar 4.11.
Tipe Instalasi Gas Lift
(Brown K, 1980)

4.2.1.5. Perencanaan Gas Lift


Sebelum perencanaan gas lift maka diadakan evaluasi sumur terlebih dahulu
karena pengkajian ini menyangkut sejarah sumur dari awal mulai diproduksikan
beserta sifat-sifat sumur tersebut hingga saat sumur direncanakan akan dilakukan
metode artificial lift dengan gas lift.
Perencanaan instalasi gas lift yang umum akan berdasarkan prinsip-prinsip di bawah
ini :
207

1. Valve sebagai titik injeksi atau biasa disebut operating valve harus diletakkan
sedalam mungkin sesuai dengan tekanan injeksi gas yang tersedia, rate gas
dan produksi minyak/liquid yang diinginkan.
2. Sedangkan valve-valve yang bertindak sebagai unloading hanya merupakan
sarana menuju operating valve. Unloading valve dalam keadaan normal harus
selalu tertutup, sehingga hanya satu valve saja yang terbuka yakni operating
valve.
Semua valve diset di permukaan pada temperatur 60oF, tekanan setting ini
dikoreksi terhadap temperatur sesungguhnya di dalam sumur. Valve-valve
tersebut akan berurutan tertutup mulai dari yang paling atas dan terus ke
bawah selama gas diinjeksikan menuju operating valve.
3. Operating valve harus yang paling dalam.

4.2.1.5.1. Perencanaan Continuous Gas Lift


Apabila dapat diperkirakan gradient tekanan aliran rata-rata di bawah dan di atas titik
injeksi, maka Pwf dapat dihitung dengan persamaan :
Pwf = Pt + Gfa L+ Gfb (D – L) ................................................................ ....(4-3)
Keterangan :
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
Pt = Tekanan pada well head, psi
Gfa = Gradient tekanan rata-rata di atas titik injeksi, psi/ft
Gfb = Gradient tekanan rata-rata di bawah titik injeksi, psi/ft
L = Kedalaman titik injeksi, ft
D = Kedalaman total sumur, ft
Dengan demikian tujuan daripada perencanaan gas lift ini adalah menentukan
Pwf yang diperlukan supaya sumur dapat berproduksi dengan rate yang diinginkan,
yaitu dengan cara menginjeksikan gas pada suatu kedalaman tertentu ke dalam tubing
sehingga Pwf dapat dicapai.
208

Prosedur perencanaan continuous gas lift meliputi : penentuan titik injeksi,


spasi katup, jumlah gas yang diinjeksikan dan tekanan operasi valve sebelum valve di
pasang.

a. Penentuan Titik Injeksi


Pada dasarnya makin besar tekanan gas yang diinjeksikan akan makin dalam
pula letak titik injeksinya, makin dalam titik injeksi akan memperbesar tekanan
drawdown dengan demikian laju produksi akan makin besar.
Titik perpotongan antara garis gradient tekanan alir dasar sumur di bawah titik
injeksi dengan garis gradient tekanan gas injeksi di atas titik injeksi merupakan titik
keseimbangan, artinya tekanan di dalam tubing dan annulus adalah sama (tidak
terjadi aliran), agar terjadi aliran dari annulus ke dalam tubing, maka titik
keseimbangan harus dikurangi tekanannya (sekitar 100 psi). Titik potong hasil
perpotongan ini merupakan titik injeksi (Gambar 4.12)
Prosedur penentuan letak titik injeksi secara grafis dapat dilakukan dengan
langkah-langkah berikut :
a. Plot kedalaman vs tekanan pada kertas grafik, dimana kedalaman pada sumbu
ordinat dan tekanan pada sumbu absis.
b. Plot tekanan statis dasar sumur (SBHP) pada kedalaman sumur/tengah perforasi.
c. Tentukan besarnya tekanan drawdown yang diperlukan untuk memproduksi laju
produksi yang diinginkan.
d. Tentukan tekanan alir dasar sumur (Pwf) dengan cara mengurangi SBHP dengan
tekanan drawdown.
e. Plot Pwf pada kedalaman sumur/ tengah perforasi.
f. Dari titik Pwf plot gradient tekanan alir di bawah titik injeksi ke arah atas. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan kurva gradien tekanan alir yang sesuai
dengan GLRf, atau dengan gradient tekanan campuran yang dapat dihitung
dengan rumus :
209

Gf mix  WOR (Gfo)  (1  WOR )Gfw ..........................................(4-4)


Keterangan :
Gfmix = Gradient tekanan campuran
Gfo = Gradient tekanan minyak = SGo (0.433)
Gfw = Gradient tekanan air = SGw (0.433)
g. Plot titik tekanan kick off (Pko) dimana Pko yang besarnya 50 psi lebih rendah
dari tekanan kick off yang tersedia (Pko = Pko -50) dan tekanan operasi (Pso)
yang besarnya 100 psi lebih rendah dari tekanan operasi yang tersedia (Pso = Pso
– 100) pada kedalaman 0 (di permukaan)
h. Dari titik Pso, tarik garis ke bawah sampai memotong garis gradient tekanan alir
di bawah titik injeksi dengan memperhitungkan gradient gas injeksi. Gradient gas
injeksi dapat diperoleh dengan menggunakan Weight of Gas Colomn Chart
(Gambar 4.13 dan Gambar 4.14). Titik potong ini merupakan titik
keseimbangan antara tekanan tubing dan annulus atau Point of Balance (POB).
i. Tentukan Point of Injection (POI) yang besarnya 100 psi lebih kecil dari POB
(POI = POB – 100 psi) pada kurva gradient tekanan alir.
j. Plot tekanan kepala sumur (Pwh) pada kedalaman 0 (di permukaan)
k. Dari titik Pwh , plot gradient tekanan alir di atas titik injeksi dengan
menghubungkan POI dengan Pwf. Dengan menggunakan kurva gradient tekanan
alir yang sesuai, kurva ini akan menunjukkan perbandingan gas cairan (GLR)
total.
210

Gambar 4.12.
Ilustrasi Penentuan Letak Titik Injeksi
(Brown K, 1980)

b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi


Syarat utama yang harus dipenuhi gas injeksi adalah jumlahnya tersedia
cukup selama proses penginjeksian berlangsung, kemudian tekanannya harus mampu
sampai ke operating valve sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan sumber gas
yang baik untuk gas lift adalah bila gasnya cukup kering. Gas kering yang tidak
mengandung cairan hidrokarbon serta air akan mengurangi masalah-masalah
operasional seperti korosi.
Jika sumber gas dari sumur gas atau separator yang digunakan, maka
diperlukan serangkaian proses seperti compression maupun dehydration. Gas yang
mengandung Carbon Dioxside (CO2) atau Hydrogen Sulfide (H2S) dapat
menimbulkan masalah seperti korosi, karena itu kedua impurities tersebut sedapat
mungkin dihilangkan agar tidak mengganggu operasi gas lift, seperti berkaratnya
valve yang menyebabkan valve gas tidak bisa masuk dan bercampur dengan fluida di
dalam tubing.
Besarnya jumlah gas injeksi untuk masing-masing sumur dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
211

q gi  GLRoptimum  qt max atau q gi  GLRt  GLR f  qt max ............. ....(4-5)

Keterangan :
qgi = Laju injeksi gas, scf/day
qt max = Laju produksi total maksimum, stb/day
GLRoptimum = Gas liquid ratio, scf/stb
GLRt = Gas liquid ratio total, scf/stb
GLRf = Gas liquid ratio formasi, scf/stb
Koreksi qgi pada temperatur titik injeksi :
q gi  q gi  correction

Correction  0.0544 Sgi(Tpoi)


Keterangan :
Sgi = Specific gravity gas injeksi
Tpoi = Temperatur pada titik injeksi, oR.

c. Penentuan Spasi Valve


Spasi valve gas lift dimaksudkan sebagai letak dari beberapa unloading valve,
yaitu katup yang berfungsi untuk mengeluarkan kill fluid yang ada dalam annulus
pada waktu dilakukan injeksi. Untuk kondisi normal, katup ini akan tertutup di bawah
kondisi produksi hingga hanya katup operasi yang terletak pada kedalaman titik
injeksi yang terbuka.
Proses unloading valve terdiri dari dua bagian, yaitu penentuan kedalaman
yang diperlukan untuk tiap katup dan perhitungan setting tekanan yang diperlukan
oleh tiap katup (dilakukan di permukaan sebelum katup tersebut dimasukan ke dalam
sumur). Spasi katup dan setting tekanan harus dapat memenuhi dua hal, yaitu :
a. Dapat mengalirkan fluida dari annulus masuk ke dalam
tubing hingga mencapai kedalaman katup operasi atau titik
injeksi dengan tekanan injeksi yang tersedia
212

b. Dapat membuka salah satu katup di bawah kondisi produksi


tanpa membuka katup di atasnya.
Prosedur penentuan spasi katup secara grafis dapat dilakukan dengan
menggunakan kurva penentuan titik injeksi, adapun langkah-langkahnya sebagai
berikut :
1. Buat garis perencanaan tekanan tubing yang didapatkan dengan menarik garis
dari (P2,0) dengan POI. Dimana P2 = Pwh + 0.2 (Pso)
2. Tarik garis Kill Fluid Gradient dari Pwh sebesar 0.4 – 0.5 psi/ft hingga
memotong garis injeksi gas (Pko), dimana Pko = Pko – 50. Titik ini
merupakan kedalaman valve pertama (Dv1) atau valve yang paling atas.
3. Untuk menentukan kedalaman valve kedua (2), (3),…dst, dapat dilakukan
beberapa cara, diantaranya :
a. Surface Opening Pressure (Pso) tetap
b. Surface Opening Pressure (so) berkurang 25 psi untuk setiap valve.
I. Penentuan kedalaman valve dengan Pso tetap
1. Tarik garis horizontal dari Dv1 hingga memotong garis perencanaan
tubing.
2. Dari perpotongan garis perencanaan tubing dengan garis horizontal, tarik
garis sejajar dengan garis Kill Fluid Gradient sebesar 0.4 – 0.5 psi/ft
hingga memotong garis Pso, dimana Pso = Pso – 100. Titik potong
tersebut merupakan kedalaman valve 2 (Dv2).
3. Lakukan langkah 1 dan 2 untuk Dv3, Dv4,..dst sampai pada kedalaman
katup yang lebih dalam dari titik injeksi (POI), sehingga diperoleh :
valve (1)…….ft
valve (2)…….ft
valve (3)…….ft
dst
II. Penentuan kedalaman valve dengan Pso berkurang 25 psi
213

