METODE PRODUKSI
4.1. Sembur Alam (Natural Flow)
Apabila tekanan reservoir cukup besar sehingga mampu mendorong fluida
reservoir dari reservoir ke permukaan, maka sumur yang memproduksi dengan cara
demikian disebut dengan sumur sembur alam. Keadaan demikian umumnya hanya
ditemui pada masa permulaan produksi dan ini tidak dapat dipertahankan karena
adanya penurunan tekanan reservoir.
177
178
vdv
(dP/dL)acc = , merupakan komponen yang ditimbulkan oleh
2 g c dZ
perubahan energi kinetik.
C. Bean Performance
Meliputi studi mengenai pressure loss yang terjadi pada aliran fluida reservoir
pada saat melalui suatu pipa yang diameternya diperkecil pada suatu tempat saja,
kemudian fluida akan mengalir kembali melalui pipa dengan diameter semula.
Pemillihan ukuran bean/choke di lapangan dimaksudkan agar tekanan down-
stream di dalam flow line yang disebabkan oleh tekanan saparator tidak berpengaruh
terhadap tekanan kepala sumur (THP) dan kelakuan produksi sumur. Tekanan kepala
sumur atau tubing sedikitnya dua kali lebih besar dari tekanan flow line.
Pemeliharaan Laju Aliran untuk Sumur Sembur Alam dengan Analisa Sistem
Nodal
Komponen produksi, yang menghubungkan antara formasi produktif dengan
separator dapat dibagi menjadi enam komponen, seperti yang ditunjukkan oleh
Gambar 4.1., yaitu :
1. Komponen formasi produktif/reservoar.
Dalam komponen ini fluida reservoar mengalir dari batas reservoar menuju ke lubang
sumur, melalui media berpori. Ini ditunjukan oleh kurva IPR.
2. Komponen komplesi.
Adanya lubang perforasi ataupun gravel pack didasar lubang sumur akan
mempengaruhi aliran fluida dari formasi ke dasar lubang sumur. Berdasarkan analisa
dikomponen ini dapat diketahui pengaruh jumlah lubang perforasi ataupun adanya
gravel pack terhadap laju produksi sumur.
3. Komponen tubing.
Fluida multifasa yang mengalir dalam pipa tegak ataupun miring akan mengalami
kehilangan tekanan yang besarnya antara lain tergantung dari ukuran tubing. Dengan
demikian analisa tentang pengaruh ukuran tubing terhadap laju produksi dapat
183
dilakukan dalam komponen ini. Ini ditunjukkan oleh Vertical Flow Performance
(VFP).
4. Komponen pipa salur.
Pengaruh ukuran pipa salur terhadap laju produksi yang dihasilkan suatu sumur,
dapat dianalisa berdasarkan komponen ini. Komponen ini disebut juga Horisontal
Flow Performance.
5. Komponen retreksi/jepitan.
Jepitan yang dipasang di kepala sumur atau dipasang di dalam tubing sebagai “safety
valve”, akan mempengaruhi besarnya laju produksi yang dihasilkan dari suatu sumur.
Pemilihan ataupun analisa tentang pengaruh ukuran jepitan terhadap laju produksi
dapat dianalisa dalam komponen ini.
6. Komponen separator.
Laju produksi suatu sumur dapat berubah dengan berubahnya tekanan kerja separator.
Pengaruh perubahan tekanan kerja separator terhadap laju produksi untuk system
sumur dapat dilakukan dengan komponen ini.
SEPERTOR
TO SALES
FLOWING
WELLHEAD STOCK
PRESUSURE TANK
INCLINED FLOW
HORIZONTAL FLOW
VERTICAL
INCLINE
TUBING
Pr, K, IPR
Gambar 4.1
Sistem Sumur Produksi
(Brown K, 1980)
184
Nodal merupakan titik pertemuan antara dua komponen dan pada titik
pertemuan tersebut secara fisik akan terjadi kesetimbangan, dalam bentuk
kesetimbangan masa fluida yang mengalir ataupun kesetimbangan tekanan. Hal ini
berarti bahwa masa fluida yang keluar dari suatu komponen akan sama dengan masa
fluida yang masuk kedalam komponen berikutnya yang saling berhubungan atau
tekanan di ujung suatu komponen akan sama dengan tekanan di ujung komponen
yang lain yang berhubungan. Pertimbangan dalam pemilihan titik penyelesaian yang
tepat tergantung titik mana yang paling berpengaruh dalam optimasi system produksi.
Sesuai dengan Gambar 4.1. dalam system sumur produksi dapat ditemui 4
titik nodal, yaitu:
1. Titik nodal di dasar sumur.
Titik nodal ini merupakan pertemuan antara komponen formasi
produktif/reservoar dengan komponen tubing apabila komplesi sumur adalah “open –
hole” atau titik pertemuan antara komponen tubing dengan komponen komplesi
apabila sumur diperforasi atau dipasang gravel pack.
2. Titik nodal di kepala sumur.
Titik nodal ini merupakan titik pertemuan antara komponen tubing dan
komponen pipa salur dalam hal ini sumur tidak dilengkapi dengan jepitan.
3. Titik nodal di separator.
Pertemuan komponen pipa salur dengan komponen separator merupakan
suatu titik nodal.
4. Titik nodal di “upstream/downstream” jepitan.
Sesuai dengan letak jepitan , titik nodal ini dapat merupakan pertemuan antara
komponen tubing dengan komponen dengan komponen jepitan, apabila jepitan
dipasang ditubing sebagai safety valve atau merupakan pertemuan antara komponen
tubing dipermukaan dengan jepitan, apabila jepitan dipasang dikepala sumur.
Gambar 4.2.
Arah Perhitungan Untuk Titik Nodal di Dasar Sumur
(Pudjo S, 1990)
186
Gambar 4.3.
Plot Kurva IPR dan Kurva Tubing Intake
(Pudjo S, 1990)
Analisa nodal dengan titik nodal didasar sumur ini terutama digunakan untuk
meramalkan penurunan produksi sebagai akibat perubahan IPR di kemudian hari
untuk sistem rangkaian pipa keseluruhan yang tetap. Analisa nodal berdasarkan
kondisinya pada dasar sumur yaitu open hole atau di perforasi.
a. Kurva tubing intake di atas kurva IPR sehngga tidak dapat ditentukan titik
potongnya. Hal ini berarti bahwa sumur tersebut mati untuk sistem pipa
produksi yang digunakan.
b. Kurva tubing intake tidak memotong kurva IPR, tetapi perpanjangan kurva
tubing intake dapat memotong kurva IPR. Apabila hal ini ditemui, ulangi
langkah 4 sampai dengan 10 untuk harga laju produksi lain yang dapat
menyambung kurva pipa intake sehingga akan memotong IPR pada keadaan c
berikut ini. Disarankan untuk tidak melakukan ekstrapolasi, kecuali apabila
laju produksi yang diperlukan tersedia di pressure traverse.
c. Kurva tubing intake memotong kurva IPR dan perpotongan tersebut
memberikan laju produksi qt. Hal ini berarti bahwa untuk sistem rangkaian
tubing di dalam sumur dan pipa salur di permukaan, sumur dapat berproduksi
sebesar qt.
