Anda di halaman 1dari 15

1 Pendugaan Emisi CO2 dari Lahan Gambut dengan Menggunakan Model Artificial

2 Neural Network (ANN)


3 Prediction of Peatland’s CO2 Emissions Using Artificial Neural Network (ANN)
4 Model
5
6 Anna Farida, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian
7 Bogor, Email : annafarida.fadsy@gmail.com
8 Satyanto Krido Saptomo Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut
9 Pertanian Bogor
10 Yudi Chadirin Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian
11 Bogor
12
13 ABSTRACT

14 Peatlands are the most efficient carbon sinks in large volumes. Peatland clearance makes CO2 emissions
15 released into the air. a reference of Carbon emission had a great value compared with the results of carbon
16 emissions measurement conducted by Indonesian researchers and academics. This study aims to Conduct
17 a continuous estimation of CO2 emissions from peatlands over a long period of time, analyze the influence
18 of the biophysical environment on CO2 emissions and obtain CO2 emissions based on measurements of
19 biophysical environmental parameters using ANN model. The CO2 emissions measurements were
20 performed by closed chamber method using Licor LI-8100 for 60 days. Biophysical environmental
21 parameter measurements are also installed simultaneously. Biophysical environmental parameters
22 measured include soil temperature, soil moisture and water table depth. The results showed that CO2
23 emissions reached 59.82 TonCO2 / ha / year with carbon emissions of 16.314 TonC / ha / year. Peatland
24 CO2 emissions are influenced by environmental parameters of peat biophysics. Calculations using the ANN
25 model obtained the highest correlation of R2 = 0.5545 which shows that the calculation of ANN model with
26 measurement Emission has a high enough correlation and can be used as a reference to estimated peat
27 CO2 peatland in Padang Island.
28 Keywords: CO2 emissions, biophysical environmental parameters, ANN model, soil temperature and
29 moisture, water table
30 Abstrak
31 Lahan gambut merupakan penyimpan karbon yang paling efisien dalam jumlah besar. Pembukaan lahan
32 gambut mengakibatkan emisi CO2 terlepas ke udara. Data emisi karbon yang menjadi rujukan memiliki
33 nilai yang lebih besar daripada hasil pengukuran emisi karbon yang dilakukan oleh peneliti dan akademisi
34 Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk Melakukan estimasi emisi CO2 dari lahan gambut secara kontinyu
35 dalam periode waktu panjang, Menganalisis pengaruh lingkungan biofisik terhadap emisi CO2 dari lahan
36 gambut dan Mendapatkan dugaan emisi CO2 dari lahan gambut berdasarkan hasil pengukuran parameter
37 lingkungan biofisik dengan menggunakan model ANN. Pengukuran emisi karbon dilakukan dengan metode
38 closed chamber menggunakan Licor LI-8100 selama 60 hari. Pengukuran parameter lingkungan biofisik
39 juga diinstal secara bersamaan dengan pengukuran emisi CO2. Parameter lingkungan biofisik yang diukur
40 meliputi temperatur tanah, kelembaban tanah, kedalaman water table. Hasil penelitian menunjukkan
41 bahwa emisi CO2 lahan gambut mencapai 59.82 TonCO2/ha/tahun dengan emisi karbon adalah 16.314
42 TonC/ha/tahun . Emisi CO2 dipengaruhi oleh parameter lingkungan biofisik gambut yaitu suhu tanah,
43 kelembaban tanah dan kedalaman water table. Perhitungan menggunakan model ANN diperoleh korelasi
44 tertinggi sebesar R2 = 0.5545 yang menunjukkan bahwa hasil perhitungan model ANN dengan Emisi
45 pengukuran memiliki korelasi yang cukup tinggi dan bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengestimasi
46 CO2 lahan gambut Pulau Padang.

