Gambar 2. Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Fluida Dominasi Air (Saptadji,
2001)
Gambar 3. Skema Diagram Pembangkit Listrik dengan Siklus “Single Flash Steam”
(Saptadji, 2001)
Single flash steam digunakan apabila fluida di kepala sumur dalam kondiri air
jenuh (saturated liquid). Fluida dialirkan ke sebuah flasher agar menguap. Banyaknya
uap yang dihasilkantergantung dari tekanan flasher. Fraksi uap yang dihasilkan
kemudian dilairkan ke turbin (Saptadji, 2001).
3.1.5 Siklus Uap Hasil Pemisahan dan Penguapan (Double Flash Steam)
Gambar 4. Skema Diagram Pembangkit Listrik dengan Siklus Double Flash Steam
(Saptadji, 2001)
Sistem ini menggunakan dua pemisahan fluida yaitu separator dan flasher.
Selain itu juga menggunakan 2 turbin, yaitu HP-turbine dan LP-turbine yang disusun
tandem (ganda).
Contoh lapangan yang menggunakan sistem konversi ini adalah Hacthobaru (Jepang)
dan Krafla (Iceland).
3.1.6 Siklus Uap Hasil Pemisahan dan Penguapan dengan Dua Turbin Terpisah
(Flashing Multi Flash Steam)
Sistem konversi energi ini mirip dengan sistem double flash. Perbedaan system
Flashing Multi Flash Steam dengan sistem double flash adalah pada Flashing Multi
Flash Steam kedua turbin yang memiliki tekanan yang berbeda disusun secara terpisah
(gambar 3.7). Uap yang bertekanan, bertemperatur tinggi, dan mengandung air
dipisahkan di separator agar diperoleh uap kering. Uap kering ini digunakan untuk
menggerakkan high pressure turbine. Turbin akan mengubah energi panas bumi
menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik.
Air dari hasil pemisahan separator, akan memiliki temperatur dan tekanan lebih rendah
dari kondisi fluida di kepala sumur. Kemudian, air ini dialirkan ke flasher agar
menghasilkan uap. Uap yang dihasilkan oleh flasher ini dialirkan ke low pressure
turbine sementara air sisanya dibawa ke condenser (Saptadji, 2001).
Gambar 3.7
Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Sistem Multi Flash Steam.
3.1.7 Binary Cycle
Fluida panas bumi yang biasanya dimanfaatkan untuk pembangkit panas bumi
adalah yang memiliki temperatur 200 ºC. Fluida panas bumi yang memiliki temperatur
sedang (100-200 ºC) secara tidak langsung juga dapat digunakan untuk pembangkit
listrik, yaitu dengan cara menggunakannya untuk memanasi fluida organik (misalnya
isobutana) yang mempunyai titik didih rendah (Gambar 3.8) (Saptadji, 2001). Fluida
organik ini dipanasi oleh fluida panas bumi melalui mesin penukar kalor atau heat
exchanger. Jadi fluida panas bumi tidak dimanfaatkan langsung melainkan hanya
panasnya saja yang diekstraksi. Uap dari fluida organik ini kemudian digunakan untuk
memutar turbin, dan selanjutnya menggerakkan generator sehingga dihasilkan energi
listrik. Sementara itu, uap hasil keluaran turbin akan diembunkan kembali dengan
kondensor dan kembali lagi ke heat exchanger. Binary Cycle ini merupakan sistem
tertutup. Jadi tidak ada yang dilepas ke atmosfer (Prima, 2016). Dua lapangan yang
menggunakan siklus konversi energi seperti ini adalah Parantuka, Kamchatka
Peninsula (USSR) dan Otake (Jepang). Di lapangan Lahendong juga terdapat sebuah
pembangkit listrik panas bumi siklus binari (binary geothermal power plant)
berkapasitas 2,5 MW (Saptadji, 2001).
Gambar 3.8
Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Sistem Binary Cycle.
