Penyakit Akibat Jamur Fix
Penyakit Akibat Jamur Fix
Penyakit Akibat Jamur Fix
Disusun Oleh:
Kelompok 7
Kelas A
PURWOKERTO
2018
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama
di negara-negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit
yang sering muncul di tengah masyarakat Indonesia. Iklim tropis dengan
kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan
jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih banyaknya
masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga
masalah kebersihan lingkungan, sanitasi dan pola hidup sehat kurang menjadi
perhatian dalam kehidupan sehari - hari masyarakat Indonesia (Hare, 1993).
Menurut Adiguna (2004), insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai
rumah sakit pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93-27,6% meskipun
angka ini tidak menggambarkan populasi umum.
Jamur yang dapat menyebabkan infeksi antara lain Candida albicans
dan Trichophyton rubrum. Candida albicans adalah suatu ragi lonjong,
bertunas yang menghasilkan pseudomiselium baik dalam biakan maupun
dalam jaringan maupun eksudat. Ragi ini adalah anggota flora normal selaput
mukosa saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan genitalia wanita. Pada
genitalis wanita Candida albicans menyebabkan vulvovaginitis yang
menyerupai sariawan tetapi menimbulkan iritasi, gatal yang hebat, dan
pengeluaran sekret. Hilangnya pH asam merupakan predisposisi timbulnya
vulvovaginitis kandida. Dalam keadaan normal pH yang asam dipertahankan
oleh bakteri vagina. Candida albicans dapat tumbuh secara optimum pada pH
4, tetapi juga dapat tumbuh antara pH 3-7 (Anonim, 2010).
Data Profil Kesehatan Indonesia 2010 menunjukkan bahwa penyakit
kulit dan jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia
berdasarkan jumlah kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan dan
122.076 kunjungan diantaranya merupakan kasus baru (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Terdapat berbagai jenis infeksi jamur kulit, yang paling sering
muncul di antaranya adalah dermatofitosis dan kandidiasis. Dermatofitosis
adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu
Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton (Verma dan Heffernan,
2008). Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi pertumbuhan dari
dermatofita antara lain: higienitas diri yang buruk obesitas, iklim yang panas
dan lembab, sering berkeringat, kontak langsung dengan sumber infeksi, atau
beberapa penyakit sistemik seperti penyakit diabetes melitus, penyakit
Cushing, terapi kortikosteroid oral, serta penyakit infeksi kronis yang
menyebabkan penurunan sistem imun tubuh seperti HIV/AIDS (Wolff, 2007).
b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian jamur?
2. Apa saja jenis-jenis penyakit akibat jamur?
c. Tujuan
1. Mengetahui pengertian jamur
2. Mengetahui jenis-jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur
BAB II
ISI
A. Pengertian Jamur
Secara umum, jamur dapat didefinisikan sebagai organisme eukariotik
yang mempunyai inti dan organel. Jamur tersusun dari hifa yang merupakan
benang-benang sel tunggal panjang, sedangkan kumpulan hifa disebut dengan
miselium. Miselium merupakan massa benang yang cukup besar dibentuk dari
hifa yang saling membelit pada saat jamur tumbuh. Jamur mudah dikenal
dengan melihat warna miseliumnya (Volk and Wheeler, 1993).
c. Epidemiologi
Candida albicans dapat ditemukan pada manusia di seluruh
dunia, terutama menimbulkan penyakit pada golongan usia lanjut, kaum
wanita dan bayi. Candida albicans pada tubuh manusia dapat bersifat
dua macam yaitu sebagai saprofit yang terdapat pada tubuh manusia
tanpa menimbulkan gejala apapun, baik objektif maupun subjektif. Atau
sebagai parasit yang dapat menimbulkan infeksi primer atau sekunder
terhadap kelainan yang telah ada. Sebagai saprofit, Candida albicans
pada tubuh manusia dapat dijumpai di kulit, selaput lendir mulut,
saluran pencernaan, saluran pernapasan, vagina dan kuku. Candida
albicans menimbulkan penyakit pada kulit dan mukosa, kadang-kadang
pada keadaan yang berat yaitu resistensi tubuh penderita menurun,
misalnya pada penyakit-penyakit keganasan (malignant diseases),
tranplantasi organ, pengobatan dengan imunosupresif dan antibiotik
spektrum luas yang dapat menimbulkan kandidiasis sistemik, septikemi,
endokarditis dan meningitis. Menurut laporan statistik, kasus
HIV/AIDS di Indonesia, oleh Ditjen PP dan PL Kemenkes RI secara
kumulatif dari 1 April 1987 hingga 30 September 2014, jumlah kasus
infeksi HIV sebesar 150.296 penderita sedangkan jumlah kumulatif
AIDS dengan periode yang sama adalah sebesar 55.799 penderita.
Jumlah kasus baru dalam triwulan bulan Juli sampai dengan September
2014 sebesar 7.355 penderita untuk kasus HIV dan 176 penderita untuk
kasus AIDS (Usman dkk, 2017).
Hasil data presentase 50-75% wanita di Indonesia pernah
mengalami kandidiasis, dengan 11,2-28,9% di antaranya adalah
akseptor kontrasepsi Keluarga Berencana (KB).3 Menurut data dari
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
tahun 2014, kontrasepsi hormonal adalah metode kontrasepsi yang
paling digemari, bentuknya bisa berupa suntikan, pil, maupun implan.
Data statistik menunjukkan pengguna kontrasepsi suntikan sebanyak
48,56%, pil sebanyak 26,60%, dan implan sebanyak 9,23% dari total
8,5 juta perempuan pemakai kontrasepsi di Indonesia (Jessica dkk,
2016).
d. Mekanisme penularan
Pada pasien immunocompromised, infeksi Candida dapat
mengenai mukosa epitel, baik rongga mulut, gastrointestinal, saluran
genital, dan di organ lain. Kemampuan suatu Candida menginfeksi host
dipengaruhi oleh faktor virulensi dan fitness attributes. Virulensi
dipengaruhi oleh perubahan dari yeast menjadi hifa, perlekatan dan
invasi ke permukaan sel, thigmotropism, serta pembentukan biofilm.
Virulensi Candida terhadap jaringan menyebabkan infeksi sangat
dipengaruhi oleh adesi atau daya perlekatan, agglutinin like sequence
(ALS), morfogenitas terutama pembentukan pseudohifa, pembentukan
biofilm dan sekresi enzim hidrolitik. Mekanismenya dimulai dari
perlekatan yeast ke permukaan sel host melalui ekspresi adesin
sehingga memicu perubahan yeast menjadi hifa kemudian menuju ke
dalam lapisan sel melalui proses thigmotropisme. Adanya adesi dan
sekresi enzim hidrolitik yaitu secreted aspartyl protease (SAP)
memfasilitasi mekanisme invasi kedua, yaitu jamur melakukan
penetrasi aktif ke dalam sel host dengan merusak barrier epitel.
Perlekatan yeast pada permukaan biotik yaitu sel host dapat
meningkatkan pembentukan biofilm. Mekanisme pertahanan jamur itu
sendiri berupa respon stres yang dimediasi oleh heat shock protein
(Hsp) terhadap host, auto induksi pembentukan hifa melalui penyerapan
asam amino, pertahanan pH meliputi adaptasi yang cepat terhadap
perubahan pH, dan penyerapan senyawa berbeda (Alistair, 2014).