14. Dengan membuat variasi ukuran tubing dan pipa salur, maka dapat diperoleh
kondisi optimum.
10. Gunakan harga Pwh di langkah 7 (Pwh = tekanan downstream) untuk menentukan
tekanan alir dasar sumur (Pwf = tekanan upstream)
11. Ulangi langkah 4 sampai 10 untuk harga laju produksi yang lain. Dengan
demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwf.
12. Hitung tekanan dasar sumur di permukaan formasi produktif (sandface),
berdasarkan harga laju produksi yang digunakan di langkah 4 sampai 10.
13. Hitung perbedaan tekanan di dasar sumur, antara tekanan di permukaan formasi
produktif dan di kaki tubing, yaitu tekanan di dasar sumur dari langkah 12
dikurangi dengan tekanan dasar sumur pada langkah 11, pada harga laju produksi
yang sama. Plot antara laju produksi dengan perbdaan tekanan di dasar sumur
tersebut.
14. Berdasarkan data perforasi, hitung kehilangan tekanan sepanjang formasi.
15. Plot perbedaan tekanan (kehilangan tekanan) terhadap laju produksi pada kertas
grafik yang sama dengan plot di langkah 13.
16. Perpotongan kurva dari langkah 13 dengan kurva dari langkah 15 (kurva
kehilangan tekanan dalam perforasi) menunjukkkan laju produksi yang diperoleh
pada kerapatan perforasi yang dimaksud.
17. Dengan mengubah harga kerapatan perforasi maka dapat ditentukan kerapatan
perforasi yang optimum.
Gambar 4.5. dan reservoir dengan tubing string dianggap sebagai satu komponen
lainnya Gambar 4.6. dimulai dari Pr asumsikan laju alir yang mengalir ke lubang
sumur. Untuk mendapatkan harga Pwf gunakan plot IPR yang tepat atau dengan
menggunakan tekanan Pwf tersebut, dan terus bergerak naik ke atas tubing string
untuk mendapatkan harga tekanan kepala sumur ( Pwh ), dimana Pwh sangat penting
untuk menentukan laju aliran.
Gambar 4.4.
Plot Kurva Tubing dan Kurva Pipa Salur
(Pudjo S, 1990)
Gambar 4.5.
Komponen Separator dan Flow Line
(Pudjo S, 1990)
192
Gambar 4.6.
Arah Perhitungan Analisa Nodal Dengan Kepala Sumur Sebagai Titik Nodal
(Pudjo S, 1990)
Analisa sistem nodal untuk titik nodal di kepala sumur, dibedakan menjadi
dua prosedur tergantung pada ada atau tidaknya jepitan di kepala sumur.
h. Kurva IPR
2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi ada sumbu datar.
3. Ambil laju produksi tertentu, (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse untuk aliran horizontal.
4. Berdasarkan pada qt, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
5. Pilih garis gradien aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
6. Dari Psep (tekanan downstream) tentukan tekanan kepala sumur P wh (tekanan
upstream) dengan menggunakan garis gadien alir di langkah 5. Catat harga Pwh
yang diperoleh.
7. Ulangi langkah 3 sampai dengan 6 untuk berbagai harga laju produksi yang lain.
Dengan demikian diperoleh variasi harga qt terhadap Pwh.
8. Plot qt terhadap Pwh pada ketas grafik dilangkah 2. Kurva yang terbentuk disebut
kurva pipa salur.
9. Ambil laju produksi tertentui (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada kertas grafik pressure traverse untuk aliran vertikal.
10. Berdasarkan harga qt, dt, , dan KA pilih grafik pressure traverse aliran vertikal.
11. Pilih garis gradien aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk harga GLR tersebut tidak diketahui, lakukan interpolasi.
12. Menurut persaman IPR yang diperoleh dari uji tekanan dan produksi terbaru atau
menurut peramalan IPR, hitung tekanan aliran dasar sumur (P wf) pada harga qt di
langkah 10.
13. Dari harga Pwf (tekanan upstream) tentukan tekanan kepala sumur, Pwh (tekanan
downstream) dengan menggunakan garis gradien aliran di langkah 11. Catat hara
Pwh yang diperoleh.
14. Ulangi langkah 9 samai 13 untuk berbagai harga laju produksi yang lain. Dengan
demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwh.
194
15. Plot qt terhadap Pwh dari langkah 14 pada krtas grafik langkah ke 2. Kurva yang
diperoleh disebut kurva tubing intake.
16. Apabila kurva tubing memotong pipa salur, maka sumur akan terproduksi dengan
laju produksi (qt) yang ditentukan dari titik perpotongan tersebut. Apabila kurva
tubing tidak memotong kurva pipa salur, maka sumur tidak dapat berproduksi
untuk sistem rangkaian pipa tesebut. Apabila kurva tubing dan kurva pipa salur
tidak berpotongan tetapi perpanjangan kedua kurva tersebut memberikan
kemungkinan untuk berpotongan, maka ulangi langkah 3 sampai dengan untuk
harga laju produksi yang lain, sehingga kurva tubing dan kurva pipa salur dapat
diperpanjang, dan kemudian tentukan titik potongnya. Titik potong ini
memberikan laju produksi yang diperoleh. Tidak dibenarkan melakukan
ekstrapolasi, kecuali laju produksi tidak tersedia di grafik pressure traverse.
17. Dengan membuat kurva tubing dan kurva pipa salur untuk berbagai ukuran tubing
dan ukuran pipa salur, maka dipilih pasangan ukuran tubing dan pipa salur yang
dapat menghsilkan laju produksi yang optimum.
2. Pada kertas grafik kartesian, buat sistem koordinat dengan tekanan pada sumbu
tegak dan laju produksi ada sumbu datar.
3. Ambil laju produksi tertentu, (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse untuk aliran horizontal.
4. Berdasarkan pada qt, dp, dan KA, pilih grafik pressure traverse untuk aliran
horizontal.
5. Pilih garis gradien aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila garis gradien
aliran untuk GLR tersebut tidak tercantum, lakukan interpolasi.
5. Berdasarkan persamaan IPR yang diperoleh dari tekanan dan produksi terbaru
atau menurut peramalan IPR, hitung tekanan alir dasar sumur (P wf) pada harga di
langkah 3.
6. Dari harga Pwf (tekanan upstream) tentukan tekanan kepala sumur (tekanan
downstream) dengan menggunakan garis gradien aliran di langkah 5.
7. Ulangi langkah 3 sampai dengan 7 untuk berbagai harga laju produksi yang lain.
Dengan demikian akan diperoleh variasi harga qt terhadap Pwh.
8. Plot qt terhadap Pwh dari langkah 8 pada kertas grafik langkah 2. Kurva yang
diperoleh disebut kurva tubing.
9. Pilih korelasi aliran fluida dalam jepitan yang sesuai dengan kondisi lapangan.
10. Berdasarkan korelasi yang dipilih, buat hubungan antara laju poduksi degan
tekanan kepala sumur.
