Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sumber daya alam yang
berlimpah. Akan tetapi, negara Indonesia masih belum mampu mengolah sumber daya alam
yang dimilikinya sehingga negara Indonesia lebih cenderung melakukan impor dari negara
lain. Hal ini membuat Indonesia menjadi sangat bergantung pada negara lain.
Namun, terkadang produk impor memang memiliki harga yang jauh lebih terjangkau
dibanding produk lokal yang mahal dan jarang tersedia di pasar. Selain itu, mayoritas produk
lokal juga masih kalah bersaing dengan produk impor dalam hal kualitas sehingga
masyarakat lebih memilih produk impor daripada produk lokal. Hal-hal inilah yang
menyebabkan peningkatan permintaan produk impor dan memicu negara Indonesia untuk
melakukan impor.
Beberapa bahan pangan yang diimpor ke dalam Indonesia adalah biji gandum dan
tepung gandum/terigu. Gandum merupakan tanaman pangan lahan kering yang memiliki
potensi besar dikembangkan di Indonesia. Gandum juga merupakan bahan makanan pokok
terpenting kedua setelah beras. Masyarakat mengkonsumsi gandum yang telah diolah
menjadi tepung untuk membuat mie, bakso, roti dan sebagainya dalam jumlah yang sangat
besar. Oleh karena itu, hampir seluruh kebutuhan gandum Indonesia dipasok dari impor dan
jumlah impor tepung gandum pada tahun 2016 mencapai 97,345 MT (Metric Ton) atau
97.345.000 kilogram.
1.2 Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan para pembaca, khususnya para
mahasiswa/i jurusan Ilmu Administrasi Bisnis Universitas Kwik Kian Gie School of Business
agar nantinya dapat lebih memahami seluk beluk kegiatan impor di Indonesia, terutama
mengenai impor gandum, juga agar dapat berkontribusi dalam pemecahan masalah-masalah
impor komoditi gandum di Indonesia.
A. IMPOR
Impor merupakan transportasi barang / komoditas dari suatu Negara ke Negara lain
secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan
memasukkan barang / komoditas dari Negara lain ke dalam negeri (sumber: Wikipedia).
B. PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Pada periode ini, dapat dikatakan bahwa industri nasional tepung gandum/terigu
diselenggarakan berdasarkan kerangka tata niaga tertentu yang ditetapkan, diberlakukan,
dan diselenggarakan oleh pemerintah, dimana selain terdapat pengaturan tentang importasi
tepung gandum/terigu (siapa dan berapa banyak) yang dilakukan oleh lembaga pemerintah,
maka terdapat pula pengaturan dalam rangka pengendalian harga jual konsumen, volume
pasokan, dan rantai distribusi, serta pelaksanaan operasi pasar secara kasuistis. Sejak tahun
1972, semua hal tersebut diatas dilaksanakan oleh BULOG, sekalipun BULOG bukan
merupakan produsen tepung gandum/terigu.
Secara umum, intervensi BULOG melalui tata niaga tepung gandum/terigu selama
era Orde Baru dilakukan dalam rangka :
Perubahan fundamental terjadi pada sektor tata niaga pangan pokok tertentu
yang sebelumnya dilaksanakan oleh BULOG, yang diawali dengan penerbitan Keppres RI
No. 45 Tahun 1997, dan memuat pengaturan kembali tentang tugas pokok dan fungsi
BULOG, sehingga hanya mengelola tata niaga komoditi beras dan gula pasir. Selanjutnya,
berdasarkan Keppres RI No. 19 tahun 1998, BULOG hanya melaksanakan tata niaga bagi
komodit beras saja. Sejak saat itu, industri nasional tepung gandum/terigu sepenuhnya
diselenggarkan oleh sektor swasta, dan dalam keadaan yang normal dan wajar, kebutuhan
konsumsi nasional akan tepung gandum/terigu sebagian dipenuhi melalui importasi tepung
gandum/terigu ke wilayah Indonesia, tanpa intervensi pemerintah seperti sebelumnya.
Persentase impor tepung gandum/terigu dari tahun 2012 hingga tahun 2016 cenderung
menurun. Penurunan dari tahun 2012 ke tahun 2013 merupakan penurunan yang paling tajam.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya peningkatan persentase kebutuhan tepung gandum yang
dipenuhi dari suplai domestik sehingga walaupun kebutuhan akan tepung gandum dalam
negeri meningkat, persentase impor tepung gandum tidak meningkat.
Data tersebut menunjukan bahwa terdapat prospek impor biji gandum karena
kebutuhan tepung gandum dalam negeri mengalami peningkatan, tetapi tidak ada prospek
impor tepung gandum. Hal ini dikarenakan oleh peningkatan suplai tepung gandum domestik.
Indonesia sudah mampu memhasilkan tepung gandum sendiri.
3.2 Permasalahan Impor
Permasalahan 4
Perdagangan bebas adalah kebijakan di mana pemerintah tidak melakukan
diskriminasi terhadap impor atau ekspor. Perdagangan bebas dicontohkan oleh Area
Ekonomi Eropa/Uni Eropa dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara, yang
telah mendirikan pasar terbuka dengan sangat sedikit pembatasan perdagangan.
Industri nasional tepung gandum / terigu saat ini memiliki peluang kecil untuk
bertahan dalam era perdagangan bebas. Hal ini disebabkan oleh masih sulitnya
industri lokal dalam memperoleh biji gandum yang merupakan bahan baku tepung
gandum / terigu. Walaupun industri lokal sudah mampu mengelola sendiri biji
gandum menjadi tepung gandum, tetapi karena bahan baku (biji gandum) masih
diperoleh secara impor maka otomatis akan mempengaruhi harga tepung gandum.
Harga tepung gandum menjadi lebih mahal dan sulit untuk bersaing dengan produk
luar negeri. Agar industri nasional tepung gandum / terigu dapat bertahan, masih
diperlukan campur tangan pemerintah yang membatasi impor tepung terigu.
4.2 Langkah-langkah Pemecahan Masalah
Permasalahan 1
Untuk menyelesaikan masalah ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap
gandum dapat dilakukan diversifikasi pangan. Apabila produksi gandum kurang,
masyarakat dapat menjadikan jagung dan umbi-umbian sebagai makanan pokok
seperti zaman dulu. Oleh karena itu, bukan mustahil bagi pemerintah untuk
mengendalikan konsumsi gandum masyarakat. Upaya diversifikasi merupakan
langkah baik untuk mencegah tingginya konsumsi gandum tanah air. Program
diversifikasi pangan lokal dengan membangkitkan kembali kekhasan budaya lokal
yang selama ini hilang menjadi penting untuk terus diprioritaskan oleh pemerintah
dan memasyarakatkan program tersebut karena Indonesia memiliki sumber daya
pangan lokal yang sangat banyak.
Selain itu, di antara impor beras atau impor gandum, impor beras masih
dianggap lebih baik dibandingkan dengan impor gandum karena impor gandum akan
semakin mengikis budaya makan nasi. Terlebih lagi, walaupun Indonesia masih
mengimpor beras, namun yang beras yang diimpor bukan beras umum atau medium
melainkan beras khusus atau premium untuk memenuhi kebutuhan restoran hingga
industri tepung beras. Oleh karena itu, untuk mengurangi konsumsi gandum dapat
juga dilakukan tambahan impor beras agar sebagian kebutuhan pangan masyarakat
Indonesia yang belum terpenuhi dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi beras saja,
bukan gandum.
Permasalahan 2
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran