Anda di halaman 1dari 16

3.

1 Teknologi panas bumi untuk pembangkit listrik


Panas bumi telah banyak digunakan beberapa negara untuk pembangkit listrik.
Panas bumi yang digunakan biasanya memiliki temperatur tinggi (>225 °C). Seiring
dengan berjalannya waktu panas bumi yang bertemperatur sedang (150-225°C) juga
dapat digunakan sebagai pembangkit listrik (Saptadji, 2001).
Menurut Saptadji (2001), Faktor- faktor yang dipertimbangkan untuk
memutuskan apakah panas bumi tepat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.
1. Sumberdaya memiliki kandungan panas atau cadangan yang besar sehinggga
mampu memproduksikan uap untuk jangka waktu yang cukup lama, yaitu
sekitar 25-30 tahun.
2. Sumberdaya panas bumi memproduksikan fluida yang mempunyai pH hampir
netral agar laju korosinya relatif rendah, sehingga fasilitas produksi tidak cepat
terkorosi.
3. Reservoirnya tidak terlalu dalam, biasanya tidak lebih dari 3 km.
4. Sumber daya panas bumi terdapat di daerah yang relatif tidak sulit dicapai.
5. Sumberdaya panas bumi terletak di daerah dengan kemungkinan terjadinya
erupsi hidrothermal relatif rendah.
Negara pertama yang memanfaatkan uap panas bumi untuk pembangkit listrik
adalah Italy. Sumur-sumur di lapangan tersebut menghasilkan uap kering (dry steam)
bertemperatur tinggi yang sangat baik digunakan untuk pembangkit listrik. Pusat listrik
tenaga panas bumi (PLTP) pertama dibangun pada tahun 1913 di Larederello dengan
kapasitas listrik yang terpasang sebesar 250 kW. Pada tahun 1940 kapasitas listrik dari
PLTP tersebut ditingkatkan menjadi 130 MW. Namun pada saat perang dunia ke II
PLTP tersebut hancur, tetapi setelah itu dibangun kembali dengan kapasitas 500 MW
(Saptadji, 2001).
Setelah Italy, New Zealand adalah negara kedua yang memanfaatkan panas bumi
untuk pembangkit listrik. New Zeland membangun PLTP di Wairakei pada tahun 1958
hingga tahun 1963 dengan kapasitas sebesar 192 MW. Berbeda dengan sumur di Italy,
sumur-sumur di lapangan Warakei menghasilkan dua fasa yaitu uap dan air. Uap dan
air dari sumur produksi dipisahkan di dalam separator, kemudian dialirkan uapnya
dilairkan ke turbin untuk membangkitkan listrik (Saptadji, 2001).
Amerika baru memanfaatkan energi panas bumi pada tahun 1960-1970. Amerika
mengembangkan lapangan the Geysers dan memanfaatkan uapnya untuk pembangkit
listrik. Kapasitas PLTP ini sangat besar, yaitu sebesar 1000 MW (Saptadji, 2001).
Meningkatnya kebutuhan energi dan harga minyak pada tahun 1973 dan 1979 telah
memacu negara-negara lain untuk mengurangi ketergantung mereka pada minyak,
dengan cara memanfaatkan fluida panas bumi. Hal tersebut terlihat dari meningkatnya
kapasitas instalasi listrik tenaga panas bumi pada tahun-tahun berikutnya. Dari tahun
1979 hingga akhir tahun 1976, kapasitas listrik naik dari 1759 MW menjadi 4733 MW.
Namun masih banyak negara yang belum memanfaatkan energi panas bumi. Hal
tersebut disebabkan karena eksploitasi panas bumi memerlukan modal yang besar dan
resiko yang tinggi (Saptadji, 2001).
Di Indonesia usaha pencarian sumber energi panas bumi pertama kali dilakukan
di daerah Kawah Kamojang pada tahun 1981. Pada tahun 1926 hingga tahun 1929 ada
lima sumur eksploitasi yang dibor. Salah satu sumur tersebut adalah sumur KMJ-3
yang sampai saat ini masih memproduksi uap panas kering atau dry steam. Pecahnya
perang dunia dan perang kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu alasan
dihentikannya kegitaan eksploitasi pada daerah tersebut (Saptadji, 2001).
Sumber daya panas bumi yang terdapat di Indonesia sangat potensial bila
dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, karena pada umumnya, merupakan sistem
hidrotermal yang mempunyai temperatur tinggi (>225 °C). Dan beberapa diantaranya
mempunyai temperatur sedang (150-225 °C) (Saptadji, 2001). Indonesia memiliki 265
prospek panas bumi, di sepanjang jalur vulkanik mulai dari bagian Barat Sumatera,
terus ke Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan kemudian membelok ke arah utara
melalui Maluku dan Sulawesi.
Perkembangan pengusahaan energi panas bumi di Indonesia masih lambat. Hal
tersebut disebabkan karena masih banyak sumber energi lain yang dapat dimanfaatkan
untuk pembangkit listrik, yaitu air, minyak, gas dan batu bara. Selain itu juga harga
listrik yang dihasilkan dari uap panas bumi dinilai lebih mahal, terutama jika
dibandingkan dengan energi listrik batu bara (Saptadji, 2001).
Lapangan di Indonesia yang memanfaatkan energi panas bumi dalam skala besar
sebagai pembangkit listrik, yaitu Kamojang (140 Mwe), Awibengkok-Salak (330
Mwe), Darajat (55 Mwe), dan Lapangan Wayang Windu (110 MW). Dan dalam skala
kecil yaitu satu unit berkapasitas 2.5 Mwe di lapangan Lahendong (Sulawesi Utara)
dan satu unit berkapasitas 2 Mwe di lapangan Sibayak (Sumatera Utara) (Saptadji,
2001).
3.1.1 Jenis-Jenis Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada prinsipnya sama seperti
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), hanya saja pada PLTU uap dibuat di
permukaan menggunakan boiler, sedangkan pada PLTP uap berasal dari reservoir
panas bumi. Apabila fluida di kepala sumur berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat
dialirkan langsung ke turbin, dan kemudian turbin akan mengubah energi panas bumi
menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik.
Apabila fluida panas bumi keluar dari kepala sumur sebagai campuran fluida dua fasa
(fasa uap dan cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal
tersebut dilakukan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap
akan tercampur dengan fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah
yang kemudian dialirkan ke turbin (Saptadji, 2001).
Menurut Saptadji (2001), sistem pembangkitan listrik dari fluida panas bumi yang telah
diterapkan di lapangan, terdiri atas :
1. Direct Dry Steam
2. Separated Steam
3. Single Flash Steam
4. Double Flash Steam
5. Multi Flash Steam
6. Brine/freon Binary Cycle
Brine/Isobutane Binary Cycle
7. Combined Cycle
8. Hybrid/fossil-geothermal conversion system
3.1.2 Siklus Uap Kering (Direct Dry Steam Cycle)