47 Keywords: emisi CO2, Parameter lingkungan biofisik, model ANN, suhu dan kelembaban tanah, water
48 table
49
50
51

1
52 PENDAHULUAN
53 Lahan gambut adalah ekosistem lahan basah yang ditandai dengan akumulasi
54 bahan organik sepanjang periode waktu. Lahan gambut merupakan penyimpan karbon
55 yang paling efisien dalam jumlah yang sangat besar (Waldes dan Page 2008) (Jauhiainen
56 et al. 2008). Besarnya Biomassa berkontribusi terhadap penyerapan dan penyimpanan
57 karbon. Bahan tanaman organik tidak terurai di tanah gambut karena kondisi air dan rawa
58 gambut mampu bertindak sebagai penyerap karbon daripada sebagai sumber karbon
59 melalui proses alami (Tawan, I.B dan Wan Sulaiman 2008). Dalam keadaan hutan alam
60 karbon tersebut bertahan dalam bentuk bahan organik, namun apabila hutan gambut
61 dibuka dan didrainase maka karbon yang disimpannya akan mudah terdekomposisi dan
62 mengemisikan CO2.
63 Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan permintaan terhadap produk
64 pertanian maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian juga meningkat. Hal ini
65 menyebabkan terjadinya pelepasan karbon ke atmosfer yang sebelumnya tersimpan
66 secara stabil dalam jangka waktu yang panjang didalam tanah (Jaenicke dan Siegert 2008)
67 (Hooijer et al. 2012) (Subowo 2010). Salah satu faktor abiotik terpenting yang
68 mempengaruhi keseimbangan Gambut adalah hidrologi. Curah hujan yang melebihi
69 penguapan adalah parameter pengatur hidrologi utama yang dominan karena evaporasi
70 dan aliran air tanah cukup konstan di lahan gambut tropis yang masih asli. Pengeringan
71 lahan gambut mengurangi kapasitas menahan air, sehingga mempercepat pembentukan
72 kondisi oksik dan kehilangan karbon dari gambut. Emisi CO2 optimum tersebar di
73 wilayah yang terkena dampak drainase dibandingkan dengan hutan yang tidak
74 dikeringkan. Fluks CO2 maksimum lebih kecil jika tidak ada masukan bahan organik
75 segar ke dalam gambut (Jauhiainen et al. 2008). Emisi karbon dari lahan gambut sangat
76 dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu iklim, tanah dan hidrologis. Faktor lingkungan
77 yang mempengaruhi besarnya emisi karbon dari lahan gambut adalah suhu, kelembaban,
78 dan water table . Faktor lingkungan ini bersifat fluktuatif bergantung pada faktor iklim
79 dan hidrologis sehingga menghasilkan emisi karbon dengan fluktuasi yang tinggi. Untuk
80 itu, diperlukan pengukuran emisi karbon secara kontinyu dalam jangka waktu yang
81 panjang sehingga dapat mewakili segala kondisi iklim (musim kemarau dan hujan).
82 Hasil pengukuran yang kontinyu dalam jangka waktu yang panjang diharapkan
83 mampu menghasilkan nilai akumulasi emisi karbon dalam setahun sehingga dapat

2
84 dijadikan nilai rujukan emisi yang lebih akurat di lahan gambut. Namun, pengukuran
85 dengan metode ini menggunakan alat yang terbilang mahal sehingga diharapkan model
86 matematika yang dibangun berdasarkan data pengukuran parameter lingkungan biofisik
87 menggunakan Artificial Neural Network (ANN) dapat digunakan untuk menduga emisi
88 karbon secara akurat dengan biaya yang murah. Tujuan penelitian ini adalah (1)
89 Melakukan estimasi emisi CO2 dari lahan gambut secara kontinyu dalam periode waktu
90 panjang. (2) Menganalisis pengaruh lingkungan biofisik terhadap emisi CO2 dari lahan
91 gambut, (3) Mendapatkan dugaan emisi CO2 dari lahan gambut berdasarkan hasil
92 pengukuran parameter lingkungan biofisik dengan menggunakan model ANN.
93
94 BAHAN DAN METODE
95 Lokasi dan Waktu
96 Penelitian ini dilaksanakan di wilayah konsensi PT Riau Andalas Pulp paper yang
97 terletak di Pulau Padang, yang secara administratis berada di wilayah Kabupaten
98 Kepulauan meranti, Propinsi kepulauan Riau. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
99 september sampai januari 2015.
100 Alat dan Bahan
101 Alat dan bahan yang digunakan adalah (1) Automatic Water Level Recorder
102 (AWLR) dari Global Water tipe WL16, digunakan untuk mengukur tinggi muka air
103 tanah/gambut secara realtimes dengan waktu pengamatan yang diatur mengikuti
104 pengukuran emisi karbon. Durasi pengukuran data diatur dengan interval satu jam, (2)
105 Automatic rain Gauge (ARG), digunakan untuk mengukur intensitas curah hujan otomatis
106 ini dapat diatur dengan interval pengukuran satu jam, (3) Sensor 5-TE, digunakan untuk
107 mengukur temperatur, kelembaban tanah (Volumeteric water content), (4) Data logger
108 EM 50, digunakan untuk merekam data hasil pengukuran sensor 5-TE, ARG, AWLR, (5)
109 Licor LI-8100, digunakan untuk mengukur CO2 flux pada tanah secara otomatis dan
110 kontinyu. Alat ini terdiri dari gas analyzer dan chamber. Emisi karbon yang masuk
111 kedalam chamber akan dialirkan ke bagian gas analyzer untuk dianalisa kandungan CO2.
112 Durasi dan interval pengukuran dapat diatur dengan program komputer, dalam penelitian
113 ini diatur LI-8100 akan mengukur selama 3 kali setiap jamnya, (6) Genset, digunakan
114 untuk sumber energi recharge baterai yang digunakan sebagai energi untuk Li-8100, (7)
115 Ring Sampel, digunakan untuk mengambil contoh tanah di lokasi pengukuran emisi

