Anda di halaman 1dari 20

Jurusan Ilmu Komunikasi

Komunikasi Kelompok
dalam Komunitas
Berbasis Minat dan Hobi
Studi Etnografi terhadap Rivalitas dalam
Komunitas Dance Cover Korea di Yogyakarta
Oleh: Nurlita Prima Regiati (25826)

2014

UNIVERSITAS GADJAH MADA


1. Judul Penelitian
Dinamika Komunikasi Kelompok dalam Komunitas Berbasis Minat dan Hobi
(Studi Etnografi terhadap Rivalitas dalam Komunitas Dance Cover Korea di
Yogyakarta)

2. Latar Belakang Masalah


Sudah bukan hal baru lagi bahwa efek Korean Wave telah banyak mempengaruhi
generasi muda, terutama anak-anak usia remaja di Indonesia. Efek Korean Wave ini
mencakup berbagai macam aspek mulai dari hiburan, fashion, hingga gaya hidup anak-
anak muda di Indonesia, dan negara-negara lain di dunia.
Khusus di Indonesia, semenjak Korean Wave menginvasi dan banyak mendapat
sorotan, boyband-boyband serta girlbalnd-girlband bergaya idola K-Pop mulai
bermunculan. Plagiasi atau hanya terinspirasi, intinya kemunculan grup-grup musik
semacam itu menjamur pasca ‘booming’-nya Korean Wave di Indonesia. Bahkan belum
lama ada salah satu sinetron Indonesia yang terjerat kasus plagiasi atas sebuah drama
Korea.
Disini saya akan memfokuskan penelitian saya pada sebuah komunitas yang
merupakan sub-komunitas dari Komunitas Pecinta K-Pop (K-Popers), bukan sekedar
pecinta artis, musik, ataupun drama biasa. Komunitas ini terbilang cukup unik, karena
selain saling berbagi informasi, membantu dan saling mendukung, pada dasarmya
mereka terlibat dalam sebuah persaingan antar sesama anggotanya.
Komunitas yang saya maksud adalah Komunitas Dance Cover Korea. Komunitas ini
cukup berbeda dengan komunitas yang berhubungan dengan K-Pop dan Korean Wave
lainnya, karena selain hanya menonton atau mengagumi idola-idola mereka, para
anggota komunitas ini justru harus siap ditonton bahkan tak jarang juga diidolakan oleh
anggota-anggota dari sub-komunitas K-Popers lainnya. Ada usaha lebih yang dilakukan
para anggota Komunitas Dance Cover Korea ini, misalnya usaha untuk mempelajari
tarian sang idola, usaha dalam bentuk mengeluarkan biaya untuk keperluan latihan dan
‘performance’, serta usaha-usaha lainnya.
Dance cover sendiri dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menampilkan tarian
yang semirip mungkin dengan tarian yang dilakukan artis yang dicover. Yang lebih
familiar dengan kita mungkin adalah sing cover. Tidak jauh berbeda dengan sing cover,
namun fokus yang dicover pada dance cover adalah tariannya. Semakin mirip dengan
artis yang dicover, baik dari segi tarian, kostum, dan peralatan yang digunakan, maka
poin penilaian akan semakin tinggi. Modifikasi kostum dan tarian tetap diperbolehkan,
bahkan modifikasi tarian justru banyak disarankan sebagai bentuk kreatifitas peserta.
Namun modifikasi yang dilakukan tetap tidak boleh menghilangkan ciri khas asli dari
tarian atau artis yang dicover.
Anggota dari komunitas ini sangat beragam. Mulai dari mereka yang masih duduk di
bangku sekolah, mahasiswa, bahkan tak banyak juga yang sudah bekerja namun masih
tetap aktif dalam dunia ini. Bahkan beberapa dari mereka menjadikan dance cover
sebagai sumber penghasilan. Beberapa bahkan menjadikan dance cover sebagai batu
loncatan untuk terjun ke cabang dunia hiburan yang lain, walupun memang, tipe
anggota yang seperti ini tidak terlalu banyak. Keanggotaan komunitas dance cover Korea
didominasi oleh mereka yang duduk di bangku SMA dan mereka yang masih berstatus
sebagai mahasiswa. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut mereka sudah memiliki
kesadaran untuk berkomitmen yang cukup tinggi, dan masih memiliki cukup banyak
waktu luang untuk berlatih atau berkumpul bersama anggota lainnya.
Sebuah komunitas dance cover terdiri dari banyak agensi-agensi dance cover yang
menaungi grup-grup dance cover yang ada. Namun tidak semua grup dance cover
berada dalam sebuah agensi. Banyak juga grup dance cover yang independen.
Sebenarnya kebanyakan agensi dance cover hanya sebatas menghimpun beberapa grup
dance cover dalam satu atap. Agensi bertanggung jawab menjaga hubungan antar grup
di dalamnya, serta menghubungkan grup yang dinaunginya dengan pihak luar. Namun
jangan kira agensi-agensi dance cover ini tingkatannya sudah se-formal dan se-
profesional agensi yang menaungi artis-artis pada umumnya.
Agensi-agensi ini tidak memiliki kontrak yang mengikat dan tidak membiayai
keperluan sang penari atau mengambil jatah honor penari saat mereka memenangkan
suatu kompetisi atau mendapat tawaran untuk tampil. Agensi ini biasanya hanya
bertugas mencarikan studio untuk latihan, mengelola uang kas, membantu mengoreksi
gerakan penari setiap latihan, membuka perekrutan jika ada grup yang anggotanya
kurang lengkap, mencarikan acara-acara Korea dimana grup-grup yang dinaunginya
dapat berpartisipasi baik sebagai peserta lomba ataupun pengisi acara.
Ada pola hubungan sosial yang cukup unik diantara para anggota komunitas dance
cover Korea ini. Pada saat mereka terlibat dalam sebuah kompetisi dance cover, mereka
akan menjadi rival satu sama lain. Mereka akan berlomba-lomba untuk menjadi yang
terbaik di antara yang lainnya. Namun di luar kompetisi, mereka harus tetap menjaga
hubungan baik dengan anggota komunitas, walaupun berasal dari grup dan agensi yang
berbeda.
Anggota komunitas, sering kali ikut mendukung grup dance cover lain secara terang-
terangan, walupun grup tersebut bukanlah berasal dari agensi dance cover yang sama
dengannya. Tak jarang bahkan seorang anggota komunitas dance cover Korea justru
menjadi penggemar berat dari grup dance cover lain yang bukan satu agensi. Namun,
hubungan yang hangat antar sesama anggota ini tidak selalu terjadi. Dalam sebuah
komunitas pastilah pernah terjadi konflik-konflik, terlebih dalam komunitas dance cover
yang selain saling berbagi juga bersaing satu sama lain.
Konflik dapat disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya perpindahan seorang anggota
dari satu grup atau satu agensi ke grup atau agensi lainnya tanpa didahului pembicaraan
yang baik dengan anggota grup atau agensi lamanya, masalah pribadi salah satu anggota
komunitas yang pada akhirnya menyeret keseluruhan anggota grup bahkan agensi yang
menaunginya, atau konflik yang muncul sebagai dampak dari kompetisi dance cover.
Beberapa kali saya menonton kompetisi dance cover, mulai dari yang di Bekasi,
Jakarta, Bandung dan terakhir di Yogyakarta. Saya melihat perbedaan yang cukup jelas
pada karakteristik komunitas dance cover di kota-kota tersebut. Di Bandung, Jakarta dan
Bekasi dapat dikatakan cenderung sama, namun di Yogyakarta sangatlah berbeda.
Terakhir kali saya menonton kompetisi dance cover pada acara “Korean Day” yang
diadakan oleh Jurusan Bahasa Korea Universitas Gajah Mada, dan saya tidak melihat
hubungan yang cukup hangat antar grup dance cover yang berpartisipasi dalam
kompetisi tersebut.
Saat satu grup tampil, grup lain cenderung pasif dan tidak apresiatif. Sebelum
tampil, saya juga sempat berjalan-jalan di sekitar venue, dan melihat banyak grup
sedang bersiap-siap untuk tampil. Walaupun mereka duduk berdekatan, mereka tidak
saling mengobrol satu sama lain. Ini sangatlah kontras dengan apa yang biasa saya lihat
di Jakarta, Bandung dan Bekasi. Jika berdekatan seperti itu, setidaknya pasti anggota
grup akan saling berkenalan atau menyapa walaupun hanya dengan sebuah senyuman.
Setelah acarapun tidak jauh berbeda. Grup-grup yang sudah tampil kebanyakan
langsung keluar, jika menetap di lokasi acara, mayoritas dari mereka mengambil tempat
duduk paling belakang. Jika dibandingkan dengan apa yang saya lihat di Jakarta,
Bandung dan Bekasi, para penari yang sudah selesai tampil biasanya akan berjalan-jalan
tidak hanya menetap di satu tempat. Mereka akan berjalan-jalan melayani para
penggemar yang meminta foto bersama, setelah itu mereka biasanya justru mengambil
tempat yang paling dekat dengan panggung untuk melihat bahkan mendukung grup
lainnya.
Hubungan antar grup yang cenderung kurang hangat, biasanya akan meningkatkan
peluang terjadinya konflik dalam komunitas yang bersangkutan. Salah satu penyebab
konflik misalnya, diawali dengan ketidakpuasan suatu grup akan hasil penjurian dari
sebuah kompetisi. Dalam beberapa kasus, bahkan sebuah hal sepele dan sangat
kekanak-kanakan. Kemunculan sebuah grup baru (rookie) yang berhasil menampilkan
performa sangat baik dan mendapat respon bagus dari penonton bahkan dewan juri,
dapat menjadi pemacu terjadinya konflik. Konflik ini terjadi akibat, hal tersebut
menimbulkan kecemburuan bagi grup-grup lain yang terbilang sudah lebih senior
(sunbae).
Konflik ini akan meluas efeknya saat salah satu grup (biasanya grup sunbae) sudah
mulai berani menjelek-jelekkan grup lain di media sosial, dan menurut informasi dari
salah satu anggota komunitas dance cover Korea di Yogyakarta, ini sempat terjadi. Grup
senior (sunbae) memanfaatkan jumlah followernya yang cukup banyak. Mereka
menjelek-jelekan grup lain secara terang-terangan, dan membuat pengikut mereka ikut
berpendapat buruk terhadap grup yang bersangkutan tersebut. Hubungan antar grup
akan merenggang dan sulit sekali diperbaiki jika konflik sudah mencapai level ini. Pada
akhirnya, sebuah kompetisi dance cover yang harusnya menjadi ajang unjuk bakat,
menjadi arena perang kepentingan pribadi dengan adanya konflik ini. Kompetisi dance
cover di Yogyakarta akan menjadi kompetisi yang tidak sehat, jika ada terlalu banyak
konflik pribadi yang mengintervensinya.
Disini peneliti akan mencoba mendeskripsikan rivalitas yang ada di dalam komunitas
dance cover Korea di Yogyakarta melalui paradigma Ilmu Komunikasi. Rivalitas dalam
komunitas ini akan dijelaskan dengan mengidentifikasi karakteristik dan pola komunikasi
kelompok yang terjadi di dalam komunitas. Selanjutnya hasil identifikasi tersebut akan
saya hubungkan dengan iklim yang melingkupi kompetisi dance cover Korea yang
diadakan di wilayah Yogyakarta.

3. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa rumusan permasalah dari penelitian ini adalah:
“Bagaimana rivalitas dalam Komunitas Dance Cover Korea di Yogyakarta?”

4. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dinamika komunikasi kelompok yang terjadi dalam Komunitas
Dance Cover Korea di Yogyakarta.
2. Mengetahui perilaku kelompok dalam kompetisi Dance Cover Korea yang
diadakan di Yogyakarta.
3. Memperkaya khasanah kajian tentang dinamika komunikasi, khususnya tentang
persaingan dalam komunitas berbasis minat dan hobi.

5. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada perkembangan
ilmu komunikasi, terutama untuk pembahasan tentang bentuk rivalitas sebagai
salah satu bagian dari dinamika komunikasi komunitas yang berbasiskan minat dan
hobi.

b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau referensi, sekaligus
menjadi pembanding untuk penelitian selanjutnya yang memiliki objek atau
permasalahan yang sama, yaitu berkaitan dengan komunikasi kelompok besar
terutama dalam komunitas yang berbasiskan minat dan hobi.

6. Kerangka Pemikiran
a. Kerangka Teori
1. Komunitas
Kata ‘komunitas’ berasal dari bahasa latin, ‘communitas’ yang memiliki dua
buah interpretasi berbeda: (1) kualitas persamaan minat yang mendorong
kualitas keikutsertaan. (2) sekumpulan individu yang memiliki ikatan eksternal
sama (Guddykunst, 2003:391). Sleiznick menambahkan, “community evokes the
feeling that ‘Here is where I belong, these are my people, I care for them, they
care for me, I am part of them’… its absence is experienced as an achy loss, a
void … feelings of isolation, falseness, instability, and improverishment of
spirits.” (Sleizick dalam Gudykunst, 2003:391)
Berangkat dari interpretasi pertama bahwa Komunitas Dance Cover di
Yogyakarta terbentuk dari adanya persamaan minat para anggotanya, yaitu
minat kepada K-Pop dan menari yang selanjutnya mendorong mereka untuk
ikutserta dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh komunitas ini. Definisi lain
tentang komunitas diajukan oleh Selznick yang berpendapat bahwa,
“community provide settings within which people grow and folourish and within
which subgroups are nourished and protected.” (Selznick dalam Guddykunst,
2003:391)
Sementara itu definisi dari National Research Council berbeda lagi. Seperti
yang dikutip dalam Mattessich and Monsey komunitas didefinisikan sebagai
sekelompok orang yang tinggal berdekatan dan disatukan oleh minat yang sama
atau gotong-royong (Phillips, 2009:5). Masih tentang komunitas, Peck
merumuskan beberapa karakteristik dari komunitas (Peck dalam Prabawati,
2012:21):
1) Inklusivitas. Eksklusivitas dalam sebuah komunitas akan menimbulkan
‘cliques’ yang kedepannya dapat menghancurkan komunitas yang
bersangkutan.
2) Komitmen. Setiap anggota komunitas harus memiliki komitmen untuk
saling menerima satu sama lain demi mendorong rasa saling memiliki
antar sesame anggota komunitas.
3) Konsensus. Membangun consensus dalam komunitas dengan anggota
yang beragam memang membutuhkan diskusi dan konfrontasi khusus,
namun tidak sepatutnya perbedaan ini dianggap sebagai hambatan
untuk bersatu.
4) Kontemplasi. Secara sederhana kontemplasi mengarah pada
kemampuan anggota komunitas untuk menempatkan diri saat
berhubungan dengan diri sendiri, orang lain.
5) Safe Place. Istilah safe place ini mengarah pada komunitas yang
nantinya akan menjadi sebuah tempat yang aman bagi para anggotanya
untuk berbicara dari hati dan dimana mereka merasa diterima.
6) Vulnerability. Saat menjadi anggota sebuah komunitas, anggota
dituntun untuk dapat terbuka dengan anggota lainnya.
7) Graceful Fighting. Konflik dan persaingan akan selalu terjadi dalam
komunitas, namun konflik ini harusnya dianggap sebagai proses
pendewasaan dari komunitas. Maka dari itu anggota komunitas harus
bisa menerima opini dan mengerti satu-sama lain.
Secara sederhana, proses pembentukan komunitas sosial dapat
digambarkan oleh bagan berikut (Peck dalam Prabawati, 2012:21):

Pseudocommunity Chaos Emptiness Community

Tahap awal, Saat dimana Akibat dari chaos, Tahap dimana


dimana anggota konflik mulai dimana komunitas anggota komunitas
masih sangat muncul dan mulai berpikir ulah mulai berani
menghindari semakin rumit tentang dasar, berdialog,
konflik dan ramah tujuan, berdiskusi,
satusama lain kenyamanan dan terbuka, dan saling
kontrol menerima

Friedman membedakan komunitas menjadi dua jenis. Yang pertama adalah


community of affinity. Komunitas ini memiliki anggota yang memiliki jalan
pikiran serupa, dan bersatu untuk kepentingan keamanan. Rasa aman ini timbul
akibat adnya persamaan bahasa yang digunakan dan slogan, namun mereka
sebenarnya tidaklah begitu dekat satu sama lainnya. Sedangkan yang kedua
adalah community of otherness. Anggota yang berkontribusi dalam komunitas
yang kedua memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, namun ‘concern’
dengan masalah yang sama (Guddykunst, 2003:392).
Di dalam suatu komunitas, tidak menutup kemungkinan bagi para
anggotanya untuk membentuk kelompok sendiri-sendiri lagi didalamnya.
Bahkan pada beberapa kasus, sebuah kelompok terbentuk terlebih dahulu
sebelum kelompok-kelompok itu memasuki konteks yang lebih besar, yaitu
komunitas. Salah satu contohnya adalah komunitas dance cover ini yang
tergabung dari kelompok-kelompok yang lebih kecil, grup atau agensi dance
cover.