11. Plot antara laju porduksi terhadap tekanan kepala sumur yang diperoleh dari
langkah 11, pada kertas grafik langkah 2. Kurva yang diperoleh disebut sebagai
kurva jepitan.
12. Perpotongan antara kurva tubing dengan kurva jepitan menunjukkan harga laju
produksi yang dihsilkan oleh sumur, dengan menggunakan ukuran jepitan yang
diberikan.
13. Untuk mengetahui pengaruh ukuran jepitan terhadap laju produksi sumur, maka
dibuat kurva jepitan dengan menggunakan langkah 11, untuk beberapa ukuran
jepitan yang berbeda.
196
14. Perpotongan kurva-kurva jepitan dengan kurva tubing menunjukkan laju produksi
yang dipeoleh untuk setiap ukuran jepitan.
Gambar 4.7.
Arah Perhitungan Analisa Nodal Dengan Separtor Sebagai Titik Nodal
(Pudjo S, 1990)
197
Gambar 4.8.
Kurva Analisa Sistem Nodal Pada Titik Noda di Separator
(Pudjo S, 1990)
Berikut ini adalah prosedur perhitungan analisa sistem nodal untuk titik nodal di
Separator :
1. Siapkan data penunjang yaitu :
Kedalaman sumur ( D )
Panjang pipa saluran ( L )
Diameter tubing ( dt )
Diameter pipa saluran ( dp )
Kadar air ( KA )
Perbandingan gas-cairan ( GLR )
Tekanan separator ( Psep)
Kurva IPR
2. Pada kertas grafik kartesian buat system sumbu dengan tekanan pada
sumbu tegak dan laju produksi pada sumbu datar.
3. Plot kurva IPR pada kertas grafik di langkah 2.
198
4. Anggap laju produksi (qt) yang sesuai dengan salah satu harga laju
produksi pada grafik pressure traverse untuk aliran horizontal dan vertikal.
5. Pilih grafik pressure traverse aliran vertical sesuai dengan qt, KA, dan dt.
Apabila KA tidak sesuai dengan KA yang tersedia pada grafik, pilih grafik
pressure traverse dengan KA yang terdekat.
6. Pilih kurva gradient tekanan aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila
untuk harga GLR tersebut tidak tersedia kurva gradient alirannya lakukan
interpolasi.
7. Bedasarkan kurva IPR dilangkah 3, baca harga tekanan alir dasar sumur,
Pwf pada qt.
8. Gunakan grafik pressure traverse (langkah 5) dan kurva gradient aliran
(langkah 6) untuk menentukan tekanan kepala sumur Pwh (tekanan
downstream) berdasarkan (tekanan upstream, lihat lngkah 4 pada
perhitungan tekanan upstream atau downstream).
9. Catat haraga Pwh yang diperoleh.
10. Pilih grafik pressure traverse aliran vertical sesuai dengan qt, KA, dan dt.
Apabila KA tidak sesuai dengan KA yang tersedia pada grafik, pilih grafik
pressure traverse dengan KA yang terdekat.
11. Pilih kurva gradient tekanan aliran dengan GLR yang diketahui. Apabila
untuk harga GLR tersebut tidak tersedia kurva gradient alirannya lakukan
interpolasi.
12. Gunakan grafik pressure traverse (langkah 10) dan kurva gradient aliran
(langkah 11) untuk menentukan tekanan masuk di separator (Pins)
berdasarkan harga Pwh dari langkah 9.
13. Catat harga Pins dan qt.
14. Ulangi langkah 4 sampai dengan 13 untuk berbagai harga laju produksi
Dengan demikian akan diperoleh hubungan antara Pins terhadap qt.
15. Plot harga Pins terhadap qt pada kertas grafik di langkah 2.
199
16. Plot Psep pada sumbu tekanan dan dari titik ini tari garis datar ke kanan
sampai memotong kurva yang diperoleh dari langkah 15.
17. Perpotongan tersebut menunjukkan laju produksi yang diperoleh.
Pada tipe sumur ini, laju produksi berkisar antara 200 – 20000 B/D, melalui
ukuran tubing yang normal.
Well head sebenarnya bukan alat khusus bagi gas lift saja tetapi juga
merupakan salah satu alat yang digunakan pada metode sumur sembur alam,
dimana dalam periode masa produksi, alat ini berfungsi untuk
menggantungkan tubing atau casing disamping itu well head merupakan
tempat dudukan x-mass tree.
2. X-mass Tree
Gas diinjeksikan ke dalam annulus sesudah melalui motor yang
berfungsi mengatur jumlah gas yang masuk ke dalam sumur dan tekanan gas
injeksi dijaga agar konstan.
3. Stasiun Kompressor
Alat ini berfungsi untuk menaikan tekanan gas injeksi sesuai dengan
keperluan. Di dalam stasiun kompressor ini terdapat beberapa buah
kompressor yang dihubungkan dengan manifold. Dari stasiun kompressor ini,
gas bertekanan tinggi dikirim ke sumur-sumur gas lift melalui stasiun
distribusi.
4. Stasiun Distribusi
Dalam menyalurkan gas injeksi dari kompressor ke sumur terdapat
beberapa cara, antara lain :
a. Sistem Distribusi Langsung
Di dalam stasiun ini terdapat system manifold yang menuju ke sumur-
sumur secara langsung, system ini kurang effisien karena mampunyai
beberapa kelemahan, antara lain :
1. Penggunaan stasiun pusat compressor yang tidak rasionil karena
kebutuhan gas yang tidak sama untuk setiap sumur.
2. Pemakaian pipa transport gas yang panjang sehingga tidak
ekonomis.
b. Sistem Distribusi dengan Pipa Induk
System ini lebih ekonomis karena panjang pipa dapat diperkecil, tetapi
adanya hubungan langsung antara satu sumur dengan sumur lainnya,
202
jika salah satu sumur sedang diinjeksikan gas maka sumur lain sumur
lain bisa terpengaruh.
c. Sistem Distribusi dengan Stasiun Distribusi
System ini sangat rasional dan banyak dipakai, gas dibawa dari pusat
compressor ke stasiun distribusi kemudian dibagi ke sumur-sumur
dengan menggunakan pipa.
5. Peralatan Kontrol
Peralatan kontrol yang digunakan dalam operasi gas lift adalah :
a. Choke control dan regulator
Choke control adalah alat yang berfungsi untuk mengatur jumlah gas
yang diinjeksikan, sehingga dalam waktu tertentu (saat valve terbuka)
gas tersebut dapat mancapai suatu harga tekanan yang dibutuhkan.
Choke control ini dilengkapi pula dengan regulator yang berfungsi
untuk membatasi gas injeksi yang dibutuhkan. Bila gas injeksi cukup
maka regulator akan menutup. Choke control dan regulator tersebut
hanya khusus dipergunakan untuk intermittent gas lift.
b. Time cycle control
Alat ini berfungsi untuk mengontrol aliran gas injeksi dalam
intermittent gas lift untuk interval waktu tertentu. Time cycle control
dapat diatur sesuai dengan yang diinginkan.