Gambar 1. Skema Instalasi Pembangkit Listrik Uap Kering (Saptadji 2001).


Fluida panas bumi dapat berupa fasa cair, fasa uap atau campuran dari
keduanya, tergantung dari tekanan dan temperaturnya. Apabila fluida di kepala sumur
berupa fasa uap, maka uap tersebut dapat dialirkan langsung ke turbin. Turbin akan
mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar generator
sehingga dihasilkan energi listrik (Saptadji, 2001).
Sistem konversi untuk fluida uap kering merupakan sistem konversi yang
paling sederhana dan paling murah. Uap dari turbin dapat dibuang ke atmofer
(atmospheric axhaust turbine) atau dialirkan ke kondensor untuk dikondensasikan
(considering turbin). Dari kondensor, kondensat kemudian dialirkan ke menara
pendingin atau cooling tower dan selanjutnya diinjeksikan kembali ke bawah
permukaan. Sebagian dari air kondensat ini dialirkan ke kondensor. Pembangkit listrik
yang menggunakan atmospheric exhaust turbine mengkonsumsi sekitar dua kali (dalam
tekanan inlet yang sama) lebih banyak untuk killowatt keluaran sehingga banyak energi
yang terbuang (Saptadji, 2001).
Contoh PLTP yang menggunakan prinsip ini adalah PLTP Kamojang dan PLTP
Darajat.
3.1.3 Siklus Uap Hasil Pemisahan (Separated Steam Cycle)

