Epidemiologi Penyakit Akibat Mikroorganisme Lain
Epidemiologi Penyakit Akibat Mikroorganisme Lain
Oleh :
Kelompok : 13
Kelas :B
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkat kemajuan teknologi saat ini. Penyakit menular kini dapat ditangani.
Akan tetapi masalah penyakit menular masih dirasakan oleh sebagian besar
penduduk negara berkembang. Disamping itu muncul masalah kesehatan baru,
yaitu penyakit tidak menular (Noor,2009).
Rickettsia spp. pada pinjal tikus (X.cheopis) di tiga daerah pelabuhan Kota
Semarang, Kupang, dan Maumere terdeteksi dengan persentase cukup tinggi. Hal
ini mengisyaratkan kemungkinan adanya rickettsiosis pada manusia yang selama
ini belum terdeteksi, sekaligus memberikan peringatan terhadap potensi infeksi
murine typhus dan bartonelosis Upaya pencegahan serta penanggulangan
rickettsiosis sangat diperlukan, diawali dari penegakan diagnosis dan surveilans
epidemiologi yang meliputi reservoir (tikus) dan vektornya (pinjal). Meskipun
agent penyakit rickettsiosis pada pinjal telah berhasil dideteksi di berbagai daerah
di Indonesia, namun data tentang penyakit ini pada manusia belum banyak
tersedia. Informasi yang ada dari RSUP Dr.Kariadi Semarang menyebutkan
bahwa murine typhus merupakan salah satu penyebab kasus demam akut yang
tidak terdiagnosis (undifferentiated accute fever/AUF) selain leptospirosis pada
pasien. Berdasar hasil penelitian pada 137 pasien, AUF diketahui 9 pasien (7%)
terinfeksi R.typhi dan 10% terdiagnosis leptospirosis (Joharina et al., 2016).
PEMBAHASAN
1. Definisi
Demam Q merupakan penyakit yang lebih mirip dengan flu,
pneumonia nonbakteri, hepatitis atau ensefalopati dibandingkan dengan
tipus. Tejadi peningkatan pada titer dari antibodi spesifik pada Coxiella
burnetti, fase 2. Penularan dihasilkan dari penghirupan debu yang
terkontaminasi oleh rickettsiae dari plasenta, kotoran kering, urin, susu,
atau aerosol dari rumah potong hewan (Brooks et al., 2005).
Menurut Djunaedi (2007), Demam Q merupakan penyakt infeksi
akut yang menyerupai influenza dan mulai dikenaln akhir tahun 1930-an
ini disebabkan Coxiella burnetii yang tinggal secara laten dalam host yang
terinfeksi dan dapat teraktivasi oleh stressor fisiologis seperti proses
kelahiran. Setelah teraktivasi, mikroorganisme melakukan multiplikasi
dann mengkontaminasi hewan di sekitarnya serta berpotensi menjadi
sumber infeksi selama berbulan-bulan.
Demam Q merupakan suatu penyakit dengan demam yang
menyebabkan pneumonia dan endokarditis yang terdapat di seluruh dunia
(Bell et al., 1995). Penyakit ini dikenal di seluruh dunia dan sebagian
terjadi pada manusia yang berhubungan dengan kambing, domba, ternak
atau kucing. Penyakit ini menarik perhatian karena wabah pada pusat-
pusat kesehatan dan rumah sakit hewan dimana sejumlah besar orang
diekspos oleh hewan yang terinfeksi coxiella (Brooks et al., 2005).
2. Epidemiologi
Menurut Harrington dan Gill (2005), Demam Q ditemukan
endemik di australia (Queensland asal huruf Q), Amerika Serikat, dan
dimana saja.
Penyakit ini dikenal di seluruh dunia dan sebagian terjadi pada
manusia yang berhubungan dengan kambing, domba, ternak atau kucing.
Penyakit ini menarik perhatian karena wabah pada pusat-pusat kesehatan
dan rumah sakit hewan dimana sejumlah besar orang diekspos oleh hewan
yang terinfeksi C. burnetii (Jawet, 2005).
3. Etiologi
Menurut Harrington dan Gill (2005), Demam Q disebabkan oleh
rickettsia yaitu Coxiella burnetti. Coxiella adalah patogen hewan
(umumnya sapi, domba, kambing) yang kadang menginfeksi manusia
melalui gigitan kutu atau inhalasi ekskreta yang mengering dan tercemar.