Industri gas lift telah mengkategorikan katup gas lift tergantung pada mana
yang paling sensitif berpengaruh terhadap proses membuka katup (valve), apakah
tekanan casing (Ps) yang disebabkan oleh kolom gas injeksi dalam casing atau
tekanan tubing (Pt) yang ditentukan oleh kolom fluida dalam tubing. Sensitivitas ini
ditentukan oleh konstruksi mekanik dari katup gas lift. Tekanan yang bekerja pada
bagian yang paling luas dari katup (valves) merupakan tekanan yang paling dominan
berpengaruh pada valve tersebut.
Ada 4 (empat) macam katup gas lift, yaitu :
1. Casing pressure operated valve ( pressure valve)
Valve jenis ini 50-100% sensitive terhadap tekanan casing pada posisi tertutup
dan 100% sensitive terhadap tekanan casing pada posisi terbuka. Membutuhkan
penambahan tekanan casing untuk membuka valve dan pengurangan tekanan casing
untuk menutup valve.
2. Throttling pressure valve
Valve ini disebut juga proportional valve atau continuous flow valve. Valve
ini sama dengan pressure valve pada posisi tertutup, akan tetapi pada posisi terbuka
valve ini sensitive terhadap tekanan tubing. Valve ini membutuhkan penambahan
tekanan casing untuk membuka dan pengurangan tekanan tubing atau tekanan casing
untuk menutup.
204
Gambar 4.9.
Skema Thortling Pressure Valve
(Brown K, 1980)
3. Fluid operated valve
Katup ini konstruksinya hampir sama dengan casing pressure operated valve,
tetapi tekanan tubing bekerja pada permukaan bagian valve yang lebih luas,
sedangkan tekanan casing bekerja pada permukaan yang lebih kecil. Gambar 4.5
memperlihatkan sketsa untuk jenis valve ini.
Gambar 4.10.
Fluid Operating Valve
(Brown K, 1980)
4. Combination valve
Valve ini juga disebut fluid open-pressure closed valve. Valve ini
membutuhkan penambahan tekanan fluid untuk membuka dan pengurangan tekanan
casing atau tekanan tubing untuk menutup.
Secara umum macam instalasi secara prinsip dipengaruhi oleh apakah sumur
itu akan ditempatkan sebagai aliran intermittent atau aliran continyu, juga pemilihan
jenis valve tergantung pada sumur yang akan ditempatkan sebagai sumur intermittent
gas lift atau sebagai sumur continuous gas lift.
Kondisi sumur akan menentukan jenis instalasi yang akan dipilih. Tipe
complesi juga penting, misalnya openhole completion, perforated completion atau
gravel packed completion. Selain itu untuk perencanaan instalasi gas lift juga
diperhatikan masalah produksi pasir, water conning atau gas coning.
Dalam menentukan tipe instalasi awal harus bertitik tolak dari kemampuan
sumurnya termasuk tekanan dasar sumur dan Productivity Index (PI).
Gambar 4.11.
Tipe Instalasi Gas Lift
(Brown K, 1980)
1. Valve sebagai titik injeksi atau biasa disebut operating valve harus diletakkan
sedalam mungkin sesuai dengan tekanan injeksi gas yang tersedia, rate gas
dan produksi minyak/liquid yang diinginkan.
2. Sedangkan valve-valve yang bertindak sebagai unloading hanya merupakan
sarana menuju operating valve. Unloading valve dalam keadaan normal harus
selalu tertutup, sehingga hanya satu valve saja yang terbuka yakni operating
valve.
Semua valve diset di permukaan pada temperatur 60oF, tekanan setting ini
dikoreksi terhadap temperatur sesungguhnya di dalam sumur. Valve-valve
tersebut akan berurutan tertutup mulai dari yang paling atas dan terus ke
bawah selama gas diinjeksikan menuju operating valve.
3. Operating valve harus yang paling dalam.
Gambar 4.12.
Ilustrasi Penentuan Letak Titik Injeksi
(Brown K, 1980)
Keterangan :
qgi = Laju injeksi gas, scf/day
qt max = Laju produksi total maksimum, stb/day
GLRoptimum = Gas liquid ratio, scf/stb
GLRt = Gas liquid ratio total, scf/stb
GLRf = Gas liquid ratio formasi, scf/stb
Koreksi qgi pada temperatur titik injeksi :
q gi q gi correction
Penentuan ukuran port dan tekanan buka katup dilakukan dengan langkah –
langkah sebagai berikut :
m. Berdasarkan diameter luar tubing dan diameter dalam casing, pilih ukuran
katup. Ukuran yang tersedia adalah 1 dan 1.5 in.
n. Berdasarkan ukuran port dan ukuran katup, tentukan harga R dan 1 – R untuk
setiap katup, menurut persamaan :
Ap
R ......................................................................................(4-7)
Ab
Keterangan :
Ap = Luas port, in2
(d 2 )
= , d = ukuran port, in
4
Ab = Luas bellow, in2
Untuk katup 1 in, Ab = 0.32 in2
Untuk katup 1.5 in, Ab = 0.77 in2
o. Tentukan tekanan tutup valve pada lokasi kedalaman valve Pvc, dimana Pvc
sama dengan tekanan dome valve (Pd), atau bisa dihitung :
Pd Pvc Pvo(1 R) PtR
p. Tentukan tekanan dome (pd) untuk setiap valve pada temperatur 60oF,
menurut persamaan :
Pd @ 60 Ct ( Pd )
Ct didapat dari Tabel IV-2
q. Hitung tekanan setting di work shop (Ptro) pada temperatur 60oF, dengan
persamaan :
Pd @ 60
Ptro
1 R
12. Dari perpotongan tersebut (langkah 11), buat garis horizontal ke kiri sampai
memotong garis unloading.
13. Lakukan langkah 11 dan 12 untuk mendapatkan letak katup Dv3, Dv4, dst
lanjutkan sampai dasar sumur.
Sedangkan penentuan spasi katup secara analitis dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan berikut :
Pko Pwh
Dv1 .................................................................................(4-8)
Gs
Pso1, so 2.... Pwh Dv1, v 2...(Gu)
Dv 2, v3... Dv1, v 2.. .................(4-9)
Gs
Keterangan :
Dv1, v2… = Kedalaman katup 1, 2, dst, ft
Pso1, Pso2… = Tekanan buka permukaan 1, 2, dst, psi
Pwh = Tekanan kepala sumur, psi
Gs = Gradient kill fluid, psi/ft
Gu = Gradient unloading, psi/ft
Gu didapatkan dari grafik (Gambar 4.15 dan Gambar 4.16)
b. Penentuan Jumlah Gas Injeksi
Gas yang diperlukan untuk mengangkat slug cairan dari dasar sumur ke
permukaan adalah volume gas yang diperlukan untuk mengisi tubing pada tekanan
gas rata-rata bawah slug dari dasar sumur ke permukaan. Langkah-langkah untuk
menentukan besarnya gas injeksi adalah :
1. Siapkan data penunjangnya sebagai berikut :
a. Kedalaman katup operasi (umumnya di ujung tubing)
b. Tekanan buka katup operasi (Pv), di hitung dengan rumus :
Pv Pso Ggi.D
Keterangan :
Pv = Tekanan buka katup operasi pada kedalaman, psi
Pso = Surface operating pressure, psi
218
Tabel IV-1
“R values” Bellow Area and Seat Area Relationship for Ab = 0.77 in2 for 1 ½”
valve and 0.29 in2 for 1” Valve
(Brown K, 1980)
219
Tabel IV-2
Temperatur Correction Factor (Ct) for Nitrogen Based on 60oF
(Brown K, 1980) 6)
221
Gambar 4.13.
