Farmakoterapi Stroke
Farmakoterapi Stroke
A. DEFINISI
Stroke merupakan cedera vaskular akut pada otak dimana terjadi suatu
cedera mendadak dan berat pada pembuluh – pembuluh darah otak. Cedera dapat
disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, atau
pecahnya pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang
memadai (Feigin, 2004)
B. PATOFISIOLOGI
1. Faktor Resiko Stroke
a. Faktor resiko tidak dapat dimodifikasi untuk stroke antara lain
peningkatan usia, laki – laki, ras (Amerika – afrika, Asia, Amerika
latin) dan turunan.
b. Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi antara lain hipertensi dan
penyakit jantung (penyakit jantung koroner, gagal jantung, hipertropi
ventrikel kiri, fibrilasi atrial).
c. Faktor resiko lainnya antara lain serangan iskemia sementara, diabetes
melitus, dislipidemia, dan merokok (Sukandar et al., 2008).
1
Secara umum stroke dibagi menjadi dua macam yakni stroke iskhemia
dan stroke hemoragik (pendarahan).
2
2. Stroke Iskhemia
Sejumlah 88% dari semua stroke adalah stroke iskhemia yang
disebabkan oleh pembentukan trombus atau emboli yang menghambat arteri
serebral. Aterosklerosis serebral adalah faktor penyebab dalam kebanyakan
masalah stroke iskhemia, walaupun 30% tidak diketahui etiologinya. Emboli
dapat muncul dari arteri intara dan ekstra kranial. 20% stroke emboli muncul
dari jantung (Rumantir, 2007).
Pada ateroslerosis karotid, plak dapat rusak karena paparan kolagen,
agregasi platelet, dan pembentukan thrombus. Bekuan dapat menyebabkan
hambatan sekitar atau terjadi pelepasan dan bergerak kearah distal, pada
akhirnya akan menghambat pembuluh serebral (Sukandar et al., 2008).
Dalam masa embolisme kardogen, aliran darah yang berhenti dalam
atrium atau ventrikelmengarah ke pembentukan bekuan local yang dapat
pelepasan dan bergerak melalui aorta menuju sirkulasi serebral. Hasil akhir
baik pembentukan thrombus dan embolisme adalah hambatan arteri,
penurunan aliran darah serebral dan penyebab ischemia dan akhirnya infark
distal mengarah hambatan (Sukandar et al., 2008).
Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Stroke Trombotik
Yaitu proses terbentuknya thrombus yang menyebabkan penggumpalan.
b. Stroke Embolik
Yaitu Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
c. Hipoperfusion Sistemik
Yaitu Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya
gangguan denyut jantung (Feigin, 2004)
3
pembentukan hematoma. Hematoma subdural kebanyakan terjadi karena luka
berat (Chirztoper, 2007).
Adanya darah dalam parenkim otak menyebabkan kerusakan pada
jaringan sekitar melalui efek masa dan komponen darah yang neurotoksik dan
produk urainya. Penekanan terhadap jaringan yang dikelilingi hematomas
dapat mengarah pada iskhemia sekunder. Kematian karena stroke pandarahan
kebanyakan disebabkan oleh peningkatan kerusakan dalam penekanan
intakranial yang mengarah pada herniasi dan kematian (Sukandar et al.,
2008).
4
C. MANIFESTASI KLINIK STROKE
Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi
serebral, baik fokal maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat,
selama lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, tanpa ditemukannya
penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno apopleksia serebri sama
maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA) dan Stroke
(Harsono, 1996, hal 67).
Gejala stroke secara umum, antara lain (Harsono, 1996, hal 67) :
muntah
penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma)
gangguan berbicara (afasia) atau bicara pelo (disastria)
wajah tidak simetris atau mencong
kelumpuhan wajah / anggota badan sebelah (hemiperase) yang timbul secara
mendadak.
gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.
gangguan penglihatan, penglihatan ganda (diplopia)
vartigo, mual, muntah, dan nyeri kepala
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, quidriparese (kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi yang
sama), hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, dan ataksia (berjalan
tidak mantap, tegak, tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar berdiri yang
luas). Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendirinya, namun umumnya
muncul secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga
penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik
(Hassmann, 2010).