2. Komunikasi dalam Komunitas


Martin Buber berpendapat bahwa dialog adalah faktor penting dalam
pengembangan suatu komunitas, karena dalam dialog perasaan untuk
mengontrol dan memiliki sesuatu dapat diminimalisir, tiap partisipan menerima
keberadaan lawan bcaranya, bahkan saat terjadinya konflik. Tujuan utama dari
dialog sebenarnya bukan sekedar untuk mengenali orang yang sebelumnya tidak
kenal, namun lebih kepada memahami sosok lawan bicara kita tersebut. Dengan
dialog, kita akan merasa lebih manusiawi dan akan memperlakukan orang lain
secara lebih manusiawi pula.
“For most of us, engaging in dialogue requires that we be mindful of our
communication. When we are mindful, we need to focus on what is happening
between ourselves and strangers and do not think about our goals, we can
engage in dialogue with strangers.” (Guddykunst, 2003:393)
Pola komunikasi yang terjadi dalam komunitas dance cover dapat kita
klasifikasikan kedalam bentuk komunikasi kelompok. Alasannya, komunitas
dance cover ini sendiri merupakan komunitas yang terdiri dari kelompok-
kelompok kecil grup dance cover, maupun kelompok yang lebih besar yaitu
agensi dance cover. Karena adanya kelompok-kelompok di dalam komunitas ini,
maka komunikasi yang terjadi kebanyakan merupakan komunikasi kelompok.
Komunikasi kelompok diartikan Michael Burgoon sebagai, “The face to face
interaction of three or more individuals, for a recognized purpose such as
information sharing, self maintainance, or problem solving, such that the member
are able to recall personal charateristics of the other member accurately.”
(Burgoon dalam Wiryanto, 2006:46)
Interaksi adalah modal dasar dari suatu kelompok untuk berkembang.
Eksistensi dari sebuah kelompok tergantung pada pertukaran informasi yang
terjadi dalam kelompok tersebut. Jaringan komunikasi dibedakan berdasarkan
fungsi transmisi dan resepsi pesan dari satu anggota ke anggota lainnya. Berikut
adalah bentuk jaringan yang paling sering digunakan oleh kelompok (Barker dan
Gaut, 1996:185):
i. Circle network: dalam jaringan ini anggota menyalurkan informasi dari satu
sisi ke sisi lain. Tiap anggota kedudukan serta akses yang sama terhadap
informasi.
ii. Wheel network: Arus komunikasi dalam jaringan ini terpusat. Ada seorang
anggota di tengah jaringan yang memiliki kuasa untuk mengontrol arus
informasi.
iii. Y dan Chain Network: Kedua jaringan ini memiliki bentuk yang berbeda,
namun karakteristiknya tidak jauh berbeda. Jaringan ini lebih tersentralisasi
dibandingkan wheel network, karena itu biasanya orang yang berada di
pusat jaringan dilihat sebagai pemimpin.
iv. All channel structure: Jaringan ini biasa digunakan untuk mengambarkan
diskusi kelompok tanpa pemimpin. Dalam jaringan ini tidak ada peluang
munculnya seorang pemimpin dalam kelompok. Namun, jaringan ini dapat
membuka peluang bagi jaringan lain untuk tumbuh di dalamnya.

3. Kompetisi, Kontravensi dan Konflik


Persaingan atau kompetisi didefiniskan Gillin dan Gillin sebagai suatu proses
sosial dengan menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang telah
ada demi menguasai sektor-sektor kehidupan yang pada suatu waktu menjadi
pusat perhatian umum, yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tanpa
menggunakan kekerasa (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 1992:99). Persaingan
bukanlah merupakan suatu hal yang buruk dan patut dihindari. Pada tingkatan-
tingkatan tertentu bahkan persaingan dapat memberikan beberapa manfaat,
seperti dikutip dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar karya Soerjono Soekanto:
1. Menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat
kompetitif.
2. Memberikan alternatif-alternatif pemuas kebutuhan ataupun
kepentingan manusia.
3. Sebagai alat untuk menyeleksi kedudukan dan peran individu sesuai
dengan kemampuanya.
4. Sebagai filter dalam proses pembagian kerja di masyarakat.
Meskipun persaingan dapat memberikan manfaat-manfaat seperti yang
disebutkan diatas, tetap tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah persaingan
akan memberikan dampak negatif bagi pihak-pihak yang terlibat. Masih dalam
buku yang sama, Soerjono Soekanto mengungkapkan beberapa hasil dari
persaingan:
1. Persaingan kemungkinan besar akan menciptakan sebah kepribadian
baru dalam diri pihak-pihak yang bersaing. Ini disebabkan, saat bersaing
pihak yang bersaing harus mengenali lawannya, jadi dengan sendirinya
akan timbul perasaan lebih peka serta terbentuk pandangan dan
pengetahuan yang lebih luas pada diri mereka.
2. Persaingan akan mendorong pihak-pihak yang bersaing untuk
memberikan performa terbaiknya. Ini akan menimbulkan gairah
produktivitas dalam diri mereka, dan akhirnya dapat memajukan
masyarakat dimana mereka berada.
3. Persaingan, selama dilakukan secara sehat, akan dapat mempererat
solidaritas suatu kelompok yang bersangkutan karena saat bersaing
setiap pihak akan berusaha saling menyesuaikan untuk mencapai
sebuah keserasian.
4. Seringkali persaingan menyebabkan perubahan yang sangat cepat
dalam masyarakat. Perubahan yang cepat ini jika tidak diimbangi oleh
kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dan mereorganisasi
struktur sosial mereka akan menyebabkan disorganisasi dalam struktur
sosial masyarakat tersebut.
Jika dalam suatu persaingan dibumbui oleh prasangka-prasangka atau
perilaku negate pihak-pihak yang terlibat didalamnya, selanjutnya persaingan
akan mengarah kepada situasi yang dinamakan kontravensi. Secara sederhana,
kontravensi dapat diartikan sebagai keadaan diantara persaingan dan konflik.
Ada lima bentuk kontravensi menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker
(Wiese dan Becker dalam Soekanto, 1992:104):
1. Umum: meliputi penolakan, keengganan, perlawanan, menghalang-
halangi, protes, mengganggu, kekerasan, mengacaukan rencana pihak
lain.
2. Sederhana: menyangkal pernyataan pihak lain di muka umum, memami
melalui surat-surat atau selebaran, mencerca, memfitnah, melemparkan
pernyataan yang memberatkan pihak lain.
3. Intensif: menghasut, menyebarkan desas-desus, mengecewakan pihak
lain.
4. Rahasia: mengumumkan rahasia pihak lain, dan berkhianat.
5. Taktis: mengejutkan lawan, membingungkan pihak lain, memaksa pihak
lain menyesuaikan diri dengan kekerasan, provokasi, intimidasi.
Jika kontravensi yang terjadi tidak kunjung diselesaikan, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa kontravensi yang terjadi akan mengarah pada
situasi dengan level yang lebih panas yaitu, pertentangan atau konflik. Sebuah
konflik adalah kontravensi yang sudah disertai oleh kekerasan seperti
penyerangan, penekanan, atau penghancuran pihak lawan. Perilaku-perilaku
tersebut didasari oleh perasaan benci atau amarah yang memuncak pada pihak
lawan. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan konflik, yaitu:
1. Perbedaan pendirian dan perasaan seringkali menjadi akar sebuah
konflik.
2. Perbedaan kebudayaan yang diakari oleh perbedaan kepribadian
seseorang (kepribadian seseorang seringkali dipengaruhi oleh pola-pola
pemikiran kelompok dimana individu itu berada).
3. Perbedaan kepentingan, mulai dari kepentingan politik, ekonomi, dan
sebagainya.
4. Perubahan sosial yang terlalu cepat dan mengubah nilai-nilai dalam
masyarakat yang memacu disorganisasi struktur sosial.
Seperti halnya kontravensi dan persaingan yang juga merupakan proses
sosial disosiatif, konflik tidak selamanya membawa dampak buruk bagi pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya. Positif atau negatifnya dampak dari suatu konflik
tergantung kepada persoalan yang dipertentangkan dan struktur masyarakat
dimana konflik tersebut terjadi. Berikut adalah akibat-akibat dari konflik seperti
yang dikemukakan Soerjono Soekanto dalam “Sosiologi: Suatu Pengantar” :
1. Konflik secara otomatis akan mempererat solidaritas ‘in-group’
kelompok-kelompok yang terlibat, karena mereka akan saling bahu-
membahu dan rela berkorban demi menghancurkan lawannya.
2. Di sisi lain, konflik akan menggoyahkan persatuan antara pihak-pihak
yang bertentangan.
3. Konflik dapat menyebabkan pihak-pihak yang terlibat didalamnya
merasa tertekan, dan berimbas pada perubahan kepribadian individu-
individu tersebut.
4. Konflik sering kali menyebabkan kerugian harta-benda dan jatuhnya
korban jiwa, yang bahkan tidak memihak pada pihak manapun yang
terlibat konflik.
5. Jika pihak yang berkonflik memiliki kekuatan yang seimbang, maka
konflik akan berakhir pada akomodasi. Jika salah satu pihak lebih kuat,
maka akan timbul dominasi oleh pihak yang lebih kuat itu dan akibat
fatalnya adalah akan adanya penaklukan bahkan pemusnahan pada
pihak yang lemah.

