Anda di halaman 1dari 41

AKTIFITAS FAKTOR VII PADA SEPSIS

SULIARNI

Bagian Patologi Klinik


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RINGKASAN

Sepsis merupakan suatu penyakit yang sangat berbahaya dan mempunyai


angka kematian yang tinggi. Banyak laporan yang menunjukan bahwa pada sepsis
terjadi gangguan pembekuan, dimana dapat menyebabkan terjadinya komplikasi
suatu sindroma Disseminated Intravascular Coagulation ( DIC). Mekanisme yang
amat penting dalam patogenesis DIC pada sepsis adalah aktifasi dari jalur
pembekuan ekstrinsik pada sistim pembekuan darah, sedangkan jalur instrinsik pada
sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Dari jalur ekstrinsik tersebut maka
banyak laporan yang menunjukan bahwa tissue factor (TF) banyak terlibat didalam
kejadian DIC pada sepsis. Hal ini terbukti bahwa inhibasi dari TF oleh tissue factor
pathway inhibitor (TFPI) dapat mencegah terjadinya DIC. Selain tissue factor, faktor
VII (FVII) juga merupakan komponen dari jalur ekstrinsik, tetapi perannya pada
sepsis masih kurang jelas dan penelitian faktor VII pada sepsis hingga saat ini masih
sedikit sekali. Padahal pasien- pasien sepsis yang berkembang menjadi DIC
mempunyai angka kematian yang lebih tinggi daripada pasien- pasien sepsis tanpa
tanda-tanda DIC. Pada suatu studi prospektif pada pasien-pasien sepsis dan septic -
shock dengan neutropenia yang diinduksi kemoterapi, dilaporkan bahwa terjadinya
penurunan aktifitas faktor VIIa dan faktor VII Ag yang secara signifikan lebih besar
pada pasien- pasien yang menderita septic -shock. Karena hal tersebut maka kami
lakukan penelitian, yaitu berupa pemeriksaan faktor VII pada pasien- pasien sepsis
yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi penurunan faktor VII pada sepsis
secara umum.
Penelitian dilakukan bulan Mei 2001 sampai dengan bulan Juli 2002, didapati
28 pasien sepsis dan 18 kontrol. Penderita sepsis adalah pasien yang dirawat-inap di
bagian Penyakit Dalam FK USU/RS H. Adam Malik Medan, yang memenuhi kriteria
sepsis menurut “The American College of Chest Physicians (ACCP) and the Society
for Critical Care Medicine (SCMM) Consensus Conference on Standardized Definitions
of Sepsis”. 46 subjek pada awalnya di rekrut dimana 28 adalah pasien sepsis dan 18
subjek kontrol. Dari 28 pasien sepsis tersebut, 7 orang dikeluarkan dari penelitian
karena tidak memenuhi syarat berdasarkan kriteria ekslusi, sehingga populasi akhir
berjumlah 39 orang dimana 21 orang menderita sepsis dan 18 orang kontrol. Sampel
darah diambil dan dilakukan pemeriksaan assay dari FVII, protrombin time ( PT),
activated partial thromboplastin time ( aPTT), thrombin time (TT), jumlah trombosit,
jumlah leukosit dan laju endap darah.
Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat statistik computer
dengan program OXSTAT- V. Perbedaan dua parameter ditest dengan test
kemaknaan Mann- Whitney U, dianggap bermakna apabila <0.05. Sedangkan
hubungan dua parameter dilakukan dengan menggunakan correlation tests.
Berdasarkan analisa statistik diperoleh hasil bahwa faktor VII pada pasien –
pasien sepsis aktifitasnya secara bermakna lebih rendah dibanding kontrol
(p<0.001), dimana mean ± SD pada sepsis 65.50 ± 18.10% dan kelompok kontrol
mean ± SD adalah 129.91 ± 18.49%. Protrombin Time (PT) pada pasien-pasien
sepsis lebih tinggi dari kontrol (p<0.001). dan dijumpai korelasi terbalik antara
faktor VII dan PT, dimana koefisien korelasinya r = - 0.622, p = 0.003.

©2003 Digitized by USU digital library 1


Data ini menunjukan bahwa aktivitas faktor VII pada pasien- pasien sepsis
lebih rendah daripada orang normal.

BAB I
PENDAHULUAN

Sepsis adalah suatu keadaan dimana terjadi reaksi peradangan sistemik


(Inflammatory systemic reaction) yang dapat disebabkan oleh invasi bakteri, virus,
jamur atau parasit. Banyak laporan yang menunjukan adanya bukti- bukti kuat
bahwa pada sepsis terjadi gangguan pembekuan darah (coagulation) atau gangguan
keseimbangan reaksi peradangan (inflammatory reaction). 16,24,32,35,45
Salah satu penyulit yang paling memberikan efek yang sangat berbahaya
pada sepsis adalah terjadinya kerusakan organ ( organ damage), yang apabila dalam
fase lanjut akan melibatkan lebih dari satu organ ( multiple organ failure=MOF).
Keadaan MOF ini biasanya berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. Pada
masa lalu dianggap bahwa MOF tersebut suatu keadaan yang semata- mata hanya
diakibatkan oleh terjadinya penumpukan fibrin pada micro-thrombus yang terbentuk.
Dari keadaan inilah dianggap sebagai awal dari proses yang memacu terjadinya
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Namun demikian, para peneliti juga
melihat kenyataan yang agak kontradiktif antara DIC dan sepsis. Pada awalnya para
peneliti beranggapan bahwa DIC adalah suatu kelainan peradarahan massif yang
tidak dapat dihentikan, tetapi pengamatan yang lebih teliti memperlihatkan bahwa
pada sepsis yang sering terlihat adalah MOF yang lebih dominan dan bahkan kadang-
kadang perdarahan dapat tidak terjadi sama sekali. Kalaupun perdarahan timbul
biasanya terjadi pada fase yang sangat lanjut. Hal ini menyebabkan peneliti
menyadari bahwa ada satu mekanisme lain akan terjadinya MOF pada sepsis diluar
jalur pemacuan pembekuan darah semata.2,11,20,45.
Pada masa akhir- akhir ini telah dicapai kemajuan yang sangat pesat akan
pengetahuan mengenai patogenesis dari DIC pada sepsis dan penyulitnya yaitu MOF.
Pada keadaan normal terjadi keseimbangan antara faktor procoagulant dan
proinflammatory, sedangkan pada sepsis keseimbangan tersebut terganggu. Pada
sepsis, kompleks interaksi antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis, tidak seimbang
sehingga menimbulkan keadaan dimana proinflammatory pada sepsius sering terjadi
lebih dominan ataupun sebaliknya. Dan apabila gangguan keseimbangan ini terjadi
meluas (disseminated) maka terjadilah syndroma DIC beserta MOF.16,32.
Peran terjadinya DIC pada sepsis ini telah banyak dibuktikan oleh para
peneliti dengan terpacunya sistim pembekuan darah endotoksin maupun eksotoksin
melalui mediator tumor necrosis factor (TNF) ataupun interleukin- 1 (IL- 1)16,24,32 .
bukti- bukti memperlihatkan bahwa ternyata jalur instrinsik pembekuan darah pada
sepsis tidak memainkan peran yang dominan. Sedangkan banyak bukti kuat yang
menunjukan bahwa jalur ekstrinsik yang memegang peran yang kuat. Dari jalur
ekstrinsik tersebut maka banyak sekali laporan yang menunjukan bahwa tissue
factor banyak terlibat dalam kejadian DIC pada sepsis. Hal ini diperlihatkan oleh
turunnya kadar tissue factor pathway inhibitor( TFPI), yang merupakan inhibitor dari
tissue factor pada sepsis.1,16,29. Sangat mungkin turunnya TFPI tersebut disebabkan
oleh pemakaian yang berlebihan (over-consumption) dari inhibitor tersebut oleh
karena dipakai untuk menetralkan tissue factor yang terus menerus dihasilkan oleh
proses sepsis. Sangat banyak bukti- bukti keterlibatan tissue factor dan TFPI pada
sepsis.
Selain tissue factor maka ada juga suatu komponen lain pada jalur ekstrinsik
yaitu coagulant factor VII (FVII) tetapi perannya pada sepsis masih kurang jelas.

©2003 Digitized by USU digital library 2


Sebuah laporan tentang FVII pada manusia datangnya dari penelitian pada sepsis
pada pasien- pasien yang sedang mengalami pengobatan anti-cancer
chemotherapy .33 Dalam laporan ini FVII melihat lebih rendah dibandingkan orang
yang tidak mengalami sepsis. Tetapi hal ini sulit dibuktikan bahwa FVII adalah
benar- benar turun pada sepsis, karena pemakaian chemotherapy sendiri dapat
mempengaruhi pembekuan darah. Selain itu keadaan keganasannya sendiri dapat
juga mempengaruhi sistim haemostasis.
Maka secara umum sampai saat ini pengaruh sepsis pada FVII masih belum
jelas diungkapkan.

I.1. LATAR B ELAKANG PENELITIAN


Oleh karena kurangnya laporan tentang pengaruh sepsis pada FVII maka
praktis tidak ada gambaran yang pasti tentang bagaimana hubungan FVII dengan
kejadian sepsis. Akan tetapi laporan tentang peran jalur ekstrinsik pembekuan darah
pada sepsis hanya datang dari tissue factor dan inhibitornya tissue factor pathway
inhibitor (TFPI). Sedangkan komponen lain dari jalur ekstrinsik yaitu FVII praktis
tidak pernah dilaporkan. Suatu laporan datangnya dari group Italia dimana FVII
menurun pada sepsis yang terjadi pada pasien neutropenia akibat menjalani
pengobatan kemoterapi.
Dipihak lain kita tahu bahwa FVII sendiri melakukan ikatan kompleks dengan
tissue factor (TF). Kompleks ini akan mengaktifasi FVII yang akhirnya akan
merangsang reaksi enzima tik yang mengubah procoagulant faktor X (FX) untuk
menjadi faktor X dalam bentuk aktif (Fxa). Keseluruhan reaksi ini dapat di inhibisi
oleh TFPI yang mana menyebabkan reaksi pembentukan trombin terhalang. Melihat
reaksi ikatan kompleks yang terbentuk antara FVII dengan TF maka dapat diduga
bahwa pada fase- fase awal terjadinya kompleks akan terjadi peningkatan aktifitas
FVII. Tetapi pada sepsis dimana pelepasan TF terjadi terus menerus akibat ekspresi
yang terus menerus dari cytokines, maka FVII akan habis terpakai oleh karena
sintesa-nya dihati terjadi dalam kecepatan yang terbatas, berbeda dengan pelepasan
TF pada sepsis yang dapat terjadi terus menerus.

I.2. HIPOTESA PENELITIAN


Akibat ikatan kompleks tissue factor (TF) dengan FVII didalam sirkulasi
dara h, dimana pada sepsis TF terus menerus dilepaskan oleh jaringan, dan hal ini
berbeda dengan FVII yang disintesa di hati dalam jumlah terbatas, maka hipotesis
penelitian ini adalah : Terjadi penurunan aktifitas FVII didalam darah pada sepsis.

I.3. TUJUAN PENELITIAN


Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hipotesis bahwa
terjadi penurunan faktor VII pada sepsis.

I.4. MANFAAT PENELITIAN


Mendapatkan informasi tentang aktifitas jalur ekstrinsik pembekuan darah
khususnya FVII pada sepsis, dengan kemungkinan pada suatu hari kelak dapat
digunakan sebagai alat pembantu klinisi untuk meramalkan akan terjadinya
gangguan pembekuan darah yang akan manifest pada sepsis.

©2003 Digitized by USU digital library 3


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. HEMOSTASIS
Hemostasis adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh yang amat penting
dalam menghentikan perdarahan pada pembuluh darah yang luka.43
Mekanisme hemostasis mempunyai dua fungsi primer yaitu untuk menjamin
bahwa sirkulasi darah tetap cair ketika di dalam pembuluh darah, dan untuk
menghentikan perdarahan pada pembuluh darah yang luka. Hemostasis normal
tergantung pada keseimbangan yang baik dan interaksi yang kompleks, paling
sedikit antara 5 komponen- komponen berikut : 14
1. Pembuluh darah
2. Trombosit
3. Faktor- faktor koagulasi
4. Inhibitor
5. Sistem fibrinolisis

II.1.1. Pembekuan darah


Dinding pembuluh darah mempunyai 3 lapisan, yaitu :
Tunica intima yang terdiri dari jaring ikat endotelium dan subendotelium, tunica
media dan tunica adventitia.14
Konstriksi setelah trauma merupakan reaksi instrinsik dari pembuluh darah,
terutama pada arteriole kecil dan kapiler. Vasokonstriksi setelah trauma dapat
mengurangi/menurunkan aliran darah ke daerah luka. Vasokonstriksi lokal yang di
induksi oleh serotonin ( 5- hydroxytriptamine) telah diteliti secara luas. Sejumlah
besar dari serotonin dilepas dari trombosit pada sumbat hemostasis primer.
Thromboxane A2 (TX-A2) yang disintesis dan dilepaskan oleh trombosit yang
teraktifasi juga menginduksi kontraksi otot polos pada konsentrasi yang amat kecil,
serta efek yang dapat membentuk (menyusun) suatu mekanisme hemostasis yang
penting. Berbgai vasokontriktor lain dapat terbentuk pada sumbat hemostatik,
seperti fibronepeptide B, epinephrine dan norepinephrine. Fibrinogen Degradation
Product (FDP) menghambat kontraksi otot polos, sedangkan Prostaglandin E-2,
histamin, dan prostacyclin bekerja sebagai vasodilator.9
Endotelium merupakan suatu regulator penting dalam proses hemostasis dan
antitrombotik. Endotelium merupakan sumber utama dari von Willebrand factor
(vWF)yang lepas dari sel- sel endotelium setelah terpapar fibrin, trauma, atau
pemberian vasopressin. Sel- sel endotel juga mengandung suatu inhibitor dari aktifasi
plasminogen. Patelet Activating Factor (PAF), fibronectin, dan tissue thromboplastin
disintesis sel- sel endotelium yang terstimulasi. 9

II.1.2. Trombosit
Trombosit merupakan sel kecil yang berinti, berbentuk diskoid dengan
diameter rata- rata 1,5- 3 µm. Trombosit dihasilkan dan dilepas dari megakariosit
yang ada disumsum tulang dengan waktu maturasi 4- 5 hari, dan masa hidup
didalam sirkulasi kira- kira 9- 10 hari. 23,43 Jumlah trombosit dalam darah vena orang
dewasa normal rata- rata 250.000/µL (140- 440.000/ µL). 8

II.1.2.1. Produksi trombosit


Asal trombosit dari megakariosit telah diketahui sejak tahun 1910, tapi proses
produksi trombosit yang disebut dengan thrombocytopoiesis masih belum jelas.
Megakariosit berasal dari pluripotential stem cell. Progenitor yang paling awal
adalah Megakaryocitic Burst-Forming Unit (BFU-Mega), dan progenitor selanjutnya
adalah Colony-Forming Unit Megakaryocyte (CPU-Mega) dengan “ploidy” 2N. 15

©2003 Digitized by USU digital library 4


Prekursor pertama yang dapat dikenal secara morfologi adalah
megakarioblas. Sel ini berdiameter 15- 50µm, berinti besar,oval atau berbentuk ginjal
dengan beberapa anak inti. Selanjutnya sel ini akan mengalami pematangan menjadi
promegakariosit (basophilic megakaryocyte). Sel ini berdiameter 20- 80µm, bentuk
inti oval atau tidak teratur dan kandungan granula pada sitoplasma bertembah
banyak. Dari prekursor ini dibentuk megakariosit granular matang, yang
merupakan sel raksasa dengan diameter 30 – 160 µm, bentuk ini tidak teratur,
kromatin biru gelap, kaya akan sitoplasma yang berwarna biru terang mengandung
granula asidifilik. Dalam proses pematang megakarioblas mengalami endoduplikasi
(endomitosis), yaitu proses dimana terjadi penggandaan inti tetapi tidak membelah,
dan ini menghasilkan inti yang polypoid. Tiap- tiap divisi menghasilkan sejumlah inti
dua kali lipat, yang menjadi suatu seri sel- sel yang mengandung 4,816,32 dan
jarang 64 set kromoson, jumlah ini juga dinyatakan sebagai inti (N), “ploidy”, atau
class. Pematangan sitoplasma ditandai dengan peningkatan progressif dalam
banyaknya dan granularity, dan hilangnya sifat basofilik. Pematangan inti dan
sitoplasma menghasilkan peningkatan volume sel. Pada manusia, lamanya proses
pematangan megakariosit kira-kira 5 hari.8
Jumlah trombosit yang dapat dihasilkan megakariosit tidak diketahui, akan
tetapi perkiraan berdasarkan pada bukti ultrastruktural dan perhitungan volume
sitoplasma dan massa megakariosit menunjukan bahwa setiap megakariosit mungkin
dapat menghasilkan 1000 – 5000 trombosit. Itu kira-kira perhari dihasilkan 35.000
trombosit permikroliter darah. Pada waktu dibutuhkan, produksi trombosit dapat
meningkat delapan kali lipat.15
Tromb osit yang baru dibentuk akan disimpan dalam limpa selama 24 – 48
jam sebelum masuk ke sirkulasi umum. Kira- kira dua pertiga dari massa trombosit
total berada dalam sirkulasi, dan sepertiga dalam limpa atau ekstravaskuler lain.8

II.1.2.2. Struktur trombosit


Membran trombosit, tebal kira- kira 7,5 nm terdiri darui trilaminar lipoprotein
dengan filament -filament kontraktil submembran, tiga tipe granul dan suatu jaringan
internal kanalikuli yang irreguler. 14
Jenis- jenis granul tersebut adalah :
- Dense granule, yang melepaskan adenosine diphosphate (ADP), adenosine
triphosphate (ATP), serotonin dan ion-ion kalsium.
- Alpha granule , yang melepaskan unsur- unsur termasuk platelet-derived
growth factor (PDGF), platelet factor 4 (PF4), beta thromboglobulin (βTG)von
Willebrand Factor (vWF), factor V, fibrinogen dan fibronectin.
- Lisosomal granule.
Membran trombosit terdiri dari fosfolipid, kolesterol, glikolipid dan paling
sedikit 9 glikoprotein (GP), GP I – IX.14 Glikoprotein adalah komponen yang penting
dari membran trombosit, yang memenuhi sejumlah fungsi spesifik dalam fisiologi
trombosit.8
Glikoprotein Ia (GP Ia) terlibat dalam interaksi trombosit dengan kolagen
selama adhesi trombosit ke subendotelium. GP Ib mengandung binding site untuk
vWF, quinidine- induced platelet autoantibodies dan ristocetin. Juga mengandung
binding site untuk trombin. Defisiensi GP Ib dijumpai pada pasien dengan Bernard-
Soulier sindrome. In vitro, vWF tidak berikatan ke trombosit Bernard- Soulier apabila
ditambahkan ristocetin pada plasma kaya trombosit. Kompleks GP Ib- IX adalah
reseptor untuk vWF. Dilaboratorium klinik, ristocetin akan menginduksi aglutinasi
trombosit normal pada plasma dengan konsentrasi vWF yang normal, dan tidak
terjadi interaksi antara vWF dan GP Ib pada trombosit jika tidak ada ristocetin.
GP Iib dan IIIa membentuk kompleks atau heterodimer, yang didapati pada
trombosit yang aktif. Kompleks ini merupakan reseptor untuk fibrinogen, yang

©2003 Digitized by USU digital library 5


penting untuk agregasi trombosit. Kompleks glikoprotein ini juga mengikat vWF.
Defisiensi GPIIa dan GP IIIa dalam trombosit dijumpai pada pasien dengan
Glanzman’s thrombasthemia.8,31

II.1.2.3.Faktor-faktor koagulasi trombosit.