3
116 karbon, (8) Beterai kering 9 volt, digunakan sebagai catu daya untuk EM50, AWLR dan
117 ARG.
118 Metode Pengukuran dan Pengolahan Data
119 Pengukuran emisi karbon dilakukan dengan metode closed chamber
120 menggunakan Licor LI-8100. Alat ini dapat mengukur emisi karbon secara otomatis
121 untuk periode yang panjang. Licor LI-8100 akan diinstal di lokasi pengukuran yang
122 merupakan lahan gambut terbuka yang sekaligus berfungsi sebagai lokasi stasiun
123 pemantau cuaca dilahan konsensi milik RAPP di Pulau Padang. Licor LI-8100 ini
124 merupakan milik Utsunomiya University, Japan, yang dipinjamkan kepada departemen
125 Teknik Sipil dan Lingkungan IPB dalam rangka kerja sama penelitian. Pada Prinsipnya
126 Licor LI-8100 terdiri dari dua bagian yaitu chamber dan analyzer control unit. Alat ini
127 akan diinstal pada lahan gambut terbuka yang relatif datar. Lokasi pengukuran harus
128 dibersihkan permukaan lahannya. Seluruh peralatan di-install secara bersamaan pada
129 suatu tempat yang relatif aman dan Licor LI-8100 ini selanjutnya akan dihubungkan
130 dengan komputer menggunakan software LI-800 Automatic soil CO2 flux system untuk
131 dilakukan pengaturan kondisi pengukuran yaitu durasi pengukuran, interval pengukuran,
132 dan cara menyimpan data hasil pengukuran. Interval pengukuran akan diatur sehingga
133 Licor LI-8100 akan melakukan pengukuran sebanyak 3 kali setiap jam selama 24 jam
134 dalam periode pengukuran. Data hasil pengukuran akan dipindahkan ke komputer untuk
135 dilakukan analisis dan pengolahan data.
136 Perubahan konsentrasi Gas CO₂ didalam chamber selanjutnya dapat dikonversi
137 menjadi fluks gas CO₂ (gCO₂m-2s-1) dengan rumus berikut :
∆𝑐
44 𝑥 273.15 𝑥 ∆𝑡 𝑥 10−6 𝑥 𝑉
138 𝑓𝑙𝑢𝑘𝑠 𝐶𝑂2 = 𝑔𝐶𝑂2 𝑚−2 𝑠 −1 =
0.0224 𝑥 (273.15 + 𝑇)𝑥 𝐴
139 Ket :
140 V= Volume udara dalam collar (m3)
∆𝑐
141 = perubahan konsentrasi gas (m3 m-3 h-1)
∆𝑡

142 A = Luas area collar (m2)


143 1 ppmV (CO₂) = 10-6 (m3 CO₂/ m3 Air)
144 1 mol (CO₂) = 0.0224 (m3 CO₂) pada kondisi standar ( 0°C dan 1 atm )
0.0224 𝑥 (273.15+𝑇)
145 1 mol (CO₂) = (m3 CO₂) pada kondisi T (°C)
273.15

4
146 1 mol (CO₂) = 44 (g CO₂)
44 𝑥 273.15
147 1(m3 CO₂) = 0.0224 𝑥 (273.15+𝑇) (g CO₂)

148
149 [Gambar 1. Model Artificial Neural Network CO2 flux]

150 Pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran parameter lingkungan biofisik
151 yang diinstal secara bersamaan dengan pengukuran emisi CO2. Parameter lingkungan
152 biofisik yang diukur meliputi temperatur tanah, kelembaban tanah, kedalaman muka air
153 tanah (water table) dan intensitas curah hujan dengan menggunakan sensor 5-TE, mps,
154 AWLR, dan ARG. Sensor 5-TE diletakkan pada kedalaman 10 cm dibawah permukaan
155 tanah. Sensor tersebut akan dihubungkan dengan data logger EM50 untuk merekan data
156 hasil pengukuran. Pengaturan kondisi lingkungan dilakukan dengan menghubungkan
157 data logger EM50 dengan komputer menggunakan software ECH20 utility. Interval
158 pencatatan data dilakukan setiap jam. Data hasil pengukuran lingkungan biofisik akan
159 digunakan untuk menganalisa pengembangan sistem model matematika untuk menduga
160 besarnya emisi karbon. Hubungan setiap parameter fisika gambut terhadap emisi karbon
161 dapat dianalisis dengan mengembangkan model ANN (Arificial Neural Network) atau
162 jaringan saraf tiruan (gambar 1).

163 HASIL DAN PEMBAHASAN

164 Emisi Karbon Lahan Gambut


165 Pengukuran emisi karbon lahan gambut dilakukan di Pulau Padang yang
166 merupakan stasiun monitoring, reporting dan verification (stasiun MRV). Pengukuran ini
167 dilakukan pada satu titik pengukuran di lahan terbuka tanpa tutupan vegetasi dengan
168 permukaan yang relatif datar. Pengukuran dilakukan selama 2 bulan secara kontinyu dari
169 tanggal 28 juli 2014 sampai 26 september 2014. Hasil pengukuran emisi karbon disajikan
170 dalam bentuk grafik pada gambar 2.
171 [Gambar 2. Fluks emisi CO2 lahan gambut Pulau Padang]
172 Hasil pengukuran emisi karbon menunjukkan fluks emisi yang fluktuatif terhadap
173 waktu tertentu pada saat pengukuran dilakukan dengan rata-rata CO2 yang diemisikan
174 sebesar 4.37 µmol /m2/s. Selama pengukuran, fluks CO2 tertinggi terjadi pada tanggal 2
175 agustus jam 11.00 WIB dengan fluks sebesar 7.303 µmol/m²/s. Kondisi fluks maksimum