Urin, tinja, susu, dan produk persalinan hewan dapat menjadi sumber
penularan (Elliott et al., 2009).
2. Epidemiologi
Malaria ditemukan di daerah-daerah yang terletak pada
posisi 640 Lintang Utara sampai 320 Lintang Selatan. Penyebaran
malaria pada ketinggian 400 meter di bawah permukaan laut dan
2600 meter di atas permukaan laut (Sutanto, 2009). Malaria
merupakan penyakit endemik di lebih dari 100 negara di Afrika,
Asia, Oceania dan Amerika Selatan dan Tengah serta di beberapa
kepulauan Karibia (Sandjaja, 2007).
Data WHO menyebutkan tahun 2008 terdapat 544.470
kasus malaria positif di Indonesia, sedangkan pada tahun 2009
terdapat 1,1 juta kasus malaria klinis, dan pada tahun 2010
meningkat lagi menjadi 1,8 juta kasus malaria klinis dan telah
mendapatkan pengobatan (Dinkes,2011). Sebagian besar daerah di
Indonesia masih merupakan daerah endemik infeksi malaria,
Indonesia bagian timur seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Kalimantan dan bahkan beberapa daerah di Sumatra
seperti Lampung, Bengkulu, Riau. Di daerah Jawa dan Bali
walaupun endemisitas sudah sangat rendah, masih sering dijumpai
letupan kasus malaria, dan tentu saja hal ini disebabkan mudahnya
transportasi untuk mobilisasi penduduk, sehingga sering
menyebabkan timbulnya malaria impor (Harijanto, 2011; Natalia,
2013).
Plasmodium knowlesi merupakan spesies parasit malaria
yang ditemukan pada kera, yang menyerupai Plasmodium
falciparum dan Plasmodium malariae, yang pada tahun 1965 di
Malaysia dilaporkan spesies ini dapat menginfeksi manusia dan
menyebabkan gejala klinis (Natalia, 2013). Di Indonesia, jenis ini
telah ditemukan di daerah Kalimantan Selatan. Plasmodium pada
manusia menginfeksi sel darah merah dan mengalami pembiakan
aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina (Harijanto, 2009).
3. Etiologi
Malaria pada manusia dapat disebabkan P.malariae,
P.vivax, P. falciparum dan P.ovale. Penularan malaria dilakukan
oleh nyamuk betina dari tribus anopheles. Dari sekitar 400 spesies
nyamuk anopheles telah ditemukan 67 spesies yang dapat
menularkan malaria dan 24 diantaranya ditemukan di Indonesia
(Harijanto,1987). Namun P. falciparum merupakan spesies yang
paling berbahaya dan menyerang setiap eritrosit tanpa memandang
umur, sehingga angka infeksi eritrosit (derajat parasitemia) sangat
tinggi dan sering menyebabkan komplikasi berat (Inayaturrahman,
2016).
Species plasmodium pada manusia adalah (Nelson et al, 2000) :
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana).
4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.
4. Mekanisme Penularan
Proses masuknya Plasmodium kedalam tubuh yaitu nyamuk muda
mula-mula menelan parasit malaria dari makan manusia yang telah
terkontaminasi dan nyamuk Anopheles yang dijangkiti membawa
sporozoid Plasmodium dalam kelenjar liur mereka. Nyamuk dijangkiti
apabila ia menghisap darah dari manusia yang telah terinfeksi, apabila
ditelan (gametocytes) parasit yang dihisap dalam darah akan berubah
menjadi gamet jantan dan betina dan kemudian bersatu dengan perut
nyamuk. Ia kemudian menghasilkan ookinete yang menembus lapisan
perut dan menghasilkan oocyst pada dinding perut. Apabila oocyst
pecah, ia membebaskan (sporozoite) yang bergerak melalui tubuh
nyamuk kepada kelenjar liur, di mana ia bersedia untuk menjangkiti
manusia baru. Penyebaran ini kadang kala dikenali sebagai pemindahan
stesyen anterior. Sporozoid ditusuk masuk kedalam kulit, bersama-sama
air liur, apabila nyamuk menghisap darah yang berikutnya. (Widoyono.