Gambar 2. Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Fluida Dominasi Air (Saptadji,
2001)

Separated steam cycle merupakan jenis sistem konversi energi yang


memanfaatkan uap hasil pemisahan. Saptadji (2001) menjelaskan bahwa apabila fluida
panas bumi yang keluar dari kepala sumur sebagai campuran fluida dua (fasa uap dan
fasa cair) maka terlebih dahulu dilakukan proses pemisahan pada fluida. Hal tersebut
dilakukan dengan melewatkan fluida ke dalam separator, sehingga fasa uap akan
terpisahkan dari fasa cairnya. Fraksi uap yang dihasilkan dari separator inilah yang
kemudian dialirkan ke turbin dan airnya diinjeksikan ke bawah permukaan.
Contoh PLTP yang menggunakan prinsip ini adalah lapangan Awibengkok.
3.1.4 Siklus Uap Hasil Penguapan (Single Flash Steam)

Gambar 3. Skema Diagram Pembangkit Listrik dengan Siklus “Single Flash Steam”
(Saptadji, 2001)
Single flash steam digunakan apabila fluida di kepala sumur dalam kondiri air
jenuh (saturated liquid). Fluida dialirkan ke sebuah flasher agar menguap. Banyaknya
uap yang dihasilkantergantung dari tekanan flasher. Fraksi uap yang dihasilkan
kemudian dilairkan ke turbin (Saptadji, 2001).

3.1.5 Siklus Uap Hasil Pemisahan dan Penguapan (Double Flash Steam)
Gambar 4. Skema Diagram Pembangkit Listrik dengan Siklus Double Flash Steam
(Saptadji, 2001)
Sistem ini menggunakan dua pemisahan fluida yaitu separator dan flasher.
Selain itu juga menggunakan 2 turbin, yaitu HP-turbine dan LP-turbine yang disusun
tandem (ganda).
Contoh lapangan yang menggunakan sistem konversi ini adalah Hacthobaru (Jepang)
dan Krafla (Iceland).

3.1.6 Siklus Uap Hasil Pemisahan dan Penguapan dengan Dua Turbin Terpisah
(Flashing Multi Flash Steam)
Sistem konversi energi ini mirip dengan sistem double flash. Perbedaan system
Flashing Multi Flash Steam dengan sistem double flash adalah pada Flashing Multi
Flash Steam kedua turbin yang memiliki tekanan yang berbeda disusun secara terpisah
(gambar 3.7). Uap yang bertekanan, bertemperatur tinggi, dan mengandung air
dipisahkan di separator agar diperoleh uap kering. Uap kering ini digunakan untuk
menggerakkan high pressure turbine. Turbin akan mengubah energi panas bumi
menjadi energi gerak yang akan memutar generator sehingga dihasilkan energi listrik.
Air dari hasil pemisahan separator, akan memiliki temperatur dan tekanan lebih rendah
dari kondisi fluida di kepala sumur. Kemudian, air ini dialirkan ke flasher agar
menghasilkan uap. Uap yang dihasilkan oleh flasher ini dialirkan ke low pressure
turbine sementara air sisanya dibawa ke condenser (Saptadji, 2001).

