Anda di halaman 1dari 33

Penyakit Menular Akibat Mikroorganisme Lain

Untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular


dan Tidak Menular

Oleh :

Ayu Pratiwi Lestari I1A016002


Alifia I1A016041
Ridha Aya Anorawi I1A016080

Kelompok : 13
Kelas :B

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berkat kemajuan teknologi saat ini. Penyakit menular kini dapat ditangani.
Akan tetapi masalah penyakit menular masih dirasakan oleh sebagian besar
penduduk negara berkembang. Disamping itu muncul masalah kesehatan baru,
yaitu penyakit tidak menular (Noor,2009).

Menurut Widoyono (2011), penyakit menular adalah penyakit yang


ditularkan melalui berbagai media. Penyakit jenis ini merupakan masalah
kesehatan yang besar karena angka kesakitan dan kematiannya relatif tinggi dalam
waktu relatif singkat. Berbeda dengan penyakit yang tidak menular biasanya
bersifat menahun dan banyak disebabkan oleh gaya hidup. Penyakit menular
dapat disebabkan oleh Rickettsia (Demam Q) dan plasmodium (malaria).

Rickettsia merupakan mikroorganisme berbentuk bakteri bersifat seperti


virus (Nurmalina et al., 2012). Menurut Utama (2018), rickettsia adalah golongan
antara virus dan bakteri yang menyebabkam demam Rocky Mountain, demam Q,
tipus, dan psittacosis (Utama, 2018).

Di Indonesia sendiri ditemukan 6 penyakit zoonosis yang ditularkan oleh


tikus yaitu pes, schistosomiasis, scrub thypus (demam semak), leptospirosis,
eosinophylic meningitis (Angiostrongylus cantonensis) dan echinostomiasis
(Tutstsintaiyn, 2013).

Rickettsia spp. pada pinjal tikus (X.cheopis) di tiga daerah pelabuhan Kota
Semarang, Kupang, dan Maumere terdeteksi dengan persentase cukup tinggi. Hal
ini mengisyaratkan kemungkinan adanya rickettsiosis pada manusia yang selama
ini belum terdeteksi, sekaligus memberikan peringatan terhadap potensi infeksi
murine typhus dan bartonelosis Upaya pencegahan serta penanggulangan
rickettsiosis sangat diperlukan, diawali dari penegakan diagnosis dan surveilans
epidemiologi yang meliputi reservoir (tikus) dan vektornya (pinjal). Meskipun
agent penyakit rickettsiosis pada pinjal telah berhasil dideteksi di berbagai daerah
di Indonesia, namun data tentang penyakit ini pada manusia belum banyak
tersedia. Informasi yang ada dari RSUP Dr.Kariadi Semarang menyebutkan
bahwa murine typhus merupakan salah satu penyebab kasus demam akut yang
tidak terdiagnosis (undifferentiated accute fever/AUF) selain leptospirosis pada
pasien. Berdasar hasil penelitian pada 137 pasien, AUF diketahui 9 pasien (7%)
terinfeksi R.typhi dan 10% terdiagnosis leptospirosis (Joharina et al., 2016).

Penyakit malaria adalah penyakit menular yang dapat menurunkan


produktifitas dan menyebabkan kerugian ekonomi serta berkontribusi besar
terhadap angka kematian bayi, anak dan orang dewasa. Infeksi malaria selama
kehamilan dapat menyebabkan abortus dan berat bayi lahir rendah (WHO, 1997).

Malaria merupakan penyakit menular, yang disebarkan lewat gigitan


nyamuk Anopheles dan dapat menyerang semua kelompok umur. Lebih dari
separuh penduduk dunia bermukim di daerahdaerah endemis malaria. Di Negara
berkembang, termasuk Indonesia penyakit malaria telah menimbulkan kerugian,
misalnya menimbulkan banyak korban, biaya perawatan medis dan kehilangan
pekerjaan (Sutarto & Cania, 2017)

Laporan tentang malaria di Indonesia pertama dibuat oleh dokter-dokter


militer pada abad ke-19. Selanjutnya, kejadian wabah malaria dilaporkan di
Cirebon pada tahun 1852–1854. Studi malaria yang lebih lengkap dilakukan pada
permulaan abad ke-20, khususnya penyakit malaria pada pekerja perkebunan di
Sumatera Utara. Sebelum tahun 1952, Jakarta dan sekitarnya, kota-kota di pantai
utara jawa dan beberapa daerah perkebunan serta persawahan di Jawa Barat
merupakan daerah endemis malaria. Pada tahap awal pemberantasan malaria
(1919- 1927) dilaksanakan perbaikan sanitasi lingkungan, untuk mengurangi
perindukan nyamuk Anopheles serta pengobatan dengan kina. Setelah perang
dunia II, dilakukan uji coba penyemprotan DDT di rumah-rumah, dengan hasil
yang cukup memuaskan (Harijanto, 2000)

Berdasarkan uraian tersebut, penulis akan membahas tentang beberapa


penyakut yang disebabkan oleh Rickettsia dan plasmodium diantaranya: Demam
Q dan Malaria.
B. Tujuan

Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, gambaran


klinis, prognosis, diagnosis, pengobatan, pencegahan dan penanggulangan
penyakitmenular diantaranya demam Q dan malaria.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyakit Demam Querry (Q Fever)

1. Definisi
Demam Q merupakan penyakit yang lebih mirip dengan flu,
pneumonia nonbakteri, hepatitis atau ensefalopati dibandingkan dengan
tipus. Tejadi peningkatan pada titer dari antibodi spesifik pada Coxiella
burnetti, fase 2. Penularan dihasilkan dari penghirupan debu yang
terkontaminasi oleh rickettsiae dari plasenta, kotoran kering, urin, susu,
atau aerosol dari rumah potong hewan (Brooks et al., 2005).
Menurut Djunaedi (2007), Demam Q merupakan penyakt infeksi
akut yang menyerupai influenza dan mulai dikenaln akhir tahun 1930-an
ini disebabkan Coxiella burnetii yang tinggal secara laten dalam host yang
terinfeksi dan dapat teraktivasi oleh stressor fisiologis seperti proses
kelahiran. Setelah teraktivasi, mikroorganisme melakukan multiplikasi
dann mengkontaminasi hewan di sekitarnya serta berpotensi menjadi
sumber infeksi selama berbulan-bulan.
Demam Q merupakan suatu penyakit dengan demam yang
menyebabkan pneumonia dan endokarditis yang terdapat di seluruh dunia
(Bell et al., 1995). Penyakit ini dikenal di seluruh dunia dan sebagian
terjadi pada manusia yang berhubungan dengan kambing, domba, ternak
atau kucing. Penyakit ini menarik perhatian karena wabah pada pusat-
pusat kesehatan dan rumah sakit hewan dimana sejumlah besar orang
diekspos oleh hewan yang terinfeksi coxiella (Brooks et al., 2005).
2. Epidemiologi
Menurut Harrington dan Gill (2005), Demam Q ditemukan
endemik di australia (Queensland asal huruf Q), Amerika Serikat, dan
dimana saja.
Penyakit ini dikenal di seluruh dunia dan sebagian terjadi pada
manusia yang berhubungan dengan kambing, domba, ternak atau kucing.
Penyakit ini menarik perhatian karena wabah pada pusat-pusat kesehatan
dan rumah sakit hewan dimana sejumlah besar orang diekspos oleh hewan
yang terinfeksi C. burnetii (Jawet, 2005).