Gejala tersebut bisa muncul saat bangun tidur ataupun saat beraktivitas.
Pada penderita hipertensi dengan tekanan darah yang tidak terkontrol, lebih
beresiko untuk menderita stroke bleeding. Biasanya stroke jenis ini terjadi saat
sedang melakukan aktivitas. Sementara stroke infark lebih sering terjadi saat
penderita baru bangun tidur di pagi hari (Harsono, 1996, hal 67).
Gejala - gejala stroke muncul akibat daerah tertentu tidak berfungsi
dengan baik, yang disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke daerah tersebut.
5
Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu (Harsono,
1996, hal 67).
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang
tersumbat (Hassmann, 2010 ; Chung, 1999) :
1. Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi
kontralateral, hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena
MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas
dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah
2. Arteri serebri anterior
Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan
bicara, timbulnya refleks primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan
tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari
pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia
uri.
3. Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejala seperti hemianopsia homonymous kontralateral,
kebutaan kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese
kontralateral, gangguan memori.
4. Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan defisit nervus kranialis,
serebellar, batang otak yang luas. Gejala yang timbul antara lain vertigo,
nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan refleks tendon, tanda
Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada
wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling
berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik
kontralateral).
5. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering
adalah bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan
eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri
oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa disebut
6
amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior
dan media sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun
dapat timbul.
6. Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil
di daerah subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala
yang timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke
jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil
seperti diabetes dan hipertensi.
Terdapat beberapa gejala awal yang membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik (iskhemik) seperti gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan
hemiparesis atau hemiplegic sejak permulaan serangan lebih sering terjadi pada
stroke hemoragik. Serangan stroke hemoragik biasanya terjadi pada waktu
melakukan aktivitas, emosi atau marah, sedangkan stroke iskhemik terjadi
ketika waktu istirahat. Selain itu, pada stroke hemoragik kesadaran menurun
bahkan sampai koma, sedangkan stroke iskhemik, kesadaran tidak menurun
(Hassmann, 2010).
D. DIAGNOSIS
1. Computerized tomography (CT)
7
nyeri dan menimbulkan radiasi minimal (kecuali bagi wanita hamil) (Feigin,
2006).
Setiap citra individul memperlihatkan irisan melintang otak,
mengungkapkan daerah abnormal yang ada didalamnya. Pada CT, pasien
diberi sinar-X dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala.
Sinar-X yang digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan
pajanan ke radiasi yang jauh lebih rendah (Feigin, 2006).
Computerized tomography sangat handal untuk mendeteksi
perdarahan intrakarnium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik
ringan (Feigin, 2006).
8
mengidentifikasi aneurisma intrakanium dan malformasi pembuluh darah
otak (Feigin, 2006).
4. Angiografi otak
Angiografi otak merupakan suatu penyuntikan suatu bahan yang
tampak dalam citra sinar X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan
sinar-X kemudian dapat memperlihatkan pembuluhan-pembuluh darah di
leher dan kepala. Bahan yang digunakan disebut “bahan kontras”, dan
disuntikkan langsung ke dalam arteri karotis di leher atau melalui sebuah
kateter (selang) yang sangat panjang yang dimasukkan ke pembuluh itu
melalui arteri femoralis di lipatan paha. kedua prosedur ini dilakukan di
bawah pembiusan total (Feigin, 2006).
Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri
dan vena selama semua fase aliran darah otak dan digunakan untuk mencari
penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma atau
malformasi vaskular. Namun, tindakan ini memiliki risiko, termasuk stroke
atau kematian pada 1 dari setiap 200 orang yang diperiksa (Feigin, 2006).