1. Tarik garis horizontal Dv1 hingga memotong garis perencanaan tekanan


tubing.
2. Dari perpotongan garis perencanaan tekanan tubing dengan garis
horizontal, tarik garis sejajar dengan garis Kill Fluid Gradient sebesar 0.4
– 0.5 psi/ft hingga memotong garis injeksi 25 psi lebih rendah dari garis
Pko (Pso1). Titik potong tersebut merupakan kedalaman valve 2 (Dv2).
3. Ulangi langkah langkah tersebut di atas untuk menentukan Dv3, Dv4, dst
sampai pada kedalaman katup yang lebih dalam dari titik injeksi (POI)
Dari langkah tersebut diatas, kita peroleh sebagai berikut :
Valve no. Kedalaman Pso
1 Dv1 Pko
2 Dv2 Pko – 25
3 Dv3 Pko – 50
Dimana Pko = Pko - 50
Sedangkan penentuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko  Pwh
Dv1 
Gs
Pso1, so 2....  Pwh  Dv1, v 2...(Gu)
Dv 2, v3...  Dv1, v 2..  ............. ....(4-6)
Gs
Keterangan :
Dv1, v2… = Kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = Tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = Tekanan kepala sumur, psi
Gs = Gradient kill fluid, psi/ft
Gu = Gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 4.15 dan Gambar 4.16)

d. Penentuan Tekanan Buka Valve


214

Penentuan ukuran port dan tekanan buka katup dilakukan dengan langkah –
langkah sebagai berikut :

1. Siapkan data penunjang seperti pada penentuan letak kedalaman katup.


2. Di bagian atas kanan pada grafik penentuan spasi katup buat skala temperatur
pada sumbu tekanan dan plot titik (Ts,0) dan (Td,D) dan hubungkan titik
tersebut.
3. Pada setiap katup yang didapat, baca :
a. Kedalaman katup (Dv)
b. Tentukan tekanan gas injeksi dalam casing (Pvo), yaitu :
- Untuk katup pertama Pvo1 dibaca dari garis gradient gas yang dibuat
mulai dari (Pko,0), sesuai dengan Dv1
- Untuk katup-katup berikutnya Pvo2 dst dibaca dari garis gradient gas
yang dibuat dari (Pso,0) sesuai dengan Dv2 dst.
c. Tekanan tubing (Pt) dibaca dari penentuan garis tekanan tubing.
d. Temperatur (Tv) dibaca pada garis gradient temperatur berturut-turut Tv1,
Tv2, dst sesuai dengan kedalaman masing-masing katup Dv1, Dv2, dst.
l. Tentukan ukuran port setiap katup dengan menggunakan Gambar 4.17 dan
Gambar 4.18
Cara menggunakan grafik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Mulai dari Pvo (Upstream Pressure) dibuat garis tegak sampai
memotong garis Pt (DownStream Pressure).
b. Dari titik potong ini buat garis mendatar ke kiri.
c. Pada sumbu Gas Throughput (qgi), plot qgi koreksi ke bawah sampai
berpotongan dengan garis dari langkah 4b.
d. Ukuran port yang dipilih adalah titik potong dari langkah 4c. apabila
tidak tepat pada garis yang tersedia, tentukan ukuran port berdasarkan
garis terdekat.
215

m. Berdasarkan diameter luar tubing dan diameter dalam casing, pilih ukuran
katup. Ukuran yang tersedia adalah 1 dan 1.5 in.
n. Berdasarkan ukuran port dan ukuran katup, tentukan harga R dan 1 – R untuk
setiap katup, menurut persamaan :
Ap
R ......................................................................................(4-7)
Ab
Keterangan :
Ap = Luas port, in2
 (d 2 )
= , d = ukuran port, in
4
Ab = Luas bellow, in2
Untuk katup 1 in, Ab = 0.32 in2
Untuk katup 1.5 in, Ab = 0.77 in2
o. Tentukan tekanan tutup valve pada lokasi kedalaman valve Pvc, dimana Pvc
sama dengan tekanan dome valve (Pd), atau bisa dihitung :
Pd  Pvc  Pvo(1  R)  PtR
p. Tentukan tekanan dome (pd) untuk setiap valve pada temperatur 60oF,
menurut persamaan :
Pd @ 60  Ct ( Pd )
Ct didapat dari Tabel IV-2
q. Hitung tekanan setting di work shop (Ptro) pada temperatur 60oF, dengan
persamaan :
Pd @ 60
Ptro 
1 R

4.2.1.5.2. Perencanaan Intermittent Gas Lift


Perencanaan sumur intermittent gas lift meliputi : penentuan jumlah gas
injeksi penentuan spasi katup dan penentuan tekanan katup di bengkel (kondisi
standart).
216

a. Penentuan Spasi Valve


Penentuan spasi valve dapat secara analitis dan secara grafis.
Langkah –langkah yang harus dilakukan untuk perencanaan spasi valve secara
grafis adalah sebagai berikut :
1. Pada kertas grafik kartesian buat sistem sumbu koordinat dengan kedalaman
sebagai sumbu tegak dan tekanan sebagai sumbu datar.
2. Plot titik (Pso,0), Pso = Tekanan yang tersedia - 50
3. Tentukan gradient gas dengan grafik (Gambar 4.13 dan Gambar 4.14) dan buat
garis gradient gas dalam sumur mulai dari titik (Pso,0) dan perpanjang garis
tersebut sampai di dasar sumur.
4. Plot tekanan tubing di permukaan (untuk intermittent gas lift, tekanan ini sama
dengan tekanan separator).
5. Tentukan gradient unloading dengan menggunakan grafik (Gambar 4.15 dan
Gambar 4.16) sesuai dengan ukuran tubing dan rate yang diinginkan.
6. Plot garis gradient unloading berdasarkan Gu dari langkah 5 mulai dari tekanan
separator di permukaan dan perpanjang garis tersebut sampai dasar sumur.
7. Tentukan tekanan penutup yang konstan di permukaan, yaitu :
Psc = Pso – 100
8. Tentukan gradiet gas dengan grafik (Gambar 4.13 dan Gambar 4.14) dan buat
garis gradient gas dalam sumur mulai dari titik (Psc,0) dan perpanjang garis
tersebut sampai di dasar sumur.
9. Tarik garis kill fluid dengan gradient 0.4 psi/ft – 0.5 psi /ft dari Psep. Perpanjang
garis tersebut sampai memotong garis Pso, perpotongan ini merupakan letak titik
valve (1).
10. Dari perpotongan tersebut (langkah 9), buat garis horizontal ke kiri sampai
memotong garis unloading.
11. Dari perpotongan (langkah 10), buat garis sejajar dengan gradient fluida yang
mematikan sumur (langkah 9) sampai memotong garis gradient gas yang berawal
dari titik (Psc,0), titik ini merupakan letak dari valve (2).
217

12. Dari perpotongan tersebut (langkah 11), buat garis horizontal ke kiri sampai
memotong garis unloading.
13. Lakukan langkah 11 dan 12 untuk mendapatkan letak katup Dv3, Dv4, dst
lanjutkan sampai dasar sumur.
Sedangkan penentuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko  Pwh
Dv1  .................................................................................(4-8)
Gs
Pso1, so 2....  Pwh  Dv1, v 2...(Gu)
Dv 2, v3...  Dv1, v 2..  .................(4-9)
Gs
Keterangan :
Dv1, v2… = Kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = Tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = Tekanan kepala sumur, psi
Gs = Gradient kill fluid, psi/ft
Gu = Gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 4.15 dan Gambar 4.16)
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Gas yang diperlukan untuk mengangkat slug cairan dari dasar sumur ke
permukaan adalah volume gas yang diperlukan untuk mengisi tubing pada tekanan
gas rata-rata bawah slug dari dasar sumur ke permukaan. Langkah-langkah untuk
menentukan besarnya gas injeksi adalah :
1. Siapkan data penunjangnya sebagai berikut :
a. Kedalaman katup operasi (umumnya di ujung tubing)
b. Tekanan buka katup operasi (Pv), di hitung dengan rumus :
Pv  Pso  Ggi.D
Keterangan :
Pv = Tekanan buka katup operasi pada kedalaman, psi
Pso = Surface operating pressure, psi
218