Menurut Herlina (2017), penyakit ini pertama kali diketahui terjadi


pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Australia dengan gejala
demam, kemudian menyebar ke seluruh dunia kecuali Antartika
danSelandia Baru. Australia sebagai negaraawal ditemukannya C. burnetii
masih belum bebas dari penyakit ini. Hal tersebutditunjukkan dari hasil
kajian seroprevalensi terhadap sapi potong di Queenslanddimana 16.8%
sampel serum yang diperiksa seropositif terhadap bakteri ini. Kejadian
penyakit ini pada manusia telah dilaporkan diBelanda dimana pada tahun
2007 dan 2010 terjadi outbreak dengan >40.000individu terinfeksi dan
>250 pasien menderita Q fever kronis.
Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Rickettsia ini tersebar luas
di seluruh dunia termasuk Indonesia. Siklus hidup alami organisme ini
melibatkan vertebrata liar dan ticks atau caplak (Soedarto, 2003).
Di Indonesia, penyakit Q fever pertama kali ditemukan pada tahun
1937 dengan adanya 188 serum sapi yang positif mengandung antibodi
terhadap C. burnetii. Miyashita dkk (2001) menemukan adanya kasus
pneumonia yang disebabkan oleh C. burnetii dari seorang penderita yang
mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia. Penelitian
seroepidemiologi terbaru terhadap Spotted fever group Rickettsia (SFGR)
di Indonesia dilakukan oleh Richards et al. (2003) di kepulauan Gag yang
menunjukkan bahwa reaktor yang bereaksi positif adalah 2.1 % - 20.4%.
Namun, penelitian yang lebih mendalam tentang penyebab Q fever di
Indonesia belum pernah dilakukan Salah satu kendala penting adalah
gejala klinis bentuk akut dari Q fever yang tidak begitu menciri, yaitu
pneumonia, keguguran dan gejala lainnya yang belum didiagnosa sebagai
Q fever. Mengingat jumlah ternak, terutama sapi, yang diimpor dari
negara-negara yang pernah dan sedang terjangkit Q fever masih sangat
tinggi, yaitu mencapai 350000 ekor sampai semester pertama pada tahun
2005, dan juga impor daging beku dari Australia sebanyak 14.951 ton dan
dari Amerika sebanyak 10 343 ton, perlu dilakukan penelitian yang lebih
mendalam tentang Q fever di Indonesia (Mahatmi, 2011).
Melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026 tahun 2013
tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, pemerintah
telah menetapkan Q fever sebagai salah satu Penyakit Hewan Menular
Strategis yang sudah ada di Indonesia. Q fever ditetapkan sebagai salah
satu Penyakit Hewan Menular Strategis bersama 24 penyakit lainnya.
Pertama kali studi yang menunjukkan Q fever dilakukan oleh
Kaplan dan Bertagna (1955) yang mana ditemukan antibodi pada 188
serum sapi dengan menggunakan capillary agglutination test (CAT). Studi
yang dilakukan oleh Mahatmi (2006) menggunakan nested polymerase
chain reaction pada sapi bali dan brahman cross diperoleh sebesar 6.1%
positif DNA Q fever. Selanjutnya Setiyono dkk (2008) melakukan
penelitian dan menghasilkan seroprevalensi Q fever pada domba (31.9%)
dan kambing (20.3%) di Jawa Barat.
Infeksi Q fever pada manusia juga telah ditemukan dan dihasilkan
data penelitian yang menunjukkan infeksi Q fever pada penderita
pneumonia yang pernah tinggal di Indonesia. Sebanyak 2.1% seropositif
Rickettsia ditemukan pada penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya dengan
metode ELISA (Richards et al., 2003).
Hasil studi yang dilakukan oleh Jaelani (2012) menunjukan bahwa
peluang masuknya Q fever melalui importasi sapi potong dari Australia
yang masuk melalui pelabuhan Tanjung Priok dinilai tinggi. Pada tahun
yang sama Kusumawati (2012) melakukan penelitian pada sapi perah ex-
impor asal Australia dan diperoleh 50% positif dengan menggunakan
ELISA.

3. Etiologi
Menurut Harrington dan Gill (2005), Demam Q disebabkan oleh
rickettsia yaitu Coxiella burnetti. Coxiella adalah patogen hewan
(umumnya sapi, domba, kambing) yang kadang menginfeksi manusia
melalui gigitan kutu atau inhalasi ekskreta yang mengering dan tercemar.
Urin, tinja, susu, dan produk persalinan hewan dapat menjadi sumber
penularan (Elliott et al., 2009).

Coxiella burnetii merupakan agen penyebab penyakit demam Q atau


Query fever. Disebut demikian karena penyakit ini pertama ditemukan di
daerah Queensland. Pernah juga disebut demam X karena gejalanya yang
sulit utuk diidentifikasi. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Frank
MacFarlane Burnet. Coxiella burnetii berpotensi sebagai senjata biologis
karena sifatnya yang tahan panas dan tahan terhadap perubahan-perubahan
lingkungan (Nasution, 2014).

Coxiella burnetii bersifat obligat intraseluler dan tidak dapat tumbuh


pada medium buatan (Angelakis dan Raoult, 2008).Agen ini dapat
bereplikasi dalam jumlah besar dalam vakuola parasitophorous pada sel
inang eukariotik dan mampu bereplikasi menjadi dua kali dalam waktu 20-
45 jam. C. burnetii memiliki bentuk pleomorfik, berukuran lebar 0.2-0.4
µm, panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora, mempunyai bentuk
besar (large-cell variant) dan bentuk kecil (small-cell variant).Bentuk
besar dari C. burnetii merupakan bentuk elative yang menginfeksi monosit
dan makrofag. Sedangkan bentuk kecil terdapat di ekstraseluler dan diduga
sebagai bentuk yang infeksius. C. burnetii mengalami diferensiasi
sporogenic untuk menghasilkan resistensi, bentuk spora, dan bentuk sel
kecil. Ini dikeluarkan ketika sel lisis dan dapat bertahan untuk waktu yang
lama dalam lingkungan (Kusumawati, 2012).

C. burnetii memiliki dua bentuk antigen yaitu antigen fase I dan


antigen fase II. Antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan elative
terhadap antigen fase I pada infeksi akut. Sedangkan pada infeksi kronis
elative terhadap antigen fase I lebih berperan penting. Kedua elative ini
dapat bertahan lama (berbulan-bulan) setelah infeksi.Antigen fase I
memiliki susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa
dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat
halus dan berperan dalam menentukan patogenitasnya. Sedangkan pada
antigen fase II tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan
hidroksistreptosa serta terlihat lebih kasar(Setiyono, 2008).