6. EKG
Elektrokardiografi digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan
irama jantung atau penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke
pasien. Sensor listrik yang peka, yang disebut elektrosa, diletakkan pada kulit
di tempat-tempat tertentu. Elektroda-elektroda ini merekam perubahan siklis
arus listrik alami tubuh yang terjadi sewaktu jantung berdenyut. Hasilnya
9
dianalisis oleh komputer dan diperlihatkan dalam sebuah grafik yang disebut
elektrokardiogram (Feigin, 2006).
a. Terapi Farmakologis
Ischemic Stroke
Terapi farmakologi stroke iskemik dapat dilakukan dengan reperfusi
dan neuroproteksi. Reperfusi yaitu mengembalikan aliran darah ke otak secara
adekuat sehingga perfusi meningkat, obat-obat yang dapat diberikan antara
lain : thrombolytic agent, inhibitor platelet dan antikoagulan (Junaidi, 2004).
Penggunaan antiplatelet adalah untuk melancarkan aliran darah,
menghindari terjadinya komplikasi, memelihara agar tekanan darah normal.
Pemberian antiplatelet bertujuan untuk mencegah terbentuknya platelet jika
suatu saat plak yang ada di pembuluh darah pecah dan mencegah terbentuknya
platelet langsung di dalam darah selain dari plak.
Memperbaiki aliran darah dengan mencegah terjadinya klot (penggumpalan
10
darah) kembali. Inhibitor platelet merupakan pilihan utama dalam penanganan
stroke iskemik. Inhibitor platelet mencegah terbentuknya trombus karena
penggumpalan trombosit darah. Beberapa contoh obat ini adalah asam asetil
salisilat (asetosal) atau aspirin, tiklopidin, pentoksiflin, clopidogrel, kombinasi
asetosal dengan dipiridamol, dan cilostazol.
Antikoagulan digunakan untuk mencegah perluasan trombus yang
menyebabkan bertambahnya defisit neurologik dan untuk mencegah
kambuhnya episode gangguan serebrovaskular.
Penggunaan trombolisis pada 3 jam pertama serangan diharapkan
menunjukkan ”excellent outcome” yaitu minimal disability dalam skala
neurologi.
Hemorrhagic Stroke
Saat ini belum ada study yang jelas mengenai standar strategi
farmakologi untuk penanganan stroke hemoragik intracerebral hemorrhage
(ICH). Penggunaan agen hemostatic (ex : faktor VII) pada tahap akut (<4 jam
onset) diharapkan dapat mengurangi pergerakan hematoma, tetapi tidak
menunjukkan peningkatan outcome terapeutik. Penanganan dapat dilakukan
dengan mengatasi hipertensi pada pasien.
11
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang
iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel
yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik
dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka
berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang percobaan maupun
pada manusia.
12
iskemik dan diperbarui setiap 3 tahun. Hal ini sangat jelas bahwa terapi
antiplatelet merupakan landasan terapi antitrombotik untuk pencegahan
sekunder untuk stroke iskemik dan harus digunakan pada stroke
nonkardioembolik. Tiga obat yang kini digunakan, yaitu aspirin, clopidogrel,
dan dipiridamole dengan pelepasan diperlambat disertai aspirin (ERDP-ASA),
merupakan antiplatelet first-line yang disetujui oleh the American College of
Chest Physicians (ACCP). Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan emboli,
warfarin merupakan antitrombotik pilihan pertama. Farmakoterapi lain yang
direkomendasikan untuk stroke adalah penurun tekanan darah dan statin.
Rekomendasi saat ini untuk penanganan stroke akut dan pencegahan sekunder
dapat dilihat di tabel berikut (DiPiro et al., 2008).
13
* Penggolongan kelas dan tingkatan bukti: I—bukti atau persetujuan umum yang berguna dan
efektif; II—bukti yang masih diperdebatkan kegunaannya; IIa—bobot bukti dalam mendukung
penanganan; IIb— kegunaan masih belum dibuktikan dengan baik; III—tidak berguna dan bahkan
merugikan. Tingkatan bukti: A— uji klinik secara acak banyak; B—percobaan acak tunggal atau
studi tanpa pengacakan; C—opini ahli atau studi kasus.
Alteplase (t-PA)
Alteplase adalah enzim serin-protease dari sel endotel pembuluh yang
dibentuk dengan teknik rekombinan DNA. Waktu paruhnya hanya 5 menit.