Berbagai substansi berhubungan dengan, atau berasal dari trombosit, terlibat
dalam pembekuan darah, yaitu faktor trombosit 1 – 10. Hanya tiga yang khusus
untuk trombosit yaitu faktor trombosit 2,3 dan 4. Istilah faktor trombosit 1 ( platelet
factor 1 = PF- 1) merupakan faktor koagulasi V, dan PF- 5 merupakan fibrinogen
trombosit. Suatu inhibitor plasmin yang berhubungan dengan trombosit kadang-
kadang diberi istilah PF- 6. Kepentingan fisiologik dari PF- 7 ( cothromboplastin), PF- 8
(antithromboplastin), dan PF- 9 (accelerator globulin stabilizing factor)masih tidak
jelas. Istilah- istilah ini dan istilah PF- 10 ( serotonin), jarang digunakan.8
In vitro, PF- 2 (fibrinogen activating factor) menghambat antithrombin III
menginduksi agregasi trombosit, dan mempercepat reaksi trombin- fibrinogen.
Peranan fisiologiknya tidak jelas.
PF- 3 diperlukan dalam proses pembekuan darah, yaitu interaksi antara faktor
IXa dan faktor VIII, yang mengaktivasi faktor X, dan interaksi antara faktor Xa dan
faktor V membentuk prothrombinase.
PF- 4 didalam plasma bergabung dengan heparin dan menginaktivasi
antikoagulan ini, juga menghambat kerja dari koagenase granulosit dan kulit, dan
mempermudah agregasi trombosit dan diinduksi ADP .8

II.1.2.4. Faktor-faktor koagulasi plasma yang berhubugan dengan


trombosit.
Trombosit mengandung jumlah yang signifikan dari berbagai faktor koagulasi
yaitu fibrinogen, faktor V, von Willebrand faktor, faktor XI, faktor XIII dan High
Molekular Weight Kininogen (HMWK). Beberapa dari faktor- faktor ini ( fibrinogen,
faktor V, vWF dan HMWK) disintesis dalam megakariosit, terdapat dalam α–granule
dan disekresi apabila trombosit teraktifasi.
Fibrinogen trombosit secara biokimia berbeda dengan fibrinogen plasma.
Fibrinogen yang terikat dipermukaan ( surface-bound fibrinogen) penting untuk
agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP dan mungkin terlibat dalam fungsi
trombosit yang lain.
Von Willebrand Factor, merupakan suatu subunit dari faktor VIII yang
mempunyai berat molekul besar, terdapat dalam megakariosit, pada membran
trombosit, dan konsentrasi yang lebih besar pada α–granule. Bentuk plasma dan
bentuk trombosit dari vWF berikatan ke glikoprotein dan glikolipid pada membran
trombosit, walaupun hanya vWF plasma yang penting untul adhesi trombosit normal.
Pencucian trombosit dapat menghilangkan sejumlah molekul faktor VIII proakogulen
( VIIIc) tetapi vWF tidak.
Sedangkan kebanyakan aktifasi faktor V yang berhubungan dengan trombosit
terletak dalam α–granule. Faktor V dan bentuk faktor V yang diaktifasi trombin
berikatan ke “ resting” trombosit, dimana merupakan binding site untuk faktor Xa
yang diperlukan untuk membentuk protrombinase. Dan banyak 50% faktor XIII
dalam darah berhubungan dengan trombosit dan disintesa oleh megakariosit.8

II.2.5. Fungsi trombosit.


Apabila pembuluh darah rusak, struktur subendotelium termasuk basement
membrane, kolagen dan mikrofibril terbuka. Trombosit akan menempel ke
permukaan yang rusak untuk membentuk sumbat (platelet plug). 14 Dalam
mekanisme pembentukan plug tersebut, trombosit bekerja dengan :

©2003 Digitized by USU digital library 6


Adhesi trombosit
Adhesi trombosit adalah perlekatan trombosit ke permukaan non- trombosit.
Proses ini terjadi setelah trauma vaskuler, dimana trombosit menempel (melekat)
terutama pada serat kolagen di subendotelium. Adhesi trombosit sangat bergantung
pada vWF, suatu protein plasma yang dihasilkan dan disekresi oleh sel-sel endotel
dan terdapat pada matriks subendotelium, dan juga disekresi oleh trombosit yang
aktif.
vWF dapat berikatan ke membran trombosit dengan pertolongan 3 reseptor
yang berbeda yaitu reseptor GP Ib dekat N-terminal, reseptor GP IIb- IIIa pada C-
terminal, dan binding site N- terminal ke tiga.9
Trombosit berikatan ke kolagen melalui vWF dan GP Ib-vWF mula- mula
melekat pada serat kolagen, kemudian dengan ikatan trombosit ke vWF melalui GP
Ib-IX membran trombosit. vWF disekresi oleh endotelium pembuluh darah, dan vWF
plasma dan vWF yang ada subendotelium dapat memperantarai adhesi trombosit.
Yang menarik bahwa, trombosit sirkulasi normal tidak berinteraksi dengan vWF yang
ada dalam plasma walaupun ternyata trombosit mempunyai GP Ib- IX pada
permukaannya.
Setelah adhesi, trombosit mengala mi perubahan bentuk dari bentuk disk
menjadi bentuk yang lebih sferis dengan membentuk pseudopodia. Pada waktu yang
sama terjadi proses sekresi dimana beberapa substansi yang aktif secara biologis
yang disimpan dalam granul trombosit secara aktif dikeluarkan dari sel- sel yang
melekat ( reaksi pelepasan).
Zat- zat yang dilepaskan termasuk ADP, serotonin, β- TG, PF4, PDGF, TX- A2, dan
vWF. Substansi- substansi yang dilepaskan mempercepat pembentukan plug
trombosit dan berperan dalam proses perbaikan jaringan.43

Agregasi trombosit
ADP yang dilepaskan oleh trombosit merangsang perlekatan trombosit
dengan trombosit lain. Fenomena ini disebut agregasi trombosit, yang akan
meningkatkan ukuran plug pada tempat yang luka. Agregasi trombosit diikuti dengan
pelepasan isi granul yang merangsang trombosit lain untuk beragregasi. Disamping
ADP berbagai agent termasuk epinefrin, kolagen, trombin, kompleks imun dan faktor
yang mengaktifasi trombosit ( platelet-activating factor) dapat menyebabkan
agregasi dan sekresi trombosit.43
Prostaglandin, berperan penting dalam memperantarai reaksi pelepasan dan
agregasi. Kolagen dan epinefrin mencetuskan aktifasi dari satu atau lebih fosfolipase
yang ada dalam membran trombosit. Fosfolipase ini kemudian menghidrolisa
fosfolipid membran, melepaskan asam arakhidonat. Asam arakhidonat
dimetabolisme oleh enzim siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin
endoperoksida yang tidak stabil, dan ini kemudian dirubah menjadi tromboksan A2.
Tromboksan A2 adalah suatu substansi yang sangat poten yang menginduksi
agregasi dan sekresi trombosit.43
Fibrinogen diperlukan untuk agregasi trombosit. Fibrinogen berikatan dengan
reseptor- reseptor spesifik pada permukaan trombosit yaitu glikoprotein IIb/IIIa
(GPIIb/IIIa), dan menghubungkan trombosit dengan trombosit lainnya. Pasien-
pasien dengan kelainan kongenital dimana tidak terdapat fibrinogen (
afibrinogenemia) atau GPIIb/IIIa ( Glanzmann’s Thrombasthemia), masa
perdarahannya memanjang oleh karena kegagalan agregasi trombosit.
Trombospondin, suatu unsur pokok dari α- granul trombosit juga terlibat dalam
agregasi trombosit.43

©2003 Digitized by USU digital library 7


II.1.3. FAKTOR PEMBEKUAN
Faktor- faktor pembekuan darah adalah glikoprotein, yang kebanyakan
diproduksi dihepar dan disekresi ke sirkulasi darah. Tabel berikut ini menunjukan
daftar faktor- faktor pembekuan darah yang dinyatakan dalam angka Romawi, serta
sinonim dan beberapa sifat- sifatnya.43.
Daftar faktor- faktor pembekuan. 43
Faktor Sinonim Berat Konsentrasi Masa
molekul dalam plasma paruh in
(mg/dl) vivo (jam)
I Fibrinogen 340.000 200-400 100-150
II Protrombin 70.000 10 50- 80
III Tromboplastin jaringan, 44.000 0
tissue factor
IV Ion Kalsium 40 9- 10
V Proaccelerin, faktor labil 330.000 1 24
VII Serum prothrombin 48.000 0.05 6
conversion accelarator
VIII (SPCA), faktor stabil 330.000 0.01 12
Von Willebrand Antihemophilic factor (AHF) (250.000)n* 1 24
Faktor
IX Faktor Christmas 55.000 0.3 24
X Faktor Stuart- Prower 59.000 1 25- 60
XI Plasma thromboplastin 160.000 0.5 40- 80
antecedent (PTA)
XII Faktor Hagemen 80.000 3 50- 70
XIII Fibrin- stabilizing factor (FSF) 320.000 1- 2 150
Prekallikrein Faktor Fletcher 85.000 5 35
High- molekular- Fizgerald, Flaujeac, Williams 120.000 6 150
Weight kininogen factor, contact activation
cofactor
*n menunjukan nomor subunit
Beberapa faktor- faktor pembekuan darah disintesis di hati, faktor II, VII, IX
dan X, begitu juga faktor XI, XII, XIII, dan faktor V. Sebagian besar faktor- faktor
pembekuan darah ada dalam plasma, pada keadaan normal ada dalam bentuk inaktif
dan nantinya akan dirubah menjadi bentuk enzim yang aktif atau bentuk kofaktor
selama koagulasi. 43
Faktor- faktor pembekuan darah diklasifikasikan ke dalam beberapa group
berdasarkan fungsinya. Faktor XII, faktor XI, prekallikrein, faktor X, faktor IX, faktor
VII, dan protrombin merupakan zimogen dari serine protease akan dirubah menjadi
enzim yang aktif selama pembekuan darah. Sedangkan faktor V, faktor VIII, high-
molecular-weight kininogen (HMWK), dan tissue factor yang terdapat di
ekstravaskuler dan harus kontak dengan darah untuk berfungsi, bukan merupakan
proenzim tetapi berfungsi sebagai kofaktor. Faktor V, faktor VIII, dan HMWK harus
diaktifasi agar berfungsi sebagai kofaktor. 43
Faktor X, faktor IX, faktor VII, dan protrombin disebut faktor- faktor yang
tergantung vitamin K ( vitamin K-dependent factor), karena untuk pembentukannya
yang sempurna memerlukan vitamin K. Protein- protein ini mengandung residu asam
amino yang unik, γ- carboxyglutamic acid (Gla).
Vitamin K terdapat dalam sayur- sayuran yang berwarna hijau dan juga
disintesis oleh bakteria di dalam usus. Vitamin K berfungsi sebagai suatu kofaktor
yang penting untuk sintesis faktor II, faktor VII, faktor IX, faktor X, protein C dan
protein S, dimana vitamin K merupakan kofaktor penting yang diperlukan untuk
menyelesaika n post-translational dari sintesis faktor- faktor pembekuan yang

©2003 Digitized by USU digital library 8


tergantung vitamin K, yaitu untuk reaksi karboksilasi dari asam glutamat menjadi
residu γ- carboxyglutamic acid. Residu Gla adalah tempat ikatan ke protein- protein ini
dan diperlukan untuk interaksinya dengan fosfolipid membran. 23,40,41,44 Kegagalan
dalam karboksilasi yang terjadi pada defesiensi vitamin K atau pada beberapa
kelainan hati ( cirrhosis, hepatocelluler carcinoma), terjadi penumpukan faktor- faktor
pembekuan dengan tidak ada atau penurunan gamma-carboxylation sites. Non- atau
des-carboxylated protein ini juga disebut protein-induced in vitamin K absence
(PIVKA). 26,28,40
Obat-obatan antikoagulan oral ( Coumarin, Warfarin), tidak bekerja di dalam
sirkulasi tetapi di hati, dimana obat- obatan tersebut menghambat sintesis dari
faktor- faktor pembekuan yang tergantung vitamin K. 10

II.1.3.1. Faktor VII


Faktor VII adalah suatu glikoprotein rantai tunggal, dengan berat molekul
48.000 pada manusia dan pada lembu 53.000. konsentrasinya didalam plasma
sangat rendah, yaitu 0.13 – 1 µg/ml.28,51 Seperti faktor- faktor pembekuan lain yang
tergantung vitamin K ( faktor II,IV, dan X), FVII disintesis di dalam hati, dan ginjal
juga merupakan sumber FVII. Vitamin K dibutuhkan untuk karboksilasi residu asam
glutamat menjadi γ-carboxyglutamic acid yang penting untuk Ca2+- mediated
phospholipid binding.5 1 .
Kadar faktor VII meningkat selama kehamilan dan pada pemakaian
kontrasepsi yang mengandung oestrogen. Hal ini menunjukan bahwa sintesis atau
sekresinya dibawah kontrol hormonal, tetapi mekanismenya tidak jelas.51
Faktor VII merupakan suatu proenzim ( zymogen) yang berfungsi bersama -
sama dengan tissue factor dalam jalur ekstrinsik proses pembekuan darah. Faktor
VII yang bersikulasi didalam plasma secara predomi nan dalam bentuk zymogen
inaktif, dan mempunyai waktu paruh yang pendek dari semua faktor-faktor koagulasi
(4-6 jam ). Secara elektroforesis, faktor VII bermigrasi sebagai suatu α- atau β-
globulin.7,30 vitamin K lainnya, seperti faktor IX, faktor X, dan protein C. Bagian
NH2 -terminal molekul mengandung 10 γ- carboxyglutamic residu dan β-
hydroxyaspartic acid pada posisi 63. Zimogen faktor VII dirubah menjadi bentuk
aktif faktor VIIa oleh beberapa serin protease termasuk protrombin, faktor IXa,
faktorXa, faktor VIIa dan faktor XIIIa melalui pemecahan suatu ikatan peptida
tunggal ( Arg152- Ile153).30 Struktur tersebut termasuk N-terminal modul dengan 9-
12 residu Gla diikuti oleh 2 bagian epidermal growth factor (EGF) dan modul C-
terminal serine protease. Bagian ikatan Ca 2 +di dapati dibagian Gla, bagian 1 EGF dan
bagian protease. Ikatan ion Ca2 + ke satu atau lebih pada bagian ini penting untuk
interaksi antara faktor VII dengan tissue faktor (TF), sedangkan ikatan beberapa
bagian dalam bagian Gla penting untuk ikatan phospholipid (PL).30,38

Bentuk-bentuk faktor VII


Faktor VII terdapat dalam beberapa bentuk didalam plasma, walaupun belum
semua bentuk dibuktikan dengan studi laboratorium. Secara teoritis, faktor VII dapat
dalam bentuk rantai tunggal, faktor VIIa rantai dua, kompleks faktor VII- tissue
factor, kompleks faktor VIIa- tissue factor, faktor VII- fosfolipid, dan kompleks faktor
VIIa dengan tissue factor pathway inhibitor. Walaupun masih kontroversial,
dilaporkan hanya faktor VII yang mempunyai aktifitas enzimatik.25
Jenis-jenis pemeriksaan faktor VII
Pemeriksaan kadar faktor VII dalam plasma dapat dibagi atas :
1. Total / massa faktor VII / F VII- antigen ( FVII:Ag)
2. Aktifitas faktor VII prokoagulan ( FVII:C)
3. Activated factor VII (FVIIa)

©2003 Digitized by USU digital library 9


Masa faktor VII diperiksa secara kwantitatif dengan teknik pemeriksaan
imonologi misalnya enzyme- linked immunosorbent assay ( ELISA).
Batasan nilai : 292 – 656 ng/ml.
Pemeriksaan faktor VII:C adalah pengukuran aktifitas dari FVII plasma
berdasarkan pemeriksaan adanya bekuan, dimana plasma dicampur dengan
tromboplastin, kalsium klorida, dan plasma defisiensi faktor VII. Pemeriksaan ini
berdasarkan pada kemampuan dari plasma pasien (test) untuk mengkoreksi
protrhrombin time dari plasma defisiensi faktor VII, dimana derajat koreksi
berhubungan dengan kadar faktor VII dalam plasma test. Faktor VII yang ditentukan
dengan cara ini disebut factor VIIc activity. Metode yang paling umum digunakan
untuk menentukan aktifitas faktor VII adalah one-stage modified prothrombin time.
Batasan nilai : 40- 150%. 25
Masalah dengan menggunakan pemeriksaan aktifitas ke pengukuran nilai
plasma bentuk preform FVIIa adalah bahwa FVIIa sangat lemah sebagai enzim untuk
bisa dideteksi dalam ada tidaknya protein kofaktor yaitu tissue factor, dimana tissue
factor akan segera mengubah dari bentuk zymogen FVII:C, kecuali pencampuran
dari tissue factor dan phospholipid digunakan sebagai pengganti tromboplastin.
Kalibrasi pemeriksaan dilakukan terhadap standard FVIIa yang dimurnikan dan
hasilnya dinyatakan dalam satuan nanogram/milliliter. Batasan nilai : 0.5 – 8.4
ng/ml.

II.1.3.2. Tissue factor ( (TF)


Tissue factor ( Tromboplastin, faktor III), adalah suatu lipoprotein yang dalam
jumlah besar terdapat dalam jaringan dan berfungsi dalam koagulasi dengan
berinteraksi dengan faktor VII pada jalur ekstrinsik. 7,13 Selain itu tissue factor juga
terdapat pada dinding pembuluh darah, dimana aktifitas koagulasinya akan dimulai
bila pembuluh darah mengalami kerusakan ( damaged), dan TF dapat diinduksi pada
sel monosit dan sel- sel endothelium pembuluh darah oleh berbagai cytokine, dimana
TF yang dieksresikan oleh sel- sel ini dapat menimbulkan respons koagulasi pada
pembuluh darah yang intact.30
TF manusia terdiri dari 263 asam amino, dan berat molekulnya bervariasi dari
53.000-425.000.7,30 Tissue factor yang terdapat dalam jaringan otak, paru- paru
dan plasenta, menunjukan aktifitas spesifik yang lebih tinggi dibandingkan yang ada
pada jaringan ginjal dan limpa, dan beberapa dianggap tidak mempunyai aktifitas,
misalnya trombosit dan otot. Dan protein ini belakangan secara ekstensif dimurnikan
dari jaringan- jaringan tersebut untuk pembuatan reagen tromboplastin yang
digunakan untuk test koagulasi di klinik. 51
Tissue factor berfungsi sebagai kofaktor untuk faktor VII(a) dalam
mengaktifasi faktor X dan juga faktor IX dalam proses pembekuan darah. 28 Aktivasi
jalur ini pada dasarnya hasil dari dua keadaan, apabila kontinuitas lapisan
endothelium terganggu dan darah terpapar ke sel- sel ekstravaskuler atau apabila
endotel atau neutrofil dan monosit dipicu untuk expose TF pada membrannya.24

II.1.4. MEKANISME PEMBEKUAN DARAH


Pada pembuluh darah yang rusak, kaskade koagulasi secara cepat diaktifasi
untuk menghasilkan trombin dan akhirnya untuk membentuk solid fibrin dari soluble
fibrinogen, memperkuat plak trombosit primer. 14
Koagulasi dimulai dengan dua mekanisme yang berbeda, yaitu proses aktifasi
kontak dan kerja dari tissue factor. Aktifasi kontak mengawali suatu rangkaian dari
reaksi- reaksi yang melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII,
prekalikrein, High Molecular Weight Kininogen (HMWK), dan platelet factor 3 (PF- 3).
Reaksi-reaksi ini berperan untuk pembentukan suatu enzim yang mengaktifasi faktor
X, dimana reaksi- reaksi tersebut dinamakan jalur instrinsik ( intrinsic pathway).

©2003 Digitized by USU digital library 10


Sedangkan koagulasi yang dimulai dengan tissue factor, dimana suatu interaksi
antara tissue fcktor ini dengan faktor VII, akan menghasilkan suatu enzim yang juga
mengaktifasi faktor X. Ini dinamakan jalur ekstrinsik ( extrinsic pathway). Langkah
selanjutnya dalam proses koagulasi melibatkan faktor X dan V, PF- 3, protrombin,
dan fibrinogen. Reaksi- reaksi ini dinamakan jalur bersama ( common pathway).7,23
Jalur ekstrinsik dimulai dengan pemaparan darah ke jaringan yang luka.
Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan ( tissue factor) berasal dari luar
darah. Pemeriksaan Protrombin Time (PT) digunakan untuk skrining jalur ini. 43
Apabila darah diambil secara hati- hati sehingga tidak terkontaminasi cairan
jaringan, darah tersebut masih membeku didalam tabung gelas. Jalur ini disebut
jalur intrinsik, karena substansi yang diperlukan untuk pembekuan ada dalam darah.
Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor XII dengan permukaan asing. Partial
thromboplastin time (PTT) dan activated PTT (aPTT) adalah monitor yang baik untuk
jalur ini. Kedua jalur akhirnya sama - sama mengaktifasi faktor X, dan disebut jalur
bersama. 43
Konsep dari dua jalur yang terpisah praktis untuk memahami koagulasi darah
in vitro. Hasil dari pemeriksaan PT dan PTT atau aPTT biasanya menolong lokasi
suatu kelainan dalam skema koagulasi untuk diagnosis kelainan-kelainan koagulasi.43

Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik, memerlukan faktor VIII, faktor IX, faktor X, faktor XI, dan
faktor XII. Juga memerlukan prekalikrein dan HMWK, begitu juga ion kalsium dan
fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Mula- mula jalur intrinsik terjadi apabila
prekalikrein, HMWK, faktor XI dan faktor XII terpapar ke permukaan pembuluh
darah adalah stimulus primer untuk fase kontak.
Kumpulan komponen- komponen fase kontak merubah prekallikrein menjadi
kallikrein, yang selanjutnya mengaktifasi faktor XII menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa
kemudian dapat menghidrolisa prekallikrein lagi menjadi kallikrein, membentuk
kaskade yang saling mengaktifasi. Faktor XIIa juga mengaktifasi faktor XI menjadi
faktor XIa dan menyebabkan pelepasan bradikinin, suatu vasodilator yang poten dari
HMWK. Dengan adanya Ca2+, faktor XIa mengaktifasi faktor IX menjadi faktor IXa,
dan faktor IXa mengaktifasi faktor X menjadi faktor Xa.7

Jalur ekstrinsik
Jalur ekstrinsik, dimulai pada tempat yang trauma dalam respons terhadap
pelepasan tissue factor (faktor III). Kaskade koagulasi diaktifasi apabila tissue factor
dieksresikan pada sel- sel yang rusak atau distimulasi ( sel- sel vaskuler atau
monosit), sehingga kontak dengan faktor VIIa sirkulasi dan membentuk kompleks
dengan adanya ion kalsium. Tissue factor adalah suatu kofaktor dalam aktifasi faktor
X yang dikatalisa faktor VIIa. Faktor VIIa, suatu residu gla yang mengandung serine
prot ease, memecah faktor X menjadi faktor Xa, identik dengan faktor IXa dari jalur
instrinsik. Aktifasi faktor VII terjadi melalui kerja trombin atau faktor Xa.23
Tissue factor banyak terdapat dalam jaringan termasuk adventitia pembuluh
darah, epidermis, mukosa usus dan respiratory, korteks serebral, miokardium dan
glomerulus ginjal. Aktifasi tissue factor juga dijumpai pada subendotelium. Sel- sel
endotelium dan monosit juga dapat menghasilkan dan mengekspresikan aktifitas
tissue factor atas stimulasi dengan interleukin- 1 atau endotoksin, dimana
menunjukan bahwa cytokine dapat mengatur ekspresi tissue factor dan deposisi
fibrin pada tempat inflamasi. 43
Kemampuan faktor Xa untuk mengaktifasi faktor VII menciptakan suatu
hubungan antara jalur instrinsik dan ekstrinsik. Selain itu hubungan dua jalur itu ada
melalui kemampuan dari tissue factor dan faktor VIIa untuk mengaktifasi faktor IX
menjadi IXa.23 Hal ini terbukti bahwa ada pasien-pasien dengan defisiensi faktor VII

©2003 Digitized by USU digital library 11


tetapi tidak defisiensi faktor XI, terjadi penurunan kadar dari aktifasi faktor IX,
sedangkan pasien- pasien dengan defisiensi faktor VIII atau faktor IX, mempunyai
kadar yang normal dari aktifasi faktor X dan prothrombin. Dan pada infusion
recombinant factor VIIa dengan dosis yang relatif kecil (10-20 µg/kg BB) pada
pasien-pasien dengan defisiensi faktor VII menghasilkan suatu peningkatan yang
besar pada konsentrasi aktifasi faktor X.3 Faktor IXa yang baru dibentuk itu
membentuk kompleks dengan faktor VIIIa dengan adanya kalsium dan fosfolipid
membrane, dan selanjutnya juga mengaktifasi faktor X menjadi Xa. Kompleks ini
disebut “tenase“.23 Dan ternyata bukti- bukti menunjukan bahwa jalur ekstrinsik
berperan utama dalam memulai pembekuan darah in vitro dan pembentukan
fibrin.23,43
Activated factor Xa adalah tempat dimana kaskade koagulasi jalur intrinsik
dan ekstrinsik bertemu. Faktor Xa berikatan dengan faktor Va (diaktifasi oleh
trombin),yang mana dengan kalsium dan fosfolipid disebut kompleks
“prothrombinase“, yang secara cepat merubah protrombin menjadi trombin.23
Studi- studi yang baru telah merubah konsep jalur pembekuan darah dan
sistim antikoagulasi. Tidak seperti sistem lama, dimana berdasarkan jalur intrinsik
dan ekstrinsik, konsep baru pembekuan darah berfokus pada tissue factor. TF
berikatan dengan zymogen faktor VII (FVII) dan merubahnya menjadi bentuk aktif,
FVIIa dengan afinitas yang lebih tinggi dari pada F- VII. TF/FVIIa memulai
pembekuan dengan dua jalur :
1. TF/FVIIa mengaktifasi FIX menjadi FIXa yang bersama - sama dengan kofaktor
FVIIIa, merubah FX menjadi FXa pada adanya Ca2+ dan fosfolipid.
2. TF/FVIIa dapat langsung mengaktifasi FX menjadi FXa
FXa dan kofaktor FVa mengkatalisa perubahan dari protrombin (FII) menjadi
thrombin (FIIa). F- IIa kemudian merubah fibrinogen menjadi fibrin. Faktor kontak
(FXII, HMWK, dan prekallikrein) yang merupakan bagian dari jalur instrinsik dari
sistim lama,s ekarang dinyatakan tidak berperan dalam pembekuan darah tetapi
malahan faktor- faktor tersebut jelas sebagai antitrombotik dan mempunyai aktifitas
fibrinolitik. 17 Selain itu, trombin dan FXII dapat mengaktifasi FVII tanpa adanya
kofaktor, sedangkan faktor Xa dan faktor IXa memerlukan adanya fosfolipid dan
kalsium. 18
Mula- mula kompleks TF-VIIa diperbesar oleh aktifasi freedback faktor VII oleh
faktor Xa dan faktor IXa, akan tetapi kompleks itu secara cepat dihambat oleh Tissue
FactorPathway Inhibitor (TFPI). Pada waktu itu trombin yang dihasilkan mengaktifasi
faktor XI, begitu juga faktor V, faktor VIII, dan karena itu menambah pembentukan
tenase dan akhirnya menghasilkan lebih banyak trombin. Faktor XI dapat juga
diaktifasi oleh faktor XIIa, akan tetapi peranannya untuk fisiologi hemostasis
minimal, seperti ditunjukan oleh tidak adanya gejala perdarahan pada individu-
individu dengan defisiensi berat faktor XII, prekallikrein, atau HMWK. Fungsi utama
trombin (FIIa) adalah untuk memecah fibrinogen menjadi fibrin dan mengaktifasi
faktor XIII yang menghasilkan cross-linked bekuan yang stabil. 23

II.1.5. INHIBITOR
Sejumlah protein plasma mampu menghambat serine protease terlibat dalam
koagulasi, fibrinolisis, dan pembentukan kinin. Ini termasuk antitrombin III, heparin
cofactor II, α2 -macroglobulin, α1 -antitrypsin, tissue factor pathway inhibitor ( TFPI),
activator inhibitor-1(PAI- 1), dan C1 inhibitor.3,43
Antitrombin III (AT -III) adalah suatu protein plasma dengan BM 58.000
dihasilkan di hepar, terdiri dari polipeptida rantai tunggal dengan 432 asam amino.
AT- III menetralisasi/menghambat trombin dengan membentuk kompleks stabil 1:1
antara satu residu arginin dari AT- III dan active-site serine dari trombin.3,7,43 AT-III
juga menghambat faktor XIIa, faktor XIa, faktor Xa, faktor VII-TF, kallikrein plasma

©2003 Digitized by USU digital library 12


dan plasmin. Kerjanya sangat dipercepat oleh heparin. AT- III sebagai antikoagulan
dan heparin sebagai kofaktor.
Heparin cofactor II (HCF - II), secara selektif menghambat trombin dengan
membentuk suatu kompleks. Seperti AT- III, aktifitas inhibitor ini secara nyata
distimulasi dengan adanya heparin. Berbeda dengan AT- III, HCF - II tidak
menghambat aktifitas faktor- faktor koagulasi lainnya, dan HCF- II diaktifasi oleh
dermatan sulfate, sedangkan AT - III tidak. Maka HCF- II merupakan inhibitor penting
dari trombin dengan adanya dermatan sulfate. 7,43
α2-Plasmin inhibitor (α2-antiplasmin), adalah inhibitor plasmin yang bereaksi
c epat, dimana menghambat plasmin dengan segera dengan membentuk kompleks 1:
1.
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI- 1), adalah suatu protein plasma
dengan BM 52.000, dihasilkan oleh berbagai sel, seperti sel- sel endothelium,
hepatosit, dan fibroblast. Konsentrasi didalam plasma sangat rendah (0.005 mg/dl)
dan juga disimpan dalam α-granul trombosit. PAI-1 menghambat tissue plasminogen
activator (t-PA) dan urokinase dengan membentuk suatu kompleks dengan enzim,
dan PAI- 1 berperan penting dalam pengaturan aktifitas sistim fibrinolisis.43
α1 -Proteinase Inhibitor, juga dikenal sebagai α1 -antitripsin, atau α1 -anti-
proteinase, juga menginaktifasi plasmin dan urokinase, tetapi sebagai inhibitor
tripsin relatif lemah. α1 -proteinase inhibitor adalah α-globulin, d ijumpai di dalam
plasma dan pada membrane trombosit. Mekanisme kerja anti- enzimnya belum
diketahui. 7
Activated protein C inhibitor ( APC inhibitor), menghambat aktifitas protein C
aktif dengan membentuk kompleks dengan enzim ini. Protein ini juga dikenal sebagai
plasminogen activator inhibitor.3,43
Tissue factor pathway inhibitor (TFPI), juga disebut extrinsic pathway inhibitor
(EPI) atau lipoprotein-associated coagulation inhibitor (LACI), adalah protein plasma
yang baru ditemukan (BM 38.000) yang menghambat awal koagulasi darah dengan
kompleks FVIIa-tissue factor. Konsentrasi TFPI dalam plasma rendah, tetapi pool
yang lebih besar dari TFPI terdapat dalam endotelium pembuluh darah dan dapat
dilepaskan ke dalam darah oleh heparin. Kadar TFPI plasma meningkat dua minggu
hingga empat kali lipat dengan infus heparin. TFPI mengatur aktifasi FX melalui
inhibisi kompleks FVIIa - TF dan faktor Xa. Mekanisme kerjanya unik, mula- mula TFPI
berinteraksi dengan faktor Xa dengan membentuk kompleks Xa- TFPI, yang
kemudian membentuk kompleks quartenary Xa-TFPI-VIIa-tissue factor dengan
akibat hilangnya aktifitas kompleks VIIa- tissue factor. TFPI disintesis oleh sel- sel
endotelium pembuluh darah, juga oleh hepatosit.1,5,43

II.1.6. PENGATURAN PEMBEKUAN DARAH


Mekanisme antikoag ulan alamiah mengatur dan melokaliser pembentukan
plak hemostasis atau trombus ke tempat pembuluh darah yang rusak. Inhibitor
faktor koagulasi utama atau antikoagulan alamiah yang berlangsung terhadap
pembentukan atau kerja trombin, termasuk sistim antitro mbin dan protein C.23
Antitrombin menginaktifasi trombin dari serine protease yang lain ( F- VIIa, F- XIIa, F-
XIa, F-IXa) dengan berikatan secara irreversibel melalui residu arginin ke tempat
serine aktif dari protease (serine protease inhibitor atau serpin). Dalam keadaan
tidak ada heparin, tingkat inaktifasinya relatif lambat, tetapi apabila heparin atau
heparan sulfat dinding pembuluh darah berikatan ke residu lysine pada molekul AT,
akan menghasilkan inaktifasi trombin seketika itu juga. Oleh karena itu AT disebut
heparin cofactor 1. Heparin cofactor II, dapat juga diaktifasi oleh heparin ( walaupun
dibutuhkan jumlah yang lebih besar), glycosaminoglycan, dermatan sulphate untuk
inaktifasi trombin. Trombin dapat juga berikatan ke endotelium atau permukaan
trombosit melalui reseptor trombomodulin dan disingkirkan dari sirkulasi. Serpin-