C. burnetii adalah pathogen hewan (umumnya sapi, domba, kambing)


yang kadang menginfeksi manusia melalui gigitan kutu atau inhalasi
ekskreta yang mengering dan tercemar. Kelompok yang berisiko terkena
infeksi C. burnetii adalah petani, dokter hewan, dan penjagal hewan. Urin,
tinja, susu, dan produk persalinan hewan dapat menjadi sumber penularan
(Elliot, 2013).
4. Mekanisme Penularan
Tidak seperti penyakit rickettsia lain, penyakit zoonosis ini
ditularkan dari hewan yang sakit kepada manusia melalui udara yang
terkontaminasi. Hewan yang terserang penyakit ini biasanya adalah hewan
domestik, terutama sapi, kambing, hewan mengerat dan kucing. Pada
penyakit Q fever, mikroorganisme langsung menyebabkan penyakit dalam
berbagai organ termasuk dalam makrofag paru dan katup jantung
(Djunaedi, 2007).
Penularan C. burnetii pada manusia melalui kontak, pernafasan,
dan pencernaan. Umumnya, penularan pada manusia terjadi akibat kontak
dengan ternak yang terinfeksi. Material dari hewan yang dilahirkan
dilaporkan menjadi sumber kontaminasi pada manusia dan lingkungan.
Selain itu, sumber kontaminasi lainnya ialah susu, semen, feses, urin,
mucus vagina. Penularan melalui pernafasan terjadi akibat menghirup
partikel udara yang terkontaminasi dengan C. burnetii. Penularan melalui
pencernaan terjadi akibat mengonsumsi susu yang tidak di pasteurisasi
dari hewan yang terinfeksi (Setiyono, 2005).
Penyebaran rickettsia melalui gigitan serangga atau udara dalam
debu atau cairan persalinan serta kontak langsung dengan wool, jeremi,
dan susu yang terkontaminasi (Harrington et al., 2005).
Menurut Soedarto (2003), penularan penyakit ini terjadi melalui
inhalasi bahan infektif berasal dari hewan yang sakit atau bersama debu
yang tercemar Rickettsia burnetti yang terdapat pada tinja dan urin hewan
penderita atau ticks yang merupakan vektor penyakit. Penularan melalui
kulit atau selaput lendir dapat terjadi akibat kontak langsung dengan
jarigan atau organ hewan terutama plasenta hewan yang dipotong, bahan
makanan hewan misalnya jerami dan bulu hewan. Susu yang tidak
dimasak atau tidak dilakukan pasteurisasi juga dapat menjadi sumber
penularan dari hewan ke manusia. Penularan manusia ke manusia jarang
terjadi.
5. Faktor Risiko
Menurut Elliott dkk (2009), kelompok yang berisiko terkena
Coxiella adalah petani, dokter hewan, dan penjagal hewan. Tidak jauh
berbeda dari pernyataan Harrington dan Gill (2005) yang menyatakan
bahwa pemajanan dapat terjadi pada kelompok petani, peternak, pekerja
laboratorium, dan pemroses wool dengan masa inkubasi masa inkubasi 2-3
minggu.

Menurut Setiyono (2005), risiko penularan Q fever ialah pada


peternak, pekerja rumah potong hewan dan juga masyarakat yang tinggal
di daerah kumuh (urban area). Selain itu, menurut Lord et al. (2016),
pekerja di rumah potong hewan dan dokter hewan juga berpotensi
menderita Q fever.

Hewan (sapi, kambing, domba, babi) yang dipotong rumah potong


hewan merupakan faktor risiko penularan penyakit Q fever di rumah
potong hewan.Pekerjaan yang paling berisiko tertular Q fever di rumah
potong hewan ialah juru sembelih. Bagian boning, packing, dan inspeksi
daging memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan dengan juru
sembelih. Paparan yang paling berisiko terutama jika menangani karkas
atau menyembelih hewan bunting, kontak dengan hewan yang baru
melahirkan, menangani fetus, dan membersihkan peralatan yang
digunakan untuk menangani fetus (Eldin et al., 2017).