Alteplase bekerja sebagai fibrinolitik dengan cara mengikat pada fibrin dan
mengaktivasi plasminogen jaringan. Plasmin yang terbentuk kemudian
mendegradasi fibrin sehingga melarutkan trombus. Efektivitas intravena pada
pengobatan stroke iskemik dipublikasikan pada tahun 1995 oleh National
Institutes of Neurologic Disorders and Stroke (NINDS) pada uji Recombinant
Tissue-Type Plasminogen Activator (rt-PA) Stroke, dari 624 pasien yang diobati
dengan jumlah yang sama, baik t-PA 0.9 mg/kg IV atau plasebo dalam 3 jam pada
permulaan gejala neurologik, 39% dari pasien yang diobati memperoleh “keluaran
yang sangat bagus” pada 3 bulan dibandingkan dengan 26% pasien plasebo.
“Keluaran yang sangat bagus” didefinisikan tidak terdapat kesalahan atau
kesalahan minimal dengan beberapa skala neurologik yang berbeda (DiPiro et al.,
2008).
Aspirin
Penggunaan aspirin terdahulu untuk mengurangi kematian jangka panjang
dan cacat akibat stroke iskemik didukung oleh dua uji klinis acak besar. Pada
International Stroke Trial (IST), aspirin 300 mg/hari secara signifikan
menurunkan kekambuhan stroke dalam 2 minggu pertama, menghasilkan
penurunan signifikan kematian dan ketergantungan dalam 6 bulan. Pada Chinese
Acute Stroke Trial (CAST), aspirin 160 mg/hari mengurangi risiko kambuh dan
kematian dalam 28 hari pertama, namun kematian jangka panjang dan cacat tidak
berbeda dengan placebo. Pada kedua pengujian, terdapat peningkatan kecil namun
signifikan pada transformasi pendarahan dari infark. Untuk keseluruhan, efek
14
menguntungkan dari penggunaan aspirin telah diadopsi sebagai garis pedoman
klinis (DiPiro et al., 2008).
Antiplatelet
Semua pasien yang memiliki stroke iskemik akut akan menerima terapi
antitrombosis jangka panjang untuk pencegahan sekunder. Pada pasien dengan
stroke nonkardioembolik, akan terdapat beberapa bentuk terapi antiplatelet.
Aspirin menunjukkan hasil studi yang paling baik, dan menjadi obat pilihan
utama. Akan tetapi, literatur yang telah dipublikasikan mendukung penggunaan
clopidogrel dan produk kombinasi sebagai obat pilihan pertama pada pencegahan
stroke sekunder (DiPiro et al., 2008).
Efikasi clopidogrel sebagai antiplatelet pada gangguan atherothrombosis
diperlihatkan dalam pengujian clopidogrel versus aspirin pada pasien dengan
risiko kejadian iskemik (CAPRIE). Dalam studi ini lebih dari 19,000 pasien
dengan riwayat infark myokard, stroke, atau penyakit arteri perifer, clopidogrel 75
mg/hari dibandingkan dengan aspirin 325 mg/hari dalam kemampuannya
menurunkan infark myokard, stroke, atau kematian kardiovaskular. Pada analisis
akhir, clopidogrel lebih efektif (8% relative risk reduction [RRR]) daripada
aspirin (P = 0.043) dan memiliki kemiripan efek samping. Pada European Stroke
Prevention Study 2 (ESPS-2), aspirin 25 mg dan dipyridamole dengan pelepasan
diperpanjang (ERDP) 200 mg dua kali sehari dibandingkan sendiri-sendiri dan
dalam kombinasi dengan plasebo untuk kemampuan mereka dalam menurunkan
stroke kambuhan selama 2 tahun. Dalam jumlah lebih dari 6,600 pasien, ketiga
kelompok perlakuan menunjukkan plasebo—aspirin, 18% RRR; ERDP, 16%
RRR; dan kombinasi, 37% RRR. Kombinasi aspirin 25 mg dan ERDP 200 mg dua
kali sehari merupakan pengobatan yang sangat efektif untuk mencegah
kekambuhan pada pasien stroke. Kombinasi dipiridamole (83% pelepasen
diperpanjang) dan aspirin (30–325 mg sehari) lebih efektif daripada aspirin saja
dalam menurunkan stroke kambuhan (DiPiro et al., 2008).
