Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
Anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin darah di bawah
nilai normal untuk usia dan jenis kelamin, pada pria 13,5-17,5 untuk wanita 11,5-
15,5. (Hoffbrand, 2013)
Menurut data hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu
21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4%
penderita berumur 15-24 tahun (Kemenkes RI, 2014). Data Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi anemia pada
balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar 45,1%, remaja
putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19- 45 tahun sebesar 39,5%. Wanita
mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi terutama pada remaja putri
(Kemenkes RI, 2013). Kejadian anemia di negara berkembang yakni 41% pada
wanita tidak hamil dan 51% pada wanita hamil, sedangkan angka kejadian wanita
hamil anemia di dunia menurut perkiraan sebanyak 41,8% (Gibney et al., 2009).
Prevalensi anemia pada usia yang lebih tua juga meningkat. Etiologi anemia pada
usia yang lebih tua adalah sindrom kegagalan sumsum tulang, penyakit ginjal
kronis, dan kekurangan nutrisi.
Fokus pada referat ini adalah pembahasan mengenai penegakan diagnostis
anemia. Diagnosis anemia lebih dini, terapi dan tindakan selanjutnya dapat
mengurangi tingkat mortalitas dan mordibitas pasien.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia


Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah eritrosit,
kuantitas hemoglobin dan hematokrit. Dengan demikian, anemia bukan suatu
diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang
diuraikan melalui anamnesa seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi
laboratorium (Price, 2002)
Anemia didefi nisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin (Hb) di dalam
darah lebih rendah daripada nilai normal untuk kelompok orang menurut umur dan
jenis kelamin” (Wirjatmadi, Adriani, 2012).
Anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin darah di bawah nilai
normal untuk usia dan jenis kelamin, pada pria 13,5-17,5 untuk wanita 11,5-15,5.
(Hoffbrand 2013)
2.2. Epidemiologi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun
dilapangan. Diperkirakan lebih dari penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita
anemia dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropic. De Maeyer
memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Gambaran prevalensi Anemia di dunia
Lokasi Anak Anak Pria Wanita Wanita
0-4th 5-12th 15-49th hamil
Negara 12 % 7% 3% 14% 11%
Maju
Negara 51% 46% 26% 59% 47%
Berkembang
Dunia 43% 37% 18% 51% 35%
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2014
Gambaran prevalensi anemia pada tahun 1989 sebagai berikut (Buku Ajar IPD,
2014) :
a. Anak prasekolah :30 – 40%
b. Anak usia sekolah :25 – 35%
c. Perempuan dewasa tidak hamil :30 – 40%
d. Perempuan hamil :50 – 70%
e. Laki-laki dewasa :20 – 30%
f. Pekerja berpenghasilan rendah :30 – 40%

2
2.3. Etiologi dan Klasifikasi

Anemia pada dasarnya disebabkan oleh karena gangguan pembentukan eritrosit


oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan), dan proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). (Buku Ajar
IPD, 2014)
Tabel 2. Anemia berdasarkan morfologi eritrosit
Mikrositik hipokrom Normositik normokrom Makrositik

Defisiensi Besi Banyak Anemia Hemolitik Megaloblastik:


Talasemia Anemia Penyakit Kronik Defisiensi asam folat
Anemia Penyakit Kronik Setelah perdarahan akut Defisiensi B12
Keracunan Timbal Penyakit ginjal Non Megaloblastik:
Anemia Sideroblastik Defisiensi campuran Alkohol, penyakit hati,
Kegagalan sumsum tulang mielodisplasia, anemia
aplastic.dll

Sumber: Hoffbrand 2013


2.4 Manifestasi Klinis
Adaptasi utama terhadap anemia adalah pada sistem kardiovaskular dan pada kurva
disosiasi hemoglobin. Pada beberapa pasien dengan anemia yang cukup bera
mungkin tidak ada gejala atau tanda, sedangkan pada pasien lain dengan anemia
ringan mungkin mengalami kelemahan berat. (Hoffbrand, 2013)
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu:
a. Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb <7 g/dL). Sindrom anemia terdiri
dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia
bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia
dan tidak sensitive karena timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat
(Hb < 7g/dL)
b. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing anemia. Sebagai contoh:
1. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychio).
2. Anemia megaloblastik: glostitis, gangguan neurologic pada defisiensi
vitamin B12