Ggi = Gradient tekanan gas injeksi, psi/ft


2. Pilih grafik yang sesuai dengan ukuran tubing dan tekanan separator
3. Plot kedalaman katup pada sumbu kedalaman
4. Dari titik tersebut tarik garis horizontal ke kanan sampai memotong sumbu
volume gas
5. Baca volume gas injeksi yang diperlukan (qgi, MMCF)

c. Penentuan Tekanan Buka Katup


Prosedur menentukan tekanan buka katup adalah sebagai berikut :
1. Dari hasil spasi katup, buat skala temperatur yang berhimpitan dengan sumbu
tekanan
2. Plot titik (Ts,0) dan (Tb,D) kemudian hubungkan kedua titik tersebut
3. Baca temperatur untuk setiap kedalaman katup (Tv)
4. Baca tekanan tubing untuk setiap kedalaman katup (Pt), untuk katup terbawah
digunakan harga Pt = 0.5(Pr)
5. Baca tekanan tutup katup setiap kedalaman (Pvc), Pvc = Pd
6. Tentukan ukuran port yang diperlukan, sebagai berikut :
a. Tentukan perubahan tekanan dalam casing (ΔPd) berdasarkan jumlah
gas yang diinjeksikan serta ukuran casing dan tubing.
b. Hitung harga R untuk setiap katup :
Pd
R
Pvc  Pd  Pt
c. Tentukan ukuran port masing-masing katup dengan membandingkan
harga R dari langkah b dengan harga R dari ukuran pada Tabel IV-1

Tabel IV-1
“R values” Bellow Area and Seat Area Relationship for Ab = 0.77 in2 for 1 ½”
valve and 0.29 in2 for 1” Valve
(Brown K, 1980)
219

DIAMETER OF FOR 1“ O.D VALVES FOR 1 ½” O.D VALVES


SPREAD R 1–R R 1–R
CONTROL
SEAT (IN)
3
16 0.0863 0.9137 0.0359 0.9641
¼ 0.1534 0.8466 0.0638 0.9362
9
32 0.1942 0.8058 - -
5
16 0.2397 0.7603 0.0996 0.9004
11
32 0.2900 0.7100 - -
3
8 0.3450 0.6550 0.1434 0.8566
7
16 0.4697 0.5303 0.1952 0.8048
½ - - 0.2562 0.7438
9
16 - - 0.3227 0.6773

7. Hitung tekanan buka katup (Pvo) pada setiap kedalaman katup


Pvc
Pvo   Pt (TEF )
1 R
8. Tentukan tekanan dome (Pd) untuk setiap valve pada temperatur 60oF, menurut
persamaan :
Pd @ 60  Ct ( Pd )
Ct didapat dari Tabel IV-2
9. Hitung tekanan setting di work shop (Ptro) pada temperatur 60oF, dengan
persamaan :
Pd @ 60
Ptro 
1 R
220

Tabel IV-2
Temperatur Correction Factor (Ct) for Nitrogen Based on 60oF
(Brown K, 1980) 6)
221

Gambar 4.13.
Weight of Gas Colomn Chart
(Brown K, 1980)
222

Gambar 4.14.
Weight of Gas Colomn Chart
(Brown K 1980)
223

Gambar 4.15.
Unloading Gradient Chart
(Brown K, 1980)
224

Gambar 4.16.
Unloading Gradient Chart
(Brown K, 1980)
225

Gambar 4.17.
Penentuan Ukuran Port
(Brown K, 1980)
226

Gambar 4.18.
Penentuan Ukuran Port
(Brown K, 1980)
227

Gambar 4.19.
Grafik Pressure Traverse 6)
(Brown K, 1980)
228

4.2.2. Electrical Submersible Pump (ESP)


Electric Submersible Pump (ESP) dibuat atas dasar pompa sentrifugal
bertingkat banyak, dimana keseluruhan dari pompa dan motornya ditenggelamkan
kedalam cairan. Pompa ini digerakkan dengan motor listrik dibawah permukaan
melalui suatu poros motor (shaft) yang memutar pompa, dan akan memutar sudu-
sudu (impeller) pompa. Perputaran sudu-sudu itu menimbulkan gaya sentrifugal yang
digunakan untuk mendorong fluida ke permukaan.

4.2.2.1. Prinsip Kerja Electrical Submersible Pump


Fluida masuk ke dalam pompa melalui intake akan diterima oleh stage
paling bawah dari pompa, impeller akan mendorongnya masuk, maka fluida tersebut
akan terlempar keluar dan diterima oleh diffuser. Oleh diffuser tenaga kinetis
(velocity) fluida akan diubah menjadi tenaga potensial (tekanan) dan diarahkan ke
stage berikutnya. Pada proses tersebut fluida akan memiliki energi yang semakin
besar dibandingkan pada saat masuk. Kondisi ini terjadi secara terus menerus,
sehingga tekanan head pompa berbanding linier dengan jumlah stage, artinya semakin
banyak stage yang dipasangkan, maka semakin besar kemampuan pompa untuk
mengangkat fluida.

4.2.2.2. Peralatan Electrical Submersible Pump


Secara umum peralatan Electric Submersible Pump (ESP) dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Peralatan di atas permukaan.
2. Peralatan di bawah permukaan.
Pada Gambar 4.20. memperlihatkan secara lengkap peralatan diatas dan dibawah
permukaan dari Electric Submersible Pump (ESP).
229

Gambar 4.20.
Peralatan Electrical Submersible Pump (ESP)
(Brown K, 1980)
230

4.2.2.2.1. Peralatan ESP Diatas Permukaan


Peralatan diatas permukaan meliputi Wellhead, Junction Box, Switchboard,
dan Transformer.
A. Wellhead
Wellhead atau tubing head adalah tempat untuk menggantungkan tubing di
dalam sumur. Karena dengan adanya kabel dari permukaan ke motor, maka wellhead
yang digunakan untuk instalasi ESP tentu saja tidak sama dengan wellhead untuk
sumur sembur alam, tetapi disesuaikan dengan keperluan adanya lubang sebagai
tempat lewatnya power cable.
B. Junction Box
Junction box ditempatkan di antara kepala sumur dan switchboard untuk alas an
keamanan. Gas dapat mengalir keatas melalui kabel dan naik ke permukaan menuju
switchboard, yang bias menyebabkan terjadinya kebakaran, karena itu kegunaan dari
junction box ini adalah untuk mengeluarkan gas yang naik keatas tadi. Junction box
biasanya 15 ft (minimum) dari kepala sumur dan normalnya berada diantara 2 sampai
3 ft diatas permukaan tanah.
Fungsi dari junction box antara lain :
 Sebagai ventilasi terhadap adanya gas yang mungkin bermigrasi
kepermukaan melalui kabel agar terbuang ke atmosfer.
 Sebagai terminal penyambung kabel dari dalam sumur dengan kabel dari
switchboard.
C. Switchboard
Swichboard adalah sebuah alat yang dikendalikan dan mengontrol operasi
peralatan pompa yang ada di bawah permukaan. Alat ini merupakan kombinasi dari
motor stater, alat pencatat tegangan, alat penstabil tegangan arus listrik selama pompa
masih dalam kondisi beroperasi. Swichboard yang diproduksikan terdiri dari
bermacam-macam jenis dan ukuran, mulai dari yang bertegangan 440 volt, sampai
231

dengan 480 volts. Untuk pemakaian Swichboard ini kita harus memperhitungkan
beberapa faktor, yaitu besarmnya HP dari motor, voltage dan ampere.

D. Transformer
Fungsi dari transformer adalah mengatur tegangan dari pembangkit tenaga
listrik menjadi suatu tegangan yang diperlukan motor untuk dapat menggerakkan
sistim ESP. Transformer dipilih berdasarkan besarnya KVA yang diperlukan.

4.2.2.2.2. Peralatan ESP Dibawah Permukaan


Electrical Submersible Pump unit yang berada dibawah permukaan
didefenisikan sebagai suatu kesatuan peralatan yang digantungkan di ujung tubing
produksi dan dibenamkan kedalam sumur fluida. Motor listrik dipasang pada bagian
paling bawah kemudian diatasnya protector. Pompa dan gas Separator yang
merupakan tempat masuknya fluida ke dalam pompa multi stage, yang dipasang pada
bagian paling atas. Motor listrik dihubungkan ke swicthboard oleh cable listrik yang
di ikat sepanjang tubing. Fungsi dari motor ini adalah untuk menggerakkan shaft
pompa sehingga impeller-impellernya berputar. Putaran motor listrik umumnya
dirancang dengan kecepatan 3500 putaran per menit (RPM), dengan frekwensi 60 hz.
Motor diisi dengan minyak yang tahan terhadap tegangan listrik yang tinggi.
Motor didesain untuk tegangan yang dapat dipakai antara 230 sampai 5000 volt,
dengan satuan listrik 12 sampai 125 Ampere. Penambahan daya HP dari motor
dilakukan dengan merangkai panjang motornya.
Rangkaian motor tandem (bertingkat) dapat mencapai 750 HP dengan panjang
sekitar 90 ft. Selain ukuran motor, yang perlu diperhatikan adalah horse power dan
seri motor. Jenis seri menunjukkan diameter motor yang harus sesuai dengan
diameter dalam dari casing sumur, yang dapat dilihat pada Gambar 4.21.
A. Kabel
Kabel dipakai sebagai sarana penghantar daya listrik dari permukaan ke motor
yang letaknya di dalam sumur. Kabel selain tahan temperatur dan tekanan fluida,
232

serta kedap terhadap resapan liquid dari sumur. Untuk itu kabel harus memiliki
bagian seperti :
- Konduktor - Sarung
- Isolasi

Gambar 4.21.
Motor Pompa ESP
(Brown K, 1980)

Ada dua jenis kabel yang biasa dipakai round cable atau flat cable. Jenis-jenis
kabel dapat dilihat pada Gambar 4.22.
Kabel listrik terdiri dari tiga kabel yang diisolir satu sama lain dengan
pembalut dari karpet. Ketiganya terbungkus oleh suatu pelindung yang terbuat dari
233

baja penampang kawat tembaga berubah-ubah fungsi tegangan arus dari motor dan
biasanya dipilih antara 16,25 atau 35 mm2. Hubungan antara tubing dan kabel
dilakukan dengan pertolongan kabel clamp.