Weight of Gas Colomn Chart
(Brown K, 1980)
222
Gambar 4.14.
Weight of Gas Colomn Chart
(Brown K 1980)
223
Gambar 4.15.
Unloading Gradient Chart
(Brown K, 1980)
224
Gambar 4.16.
Unloading Gradient Chart
(Brown K, 1980)
225
Gambar 4.17.
Penentuan Ukuran Port
(Brown K, 1980)
226
Gambar 4.18.
Penentuan Ukuran Port
(Brown K, 1980)
227
Gambar 4.19.
Grafik Pressure Traverse 6)
(Brown K, 1980)
228
Gambar 4.20.
Peralatan Electrical Submersible Pump (ESP)
(Brown K, 1980)
230
dengan 480 volts. Untuk pemakaian Swichboard ini kita harus memperhitungkan
beberapa faktor, yaitu besarmnya HP dari motor, voltage dan ampere.
D. Transformer
Fungsi dari transformer adalah mengatur tegangan dari pembangkit tenaga
listrik menjadi suatu tegangan yang diperlukan motor untuk dapat menggerakkan
sistim ESP. Transformer dipilih berdasarkan besarnya KVA yang diperlukan.
serta kedap terhadap resapan liquid dari sumur. Untuk itu kabel harus memiliki
bagian seperti :
- Konduktor - Sarung
- Isolasi
Gambar 4.21.
Motor Pompa ESP
(Brown K, 1980)
Ada dua jenis kabel yang biasa dipakai round cable atau flat cable. Jenis-jenis
kabel dapat dilihat pada Gambar 4.22.
Kabel listrik terdiri dari tiga kabel yang diisolir satu sama lain dengan
pembalut dari karpet. Ketiganya terbungkus oleh suatu pelindung yang terbuat dari
233
baja penampang kawat tembaga berubah-ubah fungsi tegangan arus dari motor dan
biasanya dipilih antara 16,25 atau 35 mm2. Hubungan antara tubing dan kabel
dilakukan dengan pertolongan kabel clamp.
Gambar 4.22.
Kabel
(Brown K, 1980)
Gambar 4.23.
Protector ( Seal Section )
(Brown K, 1980)
Gambar 4.24.
Gas Separator
(Brown K, 1980)
D. Pompa Centrifugal
Pompa submersible adalah tipe pompa centrifugal multi tingkat. Setiap tingkat
terdiri dari bagian yang bergerak yaitu impeller dan bagian yang stasioner (tidak
bergerak) yaitu diffuser. Tipe dan ukuran dari tiap tingkat menentukan volume dari
fluida yang dapat diproduksi. Jumlah tingkatnya menentukan jumlah head yang
236
dihasilkan, apabila dikalikan dengan daya (HP) per tingkat dan spesific gravity-nya,
maka jumlah HP motor yang dibutuhkan dapat ditentukan.
Pompa tandem adalah beberapa single pump (pompa tunggal) yang disusun
seri baik secara hydraulic untuk memberikan total head dari pompa yang dibutuhkan
untuk keperluan tertentu.
Komponen ini, seperti halnya poros pompa dibuat khusus yang tahan korosi, scale,
temperatur tinggi, pasir dan jumlah tingkat yang digunakan untuk ukuran tertentu
tergantung pada head pengangkatan.
E. Motor Lead Cable
Motor lead cable disebut juga motor lead extension dan berbentuk flat (pipih).
Panjangnya dibuat sepanjang pothead pada motor sampai dengan bagian atas dari
pompanya, yang kemudian disambungkan dengan power kabelnya.
Seal section, gas separator dan pompa dengan flat cable ini dimasukkan agar
total diameter luar rangkaian pompa dan motor lead cable tidak terlalu besar untuk
dimasukkan sumur, terutama pada sumur yang menggunakan liner yang ukurannya
lebih besar dari diameter casing. Motor lead cable diberi pelindung (cable guards)
untuk mencegah kerusakan pada waktu dimasukkan ke dalam sumur.
1
Qo Qtot .................................................................. ..(4-12)
1 WOR
Apabila harga tersebut belum selesai, mengulangi dengan memilih harga Pwf
dengan penjajalan.
5. Menghitung pump intake (PIP) dengan persamaan :
PIP = Pwf – GF (HS – HPIP) ................................................. ..(4-13)
Harga PIP harus lebih besar dari BPP (tekanan jenuh). Bila tidak terpenuhi,
mengulangi langkah 4 dan 5 dengan laju produksi yang lebih rendah.
6. Menghitung arus cairan kerja Zf1 = HS – (Pwf / GF).
7. Menentukan kehilangan tekanan sepanjang tubing (HF) dengan Gambar 4.25.
8. Menghitung Total Dynamic Head (TDH) menurut persamaan :
THP
TDH Zf1 Hf ............................................................. ..(4-14)
GF
9. Memilih jenis dan ukuran pompa dari catalog perusahaan pompa bersangkutan
dengan gambar yang menunjukkan efisiensi maksimum untuk laju produksi yang
diperoleh dari langkah 4.
Membaca harga head capacity (HC) dan daya kuda motor (HP motor) pada laju
produksi tersebut.
238
Gambar 4.25.
Chart Kehilangan Tekanan Dalam Pipa
(Brown K, 1980)
12. Menentukan jenis motor yang memenuhi HP tersebut.
13. Menghitung kecepatan aliran di annulus (FV) motor untuk masing-masing jenis
motor :
239
0.0119 Q total
FV ............................................. ..(4-17)
(ID casing) 2 (OD motor) 2
Jenis motor dan OD motor terkecil yang memberikan FV > 1 ft/detik adalah
pasangan yang harus dipilih.
14. Membaca harga arus listrik (A) dan tegangan listrik motor (Vmotor) yang
dibutuhkan untuk jenis motor yang bersangkutan.
15. Memilih jenis kabel dari harga arus listrik tersebut, dianjurkan memilih kabel
yang mempunyai kehilangan tegangan di bawah atau sekitar 30 volt tiap 1000 ft.
Vkabel = (HS – 50) V / 1000 ft
16. Memilih transformator dan switchboard :
a. Menghitung tegangan yang diperlukan motor dan kabel :
(Vtot) = Vmotor + Vkabel ............................................................ ..(4-18)
b. Menghitung KVA = 1.73 Vtot A/1000 ...................................... ..(4-19)
c. Menentukan transformator yang memenuhi hasil perhitungan 16b dari Tabel
IV-7. karena aliran tiga fasa maka transformator adalah sepertiga dari hasil
perhitungan 16b.