Kandidiasis genitalis pada umumnya ditularkan melalui
hubungan kelamin, karena itu digolongkan juga dalam penyakit-
penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin. Telah lama
diketahui bahwa para ibu yang menderita vulvo-vaginitis kandida dapat
menularkannya pada bayi yang dilahirkannya. Dikemukakan bahwa hal
ini merupakan penyebab terpenting terjadinya kandidiasis oral pada
bayi. Wanita yang terkena kandidiasis bisa berpotensi menularkan
infeksi pada pasangan seksualnya. Banyak pria mengembangkan infeksi
Candida pada genitalia, yang biasanya tampak sebagai balanitis atau
balanopostitis. Sumber infeksi ini secara normal berasal dari pasangan
seksual wanita, dan masa inkubasinya 2-3 hari. Penularan Candida
albicans pada pria diperkirakan sekitar 10% ((Jessica dkk, 2016).
e. Faktor Resiko
Terjadinya Kandidiasis di pengaruhi oleh beberapa faktor
terutama pengguna protesa, serostomia (sjogren syndrome),
penggunaan radio therapy, obat – obatan sitotoksis, konsentrasi gula
dalam darah (diabetes), penggunaan antibiotik atau kortikosteroid,
penyakit keganasan (neoplasma), kehamilan, defisiensi nutrisi, penyakit
kelainan darah, dan Penderita Immuno supresi (AIDS) (Silverman S,
2001).
Faktor resiko bagi penderita infeksi kandidiasis vulvovaginalis
antara lain :
1) Faktor Patogen
Jamur kandida mampu melakukan metabolisme glukosa
dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Selain itu jamur
kandida mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi adhesi
terhadap dinding sel epitel seperti mannose, reseptor C3d,
mannoprotein dan Saccharin. Sifat hidrofobik dari jamur dan juga
kemampuan adhesi dengan fibronektin host juga berperan penting
terhadap inisial dari infeksi ini (Hakim dan Ramadhian, 2015).
2) Faktor Host
a. Faktor lokal
Fungsi kelenjar saliva yang terganggu dapat menjadi
predisposisi dari kandidiasis oral. Sekresi saliva
menyebabkan lemahnya dan mengbersihkan berbagai
organisme dari mukosa. Pada saliva terdapat berbagai
protein-protein antimikrobial seperti laktoferin,
sialoperoksidase, lisosim, dan antibodi antikandida yang
spesifik.5 Penggunaan obat-obatan seperti obat inhalasi
steroid menunjukan peningkatan resiko dari infeksi
kandidiasis oral. Hal ini disebabkan tersupresinya imunitas
selular dan fagositosis. Penggunaan gigi palsu merupakan
faktor predisposisi infeksi kandidiasis oral. Penggunaan ini
menyebabkan terbentuknya lingkungan mikro yang
memudahkan berkembangnya jamur kandida dalam keadaan
PH rendah, oksigen rendah, dan lingkungan anaerobik.
Penggunaan ini pula meningkatkan kemampuan adhesi dari
jamur ini (Hakim dan Ramadhian, 2015).
b. Faktor sistemik
Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik spektrum
luas dapat mempengaruhi flora lokal oral sehingga
menciptakan lingkungan yang sesuai untuk jamur kandida
berproliferasi. Penghentian obat-obatan ini akan mengurangi
dari infeksi jamur kandida. Obat-obatan lain seperti agen
antineoplastik yang bersifat imunosupresi juga
mempengaruhi dari perkembangan jamur kandida. Beberapa
faktor lain yang menjadi predisposisi dari infeki kandidiasis
oral adalah merokok, diabetes, sindrom Cushing’s serta
infeksi HIV (Hakim dan Ramadhian, 2015).
g. Prognosis
Prognosis pada kasus infeksi jamur kandidiasis bergantung pada
faktor predisposisi :
1) Penggunaan antibiotik
2) Penggunaan obat kortikosteroid
3) Diabetes mellitus
4) Kehamilan
5) Pemakaian pil anti hamil (pil KB)
6) Faktor karakteristik : umur, pendidikan dan pekerjaan
7) Pengetahuan tentang Kandidiasis
8) Berganti-ganti pasangan seksual
9) pH vagina
10) Personal Hygiene : kebersihan alat kelamin, penggunaan air
bersih, pemakaian jenis celana dalam, Frekuensi ganti celana
dalam, Frekuensi ganti pembalut wanita dan Penggunaan
pembersih vagina (Hakim dan Ramadhian, 2015).
h. Rehabilitasi
Dari beberapa golongan antijamur tersebut diatas, yang efektif
untuk kasuskasus pada rongga mulut, sering digunakan antara lain
amfotericine B, nystatin, miconazole, clotrimazole, ketokonazole,
itrakonazole dan flukonazole. (Mc cullough, 2005). Amfoterisin B
dihasilkan oleh Streptomyces nodusum, mekanisme kerja obat ini yaitu
dengan cara merusak membran sel jamur. Efek samping terhadap ginjal
seringkali menimbulkan nefrositik. Sediaan berupa lozenges (10 ml )
dapat digunakan sebanyak 4 kali /hari. Nystatin dihasilkan oleh
streptomyces noursei,mekanisme kerja obat ini dengan cara merusak
membran sel yaitu terjadi perubahan permeabilitas membran sel.
Sediaan berupa suspensi oral 100.000 U / 5ml dan bentuk cream
100.000 U/g, digunakan untuk kasus denture stomatitis (Tripathi M.D
2001).
Miconazole mekanisme kerjanya dengan cara menghambat
enzim cytochrome P 450 sel jamur, lanosterol 14 demethylase sehingga
terjadi kerusakan sintesa ergosterol dan selanjutnya terjadi ketidak
normalan membran sel. Sediaan dalam bentuk gel oral (20 mg/ml),
digunakan 4 kali /hari setengah\ sendok makan, ditaruh diatas lidah
kemudian dikumurkan dahulu sebelum ditelan. Clotrimazole,
mekanisme kerja sama dengan miconazole, bentuk sediaannya berupa
troche 10 mg, sehari 3 – 4 kali. Ketokonazole (ktz) adalah antijamur
broad spectrum.Mekanisme kerjanya dengan cara menghambat
cytochrome P450 sel jamur, sehingga terjadi perubahan permeabilitas
membran sel, Obat ini dimetabolisme di hepar. Efek sampingnya
berupa mual / muntah, sakit kepala,parestesia dan rontok. Sediaan
dalam bentuk tablet 200mg Dosis satu kali /hari dikonsumsi pada waktu
makan (Tripathi M.D 2001).
Itrakonazole efektif untuk pengobatan kandidiasis penderita
immunocompromised, Sediaan dalam bentuk tablet, dosis 200mg/hari.
selama 3 hari, bentuk suspensi (100-200 mg) / hari,selama 2 minggu.
(Greenberg, 2003) Efek samping obat berupa gatal-gatal,pusing, sakit
kepala, sakit di bagian perut (abdomen),dan hypokalemi. Flukonazole,
dapat digunakan pada seluruh penderita kandidiasis termasuk pada
penderita immunosupresiv Efek samping mual,sakit di bagian perut,
sakit kepala,eritme pada kulit. Mekanisme kerjanya dengan cara
mempengaruhi Cytochrome P 450 sel jamur, sehingga terjadi
perubahan membran sel, Kontra indikasi pada wanita hamil dan
menyusui (Tripathi M.D 2001).