b. Kerangka Konsep
Berangkat dari fakta bahwa komunitas dance cover adalah sebuah
komunitas yang terdiri dari banyak grup maupun agensi dance cover. Sesuai
pendapat dari Brigham, kelompok didefinisikan sebagai dua atau lebih orang
yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, dan mereka
disatukan oleh ketertarikan maupun tujuan yang sama (Walgito, 2008:8). Ini
sangat sesuai untuk menggambarkan grup dance cover.Selanjutnya beberapa
grup dance cover dapat tergabung dalam suatu agensi, namun tidak semua grup
berada di bawah naungan agensi. Banyak pula grup yang independen. Dan
semua grup tersebut baik yang tergabung dalam agensi maupun tidak
merupakan bagian dari komunitas dance cover.
Bergabungnya mereka dalam komunitas dance cover terjadi secara
natural. Saat mereka sudah menjadi bagian dari sebuah grup dance cover atau
agensi dance cover, artinya mereka sudah menjadi bagian dari komunitas dance
cover dimana mereka berada baik secara sadar maupun tidak. Selanjutnya
keanggotaan komunitas ini dapat direalisasikan dengan bergabung dalam grup
Facebook ataupun mengikuti akun Twitter komunitas yang bersangkutan.
Menanggapi penjelasan pada pembahasan sebelumnya bahwa “dalam
suatu komunitas tidak menutup kemungkinan untuk terbentuk kelompok-
kelompok kecil di dalamnya”, apa yang terjadi pada grup dance cover dapat
dibilang adalah kebalikannya. Statemen yang tersebut diatas mengindikasikan
bahwa kelompok terbentuk setelah adanya komunitas. Kenyataan yang terjadi
pada komunitas dance cover adalah, kelompok-kelompok tersebut terlebih dulu
ada, barulah mereka berkumpul membentuk sebuah komunitas dance cover.
Senada dengan paparan pada pembahasan sebelumnya, dalam setiap
kelompok pasti terjadi interaksi. Devito memaparkan tahapan-tahapan interaksi
dalam sebuah kelompok, yaitu kontak, keterlibatan dan terakhir keintiman
(Walgito, 2008:24). Namun sebelum terjadinya kontak, ada presepsi-presepsi
tertentu yang timbul dalam diri seorang individu, dan presepsi inilah yang akan
menentukan kontak seperti apa yang akan Ia lakukan dengan orang lain.
Interaksi adalah jiwa dari suatu kelompok. Salah satu bentuk interaksi
adalah komunikasi. Komunikasi merupakan sebuah proses yang berkelanjutan
dan selalu berkaitan dengan pesepsi. Tidak hanya dalam bentuk verbal, simbol-
simbol, gesture, dan espresi juga termasuk komunikasi. Bahkan saat seorang
individu sedang berfikir, dirinyapun sebenarnya sedang melakukan komunikasi
intrapersonal.
Presepsi yang salah akan satu pihak yang disebabkan oleh ketidak
tahuan satu kelompok terhadap kelompok lain dapat mengarah pada prasangka.
Prasangka ini akan menentukan sikap suatu kelompok terhadap kelompok lain.
Inilah yang menjadi penyebab banyaknya perselisihan yang terjadi antar
kelompok, tak terkecuali kelompok seperti grup dance cover.
Prasangka ini dapat dijadikan salah satu faktor yang memacu persaingan
yang seharusnya sehat antar grup dance cover, berbelok menjadi kontravensi
bahkan seringkali berakhir sebagai konflik atau pertikaian antar grup dance
cover. Prasangka yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang dapat disebut
stereotip.
Stereotip inilah yang sangat berbahaya bagi kedamaian dan kelestarian
persaingan yang sehat antar anggota komunitas dance cover. Komunitas dance
cover merupakan sebuah komunitas yang sarat dengan persaingan antar grup-
grup yang tergabung di dalamnya. Jika banyak dibumbui stereotisme atau
prasangka, maka komunitas ini akan sangat rentan konflik internal yang pastinya
tidak akan baik bagi keberlangsungan komunitas ini sendiri.