2008). Malaria tidak dapat ditularkan secara kontak langsung dari satu
manusia ke manusia lainnya. Tetapi penyakit ini dapat menular malalui
transfusi donor yang darahnya mengandung parasit malaria. Malaria
yang klasik disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina yang telah
terinfeksi parasit malaria. Tidak semua nyamuk dapat menularkan
malaria. Seseorang menjadi terinfeksi malaria setelah digigit nyamuk
Anopheles betina yang sudah terinfeksi parasit malaria. Pada saat
nyamuk betina menggigit, dia memasukkan air liurnya yang
mengandung parasit ke dalam peredaran darah di dalam tubuh manusia.
Selanjutnya parasit masuk ke dalam sel-sel hati manusia. Sekitar 1
hingga 2 minggu setelah digigt, parasit kembali masuk ke dalam darah.
Pada saat ini manusia tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda atau
gejala malaria. Parasit tersebut selanjutnya menyerang sel darah merah
dan mulai memakan hemaglobin, bagian darah yang membawa oksigen.
Pecahnya sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium ini dapat
menyebabkan timbulnya gejala demam disertai menggigil. Karena
banyak sel darah merah yang pecah, maka menyebabkan anemia.
(Widoyono, 2008).
5. Faktor Resiko
Faktor nutrisi
Apabila seorang penderita malaria juga mengalami malnutrisi,
imunitas akan menurun, sehingga malaria jadi lebih berat
Faktor lingkungan
Transmisi dipengaruhi oleh iklim :
a. Paling baik pada suhu 20-30oC.
b. Kelembapan udara yang lebih dari 60% (umur nyamuk > panjang).
c. Musim hujan (breeding site >, kelembapan >).
d. Pada keadaan hujan deras malaria berkurang, karena larva dan
jumlahnya berkurang karena terbawa oleh air (Irianto, 2013).
6. Gejala dan Gambaran Klinis
Gejala pertama dari malaria adalah gejala-gejala yang tidak
spesifik dan sama dengan gejala-gejala minor penyakti virus sistemik.
Gejala-gejala tersebut seperti, sakit kepala, kelemahan, fatigue,
ketidak nyamanan abdomen, dan nyeri otot dan sendi, biasanya diikuti
oleh demam, menggigil, berkeringat, anoreksia, muntah dan malaise
yang memburuk. Malaria dengan demikian, seringkali didiagnosa
semata berbasis pada gejala-gejala itu sendiri, khususnya pada area-
area endemik. Pada stadium awal, dengan tanpa ada bukti disfungsi
organ tunggal, pasien dapat ditangani dengan penanganan yang
menyediakan pemulihan yang cepat dan efektif (Lombogia et al,
2013)
Klasifikasi malaria berdasarkan serangan demam, dapat dibedakan
dalam tiga stadium klasik malaria, yaitu
Stadium dingin (cold stage), stadium ini diawali dengan demam
menggigil, perasaan yang sangat dingin, dan gigi gemeretak,
biasanya penderita menutupi tubuhnya dengan pakaian atau
selimut yang tebal. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari
pucat/kebiru-biruan, kulit kering dan pucat. Penderita sering
muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini
berlangsung antara 15menit-1jam bersamaan dengan meningkatnya
suhu tubuh.
Stadium demam (hot stage), setelah merasa kedinginan, pada
stadium ini penderita merasa kepanasan, muka merah, kulit kering
dan terasa sangat panas, seperti terbakar, sakit kepala dan enek
serta sering kali terjadi muntah, denyut nadi menjadi kuat lagi.
Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat
meningkat sampai dengan 410C atau lebih, stadium ini berlangsung
antara 2-4 jam.
Stadium berkeringat (sweating stage), pada stadium ini penderita
berkeringat banyak sekali. Suhu menurun dengan cepat, kadang-
kadang sampai di bawah suhu normal. Penderita biasanya dapat
tidur nyenyak dan pada saat bangun dari tidur, pendeita merasa
lemah tetapi tidak ada gejala lain. Stadium ini berlangsung antara
2-4 jam. 10 Ketiga serangan demam tersebut ditemukan pada
penderita yang berasal dari daerah non endemis, yang
mendapatkan penularan dari daerah endemis atau yang pertama
kali menderita penyakit malaria (Sutarto et al, 2017).