Gambar 3.9
Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Sistem Combined Cycle dari Ormat
Gambar 3.10
Skema Diagram pembangkit Listrik untuk Sistem Siklus Kombinasi
Ada beberapa alasan mengapa Well Head Generating Units atau unit pembangkit
kepala sumur banyak digunakan (Saptadji, 2001), antara lain:
1. Unit pembangkit kepala sumur dapat lebih cepat dioperasikan, yaitu dalam
waktu kurang dari 1-2 bulan. Sedangkan "central plant” biasanya baru bisa
dioperasikan 6-7 tahun setelah pemboran sumur pertama.
5. Jika tekanan reservoir turun lebih cepat dari yang diharapkan, maka turbin
masih dapat di operasikan pada tekanan yang lebih rendah dan dapat
memproduksikan listrik dalam jumlah yang sama meskipun efisiensinya lebih
rendah.
6. Unit pembangkit kepala sumur (Well head generating units) dapat dipindahkan
ke lokasi sumur lain hanya dalam waktu 1 - 2 bulan.
Gambar 3.12
Pemanasan Rumah Kaca (Green House Heating)
Penduduk kota Rotorua (New Zealand) telah memanfaatkan air panas bumi
tidak hanya untuk mencuci, mandi dan memasak, tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan air panas dan pemanasan ruangan sejak awal tahung 1900 (lihat Gambar
3.10). Sekitar seribu sumur telah di bor di kota Rotorua. Di kota ini air panas bumi juga
telah digunakan untuk kolam pemandian di hotel-hotel. Karena produksi fluida panas
bumi yang berlebihan sejak awal tahun 1900, maka pemerintah secara bertahap
menutup sejumlah besar sumur produksi di kota ini. Penutupan sejumlah besar sumur
produksi ini dimulai sejak pertengahan tahun 1980. Produksi fluida yang berlebihan ini
telah menyebabkan penurunan aktivitas beberapa geyser di tempat-tempat yang banyak
dikunjungi turis. Saat ini di kota Rotorua hanya ada 200 sumur produksi (Saptadji,
2001).
Gambar 3.10
Skema Proses Pemanasan Air oleh Fluida Panas bumi dan Alat Penukar Kalor (Heat
Exchanger)
Gambar 3.13
Sistem Pemanasan Tanah dengan Menggunakan Fluida Panas bumi (Soil Heating)
Filipina memanfaatkan air limbah panas dari PLTP untuk pengeringan kopra,
mangga, nangka, nanas, dan ikan sebelum diinjeksikan kembali kedalam reservoir.
Untuk keperluan tersebut Filipina membangun fasilitas pengeringan di lapangan
Southern Negros yaitu di dekat lokasi sumur injeksi. Air limbah panas (temperatur 160
ºC) di sini pada dasarnya digunakan untuk memanaskan air lain yang akan digunakan
untuk memanaskan udara di ruang pengering. Untuk media pertukaran panas
digunakan alat penukar kalor, yaitu shell and tube heat exchanger (alat penukar kalor
pertama) dan finned-tube heat exchanger (alat penukar kalor kedua). Skema proses
pemanasan pengeringan diperlihatkan pada Gambar 3.15 (Saptadji, 2001). Sedangkan
di Indonesia pemanfaatan panas bumi dalam sektor non-listrik masih sangat terbatas,
hingga saat ini, selain hanya untuk pariwisata yang umumnya dikelola oleh daerah
setempat, fluida panas bumi belum dimanfaatkan untuk sektor non-listrik lainnya.
Misalnya panas bumi yang ada di daerah Saguling (Jawa Barat) yang berupa mata air
panas dengan temperatur cukup tinggi, hanya dimanfaatkan untuk tujuan wisata
sebagai tempat permadian dan pengobatan penyakit kulit. Padahal, panas bumi ini
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, misalnya pemanfatan langsung (direct
use) untuk agro-bisnis seperti pembibitan, pertanian jamur, pengering, dan yang
lainnya. Untuk mengembangkan pemanfaatan panas bumi dalam sektor non-listrik di
Indonesia masih diperlukan riset dan kajian lebih lanjut. (Direktorat Panas Bumi, 2017