2. Dermatomikosis
a. Pengertian
Dermatomikosis merupakan infeksi jamur yang menyerang kulit
dan disebabkan oleh berbagai genus jamur, yaitu seperti Microsporum,
Trichophyton, serta Epidermophyton (Soedarto, 2009). Dermatomikosis
bersifat zoonosis dimana dapat ditularkan dari hewan seperti kucing
kepada manusia (Soeharsono, 2007).
b. Etiologi
Dermatomikosis disebabkan oleh berbagai genus jamur, yaitu
seperti Microsporum, Trichophyton, serta Epidermophyton (Soedarto,
2009). Trichophyton dan Microsporum merupakan jamur golongan
dermatofita yang dapat menyebabkan mikosis kutan. Jamur penyebab
mikosis kutan hanya menginvasi jaringan superfisialis yang mempunyai
keratin (kulit, rambut dan kuku) dan tidak menginvasi jaringan yang
lebih dalam (Boel, 2003).
Salah satu penyebab dermatomikosis dari genus Microsporum
yaitu jamur Microsporum canis yang dapat menyerang baik manusia
maupun hewan (zoonosis). Bentuk konidia jamur ini khas, berukuran
besar (makrokonidia), berdinding kasar, multiseluler, berbentuk
spindle (melebar di tengah dan menyempit di ujung). Makrokonidia
terletak di ujung hifa, mempunyai 8-15 sel, dengan ujung melengkung
atau berbentuk kait (Soedarto, 2009).
c. Epidemiologi
Dermatomikosis masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia,
dengan proporsi terhadap dermatosis bervariasi antara 4,1% sampai
dengan 26,4% pada tahun 2009 sampai 2011 (Noviandini et.al, 2017).
Dermatomikosis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Di
Indonesia insidens dermatomikosis belum diketahui dengan pasti.
Diperkirakan insidens penyakit ini cukup tinggi menyerang masyarakat
Indonesia tanpa memandang golongan umur tertentu. Untuk
mengetahui seberapa besar permasalahan dermatomikosis di Indonesia,
telah dikumpulkan data dari berbagai rumah sakit di kota besar.
Didapatkan data insidens dermatomikosis tahun 1996, 1997, dan 1998
di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang
menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dari terendah
yaitu 2,93 di Semarang hingga tertinggi yaitu 27,6 di Padang.
Perbandingan insidens berdasarkan jenis kelamin bervariasi pada
beberapa negara negara, dapat lebih tinggi pada pria, sama, atau lebih
tinggi pada wanita (Riani, 2014).
d. Mekanisme Penularan
Penyebaran dermatomikosis terjadi melalui kontak kulit atau
rambut penderita. Pada Microsporum canis dapat ditularkan dari anjing
dan kucing yang sakit ke manusia (Soedarto,2009). Penularan juga
dapat terjadi melalui kontak tidak langsung melalui benda yang
mengandung skuama terinfeksi misalnya handuk, lantai kamar mandi,
tempat tidur hotel, bantal, sprei, sisir, dan lain-lain (Riani, 2014).
e. Faktor Resiko
Menurut Budimulja dalam Riani (2014), faktor yang memegang
peranan untuk terjadinya dermatomikosis adalah iklim yang panas,
hygiene yang kurang, adanya sumber penularan disekitarnya, gizi,
keadaan hormonal, usia, kerusakan barrier kulit, kerusakan barrier
mukosa, penggunaan antibiotic, steroid dan sitostatika yang meningkat,
penyakit kronis, serta penyakit sistemik lainnya.
g. Prognosis
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dermatomikosis dapat
mengancam jiwa pada pasien dengan imunitas rendah (Maria et al,
2015).
h. Rehabilitasi
Menurut Wolff dkk. dalam Riani (2014), pasien penyakit jamur
seringkali mengalami infeksi jamur berulang dan kurangnya kepatuhan
dalam meminum obat secara teratur sehingga masa penyembuhan lebih
lama. Hal tersebut dapat diakibatkan karena kurangnya pengetahuan
pasien mengenai penyakit jamur itu sendiri.
i. Diagnosis
Menurut Nenoff dkk. dalam Noviandini (2017), diagnosis
dermatomikosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan sediaan langsung kalium
hidroksida (KOH), serta kultur jamur.
Menurut Weinstein dalam Riani (2014), diagnosis
dermatomikosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan mikologis langsung (KOH). Pemeriksaan kultur jaringan
tidak selalu dikerjakan, hanya dilakukan pada kasus dermatofitosis dan
kandidosis tertentu atau pada penelitian. Penegakkan diagnosis
dermatomikosis yang ideal adalah dilakukan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan KOH, kultur, dan bila perlu pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan lampu Wood hanya dilakukan pada pasien PV dan
tinea kapitis (Noviandini dkk., 2017). Menentukan diagnosis pasti
penyebabnya perlu dilakukan kerokan kulit, rambut, atau kuku
penderita untuk diperiksa di bawah mikroskop sehingga dapat
ditemukan spora yang pada jamur Microsporum tampak sebagai
kelompok berbentuk mozaik di sekeliling rambut. Selain itu, bahan
pemeriksaan dapat diperiksa di bawah penyinaran lampu Wood untuk
menunjukkan adanya fluoresensi berwarna hijau muda. Biakan jamur
pada Agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar selama 1-3
minggu yang kemudian diperiksa di bawah mikroskop lebih menunjang
penentuan diagnosis dermatomikosis (Soedarto, 2009).
j. Klasifikasi
Dermatomikosis dibagi menjadi dua yaitu dermatofitosis dan
non dermatofitosis. Dermatofitosis terdiri dari tinea barbae, tinea
cruris, tinea corporis, tinea pedis, tinea unguium dan tinea manum.
Sedangkan non dermatofitosis terdiri dari Pitiriasis versikolor, piedra
hitam, piedra putih, tinea nigra palmaris, otomikosis dan kerato
mikosis (Havlickova, 2008). Salah satu contohnya yaitu Pitiriasis
versikolor atau Panau. Pitiriasis versikolor atau Panau adalah penyakit
jamur superfisial yang kronik biasanya tidak memberikan keluhan
subjektif berupa bercak skuama halus warna putih sampai coklat hitam,
meliputi badan kadang-kadang menyerang ketiak, lipat paha, lengan,
tungkai atas, leher, muka, kulit kepala yang berambut, disebabkan oleh
malassezia furfur robin (Djuanda 2005).
Menurut Adiguna dalam Kurniati (2008), dermatofitosis adalah
salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang disebabkan oleh
jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap produk
metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan
hidup. Menurut Rippon dalam Kurniati (2008), dermatofitosis adalah
penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur dermatofit yang
menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum
kulit, rambut dan kuku pada manusia dan hewan. Menurut Rippon
dalam Kurniati (2008), dermatofit adalah sekelompok jamur yang
memiliki kemampuan membentuk molekul yang berikatan dengan
keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk membentuk
kolonisasi.
Dermatofita merupakan kelompok taksonomi jamur kulit
superfisial. Yang terdiri dari 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton (Djuanda, 2010). Menurut Djuanda
(2010), dermatofitosis disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang
dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan lokasi infeksinya, yaitu :
1) Tinea Kapitis, yaitu dermatofitosis pada kulit kepala dan
rambut kepala.
2) Tinea Barbae, yaitu dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
3) Tinea Kruris, yaitu dermatofitosis pada daerah genitokrural,
sekitar anus, bokong, dan terkadang sampai perut bagian bawah.
4) Tinea Pedis et Manum, yaitu dermatofitosis pada kaki dan
tangan.
5) Tinea Unguium , yaitu dermatofitosis pada jari tangan dan kaki.