Gambar 4.22.
Kabel
(Brown K, 1980)

B. Protector (Seal Section)


Protector diletakkan di antara motor dan pompa. Fungsinya :
 Tempat menyimpan bahan pelumas untuk pompa.
 Tempat menyimpan minyak untuk pompa.
 Menjaga tekanan dalam pompa dan motor agar selalu lebih besar dari tekanan di
luar pompa.
 Mencegah masuknya cairan ke dalam motor.
Protector terdiri dari dua kamar yaitu kamar atas dan kamar bawah. Keduanya
dipisahkan oleh piston. Tekanan hidrostatis cairan dalam pompa sumur masuk ke
dalam protector melalui orifice dan bekerja pada piston. Karena tegangan di dalam
kamar atas, tekanan dijaga agar lebih besar tekanan di luar pompa. Di dalam kamar
atas dimasukkan minyak pelumas pompa, sedangkan di dalam kamar bawah
permukaan dimasukkan minyak motor. Pemilihan protector dilakukan sesuai dengan
pompa. Protector (Seal Section) dapat dilihat pada Gambar 4.23.
234

Gambar 4.23.
Protector ( Seal Section )
(Brown K, 1980)

C. Intake Section (Separator Gas)


Pada umumnya yang tidak banyak mengandung gas, cukup dengan
menggunakan pump intake, sedangkan untuk sumur yang mengandung gas terutama
dissolved gas (gas terlarut dalam minyak) sangat perlu menggunakan separator gas,
yang dapat ditunjukkan pada Gambar 4.24. Kegunaan dari separator gas, adalah :
1. Mencegah turunnya head capacity yang dapat dihasilkan oleh pump.
2. Mencegah terjadinya gas lock dan kavitasi pompa terutama pada flow rate
(laju aliran) yang tinggi dan fluida yang mengandung gas, dengan demikian
akan dapat memperbaiki efisiensi pompa.
235

3. Mencegah terjadinya fluktuasi beban pada motor penggeraknya.


4. Mengurangi adanya surging (tekanan dan sentakan).

Gambar 4.24.
Gas Separator
(Brown K, 1980)

D. Pompa Centrifugal
Pompa submersible adalah tipe pompa centrifugal multi tingkat. Setiap tingkat
terdiri dari bagian yang bergerak yaitu impeller dan bagian yang stasioner (tidak
bergerak) yaitu diffuser. Tipe dan ukuran dari tiap tingkat menentukan volume dari
fluida yang dapat diproduksi. Jumlah tingkatnya menentukan jumlah head yang
236

dihasilkan, apabila dikalikan dengan daya (HP) per tingkat dan spesific gravity-nya,
maka jumlah HP motor yang dibutuhkan dapat ditentukan.
Pompa tandem adalah beberapa single pump (pompa tunggal) yang disusun
seri baik secara hydraulic untuk memberikan total head dari pompa yang dibutuhkan
untuk keperluan tertentu.
Komponen ini, seperti halnya poros pompa dibuat khusus yang tahan korosi, scale,
temperatur tinggi, pasir dan jumlah tingkat yang digunakan untuk ukuran tertentu
tergantung pada head pengangkatan.
E. Motor Lead Cable
Motor lead cable disebut juga motor lead extension dan berbentuk flat (pipih).
Panjangnya dibuat sepanjang pothead pada motor sampai dengan bagian atas dari
pompanya, yang kemudian disambungkan dengan power kabelnya.
Seal section, gas separator dan pompa dengan flat cable ini dimasukkan agar
total diameter luar rangkaian pompa dan motor lead cable tidak terlalu besar untuk
dimasukkan sumur, terutama pada sumur yang menggunakan liner yang ukurannya
lebih besar dari diameter casing. Motor lead cable diberi pelindung (cable guards)
untuk mencegah kerusakan pada waktu dimasukkan ke dalam sumur.

4.2.2.3. Perencenaan Electrical Submersible Pump


Perencanaan pompa ESP bertujuan untuk menentukan jenis dan ukuran
pompa (jumlah stage, jenis motor, kabel, transformeter dan switchboard) sesuai
merek dagang terpilih, data produksi, konfigurasi sumur, dan karakteristik reservoir.

Adapun langkah kerja perencanaan pompa ESP adalah sebagai berikut :


1. Mengisi data yang diperlukan (data sumur, reservoir dan fluida).
2. Menghitung berat jenis rata-rata dan gradient tekanan fluida produksi menurut
persamaan :
1  SGminyak  WOR  SGair
SGratarata  ................................ ..(4-10)
1  WOR
237

Gradient fluida (GF) = 0.433  SG


Bila mengandung gas, menguurangi GF sekitar 10 %.
3. Menentukan kedudukan pompa (HPIP) kurang lebih 100 ft di atas lubang
perforasi teratas. Jarak antara motor dan lubang perforasi teratas (HS) kurang
lebih 50 ft.
4. Menentukan laju produksi yang diinginkan dengan cara memilih, kemudian
mencoba harga Pwf untuk menentukan harga laju produksi total dengan
persamaan :
Qtot  Ps  Pwf xPI ................................................................ ..(4-11)
Menghitung laju produksi yang diinginkan (Qo) menurut persamaan :

1
Qo   Qtot .................................................................. ..(4-12)
1  WOR
Apabila harga tersebut belum selesai, mengulangi dengan memilih harga Pwf
dengan penjajalan.
5. Menghitung pump intake (PIP) dengan persamaan :
PIP = Pwf – GF  (HS – HPIP) ................................................. ..(4-13)
Harga PIP harus lebih besar dari BPP (tekanan jenuh). Bila tidak terpenuhi,
mengulangi langkah 4 dan 5 dengan laju produksi yang lebih rendah.
6. Menghitung arus cairan kerja Zf1 = HS – (Pwf / GF).
7. Menentukan kehilangan tekanan sepanjang tubing (HF) dengan Gambar 4.25.
8. Menghitung Total Dynamic Head (TDH) menurut persamaan :
THP
TDH   Zf1  Hf ............................................................. ..(4-14)
GF
9. Memilih jenis dan ukuran pompa dari catalog perusahaan pompa bersangkutan
dengan gambar yang menunjukkan efisiensi maksimum untuk laju produksi yang
diperoleh dari langkah 4.
Membaca harga head capacity (HC) dan daya kuda motor (HP motor) pada laju
produksi tersebut.
238

10. Menghitung jumlah stages (tingkat) :


Jumlah Stages = TDH / HC ........................................................ ..(4-15)
11. Menghitung daya kuda yang diperlukan :
HP = HP motor  jumlah stages ................................................. ..(4-16)

Gambar 4.25.
Chart Kehilangan Tekanan Dalam Pipa
(Brown K, 1980)
12. Menentukan jenis motor yang memenuhi HP tersebut.
13. Menghitung kecepatan aliran di annulus (FV) motor untuk masing-masing jenis
motor :
239

0.0119  Q total
FV  ............................................. ..(4-17)
(ID casing) 2  (OD motor) 2
Jenis motor dan OD motor terkecil yang memberikan FV > 1 ft/detik adalah
pasangan yang harus dipilih.
14. Membaca harga arus listrik (A) dan tegangan listrik motor (Vmotor) yang
dibutuhkan untuk jenis motor yang bersangkutan.
15. Memilih jenis kabel dari harga arus listrik tersebut, dianjurkan memilih kabel
yang mempunyai kehilangan tegangan di bawah atau sekitar 30 volt tiap 1000 ft.
Vkabel = (HS – 50)  V / 1000 ft
16. Memilih transformator dan switchboard :
a. Menghitung tegangan yang diperlukan motor dan kabel :
(Vtot) = Vmotor + Vkabel ............................................................ ..(4-18)
b. Menghitung KVA = 1.73  Vtot  A/1000 ...................................... ..(4-19)
c. Menentukan transformator yang memenuhi hasil perhitungan 16b dari Tabel
IV-7. karena aliran tiga fasa maka transformator adalah sepertiga dari hasil
perhitungan 16b.
17. Melakukan perhitungan total tegangan pada waktu start sebagai berikut :
a. Kebutuhan tegangan start = 20.35  voltage rating.
b. Kehilangan tegangan selama start = 3  kehilangan tegangan biasa.
18. Membandingkan apakah total tegangan pada waktu start tidak melebihi tegangan
yang dikeluarkan oleh switchboard. Apabila tidak melebihi, berarti perencanaan
telah betul, apabila melebihi, maka dilakukan pengulangan dari langkah 16.