7. Diagnosis
1. Pemeriksaan mikroskopis
a. Darah
Terdapat dua sediaan untuk pemeriksaan mikroskopis
darah, yaitu sediaan darah hapus tebal dan sediaan darah hapus
tipis. Pada pemeriksaan ini bisa melihat jenis plasmodium dan
stadium-stadiumnya. Pemeriksaan ini banyak dan sering dilakukan
karena dapat dilakukan puskesmas, lapangan maupun rumah sakit.
Untuk melihat kepadatan parasit, ada dua metode yang
digunakan yaitu semi-kuantitatif dan kuantitatif. Metode yang biasa
digunakan adalah metode semi-kuantitatif dengan rincian sebagai
berikut :
(-) : SDr negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
Sedangkan untuk metode kuantitatif, pada SDr tebal menghitung
jumlah parasit/200 leukosit dan SDr tipis penghitungannya adalah
jumlah parasit/1000 eritrosit (Widoyono, 2005)
b. Pulasan Intradermal ( Intradermal Smears )
Penelitian di Cina belum lama ini, memperlihatkan bahwa
pulasan dari darah intradermal lebih banyak mengandung stadium
matur/matang dari Plasmodium falciparum daripada pulasan darah
perifer. Penemuan ini bisa menjadi pertimbangan untuk
mendiagnosis malaria berat dengan lebih baik dan akurat. Pulasan
ini hasilnya dapat positif atau dapat juga terlihat pigmen yang
mengandung leukosit setelah dinyatakan negatif pada pulasan
darah perifer. Untuk uji kesensitifitasannya, pulasan intradermal
sebanding dengan pulasan darah dari sumsum tulang yang lebih
sensitif dari pulasan darah perifer (Cook et al, 2009).
2. Tes Diagnostik Cepat ( Rapid Diagnostic Test )
Metode ini untuk mendeteksi adanya antigen malaria
dengan cara imunokromatografi. Tes ini dapat dengan cepat
didapatkan hasilnya, namun lemah dalam hal spesifitas dan
sensitifitas. Tes ini biasanya digunakan pada KLB (Kejadian Luar
Biasa) yang membutuhkan hasil yang cepat di lapangan supaya
cepat untuk ditanggulangi (Widoyono,2005; Mandal et al, 2008).
Selain pemeriksaan-pemeriksaan diatas juga terdapat
pemeriksaan penunjang lainnya. Pada malaria berat/malaria
falciparum, terdapat beberapa indikator laboratorium, antara lain :
a. Biokimia
Hipoglokemia : < 2.2 mmol/L
Hiperlaktasemia : > 5 mmol/L
Asidosis : pH arteri < 7.3
Vena plasma HCO3 < 15 mmol/L
Serum kreatinin : > 265 μmol/L
Total bilirubin : > 50 μmol/L
Enzim hati : SGOT > 3 diatas normal
SGPT > 3 diatas normal, 5-Nukleotidase ↑
Enzim otot : CPK ↑
Myoglobin ↑
Asam urat : > 600 μmol/L
b. Hematologi
Leukosit : > 12000 /μL
Koagulopati : platelet < 50000/μL
Fibrinogen < 200 mg/dL
c. Parasitologi
Hiperparasitemia : > 100000/μL – peningkatan mortalitas
>500000/μL – mortalitas tinggi > 20% parasit yang
mengandung tropozoit dan skizon (Cook et al, 2009;
Sastroasmoro & Ismael, 2011).
8. Pengobatan
Berdasarkan atas aktivitasnya, obat anti malaria dapat dibagi
menjadi :
1. Gametosida : untuk membunuh bentuk seksual plasmodium
(misalnya klorokuin, kuinin dan primakuin).
2. Sporontosida : untuk menghambat ookista (misalnya primakuin,
kloroguanid).
3. Skozintisida : untuk memberantas bentuk skizon jaringan dan
hipnozoit (misalnya primakuin dan pirimetamin).
4. Skizontisida darah : untuk membunuh skizon yang berada di
dalam darah (misalnya klorokuin, kuinin, meflokuin, halofantrin,
pirimetamin, sulfadoksin, sulfon dan tetrasiklin) (Soedarto, 2012).
9. Pencegahan
Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah
endemis maupun yang ingin pergi ke daerah endemis :
1. Pengendalian vector:
Bisa menggunakan larvasida untuk memberantas jentik-
jentik.
Semprot insektisida untuk membasmi nyamuk dewasa.