5
176 terjadi pada suhu 32.78 °C dengan kelembaban sebesar 0.226 m3/m3. Sedangkan untuk
177 fluks CO2 terendah terjadi pada tanggal 5 agustus jam 02.00 WIB dengan fluks sebesar
178 0.34 µmol/m²/s. Kondisi fluks minimum terjadi pada suhu 23.7 °C dengan kelembaban
179 0.289 m3/m3. Jumlah karbon yang diemisikan selama pengukuran adalah 996.958 g
180 CO2/m2/2bulan atau jika dikonversi selama setahun menjadi 59.82 TonCO2/ha/tahun
181 sehingga emisi karbon yang diemisikan ke atmosfer dari lahan gambut adalah 16.314
182 TonC/ha/tahun .
183 Emisi CO2 yang dihasilkan menunjukkan nilai yang lebih kecil dibandingankan
184 dengan beberapa penelitian emisi di lahan gambut yang menyebutkan bahwa besaran
185 emisi yang dikeluarkan per tahun mencapai 178 TonCO2/ha/tahun (Adeolu et al. 2015),
186 171 – 252 TonCO2/ha/tahun (Setiawan dan Mustafril 2014) dan Chadirin (2016)
187 menyebutkan bahwa emisi lahan gambut sebesar 62.25 TonCO2/ha/tahun.Berdasarkan
188 nilai maksimum dan minimum fluks CO2 yang dihasilkan selama pengukuran dilakukan
189 maka dapat diprediksi emisi CO2 maksimum dan minimum yang diemisikan lahan
190 gambut ke atmosfer. Emisi CO2 maksimum dapat mencapai 101,340 TonCO2/ha/tahun
191 dengan emisi karbon sebesar 27.638 TonC/ha/tahun. Emisi CO2 minimum dapat
192 mencapai 4.718 TonCO2/ha/tahun dengan emisi karbon sebesar 1.287 TonC/ha/tahun.

193 Hubungan parameter lingkungan biofisik dengan emisi karbon


194 Parameter lingkungan biofisik yang diukur pada penelitian ini meliputi suhu
195 tanah, kelembaban tanah dan tinggi muka air tanah (water table). Pengukuran dilakukan
196 pada kedalaman 10 cm. Faktor Lingkungan biofisik tanah sangat dipengaruhi oleh iklim
197 mikro yang terjadi dilokasi pengukuran seperti curah hujan yang akan mempengaruhi
198 secara langsung dan signifikan keadaan suhu tanah, kelembaban tanah dan tinggi muka
199 air tanah. Hubungan curah hujan terhadap suhu tanah (Ts), kelembaban tanah (θs) dan
200 water table (WT) disajikan dalam grafik pada gambar 3 dan gambar 4.
201 [Gambar 3. Pengaruh Curah hujan terhadap Suhu dan kelembaban Tanah]
202 Hasil pengukuran menunjukkan fluktuasi yang terjadi pada suhu dan kelembaban
203 tanah akibat terjadinya hujan. Curah hujan memiliki korelasi positif terhadap kelembaban
204 tanah dan berkorelasi negatif terhadap suhu tanah. Pada saat hujan terjadi, kelembaban
205 akan naik dan suhu akan menurun. Suhu tanah berkisar antara 23.32 °C – 37.37 °C dengan
206 kelembaban tanah berada dikisaran 0.323 m³/m³ - 0.205 m³/m³. Suhu tanah terendah
207 terukur pada saat hujan sudah berhenti, hal ini disebabkan oleh penurunan suhu akan

6
208 terjadi seiring dengan terjadinya hujan dan memerlukan waktu untuk mencapai titik
209 terendahnya. Sedangkan suhu tertinggi terjadi pada saat sore hari dengan kondisi tidak
210 terjadinya hujan baik sebelum atau sesudahnya. Pencahayaan dari matahari dapat
211 meningkatkan suhu tanah dan menurunkan kelembaban tanah akibat penguapan sehingga
212 tanah menjadi lebih kering (Tan 2009,2000; hanafiah KA 2005). Curah hujan tertinggi
213 terjadi pada jam 2 siang tanggal 5 agustus dengan curah hujan yang terukur sebesar 33.6
214 mm/jam. Namun kelembaban tertinggi (0.323 m³/m³) justru terjadi pada jam satu siang
215 dengan curah hujan 30.4 mm/jam. Hal ini dapat terjadi karena hujan yang turun pada jam
216 1 siang langsung membasahi tanah dengan kuantitas yang besar sehingga tanah dengan
217 mudah menyerap air dan membuat kelembaban yang terukur di kedalaman 10 cm menjadi
218 sangat besar. Air akan terinfiltrasi kelapisan tanah yang semakin dalam dengan kurun
219 waktu tertentu, sehingga pada jam selanjutnya kelembaban tanah akan menurun dan
220 merata di sepanjang area pengukuran.
221 [Gambar 4. Pengaruh Curah hujan terhadap water table]
222 [Gambar 5. Hubungan Emisi CO2 dengan suhu dan kelembaban tanah]
223 Gambar 4 menunjukkan bahwa curah hujan meningkatkan tinggi muka air tanah
224 (water table), yang berarti bahwa tanah yang jenuh semakin tinggi dan mendekati
225 permukaan tanah paling atas. Pada saat sebelum terjadi hujan, tinggi muka air tanah
226 (water table) berada di kedalaman 1.174 m dari permukaan tanah dan mengalami
227 kenaikan air tanah menjadi 0.941 m dari permukaan tanah pada saat terjadinya hujan.
228 Hubungan antara Emisi CO2 dengan suhu dan kelembaban tanah disajikan pada gambar
229 4. Sedangkan hubungan antara Emisi CO2 dan water table disajikan dalam bentuk grafik
230 pada gambar 5.
231 Hasil pengukuran menunjukkan bahwa emisi memiliki reaksi yang sangat
232 fluktuatif terhadap perubahan suhu tanah dan kelembaban tanah. Umumnya, emisi akan
233 naik pada siang hari dan turun pada malam hari atau saat terjadinya hujan. Hal ini
234 membuktikan bahwa intensitas cahaya matahari dan curah hujan sangat berpengaruh
235 terhadap respirasi tanah yang mengemisikan CO2. Intensitas matahari dan curah hujan
236 secara langsung mempengaruhi suhu dan kelembaban tanah. Suhu dan kelembaban
237 mempengaruhi secara langsung emisi CO2 yang dikeluarkan lahan gambut (Martins et al.
238 2016) . Pada tanggal tanggal 3 jam 00.00 WIB dan tanggal 5 jam 00.00-02.00 WIB.
239 Ketika Suhu turun dan kelembaban naik akibat terjadinya hujan, maka emisi menurun.