c. Kerangka Operasional
Dari definisi komunitas yang telah disebutkan di atas, sepertinya definisi
dari National Research Council adalah yang paling sesuai untuk menggambarkan
Komunitas Dance Cover di Yogyakarta. Grup dance cover terdiri dari orang-orang
yang memiliki ketertarikan yang sama, yaitu pada K-Pop dan dunia tari. Selain itu
mereka juga tinggal di satu daerah yang sama yaitu, Yogyakarta.
Jika direfleksikan dari tahap pembentukan komunitas yang dipaparkan
oleh Peck, maka komunitas dance cover masihlah berada pada masa peralihan
antara masa pseudocommunity dan chaos. Hal ini disebabkan masih terus
bertambahnya anggota dari komunitas ini. Anggota baru belum memiliki
hubungan yang dalam dengan anggota lainnya, seperti yang terjadi pada
anggota lama. Mereka masih merasa kaku, dan masih sangat menghindari
konflik. Sementara pada anggota lama, konflik mulailah bermunculan dan
beberapa sudah mulai masuk ke tingkatan yang rumit.
Seperti komunitas-komunitas lainnya, komunitas dance cover juga
memiliki ciri khas jaringan komunikasinya sendiri. Jika diklasifikasikan menurut
jaringan komunikasi yang dikemukakan Barker dan Gaut, jaringan komunikasi
komunitas ini dapat kita masukan kedalam kategori circle network. Walaupun
tiap grup atau agensi biasanya memiliki pemimpinnya masing-masing, jika dilihat
dari bingkai keseluruhan komunitas jaringan komunikasi komunitas ini masuk ke
dalam kategori circle network. Hal ini disebabkan, tidak adanya struktur
organisasi maupun kepemimpinan yang jelas dalam komunitas ini, sehingga
pesan disampaikan secara melingkar, dan setiap anggota memiliki peluang akses
informasi yang sama.
Komunitas dance cover Korea yang memiliki basis minat dan bakat,
sangatlah sarat dengan kompetisi. Persaingan antar grup maupun agensi terasa
sangat jelas antara grup ini. Pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah
apakah persaingan yang terjadi di dalam komunitas ini sudah mengarah kepada
kontravensi atau bahkan konflik, atau masih sebatas persaingan dalam dunia
tari saja.
Peneliti telah menemukan beberapa kasus konflik antar grup cover
dance. Yaitu grup X-School yang menjelek-jelekan grup Girl’s Day tanpa alasan
yang jelas di akun Twitter resmi mereka, sehingga grup Girl’s Day mendapatkan
banyak mention bernuansa cercaan dari pendukung grup X-School. Namun
tidaklah bijaksana rasanya jika rivalitas yang terjadi dalam komunitas ini dinilai
berdasarkan satu kasus saja.

7. Metodologi
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih, mengingat objek yang diteliti merupakan
objek yang kompleks. Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi rivalitas dalam
suatu kelompok, sehingga hasil penelitian tidak memungkinkan untuk serta merta
digambarkan dalam bentuk numerik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk
menghasilkan hipotesis dari penelitian lapangan (Mulyana, 2004:145).

b. Metode Penelitian
Salah satu metode dalam penelitian kualitatif adalah etnografi. Etnografi
berakar dari ilmu antropologi. Pada dasarnya etnografi adalah kegiatan untuk
memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena
teramati kehidupan sehari-hari (Mulyana, 2004:161). Peneliti memilih metode
etnografi agar bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan mendalam, serta
menemukan fakta-fakta unik terkait dengan dinamika komunikasi dan rivalitas yang
terjadi di dalam Komunitas Dance Cover Korea di Yogyakarta.
“Penelitian etnografi bersifat deskriptif, holistik, dan ilmiah. Maksud dari
deskriptif adalah, peneliti mencoba untuk memaparkan setiap kejadian dalam
kelompok masyarakat yang menjadi objek penelitian. Holistik dan ilmiah berarti
bahwa peneliti harus mengamati setiap kejadian langsung dari sumbernya, lalu
melakukan cross-check dan interpretasi data. Karena yang menjadi sumber
penelitian bersifat eksplisit dan implisit, peneliti harus mampu mengungkapkan dan
menarik kesimpulan walaupun anggota kelompok tidak pernah mengatakannya. “
(Sejati, 2012:36)

c. Sumber Data
1) Objek Penelitian
Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian ini adalah rivalitas dalam
Komunitas Dance Cover Korea di Yogyakarta, periode Agustus hingga Desember
2014. Peneliti akan mengkaji tentang dinamika kelompok dan komunikasi
kelompok dalam komunitas ini menjelang diadakannya kompetisi dance cover
Korea, yaitu pada saat latihan, pada saat perlombaan, dan setelah perlombaan.
Dinamika kelompok dan dinamika kelompok dalam Komunitas Dance Cover
Korea di Yogyakarta nantinya akan membantu peneliti memahami rivalitas
dalam komunitas tersebut.
Pemilihan tiga waktu yang berbeda untuk dikaji ini dimaksudkan untuk
melihat dinamika kelompok, persamaan maupun perbedaan karakteristik
komunikasi baik antar sesama anggota grup yang sama atau dengan anggota
grup lain yang masih merupakan bagian dari Komunitas Dance Cover Korea
sebelum, saat, dan setelah perlombaan berlangsung.
Selain itu pemilihan tiga periode waktu yang berbeda juga dimaksudkan
agar peneliti dapat melihat rivalitas yang terjadi dalam Komunitas Dance Cover
Korea di Yogyakarta secara lebih luas dan menyeluruh. Peneliti bertujuan untuk
menyajikan data yang lebih kaya dan mendalam terkait dengan permasalahan
yang diangkat.