©2003 Digitized by USU digital library 13


serpin lain seperti α- 1 antitrypsin dan α-2 macroglobulin berperan membantu
inaktifasi trombin. Protein Z (PZ), suatu protein yang tergantung protein yang
disebut PZ-dependent protease inhibitor (PZI).
Jalur protein C (PC) merupakan mekanisme utama untuk membatasi respons
koagulasi terhadap trauma. Jalur ini dimulai apabila trombin berikatan dengan
thrombomodulin (TM). Kompleks trombin- TM adalah suatu aktifator poten dari PC
dan mempunyai sedikit kemampuan untuk aktifasi trombosit atau bekuan fibrinogen.
Activated PC (APC) diperbesar oleh endothelial cell PC receptor (EPCR) yang
meningkatkan afinitas kompleks trombin- TM untuk PC. APC meninaktifasi secara
proteolitik faktor Va dan faktor VIIIa dengan bantuan kofaktor protein S (PS).
Kompleks trombin- TM secara cepat di inaktifasi oleh PC inhibitor (PCI) dan AT.23
Defisiensi herediter dari protein C, protein S, dan resistensi terhadap
activated protein C, kesemuanya berhubungan dengan hypercogulable state, dan
aktifasi koagulasi telah terbukti pada pasien-pasien dengan defesiensi dari masing-
masing protein antikoagulan ini. 3

II.1.7. SISTIM FIBRINOLISIS


Sistim fibrinolisis penting untuk menyingkirkan deposit fibrin yang berlebihan.
Sistim fibrinolisis juga merupakan suatu sistim multikomponen yang terdiri dari
proenzim, aktifator plasminogen dan inhibitor- inhibitor. Plasminogen, adalah suatu
glikoprotein rantai tunggal dengan amino terminal glutamic acid glutamic acid yang
mudah dipecah oleh proteolisis menjadi bentuk modifikasi dengan suatu terminal
lysine, valine atau methionin.14
Pada tempat jaringan yang rusak ( tissue injury), fibrinolisis dimulai dengan
perubahan plasminogen menjadi plasmin. Plasmin mempunyai banyak fungsi seperti
degradasi dari fibrin, inaktifasi faktor V dan faktor VIII dan aktifasi dari
metaloproteinase yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka dan
perbaikan jaringan ( tissue-remodeling).45
Aktifator- aktifator plasminogen memecah peptide dari plasminogen dan
membentuk plasmin rantai dua. Aktifasi menjadi plasmin dapat terjadi melalui tiga
jalur yaitu : 14
1. Jalur intrinsik, melibatan aktifasi dari proaktifator sirkulasi melalui faktor XIIa.
2. Jalur ekstrinsik, dimana aktifator-aktifator dilepaskan ke aliran darah dari
jaringan yang rusak, sel- sel atau dinding pembuluh darah ( semua aktifator juga
protease).
3. Jalur eksogen, dimana plasminogen diaktifasi dengan adanya obat trombolitik,
seperti streptokinase.
Dalam keadaan fisiologik, aktifasi plasminogen terutama oleh tissue
plasminogen activator yang disintesis dan dilepas dari sel-sel endotelium pembuluh
darah dalam respons terhadap trombin dan pada kerusakan sel. Setelah distimulasi
t- PA release oleh exercise, statis, atau desmopressin (DDAVP), masa paruhnya
dalam sirkulasi sangat pendek ( sekitar 5 menit), berhubungan dengan inhibisi oleh
PAI- 1 dan clearance dihati.23,45
Aktifator lain, urokinase-type plasminogen avtivator (u-PA), diproduksi
diginjal dan ditemukan terutama dalam urine. Akan tetapi sejumlah kecil
prourokinase plasma atau single-chain u- PA ( scuPA) dapat dirobah menjadi bentuk
aktif melalui sistim kontak oleh kallikrein. 23
Proses fibrinolitik diatur pada tiap- tiap tahap enzimatik oleh inhibitor- inhibitor
protease spesifik. Aktifitas plasminogen diatur oleh inhibitor- inhibitor plasmin seperti
α- 2 antiplasmin, α2- makroglobulin, dan juga oleh plasminogen activator inhibitor 1
(PAI- 1), yang merupakan inhibitor fisiologi dari tPA dan uPA. 45
Plasmin mempunyai fibrinogen dan fibrin sebagai substrat utamanya yang
terpenting untuk produksi fragmen- fragmen spesifik yang secara kolektif disebut

©2003 Digitized by USU digital library 14


fibrinogen-fibrin degradation product (FDP)23 Plasmin jug memecah faktor V dan
faktor VIII:C. Ledakan fibrinolisis dihambat oleh inhibitor poten α- 2 antiplasmin dan
oleh α- 2 makroglobulin.14,23 Plasmin bebas dalam plasma segera di inaktifkan oleh α-
2 antiplasmin, sedangkan plasmin yang terikat fibrin dalam plug hemostasis lokal
terlindungi dari α- 2 antiplasmin dan dapat memecah fibrin menjadi FDP. Inhibitor
dari aktifator plasminogen juga memegang peranan penting dalam mengatur
fibrinolisis dan membatasinya pada bagian luka.14

II.1.8. PEMERIKSAAN PENYARING FAKTOR PEMBEKUAN


Pemeriksaan penyaring faktor pembekuan yang rutin dikerjakan
dilaboratorium adalah pemeriksaan prothrombin time (PT), activator partial
thromboplastin (aPTT) dan thrombin (TT).34

Prothrombin Time (masa protrombin)


Dilakukan dengan menambahkan suatu bahan yang berasal dari jaringan (
biasanya dari otak, plasenta dan paru- paru) pada plasma sitrat dan dengan
memberikan kelebihan Ca2+, kemudian diukur waktu terbentuknya bekuan.
Pemanjangan Masa Protrombin berhubungan dengan defisiensi faktor- fakor
koagulasi jalur ekstrinsik seperti faktor VII, faktor X, faktor V, protrombin dan
fibrinogen, kombinasi dari faktor- faktor ini, atau oleh karena adanya suatu inhibitor.

Activated Partial Thromboplastin Time ( masa tromboplastin parsial


teraktivasi).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan aktifator seperti kaolin,
ellegic acid atau celite dan juga fosfolipid standard untuk mengaktifkan faktor kontak
pada plasma sitrat. Lalu ditambahkan ion kalsium dan diukur waktu sampai
terbentuknya bekuan.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi kelainan kadar dan fungsi faktor-
faktor koagulasi jalur intrinsik ; prekallikrein, HMWK, faktor XII, faktor XI, faktor IX,
faktor VIII dan aktifitas jalur bersama ; faktor X, faktor V, protrombin dan
fibrinogen, serta adanya inhibitor.

Thrombin Time (masa trombin)


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menambahkan trombin eksogen pada
plasma sitrat, lalu dilakukan waktu terjadinya bekuan. Difesiensi atau abnormalitas
fibrinogen dan adanya heparin atau fibrin (ogen) degradatioan product (FDP) adalah
yang paling sering menyebabkan perpanjangan TT.

II.2. SEPSIS
II.2.1. Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai suatu respons inflamatori sistemik terhadap
infeksi ditandai dengan demam, tachycardia, tachypnea, dan / atau leukoytosis.33,35
Apabila terjadinya hipertensi dan tanda- tanda perfusi organ yang tidak adekuat,
keadaan ini disebut septic shock.42
„The American College of Chest Phisicians (ACCP) and the Society for Critical
Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definition of Sepsis”,
telah mempublikasikan suatu consensus dengan defisiensi baru dan criteria diagnosis
untuk sepsis dan keadaan- keadaan yang berkaitan. Definisi ini juga menjelaskan
perbedaan dan juga persamaan antara sepsis, suatu respons inflamatori sistemik
yang khusus terhadap infeksi, dan systemic inflammatory respons syndrome ( (SIRS
mempunyai definisi yang lebih luas meliputi keadaan- keadaan dimana ditemukan
sama seperti kriteria diagnosis sepsis tetapi oleh berbagai sebab termasuk keadaan

©2003 Digitized by USU digital library 15


klinik yang berat tetapi tidak terbatas pada infeksi. Batasan- batasan ini dan
kaitannya didefinisikan dalam tabel berikut ini. 11,20,35

Definisi yang digunakan untuk menguraikan keadaan pasien dengan sepsis


- Bakteremia Adanya bakteri dalam darah, yang dibuktikan dengan kultur
darah positif
- Systemic Dua atau lebih dari keadaan- keadaan berikut : (1)demam
inflamatory (>380C) atau hipotermia (<360C);(2)tachypnea
response (RR>24x/menit);(3)tachyardia(HR>90x/menit);(4)leukositosis
syndrome (SIRS) (>12.000/ πL), leukopenia (<4000/πL), atau >10% batang.
Dapat disebabkan oleh infeksi atau non infeksi.
SIRS yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman
- Sepsis Sepsis dengan atau lebih tanda-tanda disfungsi organ (seperti
- Sepsis berat asidosis metabolic, encefalopati akut, oliguria, hipoksemia,
(“Sepsis atau DIC) atau hipotensi.
Syndrome”) Sepsis dengan hipotensi (TD sistolik < 90mmHg atau
berkurang 40 mmHg dari TD normal pasien) yang tidak
- Septic shock respons dengan resusitasi cairan, bersama dengan disfungsi
organ.
Disfungsi dari satu organ atau lebih, memerlukan intervensi
untuk mempertahankan homeostasis.
- Multiple- organ
dysfunction
syndrome (MODS)

II.2.2. Epidemiologi/Etiologi
Di Amerika Serikat terdapat 300.000 – 500.000 kasus sepsis setiap tahun,
dan sepsis menimbulkan > 100.000 kematian per tahun.11 Insidens sepsis dan
kematian yang berhubungan dengan sepsis di Amerika Serikat meningkat secara
dramatik antara tahun 1979 dan 1987, dilaporkan kasus sepsis meningkat 159%
menjadi 425.000 kasus per tahun dan kematian yang berhubungan dengan sepsis
meningkat 111%, menjadi 107,525 per tahun. Dan kira- kira 200.000 pasien menjadi
shock septic setiap tahun. Shock terjadi pada kira- kira 40% pasien dengan sindroma
sepsis, dan 60 – 80% pasien dengan septic shock meninggal.
Etiologi dari sepsis termasuk bakteri gram negatif, bakteri gram positif,
bakteri anaerob obligate, dan jamur. 50 Infeksi bakteri aerob dan anaerob sering
menyebabkan sindroma sepsis. Bakteri enteric aerob gram negatif yang paling sering
dan mempunyai prognosis paling jelek ( misalnya Escherichia coli, kelompok
Enterobacteriaceae-serrateiea, Klebs iella species, dan Pseudomonas aeruginosa) .
Organisme gram positif yang paling umum menyebabkan sindroma sepsis termasuk,
Staphylococcus aureus, Streptococcus penumoniae dan Streptococcus species.
Organisme - organisme lain yang mungkin dapat menyebabkan sindroma sepsis
termasuk mycobacteria, virus, rickettsia dan protozoa.2

II.2.3. Patogenesis/patofisiologi
Patogenesis dari sindroma sepsis, rumit, kompleks, dan kurang dipahami
pada saat sekarang ini. Keadaan- keadaan penyakit yang paling sering berhubungan
dengan sindroma sepsis termasuk penyakit yang menyebabkan kegagalan respons
imun host, seperti psoriasis, luka bakar, trauma multiple, penyakit- penyakit
autoimum dan penyakit- penyakit neoplasma, khususnya setelah kemoterapi.20

©2003 Digitized by USU digital library 16


Kebanyakan pasien- pasien sepsis menunjukan suatu fokus infeksi jaringan
sebagai sumber bakteremia, baik intravaskuler atau ekstravaskuler. Jenis bakteremia
ini dikenal sebagai secondary bacteremia, dan paling sering berhubungan dengan
infeksi traktus urinarius dan respiratorius. Sumber penting yang lain termasuk infeksi
intra abdominal ( traktus biliars, abses, enteritis, peritonitis), dan infeksi luka,
central nervous system ( CNS), tulang, jaringan lunak kulit, dan kateterisasi
intravaskuler atau katub jantung. Dalam jumlah yang bermakna, sumber bakteremia
tidak ditemukan, dan keadaan ini disebut sebagai primary bacteremia. 50
Kaskade inflamatory host yang menimbulkan sindroma sepsis dapat diawali
oleh toksin-toksin yang dilepaskan dari organisme - organisme. Toksin- toksin yang
dilepaskan ini disebut eksotoksin, dijumpai pada Staphylococcus aureus, Clostridium
perfringens, dari jamur. Organisme gram-positive dapat mencetuskan sepsis dan
septic shock dengan mekanisme ; (1) bakteria seperti staphylococcus atau
streptococcus menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen, (2)
bacteria gram- positive melepaskan fragmen- fragmen membran sel yang dapat
mengaktifasi rangkaian dari proses terjadinya septic shock. 22
Endotoksin adalah lipopolisakarida dan merupakan bagian dari dinding bakteri
dan dilepaskan pada bakteri yang mati. Toksin- toksin ini berhubungan dengan
organisme - organisme gram negatif dan juga mampu memulai mediator- mediator
seluler dan humoral yang diperkirakan untuk membentuk kaskade inflamatori.
Berbagai mediator infla matori, termasuk cytokine, merupakan protein pengatur
soluble yang disekresi oleh berbagai sel termasuk makrofag, dilepaskan oleh host
yang menderita.
Lipopolysaccharide (LPS) endotoksin memulai reaksi patofisiologis dari sepsis
gram negatif, yang ditunjukan oleh :
1. Injeksi LPS pada manusia dan binatang percobaan menginduksi dingin,
demam, dan shock.
2. Kadar LPS yang tinggi dalam plasma berhubugan dengan kematian yang
tinggi pada pasien-pasien sepsis.
3. Kematian yang disebabkan shock dapat dikurangi dengan antibody LPS.

LPS berikatan dengan suatu protein fase akut plasma yang disebut LPS-
binding protein (LBP), dan kompleks LPS/LBP kemudian berikatan dengan monosit
dan makrofag dengan afinitas tinggi. Protein plasma lain, septin, juga mengikat LPS.
Kompleks LPS/LBP berikatan ke reseptor membran makrofag CD14, menyebabkan
aktifasi makrofag dan meninduksi sintesis dan sekresi cytokine-cytokine, tomor
necrosis faktor (TNF/cachectin) dan interleukin 1 (IL- 1) oleh monosit dan makrofag.
Cytokine menginduksi sintesis dan ekspresi permukaan dari molekul- molekul adhesi
endotelium, termasuk E-selectin, intercelluler adhesion molecule 1 (ICAM- 1), dan
vasculer cell adhesion molecule 1 ( VCAM - 1) meningkatkan perlekatan neutrofil ke
endotelium vaskuler. Aktifitas cyclooxygenase membran endotelium juga distimulasi
dan menghasilkan prostaglandin, vasodilator yang poten. Vasodilatasi dengan
meningkatnya aliran darah dan perlekatan neutrofil ke endotelium vaskuler,
meningkatkan inflamasi dengan eksudasi dari antibody dan komplemen, dan
emigrasi dari sel-sel fagosit ke jaringan yang infeksi. Efek TNF dan IL- 1 ditingkatkan
oleh kemampuan LPS untuk mengaktifasi jalur alternatif komplemen dan faktor
Hagemen (faktor XII). Aktifasi komplemen menghasilkan anafilatoksin, C3a dan C5a
yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dengan merangsang pelepasan
histamin dari sel- sel mast jaringan dan basofil darah. C5a juga merupakan
chemotaxin kuat dan aktivator neutrofil darah. Aktifasi faktor XII menghasilkan
vasodilator bradikinin.44,50

©2003 Digitized by USU digital library 17


II.2.4. Gambaran Klinis
Respons sistemik dari sepsis ditandai dengan demam tiba- tiba, dingin,
tachycardia, tachypnea, perubahan status mental, dan /atau hipotensi. Akan tetapi,
respons sepsis dapat berjalan secara berangsur-angsur, dan tanda- tanda tersebut
tidak dijumpai. Hyperventilasi, disorientasi, dan kebingungan secara diagnostik
berguna sebagai tanda- tanda awal. Dapat terjadi hipotensi dan DIC. Tanda- tanda
kulit kering dijumpai, termasuk sianosis dan nekrosis iskemik jaringan perifer,
sellulitis, pustula, bula, dan lesi hemoragik. 2,11