7
240 Begitu juga sebaliknya yang terjadi pada tanggal 3 jam 02.00-12.00 ketika hujan berhenti
241 dan lokasi pengukuran mendapatkan radiasi matahari yang menyebabkan suhu naik maka
242 emisi CO2 juga naik. Emisi tertinggi terjadi pada suhu 32.7 °C dan kelembaban tanah
243 0.226 m3/m3. Dari Hasil pengolahan data ditemukan bahwa pada kodisi normal tanpa
244 adanya hujan, emisi CO2 akan mulai mengalami kenaikan dari suhu 29°C sampai
245 puncaknya di suhu 32.7°C kemudian emisi CO2 akan turun kembali sampai suhu
246 maksimum yang terukur 37°C. Suhu tanah akan mempengaruhi kelembaban tanah karena
247 terjadinya evaporasi, aerasi, aktivitas mikroorganisme tanah dalam proses enzimatik dan
248 dekomposisi serasah atau sisa tanaman serta ketersediaan hara-hara tanaman. Aktivitas
249 ini sangat terbatas pada suhu dibawah 10°C, laju optimum aktivitas biota tanah terjadi
250 pada suhu 18-30 °C. Pada proses kehidupan mikroorganisme tanah secara langsung juga
251 dipengaruhi oleh suhu tanah (Hanafiah KA 2005).
252 Fenomena ini menegaskan bahwa emisi CO2 memiliki hubungan yang
253 berbandingan lurus dengan suhu namun berbanding terbalik dengan kelembaban. Emisi
254 CO2 akan meningkat pada kondisi suhu yang tinggi dan kelembaan tanah yang cukup
255 untuk terjadinya respirasi tanah dan aktivitas mikroorganisme. Hasil ini sejalan dengan
256 beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh para peneliti yang menyimpulkan bahwa
257 emisi CO2 sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban tanah (Chadirin et al. 2016;
258 Setiawan dan Mustafril 2014; Martins et al. 2016; Fenn et al. 2010 Astiani D. et al. 2016)
259 Selain suhu dan kelembaban tanah, beberapa penelitian juga menyatakan bahwa adanya
260 pengaruh antara water table dengan emisi CO2 (limin et al. 2008; Astiani D. et al. 2016;
261 Hooijer et al. 2010; Page dan Rieley 2008; Sabiham 2010) .
262 Hasil pengukuran (Gambar 6) menunjukkan emisi CO2 yang terjadi sangat
263 fluktuatif pada keadaan water table yang cenderung stabil. Namun ketika terjadi
264 penurunan kedalaman water table secara signifikan dari 1089.5 mm ke 941.25 mm
265 hingga mendekati permukaan tanah pada tanggal 3 agustus jam 01.00 WIB karena adanya
266 hujan sebesar 33.2 mm/jam mengakibat emisi CO2 menurun secara signifikan dari 5.827
267 µmol /m2/s menjadi 0.69 µmol /m2/s. Keadaan yang sama juga terjadi pada tanggal 5
268 agustus jam 20.00 WIB.Hal ini terjadi karena penurunan kedalaman water table
269 mendekati permukaan tanah yaang ditandai dengan kecilnya kedalaman tanah yang tak
270 jenuh membuat ruang gerak respirasi tanah dan mikroorganisme tanah menjadi semakin
271 sedikit. Penurunan kedalaman water table juga memperdalam zona permukaan oksida