6) Tinea Korporis, yaitu dermatofitosis pada bagian lain yang tidak
termasuk bentuk 5 diatas.
k. Gejala Klinis
1) Tinea Barbae
Gejala klinis Tinea barbae yaitu, kulit terasa gatal dan
bertambah gatal saat berkeringat, terletak pada daerah dagu/
jenggot bintik-bintik kemerahan dan terkadang bernanah, serta
disertai rasa pedih dan meradang pada bagian folikel (Agustina et
al, 2016).
2) Tinea Kapitis
Terdapat tiga bentuk tinea kapitis yang sering dijumpai.
Pertama, yaitu grey patch ringworm dimana terdapat papul yang
melebar, pucat, dan bersisik. Pada daerah tersebut dapat timbul
alopesia. Kedua, yaitu kerion yang muncul ketika peradangan
berat. Kerion dapat berupa pembengkakan yang menyerupai sarang
lebah dengan sel radang padat disekitar jaringan tersebut dan bisa
terdapat limfadenopati di daerah servikal atau oksipital. Ketiga,
yaitu black dot ringworm, bentuk ini dapat muncul karena ujung
rambut yang hitam didalam folikel rambut (Djuanda, 2009).
3) Tinea Kruris
Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal atau
terbakar pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah
perineum (Djuanda, 2010). Gejala Klinis tinea kruris yang khas
adalah gatal yang meningkat saat berkeringat, dengan bentuk lesi
polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi
lebih aktif (Abdelal, 2013).Tinea kruris biasanya tampak sebagai
papulovesikel eritematosa yang multipel dengan batas tegas dan
tepi meninggi (Djuanda, 2010).
4) Tinea Manum dan Pedis
Tinea manum biasanya bersamaan dengan tinea pedis yaitu
dermatofitosis pada kaki terutama pada sela – sela jari kaki dan
telapak kaki. Terdapat tiga manifestasi klinis dari tinea pedis,yaitu
interdigitalis, moccasin foot, dan bentuk subakut. Interdigitalis
merupakan infeksi di sela-sela jari terutama pada jari IV dan V.
Akan terlihat adanya fisura dengan kulit yang kering dan bersisik.
Tipe moccasin melibatkan telapak kaki, tumit, dan tepi kaki. Akan
tampak kulit yang tebal dan bersisik dan terkadang terdapat sisik
putih keperakan dengan dasar yang eritema menyerupai psoriasis.
pada bentuk subakut akan tampak vesikel atau bula yang dapat
pecah dan menimbulkan infeksi sekunder (Djuanda, 2009).
5) Tinea Unguium
Tinea unguium merupakan dermatofitosis pada daerah
kuku. Terdapat tiga bentuk infeksi ini yang sering dijumpai, yaitu
subungual distalis, leukonikia trikofita dan subungual proksimal.
Tinea unguium termasuk dermatofitosis yang sukar untuk
disembuhkan (Djuanda, 2009).
6) Tinea Korporis
Pada tinea korporis biasanya persebaran lesi akan berada
disekitar dada, ekstremitas atau wajah. Tampak adanya central
healing pada bagian tengah lesi dengan tepi lesi yang merah dan
meninggi. Terkadang terdapat erosi dan krusta akibat garukan
(Djuanda, 2009).
7) Pitiriasis versikolor (non dermatofitosis)
Gejala klinis pada Pitiriasis versikolor yaitu terlihat
bercak-bercak warna warni, bentuk teratur sampai tidak teratur
batas jelas sampai difus kadang penderita merasa gatal ringan
(Djuanda, 2005).
l. Program Penanggulangan
Untuk menanggulangi dermatomikosis, Northern Territory
Government mengadakan Healthy Skin Program, bertujuan untuk
memberikan pedoman bagi kontrol masyarakat atas kudis, luka kulit
dan infeksi tinea di komunitas terpencil, sehingga dapat mengurangi
prevalensi kudis, tinea, luka kulit streptokokus dan penyakit pasca
streptokokus di Northern Territory (NT). Program ini terdiri dari :
1) Pemeriksaan kulit, perawatan, dan tindak lanjut pada kudis, luka
kulit dan infeksi tinea
2) Pengawasan aktif dan pengobatan komunitas secara keseluruhan
Healthy Skin Program dibagi menjadi 5 fase berikut:
Perencanaan
Perencanaan awal melibatkan berbagai komunitas dengan
cara promosi kesehatan dan kesehatan lingkungan yang
dilakukan oleh petugas kesehatan
Keterlibatan dan pengetahuan masyarakat
Fase ini bisa memakan waktu hingga 2 bulan tergantung
pada ukuran komunitas, acara komunitas lainnya, dan sumber
daya yang tersedia. Tahap ini bertujuan untuk mengidentifikasi
peran serta masyarakat dan pengetahuan masyarakat
Screening dasar dan perawatan seluruh komunitas
Tujuan dilakukan screening yaitu untuk menetapkan
skabies dan prevalensi sakit kulit di masyarakat,
mengidentifikasi individu dengan luka yang terinfeksi yang
membutuhkan pengobatan, serta mengidentifikasi individu
dengan kudis yang membutuhkan tindakan lebih lanjut seperti
penggunaan krim / lotion. Pusat tempat dilakukannya
screening perlu diatur dengan baik seperti sekolah, klinik
kesehatan atau pusat klinik untuk perempuan.
Pemeliharaan
Program pemeliharaan berkelanjutan sangat penting untuk
memastikan tingkat prevalensi masyarakat untuk
dipertahankan pada tingkat yang lebih rendah. Kembalinya
tingkat prevalensi yang tinggi di masyarakat menunjukkan
bahwa program pemeliharaan belum dilaksanakan maksimal.
Program pemeliharaan meliputi:
a) Promosi pencucian dan pemeliharaan perangkat
kesehatan
b) Promosi presentasi dini kasus kudis
c) Memastikan pengobatan kasus baru dan kontak rumah
tangga
d) Pengawasan rutin terhadap anak kecil untuk memantau
prevalensi
Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi dilakukan dengan :
a) Menggunakan grafik dan gambar untuk menyajikan
tingkatan penyakit kepada pemerintah.
b) Menulis laporan singkat mengenai perjalanan program
dan didiskusikan bersama manajer pelayanan
kesehatan, staff yang relevan, petugas kesehatan, dan
semua pihak yang terlibat dalam pengambilan
keputusan.
(Northern Territory Government, 2015)
3. Aspergilosis
a. Definisi
Aspergilosis adalah infeksi invasif jamur paling sering di
seluruh dunia. Aspegili merupakan saprobes yang ada di mana-mana di
alam dan didapatakan di tanah, tanaman dalam jambangan, sayuran
busuk, lada, dan di tempat pembangunan (Garna, 2012).
Aspergillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Jamur
Aspergillus. Aspergillosis merupakan sebuah spectrum dari penyakit
manusia dan binatang yang disebabkan oleh anggota dari genus
Aspergillus. Agen penyebab bersifat kosmopolitan dan diantaranya
Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, Aspergillus niger,
Aspergillus nidulans dan Aspergillus terreus. Aspergillosis merupakan
infeksi opurtunistik, paling sering terjadi pada paru-paru, dan
disebabkan oleh spesies Aspergillus yaitu Aspergillus fumigatus, jamur
yang terutama ditemukan pada pupuk kandang dan humus. Kebanyakan
manusia menghirup spora Aspergillus setiap hari, namun aspergillosis
umumnya hanya berkembang pada individu yang immunocompromised
(imun rendah), kebanyakan jenis jamur Aspergillus yang paling umum
menyerang adalah Aspergillus fumigatus berbentuk bola yang mengisi
kavitas (Hasanah, 2017).
b. Etiologi
Jamur aspergillus tidak dapat dihindari. Jamur dapat ditemukan
dalam daun membusuk, kompos, pohon-pohon dan tanaman biji-bijian.