17. Melakukan perhitungan total tegangan pada waktu start sebagai berikut :
a. Kebutuhan tegangan start = 20.35 voltage rating.
b. Kehilangan tegangan selama start = 3 kehilangan tegangan biasa.
18. Membandingkan apakah total tegangan pada waktu start tidak melebihi tegangan
yang dikeluarkan oleh switchboard. Apabila tidak melebihi, berarti perencanaan
telah betul, apabila melebihi, maka dilakukan pengulangan dari langkah 16.
Gambar 4.26.
Mekanisme Kerja Sucker Rod
(Brown K, 1980)
241
Gambar 4.27.
Sucker Rod System
(Brown K, 1980)
sumber tenaga tersebut. Jadi pemilihan motor diusahakan mempunyai daya yang
cukup untuk mengangkat fluida dan rangkaian rod dengan kecepatan yang
diinginkan.
b. V-Belt
merupakan sabuk untuk memindahkan gerak dari prime mover ke gear
reducer.
c. Gear Reducer
berfungsi mengubah kecepatan putar dari prime mover menjadi langkah
pemompaan yang sesuai. Gear reducer juga merupakan transmisi yang berfungsi
untuk mengubah kecepatan putar dari prime mover, gerak putaran prime mover
diteruskan ke gear reducer dengan menggunakan belt. Dimana belt ini dipasang
engine pada prime mover dan unit sheave pada gear reducer.
d. Crank Shaft
Merupakan poros crank yang berfungsi untuk mengikat crank pada gear
reducer dan meneruskan gerak.
e. Crank
Merupakan sepasang tangkai yang menghubungkan crank shaft pada gear
reducer dengan counterbalance. Pada crank ini terdapat lubang-lubang tempat pitman
bearing. Besar kecilnya langkah atau stroke pemompaan yang diinginkan dapat diatur
disini, dengan cara mengubah-ubah pitman bearing.
Apabila kedudukan pitman bearing ke posisi lubang mendekati counterbalance, maka
langkah pemompaan menjadi bertambah besar atau sebaliknya, apabila menjauhi
jarak antara crank shaft sampai dengan pitman bearing sebagai polish stroke length,
yang fungsinya meneruskan gerak berputar dari crank shaft pada gear reducer ke
walking bean pitman.
f. Counterbalance
Adalah sepasang pemberat yang fungsinya :
- Untuk mengubah gerak berputar dari prime mover menjadi gerak naik turun.
243
- Menyimpan tenaga prime mover pada saat down-stroke atau pada saat
counterbalance menuju ke atas, yaitu pada saat kebutuhan tenaga kecil atau
minimum
- Membantu tenaga prime mover pada saat up-stroke (saat counterbalance
bergerak ke bawah) sebesar tenaga potensialnya, karena kerja prime mover
yang terbesar adalah pada saat up-stroke (pompa bergerak ke atas) dimana
sejumlah minyak ikut terangkat ke atas permukaan.
g. Pitman
Adalah penghubung antara walking beam pada equalizer hearing dengan
crank. Lengan pitman merubah gerakan berputar menjadi gerakan naik turun.
h. Walking Bean
Merupakan tangkai horizontal di bawah horse head. Fungsinya merupakan
gerak naik turun yang dihasilkan oleh pasangan pitman-crank-counterbalance,
kerangkaian pompa di dalam sumur melalui rangkaian rod.
i. Counterwieght
Berfungsi menjepit polished rod dan letaknya dibagian atas dari polished rod.
Jepitan ini kemudian diletakkan diatas carrier bar sehingga polished rod dapat
bergerak sesuai dengan gerakan carrier bar.
j.Horse head.
Menurunkan gerak dari walking bean ke unit pompa di dalam sumur melalui
bridle, polish rod dan sucker string atau merupakan kepala dari walking bean yang
menyerupai kepala kuda.
k. Bridle
Merupakan nama lain dari wire line hanger, yaitu merupakan sepasang kabel baja
yang disatukan pada carrier bar.
l. Carrier bar
Merupakan alat yang berfungsi sebagai tampat bergantungnya rangkaian rod dan
polished rod, penyangga dari polished rod clamp.
m. Polished rod Clamp
244
Komponen yang bertumpu pada carrier bar yang fungsinya untuk mengeraskan
kaitan polish rod pada carrier bar dan tempat di mana dinamo meter (alat pencatat
unit berapa pompa) diletakkan.
n. Polished rod
Polished rod merupakan bagian teratas dari rangkaian rod yang muncul
dipermukaan. Fungsinya adalah menghubungkan antara rangkaian rod di dalam
sumur dengan perlatan-peralatan di permukaan.
o. Stuffing box
Dipasang di atas kepala sumur (casing atau tubing head) untuk
mencegah/menahan minyak agar supaya tidak keluar bersama naik turunnya polish
rod. Dengan demikian seluruh aliran minyak hasil pemompaan akan mengalir ke
flowline lewat crosstee. Disamping itu juga berfungsi sebagai tempat kedudukan
polish head rod sehingga dengan demikian polish rod dapat bergerak naik turun
dengan bebas.
p. Sampson post
Merupakan kaki penyangga atau penopang walking bean.
q. Saddle bearing
Adalah tempat kedudukan dari walking bean pada sampson post pada bagian atas.
r. Equalizer
Adalah bagian atau dari pitman yang dapat bergerak secara leluasa menurut
kebutuhan operasi pemompaan minyak berlangsung.
s. Brake
Brake di sini berfungsi untuk mengerem gerak pompa jika dibutuhkan,
misalnya pada saat akan dilakukan reparasi sumur atau unit pompanya sendiri.
terjadi pada saat plunger bergerak ke bawah serta menahan minyak keluar dari
plunger pada saat plunger bergerak ke atas.
f. Gas Anchor
Merupakan komponen pompa yang dipasang dibagian bawah dari pompa
yang berfungsi untuk memisahkan gas dari minyak agar gas tersebut tidak ikut masuk
ke dalam pompa bersama-sama dengan minyak, untuk menghindari masuknya pasir
atau padatan ke dalam pompa, dan mengurangi atau menghindari terjadinya tubing
stretch.
Gas ini dialirkan masuk ke annulus dan dilepaskan ke permukaan melalui
- Sucker rod
- Pony rod
- Polished rod
- Sucker rod
Merupakan batang/rod penghubung antara plunger dengan peralatan di
permukaan. Fungsi utamanya adalah melanjutkan gerak naik turun dari horse
head ke plunger. Berdasarkan konstruksinya, maka sucker rod dibagi menjadi 2
(dua) :
a. berujung box-pin
b. berujung pin-pin
Untuk menghubungkan antara dua buah sucker rod digunakan sucker rod
coupling. Umumnya panjang satu single dari sucker rod yang sering digunakan
berkisar antara 20-30 ft. Terdapat beberapa macam ukuran sucker rod, seperti
pada tabel di bawah ini, di mana ukuran-ukuran tersebut merupakan standart
API.