15
Warfarin
Warfarin merupakan pengobatan paling efektif untuk pencegahan stroke
pada pasien dengan fibrilasi atrium. Dalam European Atrial Fibrillation Trial
(EAFT), 669 pasien dengan fibrilasi atrium nonvalvular (NVAF) dan stroke diberi
perlakuan acak terhadap warfarin (international normalized ratio [INR] = 2.5–4),
aspirin 300 mg/day, or placebo. Pasien di kelompok plasebo mengidap stroke,
infark myokard, atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun dibandingkan
dengan 8% per tahun untuk kelompok warfarin dan 15% per tahun untuk
kelompok aspirin. Hal ini mewakili 53% penurunan risiko dengan antikoagulan
(DiPiro et al., 2008).
Statin
Golongan statin dapat menurunkan risiko stroke sebesar 30% pada pasien
dengan penyakit jantung koroner dan dislipidimia. Stroke iskemik
direkomendasikan menjadi “ekuivalen” koroner dan menggunakan obat golongan
16
statin untuk memperoleh konsentrasi low density lipoprotein (LDL) kurang dari
100 mg/dL (DiPiro et al., 2008).
Terdapat bukti bahwa simvastatin 40 mg/hari mengurangi risiko stroke
pada individu berisiko tinggi (termasuk pasien dengan stroke awal) sebesar 25%
(P < 0.0001) meskipun pada pasien dengan konsentrasi LDL kurang dari 116
mg/dL. Terapi statin merupakan cara efektif untuk mengurangi risiko stroke dan
dijalani pada semua pasien stroke iskemik (DiPiro et al., 2008).
17
Penghambat Reseptor Angiotensin II
Pengahambat reseptor Angiotensin II dapat mengurangi risiko stroke.
Losartan dan metoprolol dibandingkan kmampuannya untuk menurunkan tekanan
darah dan mencegah penyakit kardiovaskular pada kelompok pasien hipertensi.
Penurunan tekanan darah mirip, yaitu mendekati 30/16 mm Hg, kelompok
losartan mengurangi risiko stroke sebesar 24%. Penghambat reseptor Angiotensin
II digunakan pada pasien yang tidak dapat menoleransi ACE inhibitor untuk efek
penurunan tekanan darah setelah stroke iskemik akut (DiPiro et al., 2008).
Hemorrhagic Stroke
Tidak terdapat standar strategi pengobatan untuk pendarahan intraserebral
(ICH). Penggunaan obat hemostatik (misal, faktor VII) pada fase hiperakut (<4
jam dari onset) dapat mengurangi pertumbuhan hematoma. Garis pedoman medis
untuk manajemen tekanan darah, tekanan intrakranial meningkat, dan komplikasi
medis lain untuk ICH dibutuhkan untuk manajemen pasien akut lain di unit
perawatan neurointensif (DiPiro et al., 2008).
Pendarahan subarachnoid (SAH) akibat rupture aneurism berhubungan
dengan insiden tinggi iskemia otak tertunda (DCI) dalam 2 minggu mengikuti
periode pendarahan. Vasospasm dari vaskulatur otak bertanggung jawab untuk
DCI dan terjadi antara 4 dan 21 hari setelah pendarahan, pucak pada hari 5 hingga
9. Penghambat kanal kalsium nimodipin direkomendasikan untuk mengurangi
insiden dan keparahan dari defisit neurologik akibat DCI. Nimodipin pada dosis
60 mg setiap 4 jam harus diawali dengan diagnosis dan dilanjutkan selama 21 hari
pada semua pasien. Pemberian terapi nimodipin dibingungkan dengan insiden
hipotensi yang cukup tinggi. Hal ini bisa ditata dengan pengurangan interval dosis
hingga 30 mg setiap 2 jam (dosis harian sama), pengurangan dosis harian total (30
mg setiap 4 hours), serta menjaga volume intravascular (DiPiro et al., 2008).