Sedangkan di dalam ruangan, spora dapat berkembang di ruangan AC,
saluran pemanas, isolasi, beberapa makanan dan rempah-rempah.
Paparan harian terhadap jamur aspergillus biasanya tidak menimbulkan
masalah bagi orang yang memiliki sistem imun yang sehat. Jika spora
jamur terhirup, sel-sel pada sistem kekebalan tubuh (yang sehat) akan
mengepung dan menghancurkan spora jamur tersebut. Tetapi pada
orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah karena
sakit atau berada di bawah kendali obat imunosupresan, tubuh hanya
memiliki sedikit sel yang melawan spora tersebut sehingga aspergillus
dapat mengambil alih kontrol sistem, menyerang paru-paru dan bahkan
menyerang bagian tubuh lain (Siregar, 2004).
c. Epidemiologi
Aspergilosis pada manusia terjadi pada organ dan rongga tubuh
yang suasananya aerob. Penularan terjadi melalui udara yang terhirup
yang mengandung bahan infektif yang berasal dari kotoran burung dan
unggas lainnya. Yang sering terserang aspergilosis adalah petani,
peternak unggas, orang-orang yang rendah daya tahan tubuhnya atau
sistem imunnya terganggu, atau menderita cacat anatomi pada anggota
tubuhnya. Penularan juga bisa berasal dari penderita aspergilosis
bronkopulmoner alergika yang batuk-batuk atau bersin-bersin
(Soedarto, 2009). Tersebar diseluruh dunia, jarang dan bersifat
sporadis, tidak ada perbedaan insidens berdasarkan ras atau jenis
kelamin (Chin J, 2000).
d. Mekanisme Penularan
Rute utama infeksi aspergilosis dengan inhalasi aerosolized
conidia yang menempatakannya dalam paru-paru, nasofaring atau
sinus. Dalam paru-paru, makrofag alveolar dan neutrofil berperan
utama dalam pertahanan pejamu terhadap aspergillus spp. Makrofag
mencerna dan membunuh conidia, sedangkan neutrofil melekat dan
membunuh hyphae. Bentuk hyphae yang tidak terbunuh dapat
menginvasi jaringan pulmo dan vaskulatur, menyebabkan trombosis
dan nekrosis jaringan lokal, seperti juga penyebaran secara hematogen
ke organ target lain (otak) (Garna, 2012).
Aspergilli menyekresi bermacam produk metabolik, seperti
gilotoksin dan bermacam enzim termasuk elastase, fosfolipase,
bermacam protease, dan katalase yang dapat berperan dalam virulensi.
Glitoksin menghambat fagositosis makrofag dan aktivasi serta
proliferasi sel T; walaupun bagaimana, tidak diketahui apakah secara
klinis sejumlah gliotoksin dihasilkan pada penyakit manusia (Garna,
2012).
e. Faktor Resiko
Risiko aspergilosis bertambah pada individu yang mendapat
dosis tinggi kortikosteroid, dipikirikan disebabkan oleh karena
kerusakan makrofag dan mungkin fungsi sel T. Tambahan lagi,
kortikosteroid telah dibuktikan meninggikan pertumbuhan Aspergillus
spp. di dalam kultur. Tidak diketahui apakah Aspergillus spp.
mempunyai steroid-binding proteins spesifik yang analog dengan yang
telah didapatkan pada fungi lain.
Secara umum, faktor-faktor yang dapat membuat lebih rentan
terhadap infeksi adalah:
1) Sistem imun lemah: orang ang memakai obat penekan
kekebalan setelah menjalani operasi transplantasi seperti atau
orang yang memiliki kanker tertentu berada pada risiko paling
tinggi dalam mengeembangkan aspergillosis invasif. Penderita
AIDS stadium akhir juga berisiko mengembangkan kondisi
aspergillosis.
2) Tingkat sel darah putih yang redah: kemoterapi, transplantasi
organ atau leukimia dapat menurunkan tingkat sel darah putih
sehingga membuat lebih rentan terhadap aspergillosis invasif.
Begitu juga bagi yang memiliki kelainan bawaan yang
mempengaruhi sel-sel sistem kekebalan tubuh (granulomatosa
kronis).
3) Pulmonary cavities: orang yang pernah atau sedang
mengembangkan pulmonary cavities berada pada risiko lebih
tinggi terkena massa serat jamur kusut (aspergilloma). Kavitas
adalah daerah yang telah rusak oleh radiasi ke paru-paru atau
penyakit paru seperti tuberkulosis atau sarcoidosis.
4) Asma atau cystic fibrosis: penderita asma dan cystic fibrosis
dengan kondisi yang sulit dikendalikan, lebih mungin
mengembangkan respon alergi terhadap jamur aspergillus
(Denning, et al., 2003).
5) Terapi kortiko-steroid jangka panjang: penggunaan
kortikosteroid jangka panjang dapat meningkatkan risiko infeksi
oportunistik, tergantung pada penyakit yang sedang diobati dan
obat lain yang digunakan (Anonim, 2013).
f. Diagnosis
Mendiagnosis infeksi yang disebabkan jamur aspergillus bisa
sulit dan tergantung pada jenis infeksi aspergillus (Hasanah, 2017).
Untuk mengkonfirmasi kondisi, dokter mungkin melakukan beberapa
tes seperti:
1) Tes olah gambar: Rontgen dada atau CT scan dapat
mengungkapkan massa jamur (aspergilloma), serta tanda
karakteristik invasif dan alergi aspergilosis bronkopulmoner.
2) Tes sekresi pernafasan: Dalam tes ini, sampel dahak akan
diwarnai dengan zat pewarna dan diperiksa untuk
mengidentifikasi adanya filamen aspergillus. Spesimen ini
kemudian ditempatakn dalam suatu tempat yang mendorong
pertumbuhan jamur untuk membantu memastikan diagnosa.
3) Tes darah dan jaringan: Tes kulit, dahak dan air liur dapat
membantu dalam mengkonfirmasi alergi aspergilosis
bronkopulmoner. Untuk tes kulit, sedikit antigen aspergillus
disuntikkan ke dalam kulit lengan. Jika darah memiliki antibodi
terhadap jamur, kulit akan terasa mengeras dan muncul
benjolan. Tes darah dapat menunjukan kadar antibodi tertentu
yang menunjukan respon alergi.
4) Biopsi: Dlam beberapa kasus, memeriksa sampel jaringan dari
paru-paru atau sinus di bawah mikroskop mungkin diperlukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis aspergillosis invasif (Agarwal,
et al., 2013).
g. Gejala dan Tanda-tanda
Menurut Hasanah (2017), tanda-tanda dan gejala aspergillosis
bervariasi. Berikut adalah di antaranya:
1) Reaksi Alergi
Beberapa orang dengan asma atau cystic fibrosis akan
mengalami reaksi alergi saat terpapar jamur aspergillus. Tanda
dan gejala dari kondisi yang dikenal sebagai alergi
bronchopulmonary aspergillosis, meliputi: demam, batuk yang
disertai darah dan lendir, memburuknya asma.
2) Kumpulan Serat Jamur
Kumpulan serat jamur dapat terbentuk di paru-paru yang
memiliki rongga. Jenis aspergillosis ini disebut aspergilloma.
