BAB 1
PENDAHULUAN
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Medula Spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem
kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan
tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit dan otot.
Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis ini
memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian lumbar kedua
tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus
medullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf, yang memanjang
melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf ini menyerupai akar
kuda. Saraf-saraf medula spinalis tersusun atas 33 segmen yaitu 7 segmen
servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigius. Medula spinalis
mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu untuk
setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas substansi grisea dan
alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal dan substansi alba ada
pada bagian internal ( Sherwood,2001). Vertebralis dikelompokkan sebagai
berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas).
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi
hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens,
yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena
mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis.
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk
jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis.
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra
yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum.
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang
bayi.
e. Os. Coccygis.
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis
memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal
pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang,
6
daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua
lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer
karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah
sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan.
Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia
merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh
dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan
memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk
menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu
berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung
terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan,
menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior
yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula
ablongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara
vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai
konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang
disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju
koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini,
pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian
belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan
lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota
badan atas dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf
interkostalis.
Fungsi sumsum tulang belakang :
1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit.
2. Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-
sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi
kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima
dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik.
7
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada
kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
2.2 Definisi
2.3 Etiologi
Penyebab dari Trauma medulla spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu traumatic
spinal-cord injury dan non-traumatic spinal-cord injury (McDonald & Sadowsky,
2002). Termasuk Traumatic spinal cord injury adalah kecelakaan di jalan raya
(penyebab tersering), tindak kekerasan, terjatuh, kegiatan olahraga (menyelam),
Luka tusuk; tembak; tikam, dan rekreasi. Sedangkan non-traumatic spinal-cord
injury terdiri dari: Congenital and developmental, gangguan CNS Degenerative,
Infeksi, Inflammatory: Multiple sclerosis, transverse myelitis Toxic, radiasi, dan
Tumor. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis non
traumatic seperti spondiliosis servikal dengan mielopati (yang menghasilkan
saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan
akar), mielitis (akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi), osteoporosis
(disebabkan oleh fraktur kompensasi pada vertebra), siringemelia, tumor infiltrasi
maupun kompresi, dan penyakit vascular.
8
Gambar 2.1 penyakit penyebab non-traumatic spinal cord injury
2.4 Klasifikasi
9
normal, kebanyakan menunjukkan deformitas dan rasa nyeri serta adanya
ancaman untuk terjadi gangguan neurologik.
2. Berdasarkan penyebab
Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya adalah traumatic dan non-
traumatic spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta trauma secara
langsung lainnya merupakan jenis traumatic, sedangkan non traumatic
akibat dari penyakit degenerative, infeksi, tumor, dan penyakit
inflammatory lain.
3. Berdasarkan letak trauma
Klasifikasi berdasar Letak trauma pada vertebra: (Hanafiah, 2007)
a. Cervical Spine, terjadi sebanyak 55%
b. Thoracic Spine, pada 15% kejadian
c. Thoracolumbar Spine, 15% kejadian; dan
d. Lumbosacral Spine, 15% kasus.
4. Berdasarkan mekanisme
Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi dua yakni complete dan
incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik
dipergunakan Frankel Score. (Chin, 2013)
a. FRANKEL SCORE A: kehilangan fingsi motorik dan
sensorik lengkap/complete loss. Motoris (-) sensoris (-)
b. FRANKEL SCORE B: Fungsi motoric hilang, fungsi
sensorik utuh. Motoris (-), sensoris (+)
c. FRANKEL SCORE C: Fungsi motoric ada tetapi secara
praktis tidak berfungsi (dapat menggerakkan tungkai tetapi
tidak dapat berjalan). Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3,
sensoris (+)
d. FRANKEL SCORE D: Fungsi motoric terganggu (dapat
berjalan tetapi tidak dengan normal‖gait‖). Motoris )+)
dengan ROM 4, sensoris (+)
e. FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan
neurologik. Motoris (+), sensoris (+)
Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)
impairement scale (modifikasi dari klasifikasi frankle) (Chin, 2013)
a. Grade A : komplit. Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada
segmen sacral s4-s5
b. Grade B : inkomplit. Motoris (-), sensoris (+)
c. Grade C : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
d. Grade D : inkomplit. Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
atau lebih dari sama dengan 3
e. Grade E : Motoris dan sensoris normal
10
5. Berdasarkan level
Gambar 2.4 Level Kerusakan Spinal Cord, fungsi, dan aktivitas yang
memungkinkan
6. Berdasarkan klasifikasi lain (Hanafiah, 2007)
Metode Klasifikasi Dennis
Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan
daerah cervical.