Dalam perencanaan sucker rod selalu diusahakan atau yang dipilih yang ringan,
artinya memenuhi kriteria ekonomis, tetapi dengan syarat tanpa mengabaikan
kelebihan (allowable stress) pada sucker rod tersebut. Sucker rod yang dipilih
dari permukaan, sampai unit pompa di dasar sumur (plunger) tidak perlu sama
diameternya, tetapi dapat dilakukan/dibuat kombinasi dari beberapa type dan
ukuran rod. Sucker string yang merupakan kombinasi dari beberapa type dan
ukuran tersebut. Disebut Tappered Rod String.
- Poni rod
Merupakan rod yang mempunyai panjang yang lebih pendek dari panjang rod
umumnya (25 feet). Fungsinya adalah untuk melengkapi panjang dari sucker
rod, apabila tidak mencapai kepanjangan yang dibutuhkan ukurannya adalah : 2,
4, 6, 8, 12 feet.
- Polished rod
248
Adalah tangkai rod yang berada di luar sumur yang mengubungkan sucker rod
string dengan carier bar dan dapat naik turun di dalam stuffing box. Diameter
stuffing box lebih besar daripada diameter sucker rod, yaitu : 1 1/8, 1 ¼, 1 ½, 1
¾. Panjang polished rod adalah :8,11,16, 22 feet.
Gambar 4.28.
Peralatan Bawah permukaan
(Brown K, 1980)
249
Gambar 4.29.
Klasifikasi Pompa menurut API
(Brown K, 1980)
250
Gambar 4.30.
Pump Designation
(Brown K, 1980)
40,8L2 5,20GDAP L1 L2
SP = S + ... ......................(4-23)
E E A1 A2
Atau :
40,8L2 5,20GDAP 1 1
SP = S + ...............................(4-24)
E E At Ar
Dimana :
SP = Panjang langkah efektif plunger, in.
= Acceleration faktor.
L = Setting depth pompa, ft.
E = Modulus elastisitas, besarnya tergantung dari bahan.
D = Working fluid level, ft.
Ap = Luas penampang plunger, sq. In.
Sg = Specific gravity fluida
At = Luas penampang tubing, sq. In.
At = Luas penampang rod, sq. In.
Lt = Panjang tubing, ft.
Lr = Panjang rod, ft.
7. Estimasi Displacement Pompa
Q = K Sp N......................................................................................(4-25)
Dimana :
Q = Estimasi displacement pompa, Bbl/day
K = Konstanta plunger tertentu
Sp = Panjang langkah plunger efektif, in.
N = kecepatan pemompaan, SPM
8. Berat Rod String
253
Wr = L x m......................................................................................(4-26)
Dimana :
Wr = Berat rod string, lb.
L = Setting depth pompa, ft.
m = Berat rod, lb/ft
L & m = Dapat dilihat pada tabel
9. Berat Fluida
Wf = 0,433 Sg (L Ap – 0,294 Wr)....................................................(4-27)
Dimana :
Wf = Berat fluida, lb
Sg = Specific gravity fluida
L = Setting depth pompa, ft
Ap = Luas penampang plunger, sq.in.
Wr = Berat rod string, lb
10. Beban Polished Rod
Wmax = Wf + Wr ( 1 + )..........................................................(4-28)
Wmin = Wr (1- - 0,127 Sg)........................................................(4-29)
11. Rod Stress
Stress maks = Wmaks / Ar, Psi.....................................................(4-30)
Stress min = Wmin / Ar, Psi.......................................................(4-31)
Dimana :
Ar = Luas Penampang rod, sq.in.
12. Counterbalance
Ci = 0,5 Wf + Wr ( 1- 0,127 Sg), lb..................................................(4-32)
13. Torque
(Wmaks 0,95Ci) S
Tp = , lb-in.....................................................(4-33)
2
14. Tenaga Motor
Hh = 7,36 x 10-6 Q Sg L, Hp.............................................................(4-34)
254
jumlah stage yang sama dan kecepatan RPM yang sama, bila tekanan lawan (back
pressure) misalnya di kepala suur dinaikkan melebihi tekanan yang diijinkan untuk
pompa yaitu 100 psi, maka flow rate akan berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya
internal slippage atau tergelincirnya sebagian cairan yang terdapat di antararongga-
rongga (cavities). Jadi besarnya slip ini tergantung pada jumlah stage/seal lines,
viskositas cairan yang dipompakan, ketat longarnya jarak antara rotor dengan stator,
dan pada besarnya tekanan kepala sumur.
Beberapa kelebihan PCP antara lain :
- Mampu memproduksikan fluida yang viskositasnya tinggi (>5000 cp)
- Mampu memproduksikan fluida yang banyak mengandung padatan /pasir tetapi
tahan terhadap abrasi.
- Toleran terhadap adanya kandungan gas bebas
- Tidak punya katup balik (bagian yang bergerak dimana dapat menyebabkan
macet/aus)
- Harganya relatif murah dan rendah pemakaian energi listriknya
- Rendah internal shear ratenya (kecil kemungkinan terjadi emulsi akibat agitasi)
- Sederhana instalasinya dan operasinya, tidak menimbulkan suara tubing
- Mudah perawatan dan pemeliharaannya
-Tidak memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada insertable
PCP
Beberapa batasan dan kesulitan dalam pengoperasian PCP :
- Batas laju produksi maksimum (3150 bbl/day atau 500 m3/day)
- Kedalaman maksimum (6550 ft atau 2000 m)
- Temperatur maksimum (2000 F)
- Efisiensi akan berkurang jika sumur produksi banyak mengandung gas
- Pada rod string tidak terdapat tempat untuk mengatasi problem parafin
- Pump stator akan cenderung rusak jika tidak ada fluida yang dipompakan
- Masih memerlukan cabut tubing (work over) saat mengganti pompa pada tubular
PCP
257
-Untuk kecepatan tinggi dapat menimbulkan getaran pada rod string, maka diperlukan
tubing anchor dan stabilizer.
Gambar 4.31.
Peralatan Progres Cavity Pump
(Pudjo S, 1990)
Secara umum peralatan Progress Cavity Pump (PCP) dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu diatas permukaan dan bawah permukaan.
Peralatan atas permukaan Progressing Cavity Pump (PCP) terdiri dari bagian-bagian
sebagai berikut :
1. Prime Mover
2. Drive Head Assembly
1. Prime Mover
Penggerak pompa utama pada umumnya digunakan motor listrik yang
dipasang dipermukaan dekat well head. Kekuatan dari motor listrik disesuaikan
dengan kebutuhan daya untuk pengangkatan fluida dari dalam sumur. Dengan
menggunakan sarana transmisi (perantara) yang berupa V-Belt, tenaga dari prime
mover diteruskan ke drive shaft kemudian ke rotor untuk mengangkat fluida.
Torqeu (gaya puntir) dibangkitkan oleh motor listrik dan dipindahkan ke rod-
string dan kekuatan dari mesin penggeraknya. Bila mesin penggeraknya berhenti,
rod-string akan berusaha berputar balik untuk menghilangkan torquenya.
Pada waktu rod-string bergerak balik ini, perbedaan ukuran dari roda gigi
penurunan putaran berubah menjadi mempercepat dan memindahkan kecepatan
putaran pada sheave yang bekerja secara potensial dan membahayakan. Tugas dari
backstop break adalah untuk mencegah rod-string dan komponen lainnya berputar
balik, dengan demikian torque yang tersimpan dapat direndam secara terkendali.
Prinsip kerja backstop break assembly adalah terdiri dari roller-ramp
overruning clutch yang dipasakkan kepada drive shaft dan dikelilingi oleh break and
assy (sabuk rem) yang seluruh bagian yang bekerja ditempatkan pada housing dan
diberi penutup.
Overruning clutch menggunakan roller ramp yang dirancang dapat bergerak
bebas pada arah putaran satu dan bekerja pada arah sebaliknya. Pada waktu bekerja
normal dimana drive shaftnya berputar searah jarum jam, alat ini tidak bekerja dan
roller-roller akan mengembang dan bergulir bebas.
Akan tetapi bila drive shaft berusaha untuk berputar balik maka roller-roller
dengan segera terjepit diantara ramp putar dan silinder yang diam dan ditahahan oleh
sabuk remnya. Kekuatan cengkeraman remnya dilepaskan dengan mengendorkan
sedikit ikatan baut penegang (tension bolt) sehingga daya cengkeramnya berkurang.
Alat ini terutama terdiri dari sebuah overruning clutch yang didalamnya terdapat satu
outer race seal dan ditempatkan diatasnya, serta satu lip seal yang ditempatkan
dibawahnya. Terdapat juga 8-roller dan 8-spiline follower, alat ini kemudian
dipasakkan pada drive shaft. Dan sabuk pengeremnya diturunkan mengelilingi outer
racenya.
B Drive Shaft
Ujung bawah dari drive shaft disambungkan dengan pony-rod dan selanjutnya
disambungkan dengan angkaian sucker rod sampai ke ujung rotor pompa.
C. Spiral Bevel gear Reducer Assembly
260
Susunan roda gigi bevel ini gunanya adalah selain untuk mengurangi
kecepatan putaran, juga untuk mengubah arah putarannya secara menyiku sesuai
dengan rotasi dari rotor pompa.
D. Stuffing Box Assembly
Merupakan bagian aas dari drive head assembly, digunakan sebagai penyekat
kebocoran terdiri dari housing yang didalamnya berisi satu set ring-ring packing.
Susunan dari packing adalah sebagai berikut ini.
Pada bagian terbawah dari packing housing dipasang packing washer. Diatas
washer dipasang dua susun ring packing dan diantaranya dipasang lantern rings (ring-
ring lantera) tempat memasukkan grease pelumas. Pada bagian paling atas dipasang
packing gland penekan packing yang terdiri dari dua belahan yang diikat secukupnya
agar tidak terjadi kebocoran antara drive shaft yang berputar dan packingnya.
Gambar 4.32.
Gerakan Rotor dan Stator
(Pudjo S, 1990)
261
Gambar 4.33.
Penampang Pompa PCP
(Pudjo S, 1990)
Terletak diatas gas anchor yang dihubungkan dengan tubing produksi dan
berfungsi sebagai kedudukan rotor. Stator ini terbuat dari bahan campuran synthetic
elastomer dengan steel tube yang tahan terhadap korosi dan abrasi.
A. Medium High Acrylonitrile, digunakan untuk sumur-sumur dengan kondisi :
Specific Gravity (SG) minyak < 300 API.
Fluida dengan GOR rendah.
Jika ada CO2.
Temperatur maksimum 2000F.
B. Ultra High Acrylonitrile, untuk sumur-sumur dengan kondisi :
SG minyak > 300 API.
Fluida dengan sedikit gas dalam larutan (GRL 0).
Temperatur maksimum 2000F.
C. Very High Acrylonitrile, digunakan untuk sumur-sumur dengan kondisi :
Bila terdapat kandungan asam (H2S) dengan maksimum konsentrasi 15.000
ppm atau 1,5 % dalam larutan.
Banyak terdapat faktor abrasive (pasir kasar).
Bila terdapat iron sulfide dan hydrogen sulfide dengan maksimum konsentrasi
20.000 ppm atau 2 % dalam larutan.
Temperatur maksimum 2000F.
3. Rotor
Rotor ini bentuknya seperti ulir dan merupakan salah satu bagian dari PCP
yang berputar. Komponen ini dimasukkan kedalam tubing dan dihubungkan dengan
sucker rod diatasnya. Rotor ini dibuat dari bahan stainless atau chrome yang tahan
terhadap korosi dan abrasi. Adapun spesifikasi dari rotor adalah :
a. Chrome Plate (Alloy Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya banyak
mengandung faktor abrasive (pasir).
b. Non Plated (Stainless Steel), digunakan untuk sumur-sumur yang cairannya banyak
mengandung asam seperti H2S.
263
4. Sucker Rod
Merupakan penghubung antara rotor dengan peralatan penggerak yang ada di
permukaan. Fungsinya adalah melanjutkan gerak berputar dari Drive Shaft atau Gear
Reducer yang ada didalam drive head ke rotor. Umumnya panjang satu single sucker
rod berkisar antara 25-30ft.
5. Pony Rod
Merupakan sucker rod yang mempunyai ukuran panjang lebih pendek.
Fungsinya adalah melengkapi panjang dari sucker rod apabila panjang dari sucker rod
tidak mencapai panjang yang dibutuhkan. Panjang pony rod adalah 2, 4, 6, 8, 10, dan
12 ft.
Gambar 4.34.
Komponen Rotor dan Stator
(Pudjo S, 1990)
264
Gambar 4.35.
Peralatan Bawah Permukaan
(Pudjo S, 1990)
Pwf Pc
WFL = D mid perf - , feet ………………………………(4-38)
Gf Gf
Dimana :
SFL = Static fluid level, ft
WFL = Working fluid level, ft
Ps = Tekanan statik sumur, psi
Pwf = Tekanan alir dasar sumur, psi
q = Rate produksi, B/D
Dmid perf = Kedalaman mid perforasi, ft
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Minimum
Posisi minimum dalam waktu yang singkat akan terjadi pump off, oleh karena
ketinggian fluida level di atas pompa relatif sangat kecil atau pendek. Pada kondisi ini
pump intake pressure (PIP) akan menjadi kecil. Jika PIP mencapai harga di bawah
tekanan bubble point (Pb), maka akan terjadi penurunan efficiency volumetric dari
pompa (disebabkan terbebasnya gas dari larutan). Pump setting depth (PSD)
minimum dapat ditulis dengan persamaan :
PSD min = WFL + Pb/Gf + Pc/ Gf, ft……………………………..(4-39)
Dimana :
PSDmin = Pump setting depth minimum, ft.
WFL = Working fluid level, ft
Pb = Tekanan buble point, psi
Pc = Casing head pressure, psi
Gf = Gradient fluida, psi/ft
Pump Setting Depth Optimum
Untuk menentukan kedalaman pompa optimum dapat dipergunakan
persamaan sebagai berikut :
268
Gambar 4.36.
Berbagai Posisi Pompa pada Kedalaman Sumur
(Pudjo S, 1990)