6. Gejala dan Gambaran Klinis


Gambaran klinis penyakit ini pada manusia adalah terjadi demam
yang mendadak disertai dengan nyeri otot, sakit kepala berat, batuk dan
pneumonitis, hepatitis terjadi setelah beberapa minggu. Kadang-kadang
terjadi pneumonia dengan fokus-fokus supuratif dan hemoragik. Fokus
dari sel yang mengalami peradangan kronik dan daerah-daerah yang
mengalami nekrosis terdapat di dalam hati. Endokarditis kronik dengan
vegetasi terjadi pada katup-katup jantung yang rusak atau pada katup
palsu. Sedangkan, pada hewan dapat terjadi abortus pada domba dan
kambing (Bell et al., 1995).
Djunaedi (2007) menyatakan bahwa onset penyakit ini biasanya
tak jelas, ditandai dengan munculnya demam, nyeri kepala hebat,
menggigil, nyeri otot, batuk dan nyeri dada. Pada penyakit ini tidak
ditemukan rash. Pneumonitis ditemukan pada lebih dari 50% pasien. Pada
pemeriksaan fisik mungkin tidak ditemukan kelainan yang menonjol,
namun pada pemeriksaan radiologis dapat ditemukan gambaran multiple
segmental opacities sampai dengan efusi pleura, konsolidasi lobar atau
atelektasis linier. Sering pula ditemukan hepatosplenomegali yang
biasanya disertai peningkatan enzim hati.
Menurut Purnawarman (2011), gambaran klinik dari penyakit Q
fever dibedakan pada manusia dan hewan. Gambaran klinik pada manusia
diantaranya orang yang terserang penyakit Q fever umumnya
menunjukkan gejala klinik yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%),
spesifik atau symptomatis (38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%),
sehingga sulit dibedakan dengan gejala dari penyakit lain. Gejala akut
umumnya seperti flu (flue like syndrome), misalnya demam, sakit kepala,
berkeringat, menggigil, lelah (fatigue), pegal-pegal, sakit tenggorok,
batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan bobot badan. Penyakit Q
fever yang tidak diobati dalam kurun waktu dua minggu, maka dapat
berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), radang hati (hepatitis), infeksi
kulit (kudis), hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis,
uveitis, tromboplebitis, artritis, pleuritis dan pankreatitis. Pada wanita
hamil yang terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada
semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan
plasentitis pada saat melahirkan. Kematian pada kasus akut dapat
mencapai 1-2%.Manifestasi gejala penyakit Q fever pada manusia sangat
bervariasi. Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65%
(bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular).
Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan sering mengalami kelelahan
yang panjang disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di
persendian, gelisah dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah
infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu bulan.
7. Diagnosis
Menurut Harrington dan Gill (2005), diagnosis terhadap Demam Q
dapat ditegakkan melalui titer antibodi dalam serum. Diagnosis
laboratorium ditegakkan melalui uji serologi meliputi fiksasi komplemen,
ELISA, dan tes imunofluoresens. Riwayat kontak dengan hewan
membantu penegakkan diagnosis (Elliott et al., 2009). Isolasi agens
penyebab tidak biasa dilakukan. Uji fiksasi komplemen digunakan untuk
antibodi fase-2 pada infeksi akut dan antibodi fase-1 pada infeksi kronik
(Bell et al., 1995).
Mobeen dalam Djunaedi (2007), menyatakan bahwa dalam
menetapkan diagnosis Q fever, pemeriksaan serologis seperti
immunofluorescence, complement fixation, dan enzyme immunoassay
masih merupakan pemeriksaan tambahan yang sering dipakai. Seperti
pada penyakit riketsiosis lain, upaya mengisolasi organisme tidak perlu
dikerjakan. Pemeriksaan PCR dpat dikerjakan meskipun pemeriksaan ini
tidak selalu tersedia dan membutuhkan biaya yang lebih mahal
dibandingkan dengan pemeriksaan serologis. Diagnosis endokarditis
kronis akibat Q fever ditetapkan berdasarkan adanya titer tinggi IgG
(Imunoglobulin G) dan IgA (imunoglobulin A) terhadap C. Burnetii pada
pasien dengan endokarditis yang pada kultur darahnya tidak ditemukan
mikroorganisme.
Gambaran darah dari orang yang menderita penyakit Q fever akut
ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel darah putih
cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis yang
abnormal, seperti hematuria, leukosituria.Masa inkubasi penyakit Q fever
bervariasi mulai 2-5 minggu (1-4 minggu) dan beberapa kasus mencapai
lebih dari 6 minggu (Purnawarman, 2011).
8. Pencegahan
Untuk mencegah penularan demam Q, dilakukan disinfeksi
terhadap semua peralatan dan bahan yang mungkin tercemar, misalnya
darah dan dahak penderita. Penularan demam Q lewat susu dicegah
dengan pemanasan 62,5o celcius selama 30 menit. Sedangkan penularan
penyakit antar hewan dicegah dengan membakar atau menanam plasenta
sapi atau domba yang sakit (Soedarto, 2003).
Menurut Brooks dkk (2005), pencegahan penularan demam Q
dapat dilakukan dengan pasteurisasi susu dengan pemanasan suhu tinggi
pada waktu singkat dari pasteurisasi yaitu 71,5oC selama 15 detik sudah
mampu menghancurkan coxiella.
Menurut Elliott dkk (2009), saat ini pencegahan melalui vaksinasi
sedang dikembangkan untuk penyakit ini.Pernyataan ini sama dengan
pernyataan yang disampaikan oleh Djunaedi (2007) yang menyatakan
bahwa vaksin Q fever sedang dikembangkan dan belum tersedia untuk
kebutuhan klinis. Kontrol penyakit pada hewan domestik sulit dilakukan
sebab hewan-hewan tersebut tidak memiliki antibodi terhadap C. burnetii.
Pencegahan demam Q dengan vaksinasi dilakukan melalui
imunisasi aktif yang dapat dibuat dengan antigen yang diformalinasi dari
kuning telur anak ayam yang terinfeksi atau dari kuning telur anak ayam
yang terinfeksi atau dari kultur sel. Vaksinisasi untuk coxiella (fomalinasi
fase 1) telah diberikan kepada pekerja Australia. Bagaimanapun, produksi
vaksin secara komersial tidak tersedia di AS (Brooks et al., 2005).
Demam Q dapat dicegah dengan melakukan tindakan pencegahan
yang higienis di tempat pemotongan hewan dan menerapkan higiene
dalam laboratorium hewan, serta menerapkan prosedur ketat laboratorium
yang ketat selama menangani bahan klinis dan biakan (Bell et al., 1995)
9. Pengobatan
Pada kasus tanpa komplikasi biasanya sembuh spontan dalam
waktu 1-2 minggu. Dalam fase akut penyakit ini memberikan respons
yang baik terhadap tetrasiklin atau kloramfenikol, dengan jarang terjadi
relaps (Djunaedi, 2007).
Penderita manusia diobati dengan Tetrasiklin atau Kloramfenikol
yang diberikan lebih dari 10 hari. Untuk mencegah kekambuhan,
pengobatan diberikan sampai 5 hari sesudah penderita tidak demam lagi
(Soedarto, 2003).
Menurut Bell dkk (1995), pengobatan dilakukan dengan
memberikan tetrasiklin untuk infeksi akut, sedangkan untuk infeksi kronik
diberikan pengobatan antibiotik jangka panjang, walaupun
penatalaksanaan yang terbaik masih harus ditentukan. Kadang-kadang
tindakan operatif terhadap katup jantung yang terinfeksi diperlukan dan
dilakukan dengan protesis.
Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever pada
manusia adalah doksisiklin. Penyakit yang kronis pengobatan dapat
berlangsung selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh
dipakai untuk ibu hamil. Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-
trimoksazol (kombinasi trimethoprim-sulfametoksazol), namun
pengobatan ini dapat menyebabkan kematian fetus pada beberapa kasus.
Seseorang yang sembuh dari Q fever akan tetap membawa penyakit
tersebut selama hidupnya (Kusumawati, 2012).
10. Prognosis
Penyembuhan sempurna biasanya terjadi dalam beberapa minggu
dan sebagian besar dari infeksi tetap subklinik. Endokarditis kronik,
terutama pada orang yang sebelumnya telah menderita kelainan katub
jantung, sulit diobati dan angka kematiannya dapat mencapai 60 persen
(Bell et al., 1995). Komplikasi peyakt ini termasuk demam Q kronis,
endokarditis, miokarditis, meningoensefalitis, glumerulonefritis dan
