Badan layanan umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam
melakukankegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Berdasar PP no: 23tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, tujuan BLUadalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukankesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikanfleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip eknomi danproduktivitas dan penerapan praktik bisnis yang sehat. Praktik
bisnis yang sehatartinya berdasarkan kaidah manajemen yang baik mencakup perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, pengendalian dan pertanggungjawaban.
Secara umum asas badan layanan umum adalah pelayanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan, tidak terpisah secara hukum dari instansi induknya.
1. Pejabat BLU bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan layanan umum kepada pimpinan instansi induk,
2. BLU tidak mencari laba,
3. Rencana kerja, anggaran dan laporan BLU dan instansi induk tidak terpisah,
4. Pengelolaan sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.
Pilar utama dalam pelaksanaan PPK-BLU adalah mempromosikan (1) peningkatan kinerja pelayanan publik; (2)
fleksibilitas pengelolaan keuangan; dan (3) tata kelola yang baik (good governance).
(1) Berkedudukan sebagai instansi pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan);
(2) Menghasilkan barang dan/atau jasa yang seluruhnya/sebagian dijual kepada publik;
(3) Tidak bertujuan mencari keuntungan;
(4) Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi
(5) Rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawaban dikonsolidasikan pada instansi induk;
(7) Pegawai dapat terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Non-PNS.
PPK-BLU memberikan fleksibilitas dalam rangka pelaksanaan anggaran,termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja,
pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dipegang ketat dalam perencanaan dan
penganggarannya, serta dalam pertanggungjawabannya. BLU wajib mengkalkulasi harga pokok dari layanannya dengan
kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam pertanggungjawabannya,
BLU harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah
direalisasikan.
Diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(BLU) adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (7) UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. PP tersebut bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah, karena sebelumnya tidak ada
pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang pada saat itu
bentuk dan modelnya beraneka macam.
Jenis BLU disini antara lain rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain. Rumah sakit
sebagai salah satu jenis BLU merupakan ujung tombak dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Namun, tak sedikit
keluhan selama ini diarahkan pada kualitas pelayanan rumah sakit yang dinilai masih rendah. Ini terutama rumah sakit
daerah atau rumah sakit milik pemerintah. Penyebabnya sangat klasik, yaitu masalah keterbatasan dana yang dimiliki oleh
rumah sakit umum daerah dan rumah sakit milik pemerintah, sehingga tidak bisa mengembangkan mutu layanannya, baik
karena peralatan medis yang terbatas maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang rendah.
Perkembangan pengelolaan rumah sakit, baik dari aspek manajemen maupun operasional sangat dipengaruhi oleh berbagai
tuntutan dari lingkungan, yaitu antara lain bahwa rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu, dan biaya pelayanan kesehatan terkendali sehingga akan berujung pada kepuasan pasien. Tuntutan lainnya
adalah pengendalian biaya. Pengendalian biaya merupakan masalah yang kompleks karena dipengaruhi oleh berbagai
pihak yaitu mekanisme pasar, tindakan ekonomis, sumber daya manusia yang dimiliki (profesionalitas) dan yang tidak
kalah penting adalah perkembangan teknologi dari rumah sakit itu sendiri. Rumah sakit pemerintah yang terdapat di
tingkat pusat dan daerah tidak lepas dari pengaruh perkembangan tuntutan tersebut.
Dipandang dari segmentasi kelompok masyarakat, secara umum rumah sakit pemerintah merupakan layanan jasa yang
menyediakan untuk kalangan menengah ke bawah, sedangkan rumah sakit swasta melayani masyarakat kelas menengah
ke atas. Biaya kesehatan cenderung terus meningkat,dan rumah sakit dituntut untuk secara mandiri mengatasi masalah
tersebut. Peningkatan biaya kesehatan menyebabkan fenomena tersendiri bagi rumah sakit pemerintahan karena rumah
sakit pemerintah memiliki segmen layanan kesehatan untuk kalangan menengah ke bawah. Akibatnya rumah sakit
pemerintah diharapkan menjadi rumah sakit yang murah dan bermutu.
Standar Pelayanan dan Tarif Layanan Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/BLUD menggunakan
standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya, harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan
untuk mendapatkan layanan.
Rumah Sakit Sebagai BLU: Tinjauan Aspek Pelaporan Keuangan Dan Pertanggungjawabannya
Paket undang-undang bidang keuangan negara merupakan paket reformasi yang signifikan di bidang keuangan negara
yang kita alami sejak kemerdekaan. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan
basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridorbaru bagi penerapan basis
kinerja dalam penganggaran di lingkungan pemerintah. Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi
pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan
produktivitas, efisiensi, dan efektivitas dalam segala aktivitasnya. Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), diharapkan
menjadi contoh konkrit yang menonjol dari penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil (kinerja). Peluang ini
secara khusus menyediakankesempatan bagi satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas
operasionalpelayanan publik, untuk membedakannya dari fungsi pemerintah sebagai regulator danpenentu kebijakan.
Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja
pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan pada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam
melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.Organisasi BLU cenderung sebagai organisasi
nirlaba kepemerintahan Sesuai dengan PP No:23 tahun 2005 pasal 26 menyebutkan bahwa akuntansi dan laporan
keuangan diselenggarakan sesuai dengan
Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang diterbitkan oleh asosiasi profesi akuntansi Indonesia. Ketentuan ini
mengakibatkan ketidakkonsistensian yaitu bahwa organisasi BLU yang cenderung sebagai organisasi kepemerintahan
tetapi pelaporan akuntansi menggunakan PSAK (standar akuntansi keuangan ), bukanmenggunakan PSAP (Standar
akuntansi pemerintahan).
Standar akuntansi pemerintah disusun oleh komite standar akuntansi pemerintah(KSAP). Standar ini digunakan untuk
organisasi kepemerintahan dan merupakan pedoman dalam penyususnan dan penyajian laporan keuangan. SAP dinyatakan
dalam PSAP. Organisasi pemerintahan sebagai organisasi yang nirlaba semestinya menggunakan SAP bukan SAK. Oleh
karena itu jika rumah sakit pemerintah sebagaibadan layanan umum semestinya juga menggunakan SAP bukan SAK,
namun dalam PP disebutkan badan layanan umum sebagai institusi yang nirlaba menggunakan SAK. Dalam hal ini SAK
yang tepat adalah PSAK no 45 yaitu standar akuntansi keuangan untuk organisasi nirlaba.
1. Laporan posisi keuangan (aktiva, utang dan aktiva bersih, tidak disebut neraca). Klasifikasi aktiva dan kewajiban
sesuai dengan perusahaan padaumumnya. Sedangkan aktiva bersih diklasifikasikan aktiva bersih tidak terikat,
terikat kontemporer dan terikat permanen. Yang dimaksud pembatasan permanen adalah pembatasan
penggunaan sumber daya yang ditetapkan oleh penyumbang. Sedangkan pembatasan temporer adalah
pembatasan penggunaan sumber daya oleh penyumbang yang menetapkan agar sumber daya tersebut
dipertahankan sampai pada periode tertentu atau sampai dengan terpenuhinya keadaan terntentu
2. Laporan aktivitas, (yaitu penghasilan, beban dan kerugian dan perubahan dalan aktiva bersih)
3. Laporan arus kas yang mencakup arus kas dari aktivtitas operasi, aktivtais investasi dan aktivtias pendanaan
4. Catatan atas laporan keuangan, antara lain sifat dan jumlah pembatasan permanen atau temporer. dan perubahan
klasifikasi aktiva bersih
Laporan keuangan rumah sakit diaudit oleh auditor independenAdapun Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah
sebagai BLU yang disusun harus menyediakan informasi untuk:
2. Pertanggungjawaban manajemen rumah sakit (disajikan dalam bentuk laporan aktivitas dan laporan arus kas);
3. Mengetahui kontinuitas pemberian jasa (disajikan dalam bentuk laporan posisi keuangan);
Dalam hal konsolidasi laporan keuangan rumah sakit pemerintah daerah dengan laporan keuangan kementerian
negara/lembaga, maupun laporan keuangan pemerintah daerah, maka rumah sakit pemerintah daerah sebagai BLU/BLUD
mengembangkan sub sistem akuntansi keuangan yang menghasilkan Laporan Keuangan sesuai dengan SAP
Berdasarkan PMK No. 76/PMK.05/2008 tentang Pedoman Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Badan Layanan Umum
dan sesuai pula dengan Pasal 27 PP No. 23 tahun 2005, maka rumah sakit pemerintah daerah dalam rangka pertanggung
jawaban atas pengelolaan keuangan dan kegiatan pelayanannya, menyusun dan menyajikan : 1. Laporan Keuangan; dan 2.
Laporan Kinerja.Laporan Keuangan tersebut paling sedikit terdiri dari: 1. Laporan Realisasi Anggaran dan atau Laporan
Operasional; 2. Neraca; 3. Laporan Arus Kas; dan 4. Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan Keuangan rumah sakit pemerintah daerah sebelum disampaikan kepada entitas pelaporan direview oleh satuan
pemeriksaan intern, namun dalam hal tidak terdapat satuan pemeriksaan intern, review dilakukan oleh aparat pengawasan
intern kementerian negara/ lembaga. Review ini dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan anggaran dan
penyusunan Laporan Keuangan BLU. Sedangkan Laporan Keuangan tahunan BLU diaudit oleh auditor eksternal.
BLU sebagai Instansi Satuan Kerja Perangkat Daerah Dipimpin oleh Pejabat Pengguna Anggaran yang
berwenang/bertugas :
1. Menyusun RKA
2. Menyusun DPA
3. