Para Ekonom klasik, khususnya Adam Smith, David Richardo, dan John Stuart Mill,
memberikan kontribusi besar bagi justifikasi ekonomi teoritikal terhadap perdagangan
internasional.
Setiap Negara mempunyai kekhasan dalam corak dan ragam, serta kualitas dan kuantitas
sumber dayanya, baik kekayaan alam, sumber daya manusia, penguasaan teknologi dan
sebagainya. Perbedaan sumber daya antar Negara mendorong mereka untuk melakaukan
spesialisasi. Kegiatan produksi barang dan kreasi jasa diarahkan untuk mengeksploitasi
kelebihan ayang dimiliki, sehigga dapat dihasilkan barang dan jasa yang lebih efisien dan
bermutu. Barang dan jasa ini akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan
sebagian akan diekspor ke Negara lain. Sebagai gantinya, akan diimpor barang dana jasa dari
Negara lain yang memiliki keunggulan dalam memproduksi dan menciota barang dan jasa
tersebut.
Uraian singkat diatas merupakan benang merah dari konsep yang diajukan mashab klasik, yang
dikenal dengan teori keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif pada dasarnya
merupakan perluasan dari teori keunggulan “absolut” yang dikemukakan oleh Adam Smith,
diman keunggulan absolute merupakan kasus khusus dari dari keunggulan kkomparatif.
Menurut teori keunggulan absolute, setiap Negara mampu memproduksi barang tertentu secara
lebih efisien daripada Negara lain (dengan kata lain memiliki keunggulan absolute untuk
barang tersebut) melalui spesialisasi dan pengelompokan kerja secara internasional
(international division of labor).
Perdagangan diantara dua Negara, dimana masing-masing memilikii keunggulan absolute
dalam produksi barang yang berbeda, akan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Keunggulan absolute bias diperoleh karena adanya perbedaan dalam factor-faktor seperti
ikllim, kualitas tanah, anugerah sumber daya alam, tenaga kerja, modal, teknologi atau
kewirausahaan (entrepreneurship).
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya disadari bahwa perdagangan yang saling
menguntungkan tidak selalu menuntut setiap Negara harus memiliki keunggulan absolute
disbanding mitra dagangnya. Misalnya Negara A memiliki keunggulan absolute pada produksi
kalkulator dan TV disbanding Negara B. Bila semata-mata diasarkan pada teori keunggulan
absolute, maka tidak akan ada perdagangan antar Negara A dan Negara B. karena jelas saja
negar A tidak bersedia membeli barang apapun dari negar B yang harganya jauh lebih mahal.
Penjelasan alternatif atas kasus ini adalah teori keunggulan komparatif yang dikembangkan
oleh David Richardo. Menurut teori ini, sekalipun sebuah negar memiliki keunggulan absolute
dalam produksi sebuah barang, tetapi selama nnegara yang lebih lemah memiliki keunggulan
komparatif pada produksi salah satu barang tersebut , maka perdagangan tetap bisa dilakukan.
Cotoh kasus teori keunggulan komparatif: Jeang dan Amerika Serikat memiliki keunggulan
komparatif dalam penguasaan teknologi canggih disbanding Indonesia dan Vietnam.
Sebaliknya Indonesia dan Vietnam memiliki keunggulan komparatif dalam upah kerja yang
relative jauh lebih murah dibandingkan upah pekerja di Jepang dan Amerika serikat.
Perusahaan-perusahaan Jepang dan Amerika serikat , oleh karena itu akan lebih cocok jika
bermain di industry pada modal (misalnya industry otomotif, industry barang- barang
elektronik, dan sebgainya). Sementara itu, perusahaan-perusahaan di Indonesia dan Vietnam
akan lebih tepat jika berusaha di industry padat karya (misalnya industry sepatu, tekstil,
garmen, dan sebagainya).
Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi
klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparative tidak mencukupi, atau bahkan tidak
tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saing / competitive
advantage (CA) jika perusahaan (yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu
negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan
kemampuannya. Perusahaan memperoleh (CA) karena tekanan dan tantangan. Perusahaan
menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif,
serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional,
budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada
keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat
meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter
mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari empat determinan (faktor – faktor yang
menentukan) National Competitive Advantage (NCA). Empat atribut ini adalah: factor
conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure,
and rivalry.
Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga
kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama faktor produksi
adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya (factor
disadvantage) seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak (sumber daya)
memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi.
Demand conditions, mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi
elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan
untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan barang-dan
jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan.