SIADH (syndrome of inappropriate antidiuretic hormone). Pasien dengan
incomplete complicated umumnya sembuh dalam 1-2 bulan tanpa
meninggalkan bekas. Angka kematian untuk demam Q biasanya sekitar
1%. Sebaliknya pada kasus yang complicated, dijumpai angka
ketidakmampuan permanen dan angka kematian yang lebih tinggi
(Djunaedi, 2007).
Prognosis pada manusia biasanya penyembuhan sempurna terjadi
dalam beberapa minggu dan sebagian besar dari infeksi tetap subklinik.
Endokarditis kronik, terutama pada orang yang sebelumnya telah
menderita kelainan katub jantung, sulit diobati dan angka kematiannya
dapat mencapai 60%. Sedangkan prognosis pada hewan biasanya
subklinik walaupun dapat terjadi abortus (Bell, 1995).
Penyakit Q fever yang tidak terobati dalam kurun waktu dua
minggu, dapat berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), hepatitis, infeksi
kulit, hepatomegali, miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis,
artritis, tromboplebitis, pleuritis dan pankreatitis. Wanita hamil yang
terinfeksi C. burnetii akan mengalami keguguran pada semester pertama
atau lahir prematur, bayi dengan bobot badan rendah dan plasentitis pada
saat melahirkan. Kematian pada kasus akut dapat mencapai 1-2%. Kasus
Q fever akut akan menjadi kronis sebanyak 2-10% jika selama 6-12 bulan
tidak diberikan pengobatan yang efektif, yaitu terjadi endokarditis, infeksi
osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic
fatique syndrome), dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999;
Schimmer et al.,2008). Kematian pada penderita kasus kronis bisa
mencapai 25-65% (bila mempunyai faktor imunosupresan dan atau
abnormal valvular). Sindrom kelelahan kronis ditandai dengan seringnya
mengalami kelelahan yang panjang disertai berkeringat pada malam hari,
pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah, dan waktu tidur berubah.
Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang berlangsung lebih dari satu
bulan (Kusumawati, 2012).
11. Rehabilitasi
Dalam fase akut penyakit ini memberikan respons yang baik
terhadap tetrasiklin atau kloramfenikol, dengan jarang terjadi relaps.
Dalam hal terjadi endokarditis akibat Q fever kronis, obat yang paling
tepat dan durasi pemberian terapi tidak diketahui secara pasti. Kombinasi
terapi (eg. Kuinolon, tetrasiklin, kloramfenikol, linkomisin, rifampin) juga
memberikan hasil yang bervariasi (Djunaedi, 2007).
12. Program Penanggulangan
Program penanggulangan dilakukan melalui kebijakan dalam
importasi. Saat ini Indonesia masih mengimpor sapi dari negara tertular Q
fever khususnya Australia. Melihat perkembangan yang ada maka perlu
dicermati kebijakan importasi kita selama ini. Terutama jika kita kaitkan
dengan ancaman Q fever yang sampai saat ini masih endemis di Australia.
Kebijakan Australia yang tidak melakukan vaksinasi pada ternak sapi yang
akan diekspor jelas meningkatkan risiko penyebaran Q fever ke Indonesia.
Walaupun beberapa penelitian telah menunjukan adanya Q fever di
Indonesia secara serologis tetapi sampai saat ini belum pernah diisolasi
agennya dan tidak diketahui secara pasti prevalensi Q fever sebenarnya,
apalagi saat ini pemerintah telah menyatakan bahwa Q fever sebagai
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang artinya perlu ada
penanganan terhadap penyakit tersebut.
Hasil studi yang dilakukan oleh Jaelani (2012) menunjukan bahwa
importasi sapi potong dari Australia memiliki risiko yang sangat tinggi.
Hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya tidak adanya penanganan Q
fever pada hewan (ternak) di Australia dan juga belum adanya kebijakan
penanganan Q fever di Indonesia. Studi lain yang dilakukan oleh
Kusumawati (2012) ditemukan sebesar 50% seropositif Q fever pada sapi
perah yang masuk melalui Bandara Soekarno Hatta dengan menggunakan
ELISA. Dengan kebijakan pemerintah Australia yang tidak melakukan
vaksinasi maka besar kemungkinan sapi perah impor yang masuk benar-
benar terinfeksi Q fever.
Melihat kondisi yang ada maka perlunya perbaikan dalam
kebijakan importasi sapi dari negara-negara tertular Q fever. Perlunya
perbaikan dalam health requirements pemerintah Indonesia terhadap
importasi sapi. Health requirement yang ada harus dapat memastikan
kecilnya potensi agen penyakit Q fever masuk ke Indonesia. Beberapa
poin penting yang dapat dimasukan dalam health requirement diantaranya
adalah kewajiban vaksinasi Q fever bagi negara tertular Q fever yang akan
mengekspor sapi/ruminansia ke Indonesia, harus dapat dibuktikan secara
laboratorium dari negara asal bahwa ruminansia yang diekspor ke
Indonesia bebas Coxiella burnetii, dan di negara asal sebelum
sapi/ruminansia dikapalkan maka harus dilakukan treatment untuk
memastikan bebas dari vektor Q fever khususnya caplak.
B. Malaria.
1. Definisi
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
protozoa obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Selain oleh
gigitan nyamuk malaria dapat ditularkan secara langsung melalui
transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar darah serta dari ibu
hamil kepada ibunya (Harijanto, 1987).
Patogenesis malaria berat sangat kompleks, melibatkan
faktor parasit, faktor pejamu, dan faktor sosial lingkungan. Ketiga
faktor tersebut saling terkait satu sama lain, dan menentukan
manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang paling
ringan (asimptomatik) hingga yang paling berat yakni malaria
dengan komplikasi gagal organ (Harijanto, 2009). Perhatian utama
dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit berisi
parasit stadium matang ke dalam mikrovaskular organ-organ vital.
Faktor lain seperti induksi sitokin TNF-α dan sitokin-sitokin
lainnya oleh toksin parasit malaria dan produksi nitrit oxide (NO)
juga diduga mempunyai peranan penting dalam patogenesis
malaria berat.1 Perkembangan malaria berat merupakan hasil dari
kombinasi faktorfaktor spesifik parasit seperti adhesi dan
sekuestrasi dalam pembuluh darah dan dilepaskannya molekul-
molekul bioaktif bersamaan dengan respon peradangan pejamu
(WHO, 2010).
Penyakit malaria dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis
plasmodium, cara penularan, dan serangan demam. Jenis
plasmodium meliputi penyakit malaria tropika yang disebabkan
oleh P. falciparum, malaria tertiana yang disebabkan oleh P. vivax,
malaria quartana yang disebabkan oleh P. malariae dan malaria
ovale yang disebabkan oleh P. ovale. Seorang penderita dapat
dihinggapi lebih dari satu jenis plasmodium, yang sering disebut
sebagai infeksi campuran. Biasanya, penderita paling banyak
dihinggapi 2 (dua) jenis plasmodium.
Penyakit malaria juga dapat dibedakan berdasarkan cara
penularannya, yaitu alamiah dan non alamiah. Penularan alamiah
adalah penularan melalui gigitan nyamuk anopheles yang
mengandung parasit malaria (plasmodium). Sedangkan penularan
non alamiah penyakit malaria dari satu orang ke orang lainnya
melalui kongenital (malaria bawaan) dan transfusi darah (malaria
mekanik).
Malaria kongenital adalah malaria pada bayi yang baru
dilahirkan karena ibunya menderita malaria. Penularan terjadi
karena kelainan pada sawar plasenta (selaput yang melindungi
plasenta) sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada
janinnya. Selain melalui plasenta, penularan juga dapat melalui tali
pusat. Gejala pada bayi yang baru ahir berupa demam, iritabilitas
(mudah terangsang sehingga sering menangis/rewel), pembesaran
hati dan limpa, anemia, tidak mau makan/minum, serta kuning
pada kulit dan selaput lendir.
Malaria transfusi adalah infeksi malaria yang ditularkan
melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi malaria,
pemakaian jarum suntik bersama-sama pada pecandu
narkoba/melalui transplantasi organ. Parasit malaria dapat hidup
selama 7 hari dalam darah donor. Biasanya, masa inkubasi malaria
transfusi lebih singkat dibandingkan infeksi malaria secara alamiah
(Sutarto et al, 2017).

2. Epidemiologi
Malaria ditemukan di daerah-daerah yang terletak pada
posisi 640 Lintang Utara sampai 320 Lintang Selatan. Penyebaran
malaria pada ketinggian 400 meter di bawah permukaan laut dan
2600 meter di atas permukaan laut (Sutanto, 2009). Malaria
merupakan penyakit endemik di lebih dari 100 negara di Afrika,
Asia, Oceania dan Amerika Selatan dan Tengah serta di beberapa
kepulauan Karibia (Sandjaja, 2007).
Data WHO menyebutkan tahun 2008 terdapat 544.470
kasus malaria positif di Indonesia, sedangkan pada tahun 2009
terdapat 1,1 juta kasus malaria klinis, dan pada tahun 2010
meningkat lagi menjadi 1,8 juta kasus malaria klinis dan telah
mendapatkan pengobatan (Dinkes,2011). Sebagian besar daerah di
Indonesia masih merupakan daerah endemik infeksi malaria,
Indonesia bagian timur seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara,
Sulawesi, Kalimantan dan bahkan beberapa daerah di Sumatra
seperti Lampung, Bengkulu, Riau. Di daerah Jawa dan Bali
walaupun endemisitas sudah sangat rendah, masih sering dijumpai
letupan kasus malaria, dan tentu saja hal ini disebabkan mudahnya
transportasi untuk mobilisasi penduduk, sehingga sering
menyebabkan timbulnya malaria impor (Harijanto, 2011; Natalia,
2013).
Plasmodium knowlesi merupakan spesies parasit malaria
yang ditemukan pada kera, yang menyerupai Plasmodium
falciparum dan Plasmodium malariae, yang pada tahun 1965 di
Malaysia dilaporkan spesies ini dapat menginfeksi manusia dan
menyebabkan gejala klinis (Natalia, 2013). Di Indonesia, jenis ini
telah ditemukan di daerah Kalimantan Selatan. Plasmodium pada
manusia menginfeksi sel darah merah dan mengalami pembiakan
aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual terjadi
pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina (Harijanto, 2009).
3. Etiologi
Malaria pada manusia dapat disebabkan P.malariae,
P.vivax, P. falciparum dan P.ovale. Penularan malaria dilakukan
oleh nyamuk betina dari tribus anopheles. Dari sekitar 400 spesies
nyamuk anopheles telah ditemukan 67 spesies yang dapat
menularkan malaria dan 24 diantaranya ditemukan di Indonesia
(Harijanto,1987). Namun P. falciparum merupakan spesies yang
paling berbahaya dan menyerang setiap eritrosit tanpa memandang
umur, sehingga angka infeksi eritrosit (derajat parasitemia) sangat
tinggi dan sering menyebabkan komplikasi berat (Inayaturrahman,
2016).
Species plasmodium pada manusia adalah (Nelson et al, 2000) :
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana).
4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.
4. Mekanisme Penularan
Proses masuknya Plasmodium kedalam tubuh yaitu nyamuk muda
mula-mula menelan parasit malaria dari makan manusia yang telah
terkontaminasi dan nyamuk Anopheles yang dijangkiti membawa
sporozoid Plasmodium dalam kelenjar liur mereka. Nyamuk dijangkiti
apabila ia menghisap darah dari manusia yang telah terinfeksi, apabila
ditelan (gametocytes) parasit yang dihisap dalam darah akan berubah
menjadi gamet jantan dan betina dan kemudian bersatu dengan perut
nyamuk. Ia kemudian menghasilkan ookinete yang menembus lapisan
perut dan menghasilkan oocyst pada dinding perut. Apabila oocyst
pecah, ia membebaskan (sporozoite) yang bergerak melalui tubuh
nyamuk kepada kelenjar liur, di mana ia bersedia untuk menjangkiti
manusia baru. Penyebaran ini kadang kala dikenali sebagai pemindahan
stesyen anterior. Sporozoid ditusuk masuk kedalam kulit, bersama-sama
air liur, apabila nyamuk menghisap darah yang berikutnya. (Widoyono.
2008). Malaria tidak dapat ditularkan secara kontak langsung dari satu
manusia ke manusia lainnya. Tetapi penyakit ini dapat menular malalui
transfusi donor yang darahnya mengandung parasit malaria. Malaria
yang klasik disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina yang telah
terinfeksi parasit malaria. Tidak semua nyamuk dapat menularkan
malaria. Seseorang menjadi terinfeksi malaria setelah digigit nyamuk
Anopheles betina yang sudah terinfeksi parasit malaria. Pada saat
nyamuk betina menggigit, dia memasukkan air liurnya yang
mengandung parasit ke dalam peredaran darah di dalam tubuh manusia.
Selanjutnya parasit masuk ke dalam sel-sel hati manusia. Sekitar 1
hingga 2 minggu setelah digigt, parasit kembali masuk ke dalam darah.
Pada saat ini manusia tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda atau
gejala malaria. Parasit tersebut selanjutnya menyerang sel darah merah
dan mulai memakan hemaglobin, bagian darah yang membawa oksigen.
Pecahnya sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium ini dapat
menyebabkan timbulnya gejala demam disertai menggigil. Karena
banyak sel darah merah yang pecah, maka menyebabkan anemia.
(Widoyono, 2008).
5. Faktor Resiko
 Faktor nutrisi
Apabila seorang penderita malaria juga mengalami malnutrisi,
imunitas akan menurun, sehingga malaria jadi lebih berat
 Faktor lingkungan
Transmisi dipengaruhi oleh iklim :
a. Paling baik pada suhu 20-30oC.
b. Kelembapan udara yang lebih dari 60% (umur nyamuk > panjang).
c. Musim hujan (breeding site >, kelembapan >).
d. Pada keadaan hujan deras malaria berkurang, karena larva dan
jumlahnya berkurang karena terbawa oleh air (Irianto, 2013).
6. Gejala dan Gambaran Klinis
Gejala pertama dari malaria adalah gejala-gejala yang tidak
spesifik dan sama dengan gejala-gejala minor penyakti virus sistemik.
Gejala-gejala tersebut seperti, sakit kepala, kelemahan, fatigue,
ketidak nyamanan abdomen, dan nyeri otot dan sendi, biasanya diikuti
oleh demam, menggigil, berkeringat, anoreksia, muntah dan malaise
yang memburuk. Malaria dengan demikian, seringkali didiagnosa
semata berbasis pada gejala-gejala itu sendiri, khususnya pada area-
area endemik. Pada stadium awal, dengan tanpa ada bukti disfungsi
organ tunggal, pasien dapat ditangani dengan penanganan yang
menyediakan pemulihan yang cepat dan efektif (Lombogia et al,
2013)
Klasifikasi malaria berdasarkan serangan demam, dapat dibedakan
dalam tiga stadium klasik malaria, yaitu
 Stadium dingin (cold stage), stadium ini diawali dengan demam
menggigil, perasaan yang sangat dingin, dan gigi gemeretak,
biasanya penderita menutupi tubuhnya dengan pakaian atau
selimut yang tebal. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari
pucat/kebiru-biruan, kulit kering dan pucat. Penderita sering
muntah dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium ini
berlangsung antara 15menit-1jam bersamaan dengan meningkatnya
suhu tubuh.
 Stadium demam (hot stage), setelah merasa kedinginan, pada
stadium ini penderita merasa kepanasan, muka merah, kulit kering
dan terasa sangat panas, seperti terbakar, sakit kepala dan enek
serta sering kali terjadi muntah, denyut nadi menjadi kuat lagi.
Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu tubuh dapat
meningkat sampai dengan 410C atau lebih, stadium ini berlangsung
antara 2-4 jam.
 Stadium berkeringat (sweating stage), pada stadium ini penderita
berkeringat banyak sekali. Suhu menurun dengan cepat, kadang-
kadang sampai di bawah suhu normal. Penderita biasanya dapat
tidur nyenyak dan pada saat bangun dari tidur, pendeita merasa
lemah tetapi tidak ada gejala lain. Stadium ini berlangsung antara
2-4 jam. 10 Ketiga serangan demam tersebut ditemukan pada
penderita yang berasal dari daerah non endemis, yang
mendapatkan penularan dari daerah endemis atau yang pertama
kali menderita penyakit malaria (Sutarto et al, 2017).
7. Diagnosis
1. Pemeriksaan mikroskopis
a. Darah
Terdapat dua sediaan untuk pemeriksaan mikroskopis
darah, yaitu sediaan darah hapus tebal dan sediaan darah hapus
tipis. Pada pemeriksaan ini bisa melihat jenis plasmodium dan
stadium-stadiumnya. Pemeriksaan ini banyak dan sering dilakukan
karena dapat dilakukan puskesmas, lapangan maupun rumah sakit.
Untuk melihat kepadatan parasit, ada dua metode yang
digunakan yaitu semi-kuantitatif dan kuantitatif. Metode yang biasa
digunakan adalah metode semi-kuantitatif dengan rincian sebagai
berikut :
(-) : SDr negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) : SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++++) : SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
Sedangkan untuk metode kuantitatif, pada SDr tebal menghitung
jumlah parasit/200 leukosit dan SDr tipis penghitungannya adalah
jumlah parasit/1000 eritrosit (Widoyono, 2005)