2) Subjek Penelitian
Sementara itu, subjek dari penelitian ini adalah Komunitas Dance Cover
Korea Yogyakarta serta semua yang terlibat dalam kompetisi dance cover Korea
yang diadakan di wilayah Yogyakarta. Ini meliputi grup-grup maupun anggota
grup yang tergabung dalam komunitas dance cover Korea. Pemilihan subjek
tersebut didasarkan pada kriteria:
a. Komunitas Dance Cover Korea Yogyakarta masih tergolong baru, jika
dibandingkan dengan komunitas serupa yang terdapat di kota-kota lain
seperti Jabodetabek dan Bandung.
b. Komunitas dance cover Korea memiliki karakteristik sebagai komunitas
yang berbasis pada persamaan minat, yaitu ketertarikan pada K-Pop
dan persamaan hobi, yaitu menari. Meskipun mereka tergabung dalam
satu komunitas, namun grup-grup yang berada di dalamnya
sebenarnya saling bersaing untuk mendapatkan gelar terbaik dalam
setiap kompetisi dance cover Korea yang diadakan
c. Peneliti sebelumnya sempat menjadi bagian dari komunitas serupa di
kota lain, tepatnya Jakarta. Dengan pengalaman sebagai anggota dari
komunitas serupa, diharapkan peneliti dapat lebih mudah membaur
dengan anggota Komunitas Dance Cover Korea Yogyakarta.
Setelah menentukan subjek penelitian, peneliti harus dapat menetapkan
informan kunci. Tremblay dalam Penggunaan Teknologi dalam “Komunikasi
Kelompok Kecil (Studi Etnografi terhadap Penggunaan Group Chat Blackberry
Messenger dalam Keluarga)” mengatakan bahwa pertimbangan pemilihan
informan kunci didasarkan pada hal-hal berikut (Sejati, 2012:42):
Highlights the characteristics of an “ideal” key informant:
a) Role in community. Their formal role should expose them to the
kind of information being sought by the researcher.
b) Knowledge. In addition to having access to the information desired,
the informant should have absorbed the information meaningfully
c) Willingness. The informant should be willing to communicate their
knowledge to the interviewer and to cooperate as fully as possible.
d) Communicability. They should be able to communicate their
knowledge in a manner that is intelligible to the interviewer.
e) Impartiality. Key informants should be objective and unbiased. Any
relevant biases should be known to the interviewer.

3) Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini rencananya akan dilakukan di tempat-tempat dimana
grup-grup yang menjadi bagian dari komunitas biasa berlatih yaitu, Sanggar 16
di daerah Mandala Krida, Studio Tari di lantai dua Apotik Condong Catur di
daerah Condong Catur, dan koridor-koridor Grha Sabha Pramana UGM yang
juga sering dijadikan tempat latihan bagi para anggota komunitas dance cover.
Waktu penelitian masih belum dapat dipastikan, tergantung kapan informan
mengabarkan adanya latihan rutin grup cover dance-nya.
Selain itu penelitian juga akan dilakukan pada saat kompetisi dance
cover berlangsung. Salah satu kompetisinya adalah “Korean Culture Festival”
yang akan diadakan oleh Sekolah Vokasi Bahasa Korea UGM di Aula Sekolah
Vokasi UGM, tanggal 30 Agustus 2014, selang satu hari peneliti akn melakukan
penelitian lain pada acara “Gathering BTS” di Asrama Dharma Putera UGM,
selain itu saat Korean Day yang akan diadakan UKDW bulan September 2014 di
Aula UKDW.
Jika dalam periode Agustus hingga Desember 2014, peneliti
mendapatkan informasi adanya kompetisi dance cover lain di Yogyakarta maka
peneliti juga akan melakukan penelitian pada acara tersebut. Tanggal-tanggal
dan lokasi tersebut belum bisa ditetapkan secara pasti, mengingat seringnya
terjadi perubahan lokasi dan waktu kompetisi karena satu dan lain hal yang
merupakan kebijakan panitia penyelenggara kompetisi.
d. Teknik Pengambilan Data
Penelitian etnografi bertujuan untuk menguraikan suatu kebudayaan
secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya yang bersifat material maupun
abstrak (Mulyana, 2004:161) Senada dengan pernyataan sebelumnya, maka
penggunaan satu macam perspektif saja rasanya tidak cukup untuk
memperoleh data dengan proporsi yang seimbang.
Maka dari itu, peneliti akan menggunakan perspektif baik dari internal
maupun eksternal dalam penelitian ini. Dari perspektif internal, peneliti akan
memperoleh data melalui percakapan dengan subjek. Sedangkan observasi dan
catatan etnografi akan dilakukan peneliti untuk menperoleh data yang sifatnya
eksternal. Berikut adalah rincian teknik pengumpulan data yang akan dilakukan
peneliti:
a) Membuat catatan etnografi
Peneliti akan mendokumentasikan seluruh kegiatan yang dilakukan
anggota Komunitas Dance Cover Korea Yogyakarta. Catatan ini akan
diklasifikasikan ke dalam tiga periode waktu. Pra-Kompetisi, Kompetisi, dan
Pasca-Kompetisi. Dalam Pra-Kompetisi, peneliti akan mencatat seluruh
kegiatan anggota komunitas menjelang dilangsungkannya kompetisi. Mulai
dari kegiatan latihan rutin, kegiatan-kegiatan bersama yang dilakukan di luar
latihan, maupun bentuk komunikasi yang dilakukan diluar waktu latihan, baik
antar sesama anggota grup maupun dengan anggota grup lain.
Selanjutnya dalam periode kompetisi. Pada periode in peneliti akan
menggambarkan interaksi antar grup dance cover pada saat kompetisi dance
cover dilangsungkan. Peneliti akan mendeskripsikan interaksi antar grup dance
cover saat menunggu giliran tampil, kemampuan dan kompetitivitas saat
sedang tampil, hingga respon mereka terhadap grup lain yang sedang tampil.
Terakhir, pada periode Pasca-Kompetisi peneliti akan menggambarkan
respon grup-grup terhadap hasil perlombaan, dan interaksi mereka setelah
mengetahui hasil perlombaan yang diikuti. Interaksi, sepert pada periode Pra-
Kompetisi akan meliputi interaksi antar sesame anggota grup atau dengan
anggota grup lain.
b) Percakapan dengan subjek
Percakapan dengan subjek akan bersifat informal, dimana pembicaraan
terjadi sambil lalu antara peneliti dengan subjek penelitian (Sejati, 2012:39).
Percakapan ini dilakukan untuk menggali informasi tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam Komunitas Dance Cover Korea Yogyakarta, terutama yang
berkaitan dengan rivalitas dalam komunitas ini, secara lebih mendalam.
Percakapan yang dilakukan secara informal ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang lebih pada diri peneliti. Selain itu percakapan informal juga
lebih fleksibel dalam hal waktu, karena percakapan ini dapat dilakukan kapan
saja baik pada saat latihan, pada saat lomba, maupun pada waktu-waktu di luar
keduanya.
c) Observasi Partisipatif
Yang dimaksud dengan observasi partisipatif adalah observasi yang
dilakukan pengaatdengan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan individu
dan kelompok yang diamati (Emzir dalam Sejati, 2012:39). Bentuk observasi
partisipatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah bergabung dalam salah
satu grup dance cover yang ada di Yogyakarta.
Peneliti akan mengikuti audisi yang diadakan oleh grup yang
bersangkutan sebelum menjadi bagian dari grup tersebut. Setelah berhasil
diterima menjadi bagian dari grup tersebut, peneliti akan mengikuti latihan
rutin yang diadakan sesuai dengan kesepakatan. Peneliti juga akan ikut
berkirim pesan melalui media sosial atau group chat yang dimiliki grup dance
cover yang bersangkutan.
Selanjutnya peneliti akan berpartisipasi dalam kompetisi-kompetisi
dance cover yang diadakan di Yogyakarta, baik sebagai peserta maupun
sekedar sebagai penonton saja. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat
mengetahui dinamika yang terjadi dalam komunitas tersebut.
d) Pengumpulan Dokumen
Dokumen-dokumen yang dikumpulkan peneliti berupa gambar-gambar
yang berisi capture-capturean postingan di media sosial yang merupakan bukti-
bukti pola komunikasi, maupun konflik dalam komunitas dance cover di
Yogyakarta. Dokumen lain juga dapat berupa video latihan dan penampilan
grup-grup dance cover, serta bukti tertulis hasil perlombaan dance cover yang
telah diadakan.