II.2.5. Peranan cytokine pada sepsis


Cytokine merupakan soluble non-antibody regulatory protein yang dilepas
oleh berbagai sel immunoactive seperti limfosit, fagosit mononuclear dan makrofag.
Peranan yang tepat dari cytokine pada sindroma sepsis, saat ini tidak diketahui,
tetapi apabila protein-protein ini dimurnikan dan disuntikan ke manusia dengan dosis
kecil dapat menimbulkan tanda- tanda sindroma sepsis.
Belakangan diperlihatkan bahwa perubahan sistim pembekuan dan fibri nolisis
pada plasma selama endotoksemia diperantarai oleh beberapa cytokine
proinflamatory, terutama tumor necrosis faktor alpha (TNF α), interleukin 1 (IL- 1),
dan interleukin 6 (IL- 6). Tumor necrosis faktor α (TNFα) kelihatanya merupakan
cytokine yang terpenting. Dan suatu studi eksperimental menunjukan bahwa
pemberian anti-TNF monoclonal antibodies pada binatang yang diberi dengan
Escherichia coli intravena, secara bermakna menurunkan angka kematian. Apabila
hambatan antibodi diberikan 2 jam sebelum diberi E.coli, semua binatang hidup,
sedangkan binatang yang tidak diberi antibodi tersebut semuanya mati. 22,29,49
Pemberian endotoksin dosis rendah kepada sukarelawan- sukareawan sehat,
menimbulkan produksi cytokine dalam sirkulasi, dimulai dengan TNFα, mencapai
puncaknya pada 90 menit diikuti dengan IL- 6 dan Il- 8. Ini berhubugan dengan
respons inflmatori berupa suatu peningkatan suhu tubuh dan denyut jantung,
penurunan ringan pada tekanan darah, dan penurunan jumlah leukosit diikuti
dengan leukositosis. Deteksi dari IL- 1β pada percobaan ini lebih sukar untuk
dipahami dan beberapa group tidak mampu mendeteksi perubahan yang signifikan
pada Il-1β dalam sirkulasi, walaupun terjadi sedikit peningkatan kadar IL- 1. Dengan
sensitifitas yang tinggi, test -test yang baru dikembangkan mungkin akan lebih sering
dapat mendeteksi peningkatan kadar IL-1. IL-1 mungkin terlibat dalam pelepasan IL-
6, dimana selama infus IL-1 receptor antagonis (IL- 1ra) mengurangi IL- 6. Selain itu,
injeksi bolus recombinant TNF pada orang sehat menginduksi IL-6 dan IL-8.2
TNF dan IL- 1 mampu meningkatkan ekspresi tissue faktor pada kultur sel- sel
endotelium in-vitro. Juga pada monosit TNF dapat menginduksi ekspresi TF in vitro.
Disamping merangsang prokoagulan, TNF dan IL- 1 juga menghambat antikoagulan
dengan mengurangi aktifitas trombomodulin pada permukaan sel. TNF juga dapat
mengurangi sintesis protein S oleh sel-sel endotelium. Penelitian- penelitian in vitro
ini dapat menolong untuk menjelaskan mekanisme - mekanisme tersebut tetapi tidak
dapat secara langsung diartikan kepada keadaan-keadaan pada pasien in vivo. Dan
injeksi bolus recombinant TNF pada orang sehat menginduksi pembentukan trombin
yang terus menerus, yang dibuktikan dengan peningkatan kadar protrombin
fragment F1 + 2, dimana mencapai puncak pada 4 – 5 jam setelah injeksi. Aktifasi
koagulasi yang diinduksi TNF mirip dengan yang diinduksi oleh endotoksin, kecuali
bahwa terjadinya kira- kira 1 – 2 jam lebih cepat menunjukan bahwa endotoksin
bertindak melalui pelepasan TNF. Observasi- observasi ini memberi kesan suatu
peranan utama TNF sebagai aktifator koagulasi pada keadaan sepsis.49
Anti-inflamatory cytokine seperti IL-10, dapat mengatur aktifasi koagulasi
dimana pemberian recombinant IL-10 pada manusia menghilangkan efek koagulasi
yang diinduksi endotoksin.29

©2003 Digitized by USU digital library 18


II.3. GANGGUAN HEMOSTASIS PADA SEPSIS
Paradigma fisiologi sepsis berubah, dimana dahulu berfokus pada inflamasi
sebagai proses yang dominan dalam kaskade kejadian sepsis yang menyebabkan
terjadinya disfungsi organ. Sekarang telah berevolusi untuk menguraikan suatu
kompleks interaksi antara inflamasi, koagulasi dan fibrinolisis. Penelitian- penelitian
terhadap perjalanan dan kelainan-kelainan koagulasi dan fibrinolisis pada sepsis,
hubungannya dengan disfungsi endotel, dan faktor- faktor yang dapat memulai
perubahan- perubahan ini telah memperlihatkan pentingnya peranan dari mekanisme
hemostatis yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini bermanifestasi sebagai
disseminated intravascular coagulation (DIC) dan trombosis intravaskuler dan
mungkin pada akhirnya merupakan faktor primer yang menimbulkan disfungsi organ
dan kematian.32
Proses- proses inflamasi dan koagulasi saling berhubungan. Bermacam-
macam mediator inflamasi yang dilepaskan untuk melawan infeksi juga merangsang
koagulasi. Lagi pula, agent infeksi dapat menyebabkan kerusakan endotelium, yang
juga merangsang koagulasi. Faktor- faktor koagulasi diaktifasi apabila darah kontak
dengan jaringan ikat subendotelium atau dengan permukaan yang bermuatan
negatif yang terpapar akibat kerusaka n jaringan.
Pada sepsis, aktifasi koagulasi terutama diatur oleh jalur yang tergantung
tissue factor ( jalur ekstrinsik).49 Berbagai cytokine seperti IL- 1, dan TNF- α
menginduksi ekspresi dari tissue factor (TF) pada sel- sel endotelium dan monosit,
mengawali proses koagulasi jalur ekstrinsik. Jalur ekstrinsik merupakan mekanisme
predominan yang emngaktifasi sistim koagulasi pada sepsis.2 TF dieksresikan pada
banyak jaringan, termasuk otak, paru- paru, plasenta dan ginjal. Sel- sel yang
menghasilkan TF biasanya tidak kontak dengan darah, tetapi ditemukan pada
jaringan perivaskuler dan stroma. Sel- sel darah perifer dan endotelium secara
normal tidak menghasilkan TF. Akan tetapi aktifitas TF dalam sel- sel ini meningkat
setelah distimulasi dengan beberapa zat seperti endotoksin, tumor necrosis factor α
(TNF -α) atau vasculer endotelial growth factor (VEGF). Laporan bahwa kadar TF dari
pasien-pasien sepsis secara signifikan lebih tinggi dari pada TF dari pasien-pasien
trauma, menunjukan suatu peranan penting untuk komplikasi koagulasi yang
dicetuskan TF selama sepsis. Observasi bahwa aktifitas TF meningkat selama infeksi,
sesuai dengan penemuan bahwa beberapa species bacteria ( seperti Staphylococcus
aureus, Streptococcus sanguis, Mycobacterium leprae dan Neisseria
meningitides) mampu mencetuskan ekspresi TF pada sel- sel endotelium dan monosit
oleh produk-produk bakteri. 45,48
Pada sepsis, mikroorganisme gram- positive juga dapat mencetuskan aktifitas
TF hal ini ditunjukan oleh penemuan bahwa produk- produk bakteri selain endotoksin
dapat terlibat dalam pengaturan ( up-regulation) aktifasi prokoagulan. Bakteri gram-
positive dapat menginduksi ini secara langsung, sebagaimana berbagai eksotoksin
dan peptidoglikan telah terbukti mencetuskan induksi dari cytokine-cytokine
proinflamatori, seperti interferon γ, interleukin 1 β (IL- 1β), dan TNF - α, merupakan
induser yang kuat dari ekspresi TF. Jadi aktifitas TF meningkat pada respons
terhadap produk- produk dari bakteria Gram- positive, dan ini dapat menjadi satu
tahap awal untuk menginduksi kelainan- kelainan koagulasi pada penyakit- penyakit
infeksi. 45
Berbagai cytokine seperti IL-1, dan TNF- α menginduksi ekpresi dari TF pada
sel- sel endotelium dan monosit, mengawali proses koagulasi jalur ekstrinsik. Jalur
ekstrinsik merupakan mekanisme predominan yang mengaktifasi sistem koagulasi
pada sepsis. TF merupakan mediator yang penting antara sistem imun dan
koagulasi, dan merupakan aktifator yang terpenting dari koagulasi pada sepsis. TF
berikatan dan mengaktifasi faktor pembekuan VII, dan membentuk Faktor VIIa –

©2003 Digitized by USU digital library 19


tissue factor complex yang secara cepat dapat merubah Faktor X menjadi faktor Xa,
dan faktor IX menjadi trombin ( faktor IIa). Trombin memecah fibrinogen,
menghasilkan fibrin monomer ( dan fibrinopeptida A dan B), yang kemudian
berpolimerisasi untuk membentuk bekuan fibrin. Pada tahap akhir, sejumlah besar
trombi dibentuk. Benag- benang fibrin membentuk suatu gumpalan dengan
trombosit- trombosit yang teraktifasi pada endotelium yang rusak dan dibentuk
bekuan yang stabil. 16,24,32,35
Mekanisme TF dihambat oleh antikoagulan alamiah Tissue Factor Pathway
Inhibitor( TFPI). Dalam menghambat TF, TFPI membentuk suatu kompleks inhibitor
berjumlah empat ( quarternary) denganTF, faktor VIIa, dan faktor Xa, dan
menghambat pembentukan trombin dari protrombin. Pada studi yang dilakukan
dengan injeksi endotoksin dan diikuti dengan injeksi TFPI kepada orang sehat,
ternyata injeksi endotoksin akan menginduksi aktifasi koagulasi. Dan infus TFPI
menginduksi penurunan pembentukan trombin ( tergantung dosis), dan dengan TFPI
dosis tinggi hambatan lengkap ( complete blockade) dari aktifasi koagulasi. 1,5,16,27,29
Faktor kontak pada jalur intrinsik yang juga diaktifasi sebagai konsekwensi
dari pertemuan faktor kontak pada permukaan bakteri. Ini diikuti dengan pelepasan
bradykinin, suatu inducer yang poten dari demam, sakit dan hipotensi. Bukti- bukti
bahwa sistim kontak teraktifasi selama sepsis, terbukti dari studi- studi bahwa pada
pasien-pasien dengan hypotensive septicemia terjadi penurunan yang signifikan
kadar faktor- faktor kontak. Aktifasi sistim kontak juga terjadi pada anak- anak
dengan meningococcal septic shock, dan kadar FXII dan high-molecular-weight
kininogen ( HMWK) rendah pada pasien- pasien systemic inflammatory respons
syndrome (SIRS) yang berhubungan dengan fatal outcome dari penyakit. Studi yang
lain menunjukan bahwa kadar prekallikrein (PK)-α2 -macroglobulin complexes
meningkat pada pasien-pasien SIRS. Dan suatu eksperimen pada baboons,
menunjukan bahwa hipotensi yang irreversible yang diinduksi oleh infus Escherichia
coli berhubungan dengan penurunan kadar HMWK dan peningkatan dari PK- α2 -
macroglobulin complexes. Dan pemberian suatu inhibitor monoclonal antibody
terhadap FXII, menghambat aktifasi kontak dan mencegah terjadinya hipotensi yang
irreversible dan memperpanjang masa hidup (survival time) binatang- binatang yang
terinfeksi. Bukti-bukti ini menunjukan suatu peranan yang penting untuk sistim
kontak dalam kekacauan hemodinamik dari pasien- pasien sepsis. 45
Pada kebanyakan pasien- pasien dengan sepsis, sistim fibrinolisis tertekan
walaupun aktifasi sistim koagulasi terus berlanjut.32 Studi- studi klinik telah
membuktikan bahwa konsentrasi plasminogen pada pasien- pasien sepsis secara
signifikan menurun.45 Plasmin dibentuk apabila tissue plasminogen activator (t- PA)
mencetuskan perubahan plasminogen menjadi plasmin. Sejumlah zat alamiah
melindungi tubuh dari fibrinolisis yang berlebihan dengan menghambat aktifasi
plasminogen dan/atau aktifitas fibrinolitik dari plasmin. Dua inhibitor utama dari
fibrinolisis adalah plasminogen activator inhibitor 1 (PAI- 1) dan trombin activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI). PAI- 1 dihasilkan oleh sel-sel endotelium dan trombosit,
merupakan inhibitor utama dari t- PA yang bekerja cepat. Endotoksin yang dilepaskan
oleh patogen gram negatif meningkatkan aktifitas PAI-1.
Belakangan dilaporkan bahwa infus dari recombinant t-PA pada pasien-pasien
menderita meningococcal purpura fulminans menghasilkan perbaikan yang dramatik
pada hemodinamik dan meningkatkan perfusi kulit. Efek ini mungkin dapat
diterangkan dengan observasi bahwa kadar PAI- 1 pada pasien- pasien sepsis
meningkat secara bermakna.45
Kelainan- kelainan fibrinolitik pada sepsis berupa ; peningkatan aktifitas PAI-1,
penurunan aktifitas t- PA, penurunan kadar protein C, dan penurunan kadar
plasminogen. Akhirnya, terjadi penekanan fibrinolisis bersamaan dengan aktifasi
koagulasi dan menimbulkan coagulopathy pada pasien- pasien sepsis. Pada sepsis,

©2003 Digitized by USU digital library 20


antikoagulan alamiah yang paling penting peranannya adalah antitrombin, protein C,
dan Tissue Factor Pathway Inhibitor (TFPI). Pada penelitian terhadap binatang
dengan septic shock oleh karena infus endotoksin atau E.coli, menunjukan bahwa
antithrombin, protein C/activated protein C, atau TFPI dapat menurunkan frekuensi
kematian pada primata yang bukan manusia dan binatang lainnya.19
Manifestasi klinik paling ekstrem, ketidakseimbangan antara inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis menghasilkan coagulopathy yang meluas dan trombosis
mikrovaskuler. Coagulopathy, yaitu disseminated intravascular coagulation (DIC)
dapat merupakan komplikasi dari sepsis. DIC adalah suatu sindroma yang didapat,
ditandai dengan aktifasi koagulasi intravaskuler hingga pembentukan fibrin
intravascular. 29 Dalam satu studi prospektif yang besar, insidens DIC pada sepsis
adalah 16%, pada sepsis berat 18% dan pada septic shock 38%.49 Dalam tahun-
tahun belakangan ini, mekanisme dari kelainan sistemik penimbunan fibrin pada DIC
menjadi semakin jelas. Bertambahnya pembentukan fibrin disebabkan oleh
pembentukan trombin yang diperantarai TF dan secara bersamaan kadar
Antithrombin- III, protein C, dan protein S, menurun.21
Antithrombin- III (AT -III) merupakan inhibitor trombin yang paling penting
dan pada pasien- pasien sepsis jelas menurun. Penurunan ini disebabkan oleh
kombinasi dari konsumsi, degradasi oleh elastase yang dilepas dari neutrofil yang
aktif, dan kegagalan produksi. Kadar AT - III yang rendah pada DIC berhubungan
dengan peningkatan kematian, berhubungan dengan keparahan penyakit dan
menjadi marker prognosa yang jelek. 29,32 DIC, dengan penimbunan fibrin yang luas
pada mikrovaskuler dari berbagai organ, umumnya ditemukan pada septic shock. Hal
ini sangat erat kaitannya dengan terjadinya multiple organ failure syndrome dan
memberikan prognosis yang jelek dari pasien- pasien dengan septic shock.21.33

BAB III
BAHAN DAN CARA PENELITIAN

III.1. POPULASI PENELITIAN


Populasi penelitian ini adalah pasien sepsis dan septic shock, yang tersaring
berdasarkan kriteria ‘the American College of the Chest Physicians (ACCP) and the
Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized
Definitions of Sepsis”, dimana di- diagnosa sebagai sepsis apabila dijumpai dua atau
lebih dari keadaan berikut, yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman, yaitu :
1. Demam ( >38oC) atau hipotemia ( <36o C)
2. Tachypnea ( RR>24x/menit
3. Tachycardia (HR>90x/menit)
4. Leukositosis (>12.000/πL), leukpenia ( 4000/πL), atau > 10% batang.
Dan didiagnosa sebagai septic shock apabila dijumpai penderita sepsis dengan
hipotensi ( TD sistolik < 90 mmHg atau berkurang 40 mmHg dari TD normal pasien)
yang tidak respons dengan resusitasi cairan, bersama dengan disfungsi organ.11,20,35
Dari hasil penyaringan dan setelah menjalani proses kriteria eksklusi maka
sebagai hasil akhir didapati populasi penelitian sebanyak 39 orang, terdiri dari 21
orang penderita sepsis dan 18 orang normal sebagai kontrol. Semua populasi sepsis
berasal dari pasien- pasien yang dirawat-inap dibagian Penyakit Dalam FK- USU/RS.H.
Adam Malik Medan dan memenuhi kriteria sepsis tersebut diatas.
Sebagai kontrol adalah orang- orang yang sehat dimana tidak dijumpai
adanya tanda- tanda infeksi.

©2003 Digitized by USU digital library 21


III.2. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan secara cross-sectional study. Dimana keseluruhan pasien
sepsis memenuhi kriteria sepsis, dan dilakukan pemeriksaan assay dari FVII,
protrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time
(TT), jumlah trombosit, jumlah lekosit dan laju endap darah. Keseluruhan parameter
tersebut dilakukan pemeriksaan analisa satu arah.

III.3. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini dilakukan di bagian Patologi Klinik FK- USU/RSUP. H. Adam Malik
Medan dan bekerja sama dengan Bagian Penyakit Dalam FK-USU/RSUP.H. Adam
Malik Medan. Masa penelitian adalah dari mulai bulan Mei 2001 sampai dengan bulan
Juli 2002, atau bila pasien sepsis telah mencapai jumlah 30 orang. Penelitian
dihentikan apabila salah satu dari syarat masa penelitian telah dicapai. Ternyata
sampai dengan bulan Juli 2002 sesuai dengan kriteria waktu penelitian yang
disebutka n diatas, dan setelah melalui penyaringan dan eksklusi maka terkumpul
hasil akhir populasi sebagai berikut : populasi penelitian sebanyak 39 orang , terdiri
dari 21 orang penderita sepsis dan 18 orang normal sebagai kontrol.

III.4. PERSYARATAN UMUM SAMPEL


• Keseluruhan pasien maupun control yang masuk dalam penelitian ini
diberitahu terlebih dahulu akan tujuan, manfaat serta efek- efek yang kurang
menyenangkan, yang mungkin timbul pada mereka. Dan seluruhnya dengan
sukarela menyatakan kesediaannya (informed-consent)
• Penelitian ini telah dilaporkan kepada Komite Medik R.S.H. Adam Malik dan
disetujui secara lisan dari Ketua Komite Medik.
• Pasien yang dimasukkan dalam penelitian adalah penderita sepsis atau septic
shock yang didiagnosa oleh Bagian Penyakit Dalam, sesuai dengan criteria
“The American College of Chest Phisicians (ACCP) and the Society for Critical
Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized Definition of Sepsis”
seperti tersebut pada sub bab populasi penelitian.
• Untuk kelompok kontrol adalah orang normal yang terdiri dari dokter-dokter
peserta program dokter spesialis Patologi Klinik, R.S.H. Adam Malik Medan,
teknisi- teknisi laboratorium Patologi Klinik, R.S.H. Adam Malik Medan,
mahasiswa- mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan
beberapa pasien rawat jalan R.S.H. Adam Malik Medan yang tidak mempunyai
tanda-tanda infeksi.