b. Pulasan Intradermal ( Intradermal Smears )
Penelitian di Cina belum lama ini, memperlihatkan bahwa
pulasan dari darah intradermal lebih banyak mengandung stadium
matur/matang dari Plasmodium falciparum daripada pulasan darah
perifer. Penemuan ini bisa menjadi pertimbangan untuk
mendiagnosis malaria berat dengan lebih baik dan akurat. Pulasan
ini hasilnya dapat positif atau dapat juga terlihat pigmen yang
mengandung leukosit setelah dinyatakan negatif pada pulasan
darah perifer. Untuk uji kesensitifitasannya, pulasan intradermal
sebanding dengan pulasan darah dari sumsum tulang yang lebih
sensitif dari pulasan darah perifer (Cook et al, 2009).
2. Tes Diagnostik Cepat ( Rapid Diagnostic Test )
Metode ini untuk mendeteksi adanya antigen malaria
dengan cara imunokromatografi. Tes ini dapat dengan cepat
didapatkan hasilnya, namun lemah dalam hal spesifitas dan
sensitifitas. Tes ini biasanya digunakan pada KLB (Kejadian Luar
Biasa) yang membutuhkan hasil yang cepat di lapangan supaya
cepat untuk ditanggulangi (Widoyono,2005; Mandal et al, 2008).
Selain pemeriksaan-pemeriksaan diatas juga terdapat
pemeriksaan penunjang lainnya. Pada malaria berat/malaria
falciparum, terdapat beberapa indikator laboratorium, antara lain :
a. Biokimia
 Hipoglokemia : < 2.2 mmol/L
 Hiperlaktasemia : > 5 mmol/L
 Asidosis : pH arteri < 7.3
 Vena plasma HCO3 < 15 mmol/L
 Serum kreatinin : > 265 μmol/L
 Total bilirubin : > 50 μmol/L
 Enzim hati : SGOT > 3 diatas normal
 SGPT > 3 diatas normal, 5-Nukleotidase ↑
 Enzim otot : CPK ↑
 Myoglobin ↑
 Asam urat : > 600 μmol/L
b. Hematologi
 Leukosit : > 12000 /μL
 Koagulopati : platelet < 50000/μL
 Fibrinogen < 200 mg/dL
c. Parasitologi
 Hiperparasitemia : > 100000/μL – peningkatan mortalitas
>500000/μL – mortalitas tinggi > 20% parasit yang
mengandung tropozoit dan skizon (Cook et al, 2009;
Sastroasmoro & Ismael, 2011).
8. Pengobatan
Berdasarkan atas aktivitasnya, obat anti malaria dapat dibagi
menjadi :
1. Gametosida : untuk membunuh bentuk seksual plasmodium
(misalnya klorokuin, kuinin dan primakuin).
2. Sporontosida : untuk menghambat ookista (misalnya primakuin,
kloroguanid).
3. Skozintisida : untuk memberantas bentuk skizon jaringan dan
hipnozoit (misalnya primakuin dan pirimetamin).
4. Skizontisida darah : untuk membunuh skizon yang berada di
dalam darah (misalnya klorokuin, kuinin, meflokuin, halofantrin,
pirimetamin, sulfadoksin, sulfon dan tetrasiklin) (Soedarto, 2012).
9. Pencegahan
Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah
endemis maupun yang ingin pergi ke daerah endemis :
1. Pengendalian vector:
 Bisa menggunakan larvasida untuk memberantas jentik-
jentik.
 Semprot insektisida untuk membasmi nyamuk dewasa.
 Penggunaan pembunuh serangga yang mengandung
DEET (10-35%) atau picaridin 7%.
2. Proteksi personal/Personal Protection
Adalah suatu tindakan yang dapat melindungi orang
terhadap infeksi, seperti:
 Menghindari gigitan nyamuk pada waktu puncak nyamuk
mengisap (petang dan matahari terbenam).
 Penggunaan jala bed (kelambu) yang direndam insektisida
sebelumnya, kawat nyamuk, penolak serangga.
 Memakai baju yang cocok dan tertutup.
 Penggunaan obat-obat profilaksis jika ingin bepergian ke
daerah endemis.
3. Vaksin Malaria
Parasit malaria mempunyai siklus hidup yang komplek,
sehingga vaksin berbeda-beda untuk setiap stadium, seperti
 Stadium aseksual eksoeritrositik
Cara kerjanya menghambat terjadinya gejala klinis
maupun transmisi penyakit di daerah endemis.
Contohnya, circumsporozoite protein (CSP),
Thrombospondin-related adhesion protein (TRAP),
Liver stage antigen (LSA).
 Stadium aseksual eritrositik
Cara kerjanya menghambat terjadinya infeksi parasit
terhadap eritrosit, mengeliminasi parasit dalam eritrosit
dan mencegah terjadinya sekuesterasi parasit di kapiler
organ dalam sehingga dapat mencegah terjadinya
malaria berat. Contohnya, merozoite surface protein
(MSP), ring infected erythrocyte surface antigen
(RESA), apical membrane antigen-1 (AMA-1).
 Stadium seksual
Cara kerjanya menghambat atau mengurangi transmisi
malaria di suatu daerah. Contohnya, Pfs 28 dan Pfs 25.
10. Prognosis
Malaria Pada serangan primer dengan Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae akan terjadi
penyembuhan sempurna pada pemberian terapi yang adekuat dan
prognosisnya baik. Pada Plasmodium falciparum prognosis
berhubungan dengan tingginya parasitemia, jika parasit dalam
darah > 100.000/mm3 dan jika hematokrit < 30% maka
prognosisnya buruk. Apabila cepat diobati maka prognosis bisa
lebih baik, namun apabila lambat pengobatan akan menyebabkan
angka kematian meningkat (Irianto, 2013).
11. Program Penanggulangan
Menurut Keputusan Mentri Kesehatan Nomor 293 tahun
2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia. Eliminasi Malaria
adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan malaria
setempat dalam suatu wilayah geografis tertentu, dan ukan berarti
tidak ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vector malaria
di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali.
Upaya eliminasi malaria dilakukan secara bertahap dari
kabupaten/kota, dari suatu provinsi, pulau ke pulau hingga akhirnya
mencakup seluruh Indonesia.
Tahap-tahap Eliminasi Malaria terdiri dari akselerasi, intensifikasi,
pre eliminasi, dan pemeliharaan (telah dinyatakan eliminasi).
1. Akselerasi
Strategi akselerasi dilakukan secara menyeluruh diwilayah
endemis tinggi malaria, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku,
Maluku Utara, NTT. Kegiatan yang dilakukan adalah kampanye
kelambu anti nyamuk missal, penyemprotan dinding rumah
diseluruh desadengan API> 40%. Dan penemuan dini-
pengobatan tepat.
2. Intensifikasi
Strategi intensifikasi merupakam upaya pengendaliandiluar
kawasan timur Indonesia seperti di daerah tambang, pertanian,
kehutanan, transmigrasi, dan pengungsian. Kegiatan yang
dialkukan adalah pemberiam kelambu anti nyamuk didaerah
beresiko tinggi, penemuan dini-pengobatan tepat, penyemprotan
dinding rumah pada lokasi KLBmalaria, dan penemuan kasus
aktif.
3. Eliminasi
Stategi Eliminasi dilakukan pada daerah endemis rendah,
kegiatan yang dilakukan adalah penemuan dini-pengobatan
tepat, penguatan surveilans migrasi, surveilans daerah yang
rawan perindukan vector (reseptif), penemuan kasus aktif (Mass
Blood Survey), dan penguatan rumah sakit rujukan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demam Q merupakan penyakit yang lebih mirip dengan flu,
pneumonia nonbakteri, hepatitis atau ensefalopati dibandingkan dengan
tipus. Tejadi peningkatan pada titer dari antibodi spesifik pada Coxiella
burnetti, fase 2. Penularan dihasilkan dari penghirupan debu yang
terkontaminasi oleh rickettsiae dari plasenta, kotoran kering, urin, susu,
atau aerosol dari rumah potong hewan.
Coxiella burnetii merupakan agen penyebab penyakit demam Q
atau Query fever. Penularan C. burnetii pada manusia melalui kontak,
pernafasan, dan pencernaan. Umumnya, penularan pada manusia terjadi
akibat kontak dengan ternak yang terinfeksi.
Penderita manusia diobati dengan Tetrasiklin atau Kloramfenikol
yang diberikan lebih dari 10 hari. Untuk mencegah kekambuhan,
pengobatan diberikan sampai 5 hari sesudah penderita tidak demam
lagi.
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa
obligat intraseluler dari genus Plasmodium. Species plasmodium pada
manusia adalah:
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana).
4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.
Gejala pertama dari malaria adalah gejala-gejala yang tidak
spesifik dan sama dengan gejala-gejala minor penyakti virus sistemik.
Gejala-gejala tersebut seperti, sakit kepala, kelemahan, fatigue, ketidak
nyamanan abdomen, dan nyeri otot dan sendi, biasanya diikuti oleh
demam, menggigil, berkeringat, anoreksia, muntah dan malaise yang
memburuk.
Pencegahan ditujukan untuk orang yang tinggal di daerah endemis
maupun yang ingin pergi ke daerah endemis :
1. Pengendalian vector:
2. Proteksi personal/Personal Protection
3. Vaksin Malaria
Sedangkan untuk program pencegahan dari Q fever menggunkan
kebijakn pemerintah dalam impor daging sapi, untuk program
penanggulangan malaria pemerintah mengadakan Eliminasi Malaria
yang dilakukan bertahap secara menyeluruh di Indonesia.
Daftar Pustaka