4.2.3. Sucker Rod Pump


Sucker rod pump atau sering juga disebut beam pumping ialah salah satu
metode artificial lift yang memanfaatkan gerakan naik- turun dari plunger untuk
mendorong fluida reservoir ke permukaan.
240

4.2.3.1. Prinsip Kerja Sucker Rod Pump


Gerak rotasi dari prime mover diubah menjadi gerak naik turun oleh sistem
pitman-crank assembly, kemudian gerak naik turun ini oleh horse head, dijadikan
gerak lurus naik turun (angguk) untuk menggerakan plunger melalui rangkaian rod.
Pada saat up stroke plunger bergerak ke atas menyebabkan tekanan di bawah turun.
Karena tekanan dasar sumur lebih besar dari tekanan dalam pompa, akibatnya
standing valve terbuka dan minyak masuk ke dalam barrel. Pada saat down stroke
beban fluida yang ada di dalam barrel dan tekanan yang diakibatkan oleh naiknya
plunger, maka standing valve menutup sedangkan travelling valve pada plunger
terbuka akibat tekanan minyak yang tidak di dalam barrel, selanjutnya pada saat up
stroke maksimum minyak akan dipindahkan ke dalam tubing. Proses ini dikakukan
secara berulang-ulang, sehingga minyak dapat mengalir ke permukaan.

Gambar 4.26.
Mekanisme Kerja Sucker Rod
(Brown K, 1980)
241

4.2.3.2. Peralatan Sucker Rod Pump


Peralatan pompa sucker rod dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
peralatan di atas permukaan dan di bawah permukaan.

Gambar 4.27.
Sucker Rod System
(Brown K, 1980)

4.2.3.2.1. Peralatan Sucker Rod Pump Diatas Permukaan


Peralatan di atas permukaan ini memindahkan energi dari suatu prime mover
ke sucker rod. Selain itu peralatan ini juga mengubah gerak berputar dari prime
mover menjadi suatu gerak bolak balik dan juga mengubah kecepatan prime mover
menjadi langkah pemompaan yang sesuai.
a. Prime mover
Merupakan penggerak utama, dimana prime mover akan memberikan gerakan
putar yang diubah menjadi gerak naik turun pada polish rod dan sucker rod untuk
diteruskan ke peralatan bawah permukaan. Prime mover dapat berupa mesin gas,
diesel, motor bakar dan listrik. Prime mover ini disesuaikan dengan tersedianya
242

sumber tenaga tersebut. Jadi pemilihan motor diusahakan mempunyai daya yang
cukup untuk mengangkat fluida dan rangkaian rod dengan kecepatan yang
diinginkan.
b. V-Belt
merupakan sabuk untuk memindahkan gerak dari prime mover ke gear
reducer.
c. Gear Reducer
berfungsi mengubah kecepatan putar dari prime mover menjadi langkah
pemompaan yang sesuai. Gear reducer juga merupakan transmisi yang berfungsi
untuk mengubah kecepatan putar dari prime mover, gerak putaran prime mover
diteruskan ke gear reducer dengan menggunakan belt. Dimana belt ini dipasang
engine pada prime mover dan unit sheave pada gear reducer.
d. Crank Shaft
Merupakan poros crank yang berfungsi untuk mengikat crank pada gear
reducer dan meneruskan gerak.
e. Crank
Merupakan sepasang tangkai yang menghubungkan crank shaft pada gear
reducer dengan counterbalance. Pada crank ini terdapat lubang-lubang tempat pitman
bearing. Besar kecilnya langkah atau stroke pemompaan yang diinginkan dapat diatur
disini, dengan cara mengubah-ubah pitman bearing.
Apabila kedudukan pitman bearing ke posisi lubang mendekati counterbalance, maka
langkah pemompaan menjadi bertambah besar atau sebaliknya, apabila menjauhi
jarak antara crank shaft sampai dengan pitman bearing sebagai polish stroke length,
yang fungsinya meneruskan gerak berputar dari crank shaft pada gear reducer ke
walking bean pitman.
f. Counterbalance
Adalah sepasang pemberat yang fungsinya :
- Untuk mengubah gerak berputar dari prime mover menjadi gerak naik turun.
243

- Menyimpan tenaga prime mover pada saat down-stroke atau pada saat
counterbalance menuju ke atas, yaitu pada saat kebutuhan tenaga kecil atau
minimum
- Membantu tenaga prime mover pada saat up-stroke (saat counterbalance
bergerak ke bawah) sebesar tenaga potensialnya, karena kerja prime mover
yang terbesar adalah pada saat up-stroke (pompa bergerak ke atas) dimana
sejumlah minyak ikut terangkat ke atas permukaan.
g. Pitman
Adalah penghubung antara walking beam pada equalizer hearing dengan
crank. Lengan pitman merubah gerakan berputar menjadi gerakan naik turun.
h. Walking Bean
Merupakan tangkai horizontal di bawah horse head. Fungsinya merupakan
gerak naik turun yang dihasilkan oleh pasangan pitman-crank-counterbalance,
kerangkaian pompa di dalam sumur melalui rangkaian rod.
i. Counterwieght
Berfungsi menjepit polished rod dan letaknya dibagian atas dari polished rod.
Jepitan ini kemudian diletakkan diatas carrier bar sehingga polished rod dapat
bergerak sesuai dengan gerakan carrier bar.
j.Horse head.
Menurunkan gerak dari walking bean ke unit pompa di dalam sumur melalui
bridle, polish rod dan sucker string atau merupakan kepala dari walking bean yang
menyerupai kepala kuda.
k. Bridle
Merupakan nama lain dari wire line hanger, yaitu merupakan sepasang kabel baja
yang disatukan pada carrier bar.
l. Carrier bar
Merupakan alat yang berfungsi sebagai tampat bergantungnya rangkaian rod dan
polished rod, penyangga dari polished rod clamp.
m. Polished rod Clamp
244

Komponen yang bertumpu pada carrier bar yang fungsinya untuk mengeraskan
kaitan polish rod pada carrier bar dan tempat di mana dinamo meter (alat pencatat
unit berapa pompa) diletakkan.

n. Polished rod
Polished rod merupakan bagian teratas dari rangkaian rod yang muncul
dipermukaan. Fungsinya adalah menghubungkan antara rangkaian rod di dalam
sumur dengan perlatan-peralatan di permukaan.
o. Stuffing box
Dipasang di atas kepala sumur (casing atau tubing head) untuk
mencegah/menahan minyak agar supaya tidak keluar bersama naik turunnya polish
rod. Dengan demikian seluruh aliran minyak hasil pemompaan akan mengalir ke
flowline lewat crosstee. Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat kedudukan
polish head rod sehingga dengan demikian polish rod dapat bergerak naik turun
dengan bebas.
p. Sampson post
Merupakan kaki penyangga atau penopang walking bean.
q. Saddle bearing
Adalah tempat kedudukan dari walking bean pada sampson post pada bagian atas.
r. Equalizer
Adalah bagian atau dari pitman yang dapat bergerak secara leluasa menurut
kebutuhan operasi pemompaan minyak berlangsung.
s. Brake
Brake di sini berfungsi untuk mengerem gerak pompa jika dibutuhkan,
misalnya pada saat akan dilakukan reparasi sumur atau unit pompanya sendiri.

4.2.3.2.2. Peralatan Sucker Rod Pump Dibawah Permukaan


245

Untuk peralatan pompa di bawah permukaan (subsurface pump equipment) terdiri


dari empat komponen utama, yaitu : working barrel, plunger, travelling valve dan
standing valve.
a. Working Barrel
Merupakan tempat dimana plunger dapat bergerak naik turun sesuai dengan
langkah pemompaan dan menampung minyak terisap oleh plunger pada saat bergerak
ke atas (up stroke).
1. Working barrel yang terdiri dari sejumlah liner yang diselubungi oleh jacket
(biasanya diberi simbol L)
2. Working barel yang terdiri dari satu bagian utuh dan kuat (diberi simbol H
atau W).
b. Plunger
Merupakan bagian dari pompa yang terdapat didalam barrel dan dapat
bergerak naik turun yang berfungsi sebagai penghisap minyak dari formasi masuk ke
barrel yang kemudian diangkat ke permukaan melalui tubing.
c. Tubing
Seperti halnya pada peralatan sembur alam, tuing digunakan untuk
mengalirkan minyak dari dasar sumur ke permukaan setelah minyak diangkat oleh
plunger pada saat up stroke.
d. Standing Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger dan
berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal ini
terjadi pada saat plunger bergeak ke atas dan selanjutnya standing valve membuka.
Pada saat plunger bergerak ke bawah standing valve akan menutup untuk mencegah
fluida keluar ke annulus.
e. Travelling Valve
Merupakan bola yang ikut bergerak naik turun menurut gerakan plunger dan
berfungsi mengalirkan minyak dari working barrel masuk ke plunger dan hal ini
246

terjadi pada saat plunger bergerak ke bawah serta menahan minyak keluar dari
plunger pada saat plunger bergerak ke atas.
f. Gas Anchor
Merupakan komponen pompa yang dipasang dibagian bawah dari pompa
yang berfungsi untuk memisahkan gas dari minyak agar gas tersebut tidak ikut masuk
ke dalam pompa bersama-sama dengan minyak, untuk menghindari masuknya pasir
atau padatan ke dalam pompa, dan mengurangi atau menghindari terjadinya tubing
stretch.
Gas ini dialirkan masuk ke annulus dan dilepaskan ke permukaan melalui

Ada dua macam type Gas Anchor, yaitu :


- Poorman type
Larutan gas dalam minyak yang masuk ke dalam anchor akan melepaskan diri
dari larutan (bouyancy effect). Minyak akan masuk ke dalam barel melalui
suction pipe, sedangkan gas yang telah terpisah akan dialihkan melalui
annulus. Apabila suction pipe terlalu panjang atau diameternya terlalu kecil,
maka akan terjadi pressure loss yang cukup besar sehingga menyebabkan
terjadinya penurunan PI sumur pompa. Sedangkan apabila suction pipe terlalu
besar akan menyebabkan annulus antara dinding anchor dengan suction pipe
menjadi lebih kecil, sehingga kecepatan aliran minyak besar dan akibatnya
gas masih terbawa oleh butiran-butiran minyak. Diameter gas anchor yang
terlalu besar akan menyebabkan penurunan PI sumur pompa.
- Packer type
Minyak masuk melalui ruang antara dinding anchor dan suction pipe,
kemudian minyak jatuh di dalam annulus antara casing dan gas anchor dan
ditahan oleh packer, selanjutnya minyak masuk ke pompa melalui suction
pipe. Disini minyak yang masuk ke dalam annulus sudah terpisah dari pompa.
g.Tangkai Pompa
Tangkai pompa (sucker rod string) terdiri dari :
247