3
3. Anemia hemolitik: Ikterus, splenomegaly dan hepatomegali
4. Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda hepatomegali
c. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat
infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar
lebih dominan, seperti misalnya pada anemia kronik oleh karena artritis
rheumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting
pada kasus anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan
pemeriksaan laboratorium. (Buku Ajar IPD, 2014)

2.5 Penegakan Diagnosis

Anemia

Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit


MCV, MCH,MCHC

Anemia hipokromik Anemia normokromik Anemia Makrositer


mikrositer normositer

4
Gambar 1. Algoritme Anemia Hipokromik Mikrositer

Gambar 2. Algoritme Anemia Normokromik Normositer

5
Gambar 3. Algoritma Anemia Makrositer

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2014


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam
diagnosis anemia. Terdiri dari Pemeriksaan penyaring (screening test),
pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang, pemeriksaan khusus
a. Pemeriksaan Penyaring
Pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi
untuk memastikan morfologi menjadi mikrositik, normositik dan
maksrosiik. Selain menunjukan sifat defek primernya, pendekatan ini juga
dapat menunjukan kelainan yang mendasari sebelum terjadinya anemia
yang nyata.

6
b. Pemeriksaan Darah Seri Anemia
Pemeriksaan darah seri meliputi leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan
laju endap darah.
Hitung leukosit dan trombosit
Pengukuran hitung leukosit dan trombosit membantu membedakan anemia
murni dan pansitopenia yang menunjukan gangguan sumsum tulang yang
lebih bersifat umum atau pengrusakan sel secara umum.pada anemia yang
disebabkan oleh hemolysis atau perdarahan, hitung neutrophil dan
trombosit sering sekali meningkat; pada infeksi dan leukemia, hitung
leukosit sering juga meningkat dan mungkin terdapat leukosit abnormal
atau prekusor neutrophil.

Hitung retikulosit
Persentase normal adalah 0,5-2,5% dan hitung absolutnya 50-150x 109 /L.
Hitung retikulosit seharusnya meningkat pada anemia karena eritopoetin
meningkat dan makin tinggi sejalan dengan beratnya anemia. Ini
khususnya terjadi jika terdapat jangka waktu sampai terjadnya hiperplasma
erritoid dalam sumsum tulang seperti pada hemolisiskronik. Setelah
perdarahan berat yang akut terdapat respon eritropoietin dalam 6 jam.
Hitung retikulosit meningkat dalam 2-3 hari, mencapai maksimum dalam
6-10 hari dan tetap tinggi sampai hemoglobin kembali ke kadar normal.
Jika hitng retikulosit meningkat pada anemia ini menunjukan fungsi
sumsum tulang yang terganggu atau kurangnya rangsang eritropoetin.
(Hoffbrand,2013)

c. Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan ini memberikan informasi mengenai keadaan sistem
hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definit pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulag diperlukan untuk
diagnosis anemia aplastic,anemia megaloblastic, serta kelainan
hematologic yang dapat mensupresi sistem eritoid, seperti sindrom
mielodisplastik (MDS).
d. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus,misalnya pada:
Anemia defisiensi besi: serum iron. TIBC ( Total Iron Binding Capacity),
saturasi transferrin, protoporfirin eritrosit, ferritin serum,resptor transferrin
dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
Anemia Megaloblastik: folat serum, vitamin B12, serum tes supresi
deoksirudin dan tes schilling
Anemia Hemolitik: bilirubin serum, tes comb, elektroforesis hemoglobin
dan lain lain.
Anemia Aplastik: biopsy sumsum tulang.
Juga diperlukan pemeriksaan non hematologic tertentu seperti misalnya
pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal atau fungsi tiroid,