11
Metode Klasifikasi Magerl
Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.
2.5 Patofisiologi
12
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti
baik pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal
terpusat pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat
pelepasan dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana
konsentrasi ini cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam
setelah cedera. Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa
aktivitas neuron lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah
menunjukkan disfungsi ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino
eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada
spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran
untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium
dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium
efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan
neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron
disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-
carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates,
serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium,
dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera
neurologis sekunder.
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-
endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa,
mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI.
Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan
fungsi yang lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi
membrane phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya
asam arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh
siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan
aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid.
Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI
eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat
abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera
sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model
eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level
kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan,
kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap
peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi.
(Rowland, 2008)
13
2.6 Manifestasi Klinis
14
2.7 Pemeriksaan Penunjang
15
injuries atau soft tissue injuries lain maupun pathology. MRI digunakan
untuk mengevaluasi soft tissue lesions, seperti extradural spinal
haematoma, abscess atau tumour, spinal cord haemorrhage, contusion
and/or oedema. Neurological kerusakan biasanya disebabkan karena
secondary injury, resulting in oedema and/or haemorrhage. MRI adalah
gambar diagnostik terbaik untuk menggambarkan perubahan ini. (Tidy,
2014)
2.8 Penatalaksanaan
Didalam penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting
yaitu, Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (Spinal Instability) dan Kerusakan
jaringan saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and
potential neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Yang dimaksud dengan instabilitas
kolumna vertebralis (spinal instability) ialah hilangnya hubungan normal antara
strukturstruktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari
fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal.
Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa
nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan
saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena
fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan
lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang
pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara
bersamaan.
Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu:
immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,
dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi. (Hanafiah, 2007)
1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan
menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak terputar (rotation).
Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas
yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ‖4 men lift‖ atau
menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’
2. Stabilisasi Medis
Terutama pada penderita tetraparesis/etraplegia.
a. Periksa vital signs
b. Pasang ’nasogastric tube’
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan tekanan darah yang
normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor
16
produksi urin, bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan
periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl
Prednisolone Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖Spinal Alignment‖)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield
tong atau Gardner- Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi
dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah
setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila
’realignment’ dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open
reduction’ dan stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk
dalam program ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot
pernafasan, pencapaian optimal fungsi – fungsi neurologik dan program
kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai berikut:
1. Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempat kejadian.
2. Proteksi terhadap ’cervical spine’ merupakan hal yang sangat penting
3. Mobilisasi penderita ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara yang
benar.
4. Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku yang
telah dianut.
5. Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong penderita dari cacat
neurologik yang berat. (Hanafiah, 2007)
17
Gambar 2.7 Algoritma Spinal Cord Injury menurut U.S. National Library of
Medicine, National Institute of Health.
i. lakukan pengkajian terhadap faktor risiko adanya spinal cord injury, yaitu
a. terdapat luka tusuk dan tembak
b. terdapat luka terbuka/ langsung pada wajah, leher, atau punggung
(misal karena kecelakaan)
c. kecelakaan saat menyelam
d. sengatan listrik
e. putaran yang ekstrim pada tulang belakang
f. cedera olahraga (mendarat di kepala)
18
g. pukulan yang kuat dan besar pada kepala atau dada (kecelakaan
mobil, jatuh dari ketinggian)
ii. jika tidak: mulailah untuk memberi pendidikan kesehatan
a. Anjurkan untuk melakukan tindakan safety precautions: memakai
helm, seatbelts, menghindari prilaku berisiko.
b. Mencegah faktor risiko: mengindari mabuk saat mengemudi,
penyalagunaan alcohol dan obat-obatan terlarang, bahaya industry,
berenang dikolam dangkal atau sedikit air tanpa diketahui, berada
ditempat tak berpagar.