Gambar 3.7
Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Sistem Multi Flash Steam.
3.1.7 Binary Cycle
Fluida panas bumi yang biasanya dimanfaatkan untuk pembangkit panas bumi
adalah yang memiliki temperatur 200 ºC. Fluida panas bumi yang memiliki temperatur
sedang (100-200 ºC) secara tidak langsung juga dapat digunakan untuk pembangkit
listrik, yaitu dengan cara menggunakannya untuk memanasi fluida organik (misalnya
isobutana) yang mempunyai titik didih rendah (Gambar 3.8) (Saptadji, 2001). Fluida
organik ini dipanasi oleh fluida panas bumi melalui mesin penukar kalor atau heat
exchanger. Jadi fluida panas bumi tidak dimanfaatkan langsung melainkan hanya
panasnya saja yang diekstraksi. Uap dari fluida organik ini kemudian digunakan untuk
memutar turbin, dan selanjutnya menggerakkan generator sehingga dihasilkan energi
listrik. Sementara itu, uap hasil keluaran turbin akan diembunkan kembali dengan
kondensor dan kembali lagi ke heat exchanger. Binary Cycle ini merupakan sistem
tertutup. Jadi tidak ada yang dilepas ke atmosfer (Prima, 2016). Dua lapangan yang
menggunakan siklus konversi energi seperti ini adalah Parantuka, Kamchatka
Peninsula (USSR) dan Otake (Jepang). Di lapangan Lahendong juga terdapat sebuah
pembangkit listrik panas bumi siklus binari (binary geothermal power plant)
berkapasitas 2,5 MW (Saptadji, 2001).

Gambar 3.8
Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Sistem Binary Cycle.

3.1.8 Combined Cycle


Di beberapa industri sudah mulai digunakan sistem pembangkit listrik dengan
siklus kombinasi (combined cycle), dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi
pemanfaatan energi panas bumi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 3.9 dan 3.10.
Fluida panas bumi dari sumur dipisahkan fasa-fasanya dalam separator. Uap dari
separator dialirkan ke PLTP (Turbin ke I). Sebelum fluida diinjeksikan kembali ke
dalam reservoir, fluida digunakan untuk memanaskan fluida organik yang mempunyai
titik didih rendah. Uap dari fluida organik tersebut kemudian digunakan untuk
menggerakan turbin (Turbin ke II) (Saptadji, 2001).

Gambar 3.9
Skema Diagram Pembangkit Listrik untuk Sistem Combined Cycle dari Ormat

Gambar 3.10
Skema Diagram pembangkit Listrik untuk Sistem Siklus Kombinasi

3.1.9 Well Head Generating Unit


Beberapa tahun terakhir ini, di lapangan ulai banyak digunkan unit pembangkit
kepala sumur atau yang dikenal dengan nama "Well Head Generating Units". Sesuai
dengan namanya unit ini ditempatkan di dekat kepala sumur (well head). Ada dua jenis
"Well Head Generating Units" (Saptadji, 2001),yaitu:
1. Back pressure turbine atau turbin tanpa kondensor (atmospheric exhaust).
Turbin ini tidak dilengkapi dengan kondensor. Uap dari sumur atau uap dari
separator dialirkan langsung ke turbin. Dan setelah digunakan untuk
membangkitkan listrik langsung dilepas ke atmosfer. Unit pembangkit jenis ini
juga sering disebut "monoblock".

2. Turbin yang dilengkapi dengan kondensor (condensing unit). Turbin ini


dilengkapi dengan kondensor. Di dalam kondensor, uap keluaran dari turbin
diubah menjadi kondensat.

Ada beberapa alasan mengapa Well Head Generating Units atau unit pembangkit
kepala sumur banyak digunakan (Saptadji, 2001), antara lain:
1. Unit pembangkit kepala sumur dapat lebih cepat dioperasikan, yaitu dalam
waktu kurang dari 1-2 bulan. Sedangkan "central plant” biasanya baru bisa
dioperasikan 6-7 tahun setelah pemboran sumur pertama.

2. Dengan digunakannya unit-unit pembangkit kepala sumur berkapasitas kecil


maka perusahaan swasta nasional dapat dilibatkan dalam perusahaan panas
bumi.

3. Penggunaan unit-unit pembangkit listrik berkapasitas kecil memungkinkan


para penanam modal untuk memperoleh kembali modalnya dalam waktu yang
lebih cepat. Hal ini karena alasan pertama di atas, yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk pemasangan unit pembangkit berkapasitas kecil lebih singkat daripada
untuk berkapasitas besar, sehingga dapat lebih cepat dioperasikan.