Kriteria eksklusi :
Subjek-subjek tersebut dikeluarkan dari penelitian apabila :
1. Dijumpai kelainan/penyakit hati.
2. Menggunakan antikoagulan oral.
3. Menderita penyakit keganasan
4. Mendapat transfusi darah.
5. Pengambilan sample darah tidak dapat dilakukan dengan punksi yang lancar
(clean vent- puncture).
Dari hasil awal penyaringan berdasarkan kriteria sepsis sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh “the American College of Chest Phisician (ACCP) and the
Society for Critical Care Medicine (SCCM) Consensus Conference on Standardized
Definitions of Sepsis”, dijumpai populasi awal penelitian adalah 46 subjek dengan
perincian 28 pesien sepsis dan 18 kontrol. Populasi awal ini setelah diteliti lagi
dengan kriteria eksklusi ternyata 7 orang pasien sepsis yang pada awalnya tersaring,
dikeluarkan dari penelitian karena tidak memenuhi syarat dari kriteria eksklusi
tersebut diatas.

©2003 Digitized by USU digital library 22


Perincian adalah sebagai berikut : Dari ke 7 pasien sepsis tersebut 4 orang
menderita penyakit hati kronis (liver cirrhosis), 2 orang menderita keganasan (1
menderita acute leukemia dan seorang menderita gastric cancer), dan 1 orang gagal
dilakukan clean veni- puncture).
Setelah dilakukan penyaringan, maka didapat populasi akhir adalah sebagai
berikut : Jumlah populasi akhir dari penelitian ini adalah 39 orang, dimana 21 orang
penderita sepsis, yang terdiri dari 7 orang laki- laki dan 14 orang perempuan dan
umur antara 20 – 70 tahun. Sedangkan kontro l sebanyak 18 orang, terdiri dari 6
orang laki- laki dan 12 orang perempuan dengan umur antara 22 – 70 tahun.

III.5. PROSES PENGAMBILAN/PENGOLAHAN SAMPEL


III.5.1. Pengambilan sampel
Subjek- subjek diambil sampel darahnya dari vena mediana cubiti dengan
teka nan sebesar 40 mmHg dan harus merupakan pengambilan darah tanpa
mengalami kesulitan/kegagalan ( clean veni-puncture). Bagi pasien- pasien yang
mengalami shock ataupun odema jaringan dimana clean veni- puncture sulit
dilakukan maka pengambilan darah arteri dilakukan dengan tanpa pembendungan.
Sebagai catatan apabila pengambilan darah terjadi kegagalan atau kesulitan maka
pengambilan sample harus diulangi dari pembuluh darah yang lain. Dan apabila dua
kali usaha pengambilan sample gagal maka pengambilan sample darah dibatalkan
sama sekali. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi tromboplasti
jaringan yang terlepas pada waktu pengambilan darah yang tidak mulus, atau
pengambilan darah arteri tanpa diberi pembendungan. Pengambilan sampel darah
dilakukan tanpa memperdulikan hari keberapa pasien dirawat, dimana apabila
ditemukan pasien sepsis maka segera diambil sampel darahnya pada hari itu juga.
Dan pada saat pengambilan sampel darah, subjek dalam posisi berbaring. Didaerah
lengan yang akan dipunksi sekitar vena mediana cubiti terlebih dahulu dibersihkan
dengan alkohol 70% dan dibiarkan kering. Pengambilan darah sebanyak 6.5 cc
dilakukan dengan menggunakan spuit disposable 10 cc, dan darah dibagi menjadi 2
bagian :
1. 4.5 cc darah dimasukkan kedalam tabung plastik yang berisi 0.5 cc Na-citrat
3.8% untuk pemeriksaan protrombin time (PT), activated partial
tromboplastin time (aPTT), thrombin time (PT) dan pemeriksaan faktor VII.
2. 2 cc darah dimasukan kedalam tabung dengan anti koagulan EDTA untuk
pemeriksaa n darah rutin dan jumlah trombosit.

Sampel darah Na Sitrat sebanyak 5 cc sample darah sitrat setelah dipisahkan


sebagai platelet-poor- plasma, maka plasma tersebut digunakan untuk
pemeriksaan : Faktor pembekuan VII (FVII), Protrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), dan thrombin time (TT) dengan
menggunakan alat haemostatic-autoanalyzer “COAG- A-MATE MTX” ( Organon
teknika).
• Pemeriksaan faktor VII, menggunakan reagen Organon. Pemeriksaan
berdasarkan one-stage assay dengan dasar pemeri ksaan adalah berprinsip pada
pemeriksaan prothrombin time.
• Pemeriksaan PT, menggunakan reagen Organon menurut metode ( one-step
method) yang dianjurkan oleh Quick.
• Pemeriksaan aPTT, menggunakan reagen Organon menurut metode Manchester
• Pemeriksaan TT, menggunakan reagen Organon menurut metode yang
dianjurkan oleh Dade.
Sampel darah EDTA : sebanyak 2 cc sample darah EDTA yang disebutkan
diatas dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu :

©2003 Digitized by USU digital library 23


v Pemeriksaan darah rutin dilakukan dengan menggunakan alat : Hematologi
analyzer Celltac untuk pemeriksaan Hb, jumlah lekosit dan trombosit.
v Pemeriksaan LED dilakukan dengan cara sesuai yang dianjurkan oleh Wetergren.
v Pemeriksaan hematokrit menggunakan microcapillary-centrifuge dengan
kecepatan sentrifugasi 15.000 rpm selama 5 menit.
v Pemeriksaan hitung jenis leukosit dan morfologi darah dengan apusan darah
yang diwarnai dengan Giemsa.

III.5.2. Pengolahan sampel


• Pembuatan platelet - poor- plasma
Darah sitrat centrifuge dengan kecepatan 3500 r.p.m selama 15 menit untuk
mendapatkan PPP ( Platelet -poor-plasma). Kemudian plasma segera dipisahkan dari
darah untuk pemeriksaan PT, aPTT, TT dan faktor VII .(14) Plasma dalam waktu
kurang dari 1 jam telah dilakukan pemeriksaan PT, aPTT dan TT. Sedangkan plasma
untuk pemeriksaan faktor VII segera dipisahkan dari darah dibekukan dalam
pembeku ( frezeer) dengan temperatur - 40oC dan disimpan dalam tabung plastik 1
ml hingga dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan assay faktor VII dilakukan dalam
waktu 1 bulan sejak penyimpanan di freezer.

III.6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


III.6.1. Assay faktor VII. 27a
Metode : Pemeriksaan berdasarkan one-stage assay dengan dasar pemeriksaan
adalah berprinsip pada pemeriksaan faktor assay dengan FVII-depleted plasma
didasarkan pada pemeriksaan dasar prothrombin time (PT).
Prinsip : pemeriksaan membandingkan kemampuan dari plasma pasien dan plasma
standard untuk mengoreksi prothrombin time dari plasma defisiensi faktor VII.25,12
Pemeriksaan adalah berdasarkan normalisasi dari clotting-time dari plasma yang
defisien akan FVII ( FVII- depleted plasma) dengan plasma pasien yang akan
diperiksa aktifitas FVII- nya. Oleh karena FVII adalah merupakan komponen dari jalur
ekstrinsik pembekuan darah, dan pemeriksaan dasar jalur ekstrinsik adalah
berdasarkan azas prothrombin time (PT), maka pemeriksaan FVII tersebut adalah
menggunakan azas PT. aktifitas tersebut dibandingkan dengan aktifitas FVII dari
normal pooled-plasma ataupun plasma kontrol komersiil yang diketahui daya
koreksinya. Perbandingan kekuatan aktifitas adalah dengan membandingkan
masing- masing kurve aktifitas pasien terhadap kurve aktifitas normal pooled-plasma
atau plasma komersiil.
Persiapan reagen :
• FVII-depleted plasma dilarutkan dengan 1.0 ml aqua bidestilla, vial tutup
kembali dan biarkan pada temperatur kamar ( 20-250C) selama 30 menit.
Campur dengan baik baik sebelum digunakan.
• Plasma reference sebagai plasma kontrol komersial dilarutkan dengan 1 ml
aqua bidestilla, biarkan selama 30 menit dan campur baik- baik.
• Thromboplastin yang digunakan adalah : Simplastin Excel S oleh karena
pemeriksaan ini adalah berdasarkan pada one- stage faktor assay berdasarkan
prothrombin time.
• Imidazole Buffered Saline.

Pembuatan kurve reference ( kalibrasi) : pembuatan kurve ini dilakukan secara


otomatis oleh alat COAG-A- MATE MTX. Alat ini secara otomatis akan melakukan
pengenceran dari plasma reference komersiil dalam pengenceran 100%, 75%, 50%,
25%, 12.5%.
100 πL Plasma reference yang telah diencerkan oleh alat tersebut dicampurkan
secara otomatis dengan 100 πLFVII-depleted plasma pada saat ini terjadi normalisasi

©2003 Digitized by USU digital library 24


dari FVII depleted plasma dengan plasma reference tersebut. Campuran tersebut
kemudian diinkubasi secara otomatis pada temperatur 370 C selama 1 menit.
Kedalam kedua campuran plasma ditambahkan thromboplastin sampai membeku (
plasma clotting time) akan dicatat oleh alat COAG- A- MATE MTX. Perbandingan kurve
yang diplot berdasarkan double- log sheet dalam program alat tersebut akan secara
otomatis membandingkan aktifitas dari plasma pasien dengan plasma reference,
yang aktifitasnya akan dinyatakan sebagai aktifitas 100%.
Kurve reference ( kalibrasi).

CAM- MTX ORGANON TEKNIKA


LAB. PATOLOGI KLINIK RSUP H. ADAM MALIK

Reperence Curve for Test Method : * Factor VII- Simplastin Excel S

©2003 Digitized by USU digital library 25


Hal yang sama juga dilakukan pada plasma pasien yang akan diperiksa dimana 100ul
plasma pasien ditambahkan kedalam kedalam 100πL FVII depleted plasma dan telah
diinkubasi selama 1 menit maka kedalam campuran plasma tersebut ditambahkan
200πL larutan kerja thromboplastin. Waktu terjadinya pembekuan dicatat.
Pengukuran aktifitas dari FVII pasien tersebut adalah dengan membacanya melalui
kurve reference yang telah dibuat diatas tersebut.
Aktifitas faktor VII
Aktifitas FVII dinyatakan sebagai aktifitas FVII pasien dibandingkan dengan aktifitas
100% dari plasma reference.

III.6.2. Pemeriksaan Prothrombin Time (PT)


• Pemeriksaan PT dilakukan dengan memakai reagen Organon menurut metode
( one-step method) yang dianjurkan oleh Quick.
Prinsip : Prinsip test ini merupakan rekalsifikasi plasma dengan penambahan
thromboplastin. Pe meriksaan in vitro menunjukan kegunaan dari sistim pembekuan
darah jalur eksterinsik. 13
Cara kerja :
v Campur satu vial reagen tromboplastin ( Simplastin  Excel S) dengan satu
vial pelarut, goyang (putar-putar) dengan kuat untuk menjamin rehidrasi
lengkap. Dan sebelum digunakan harus dicampur dengan baik hingga
homogen.
v Hangatkan sejumlah volume reagen thromboplastin pada 370 C (0.2 ml per
test).
v Beri label tabung test (sampel dan kontrol), dan masukan 0.1 ml sampel atau
kontrol kedalam tabung yang sesuai.
v Inkubasi masing- masing tabung ( sampel dan kontrol) pada 370 C selama 3 –
10 menit.
v Tambahkan 0.2 larutan reagen thromboplastin hangat kedalam tabung yang
berisi plasma diatas dan secara bersamaan jalankan stopwatch.
v Tabung digoyang dan perhatikan terbentuknya bekuan, saat terbentuknya
bekuan stopwatch dihentikan dan catat waktu ( dalam detik).

III.6.3. Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)


Pemeriksaan APTT dilakukan dengan memakai reagen Organon menurut
metode Manchester.
Prinsip Test : Aktifator silica dan fosfolipid akan mengaktifasi mekanisme koagulasi
setelah penambahan ion klsium. Pemeriksaan in vitro menunjukan efisiensi dari
sistim pembekuan darah jalur instrinsik. 13
Cara kerja :
v Hangatkan sejumlah volume kalsium klorida 0.025 M pada suhu 370 C
v Beri label masing- masing tabung test ( sampel dan kontrol), dan masukan 0.1
ml sampel atau kontrol kedalam tabung yang sesuai.
v Lalu tambahkan 0.1 ml reagen aPTT ( Platelin LS) kedalam masing- masing
tabung ( sampel dan kontrol)
v Inkubasi masing- masing tabung pada suhu 370 C selama 5 menit.
v Segera tambahkan sebanyak 0,1 ml larutan kalsium klorida 0,025 M yang
hangat kedalam masing- masing tabung dan secara bersamaan jalankan
stopwatch untuk menentukan lamanya waktu untuk terbentuk bekuan.
v Tabung digoyang dan perhatikan terbentuknya bekuan, dan stopwatch
dihentikan saat terbentuknya bekuan, dan catat waktunya ( dalam detik).

©2003 Digitized by USU digital library 26


III.6.4. Thrombin Time (TT)
Pemeriksaan TT dilakukan dengan memakai reagen Organon teknika, dengan
menurut metode yang dianjurkan oleh Dade.
Prinsip Test : Pemberian larutan thrombin pada plasma akan menimbulkan
perubahan fibrinogen menjadi fibrin.13
Cara kerja :
v Campur satu vial reagen trombin ( Thromboquick®) dengan 3.0 ml aqua
bidestilata, putar- putar hingga tercampur rata ( jangan dikocok)
v Hangatkan reagen trombin paad suhu 370 C selama 2 menit.
v Beri label masing- masing tabung test ( sampel dan kontrol), dan masukan 0.2
ml sampel atau kontrol kedalam tabung yang sesuai dan hangatkan pada
suhu 370 C selama 2 menit.
v Tambahkan sebanyak 0,2 ml reagen trombin kedalam masing- masing tabung
yang berisi 0,2 ml plasma, dans egera jalankan stopwatch.
v Goyang dan perhatikan terbentuknya bekuan. Saat terbentuknya bekuan
stopwatch dihentikan, dan cata waktu ( dalam detik).

III.7. PEMANTAPAN KWALITAS LABORATORIUM


Pemantapan kwalitas penting dilakukan untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan yang dapat dipercaya. Program kontrol meliputi pengumpulan dan
penanganan specimen, reagen, bahan reference, peralatan, serta teknik
pemeriksaan.
Pemantapan kwalitas pemeriksaan
Sampel darah untuk pemeriksaan FVII, PT, aPTT dan TT diambil dengan
menggunakan spuit disposibel, dan sebanyak 4.5 cc dimasukan kedalam tabung
plastik yang berisi 0.5 cc Na-citrat 3.8%. Kemudian darah tersebut di centrifuge
dengan kecepatan 3500 r.p.m selama 15 menit untuk mendapatkan PPP ( platelet -
poor-plasma).
Pemantapan kwalitas untuk faktor VII, dilakukan dengan memakai plasma
kontrol normal dari kit reagen „Organon“ ( verify 1) . Jika hasil pemeriksaan plasma
kontrol normal berada dalam batas- batas normal, maka hasil pemeriksaan saat itu
dianggap baik. Pemeriksaan plasma kontrol normal dilakukan saat mulai
pemeriksaan. Dan juga dilakukan dengan membuat pooled plasma dengan
mengumpulkan plasma dari 20 orang normal dengan cara seperti diatas, kemu dian
dicampur hingga rata, kemudian dimasukan kedalam cuvet 1 cc dan disimpan dalam
freezer dengan temperatur - 400 C. Sebelum melakukan pemeriksaan plasma
dicairkan ( thawing) pada temperatur 370 C. Dari pooled plasma ini dilakukan
pemeriksaan FVII pada 20 c uvet dengan 2 seri pemeriksaan ( pada hari yang
berbeda) untuk mendapatkan nilai rata- rata dan standard deviasi (SD). Pooled
plasma hanya digunakan untuk kontrol pada pemeriksaan pertama dari sampel
penelitian, oleh karena plasma untuk pemeriksaan FVII hanya disimpan dalam
waktu satu bulan. Dan hasil kontrol pada pemeriksaan sampel yang pertama in
dinyatakan baik, yaitu masuk dalam mean (108.9%).
Semua reagensia disimpan dalam refrigerator pada temperatur 4 – 80 C.
Reagensia dilarutkan segera sebelum digunakan.
Tabung- tabung untuk penyimpanan serta pemeriksaan digunakan tabung
yang baru. Alat COAG- A- MATE MTX terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan
kalibrator yang sesuai dengan standard reference dan spesifikasi alat untuk
mendapatkan hasil yang akurat.
Pe mantapan kwalitas pemeriksaan PT,aPTT, dan TT dilakukan dengan
memakai plasma kontrol normal dari kit reagen „Organon“ (verify 1). Pemeriksaan
plasma kontrol normal dilakukan pada saat awal pemeriksaan. Jika hasil

©2003 Digitized by USU digital library 27


pemeriksaan plasma kontrol normal berada dalam batas- batas nilai yang
dicantumkan dalam kit reagen, maka hasil pemeriksaan saat itu dianggap baik.