8
272 gambut, sehingga meningkatkan ketersediaan substrat CO2 dan melepaskan proses
273 dekomposisi. Lapisan gambut bagian atas yang tidak jenuh dengan air dan bersifat oksik
274 dapat mendukung aktivitas biologis, sedangkan lapisan di bawahnya tergenang air dan
275 anoksik. Batas oksik-anoksik bergeser akibat fluktuasi tabel air, saat tabel air diturunkan,
276 lapisan oksida menjadi semakin dalam dari permukaan tanah dan proses dekomposisi
277 akan meningkat (Astiani D. et al. 2016).
278 [Gambar 6. Hubungan emisi CO2 dengan water table]
279 Pada lahan gambut terbuka, emisi CO2 meningkat secara berurutan 20%, 56%,
280 100% dan 162% Pada kedalaman water table yang meningkat dari 10, 20, 30 dan 40 cm.
281 (Astiani D. et al. 2016). Proses pengeringan dan pembasahan lahan gambut
282 mempengaruhi stabilitas asam organik, yang ditunjukkan oleh hilangnya C melalui
283 pelepasan CO2 dan CH4. Perubahan status hidrologi di lahan gambut mendorong
284 dekomposisi aerobik yang menyebabkan peningkatan emisi CO2 sementara, pada saat
285 bersamaan, keasaman dan nutrisi dilepaskan. (limin et al. 2008).
286 Water table merupakan batas antara permukaan jenuh dan tak jenuh di dalam
287 tanah. pada kondisi alami, water table menutup permukaan tanah sehingga gambut
288 terakumulasi dari tanaman selama lebih dari 100 tahun. namun ketika lahan gambut di
289 drainase untuk keperluan pertanian menyebabkan terjadinya penurunan water table dan
290 subsidence pada permukaan gambut sehingga menyebabkan emisi CO2 keluar ke
291 atmosfer, apabila drainase dilanjutkan maka akan terjadi dekomposisi gambut kering dan
292 beresiko terjadinya kebakaran dan emisi CO2 diproduksi lebih banyak. Pada akhirnya,
293 sebagian besar karbon yang tersimpan dilahan gambut akan berubah menjadi emisi
294 karbon yang dikeluarkan ke atmosfer (Hooijer et al. 2010).
295
296 Dugaan emisi karbon dengan menggunakan ANN
297 Hubungan setiap parameter fisika gambut terhadap emisi CO2 dapat dianalisis
298 dengan mengembangkan Model Artificial Neural Network (ANN) atau Jaringan Saraf
299 Tiruan. ANN merupakan kumpulan elemen pemrosesan, unit atau node sederhana yang
300 saling berhubungan dan fungsinya didasarkan pada sistem saraf manusia. Model ANN
301 untuk memprediksi emisi CO2 yang terjadi di lahan gambut telah dikembangkan oleh
302 beberapa peneliti Setiawan dan mustafril (2013 ), Chadirin et al. (2016). Setiawan dan
303 mustafril (2013) menggunakan parameter fisika gambut yaitu suhu tanah, kelembaban

9
304 tanah dan daya hantar listrik tanah sebagai variabel dalam penentuan emisi sedangkan
305 Chadirin (2016) menggunakan parameter suhu tanah, kelembaban tanah dan Curah hujan
306 (rainfall).
307 Model ANN pada penelitian ini menggunakan parameter lingkungan biofisik
308 yaitu Suhu tanah, Kelembaban tanah dan water table dimasukkan sebagai variabel untuk
309 menentukan emisi CO2 lahan gambut di pulau padang. Kedalaman water table
310 merepresentasikan luas ruang yang tersedia di lahan gambut yang diprediksi dapat
311 berpengaruh terhadap besarnya emisi CO2 lahan gambut. Hasil Estimasi emisi CO2
312 berdasarkan parameter lingkungan biofisik kemudian disandingkan dengan hasil
313 pengukuran lapangan (gambar 8). Hasil perhitungan menggunakan model ANN
314 dioptimasi sampai menunjukan nilai korelasi yang cukup tinggi dengan emisi pada saat
315 pengukuran. Hasil korelasi tertinggi yang diperoleh sebesar R2 = 0.5545 yang
316 menunjukkan bahwa hasil perhitungan ANN dengan Emisi pengukuran memiliki korelasi
317 yang cukup tinggi dan bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengestimasi CO2 lahan
318 gambut di pulau padang dengan lebih murah.
319 Pada Gambar 10 terlihat bahwa hasil estimasi dengan perhitungan model ANN
320 tidak berbeda jauh dengan fluks CO2 yang diukur di lapangan. Model ANN
321 menghasilkan monograf hubungan suhu dan kelembaban tanah terhadap emisi CO2 pada
322 kedalaman water table minimum, medium dan maksimum berdasarkan hasil pengukuran
323 dilapangan yaitu 720mm, 950mm dan 1180 mm (Gambar 9 a, b dan c).
324 [Gambar 7. Garfik Model ANN terhadap CO2 fluks lahan gambut]
325 [Gambar 8. Hasil estimasi Emisi CO2 dan Fluks CO2 pengukuran lapangan]
326 [Gambar 9 . Model ANN dengan kedalaman water table 720 mm (a) dan 950 mm (b)]
327 [Gambar 9c. Model ANN dengan kedalaman water table maksimum (1180 mm)]