Rongga paru-paru dapat terjadi pada orang yang mengalami
penyakit paru-paru serius seperti emfisema, tuberkulosis, dan
sarcoidosis. Aspergilloma adalah kondisi jinak yang pada
awalnya mungkin tidak menimbulkan gejala, tapi seiring waktu
menyebabkan: batuk yang sering berdarah, sesak napas,
penurunan berat badan, kelelahan.
3) Infeksi
Bentuk paling parah aspergillosis disebut aspergillosis
paru invasif. Kondisi ini terjadi ketika infeksi menyebar dengan
cepat dari paru-paru melalui aliran darah ke otak, jantung,
ginjal, atau kulit. Aspergillosis paru invasif umumnya terjadi
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh melemah karena
penyakit tertentu atau saat menjalani kemoterapi. Tanda dan
gejala tergantung pada organ yang terkena, tetapi secara umum
meliputi: demam dan menggigil, batuk berdarah, pendarahan
parah dari paru-paru, sesak napas, nyeri dada dan nyeri sendi,
mimisan, pembengkakan wajah pada satu sisi, lesi kulit (lecet-
lecet pada kulit).
h. Perawatan dan Pengobatan
Perawatan dan pengobatan aspergillosis dapat dilakukan dengan
cara:
1) Observasi: Aspergillomas tunggal biasanya tidak membutuhkan
pengobatan, dan obat-obatan biasanya tidak efektif dalam
mengobati massa jamur ini. Aspergillomas yang tidak
menimbulkan gejala mungkin diperiksa secara ketat dengan
bantuan rontgen dada. Jika kondisi terus berkembang,
penggunaan obat anti-jamur mungkin disarankan.
2) Kortikosteroid oral: Tujuan mengobati alergi aspergilosis
bronkopul-moner adalah untuk mencegah asma yang sudah ada
atau memburuknya cystic fibrosis. Cara terbaik untuk
melakukannya adalah dengan kortikosteroid oral. Obat anti-
jamur tidak membantu untuk alergi aspergilosis
bronkopulmoner, tetapi dapat dikombina-sikan dengan
kortikosteroid untuk mengurangi dosis steroid dan
meningkatkan fungsi paru-paru.
3) Obat antijamur: Obat ini adalah pengobatan standar untuk
aspergillosis paru invasif. Secara historis, obat yang sering
digunakan adalah amfoterisin B, tetapi obat yang lebih baru
vorikonazol (Vfend) kini lebih disukai karena tampaknya
menjadi lebih efektif dan mungkin memiliki efek samping yang
lebih sedikit. Semua obat anti-jamur dapat menyebabkan
masalah serius seperti kerusakan hati atau ginjal. Obat juga
dapat berinteraksi dengan obat lain jika diberikan kepada orang-
orang dengan sistem imun lemah.
4) Operasi: Karena obat anti-jamur tidak cukup untuk mengatasi
aspergillomas yang parah, operasi untuk mengangkat massa
jamur adalah pilihan pengobatan pertama yang diperlukan ketika
terjadi pendarahan di paru-paru. Karena operasi sangat berisiko,
dokter mungkin menyarankan embolisasi sebagai gantinya.
Dalam embolisasi, ahli radiologi akan mengulir kateter kecil ke
dalam arteri yang memasok darah ke rongga yang berisi bola
jamur dan menyuntikkan bahan yang menyumbat arteri.
Meskipun prosedur ini dapat menghentikan pendarahan masif,
tetapi pendarahan bisa saja terulang. Embolisasi umumnya
dianggap sebagai pengobatan sementara (Barnes and Marr,
2006).
i. Prognosis
Spesies Aspergillus ditemukan dimana-mana, dan Aspergillosis
biasanya muncul sebagai infeksi sekunder dan hal ini membuktikan
bahwa orang yang sehat kebal terhadap penyakit ini. Kerentanan akan
meningkat dengan pemberian terapi imunosupresif dan sitotoksik dan
serangan invasif terlihat terutama pada pasien dengan netropenia yang
berkepanjangan. Penderita HIV/AIDS atau penderita penyakit
granulomatous kronik pada masa kanak-kanak juga peka terhadap
infeksi jamur ini (Chin J, 2000).
j. Pencegahan
Sulit untuk menghindari menghirup tingkat normal spora
Aspergillus. Bagi orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang
lemah atau penyakit paru- paru parah, ada beberapa langkah yang dapat
diambil untuk membantu mengurangi eksposur, termasuk:
1) Pakailah masker ketika dekat atau berada di lingkungan berdebu
seperti lokasi konstruksi.
2) Hindari aktivitas yang melibatkan kontak dekat dengan tanah
atau debu, seperti pekerjaan halaman atau berkebun.
3) Gunakan langkah-langkah perbaikan kualitas udara seperti filter
High Efficiency Particulate Air (HEPA).
4) Minum obat antijamur profilaksis jika dianggap perlu oleh
penyedia layanan kesehatan.
5) Bersihkan luka kulit dengan sabun dan air, terutama jika cedera
telah terkena tanah atau debu (Anonim, 2013).
k. Program Penanggulangan Penyakit
Tidak dilakukan upaya penanggulangan wabah, karena merupakan
penyakit sifatnya sporadis (Chin J, 2000).
4. Histoplasmosis
a. Definisi
Histoplasmosis adalah suatu penyakit infeksi zoonosis yang
disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum, yang terutama
menyerang paru-paru tetapi kadang-kadang bisa menyebar ke bagian
tubuh yang lain. Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang
diakibatkan oleh infeksi oportunistik (IO). Umumnya menyerang orang
yang positif HIV, khususnya dalam bentuk histoplasmosis yang
menyebar ke seluruh tubuh. (Jawetz, 2007)
Penyakit jamur yang menyerang organ – organ visceral yang
gejalanya mirip tuberculosis ini banyak dijumpai di daerah tropis
Amerika dan Afrika. Penyebabnya adalah Histoplasma capsulatum atau
Histoplasma duboisii. (Soedarto, 2009)
b. Etiologi
Jamur yang berbentuk sel lonjong ini bertunas dengan satu inti.
Biakan pada medium Agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu
kamar menumbuhkan koloni jamur mirip kapas berwarna putih
kecoklatan. Konidia berbentuk sferis, berdinding tebal, berukuran 8 –
14 mikron, mempunyai tonjolan berbentuk jari dan atau mempunyau
mikrokonidia kecil berukuran sekitar 2 – 4 mikron. (Soedarto, 2009)
c. Epidemiologi
Infeksi dari Histoplasma adalah eksogenus, biasanya melalui
inhalasi (lewat udara). Tetapi, jarang ditemukan lewat ingesti (saluran
pencernaan) dan lesi. Secara klinis histoplasmosis adalah penyakit yang
berhubungan dengan sistem retikuloendothelial. Infeksi primernya ada
di saluran pernapasan. Kasus penyakit dilaporkan pernah terjadi pada
anjing, sapi, primata, kucing, kuda, domba, babi, manusia, dan hewan-
hewan liar. (Jawetz, 2007)
Jamur mudah tumbuh dan berkembang biak di tanah yang
tercampur tinja burung dan ayam atau guano kotoran kelelawar. Infeksi
melalui udara akan menimbulkan lesi premier di paru – paru, yang
dapat menyebar ke organ – organ visceral lainnya secara hemtogen jika
jaringan paru mengalami kerusakan. Penularan dari manusia ke
manusia lainnya biasanya terjadi secara tidak langsung. (Soedarto,
2009)
Selain itu terdapat di dalam tanah juga, umumnya pada daerah
Timur dan Barat-tengah Amerika Serikat. Masa inkubasi 7-14 hari
dengan gejala klinis pada kejadian akut berupa menggigil, demam,
kelelahan, dada nyeri dan batuk non-produktif. Pada kejadian kronis
menunjukkan adanya batuk produktif, dahak mukopurulen, berat badan
meneurun, dispnea, hepato-splenomegaly. (Soedarto, 2009)
Di daerah endemis, hewan – hewan misalnya anjing dan
rodensia banyak yang terinfeksi jamur ini sehingga dapat menjadi
sumber penularan histoplasmosis bagi manusia. (Soedarto, 2009)
d. Mekanisme Penularan
Inhalasi mikrokonidia merupakan stadium awal infeksi manusia.