18
diuji. Beberapa kasus lain, seperti infark serebelum, dekompresi pembedahan
dapat menyelamatkan pasien. Selain intervensi pembedahan, pendekatan
multidisipliner untuk penanganan stroke seperti rehabilitasi sangat efektif
dalam mengurangi stroke iskemik. Pada kenyataannya, penggunaan “unit
stroke” telah berhasil menyamai keluaran trombolisis ketika dibandingkan
dengan penanganan biasa (DiPiro et al., 2008).
Dalam pencegahan sekunder, endarterektomi karotid pada arteri
karotid stenosis dan/atau ulser merupakan cara yang sangat efektif untuk
mengurangi insiden stroke dan kambuhan pada pasien yang tepat. Sebenarnya,
pada pasien stroke iskemik dengan arteri karotid stenosis 70% hingga 99%,
stroke kambuhan dapat dikurangi hingga 48% ketika dikombinasikan dengan
aspirin 325 mg setiap hari dibandingkan dengan terapi medis tunggal. Pada
pasien yang berpikir bahwa risiko endarterektomi sangat tinggi, carotid
stenting menjadi lebih efektif dalam penurunan risiko stroke, namun sedikit
invasif (menyakitkan/mengganggu) (DiPiro et al., 2008).
b. Hemorrhagic Stroke
Pada pasien dengan pendarahan subarachnoid yang menunjukkan
rupture aneurism intrakranial, intervensi pembedahan dapat mengurangi
mortalitas. Pada kasus pendarahan intraserebral primer, keuntungan
pembedahan tidak terdokumentasi dengan baik. Meskipun banyak pasien yang
menjalani operasi bedah hematoma intraserebral, belum ada studi yang cukup
mengenai uji klinis. Pedoman telah ditegakkan untuk menggunakan intervensi
pembedahan dalam penanganan pendarahan intraserebral, namun masih
terdapat kekurangan data uji klinis yang mendukung (DiPiro et al., 2008).
19
G. EVALUASI HASIL TERAPI
Pasien dengan stroke akut harus dimonitor secara intens untuk
perkembangan neurologis yang memburuk (kambuh atau berkepanjangan),
komplikasi (infeksi atau tromboembolisme), dan efek samping dari perawatan
(intervensi terapi farmakologis dan non-farmakologis). Alasan paling banyak pada
memburuknya keadaan klinik pasien stroke adalah (Dipiro et al., 2008):
1. Perpanjangan lesi semula dalam otak (iskemik maupun hemoragik);
2. Perkembangan edema serebral dan meningkatkan tekanan intracranial;
3. Hipertensi darurat;
4. Infeksi (paling banyak pada saluran kemih dan pernafasan);
5. Tromboembolisme vena (trombosis vena dalam dan emboli paru);
6. Abnormalitas/kelainan elektrolit dan gangguan ritme/irama (dapat dikaitkan
dengan cedera otak); dan
7. Stroke berulang
Pendekatan untuk pemantauan pasien stroke diringkas dalam tabel di
bawah ini:
Pemantauan Pasien Stroke Akut Rawat Inap
Perawatan Parameter Frekuensi
Setiap 15 menit x 1 jam
TD, fungsi Setiap 0,5 jam x 0,6 jam
Alteplase neurologis, Setiap 1 jam x 17 jam
pendarahan Setiap setelah pergantian
(shift)
Aspirin Pendarahan Harian
Stroke iskemik
Clopidogrel Pendarahan Harian
Sakit kepala,
ERDP/ASA Harian
pendarahan
INR harian x 3 hari
Pendarahan,
Warfarin INR mingguan hingga stabil
INR, Hb/Hct
INR bulanan
TD, fungsi
neurologis, Setiap 2 jam dalam ICU
Nimodipin
Stroke hemoragik ICP
(untuk SAH)
TD, fungsi
Setiap 2 jam dalam ICU
neurologis,
20
status cairan
Temperatur, Temperatur, setiap 8 jam
CBC CBC, harian
Nyeri (betis
Setiap 8 jam
atau dada)
Elektrolit dan
All patients Up to daily
ECG
Heparins
Pendarahan, harian
untuk Pendarahan,
Trombosit, jika dimungkinkan
profilaksis trombosit
terdapat trombositopenia
DVT
Keterangan:
TD, tekanan darah;
CBC (complete blood count), keseluruhan darah yang terhitung;
DVT (deep vein thrombosis), thrombosis vena dalam;
ECG, elektrokardiogram;
ERDP/ASA, extended-release dipyridamole plus aspirin;
Hb, hemoglobin;
Hct, hematokrit;
ICP (intracranial pressure), tekanan intrakranial;
ICU, intensive care unit;
INR, international normalized ratio;
SAH, subarachnoid hemorrhage (Wells et al., 2009).