328 Monogram ini dihasilkan berdasarkan rentang data hasil pengukuran di lapangan.
329 Sehingga apabila tidak ada data yang mendukung maka ANN tidak dapat
330 mengestimasikan emisi yang terjadi sehingga perhitungan ANN tidak berlaku. Kondisi
331 ini terjadi pada rentang suhu 32-37 °C dengan kelembaban 0.200-0.220 m3/m3 , prediksi
332 emisi CO2 perhitungan model ANN ini tidak berlaku karena tidak ada data yang
333 mendukung adanya rentang suhu dengan kelembaban tersebut dilapangan. Kondisi ini
334 juga berlaku untuk setiap rentang water table. Gambar 9 a, b dan c memperlihatkan
335 bahwa emisi CO2 pada kedalaman water table tertentu berfluktuasi mengikuti keadaan

10
336 suhu dan kelembaban. Semakin besar kedalaman water table maka semakin besar pula
337 emisi maksimum yang dihasilkan. Emisi maksimum pada water table 720mm, 950mm
338 dan 1180mm masing masing mencapai 4.1 µmol/m²/s, 5.1 µmol/m²/s dan 6.9 µmol/m²/s
339 pada suhu maksimum. Emisi bergerak naik pada rentang kelembaban 0.220 sampai 0.250
340 kemudian kembali turun dengan meningkatnya kelembaban. Dari monogram ini dapat
341 disimpulkan bahwa emisi bergerak naik pada kedalaman water table yang tinggi dengan
342 suhu maskimum dan rentang kelembaban tertentu.

343 KESIMPULAN
344 Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa emisi CO2 lahan gambut Pulau
345 padang mencapai 59.82 TonCO2/ha/tahun sehingga emisi karbon yang diemisikan lahan
346 gambut adalah 16.314 TonC/ha/tahun . Emisi CO2 lahan gambut dipengaruhi oleh
347 parameter lingkungan biofisik gambut yaitu suhu tanah, kelembaban tanah dan
348 kedalaman Water table. Emisi CO2 akan meningkat pada kondisi suhu yang tinggi dan
349 kelembaan tanah yang cukup untuk terjadinya respirasi tanah dan aktivitas
350 mikroorganisme. Water table memiliki pengaruh yang signifikan terhadap emisi gas
351 karbon dari gambut dengan lebih banyak CO2 yang dipancarkan pada kedalaman water
352 table yang semakin tinggi. Hasil perhitungan menggunakan model ANN diperoleh
353 korelasi tertinggi yang sebesar R2 = 0.5545 yang menunjukkan bahwa hasil perhitungan
354 ANN dengan Emisi pengukuran memiliki korelasi yang cukup tinggi dan bisa dijadikan
355 sebagai acuan dalam mengestimasi CO2 lahan gambut di pulau padang dengan lebih
356 ekonomis.
357 DAFTAR PUSTAKA
358 Astiani, D., Burhanuddin, Muhammad, T., & Curran, L. M. (2016). Effect of Water table
359 Level on Soil CO2 Respiration In West Kalimantan Forested and Bare Peatland :
360 An Experimental Stage. Nusantara Bioscience; 201-206.
361 Chadirin, Y., SK, S., Rudiyanto, & K, O. (2016). Lingkungan Biofisik dan Emisi Gas
362 CO2 Lahan Gambut Untuk Produksi Biomassa yang Berkelanjutan. Jurnal Ilmu
363 Pertanian Indonesia; 146-151.
364 Fenn, K. M., Malhi, Y., & Morecroft, M. D. (2010). Soil CO2 efflux in a temperate
365 deciduous forest: Environmental drivers. Elsevier; 1685-1693.
366 Hanafiah K A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu tanah. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

11
367 Hooijer, A., Jauhiainen, J., Lee, W., Lu, X., Idris, A., & Anshari, G. (2012). Subsidence
368 and Carbon Lost In Drained Tropical peatlands. Biogeosciences; 1053-1071.
369 Hooijer, A., Page, S., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wosten, H., & Jauhiainen,
370 J. (2010). Current and future CO2 Emission From Drained peatlands In Southest
371 Asia. Biogeoscience; 1505-1514.
372 Jauhiainen, J., Silvennoinen, H., Limin, S., & Vasander, H. (2008). Effect Of
373 Hydrological Restoration On Degraded Tropical Peat Carbon Fluxes. Restoration
374 Of Tropical Peatland; 111-117.
375 Jaenicke, J., & Siegert, F. (2008). Monitoring Restoration Measures In Tropical Peatlands
376 Using Radar Satellite Imagery; 142-147.
377 limin, S. H., Yunsiska, E., Kitso, K., & Alim, S. (2008). Restoration Of Hydrological
378 Status As The Key To Rehabilitation Of Damaged Peatland In Central
379 Kalimantan; 117-124.
380 Martins, C., Macdonald, C., Anderson, I., & Singh, B. (2016). Feedback responses of soil
381 greenhouse gas emissions to climate change are modulated by soil characteristics
382 in dryland ecosystems. Soil Biology & Biochemistry; 21-32.
383 Page, S., & Rieley, J. (2008). Overview of the neef for restoration and rehabilitaion of
384 tropical peatland and review of the contents of this book. Dalam J. R. Henk
385 Wosten, Restoration of tropical peatlands. Wageningen: Alterra; 13-18
386 Sabiham, S. (2010). Properties of Indonesia Peat in Relation to The Chemistry of Carbon
387 Emission. International Workshop on Evaluation and Suistainable Management
388 of Soil Carbon Sequestration in Asian Countries. Bogor; 205-216
389 Setiawan, B. I., & Mustafril. (2014). Pendugaan Karbon Di Atas Pemukaan Tanah. Aceh.
390 Universitas Syiah Kuala.
391 Subowo, G. (2010). Strategi Efisiensi Penggunaan Bahan Organik Untuk Kesuburan.
392 Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 4 No. 1;13-25.
393 Tawan, C., I.B, I., & Wan Sulaiman, W. (2008). Floral Diversity Of The Peat Swamp
394 Forest Of Sarawak. Restoration of Tropical Peatlands; 39-44.
395 Waldes, N., & Page, S. (2008). Unlocking the natural resourcefunction on tropical
396 peatlands: Understanding the nature and diversity of peat swamp forest vegetation
397 as a foundation for vegetation restoration studies. environmental jurnals; 30-38.
398