iii. jika iya: kaji adanya
a. posisi kepala yang tidak seperti biasa (abnormal)
b. mati rasa atau kesemutan yang menjalar ke bawah lengan atau kaki
c. kelemahan
d. kesulitan berjalan
e. paralisis lengan atau kaki
f. tidak ada control baldder dan bowel
g. syok: pucat, kulit lembab, dimgin, bibir dan kuku kebiruan, bertindak
kebingungan, atau setengah sadar
h. tidak sadar
i. kaku leher, sakit kepala, sakit leher
iv. Diagnose ditegakkan, bahwa terdapat spinal cord injury. Buat perencanaan
tindakan mengenai perkembangan dan persyaratan untuk rehabilitasi;
diskusikan mengenai prosedur diagnostic, pemeriksaan radiologis. Pantau
adanya tanda gejala dari komplikasi: autonomic disreflexia, neurogenic
syok. Diskusikan menganai medikasi: steroid, atropine, vasopressor.
Pastikan untuk membuat strategi untuk mencegah terjadinya komplikasi
akibat immobilisasi
v. Lalu kaji apakah pasien berpotensi unstable. Jika iya, buat rencana
perawatan mengenai potensial komplikasi: nurogenik syok. Autonomic
disreflexia, spinal syok; rencana perawatan untuk hipoventilasi,
pneumonia, sepsis, fraktur, neurogenic bladder, konstipasi, ileus pain,
disuse syndrome.
2.9 Komplikasi
19
4. Increased risk of injury to numb areas of the body
5. Peningkatan risiko urinary tract infections
6. Kehilangan control bladder
7. Kehilangan control bowel
8. Loss of feeling
9. Kehilangan fungsi seksual (male impotence)
10. Muscle spasticity
11. Nyeri
12. Paralysis dari otot pernafasan
13. Paralysis (paraplegia, quadriplegia)
14. Pressure sores
15. Shock (Bhimji, 2014)
2.10 Prognosis
20
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. G, usia 28 tahun dibawa oleh polisi ke IRD RSUD Dr. Soetomo
setelah mengalami kecelakaan kerja, Tn. G jatuh dari ketinggian 10 m. Selama
perjalanan menuju rumah sakit Tn. G mengeluh tidak bisa menggerakkan
tangan serta tungkainya, Tn. G terlihat sulit bernapas, napas pendek . RR 29
x/menit, TD 90/60mmHg, Nadi 60x/ menit, GCS: 2-4-1, skala nyeri 9. Dari
hasil pemeriksaan nadi lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun,
urine keluar menetes, kandung kemih terisi penuh, . Dari hasil CT Scan terjadi
dislokasi C 4.
3.2 Primary Survey
1. Airway
Assessment :
1. Perhatikan patensi airway :Paten
2. Dengar suara napas: vesikuler
Management :
1. Inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, bila diduga
terjadi fraktur servikal maka lakukan jaw thrust, hilangkan benda
yang menghalangi jalan napas
2. Immobilisasi stabilkan leher dalam posisi normal kalau ada
pasang collar-neck untuk mencegah parahnya fraktur servikal
3. Mempertahankan posisi normal vertebra (‖Spinal Alignment‖)
1. Breathing
Assesmen
t
1. Periksa frekwensi napas : 29x/menit.
2. Perhatikan gerakan respirasi:asimetris dan dada tidak terlalu
mengembang
3. Auskultasi dan dengarkan bunyi napas: bunyi nafas vesikuler
Management:
Lakukan bantuan ventilasi atau pasang ventilator
2. Circulation
Assesment
1. Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi: 60x/menit.
2. Periksa tekanan darah: 90/60 mmHg.
3. Pemeriksaan pulse oxymetri
4. Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
5. Periksa keluaran urine
Management
1. Resusitasi cairan dengan memasang iv lines
21
2. Pasang kateter untuk mengetahui haluaran urine dan
untuk mencegah refluks urine karena kelumpuhan otot
3. Disability
Assessment
Respon: Alert
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 241
Pupil : Isokor
Refleks Cahaya : Ada
Keluhan Lain : Nyeri
Management : Lakukan monitoring kesadaran dan kerusakan
syaraf pusat
4. Exposure
Assessment
Deformitas: Tidak
Contisio: Tidak
Abrasi: Tidak
Laserasi : Tidak
Edema : Tidak
Jejas : Terdapat jejas pada leher
Keluhan Lain : Nyeri
Management : Lakukan management nyeri
3.3 Pengkajian
1. Umur pasien: 28 tahun
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu: tidak ada
3. Pengobatan terakhir: tidak ada
4. Pengalaman pembedahan: tidak ada
5. Riwayat penyakit dahulu: tidak ada
6. Riwayat penyakit sekarang: Tn. G dibawa ke rumah sakit setelah mengalami
kecelakaan kerja, jatuh dari ketinggian 10 m, selama perjalanan px
mengeluh nyeri dan tidak bisa menggerakkan tungkai dan tangannya.