Related and Supporting Industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya
keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini
bersifat positif yang berujung pada penngkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan
model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang
memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan
konsumer sehingga semakin meningkatkan market power.
Firm strategy, Structure and Rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada pada
sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pad aindustri tertentu. Faktor Strategy
dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar modal
domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat
keputusan karir berdasarkan peluan dan prestise. Suatu negara akan memiliki daya saing pada
suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi.
Struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan (rivalry) yang tinggi
mendorong inovasi.
Porter juga menambahkan faktor lain: peran pemerintah dan chance, yang dikatakan
memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai pemain di
industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitasi, katalis, dan tantanan
bagi industri. Pemerintah menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya
saing tertentu. Hal – hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa
subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor conditions, serta
menegakkan standar industri.
Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitpaan daya saing yang self-
reinforcing, di mana persaingan domestik men-stimulasi tumbuhnya industri dan secara
bersamaan membentuk konsumer yang maju (sophisticated) yang selalu menghendaki
peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi
Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini
dapat mendukung negara dan sebaliknya.
Menurut Porter jika perusahaan ingin meningkatkan usahanya dalam persaingan yang ketat
perusahaan harus memiliki prinsip bisnis, Harga yang tinggi, Produk dengan biaya yang
rendah, dan bukan kedua - duanya. Berdasarkan prinsip tersebut maka Porter Menyatakan ada
tiga Strategi Generik yaitu: Differentiation, Overall Cost Leadership dan Fokus. Menurut
Porter strategi perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri dapat berbeda - beda dan dalam
berbagai dimensi, Porter mengemukakan tiga belas dimensi yang biasanya digunakan oleh
perusahaan dalam bersaing, yaitu: Spesialisasi, Identifikasi Merk, Dorongan Versus Tarikan,
Seleksi Saluran, Mutu Produk, Kepeloporan Teknologis, Integrasi Vertikal, Posisi Biaya,
Layanan, Kebijakan Harga, Leverage, Hubungan dengan Perusahaan Induk, Hubungan dengan
Pemerintah.
Setiap perusahaan global umumnya mulai dirintis dari Negara asalnya. pendirian suatu
perusahaan biasanya di picu oleh keyakinan bahwa ada kebutuhan atau keinginan konsumen
yang belum terpenuhi sehingga membuka peluang bagi yang mampu melihatnya. Apabila
produk yang di tawarkan diterima konsumen domestic,maka perusahaan akan terus
berkembang. Pertumbuhan dan besar pasar domestic yang terbatas memberi inspirasi bagi
pengusaha untuk mengekspor produknya.
B. Teori-teori internasionalisasi
Menurut Andersen (1997), didalam bidang bisnis internasional, topic tentang international
mode of entry merupakan salah satu topic yang paling banyak digeluti oleh para peneliti
dibidang pemasaran internasional.
Proses Internasionalisasi Teori internasionalisasi dapat dikelompokkan menjadi stage theories dan
non-stage theories. Stage theories memandang internasionalisasi sebagai suatu proses
berkesinambungan yang terjadi secara perlahan, bertahap, dan berurutan, meningkat aktivitasnya ke
lingkup internasional (Andadari, 2008). Model internasionalisasi Uppsala (Welch & Paavilaninen,
2014) dan Cavusgil et al (2008) merupakan contoh stage theories. Sedangkan non-stage theories
memandang internasionalisasi bukan sebagai proses yang terjadi secara bertahap. Teori eclectic
modeling merupakan bagian dari non-stage theories (Cavusgil et al, 2008). Model internasionalisasi
Uppsala berasumsi bahwa perusahaan memiliki bounded rationality (keterbatasan rasional dan
informasi) terhadap bisnis internasional dan melakukan trade-off antara pertumbuhan dan resiko.