399

12
400 Tabel dan Gambar

401

402

403

404

405

406

407

408

409

410 Gambar 1. Model Artificial Neural Network CO2 flux

Emisi CO₂ Lahan Gambut


8
Fluks Emisi Co2
(µmol/m²/s)

6
4
2
0
28/07 07/08 17/08 27/08 06/09 16/09 26/09
Waktu Pengukuran (hari)
411
412 Gambar 2. Fluks emisi CO2 lahan gambut Pulau Padang
413

Pengaruh Curah Hujan Terhadap Suhu


40
dan Kelembaban Tanah 0,35
Kelembaban Tanah (m³/m³)
Suhu Tanah (°C)

30 0,3
0,25
20
0,2
10 0,15
0 0,1
22/09
24/09
26/09
28/09
28/07
30/07
01/08
03/08
05/08
07/08
09/08
11/08
13/08
15/08
17/08
19/08
21/08
23/08
25/08
27/08
29/08
31/08
02/09
04/09
06/09
08/09
10/09
12/09
14/09
16/09
18/09
20/09

Waktu Pengukuran
Ts Curah hujan θs
414
415 Gambar 3. Pengaruh Curah hujan terhadap Suhu dan kelembaban Tanah
416

13
Pengaruh Curah Hujan terhadap Water Table

21/08

18/09
28/07
30/07
01/08
03/08
05/08
07/08
09/08
11/08
13/08
15/08
17/08
19/08

23/08
25/08
27/08
29/08
31/08
02/09
04/09
06/09
08/09
10/09
12/09
14/09
16/09

20/09
22/09
24/09
26/09
0 40
Water Table (mm(°C)

Curah hujan (mm/jam)


30
500
20
1000
10

1500 0
Waktu Pengukuran
Curah hujan WT
417
418 Gambar 4. Pengaruh Curah hujan terhadap water table
419

40 Hubungan Emisi CO₂ dengan Suhu dan Kelembaban Tanah 0,4


Suhu Tanah (°C)

Kelembaban Tanah
30 0,3

(m³/m³)
20 0,2
10 0,1
0 0
01/08

01/08

02/08

02/08

03/08

03/08

04/08

04/08

05/08

05/08

06/08
Waktu Pengukuran (jam)
Fluks CO₂ (µmol/m²/s) Suhu Tanah (°C) Kelembaban Tanah (m³/m³)
420
421 Gambar 5. Hubungan Emisi CO2 dengan suhu dan kelembaban tanah
422

10 Hubungan Emisi CO2 dengan Water Table 0


Suhu Tanah (°C)

Water table (mm)


500
5
1000

0 1500
04/08
01/08

01/08

02/08

02/08

03/08

03/08

04/08

05/08

05/08

06/08

Waktu Pengukuran (jam)


423 Fluks CO₂ (µmol/m²/s)
424 Gambar 6. Hubungan emisi CO2 dengan water table
425
8
Series1
y=x Linear (Series1)
CO2 Emission

6
umol/m2/s

R² = 0,5545
4
2
0
0 1 2 3 4 5 6 7
Estimated CO2
426
427 Gambar 7. Garfik Model ANN terhadap CO2 fluks lahan gambut

14
428

8,00
CO₂ Estimasi dan Pengukuran
fluks CO₂ ( µmol/m²/s)

7,00
6,00
5,00
4,00
3,00 Estimated CO2
2,00 fluks CO2
1,00
0,00
20/07

30/07

09/08

19/08

29/08

08/09

18/09

28/09

08/10
Waktu (hari)
429
430 Gambar 8. Hasil estimasi Emisi CO2 dan Fluks CO2 pengukuran lapangan
431
5 7

T 24 6
4
CO2 (umol/m2.S)

T 24
CO2 (umol/m2.S)

28 5
3 32 28
4
35 32
2 3
37 35
2
1 37
1
0 0
0,15 0,25 0,35 0,45 0,15 0,25 0,35 0,45
Soil moisture (mm3/mm3) Soil moisture (mm3/mm3)
432
433 Gambar 9 . Model ANN dengan kedalaman water table 720 mm (a) dan 950 mm (b)
434
8
7
CO2 (umol/m2.S)

6
T 24
5
28
4
3 32
2 35
1 37
0
0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45
Soil moisture (mm3/mm3)
435
436 Gambar 9c. Model ANN dengan kedalaman water table maksimum (1180 mm)

15

Anda mungkin juga menyukai