4. Well head generating units dapat digunakan di daerah-daerah dimana topografi


cukup rumit. Karena Well head generating units menggunakan pipa alir uap
jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan pipa alir di central power plant.

5. Jika tekanan reservoir turun lebih cepat dari yang diharapkan, maka turbin
masih dapat di operasikan pada tekanan yang lebih rendah dan dapat
memproduksikan listrik dalam jumlah yang sama meskipun efisiensinya lebih
rendah.

6. Unit pembangkit kepala sumur (Well head generating units) dapat dipindahkan
ke lokasi sumur lain hanya dalam waktu 1 - 2 bulan.

3.2 FLUIDA PANAS BUMI UNTUK SEKTOR NON-LISTRIK


Di beberapa negara, selain digunakan sebagai pembangkit listrik, fluida panas
bumi juga dimanfaatkan dalam sektor non-listrik. Misalnya untuk pemanas ruangan
(space/district heating); pemanas rumah kaca (green house heating), pemanasan tanah
pertanian (soil heating), pengeringan hasil pertanian dan peternakan, pengeringan
kayu, dan kertas. (Tabel 3.1).
Tabel 3.1
Penggunaan Fluida Panas Bumi untuk sektor Non-Listrik
Sejak awal tahun 1900, di Iceland air panas bumi telah dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan air panas bagi penduduk setempat. Pemanasan ruangan-ruangan
di rumah sakit, di sekolah-sekolah, dan di perumahan penduduk di Iceland juga
memanfaatkan air panas bumi. Dan ada tahun 1980-an sekitar dua pertiga penduduk
Iceland telah menikmati manfaat dari energi panas bumi.
Iceland juga telah memanfaatkan fluida panas bumi untuk membantu
pertumbuhan berbagai tanaman yang ditanam di rumah kaca atau green house (lihat
Gambar 3.12), yang tidak dapat tumbuh pada kondisi iklim setempat, yang mempunyai
temperatur 10-12 ºC dan pada musim dingin mempunyai temperatur di bawah -10 ºC.
Panas dari fluida panas bumi ini dimanfaatkan untuk membantu pertumbuhan dengan
cara mensirkulasikan fluida panas bumi secara langsung di sekeliling tanaman
(Kuswoyo dkk, 2007). Sebelum fluida panas bumi dimanfaatkan hampir semua bahan
makanan selain ikan, daging, dan kentang harus diimport ke Iceland. Pada tahun 1980
sekitar 110000 m2 rumah kaca memperoleh pemanasan dari dari fluida panas bumi.
Selain Iceland, Uni Soviet dan Hungaria juga telah menggunakan fluida panas bumi
untuk rumah kaca, yaitu seluas 420000 m2 dan Hungaria seluas 1900000 m2. Dewasa
ini pemanasan rumah kaca dengan menggunakan fluida panas bumi telah dipraktekkan
juga di Amerika Serikat, Italia, Jepang dan New Zealand (Saptadji, 2001).

Gambar 3.12
Pemanasan Rumah Kaca (Green House Heating)

Penduduk kota Rotorua (New Zealand) telah memanfaatkan air panas bumi
tidak hanya untuk mencuci, mandi dan memasak, tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan air panas dan pemanasan ruangan sejak awal tahung 1900 (lihat Gambar
3.10). Sekitar seribu sumur telah di bor di kota Rotorua. Di kota ini air panas bumi juga
telah digunakan untuk kolam pemandian di hotel-hotel. Karena produksi fluida panas
bumi yang berlebihan sejak awal tahun 1900, maka pemerintah secara bertahap
menutup sejumlah besar sumur produksi di kota ini. Penutupan sejumlah besar sumur
produksi ini dimulai sejak pertengahan tahun 1980. Produksi fluida yang berlebihan ini
telah menyebabkan penurunan aktivitas beberapa geyser di tempat-tempat yang banyak
dikunjungi turis. Saat ini di kota Rotorua hanya ada 200 sumur produksi (Saptadji,
2001).
Gambar 3.10
Skema Proses Pemanasan Air oleh Fluida Panas bumi dan Alat Penukar Kalor (Heat
Exchanger)