Penggunaan pembunuh serangga yang mengandung
DEET (10-35%) atau picaridin 7%.
2. Proteksi personal/Personal Protection
Adalah suatu tindakan yang dapat melindungi orang
terhadap infeksi, seperti:
Menghindari gigitan nyamuk pada waktu puncak nyamuk
mengisap (petang dan matahari terbenam).
Penggunaan jala bed (kelambu) yang direndam insektisida
sebelumnya, kawat nyamuk, penolak serangga.
Memakai baju yang cocok dan tertutup.
Penggunaan obat-obat profilaksis jika ingin bepergian ke
daerah endemis.
3. Vaksin Malaria
Parasit malaria mempunyai siklus hidup yang komplek,
sehingga vaksin berbeda-beda untuk setiap stadium, seperti
Stadium aseksual eksoeritrositik
Cara kerjanya menghambat terjadinya gejala klinis
maupun transmisi penyakit di daerah endemis.
Contohnya, circumsporozoite protein (CSP),
Thrombospondin-related adhesion protein (TRAP),
Liver stage antigen (LSA).
Stadium aseksual eritrositik
Cara kerjanya menghambat terjadinya infeksi parasit
terhadap eritrosit, mengeliminasi parasit dalam eritrosit
dan mencegah terjadinya sekuesterasi parasit di kapiler
organ dalam sehingga dapat mencegah terjadinya
malaria berat. Contohnya, merozoite surface protein
(MSP), ring infected erythrocyte surface antigen
(RESA), apical membrane antigen-1 (AMA-1).
Stadium seksual
Cara kerjanya menghambat atau mengurangi transmisi
malaria di suatu daerah. Contohnya, Pfs 28 dan Pfs 25.
10. Prognosis
Malaria Pada serangan primer dengan Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae akan terjadi
penyembuhan sempurna pada pemberian terapi yang adekuat dan
prognosisnya baik. Pada Plasmodium falciparum prognosis
berhubungan dengan tingginya parasitemia, jika parasit dalam
darah > 100.000/mm3 dan jika hematokrit < 30% maka
prognosisnya buruk. Apabila cepat diobati maka prognosis bisa
lebih baik, namun apabila lambat pengobatan akan menyebabkan
angka kematian meningkat (Irianto, 2013).
11. Program Penanggulangan
Menurut Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 293 tahun
2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia. Eliminasi Malaria
adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria
setempat dalam suatu wilayah geografis tertentu, dan ukan berarti
tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vector malaria
di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali.
Upaya eliminasi malaria dilakukan secara bertahap dari
kabupaten/kota, dari suatu provinsi, pulau ke pulau hingga akhirnya
mencakup seluruh Indonesia.
Tahap-tahap Eliminasi Malaria terdiri dari akselerasi, intensifikasi,
pre eliminasi, dan pemeliharaan (telah dinyatakan eliminasi).
1. Akselerasi
Strategi akselerasi dilakukan secara menyeluruh diwilayah
endemis tinggi malaria, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku,
Maluku Utara, NTT. Kegiatan yang dilakukan adalah kampanye
kelambu anti nyamuk missal, penyemprotan dinding rumah
diseluruh desadengan API> 40%. Dan penemuan dini-
pengobatan tepat.
2. Intensifikasi
Strategi intensifikasi merupakam upaya pengendaliandiluar
kawasan timur Indonesia seperti di daerah tambang, pertanian,
kehutanan, transmigrasi, dan pengungsian. Kegiatan yang
dialkukan adalah pemberiam kelambu anti nyamuk didaerah
beresiko tinggi, penemuan dini-pengobatan tepat, penyemprotan
dinding rumah pada lokasi KLBmalaria, dan penemuan kasus
aktif.
3. Eliminasi
Stategi Eliminasi dilakukan pada daerah endemis rendah,
kegiatan yang dilakukan adalah penemuan dini-pengobatan
tepat, penguatan surveilans migrasi, surveilans daerah yang
rawan perindukan vector (reseptif), penemuan kasus aktif (Mass
Blood Survey), dan penguatan rumah sakit rujukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demam Q merupakan penyakit yang lebih mirip dengan flu,
pneumonia nonbakteri, hepatitis atau ensefalopati dibandingkan dengan
tipus. Tejadi peningkatan pada titer dari antibodi spesifik pada Coxiella
burnetti, fase 2. Penularan dihasilkan dari penghirupan debu yang
terkontaminasi oleh rickettsiae dari plasenta, kotoran kering, urin, susu,
atau aerosol dari rumah potong hewan.