- Sucker rod
- Pony rod
- Polished rod
- Sucker rod
Merupakan batang/rod penghubung antara plunger dengan peralatan di
permukaan. Fungsi utamanya adalah melanjutkan gerak naik turun dari horse
head ke plunger. Berdasarkan konstruksinya, maka sucker rod dibagi menjadi 2
(dua) :
a. berujung box-pin
b. berujung pin-pin
Untuk menghubungkan antara dua buah sucker rod digunakan sucker rod
coupling. Umumnya panjang satu single dari sucker rod yang sering digunakan
berkisar antara 20-30 ft. Terdapat beberapa macam ukuran sucker rod, seperti
pada tabel di bawah ini, di mana ukuran-ukuran tersebut merupakan standart
API.
Dalam perencanaan sucker rod selalu diusahakan atau yang dipilih yang ringan,
artinya memenuhi kriteria ekonomis, tetapi dengan syarat tanpa mengabaikan
kelebihan (allowable stress) pada sucker rod tersebut. Sucker rod yang dipilih
dari permukaan, sampai unit pompa di dasar sumur (plunger) tidak perlu sama
diameternya, tetapi dapat dilakukan/dibuat kombinasi dari beberapa type dan
ukuran rod. Sucker string yang merupakan kombinasi dari beberapa type dan
ukuran tersebut. Disebut Tappered Rod String.
- Poni rod
Merupakan rod yang mempunyai panjang yang lebih pendek dari panjang rod
umumnya (25 feet). Fungsinya adalah untuk melengkapi panjang dari sucker
rod, apabila tidak mencapai kepanjangan yang dibutuhkan ukurannya adalah : 2,
4, 6, 8, 12 feet.
- Polished rod
248

Adalah tangkai rod yang berada di luar sumur yang mengubungkan sucker rod
string dengan carier bar dan dapat naik turun di dalam stuffing box. Diameter
stuffing box lebih besar daripada diameter sucker rod, yaitu : 1 1/8, 1 ¼, 1 ½, 1
¾. Panjang polished rod adalah :8,11,16, 22 feet.

Gambar 4.28.
Peralatan Bawah permukaan
(Brown K, 1980)
249

Gambar 4.29.
Klasifikasi Pompa menurut API
(Brown K, 1980)
250

Gambar 4.30.
Pump Designation
(Brown K, 1980)

4.2.3.3. Perencanaan Sucker Rod Pump


Perencanaan pompa angguk (sucker rod) bertujuan untuk mendapatkan
parameter-parameter pompa secara optimal sesuai dengan potensi sumur. Sebelum
dilakukan perencanaan pompa perlu dilakukan analisa perhitungan perilaku pompa.
Tujuan dari analisa perhitungan pompa sucker rod ini adalah untuk mendapatkan
perilaku yang efisien dari peralatan yang tersedia.
251

Adapun langkah-langkah perencanaan pompa sucker rod adalah sebagai


berikut :
1. Setting Depth Pompa (L)
L =H – (Pwf/Gf) +S...............................................................................(4-20)
Dimana :
H = Kedalaman sumur dari permukaan sampai top perforasi, ft
Pwf = Tekanan dasar sumur, Psi
Gf = Gradient formasi, psi/ft
S = Submergence, berkisar antara 60 – 100 ft
2. Displacement pompa
PD = Q / ...........................................................................................(4-21)
Dimana :
PD = Pump Displacement, Bbl/day
Q = Laju alir, Bbl/day
 = Densitas
3. Panjang Langkah (stroke)
Berdasarkan L dan PD, maka dari chart pump unit section diperoleh
- API size dan Stroke
4. Penentuan Diameter Plunger, Tubing, Rod SPM
- Berdasarkan API size pada langkah “c” dan kedalaman L maka dari tabel
design data diperoleh :
 Diameter plunger
 Diameter tubing
 Ukuran rod
 Kecepatan Pemompaan (SPM)
5. Acceleration Faktor
 = SN2 / 70500...............................................................................(4-22)
Dimana :
252

S = Panjang langkah, inchi


N = Kecepatan pemompaan, SPM
6. Panjang Langkah Plunger Efektif

40,8L2 5,20GDAP  L1 L2 
SP = S +     ... ......................(4-23)
E E  A1 A2 
Atau :

40,8L2 5,20GDAP  1 1 
SP = S +     ...............................(4-24)
E E  At Ar 
Dimana :
SP = Panjang langkah efektif plunger, in.
 = Acceleration faktor.
L = Setting depth pompa, ft.
E = Modulus elastisitas, besarnya tergantung dari bahan.
D = Working fluid level, ft.
Ap = Luas penampang plunger, sq. In.
Sg = Specific gravity fluida
At = Luas penampang tubing, sq. In.
At = Luas penampang rod, sq. In.
Lt = Panjang tubing, ft.
Lr = Panjang rod, ft.
7. Estimasi Displacement Pompa
Q = K Sp N......................................................................................(4-25)
Dimana :
Q = Estimasi displacement pompa, Bbl/day
K = Konstanta plunger tertentu
Sp = Panjang langkah plunger efektif, in.
N = kecepatan pemompaan, SPM
8. Berat Rod String
253

Wr = L x m......................................................................................(4-26)
Dimana :
Wr = Berat rod string, lb.
L = Setting depth pompa, ft.
m = Berat rod, lb/ft
L & m = Dapat dilihat pada tabel
9. Berat Fluida
Wf = 0,433 Sg (L Ap – 0,294 Wr)....................................................(4-27)
Dimana :
Wf = Berat fluida, lb
Sg = Specific gravity fluida
L = Setting depth pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq.in.
Wr = Berat rod string, lb
10. Beban Polished Rod
Wmax = Wf + Wr ( 1 +  )..........................................................(4-28)
Wmin = Wr (1-  - 0,127 Sg)........................................................(4-29)
11. Rod Stress
Stress maks = Wmaks / Ar, Psi.....................................................(4-30)
Stress min = Wmin / Ar, Psi.......................................................(4-31)
Dimana :
Ar = Luas Penampang rod, sq.in.
12. Counterbalance
Ci = 0,5 Wf + Wr ( 1- 0,127 Sg), lb..................................................(4-32)
13. Torque
(Wmaks  0,95Ci) S
Tp = , lb-in.....................................................(4-33)
2
14. Tenaga Motor
Hh = 7,36 x 10-6 Q Sg L, Hp.............................................................(4-34)
254

Hf = 6,31 x 10-7 Wr S N, Hp.............................................................(4-35)


Hb = 1,5 (Hh + Hf), Hp.....................................................................(4-36)
Dimana :
Hh = Hydraulic horse power to lift fluida
Hf = Subsurface frictional power loss
Hb = Brake horse power
Motor Rating = Hb / 0,75, Hp
Diameter engine sheave prime mover :
D = (N x R x dis) /RPM

4.2.4. Progress Cavity Pump


Progressing Cavity Pump (PCP) adalah salah satu jenis pompa putar (rotary
pump) yang terdiri dari rotor yang berbentuk ulir, yang digerakkan oleh penggerak
mula melalui rods dan drive head, serta berputar di dalam stator yang merupakan
bagian diam dari pompa, yang dihubungkan ke permukaan oleh tubing.
PCP ini terdiri dari dua komponen utama yaitu rotor dan stator yang bergerak
secara rotary dan dalam keadaan normal akan memompa fluida dan mendorongnya ke
permukaan secara positif. Arti positif disini adalah bahwa fluida yang telah masuk ke
dalam pompa seluruhnya akan terus didorong ke permukaan tanpa adanya fluida yang
mengalir belik seperti yang terjadi pada pompa ESP. Dengan demikian PCP ini juga
disebut dengan pompa pemindahan positif atau positif displacement pump.
Mesin penggeraknya walau dapat dengan berbagai mesin, tetapi umumnya
menggunakan motor listrik yang dipasang di permukaan di dekat wellhead yang
dihubungkan dengan perantaraan V-Belt drive ke drive assembly. Drive head
assembly yang dipasang di atas well head terdiri dari beberapa bagian, diantaranya
roda gigi bevel penurunan kecepatan dan pengubah arah putarannya, break assembly
sebagai alat pengaman, drive shaft yang memutar rotor pompa di dalam lubang sumur
melalui rangkaian pony-rod, sucker rod yang di ujung paling bawahnya dihubungkan
255

dengan rotor pompa. Stator pompanya dihubungkan dengan tubing produksi di


permukaan.