Annashr, N. N., Santoso, L., dan Hestiningsih, R. 2011. Studi Kepadatan Tikus
dan Ektoparasit di Desa Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota
Semarang Tahun 2011. Wawasan Kesehatan, Vol. 3 No. 2.

Bell, J. C., Palmer, S. R., dan Payne J. M. 1995. Zoonosis: Infeksi yang
Ditularkan dari Hewan Ke Manusia. Jakarta: EGC.

Brooks, G.F., Butel, J.S., dan Morse., S. A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran.


Jakarta: Salemba Medika.

Clyde Df.Malaria.Dalam: Nelson We, Behrman Re,Kliegman R, Arvin Am,Ed.


Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 12. Jakarta : Egc. 2000:328-334

Cook Gc, Zumla Ai. 2009. Manson’s Tropical Disease Twenty-Second Edition.
British (London): British Library Cataloguing In Publiction Data

Dinas Kesehatan Kalimantan Barat. 2010. Profil Kesehatan Kalimantan Barat


2010. Pontianak.

Djunaedi, D. 2007. Ehrlichiosis Leptospirosis Riketsiosis Antraks Penyakit PES.


Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Eldin C, Melenotte C, Mediannikov O, Ghigo E, Million M, Edouard S, Mege JL,


Maurin M, Raoult D. 2017. From Q Fever to Coxiella burnetii Infection:
a Paradigm Change. Clinical Microbiology Reviews. 30(1):115-1190.

Elliot, T., dkk. 2013. Mikrobiologi Kedokteran & Infeksi Edisi 4. Jakarta: ECG.

Elliott, T., Worthington, T., Osman, H., dan Martin Gill. 2009. Mikrobiologi
Kedokteran dan Infeksi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Harijanto P. 2000. Malaria : Epidemiologi,Patologis, Manifestasi Klinik &


Penanganan. Penerbit Egc, Jakarta.

_________. 2011. Tatalaksana Malaria Untuk Indonesia. Di Dalam: Sekretaris


Jendral Kemkes Ri, Buletin Jendela Data Dan Informasi Kesehatan.
Vol 1(1):23-28
_________. 2009. Malaria. Di Dalam: Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed Ke-4. Jakarta: Interna Publisher.

Harrington, J. M., dan Gill, F. S. 2005. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta:
EGC.

Herlina, Nina. 2017. Produksi Antibodi Anti-Coxiella BurnetiiUntuk Deteksi Q


Fever Pada Ruminansia dengan Metode Imunohistokimia [tesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Irianto K. 2013. Parasitologi Medis (Medical Parasitology). Bandung: Alfabeta


Cv

Jaelani A. 2012. Penilaian RIsiko Kualitatif Masuknya Q Fever Melalui


Pemasukan Sapi Potong Dari Australia Melalui Pelabuhan Tanjung
Priok [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Jawet, dkk. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Buku 1. Jakarta: Penerbit Salemba


Medika.

Joharina, A. S., Mulyono, A., Sari, T. F., Rahardianingtyas, E., Putro, D. B. W.,
Pracoyo, N. E., dan Ristiyanto. 2016. Rickettsia pada Pinjal Tikus
(Xenopsylla Cheopis) di Daerah Pelabuhan Semarang, Kupang dan
Maumere. Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 44 No. 4.

Kaplan, M. M., dan Bertagna, P. 1955. The geographical distribution of Q fever.


Bull WHO 13:829-860.

Kusumawati E. 2012. Studi Q Fever Pada Sapi Perah Impor Dari Australia
Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta [tesis]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mahatmi, dkk. 2011. Deteksi Coxiella burnetii Penyebab Q fever pada Sapi,
Domba dan Kambing di Bogor dan Bali. Jurnal Veteriner. 180-187.

Mahatmi, H. 2006. Studi Q fever pada ruminansia di wilayah Bogor dan Provinsi
Bali menggunakan metode nested-polymerase chain reaction dan uji
indirect immunofluorescent antibody [disertasi]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Mandal Bp, Wilkins Eg, Dunbar Em, Mayon-White Rt. Lecture Note. 2008.
Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Miyashita N, Fukano H, Hara F, Nakajima T, Niki Y, Matsushima T. 2001. A


Case of Coxiella burnetii pneumonia in an adult. Nihon Kokyuki
Gakkai Zasshi. 39 (6): 446.

Nasution, Sangkot Sayuti. 2014. Studi Q Fever PadaTernakRuminansia Di


Sumatera Utara [tesis]. Bogor: SekolahPascasarjana, InstitutPertanian
Bogor.

Natalia, D. 2014. Peranan Trombosit Dalam Patogenesis Malaria. Jurnal Mka.


Vol 37(3):219-225

Nurmalina, R., dan Valley, B. 2012. 24 Herbal Legendaris untuk Kesehatan Anda.
Jakarta: Gramedia.

Patris J. Lombogia, Victor D. P, Greta J. P. W, Josef S. B. T. 2015. Pengetahuan


Masyarakat Di Desa Tombatu I Kecamatan Tombatu Kabupaten
Minahasa Tenggara Tentang Penyakit Malaria. Jurnal E-Biomedik
(Ebm).Vol. 3(1).

Purnawarman, Trioso. 2011. Studi Q FeverPadaTelurAyam Di Wilayah Bogor


Ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner [disertasi].
Bogor: SekolahPascasarjana, InstitutPertanian Bogor.

Richards, A., dkk. 2003. Serologic evidence of infection with erlichia and spotted
fever group Rickettsiae among residents of Gag Island Indonesia. Am
J Trop Med Hyg 68:480-484.

Sandjaja, B. 2007. Protozoologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Sastroasmoro S, Ismael S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.


Jakarta: Sagung Seto.

Setiyono A, Handharyani E, Mahatmi H. 2008. Seroprevalensi Q fever pada


Domba dan Kambing di Wilayah Jawa Barat. JITV 13(1):61-66.
Setiyono A. 2005. Q Fever Ditinjau dari Aspek Zoonosis. KementrianPertanian.
[semnas].Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Soedarto. 2003. Zoonosis Kedoteran. Surabaya: Airlangga University Press.

Soedarto.2012. Protozoologi Kedokteran. Bandung: Karya Putra Darwati.

Sutanto I. Pribadi W. 2009. Parasit Malaria. Di Dalam: Buku Ajar Parasitologi


Kedokteran, Ed Ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fkui.

Sutarto & Eka Cania, B. 2017. Faktor Lingkungan, Perilaku Dan Penyakit
Malaria. Jurnal Agromedunila. Vol. 4(17).

Tutstsintaiyn, R. 2013. Pemeriksaan Cacing Endoparasit Pada Tikus (Rattus spp.)


di Desa Citereup Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung Jawa
Barat 2013. Jurnal Balaba, Vol. 9 No. 2.

Utama, S. Y. A. 2018. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Sistem Respirasi.


Yogyakarta: Deepublish.

WHO. 1997. Malaria In The South-East Asia Region. New Delhi.

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya. Semarang: Erlangga.

World Health Organization (Who). 2010. Guidelines For The Treatment Of


Malaria. 2nd Ed. Jeneva: WHO.

Anda mungkin juga menyukai