III.8. ANALISA STATISTIK


Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat statistik computer
dengan program OXSTAT - V. Perbedaan dua parameter di- test dengan test
kemaknaan Mann- Whitney U sedangkan hubungan dua parameter dilakukan dengan
menggunakan correlation test.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini adalah suatu penelitian cross-sectional yang dilakukan untuk


mengetahui aktifitas faktor pembekuan VII (FVII) pada sepsis. Pada awalnya
direncanakan untuk me - rekrut jumlah kasus sepsis sebanyak 30 pasien ataupun bila
tidak tercapai maka penelitian yang dilaksanakan bekerjasama dengan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK- USU/RSUP H. Adam Malik Medan dimulai pada bulan Mei 2001
akan diakhiri sampai bulan Juli 2002. Ternyata akhirnya oleh karena sulitnya rekrut
dari kasus- maka pengakhiran dari penelitian ( end of the study) dilakukan
berdasarkan waktu penelitian yang telah habis, dimana pada akhir Juli 2002 resmi
penelitian ini dihentikan.
Dalam kurun waktu penelitian selama ± 1 tahun, didapat jumlah pasien yang
diteliti sebanyak 46 pasien yang terdiri dari 28 orang pasien sepsis dan 18 orang
kontrol normal. Dari 28 pasien sepsis ini, 7 orang dikeluarkan dari penelitian karena
tidak memenuhi persyaratan berdasarkan kriteria eksklusi.
Dari hasil penyaringan tersebut, maka didapat sebagai populasi akhir adalah
sebagai berikut : jumlah populasi akhir 39 orang dimana 21 orang pasien sepsis (
tabel 1) dan 18 orang kontrol. Semua populasi sepsis berasal dari pasien-pasien
yang dirawat - inapkan di bagian Penyakit Dalam FK- USU/R.S. H. Adam Malik Medan
dan memenuhi kriteria sepsis dari ACCP dan SCCM, yaitu didiagnosa sebagai sepsis
apabila dijumpai dua atau lebih dari keadaan berikut : (1) demam ( >380 C) atau
hipotermia ( <360 C), (2) tachypnea (RR>24x/menit), (3) tachycardia
(HR>90x/menit), (4) leukositosis ( >12.000/µL, leukopenia ( <4000/ µL), atau 10%
batang, yang dibuktikan atau diduga penyebabnya kuman. Dan diagnosa sebagai
septik shock apabila dijumpai penderita sepsis dengan hipotensi (TD sistolik <
90mmHg atau berkurang 40mmHg dari TD normal pasien) yang tidak respons
dengan resuitasi cairan, bersama dengan disfungsi organ.11,20,35
Dari 21 orang penderita sepsis tersebut diatas :
• 9 orang memenuhi 4 kriteria sepsis tersebut diatas.
• 9 orang memenuhi 3 kriteria yaitu :
- 3 orang memenuhi kriteria ; temperatur >380 C, HR> 90x/menit, dan
leukosit >12.000/µL
- 2 orang dengan ; HR >90x/menit, RR >24x/menit, dan leukosit
>12.000/µL
- 1 orang dengan ; temperatur >380 C, RR>24x /menit dan leukosit
>12.000/µL
- 1 orang dengan, temperatur >380 C, HR>90x/menit, dan leukosit
<4000/ µL
- 1 orang dengan , temperatur >380 C, HR>90 x/menit, dan RR >24 x/menit.
- 1 orang dengan, HR>90 x/menit, dan RR >24x/menit, dan neutrofil batang
> 10%.
• 3 orang memenuhi 2 kriteria yaitu ;
- 2 orang dengan RR >24x/menit, dan leukosit >12.000/µL

©2003 Digitized by USU digital library 28


- 1 orang dengan ; HR >90 x/menit, dan RR >24x/menit
- 1 orang dengan temperatur >380 C, HR >90 x/menit
Dan dari 21 pasien sepsis tersebut, 2 orang menderita septik shock.
Setelah dilakukan analisis data- data penelitian, diperoleh hasil sebagai
berikut : (tabel 1). Dari 21 pasien sepsis yang dimasukan dalam penelitian ini
didapati aktifitas factor VII ; mean ± SD adalah 65.50 ± 18.10%, sedangkan pada
kelompok kontrol mean ± SD adalah 129.91 ± 18.49%. dari hasil tersebut terlihat
bahwa faktor VII pada pasien- pasien sepsis seperti aktifitasnya secara signifikan
lebih rendah dibanding kontrol (p<0.001) (gambar 1), sedangkan Prothrombin Time
(PT) pada pasien- pasien sepsis lebih tinggi dari kontrol (p<0.001) (gambar 2). Dan
dijumpai korelasi terbalik antara faktor VII dan PT dimana koefisien korelasinya r = -
0.622 (gambar 3).
No. Parameter Kelompok sepsis Kelompok kontrol
Mean ± S D Mean ± S D
1. Faktor VII (%) 65.50 ± 18.10 129.91 ± 18.49
2. PT (INR) 1.22 ± 0.21 0.98 ± 0.07
3. PT (detik) 15.3 ± 2.7 12.77 ± 0.74
4. aPTT (ratio) 1.05 ± 0.2 1.03 ± 0.15
5. APTT (detik) 30. 58 ± 6.97 31.16 ± 2.52
6. TT (ratio) 1.04 ± 0.20 0.91 ± 0.11
7. TT ( detik) 12.45 ± 2.27 11.12 ± 1.27
8. Trombosit ( x109/I) 203.52 ± 84.43 350 ± 50.89
9. Leukosit (x109/I) 15.41 ± 5.92 8.52 ± 1.33
10. LED (mm/jam) 61.62 ± 34.52 10.22 ± 3.78

Tabel diatas memperlihatkan Mean ± SD dari FVII, PT,aPTT, TT, jumlah trombosit,
leukosit dan LED dari pasien- pasien penderita sepsis dan contoh normal. FVII
dinyatakan dalam % aktifitas dibandingkan dengan plasma reference yang dianggap
mempunyai aktifitas 100%. Hasil PT dinyatakan dengan international normalized
ratio (INR), aPTT dan TT dengan ratio yaitu angka nilai aPTT dan TT dalam detik
dibagi kontrol masing- masing dalam detik. Jumlah trombosit dan lekosit dalam
x109 /I. Laju endap darah dinyatakan dalam kecepatan sedimentasi dalam mm/jam.

©2003 Digitized by USU digital library 29


Gambar 1. Aktivitas FVII pada sepsis dan kontrol

F-VII
(%)
160

140
P<0.001
120

100

80

60

40

20

0
SEPSIS KONTROL

Gambar ini menunjukan aktifitas FVII dari kelompok sepsis dan kontrol, dimana
aktifitas FVII pada penderita sepsis adalah lebih rendah bermakna (p<0.001). Mean
± SD adalah 129.91 ± 18.49%

©2003 Digitized by USU digital library 30


Gambar 2.
Nilai Prothrombin Time rata-rata pada pasien sepsis dan kontrol

1,6

1,4
P< 0.001
1,2

0,8

0,6

0,4

0,2

0
SEPSIS KONTROL

Gambar ini menunjukan nilai prothrombin time (PT) yang dinyatakan dalam INR dari
pasien sepsis dan kontrol normal. Disini terlihat PT dari pasien sepsis adalah lebih
panjang bermakna (1.22 ± 0.21) dibanding kontrol normal ( 0.98 ± 0.07)

©2003 Digitized by USU digital library 31


Gambar 3. Korelasi antara aktivitas faktor VII dan PT
PT (INR)

2.0 -

r = - 0.0622
1.5 -

1.0 -

0.5 -

F VII (%)

| | | | |
20 40 60 80 100

Gambar menunjukan korelasi terbalik antara aktivitas faktor VII dan prothrombin
time dengan coefficient of correlat ion, r = - 0.622, p = 0.003

Akan tetapi, tidak dijumpai perbedaan yang bermakna dari ratio aPTT atau TT
pasien dalam detik dibagi kontrol masing- masing dalam detik ( p>0.05) (gambar 4)
Hitung trombosit pada pasien- pasien sepsis menunjukan hasil lebih rendah
dari kelompok kontrol, dimana didapati mean ± SD pada pasien-pasien sepsis adalah
203.52 ± 84.43 x 109 /L, sedangkan pada subjek normal mean ± SD adalah 350 ±
50.89 x 109 /L (p<0.001), walaupun jumlah trombosit rata- rata pada pasien-pasien
sepsis masih dalam batas normal (gambar 5).
Sedangkan hitung leukosit dan pemeriksaan laju endap darah (LED) pada
pasien-pasien sepsis lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Pada penelitian ini
didapati jumlah leukosit pada pasien sepsis adalah mean ± SD = 15.41 ± 5.92 x
109 /L, sedangkan pada kontrol normal mean ± SD = 61.62 ± 34.52 mm/jam, dan
pada control normal mean ± SD = 10.22 ± 3.78 mm/jam, dimana keduanya p<0.001
( gambar 6 dan 7).

©2003 Digitized by USU digital library 32


Gambar 4. Ratio rata-rata aPTT dan TT
Ratio

1.1 - P >0.05

1.05 -
P = 0.052

1-

0.95 -

0.9 -

0.85 -
Sepsis Kontrol Sepsis TT Kontrol T
aPTT aPTT
Gambar ini menunjukan nilai activated partial thromboplastin time (aPTT) yang
dinyatakan dalam ratio dari pasien sepsis dan kontrol normal. Disini terlihat bahwa
aPTT dari pasien sepsis tidak berbeda bermakna dengan kontrol normal (p>0.05),
begitu juga dengan nilai rata- rata thrombin time (TT) dari pasien sepsis dan kontrol
(p =0.052).
Gambar 5.
Jumlah trombosit rata-rata pada sepsis dan kontrol

Jumlah Trombosit
(x 109 /L
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
SEPSIS KONTROL

©2003 Digitized by USU digital library 33


Gambar ini menunjukan jumlah rata- rata trombosit (x109/L) dari pasien sepsis dan
kontrol. Disini terlihat bahwa jumlah trombosit pada pasien sepsis secara bermakna
lebih rendah dari kontrol normal ( p <0.001), dimana jumlah trombosit pada pasien
sepsis Mean ± SD adalah 203.52 ± 84.43, sedangkan pada kontrol 350 ± 50.89

Gambar 6.
Jumlah leukosit rata-rata pada sepsis dan kontrol
Jumlah leukosit
(x109 /L
5.9
18
16
14 p < 0.001
12 1.3
10
8
6
4
2
0
SEPSIS KONTROL
Pada gambar ini terlihat bahwa jumlah leukosit ( x 109/L) pada pasien sepsis rata-
rata lebih tinggi dari kontrol normal, dimana pada kelompok sepsis Mean ± SD adalah
8.52 ± 1.33.

©2003 Digitized by USU digital library 34


Gambar 7.
Nilai rata-rata LED pada sepsis dan kontrol

LED
(mm/jam)
80
34.5
70
60
P < 0.001
50
40
30
3.8
20
10
0
Sepsis Kontrol
Gambar ini menunjukan nilai rata- rata laju endap darah (mm/jam) dari pasien sepsis
dan kelompok kontrol. Dimana pada sepsis nilai LED nya secara bermakna lebih
tinggi dari kelompok kontrol (p<0.001).

BAB V
DISKUSI

Telah lama dikenal oleh para peneliti bahwa sepsis berhubungan erat dengan
terjadinya gangguan pembekuan darah. Beberapa kasus sepsis yang telah memasuki
tahap lanjut terlihat pada fase-fase timbulnya tendensi terjadinya perdarahan. Salah
satu yang khas pada sepsis adalah perdarahan yang timbul tersebut menjurus pada
terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC), dan timbulnya keadaan
tersebut adalah terjadi tanpa adanya rupture (koyak) dari lapisan endotelium.
Telah banyak penelitian yang dilaporkan tentang kejadian sepsis tetapi
bagaimana tepatnya pembekuan darah dipacu sehingga terjadi kekacauan sistim
pembekuan masih terus dipelajari dan diperdebatkan. Laporan akhir- akhir ini
menunjukan bahwa sepsis yang disebabkan oleh Gram negative septicaemia adalah
merupakan penyebab paling sering terjadinya gangguan sistim pembekuan darah.
Dari bakteri Gram negatif, yang paling sering disebutkan sebagai pencetus adalah
endotoksin yang dilepaskan sewaktu terjadinya kehancuran ( cytolysis) dari bakteri
tersebut. Endotoksin tersebut merangsang sel- sel mononuklear untuk melepaskan
mediator yang berupa tumor necrosis factor (TNF) atau interleukin- 1 (IL-1) yang

©2003 Digitized by USU digital library 35


mana disebutkan terakhir ini akan merangsang endotelium untuk mengaktifkan
sistim pembekuan darah.
Pada awalnya para peneliti menganggap bahwa pemacuan sistim pembekuan
darah melalui jalur instrinsik mungkin memegang peran penting karena dari jalur
tersebut dilepaskan bradikinin yang bertanggung jawab atas terjadinya hipotensi
pada sindroma shock yang biasa terjadi pada septic -shock syndrome.
Penelitian yang mendalam akhir-akhir ini menunjukan bahwa ternyata jalur
instrinsik tidak memegang peran yang terlalu dominant, akan tetapi yang sangat
berperan dalam terjadinya gangguan sistim pembekuan pada sepsis adalah jalur
ekstrinsik. Dan yang paling banyak dilaporkan memainkan peran yang penting
adalah tissue factor. Pentingnya tissue faktor dalam sepsis ini terlihat ditemukan
suatu zat yang beredar dalam darah dan jaringan, yang disebut tissue faktor
pathway inhibitor (TFPI). Penemuan TFPI memberikan nuansa baru bagi peneliti
haemostasis dan sepsis karena TFPI ini dianggap sebagai suatu jalur baru ( new
pathway) dalam sistim pembekuan darah.
TFPI adalah suatu inhibitor yang dengan erat melakukan kompeks dengan
tissue factor, FVII, dan faktor pembekuan X (FX) dimana kompleks yang terbentuk
ini akan menghambat pembentukan trombin. Dengan demikian maka aktifasi dari
tissue faktor menjadi terhambat.1
Laporan- laporan yang datang pada sepsis adalah bahwa terjadinya penurunan
aktifasi dari TFPI. Penurunan ini sangat besar kemungkinan terjadi akibatnya over-
consumption dari TFPI oleh proses DIC. Oleh karena adanya penurunan kadar TFPI
pada pasien sepsis, maka beberapa peneliti mencoba memberikan TFPI kepada
baboon yang sengaja diinfeksi dengan kuman Eschericia coli (E.coli) via intra-venous
infusion dan juga kepada kelinci yang diinfeksi dengan kuman E.coli tersebut ke
daerah intra- peritoneal. Ternyata pemberian TFPI tersebut selain meningkatkan
kadar TFPI didalam aliran darahnya juga mengurangi angka kematian pada kedua
jenis hewan tersebut. Dan selain itu, TFPI yang diberikan dalam dosis rendah tidak
memberikan efek antikoagulan, akan tetapi dapat mengurangi angka kematian pada
kelinci yang diinfeksi secara intra peritoneal tersebut. Mekanisme bagaimana kadar
rendah TFPI dapat menurunkan angka kematian masih belum dapat terjawab.1,24
Selain pada hewan, maka TFPI juga telah mulai dicoba pada manusia dan
terlihat tendensi memberikan pengaruh yang baik pada pasien yang menderita
sepsis. Walaupun begitu masih diperlukan studi yang lebih besar dan melibatkan
jumlah individu yang lebih besar untuk memastikan hal tersebut pada manusia. 1
Diluar dari laporan-laporan tentang tissue factor dan TFPI, maka salah satu
zat yang lain yang sangat penting pada jalur ekstrinsik adalah FVII. Sayangnya
sejauh ini laporan tentang FVII pada sepsis praktis sangat minim sekali. Telah
diketahui bahwa FVII akan membentuk kompleks bersama tissue factor untuk
mengaktifkan jalur ekstrinsik. Tidak jelas mengapa laporan tentang FVII relatif
minim dibanding tissue factor. Salah satu kemungkinan adalah karena ditemukannya
jalur sistim pembekuan darah yang baru yaitu TFPI yang merupakan inhibitor
alamiah dari tissue factor.
Sejauh ini beberapa laporan tentang FVII adalah dari binatang primate yang
bukan manusia ( non-human primate), dimana injeksi endotoksin dosis rendah pada
binatang tersebut, dihasilkan trombin yang dimediasi oleh faktor VII, sedangkan
kadar dari marker- marker aktifasi jalur instrinsik masih dalam batas (range)
normal.49 Dan satu laporan tentang FVII pada pasien- pasien sepsis dan septic shock
dimana populasi penelitian tersebut melibatkan pasien- pasien neutropenia yang
diinduksi oleh kemoterapi, dilaporkan bahwa terjadinya penurunan kadar Faktor VII
activity dan Faktor FVV Ag yang secara signifikan lebih besar pada pasien-pasien
yang berkembang menjadi septic shock. 33