4.2.4.1. Prinsip Kerja Progress Cavity Pump


Prinsip kerja progressing Cavity Pump (PCP) sangat berbeda dengan prinsip
kerja pompa sucker rod. Pada pompa sucker rod, pengangkatan dan mengalirnya
fluida ke permukaan disebabkan oleh pergerakan naik turun plunger yang diikuti
dengan membuka dan menutupnya travelling valve dan standing valve oleh adanya
beban kolom fluida yang dipindahkan oleh tubing ke rod string.
Progressing Cavity Pump (PCP) bekerja atas dasar prinsip “Progressing
Cavity” yaitu proses pemindahan rongga-rongga yang terbentuk antara rotor dan
stator yang berlangsung secara terus-menerus, seperti terlihat pada Gambar 4.32.,
dimana rotor yang berputar di dalam stator dan pada waktu berputar secara eksentris
didalam stator, serangkaian rongga-rongga (cavities) yang terpisah 1800 satu sama
lain bergerak maju dari sisi sebelah bawah naik menuju ke sisi pompa disebelah atas,
seperti terlihat pada Gambar 4.32. Pada saat rongga yang satu mengecil, rongga yang
bertentangan atau bersebelahan membesar dengan kecepatan yang sama sehingga
terjadi aliran fluida tanpa kejutan-kejutan, karena tidak ada katup (valve) seperti pada
pompa sucker rod sehingga tidak ada gas yang terperangkap (gas lock) yang dapat
mengurangi efisiensi pompa, dan aliran yang terjadi berlangsung secara terus
menerus tanpa terputus dengan kecepatan rendah yang konstan (low velocity non-
pulsating positive displacement). Pada pompa jenis Progressing Cavity, pompa dapat
menahan tekanan tersekat masing-masing rongga satu sama lain oleh terbentuknya
suatu seal yang berbentuk seperti garis (seal line) antara rotor dan stator pada setiap
rongga.
Kemampuan tekanan pompa ini didasarkan atas jumlah seal line/stage,
dimana panjang 1 stage = 1,5 x panjang pitch stator, atau 1 stage = 3 x panjang pitch
rotor, seperti terlihat pada Gambar 4.32. dengan bertambahnya seal line atau stage,
kemampuan tekanan bertambah, demikian pula kemampuan kedalamannya. Pada
256

jumlah stage yang sama dan kecepatan RPM yang sama, bila tekanan lawan (back
pressure) misalnya di kepala suur dinaikkan melebihi tekanan yang diijinkan untuk
pompa yaitu 100 psi, maka flow rate akan berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya
internal slippage atau tergelincirnya sebagian cairan yang terdapat di antararongga-
rongga (cavities). Jadi besarnya slip ini tergantung pada jumlah stage/seal lines,
viskositas cairan yang dipompakan, ketat longarnya jarak antara rotor dengan stator,
dan pada besarnya tekanan kepala sumur.
Beberapa kelebihan PCP antara lain :
- Mampu memproduksikan fluida yang viskositasnya tinggi (>5000 cp)
- Mampu memproduksikan fluida yang banyak mengandung padatan /pasir tetapi
tahan terhadap abrasi.
- Toleran terhadap adanya kandungan gas bebas
- Tidak punya katup balik (bagian yang bergerak dimana dapat menyebabkan
macet/aus)
- Harganya relatif murah dan rendah pemakaian energi listriknya
- Rendah internal shear ratenya (kecil kemungkinan terjadi emulsi akibat agitasi)
- Sederhana instalasinya dan operasinya, tidak menimbulkan suara tubing
- Mudah perawatan dan pemeliharaannya
-Tidak memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada insertable
PCP
Beberapa batasan dan kesulitan dalam pengoperasian PCP :
- Batas laju produksi maksimum (3150 bbl/day atau 500 m3/day)
- Kedalaman maksimum (6550 ft atau 2000 m)
- Temperatur maksimum (2000 F)
- Efisiensi akan berkurang jika sumur produksi banyak mengandung gas
- Pada rod string tidak terdapat tempat untuk mengatasi problem parafin
- Pump stator akan cenderung rusak jika tidak ada fluida yang dipompakan
- Masih memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada tubular
PCP
257

-Untuk kecepatan tinggi dapat menimbulkan getaran pada rod string, maka diperlukan
tubing anchor dan stabilizer.

4.2.4.2. Peralatan Progress Cavity Pump

Gambar 4.31.
Peralatan Progres Cavity Pump
(Pudjo S, 1990)

Secara umum peralatan Progress Cavity Pump (PCP) dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu diatas permukaan dan bawah permukaan.

4.2.4.2.1. Peralatan Progress Cavity Pump Diatas Permukaaan


258

Peralatan atas permukaan Progressing Cavity Pump (PCP) terdiri dari bagian-bagian
sebagai berikut :
1. Prime Mover
2. Drive Head Assembly
1. Prime Mover
Penggerak pompa utama pada umumnya digunakan motor listrik yang
dipasang dipermukaan dekat well head. Kekuatan dari motor listrik disesuaikan
dengan kebutuhan daya untuk pengangkatan fluida dari dalam sumur. Dengan
menggunakan sarana transmisi (perantara) yang berupa V-Belt, tenaga dari prime
mover diteruskan ke drive shaft kemudian ke rotor untuk mengangkat fluida.

2. Drive Head Assembly


Drive Head Assembly dipasang diatas tubing head dan terdiri dari komponen-
komponen sebagai berikut :
A. Backstop Break Assembly
B. Spiral Bevel Gear Reducer Assembly
C. Stuffing Box Assembly
D. Drive Shaft
A. Backstop Break Assembly
Alat ini disebut juga “Roller-Ramp Overruning Clutch” yang berfungsi
sebagai alat pengaman bagi seluruh peralatan Progressing Cavity Pump (PCP).
Break/rem akan bekerja pada waktu drive shaft berusaha akan berputar balik atau
berputar berlawanan arah dengan jarum jam.
Hal ini dapat terjadi apabila mesin penggeraknya stall (macet atau mati).
Bila mesin penggerak berhenti pada saat keadaan normal, fluida dalam tubing akan
turun melalui elemen pompa. Ketika itu terjadi, rotor pompa dan rod-string akan
berputar balik, makin rendah ketinggian level fluid didalam sumur semakin besar
tekanan hidrostatik yang bekerja.
259

Torqeu (gaya puntir) dibangkitkan oleh motor listrik dan dipindahkan ke rod-
string dan kekuatan dari mesin penggeraknya. Bila mesin penggeraknya berhenti,
rod-string akan berusaha berputar balik untuk menghilangkan torquenya.
Pada waktu rod-string bergerak balik ini, perbedaan ukuran dari roda gigi
penurunan putaran berubah menjadi mempercepat dan memindahkan kecepatan
putaran pada sheave yang bekerja secara potensial dan membahayakan. Tugas dari
backstop break adalah untuk mencegah rod-string dan komponen lainnya berputar
balik, dengan demikian torque yang tersimpan dapat direndam secara terkendali.
Prinsip kerja backstop break assembly adalah terdiri dari roller-ramp
overruning clutch yang dipasakkan kepada drive shaft dan dikelilingi oleh break and
assy (sabuk rem) yang seluruh bagian yang bekerja ditempatkan pada housing dan
diberi penutup.
Overruning clutch menggunakan roller ramp yang dirancang dapat bergerak
bebas pada arah putaran satu dan bekerja pada arah sebaliknya. Pada waktu bekerja
normal dimana drive shaftnya berputar searah jarum jam, alat ini tidak bekerja dan
roller-roller akan mengembang dan bergulir bebas.
Akan tetapi bila drive shaft berusaha untuk berputar balik maka roller-roller
dengan segera terjepit diantara ramp putar dan silinder yang diam dan ditahahan oleh
sabuk remnya. Kekuatan cengkeraman remnya dilepaskan dengan mengendorkan
sedikit ikatan baut penegang (tension bolt) sehingga daya cengkeramnya berkurang.
Alat ini terutama terdiri dari sebuah overruning clutch yang didalamnya terdapat satu
outer race seal dan ditempatkan diatasnya, serta satu lip seal yang ditempatkan
dibawahnya. Terdapat juga 8-roller dan 8-spiline follower, alat ini kemudian
dipasakkan pada drive shaft. Dan sabuk pengeremnya diturunkan mengelilingi outer
racenya.
B Drive Shaft
Ujung bawah dari drive shaft disambungkan dengan pony-rod dan selanjutnya
disambungkan dengan angkaian sucker rod sampai ke ujung rotor pompa.
C. Spiral Bevel gear Reducer Assembly
260

Susunan roda gigi bevel ini gunanya adalah selain untuk mengurangi
kecepatan putaran, juga untuk mengubah arah putarannya secara menyiku sesuai
dengan rotasi dari rotor pompa.
D. Stuffing Box Assembly
Merupakan bagian aas dari drive head assembly, digunakan sebagai penyekat
kebocoran terdiri dari housing yang didalamnya berisi satu set ring-ring packing.
Susunan dari packing adalah sebagai berikut ini.
Pada bagian terbawah dari packing housing dipasang packing washer. Diatas
washer dipasang dua susun ring packing dan diantaranya dipasang lantern rings (ring-
ring lantera) tempat memasukkan grease pelumas. Pada bagian paling atas dipasang
packing gland penekan packing yang terdiri dari dua belahan yang diikat secukupnya
agar tidak terjadi kebocoran antara drive shaft yang berputar dan packingnya.