Coxiella burnetii merupakan agen penyebab penyakit demam Q
atau Query fever. Penularan C. burnetii pada manusia melalui kontak,
pernafasan, dan pencernaan. Umumnya, penularan pada manusia terjadi
akibat kontak dengan ternak yang terinfeksi.
Penderita manusia diobati dengan Tetrasiklin atau Kloramfenikol
yang diberikan lebih dari 10 hari. Untuk mencegah kekambuhan,
pengobatan diberikan sampai 5 hari sesudah penderita tidak demam
lagi.
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa
obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Species plasmodium pada
manusia adalah:
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana).
4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.
Gejala pertama dari malaria adalah gejala-gejala yang tidak
spesifik dan sama dengan gejala-gejala minor penyakti virus sistemik.
Gejala-gejala tersebut seperti, sakit kepala, kelemahan, fatigue, ketidak
nyamanan abdomen, dan nyeri otot dan sendi, biasanya diikuti oleh
demam, menggigil, berkeringat, anoreksia, muntah dan malaise yang
memburuk.
Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah endemis
maupun yang ingin pergi ke daerah endemis :
1. Pengendalian vector:
2. Proteksi personal/Personal Protection
3. Vaksin Malaria
Sedangkan untuk program pencegahan dari Q fever menggunkan
kebijakn pemerintah dalam impor daging sapi, untuk program
penanggulangan malaria pemerintah mengadakan Eliminasi Malaria
yang dilakukan bertahap secara menyeluruh di Indonesia.
Daftar Pustaka
Annashr, N. N., Santoso, L., dan Hestiningsih, R. 2011. Studi Kepadatan Tikus
dan Ektoparasit di Desa Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota
Semarang Tahun 2011. Wawasan Kesehatan, Vol. 3 No. 2.
Bell, J. C., Palmer, S. R., dan Payne J. M. 1995. Zoonosis: Infeksi yang
Ditularkan dari Hewan Ke Manusia. Jakarta: EGC.
Cook Gc, Zumla Ai. 2009. Manson’s Tropical Disease Twenty-Second Edition.
British (London): British Library Cataloguing In Publiction Data
Elliot, T., dkk. 2013. Mikrobiologi Kedokteran & Infeksi Edisi 4. Jakarta: ECG.
Elliott, T., Worthington, T., Osman, H., dan Martin Gill. 2009. Mikrobiologi
Kedokteran dan Infeksi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Harrington, J. M., dan Gill, F. S. 2005. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta:
EGC.
Joharina, A. S., Mulyono, A., Sari, T. F., Rahardianingtyas, E., Putro, D. B. W.,
Pracoyo, N. E., dan Ristiyanto. 2016. Rickettsia pada Pinjal Tikus
(Xenopsylla Cheopis) di Daerah Pelabuhan Semarang, Kupang dan
Maumere. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 44 No. 4.
Kusumawati E. 2012. Studi Q Fever Pada Sapi Perah Impor Dari Australia
Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta [tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mahatmi, dkk. 2011. Deteksi Coxiella burnetii Penyebab Q fever pada Sapi,
Domba dan Kambing di Bogor dan Bali. Jurnal Veteriner. 180-187.
Mahatmi, H. 2006. Studi Q fever pada ruminansia di wilayah Bogor dan Provinsi
Bali menggunakan metode nested-polymerase chain reaction dan uji
indirect immunofluorescent antibody [disertasi]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mandal Bp, Wilkins Eg, Dunbar Em, Mayon-White Rt. Lecture Note. 2008.
Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Nurmalina, R., dan Valley, B. 2012. 24 Herbal Legendaris untuk Kesehatan Anda.
Jakarta: Gramedia.
Richards, A., dkk. 2003. Serologic evidence of infection with erlichia and spotted
fever group Rickettsiae among residents of Gag Island Indonesia. Am
J Trop Med Hyg 68:480-484.
Sutarto & Eka Cania, B. 2017. Faktor Lingkungan, Perilaku Dan Penyakit
Malaria. Jurnal Agromedunila. Vol. 4(17).