Langkah untuk memperkecil resiko dilakukan dengan cara memasuki pasar asing selangkah demi
selangkah, mulai dari mode of entry yang paling kecil jarak kulturnya (low psychic distance),
kemudian meningkatkannya secara bertahap ke mode of entry yang lebih beresiko dan lebih jauh
jarak kulturnya (Welch & Paavilaninen, 2014). Psychic distance didefinisikan sebagai perbedaan
dalam hal bahasa, budaya, sistem politik, tingkat pendidikan dan lain sebagainya yang dapat
menghambat arus internasionalisasi. Pengetahuan perusahaan mengenai psychic distance akan
memampukan perusahaan untuk melihat peluang dengan lebih baik dan tidak perlu terlalu khawatir
terhadap ketidakpastian pasar internasional. Model internasionalisasi Uppsalla dibagi ke dalam 4
tahapan: 1) irregular export activities (sporadic export), pada tahap ini perusahaan melakukan ekspor
ke negara-negara yang dekat dari home marketdan ekspor masih bersifat sporadic (tidak rutin dan
frekuensinya berubah-ubah); 2) exporting by independent representative (export mode), tahap ini
dilakukan melalui kerja sama dengan perusahaan/pihak independen di luar negeri untuk membantu
melakukan penjualan dan meluaskan jaringan pemasaran luar negeri. Perusahaan hanya melakukan
ekspor, sedangkan pihak independen diperbolehkan mengelola aktivitas penjualan sendiri; 3)
establishment of a foreign sales subsidiary, tahap ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan cabang
di luar negeri untuk mendukung aktivitas penjualan dan pemasaran perusahaan di pasar asing; dan
4)installation of foreign production facilities, padatahap ini perusahaan mulai melaksanakan seluruh
aktifitas produksi maupun penjualan di pasar luar negeri (foreign direct investment). Proses ini
berevolusi menyesuaikan perkembangan pengetahuan serta pengalaman perusahaan dan peningkatan
komitmen operasi perusahaan di pasar internasional) menyampaikan proses internasionalisasi dalam
tahapan yang berbeda. Pertama, fase domestic focus. Pada fase ini perusahaan masih belum mampu
dan belum mau untuk terlibat dalam bisnis internasional karena perusahaan belum siap dan belum
mampu mengatasi hambatan di pasar internasional. Oleh karena itu, perusahaan mengawali dengan
fokus pada pengembangan pasar domestik untuk mendapatkan posisi strategis di dalam negeri (home
market). Kedua, fase pre-export stage, perusahaan mengalami perkembangan dan mendapatkan
pesanan dari luar negeri. Perusahaan mulai menganalisis kelayakan usahanya untuk dapat terlibat dan
melaksanakan aktivitas internasional. Ketiga, fase experimental involvement, aktivitas
internasionalisasi perusahaan di luar negeri masih sangat terbatas. Aktivitas internasionalisasi
perusahaan masih berupa basic export. Keempat, fase active involvement, perusahaan mulai
mentarget pasar asing dan melakukan peningkatan aktivitas di luar negeri melalui eksploitasi yang
sistematis dari pilihan internasionalisasi dan komitmen dari manajemen puncak serta sumber daya
untuk mencapai kesuksesan internasional. Dalam tahap ini biasanya mode of entry yang digunakan
berupa licensing atau join ventures. Terakhir fase committed involvement, perusahaan yang telah
berada pada fase ini memiliki niatan tulus dan komitmen dari sumber daya untuk membuat bisnis
internasional sebagai kunci utama bagi perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dan aktivitas
rantai nilai. Entry mode dalam fase ini menggunakan foreign direct investment (FDI). Sementara itu,
teori eclectic modeling berfokus pada frekuensi transaksi, ketidakpastian dan asset specificity (aset
yang harus diinvestasikan dalam suatu transaksi) yang timbul dari pertukaran sumber daya antara
pihak pembeli dan penjual. Teori ini melihat hubungan yang positif antara asset specificity dan
keinginan perusahaan untuk menggunakan high-control entry market. Jadi, semakin besar investasi
yang dilakukan untuk suatu tansaksi bisnis, maka semakin besar pula kecenderungan pasar untuk
memilih bentuk mode of entry dimana perusahaan memiliki kendali yang lebih besar atas transaksi
tersebut (Welch & Paavilaninen, 2014).Cavusgil et al. (2008) menjelaskan, dalam teori ini terdapat 3
kondisi yang menentukan perusahaan akan melakukan internasionalisasi melalui foreign direct
investment (FDI), yaitu ownership-specific advantages, location-specific advantagedan internalization
Advantages
Manfaat Internasionalisasi
Manfaat internasionalisasi dapat dilihat dari beberapa perspektif Ruigrok Wagner, 2003: 1. Dari sudut
pandang Foreign Direct Investment FDI, internasionalisasi memberikan peluang bagi perusahaan dalam
memanfaatkan market imperfections pada pasar produk, faktor dan finansial manfaat lainnya yang
dikemukakan pakar bisnis internasional dan industrial organization economics adalah tercapainya skala
dan lingkup ekonomis. Universitas Sumatera Utara 30 2. Dari sisi pandang financial economics,
diversifikasi portofolio bisa tercapai, sehingga menguntungkan kinerja risk-return pada perusahaan
yang melakukan internasionalisasi. 3. Menurut teori Multinational Corporation MNC, internasionalisasi
memberikan keuntungan bagi perusahaan MNC untuk melakukan transfer sumberdaya secara
internasional dan melakukan integrasi terhadap struktur, sistem, dan proses perusahaan dengan
kompetensi spesifik yang tidak tersedia bagi perusahaan yang beroperasi secara domestik 4.