Pemilihan rencana pengobatan harus dibuat untuk masing-masing pasien
berdasarkan komorbiditas dan penyakit yang dideritanya.
21
serangan tersebut mulai bertambah lama, dan serangan yang terakhir
menimbulkan keluhan yang tidak hilang hingga dua hari. Pemeriksaan klinis
memastikan bahwa wanita tersebut menderita stroke iskemik ringan di sirkulasi
arteri serebrum kiri akibat penyempitan (stenosis) arteri karotis kiri di lehernya
(Feigin, 2006).
Subjektif
Pasien mengalami kecanggungan atau kelemahan pada tangan kanannya.
Objektif
Pemeriksaan klinis
Assesment
Pasien menderita stroke iskemik ringan di sirkulasi arteri serebrum kiri akibat
penyempitan (stenosis) arteri karotis kiri di lehernya.
Plan
1. Tujuan Terapi : Meringankan gejala dan menyembuhkan penyakit
2. Terapi :
Terapi Farmakologi : Antitrombolitik (antikoagulan atau antiplatelet)
paling aman adalah aspirin (antiplatelet) karena terbukti aman. Aspirin
150-300 mg/day selanjutnya 75mg/day. Untuk yang mungkin menelan ada
sediaan rectal 300mg/day.
Terapi Non Farmakologi : dikompres dengan air panas
3. KIE : berhenti merokok, terapi gerak tangan (latihan menulis atau
menggambar), tidak boleh mengangkat berat-berat, tidak boleh kedinginan,
posis tidur jangan memberatkan pada tangan kanan.
4. DRP’S : -
22
DAFTAR PUSTAKA
Adams H.P Jr, del Zoppo G, Alberts M.J, et al. 2007. Guidelines for the early
managment of adults with ischemic stroke. A guideline from the American
Heart Association ;38:1655–1711.
Christopher G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical
Neurology. 3rd Edition. Philadelphia : Saunders.
Chung, Chin-Sang. 1999. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical
Neurology editor Christopher G. Goetz. W.B. New York : Saunders
Company. p 10-3.
DiPiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey.
2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. Seventh Edition.
McGraw-Hill Companies. New York. p. 376 – 379.
Feigin, V. 2004. Stroke. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.
Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. 2006. Primary prevention of ischemic
stroke. A Guideline from the American Heart Association/American Stroke
Association Stroke Council ;37:1583–1633.
Goldstein LB. 2007. Acute ischemic stroke treatment in 2007. Circulation
2007;116:1504–1514.
Harsono. 1996. Buku Ajar : Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada. 67.
Hassmann, K.A. 2010. Ischemic Stroke. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview [Diakses 16
September 2011].
Junaidi, I., 2004, Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. Jakarta :
PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
Khaja AM, Grotta JC. 2007. Established treatments for acute ischemic stroke.
Lancet 2007;369:319–330.
Rumantir C.U. Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD
Arifin.
Sukandar, E.Y.,R. Andrajati, J.I. Sigit, I.K.Adnyana, dan A.A.P.Setiadi. 2008.
ISO Farmakoterapi. Jakarta : ISFI Penerbitan.
23
Wells, B. G., Dipiro, J. T., Schwinghammer, T. L., Dipiro, C. V. 2009.
Pharmacotherapy Handbook. Edisi ke 7. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
24