e. Teknik Analisis Data


Menurut Spradley, analisis data kualitatif dilakukan secara berurutan
mulai dari proses analisis domain, taksonomi, komponensial, dan tema budaya
(Sugiyono, 2011:401). Dalam penelitian ini tahap analisis domain dapat dilihat
saat peneliti mulai menjadi bagian dari komunitas yang diteliti dan
mengumpulkan data dengan metode-metode yang telah disebutkan diatas.
Selanjutnya peneliti akan melakukan proses taksonomi atas data yang telah
diperoleh. Tahap ketiga adalah komponensial dan yang akan membawa peneliti
pada tahapan terakhir yaitu tema budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Barker, Larry L. dan Deborah A. Gaut. 1996. Communication. Boston: Allyn & Bacon.
Guddykunst, William B. dan Young Yun Kim. 2003. Communicating with Stranger. New
York: McGrawHill.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Cetakan 4. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Phillips, Rhonda dan Robert H. Pittman. 2009. An Introduction to Community
Development. New York: Routledge.
Prabawati, Adistya. 2012. “Proses Terbentuknya Komunitas Virtual menjadi Komunitas
Sosial melalui Media Baru”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.
Sejati, Diani Sekaring. 2012. ” Penggunaan Teknologi dalam Komunikasi Kelompok Kecil
(Studi Etnografi terhadap Penggunaan Group Chat Blackberry Messenger
dalam Keluarga)”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1992. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Cetakan 12. Bandung: Alfabeta.
Tubss, Stewart L. dan Sylvia Moss. 1996. Human Communication: Konteks-Konteks
Komunikasi. Diterjemahkan oleh: Deddy Mulyana. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Walgito, Bimo. 2008. Psikologi Kelompok. Yogyakarta: CV. ANdi Offset.
Wiryanto. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo.
LAMPIRAN

1. Draf Percakapan
 Sudah berapa lama menjadi bagian dari Komunitas Dance Cover Korea di
Yogyakarta?
 Sudah seberapa sering ikut lomba dance cover?
 Berapa lama persiapan untuk tampil di ajang kompetisi dance cover?
 Bagaimana hubungan dengan anggota komunitas dance cover yang lainnya?
 Siapa yang menurutmu adalah saingan terberat? Kenapa?
 Bagaimana hubunganmu dengan sainganmu itu?
 Bagaimana suasana saat perlombaan dance cover?
 Adakah perbedaan suasana interaksi saat lomba atau di luar lomba?
 Bagaimana kalau sainganmu itu menang? Apa yang akan kamu lakukan?
 Pernah ada masalah dengan grup dance cover lain? Kenapa? Bagaimana
penyelesaiannya?
 Menurutmu bagaimana suasana interaksi dan komunikasi antar grup atau agensi
dance cover yang ada di Yogyakarta?
 Bagaimana hubungan antar anggota komunitas dance cover yang kamu
inginkan?

2. Protokol Observasi
 Perhatikan setting (tempat, waktu, durasi) latihan dance cover.
 Perhatikan setting (tempat, waktu, jumlah peserta) kompetisi dance cover.
 Perhatikan iklim latihan, bandingkan saat latihan rutin biasa dengan latihan
untuk persiapan kompetisi atau pentas.
 Perhatikan interaksi antar anggota saat latihan dengan sesama anggota grup
diluar kompetisi (saat latihan atau di luar waktu latihan).
 Perhatikan interaksi anggota dengan anggota komunitas dari grup lain di luar
kompetisi.
 Perhatikan interaksi antar anggota saat kompetisi.
 Perhatikan interaksi anggota dengan anggota komunitas dari grup lain saat
kompetisi.
 Bandingkan interaksi yang terjadi pada saat lomba dan di luar lomba baik antar
anggota grup yang sama maupun dengan grup lain.
 Dalami komunikasi yang terjadi sebelum, sesudah, dan saat hari H lomba
dengan menganalisis konten pembicaraan yang terjadi sebelum, sesudah,
maupun saat hari H perlombaan.
 Catat reaksi tiap-tiap grup saat melihat grup lain tampil saat lomba.
 Catat hasil perlombaan, dan perhatikan reaksi peserta terhadap hasil lomba
tersebut.
 Perhatikan juga akun-akun sosial media anggota komunitas dance cover untuk
mendapatkan gambaran lebih lengkap tentang interaksi diantara mereka.

Anda mungkin juga menyukai