7. Keluhan: Nyeri (+), susah bernafas (+)
22
B 6 (sistem muskuloskeletal): terdapat jejas dibagian leher, dan kelumpuhan
pada seluruh badan
3.5 Analisa Data
No Data Etiologi Masalah keperawatan
23
DO: pasien
terlihat kesakitan
, skala nyeri 8 Kompresi saraf
Respon nyeri
Nyeri akut
24
3.7 Intervensi Keperawatan
Memelihara kepatenan jalan nafas: Pasien dengan cedera leher rahim tinggi
menjaga kepala dalam posisi yang dan gangguan muntah / batuk refleks akanmemerlu
tepat yaitu mempertahankan posisi kan bantuan dalam
normal vertebra (‖Spinal mencegah aspirasi / mempertahankan jalan
Alignment‖). napas paten
Memeriksa serangan tiba-tiba dari Perkembangan emboli paru dapat ―silent‖ karena
dispnea, sianosis dan/atau tanda persepsi nyeri mengalami perubahan dan/atau
lain yang mengarah pada distress thrombosis vena dalam tidak mudah dikenali.
pernafasan.
Auskultasi bunyi nafas. Catat area Hiperventilasi secara umum dapat menyebabkan
dimana terjadi perubahan suara akumulasi sekret, atelektasis dan pneumonia
nafas (komplikasi yang sering terjadi)
25
dengan cara pengaturan dari fungsi dan untuk meningkatkan kekuatan otot
ventilator yang dipasang atau pernafasan pasien.
metode weaninguntuk pasien yang
dipasang ventilator.
Observasi tingkat nyeri, dan respon Pengkajian yang optimal akan memberikan
motorik klien, 30 menit setelah pemberian perawat data yang obyektif untuk mencegah
obat analgetik untuk mengkaji kemungkinan komplikasi dan melakukan
efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam intervensi yang tepat.
setelah tindakan perawatan selama 1 - 2
hari.
26
Diagnosa Keperawatan : perubahan pola eliminasi urine yang berhubungan dengan
kelumpuhan otot perkemihan
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pola eliminasi optimal sesuai keadaan normal
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, klien dapat melakukan eliminasi urin dengan
atau tanpa pemasangan urine
Intervensi Keperawatan Rasional
Kaji pola berkemih, dan catat setiap 6 jam Untuk mengetahui fungsi ginjal
sekali
Palpasi adanya distensi kandung kemih, Menilai perubahan akibat dari inkontinensia
dan observasi pengeluaran urine urine
Inspeksi kulit setiap hari. Kaji terhadap Perubahan sirkulasi, kehilangan sensai, dan
area yang tertekan, dan memberikan paralisis memungkinkan pembentukan
perawatan kulit secara teliti. tekanan sakit. Ini merupakan pertimbangan
seumur hidup
27
infeksi pulmonal.
28
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
29
BAB 1
PENDAHULUAN
30
8. Apakah komplikasi dari syok spinal?
9. Apakah prognosis dari syok spinal?
10. Bagaimanakah asuhan keperawatan klien dengan syok spinal?
1.3 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan asuhan keperawatan klien
dengan syok spinal.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi syok spinal.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi syok spinal.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi syok spinal.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan web of caution (WOC) syok spinal
5. Mahasiswa dapat menyebutkan manifestasi klinis syok spinal.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan pemeriksaan diagnostik pada syok
spinal.
7. Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan klien dengan syok
spinal.
8. Mahasiswa dapat menjelaskan komplikasi dari syok spinal.
9. Mahasiswa dapat menjelaskan prognosis klien syok spinal.
10. Mahasiswa menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada klien
dengan syok spinal.
31
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik
atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal
atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke
medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat
penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab
lainnya.
32
2.4 Patofisiologi
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok
spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya
cederapada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu
tubuh. Hal ini terjadi akibat hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya
disalurkan melalui neuron dari otak untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika
syok spinal terjadi akan mengalami regresi dan hiperrefleksia ditandai dengan
spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung kemih dan usus (Corwin, 2009).
2.5 Komplikasi
33
6. Pemeriksaan fungsi paru: mengukur volume inspirasi maksimal dan
ekpirasi maksimal terutama pada kasus trauma servikal bagian bawah
7. GDA : menunjukan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
2.6 Penatalaksanaan
34
ALGORITMA NEUROGENIC SHOCK
35
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
Primary Survey
36
Secondary Survey
Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah,
sebagai berikut: tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena
KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada riwayat penyakit
degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme
terjadinya trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien,
lakukan pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit
neurologis pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat
kejadian, lakukan tes refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien,
fokuskan pada deformitas leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka
atau abrasi dangkal pada dahi, lakukan pemeriksaan neurologi penuh.
37
11. Seksualitas: priapismus (pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita)
(Doengoes, 1999)
Pemeriksaan Diagnostik
Hasil Laboratorium
BGA : menunjukkan ketidakefektifan pola nafas karena hasil dari analisa gas
darah menunjukan alkalosis respiratorik.
pH 7,607
38
SO2 79 %
BE 0,0 mmol/L
Terapi :
Pengkajian
Identitas
Nama : Tn A
Umur : 45 tahun
Alamat : Surabaya
39
Keluhan utama : mengeluh kelemaha ekstrimitas sejak 3 hari yang lalu
semakin memberat
Riwayat Alergi :-
N : 80 x/menit
RR : 29x/menit
T: 38,5 C
Review of System
B4 : inkontinensia urin
B6 : Quadriplegi
40
pernapasan, pucat dan Ekspansi paru menurun
pernapasan cuping
hidung Pola napas tidak efektif
RR 29 x/mnt, napas
pendek, cepat
Karbondioksida menurun
3. DO : Nadi teraba lemah Syok spinal Ketidakefektifan
(bradikardi) perfusi jaringan
Hipotensi dan perifer
TD 100x/ menit bradikardi
Gangguan perfusi
jaringan perifer
4. DS : Pasien mengeluh Fraktur Gangguan rasa
nyeri hebat, tidak bisa nyaman nyeri
tidur Memar, kerusakan
laserasi sumsum
DO : Skala nyeri pasien
8, klien gelisah, suhu Pelepasan mediator
tubuh naik turun kimia
S : 38,5 C
5. DS : pasien mengeluh Fraktur servikal dan Perubahan pola
reflek BAK hilang lumbal eliminasi urine
41
vesika urinaria
Inkontinensia urin
Gangguan eliminasi
6. DS : pasien mengeluh Cidera servikal Gangguan
tidak bisa BAB eliminasi alvi
Kompresi medula
DO : peristaltik usus spinalis
klien menurun, abdomen
distensi Kelumpuhan saraf usus
dan rektum
Gangguan eliminasi
alvi
7. Ds : Pasien mengalami Fraktur servikal dan Gangguan
kelemahan pada keempat lumbal mobilitas fisik
anggota geraknya.
Kompresi medula
DO : klien membutuhkan spinalis
bantuan dalam
pemenuhan ADL Gangguan motorik
sensorik
Kelumpuhan
Gangguan mobilitas
42
7. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakanfungsi
motorik dan sensori.
43
Catat area dimana terjadi menyebabkan akumulasi sekret, atelektasis
perubahan suara nafas dan pneumonia (komplikasi yang sering
terjadi)
Kriteria Hasil:
Intervensi Rasional
Pantau saturasi O2 dengan oksimeter Dengan memantau O2 perawat
nadi mengetahui kecukupan pasien akan O2
Pantau hasil gas darah Indikasi normalnya pertukaran gas di
tubuh yaitu BGA
Pantau kadar elektrolit
Pantau status mental Status mental menunjukkan status
pertukaran gas
Observasi terhadap sianosis, terutama sianosis adalah indikator
mukosa mulut ketidakadekuatan pertukaran O2 di
darah dan jaringan
Identifikasi kebutuhan pasien akan Jika pasien tidak dapat bernapas normal
insersi jalan napas aktual/potensial
Auskultai bunyi napas, tandai area Mengetahui fungsi paru dalam
penurunan atau hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan
Pantau status pernapasan dan Jika status pernapasan adekuat, status
oksigenasi pertukaran gas juga adekuat.