Sebuah sekolah di Tauhara-New Zealand telah memanfaatkan fluida panas


bumi untuk memanaskan air dari pusat air di kota tersebut dengan menggunakan down-
hole heat exchanger (lihat Gambar 3.11). Down-hole heat exchanger merupakan alat
penukar panas yang berupa pipa berbentuk U dan ditempatkan di dalam sumur. Air
dingin dari permukaan dialirkan kedalam sumur dan menjadi panas setelah keluar dari
sumur karena mengalami kontak dengan fluida panas bumi(Saptadji, 2001).
Gambar 3.11
Skema Proses Pemanasan Air Oleh Fluida Panas bumi dan Alat Penukar Kalor
(heat Exchanger) di Dalam Sumur.
Fluida panas bumi di dekat Ismir-Turki dan Oregon-USA telah dimanfaatkan
untuk memanasi tanah pertanian (soil heating) . Air panas bumi dialirkan melalui pipa-
pipa yang ditanam di bawah permukaan tanah (lihat Gambar 3.13). Di Oregon
penggunaan fluida panas bumi untuk pemanasan tanah pertanian tidak hanya
memperbaiki kualitas produksi tetapi juga telah meningkatkan produksi jagung
sebanyak 45%, tomat 50% dan kacang kedelai 66%.

Gambar 3.13
Sistem Pemanasan Tanah dengan Menggunakan Fluida Panas bumi (Soil Heating)

Fluida panas bumi di Kawerau (New Zealand) telah digunakan untuk


pengeringan kayu. Selain itu juga uap panas bumi digunakan untuk industri kertas.
Sedangkan di Hotel Rotorua (New Zealand) fluida panas bumi digunakan untuk air
conditioning. Dewasa ini, di berbeagai tempat di Jepang juga menggunkan air
conditioning yang menggunakan fluida panas bumi.. Skema proses pendinginan
diperlihatkan pada Gambar 3.14.
Gambar 3.14
Sistem Pendinginan Udara dengan Memanfaatkan Fluida Panas bumi

Filipina memanfaatkan air limbah panas dari PLTP untuk pengeringan kopra,
mangga, nangka, nanas, dan ikan sebelum diinjeksikan kembali kedalam reservoir.
Untuk keperluan tersebut Filipina membangun fasilitas pengeringan di lapangan
Southern Negros yaitu di dekat lokasi sumur injeksi. Air limbah panas (temperatur 160
ºC) di sini pada dasarnya digunakan untuk memanaskan air lain yang akan digunakan
untuk memanaskan udara di ruang pengering. Untuk media pertukaran panas
digunakan alat penukar kalor, yaitu shell and tube heat exchanger (alat penukar kalor
pertama) dan finned-tube heat exchanger (alat penukar kalor kedua). Skema proses
pemanasan pengeringan diperlihatkan pada Gambar 3.15 (Saptadji, 2001). Sedangkan
di Indonesia pemanfaatan panas bumi dalam sektor non-listrik masih sangat terbatas,
hingga saat ini, selain hanya untuk pariwisata yang umumnya dikelola oleh daerah
setempat, fluida panas bumi belum dimanfaatkan untuk sektor non-listrik lainnya.
Misalnya panas bumi yang ada di daerah Saguling (Jawa Barat) yang berupa mata air
panas dengan temperatur cukup tinggi, hanya dimanfaatkan untuk tujuan wisata
sebagai tempat permadian dan pengobatan penyakit kulit. Padahal, panas bumi ini
dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, misalnya pemanfatan langsung (direct
use) untuk agro-bisnis seperti pembibitan, pertanian jamur, pengering, dan yang
lainnya. Untuk mengembangkan pemanfaatan panas bumi dalam sektor non-listrik di
Indonesia masih diperlukan riset dan kajian lebih lanjut. (Direktorat Panas Bumi, 2017

Anda mungkin juga menyukai