Berdasarkan teori Resource-Based View, internasionalisasi mempercepat pembelajaran organisasi
organizational learning dan knowledge development melalui pemanfaatan sumberdaya dan kompetensi
ini dalam skala global.
Proses Internasionalisasi
Sebuah perusahaan yang berorientasi internasional pada dasarnya tidak terlahir begitu saja sebagai
perusahaan internasional. Sebagaimana pada umumnya, perusahaan multinasional mengawali
aktivitasnya dari negara asalnya home country yang kemudian berkembang ke pasar luar negeri host
country. Faktor yang mendorong terjadinya proses tersebut adalah globalisasi Lassare, 2008, runtuhnya
batas-batas antar negara Ohmae, 1994, munculnya negara- negara industry baru – NIC newly industrials
country Hadiwinata, 1999, termasuk perkembangan teknologi maupun inovasi di berbagai bidang.
Universitas Sumatera Utara 31 Beberapa ahli mendifinisikan proses internasionalisasi perusahaan
sebagaimana dirangkum dalam table sebagai berikut. Proses dimana perusahaan secara bertahap
meningkatkan keterlibatan internasionalnya. Internasionalisasi merupakan produk dari serangkaian
keputusan inkremental perusahaan. Welch Luostarien 1988 Internasionalisasi merupakan sebuah
konsep yang dinamis yaitu proses meningkatkan operasi internasional, baik pada keluar maupun
kedalam. 3 Beamish 1990 Proses dimana perusahaan meningkatkan baik kesadaran mereka mengenai
pengaruh langsung maupun tidak langsung transaksi internasionalnya di masa yang akan datang dan
mendirikan serta melaksanakan transaksi dengan negara lain. 4 Andersen 1997 Internasionalisasi
merupakan proses adaptasi perubahan transaksi di pasar internasional, termasuk strategi moda masuk
dan pemilihan pasar internasional. Sumber: Alina dan Emilia 2009 Secara keseluruhan, berdasarkan
definisi-definisi tersebut proses internasionalisasi meliputi: Universitas Sumatera Utara 32 1 Keluar
masuknya produk, jasa maupun sumberdaya yang melewati batas suatu negara dimana perusahaan
melakukan aktivitasnya. 2 Sebagai konsekuensi poin nomor satu, terjadi transaksi lintas negara. 3
Faktor pendorong adalah dari dalam perusahaan memiliki orientasi pada pasar luar negeri dan dari luar
lingkungan bisnis, khususnya globalisasi. Terkait dengan proses internasionalisasi, terdapat empat
tahap dan jalur yang berbeda. Tahap pertama adalah tahap domestik, tahap dimana perusahaan belum
memiliki aktivitas internasional sama sekali. Tahap kedua adalah tahap inward stage. Pada tahap ini
aktivitas internasional hanya terbatas pada transfer teknologi atau import bahan- bahan baku atau
komponen. Tahap ketiga, tahap outward stage merupakan tahap dimana perusahaan sudah mulai
melakukan kegiatan ekspor, memiliki cabang penjualan atau pabrik di luar negeri, subkontrak atau
kontrak pabrikan dan lisensi. Pada tahap empat merupakan tahap kerjasama co- operation, perusahaan
kemungkinan memiliki perjanjiaan kerjasama pada beberapa kegiatan seperti produksi, pembelian atau
penelitian pengembangan Loustarinen dan Hellman 1993.
Berikut ini beberapa hambatan yang sering muncul dalam perdagangan internasional.
Apabila tarif impor tinggi maka produk impor tersebut akan menjadi lebih mahal daripada
peoduk dalam negeri sehingga mengakibatkan masyarakat menjadi kurang tertarik untuk
membeli produk impor. Hal itu akan menjadi penghambat bagi negara lain untuk melakukan
perdagangan.
e . Terjadinya Perang
Terjadinya perang dapat menyebabkan hubungan antarnegara terputus. Selain itu, kondisi
perekonomian negara yang sedang berperang tersebut juga akan mengalami kelesuan. Hal ini
dapat menyebabkan perdagangan antarnegara akan terhambat.