Konidia mencapai alveoli, bertunas, dan berproliferasi sebagai ragi.
Infeksi awal adalah bronkopneumonia. Ketika lesi paru awal bertambah
usianya. terbentuk sel raksasa disertai dengan pembentukan granuloma
dan nekrosis sentral. Pada saat pertumbuhan spora, sel ragi masuk ke
dalam sistem retikuloendotelial melalui sistem limfatik paru dan
limfonodi hilus. Penyebaran dengan keterlibatan limpa khas menyertai
infeksi paru primer. Pada hospes normal, respons imun timbul pada
sekitar 2 minggu. Lesi paru awal sembuh dalam 2 sampai 4 bulan tetapi
dapat mengalami kalsifikasi menyerupai kompleks Ghon tuberkulosis,
atau mungkin ditemukan kalsifikasi buckshot yang melibatkan paru dan
limpa. Tidak seperti tuberkulosis, reinfeksi dengan H. capsulatum
terjadi dan dapat menimbulkan respons hospes yang berlebihan pada
beberapa kasus. (FKUI, 2010)
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil analisa biakan dari
dahak, kelenjar getah bening, sumsum tulang, hati, ulkus di mulut, air
kemih atau darah. Pemeriksaan laboratorium mikologi dilakukan
dengan pemeriksaan secara langsung dan membiakkan specimen klinik
yang berasal dari pasien yang diduga terinfeksi. Selain itu dapat pula
dilakukan dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antigen dan
antibody yang sangat membantu dalam menegakkan diagnosis.
(Soedarto, 2009)
Bahan klinik yang dibutuhkan unutk pemeriksaan laboratorium
mikologi tergantung pada organ yang terkena. Pada histoplasmosis patu
dapat dilakukan pemeriksaan sputum baik secara langsung dengan
pulasan Giemsa dan menanam sputum pada agar Sabouraud dekstrosa
(ASD). Bahan klinik lain yang dapat digunakan pada histoplasmosis
paru adalah bilasan bronkus, yang cara pemeriksaannya sama dengan
pemeriksaan sputum. Pada histoplasma diseminata bahan klinik yang
digunakan untuk pemeriksaan laboratorium dalah darah, cairan otak,
usap ulkus, kerokan kulit dan bahan biopsi jaringan. Perlakuan terhadap
bahan klinik di atas sama dengan pemeriksaan sputum yaitu diwarnai
dengan pulasan Giemsa dan dibiakkan pada media ASD. Pemeriksaan
bahan biopsi juga dapat dilakukan dengan membuat sediaan tekan
jaringan dan memulasnya dengan Giemsa dan HE. (Jawetz, 2007)
Bahan klinik yang paling sering memberikan hasil positif baik
pada pemeriksaan langsung maupun biakan adalah biopsy jaringan
sumsum tulang. Biakan darah juga memberikan hasil positif yang
tinggi. Pemeriksaan langsung dapat dilakukan dengan mewarnai bahan
klinik dengan pulasan Giemsa atau dengan memeriksa sediaan
histopatologi yang diwarnai HE, atu GMS. Pada pemeriksaan langsung
dengan pulasan Giemsa dan pulasan HE, H. capsulatum tampak sebagai
sel ragi intraseluler yang dikelilingi oleh halo hialin yang tidak
terwarnai dan sitoplsma yang terpulas di dalams el makrofag/monosit.
Pada biakan specimen klinik pada ASD yang diinkubasi pada suhu
kamar jamur tumbuh sebagai koloni filament/kapang dan membentuk
mikrokonida dan makrokonidia yang penting sebagai petanda
identifikasi. Untuk menumbuhkan jamur dalam bentuk ragi, inkubasi
biakan dilakukan pda suhu 37 oC. Pertumbuhan jamur H.
capsulatum pada biakan memerlukan waktu yang lama karena
pertumbuhannya lambat. Biakan dinyatakan negative setelah ditemukan
pertumbuhan dalam waktu enam minggu. Karena itu hasil
pemeriksaan langsung menjadi sangat penting. Bila pemeriksaan
langsung memberikan hasil positif maka pengobatan dapat segera
dimulai. (Jawetz, 2007)
Deteksi antigen penting untuk membantu menegakkan diagnosis
pada histoplasma akut, terutama pada penderita AIDS. Bahan klinik
yang dapat digunakan adal serum, cairan otak, urin dan bilasan bronkus.
Urin merupakan bahan klinik yang paling sering memberikan hasil
positif, sedangkan BAL positif sering ditemukan pada penderita AIDS.
Deteksi antibodi berperan penting dalam menegakkan diagnosis
histoplasmosis. Dengan menggunakan teknik imuno difusi, dapat
dideteksi antigen M dan H. Antigen M dibentuk pada infeksi akut
namun juga sering ditemukan pada infeksi kronik. Antigen dapat
bertahan selama bertahun-tahun. Antigen H jarang ditemukan, biasanya
ditemukan bersama antigen M. (Jawetz, 2007)
g. Prognosis
Prognosis histoplasmosis tergantung kondisi penyakit pada saat
diagnosis ditegakkan. Diagnosis dini mempunyai prognosis yang lebih
baik, namun diagnosis sering kali terlambat ditegakkan secara klinis
histoplasmosis memiliki gejala yang mirip dengan penyakit lain. Pada
histoplasmosis diseminata pemberian pengobatan yang tepat dengan
induksi dan terapi supresif untuk mencegah relaps memperbaiki
prognosis. (Soedarto, 2009)
h. Pengobatan
Penderita infeksi Histoplasmosis dapat diobati dengan 2 cara
yaitu dengan induksi: terapi awal untuk infeksi akut dan pemeliharaan:
terapi terus menerus untuk mencegah kambuh. Histoplasmosis biasanya
harus diobat pada awal dengan obat yang cukup manjur, amfoterisin B,
yang juga menimbulkan efek samping yang parah. Setelah pengobatan
awal, terapi harus diteruskan seumur hidup dengan itrakonazol, atau
sehingga sistem kekebalan tubuh menjadi pulih. (Soedarto, 2009)
1) Pada Manusia
Pengobatan histoplasmosis dibedakan antara pengobatan pada
penderita imunokompeten non AIDS dan pengobatan pada
penderita AIDS. Pada kelompok non AIDS pengobatan juga
dibedakan antara histoplasmosis diseminata yang mengancam
nyawa dan bentuk yang lebih ringan. Pada bentuk diseminata yang
mengancam nyawa pengobatan dimulai dengan pemberian
amfotersin B secara intravena dengan dosis 0,7 – 1 mg/hari tiap hari
selama 1 – 2 minggu. Dosis total diberikan sebanyak 2500 mg untuk
orang dewasa. Untuk anak-anak disesuaikan dengan umur dan berat
badan. Kemudian diteruskan dengan itrakonazol 200 – 400 mg/hari
sampai paling sedikit 6 bulan. Pada bentuk yang lebih ringan dapat
diberikan itrakonazol 200 – 400 mg selama paling sedikit 6 bulan.