Gambar 4.32.
Gerakan Rotor dan Stator
(Pudjo S, 1990)
261

Gambar 4.33.
Penampang Pompa PCP
(Pudjo S, 1990)

4.2.4.2.2. Peralatan Progress Cavity Pump Dibawah Permukaan


Gambar peralatan bawah permukaan PCP dapat dilihat pada gambar 4.35 dengan
bagian-bagian sebagai berikut :
1. Gas Anchor
2. Stator
3. rotor
4. Sucker Rod
5. Pony Rod
1. Gas Anchor
Komponen ini merupakan peralatan tambahan dan dipasang pada bagian
bawah. Fungsinya untuk memisahkan gas dari minyak agar gas tidak ikut masuk
kedalam pompa, karena adanya gas akan mengurangi efisiensi pompa.
2. Stator
262

Terletak diatas gas anchor yang dihubungkan dengan tubing produksi dan
berfungsi sebagai kedudukan rotor. Stator ini terbuat dari bahan campuran synthetic
elastomer dengan steel tube yang tahan terhadap korosi dan abrasi.
A. Medium High Acrylonitrile, digunakan untuk sumur-sumur dengan kondisi :
 Specific Gravity (SG) minyak < 300 API.
 Fluida dengan GOR rendah.
 Jika ada CO2.
 Temperatur maksimum 2000F.
B. Ultra High Acrylonitrile, untuk sumur-sumur dengan kondisi :
 SG minyak > 300 API.
 Fluida dengan sedikit gas dalam larutan (GRL  0).
 Temperatur maksimum 2000F.
C. Very High Acrylonitrile, digunakan untuk sumur-sumur dengan kondisi :
 Bila terdapat kandungan asam (H2S) dengan maksimum konsentrasi 15.000
ppm atau 1,5 % dalam larutan.
 Banyak terdapat faktor abrasive (pasir kasar).
 Bila terdapat iron sulfide dan hydrogen sulfide dengan maksimum konsentrasi
20.000 ppm atau 2 % dalam larutan.
 Temperatur maksimum 2000F.
3. Rotor
Rotor ini bentuknya seperti ulir dan merupakan salah satu bagian dari PCP
yang berputar. Komponen ini dimasukkan kedalam tubing dan dihubungkan dengan
sucker rod diatasnya. Rotor ini dibuat dari bahan stainless atau chrome yang tahan
terhadap korosi dan abrasi. Adapun spesifikasi dari rotor adalah :
a. Chrome Plate (Alloy Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya banyak
mengandung faktor abrasive (pasir).
b. Non Plated (Stainless Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya banyak
mengandung asam seperti H2S.
263

4. Sucker Rod
Merupakan penghubung antara rotor dengan peralatan penggerak yang ada di
permukaan. Fungsinya adalah melanjutkan gerak berputar dari Drive Shaft atau Gear
Reducer yang ada didalam drive head ke rotor. Umumnya panjang satu single sucker
rod berkisar antara 25-30ft.
5. Pony Rod
Merupakan sucker rod yang mempunyai ukuran panjang lebih pendek.
Fungsinya adalah melengkapi panjang dari sucker rod apabila panjang dari sucker rod
tidak mencapai panjang yang dibutuhkan. Panjang pony rod adalah 2, 4, 6, 8, 10, dan
12 ft.

Gambar 4.34.
Komponen Rotor dan Stator
(Pudjo S, 1990)
264

Gambar 4.35.
Peralatan Bawah Permukaan
(Pudjo S, 1990)

4.2.4.3. Perencanaan Progress Cavity Pump


1. Mempersiapkan data-data yang diperlukan seperti : data sumur, data produksi,
data pompa, dan data lainnya.
2. Mempersiapkan pembuatan kurva IPR
Menggunakan metode Pudjo Sukarno dengan asumsi :
- Faktor skin sama dengan nol
- Minyak, air dan gas berada pada satu lapisan dan mengalir secara radial.
- WC tinggi
a. Menentukan SG oil, SG campuran, Gradien fluida (GF)
b. Menentukan konstanta P1 dan P2
c. menentukan WC @ Pwf=Ps
265

d. Menghitung konstanta A0, A1, dan A2


e. Menentukan laju produksi total cairan maksimum (Qt maks)
f. Menghitung harga Qo, Qw serta Qtotal berdasarkan harga Qt max (pada
Pwf asumsi lebih kecil atau sama dengan Ps)
g. Mentabulasikan nilai hasil perhitungan (terutama nilai Qo, Wc, Qw dan
Qt).
h. memplot antara (Pwf vs Qo), (Pwf vs Qw) dan (Pwf vs Qtot)
3. Menentukan pump setting depth
a. Mempersiapkan data sumur
b. Menentukan Pump intake pressure (PIP)
PIP = Pwf – GF.(mid depth perforasi – pump intake pump)
untuk perhitungan optimasi dengan asumsi Pwf berubah
PIP = Pwf – GD.(mid depth perfrasi – pump intake - ∆P)
∆P = (Pwf – Pwf asumsi) / GF
c. Menentukan setting depth pompa
PSD optimum = WFL + [(PIP – Pc) / GF]
4. Menentukan lifting capacity dengan asumsi Pflowline
TNL = (pump setting depth terpasang x GF) + Pflowline
5. Menentukan tipe pompa
Berdasarkan TNL dan rate produksi yang diinginkan (dari IPR) dapat
ditentukan tipe pompa dari chart selection pump.
6. Menentukan Pump displacement
Menggunakan tabel ISO equivalent berdasarkan jenis pompa terpilih.
7. Menentukan RPM
Menggunakan kurva performance dari tipe pompa yang digunakan dapat
diperoleh RPM pompanya berdasarkan plot Q vs TNL
8. Menghitung torque
Torque = {(TNL x Q pump displacement) /125} + friction torque
harga friction torque antara 50-200 lb/ft diambil 100-120
266

9. Menghitung horse power motor (HP motor)


HP polished rod =(RPM x torque) / 5252
HP hydraulic = (Q x PSD opt) / 4360
HP motor = HP polished rod + HP hydraulic
10. Menentukan Jenis drive head
Menggunakan tabel jenis drive head berdasarkan spesifikasi pompa.
11. Memilih ukuran V-belt, diameter sheave pump dan diameter sheave motor.
Menggunakan tabel tabel penentuan V-belt, diameter sheave pump dan sheave
motor, yang disesuaikan dengan pump speed yang digunakan.
Penentuan Pump Setting Depth
Suatu batasan umum untuk menentukan letak kedalaman pompa dalam suatu
sumur adalah bahwa harus ditenggelamkan di dalam fluida sumur. Sebelum
perhitungan perkiraan Pump Setting Depth dilakukan, terlebih dahulu diketahui
parameter yang menentukannya, yaitu static fluid level (SFL) dan working fluid level
(WFL) untuk menentukannya digunakan alat sonolog atau dengan operasi wireline,
bila sumur tersebut tidak menggunakan packer. Jika sumur menggunakan packer,
maka penentuan SFL dan WFL dilakukan dengan :
A. Static Fluid Level (SFL, ft)
Apabila sumur dalam keadaan mati (tidak diproduksikan), sehingga tidak ada
aliran, maka tekanan di depan perforasi sama dengan tekanan statik sumur (Ps).
Sehingga kedalaman permukaan fluida di annulus (SFL, ft) adalah :
 Ps Pc 
SFL = D mid perf -    , feet…………………………………(4-37)
 Gf Gf 
B. Working Fluid Level / Operating Fluid Level (WFL, ft)
Bila sumur diproduksikan dengan rate produksi sebesar q (bbl/D), dan
tekanan alir dasar sumur adalah Pwf (psi), maka ketinggian (kedalaman bila diukur
dari permukaan) fluida di annulus adalah :
267

 Pwf Pc 
WFL = D mid perf -   , feet ………………………………(4-38)
 Gf Gf 
Dimana :
SFL = Static fluid level, ft
WFL = Working fluid level, ft
Ps = Tekanan statik sumur, psi
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Minimum
Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump off, oleh karena
ketinggian fluida level di atas pompa relatif sangat kecil atau pendek. Pada kondisi ini
pump intake pressure (PIP) akan menjadi kecil. Jika PIP mencapai harga di bawah
tekanan bubble point (Pb), maka akan terjadi penurunan efficiency volumetric dari
pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan). Pump setting depth (PSD)
minimum dapat ditulis dengan persamaan :
PSD min = WFL + Pb/Gf + Pc/ Gf, ft……………………………..(4-39)
Dimana :
PSDmin = Pump setting depth minimum, ft.
WFL = Working fluid level, ft
Pb = Tekanan buble point, psi
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Optimum
Untuk menentukan kedalaman pompa optimum dapat dipergunakan
persamaan sebagai berikut :
268

Pfop = PIP – Pc………………………………………………….…(4-40)


Dimana :
Pfop = Tekanan kolom fluida di atas pompa, psi
PIP = Pump intake pressure, psi
Apabila gradien fluida (Gf) diketahui, maka dapat ditentukan tinggi kolom
fluida di atas pompa, yaitu :
Pfop
Hfop = ……………………………………………………....(4-41)
Gf
Sehingga apabila kedalaman level fluid pada kondisi operasi (WFL) diketahu,
maka kedalaman pompa dapat ditentukan dengan persamaan :
PSD opt =WFL + Hfop……………………………………………..(4-42)
Dimana :
PSD opt = Pump setting depth optimum, ft
Hfop = tinggi kolom fluida di atas pompa (submerger), ft
Pump Setting Depth Maksimum
Pompa pada keadaan maksimum, juga kedudukan yang kurang
menguntungkan. Karena dalam keadaan ini memungkinkan terjadinya overload
(pembebanan berlebihan), yaitu pengangkatan beban kolom fluida yang terlalu berat.
Kedalaman pump setting depth (PSDmax) dapat didefinisikan :
Pb Pc
PSDmax = D mid perf -  , feet ………………………………..(4-43)
Gf Gf
Dimana :
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pb = Tekanan buble point, psi
269

Gambar 4.36.
Berbagai Posisi Pompa pada Kedalaman Sumur
(Pudjo S, 1990)

Anda mungkin juga menyukai