7
2.6 Tata Laksana
Pengobatan berdasarkan diagnosis definitive yang telah ditegakkan terlebih
dahulu,apabila tidak bisa ditegakkan maka diberikan terapi percobaan (terapi ex
Juvantivus) dan dilakukan pemntauan serta evaluasi.
2.7 Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi dari anemia adalah sbb:
a) Gagal jantung
Pembesaran jantung pada penderita anemia telah ditemukan sejak
satu abad yang lalu.
Anemia akan menginduksi terjadinya mekanisme kompensasi
terhadap penurunan konsentrasi Hb untuk memenuhi kebutuhan
oksigen jaringan. Pada keadaan anemia, jantung akan meningkatkan
venous return Maka sesuai mekanisme Frank-Starling, jantung akan
meningkatkan stroke volume, sehingga dapat terjadi hipertrofi
ventrikel kiri,dengan miofibril jantung yang memanjang, gagal
jantung kongestif, kejadian gagal jantung berulang dan kematian.
b) Gagal ginjal
Dengan berkurangnya asokan oksigen ke jaringan misalnya pada
ginjal akan terjadi kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan gagal
ginjal.
c) Hipoksia
Hiposia adalah penurunan pemasokan oksigen ke jaringan sampai
ditingkat fisiologik. Hb berfungsi untuk mengangkut oksigen ke
seluruh tubuh. Jika terjadi penurunan Hb maka akan terjadi hipoksia
bahkan dapat menyebabkan kematian.
d) Anemia pada ibu hamil
Seorang wanita hamil yang menderita anemia gizi besi
kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang mempunyai
persediaan zat besi sedikit atau tidak mempunyai persediaan zat besi
sama sekali di dalam tubuhnya. Jika setelah lahir bayi tersebut tidak
mendapatkan asupan zat besi yang mencukupi, bayi akan berisiko
menderita anemia.Anemia berat yang tidak diobati dalam
kehamilan muda dapat menyebabkan abortus, dan dalam kehamilan
tua dapat menyebabkan partus lama, perdarahan postpartum.Selain
itu, anemia pada ibu hamil juga dapat mengakibatkan daya tahan
ibu menjadi rendah terhadap infeksi.
Anemia gizi besi pada wanita hamil mengakibatkan peningkatan
angka kesakitan dan kematian ibu, peningkatan angka kesakitan dan

8
kematian janin dan peningkatan risiko bayi dengan berat badan lahir
rendah.

Prognosis
Prognosis pada penderita anemia jika ditangani dengan cepat maka
prognosisnya baik. Anemia berat yang tidak diobati dapat menyebabkan
syok hingga koma dan meninggal.

9
BAB III
KESIMPULAN
Penegakkan diagnosis anemia harus dilakukan sejak awal. Hal ini bertujuan agar
pemilihan tindakan selanjutnya dapat segera diambil untuk mengurangi tingkat mortalitas
dan morbiditas pasien. Langkah awal diagnosis adalah dengan anamnesis pasien meliputi
gejala, menentukan adanya anemia kemudian melakukan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium untuk menentukan jenis anemia.

Pemeriksaan laboratorium pertama dilakukan menentukan morfologinya dengan


apusan sel darah. Kemudian seri darah anemia seperti hitung leukosit, retikulost dll.
Setelah itu mengikuti alogaritma dan melakukan pemeriksaan khusus lainnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

A.V. Hoffbrand, J. E. Petit , P.A.H. Moss. (2013).Kapita Selekta Hematologi Edisi


6. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Adi, P.R.(2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta`: Interna
Publishing, p:2575-2581
Adriani dan Wirjatmadi. (2012). Peranan Gizi dalam Siklus Kehidupan. Kencana.
Jakarta.
Ansel, H. C., & Prince, S. J. (2006). Kalkulasi Farmasetik. Jakarta:Kedokteran
EGC.
Dorland, Newman WA. (2010). Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.
Jakarta : Penerbit EGC.

Gibney, M.J., et al. (2009). Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.


Kemenkes Ri. (2013). Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
Kemenkes Ri

11

Anda mungkin juga menyukai