©2003 Digitized by USU digital library 36


Pada laporan tersebut, terlihat FVII baik aktifitasnya maupun antigennya
menurun pada sepsis, dan penurunannya lebih bermakna pada pasien- pasien yang
menderita septic shock dibanding dengan penderita sepsis. Penurunan kedua
pertanda FVII yaitu aktifitas dan antigen secara bersamaan menunjukan bahwa pada
studi tersebut terjadi penurunan FVII yang sesungguhnya dan bukan hanya suatu
disfungsi. Tetapi oleh karena studi tersebut melibatkan pasien- pasien yang menjalani
kemoterapi sedangkan kemoterapi sendiri dapat mempengaruhi aktifitasnya dari
faktor- faktor pembekuan maka studi tersebut masih tidak jelas apakah penurunan
FVII disebabkan oleh karena sepsis atau karena pengaruh obat kemoterapi.
Pada penelitian kami ini, populasinya tidak terdapat pasien dengan
neutropenia oleh karena kemoterapi, ternyata dan hasilnya menunjukan bahwa FVII
lebih rendah secara bermakna dibanding dengan subjek- subjek yang normal. Maka
dapat disimpulkan bahwa menurunnya FVII pada sepsis adalah karena proses
sepsisnya sendiri.
Walaupun sepsis sebagai penyebab turunnya FVII, tetapi tidak jelas
mekanisme mengapa FVII menjadi lebih rendah pada penderita- penderita sepsis .
Salah satu teori bahwa sepsis dapat menganggu fungsi hati, sedangkan sintesa FVII
terjadi dihati dengan bantuan vitamin K, tetapi pada penelitian ini pasien-pasien
dengan gangguan fungsi hati dikeluarkan dari penelitian. Maka kemungkinan
penurunan FVII oleh karena gangguan sintesa dapat disingkirkan.
Kemungkinan lain adalah oleh karena FVII banyak digunakan akibat dipacu
oleh sepsis yang pada dasarnya cenderung mengarah pada DIC.
Dan ternyata penurunan FVII pada pasien- pasien yang diteliti disini diikuti
dengan pemanjangan dari prothrombin time (PT). Hal ini tidak mengherankan
karena FVII adalah ,merupakn komponen dari jalur ekstrinsik dan PT selama ini juga
dipakai sebgai test untuk memonitor aktifitas dari jalur ekstrinsik pembekuan darah.
Maka pemanjangan dari PT pada penelitian ini sangat mungkin disebabkan oleh
penurunan aktifitas FVII. Walaupun demikian, analisa statistik dengan correlation
study menunjukan angka yang mendekati satu. Dengan demikian maka hubungan
korelasi negative dari FVII dan PT adalah kurang baik. Tidak jelas benar mengapa
FVII dan PT walaupun yang satu adalah komponen jalur ekstrinsik dan satunya lagi
test parameter jalur ekstrinsik tidak memberikan hubungan yang baik. Salah satu
kemungkinan adalah bahwa test PT bukanlah hanya mengukur aktifitas FVII saja
tetapi juga mengukur beberapa komponen dari sistim pembekuan darah. Apabila hal
ini benar maka tidak mengherankan apabila coefficient of correlation yang didapat
kurang baik.
Fakta bahwa pada sepsis jalur instrinsik tidak terlalu memegang peran yang
penting dapat dilihat dari hasil penelitian ini, dimana aPTT yang merupakan
parameter pengukuran jalur instrinsik tidak memberikan hasil yang berbeda
bermakna antara pasien- pasien sepsis dengan kontrol normal. Masih banyak yang
harus diungkapkan mengapa jalur instrinsik tidak terlalu dipengaruhi pada keadaan
sepsis. Salah satu kemungkinan adalah bahwa pada sepsis tidak terjadi rupture dari
endothelium sedangkan jalur instrinsik sangat penting pemacuannya apabila terjadi
kerusakan endothelium. Hal ini oleh karena zat-zat yang berada pada ruang sub-
endotelium seperti collagen yang bermuatan ion negative dapat memacu jalur
instrinsik tersebut. Demikian juga dengan hasil thrombin time (TT) yang telihat tidak
menunjukan perbedaan bermakna antara kelompok sepsis dan kontrol normal (
p=0.052). Walaupun tidak bermakna tetapi hasil tersebut menunjukan angka
pencapaian yang berada pada boder-line. Thrombin time, walaupun memeriksa jalur
bersama ( final common pathway) tetapi secara partial dipengaruhi juga oleh
aktifitas dari sistim pembekuan darah jalur ekstrinsik. Maka aPTT yang tetap dan TT
yang berubah dan mencapai secara statistik perbedaan yang hampir bermakna,
menunjukan bahwa jalur instrinsik tidak memegang peranan sebesar jalur ekstrinsik.

©2003 Digitized by USU digital library 37


Da ri hasil pemeriksaan jumlah leukosit dijumpai bahwa leukosit pada pasien-
pasien sepsis secara bermakna lebih tinggi dari subjek- subjek normal ( p<0.001).
Hal ini tentu saja sejalan dengan kriteria sepsis yang dipakai, dimana salah satu dari
kriteria tersebut adalah leukositosis. Sedangkan trombosit pada pasien-pasien
sepsis, secara bermakna lebih rendah dibanding dengan subjek normal (p<0.001),
hal ini mungkin bahwa pada pasien- pasien sepsis tersebut ada tendensi untuk
menjurus kearah DIC, walaupun jumlah trombosit rata- rata dari pasien- pasien sepsis
tersebut masih dalam batas normal.
Selain dari pada kesemuanya yang telah disebut diatas ternyata peran dari
FVII pada kontribusi sepsis dan mencetuskan DIC sangat penting. FVII bersama
tissue factor adalah salah satu komponen dasar terbentuknya trombin. Yang
disebutkan terakhir ini yaitu trombin adalah merupakan zat yang penting dalam
menjaga keseimbangan antara efek procoagulant dan proinflammatory. Hal ini dapat
terlihat bahwa pada DIC yang disebabkan oleh sepsis, lebih banyak menampilkan
gambaran klinis dari terjadinya reaksi proinflammatory yang menyebabkan
terjadinya organ damage dan multiple organ failure. Hal ini tidak seperti pada DIC
pada umumnya, dimana efek DIC pada sepsis lebih menonjol efek gangguan organ
dibandingkan dengan efek perdarahan yang mungkin muncul.
Setelah menelaah hasil penelitian ini, maka dapat kiranya dikatakan bahwa
penelitian FVII pada sepsis yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu
penelitian yang jarang atau mungkin belum pernah dilakukan oleh peneliti- peneliti
sebelumnya. Laporan tentang FVII pada sepsis pada manusia sebegitu jauh adanya
dari pasien-pasien sepsis yang menjalani kemoterapi, sedangkan pada penelitian ini
tidak ada satupun pasien yang menjalani kemoterapi untuk penyakit keganasan.
Penelitian ini diutamakan untuk mengetahui fakta apakah memang FVII
berubah pada sepsis atau tidak sama sekali. Dan penelitian FVII pada sepsis ini
dapat dikatakan sebagai penelitian yang jarang dilakukan pada manusia.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa aktifitas faktor VII pada sepsis lebih
rendah bermakna dibanding orang normal, dan memerlukan penelitian jauh kedepan
untuk mengetahui mekanisme mengapa FVII menurun aktifitasnya pada sepsis.
Walaupun mungkin dapat digunakan sebagai salah satu pertanda DIC, sampai
saat ini belum dapat dipakai saran dan diagnostik.

©2003 Digitized by USU digital library 38


KEPUSTAKAAN

1. Abraham E.Tissue faktor inhibition and clinical trial result of tissue faktor
pathway inhibitor in sepsis. Crit care med. 2000 ; 28(suppl):S31 – 3.
2. Astiz ME, Rackow EC. Septic shock. The lancet 1998 ; 351 : 1501 – 5.
3. Bauer KA, Rosenberg RD. Control of coagulant reaction. In : Beutler E,
Lictman MA, Coller BS, Kipps TJ, Eds. Williams Hematology.5th ed. New York :
McGraw- Hill, 1995 : 1139 – 251
4. Bauner KA. Laboratory markers of coagulation activation. In : McArthur JR,
Lee SH, Wong JEL, et al. Eds. Proceeding of the 26th Congress of the
International Society of Haemotology ; 1996 August 25 – 29 ; Singapore,
1996 : 435 – 7.
5. Bough RJ, Broze Jr GJ, Krishnaswamy S. Regulation of Extrinsic Pathway
Faktor Xa Formation by Tissue Faktor Pathway Inhibitor. J Biol Chem
1998;273 :4378 – 86.
6. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al. Efficacy and safety of recombinant
human activated protein c for severer sepsis. N Eng J Med 2001 ; 344 : 699 -
709
7. Bithell TC. Blood coagulation. In : Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW,
Lukens JN, Editor. Wintrobe’s Clinical Hematology. Volume 1, 9th ed.
Philadelphia : Lea & Febiger, 1993 : 566 – 615.
8. Bithell TC. Platelets and megakaryocytes. In : Lee GR, Bithell TC, Foerster J,
Athens JW, Lukens JN, Editors. Wintrobe’s Clinical Hematology. Volume 1,9th
ed. Philadelphia : Lea & Febriger, 1993 : 511 – 39.
9. Bithell TC. The physiology of primary hemostasis. In : Lee GR, Bithell TC,
Foester J, Athens JW, Lukens JN, Editors. Wintrobe’s Clinical Hematology.
Volume 1, 9th ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1993 : 540 – 65.
10. Bithell TC. Thrombosis and antithrombotic theraphy. In : Lee GR, Bithell TC,
Foerster J, Athens JW, Lukens JN, Editor. Winstrobe’s Clinical Hematology :
1,9th ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1993 : 1515 – 51.
11. Braundwald E. Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, eds.
Sepsis and septic shock. In : Harrison’s manual of medicine. New York :
McGraw- Hill, 2002 : 129 – 32.
12. Brozovic M, Mackiel. Investigation of a bleeding tendency. In : Dacie JV, Lewis
SM, eds. Practical Haemotology. Seventh ed. London : Chruchill Livingtone,
1993 : 293 – 318.
13. Brozovic M. Investigation of acute haemostatic failure. In : Dacie JV, Lewis
SM, eds. Practical Haemotology. Seventh ed. London : Chruchill Livingtone,
1993 : 279 – 84.
14. Brozovic M. Investigation of Haemostasis. In : Dacie SJV, Lewis SM, editors.
Practical Haemotology. Seventh ed. London : Chruchill Livingtone, 1993 : 279
– 84.
15. Burstein SA, Breton- Gorius J. Megakaryopoiesis and platelet formation. In :
Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ, Eds. Williams Hematology. 5th
ed. New York : McGraw-Hill, 1995 : 1149 – 60
16. Cate HT. pathophysiology of disseminated intravascular coagulation in sepsis.
Crit care med 2000 ; 28 (suppl) : S9 – S11
17. Chong BH. The “New” coagulation cascade. Proceeding of the 4th Malaysian
Natinonal Heamotology Scientific Meeting, 2002 Mar 15- 17; Penang,
Malaysia.
18. Eichinger S, Mannucci PM, Tradati F, et al. Determinant of plasma faktor VIIa
Levels in Humans. Blood 1995 ; 86 : 3021 – 5.

©2003 Digitized by USU digital library 39


19. Esmon CT. introduction : are natural anticoagulants candidates for modulating
the inflammatory response to endotoxin ? Blood 2000;95 : 1113 – 6.
20. Evans TW, Smithies M. ABC of intensive care Organ dysfunction. BMJ 1999 ;
318 : 1606- 9.
21. Fourrier F, Chopin C, Goudemand J, Hendrycx S, Caron C, Rime A. Marey A,
Lestavel P. Septic shock, multiple organ failure and disseminated
intravascular coagulation. Compared patterns of antithrombin III, protein C
and protein S deficiencies. Chest 1992 ; 101 (3), 816- 23
22. Glauser MP. Pathophysiologic basic of sepsis : Consideration for future
strategies of intervention. Crit care med 2000; 28(suppl) : S4 – 8
23. Goodnight SH, Hathaway WE. Disorder of haemostatis & thrombosis a clinical
quide. Second ed. New York : McGraw- Hill, 2001
24. Hack CE. Tissue faktor pathaway of coagulation in sepsis. Crit care med 2000
; 28(suppl) : S25- 30.
25. Hayes TE, Pike J, Tracy RP. Faktor VII Assays. Arch Pathol Lab Med 1993 ;117
: 52-7.
26. Jackson CM. Biochemistry of prothrombin activation. In : Bloom AL, Thomas
DP, eds. Haemostasis and thrombosis. London : Churchill Livingtone, 1981 :
140 -62.
27. Jonge ED, Dekkers PEP, Creasey AA, et al. Tissue faktor pathway inhibitor
dose-dependently inhibits coagulation activation without influencing the
fibrinolytic and cytokine response during human endotoxemia. Blood 200 ;95
: 1124 – 9.
28. A. Laffan MA, Manning RA. Investigation of haemostasis. In : Lewis SM, Bain
BJ, Bates I, eds. Practical Haematology 9th edition. London : Churc hill
Livingtone, 2001 : 339 – 90.
29. Lammle B, Griffin JH. Formation of the fibrin clot;the balance of procoagulant
and inhibitory factors. In : Hoffbrand AV, Lasch HG, Nathan DG, et al, Eds
Clinics in haemotology ; 14;2. philadelphia : W.B. Saunders Company, 1985 :
281 – 342.
30. Levi M, Jonge ED, Poll TVD, Cate HT. Novell approaches to the management
of disseminated intravascular coagulation. Crit care med 2000;28(suppl) : 20-
4.
31. Mann KG, Gaffney D, Bovill EG. Molecular biology, biochemistry, and lifespan
of plas ma coagulation faktor. In : Beutler E, Lichtman MA, Coller BS, Kipps TJ,
Eds Williams hematology. 5th ed. New York : McGraw- Hill, 1995 : 1206 - 26
32. Marcus AJ. Platelets and their disorders. In : Ratnoff OD, Forbes CD, editors.
Disorders of hemostasis. Philadelphia : Saunders, 1996 : 79 – 137
33. Martin GS. The complex Role of cagulation in pathophysiology of sepsis.
Proceeding of the 30 th International educational and scientific symposium of
the society of critical care medicine ; Day 1 –February 10, 2001
http://www.medscape.com/medscape/cno/2001/SCCM/Story.cfm?story_id=2
081
34. Mesters RM, Mannucci PM, Coppola R, et al. Faktor VIIa and Antithrombin III
Activity During Severe Sepsis and Septic Shock in Neutropenic Patient. Blood
1996;88:881- 6.
35. Miller JL. Blood coagulation and fibrinolysis. In : Henry JB. Ed. Clinical
diagnosis & management by laboratory methods. 18th ed. Philadelphia : W.B.
Saunders Company, 1991 : 734- 57.
36. Moore DJ. Pathogenesis and management of septic shock. The Dalhousie
Medical Journal, December 1997
http://www.medicine.dal.ca/sdmss/dmj/dmjonlin/winter97/otig5.htm

©2003 Digitized by USU digital library 40


37. Morrissey JH. Plasma faktor VIIa : Measurement and potential clinical
significance. Haemostasis 1996 ; 26 (suppl 1) : 66 – 71.
38. Opal SM. Sepsis. In : Scientific American Medicine. Copyright© 1999,
Scientific American, Inc.
39. Peterson LC. Effect of Ca2+ on the structure and function of faktor VIIa.
Haemostasis 1996;26 (suppl 1) : 40 – 4.
40. Pittet D, Harbarth, S, Suter PM, et al. impact of immunomodulating theraphy
o morbidity in patient with severe sepsis. Am J Repir Crit Care Med
1999;160:852-7.
41. Prentice. Acquired coagulation disorders. In : Hoffbrand AV, Lasch HG, Nathan
DG, et al, eds. Clinical in haemotology. Volume 14;Number2. Philadelphia :
W.B. Saunders Company, 1985 : 413 – 37
42. Ratnoff OD. Hemostatic defects in liver and biliary tract disease and disorders
of vitamin K metabolism. In : Ratnoff OD, Forbes CD, eds. Disorders of
hemostasis. Philadelphia : Saunders, 1996 : 422 – 42.
43. Root RK, Jacobs R. Septicemia and septic shock. In : Wilson JD, Braunwald E,
Isselbacker KJ, et al. Eds. Harison’s Principles of internal medicine. 12th ed.
New York : McGraw- Hill, 1991 : 502- 7
44. Saito H. Normal hemostatic mechanisms. In : Ratnoff OD, Forbes CD, editors.
Disorders of hemostasis. Philadelphia : Saunder, 1996 : 23 – 52
45. Stove S, Welte T, Magner TO, Kola A, Boutsch W, Khol J. circulating
complement proteins in patiens with sepsis or systemic inflammatory
response syndrome. Clin and diag. Lab Imunology, 1996 : 3 (2) : 175 – 83.
46. Tapper H, Herwald H. Modulation of hemostatic mechanism in bacterial
infectious diseases. Blood 2000;96 : 2329 – 36.
47. Thomson JM, Poller L. The activated partial thromboplastin time. In :
Thomson JM, et. Blood coagulation and haemostasis. 3rd ed. Edinburgh
London Melbourne and New York : Churchill Livingtone, 1085 : 301- 39.
48. Taylor FB, Eada H, Kinasewitz G. Description of compresented and
uncompensated dessiminated intravascular coagulation (DIC) response ( non-
over and over DIC) in baboon models of intravenous and intraperitoneal
Eschericia coli sepsis and in the human model of endotoxaemia : Toward a
better definition of DIC. Crit care Med; 2000;28;9 (suppl), S 12- 9.
49. Van der Pool T, Buller HR, ten Cate H, Wortel CH, Bauser KA, van de Venter
SJ, Hack CE, SAuerwein HP, Rosenberg RD, ten Cate JW. Activation of
coagulation after administration of tumor necrosis faktor to normal subjects.
N.E.J Med : 1990 ; 322 (23), 1622- 7.
50. Vervloet MG, Thijs LG, Hack CE. Derangements of coagulation and fibrinolysis
in critically III patient with sepsis and septic shock. Seminars in thrombosis
and hemostasis 1998 ; 24 : 33 – 44.
51. Warren JR. sepsis. In : Shulman ST, Phair JP, Peterson LR, Warren JR, eds.
Infectious diseases. 5th ed. Philadelphia : W.R. Saunders Company, 1997 :
475- 89.
52. Zur M, Nemerson Y. Tissue factor pathway of blood coagulation. In : Bloom
AL, Thomas DP, eds. Haemostasis and thrombosis. London : Churchill
Livingtone, 1981: 124- 39.

©2003 Digitized by USU digital library 41

Anda mungkin juga menyukai