44
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik
vena dan penurunan curah jantung
Kriteria hasil :
Intervensi Rasional
Pertahankan ekstrimitas dengan Memudahkan aliran darah turun ke
posisi tergantung perifer
Mempertahakan ekstrimitas Menghindari hipotermi pada pasien
hangat akibat ketidakcukupan sirkulasi perifer
45
Intervensi:
Intervensi Rasional
Kaji fungsi-fungsi sensori dan Menetapkan kemampuan dan
motorik pasien setiap 4 jam. keterbatasan pasien setiap 4 jam.
Ganti posisi pasien setiap 2 jam Mencegah terjadinya dekubitus.
dengan memperhatikan
kestabilantubuh dan
kenyamanan pasien.
Beri papan penahan pada kaki Mencegah terjadinya foodrop
Gunakan otot orthopedhi, edar, Mencegah terjadinya kontraktur.
handsplits
Lakukan ROM Pasif setelah 48- Meningkatkan stimulasi dan mencehag
72 setelah cedera 4-5 kali/hari kontraktur.
Monitor adanya nyeri dan Menunjukan adanya aktifitas yang
kelelahan pada pasien. berlebihan.
Kaji fungsi-fungsi sensori dan Menetapkan kemampuan dan
motorik pasien setiap 4 jam. keterbatasan pasien setiap 4 jam.
Intervensi:
Intervensi Rasional
Kaji tanda-tanda infeksi saluran Efek dari tidak efektifnya bladder
kemih adalah adanya infeksi saluran kemih.
Kaji intake dan output cairan Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan
efektifnya blodder.
Lakukan pemasangan kateter Efek trauma medulla spinalis adlah
sesuai program adanya gangguan refleks
berkemihsehingga perlu bantuan dalam
pengeluaran urine
Anjurkan pasien untuk minum 2- Mencegah urine lebih pekat yang
3 liter setiap hari berakibat timbulnya
Cek bladder pasien setiap 2 jam Mengetahui adanya residu sebagai
46
akibat autonomic hyperrefleksiaf.
Lakukan pemeriksaan urinalisa, Mengetahui adanya infeksig.
kultur dan sensitibilitas
Monitor temperatur tubuh setiap Temperatur yang meningkat indikasi
8 jam adanya infeksi
Intervensi Rasional
Auskultasi bising usus, catat lokasi Bising usus mungkin tidak ada
dan karakteristiknya selama syok spinal
47
dapat menurunkan intensitas mengurangi nyerinya.
nyeri dan juga tingkatkan
relaksasi masase.
Ajarkan metode distraksi selama Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-
nyeri akut. hal yang menyenangkan
48
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Spinal syok (syok pada medula spinalis) termasuk syok distributif, terjadi
karena volume darah secara abnormal berpindah tempat pada vaskuler seperti
ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer . Neurogenik syok
disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Manifestasi klinis
yang ditunjukkan yaitu hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah
cedera. Suhu didalam tubung akan menggambarkan suhu yang ada di
lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi
denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu
rendah.
4.2 Saran
Setelah anda mengetahui dampak dari syok spinal maka penting bagi kita
untuk mengetahui cara menangani atau mencegah syok spinal agar tidak
terjadi trauma yang lebih fatal atau parah lagi. Untuk kedepannya apabila
terdapat korban dengan syok spinal, kita dapat melakukan penanganan gawat
darurat sebagai pencegahan syok spinal.
49
DAFTAR PUSTAKA
50
Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical
Information System
www.patient.co.uk/doctor/spinal-cord-injury-and-compression.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Thumbikat, et al. 2009. Acute spinal cord injury. Orthopaedics II: spine and
pelvis. SURGERY 27:7 282 © Elsevier Ltd. All rights reserved.
Urden, Linda D., Mary E. Lough. 2013. Critical Care Nursing - Diagnosis
and Management. Elsevier - Health Sciences Division
White, James P, & Pradeep Thumbikat. 2012. Orthopaedics Ii: Spine And Pelvis.
Surgery 30:7 326 _ 2012 Elsevier Ltd. All Rights Reserved..
51