Pada histoplasmosis paru kronik dengan kavitas diperlukan
pengobatan selama lebih dari satu tahun untuk mencegah relaps.
(Jawetz, 2007)
Pada penderita AIDS dengan histoplasmosis ringan sampai
sedang dapat diberikan itrakonazol 200 mg tiga kali/hari untuk tiga
hari pertama dilanjutkan denga 2 x 200 mg selama 12 minggu.
Prinsip pengobatan histoplasmosis diseminata adalah pemberian
terapi induksi untuk mendapatkan perbaikan klinis diikuti terapi
supresif untuk mencegah relaps. Terapi induksi menggunakan
amfoterisin B 0,5 – 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari – 2 minggu
tergantung respons penderita. Kemudian diikuti terapi supresif
dengan itrakonazol 400 mg/hari selama kurang lebih 3 bulan.
(Jawetz, 2007)
2) Pada Hewan
Pada kasus terjadinya Epizootic Lymphangitis pada kuda,
pengobatn yang dapat dilakuakan yaitu dengan pemberian Iodide
Sodium secara intravena, atau dengan pemberian Potassium Iodide
secara peoral, namun terjadinya penyakit terulang kembali atau
kambuh pada beberapa bulan kemudian dapat terjadi. Secara invitro
sensitifitas organisme terhadap Amphotericin B, Nystatin, dan
Clotrimazole telah dilaporkan. Pada kebanyakan kasusu hewan yang
terinfeksi oleh penyakit ini tidak diijinkan untuk dilakukan
pengobatan, dan hewan yang terinfeksi segera dimusnahkan dengan
euthanasia. (Jawetz, 2007)
3) Obat Anti Jamur Untuk Penderita Histoplasmosis
Amfoterisin B
Amfoterisin B yang ditemukan dan diisolasi dan strain
Str.nodosus pada tahun 1956 merupakan antibiotika kelompok
makrolida poliena yang memiliki 7 ikatan rangkap konyugasi
pada posisi trans dan 3-amino-3,6-dideoksimanosa yang
berhubungan melalui ikatan glikosida. Sesuai dengan namanya
sifat amfoter diberikan oleh gugus karboksil pada cincin utama
dan gugus amino pada mikosamin.Kelarutannya dalam air yang
kecil pada pH netral menyulitkan pemberian per iv hingga
perlu solubilisasi melalui dispersi koloid dalam deoksikolat
atau pembentukan derivat N-asil maupun ester dan gugus
karboksi. (Herman, 1996)
Imidazol dan Triazol
Berbeda dengan amfoterisin B yang diproduksi secara
alamiah, kelompok antijamur azol merupakan senyawa sintetik
yang diklasifikasi sebagai imidazol (mikonazol dan
ketokonazol) atau triazol (itrakonazol dan flukonazol)
bergantung kepada jumlah kandungan atom nitrogennya ada 2
atau 3. Struktur kimia dan profil farmakologis ketokonazol dan
itrakonazol sama, flukonazol unik karena ukuran molekulnya
yang kecil dan lipofilisitasnya yang lebih kecil. (Syam, 2012)
i. Pencegahan
Bukan hal yang praktis untuk melakukan tes atau dekontaminasi
semua area yang diketahui atau yang dimungkinkan terkontaminasi
dengan jamur histoplasmosis, tetapi langkah-langkah yang dapat
menurunkan resiko:
1) Menghindari area dimana jamur dapat tumbuh, terutama area
dengan akumulasi kotoran burung dan kelelawar. Jamur sering
tumbuh disekitar kandang ayam yang tua, di gua dan area lain
dimana tinggal kelelawar, dan sekitar tempat betenggernya burung
jalak dan burung hitam.
2) Hindari gangguan terhadap akumulasi kotoran kelelawar atau
burung. Meminimalisir terbangnya debu yang kemungkinan
terkontaminasi dengan spora jamur dengan cara menyemprotkan
dengan air daerah yang berpotensi sebagai sumber penularan
penyakit, seperti kandang ayam sebelum dibersihkan dilakukan
penyemprotan dengan air untuk menghindari terbangnya debu yang
mengandung spora jamur.
3) Saat bekerja di tempat yang beresiko sebagai tempat penyebaran
penyakit, pekrja hendaknya menggunakan pakaian khusus dan
menggunakan masker wajah yang berfungsi untuk menyaring debu
yang masuk saat bernafas, sebaiknya gunakan masker dengan
diameter kurang lebih 1 milimicron.
4) Melakukan desinfeksi pada daerah yang mengalami kontaminasi.
5) Mengeluarkan atau membersihkan koloni kelelawar atau kandang
burung dari gedung ataupun perumahan. (Anonim. 2011)
BAB III
KESIMPULAN
Agustina, Dini et al. 2016. “Sistem Pakar Diagnosa Penyakit Kulit Akibat Infeksi
Jamur (Expert System to Diagnose of Skin Disease Due to Fungal
Infections)”. Jurnal Informatika. 4(2): 67-77.
Arysthia, A., Siti R., dan Ira P. 2017. “Perilaku Sehat dan Sanitasi Lingkungan
Pemilik Kucing dengan Dermatomikosis di Klaten”. BKM Journal of
Community Medicine and Public Health. 33(5): 235-238.
Barnes PD, Marr KA. 2006. Aspergillosis: spektrum penyakit, diagnosis, dan
pengobatan. Menginfeksi Dis Clin Utara Am. 2006 September, 20 (3):
545-61, vi.
Djuanda, Adhi., 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,. Ed.4. Jakarta ; FKUI.
Garna, Herry. 2012. Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jakarta: CV Sagung
Seto.
Herman, Max Joseph. 1996. Antijamur Sistemik. Cermin Dunia Kedokteran No.
108 tahun 1996. Jakarta; Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
RI.
Jawetz, Melnick dan Adelberg. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta;EGC
Jessica, Prisciila. 2016. Hubungan Antara Terjadinya Kandidiasis Vulvovaginalis
Dengan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal. Jurnal Kedokteran
Diponegoro : Vol 5(4)
Lewis MAO, Jordan RCK. Oral Medicine: A colour handbook, 5th impression.
Manson Publishing London, UK; 2011. 67 – 85.
Maria da Gloria, Santana GB, Criado PR, et al. 2015. Chronic widespread
dermatophytosis due to Trichophyton rubrum: a syndrome associated with
a Trichophyton-specific functional defect of phagocytes. Front Microbiol.
Nur’aeny, nanan dkk. 2017. Jurnal Profil oral candidiasis di bagian ilmu penyakit
mulut RSHS Bandung periode 2010-2014. Vol 3 No 1.
Riani, Eva. 2014. “Hubungan antara Karakteristik Demografi, Gaya Hidup dan
Perilaku Pasien Puskesmas di Jakarta Selatan dengan Dermatofitosis”.
Jurnal Kedokteran Indonesia. 2(2): 107-111.
Scully C, Stephen F. Oral and maxillofacial diseases. 4th ed. Informa healthcare;
2010. 43 – 62
Silverman. S Jr at al, 2001, Essential of Oral Med, BC. Decker Inc, Hamilton,
London, h. 170 – 177