Adanya perbedaan bahasa antara negara pengekspor dengan pengimpor akan dapat
menghambat perdagangan internasional, seperti antara negara Indonesia dengan negara
Filipina. Baik importir maupun eksportir harus saling berkomunikasi dan saling mengetahui
maksud dan keinginannya, apabila ada kendala dalam komunikasi maka transaksi perdagangan
antarkedua belah pihak sulit terjadi.
Untuk melindungi produksi dalam negeri dari produk luar negeri maka setiap Negara akan
melakukan tindakan, salah satunya adalah dengan mengenakan bea masuk yang tinggi terhadap
produk luar negeri yang masuk ke dalam negeri. Hal ini dapat menghambat perdagangan
antarnegara.
Setiap negara mempunyai ketentuan dan peraturan sendiri dalam mengatur perdagangan
dengan negara lain. Tentu saja ketentuan antara negara satu dengan negara lainnya berbeda.
Hal inilah yang dapat menghambat perdagangan internasional, karena negara pengekspor harus
mematuhi ketentuan yang berlaku di Negara pengimpor, begitu juga sebaliknya. Misalnya
Indonesia sebagai pengekspor tekstil ke Amerika, harus mematuhi ketentuan-ketentuan dalam
perdagangan yang berlaku di Amerika.
Bentuk – bentuk hambatan perdagangan yang muncul akibat adanya kebijakan ekspor-impor,
antara lain:
1. Tarif
Tarif adalah hambatan perdagangan berupa penetapan pajak atas barang-barang impor. Apabila
suatu barang impor dikenakan tarif, maka harga jual barang tersebut di dalam negeri menjadi
mahal. Hal ini menyebabkan masyarakat enggan untuk membeli barang tersebut, sehingga
barang-barang hasil produksi dalam negeri lebih banyak dinikmati oleh masyarakat.
Bea ekspor = pajak atau bea yang dikenakan terhadap barang yang diangkut menuju negara
lain.
Bea transit = pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang melalui wilayah negara lain
dengan ketentuan bahwa negara tersebut bukan merupakan tujuan akhir dari pengiriman.
Bea impor = pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang masuk dalam suatu negara
dengan ketentuan pemungutan pajak tersebut adalah merupakan tujuan akhir dari pengiriman
barang.
Uang jaminan impor = persyaratan bagi importir suatu produk untuk membayar kepada
pemerintah sejumlah uang tertentu pada saat kedatangan produk di pasar domestik sebelum
penjualan dilakukan.
Aplikasi atau penerapan dari pengenaan tarif terutama dalam bentuk bea masuk adalah
sebagai berikut :
a. Pembebasan bea masuk atau tarif rendah yaitu antara 0% sampai dengan 5%, yang
dikenakan untuk bahan kebutuhanpokok dan vital, seperti beras, mesin-mesin, alat-alat militer
dan lain-lain.
b. Tarif sedang antara 5% sampai dengan 20%, yang dikenakan untuk barang setengah jadi
dan barang-barang lain yang belum cukup diproduksi di dalam negri.
c. Tarif tinggi diatas 20%, yang dikenakan untuk barang-barang mewah dan barang-barang
lain yang sudah cukup diproduksi di dalam negri dan bukan barang kebutuhan pokok.
SISTEM TARIF
Dalam menentukan besarnya tarif yang berlaku bagi setiap barang atau komoditi yang
diperdagangkan secara internasional, para pelaku perdagangan internasional (eksportir-
importir) menggunakan pedoman berdasarkan sistem tarif yang berlaku. Sistem tarif yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
Pengenaan satu tarif untuk satu jenis barang atau komoditi yang besarnya (prosentasenya)
berlaku sama untuk impor komoditi tersebut dari negara mana saja, tanpa kecuali.
Dikenal juga dengan istilah tarif berganda (double coloum tariff) yaitu pengenaan satu tarif
untuk satu komoditi yang besar prosentase tarifnya berbeda antara satu negara dengan negara
lain.
Tarif yang ditentukan oleh lembaga tarif internasional GATT yang persentasenya diturunkan,
bahkan untuk beberapa komoditi sampai menjadi 0% yang diberlakukan oleh negara terhadap
komoditi yang diimpor dari negara-negara tertentu karena adanya hubungan khusus antara
negara pengimpor dengan negara pengekspor.
OLEH: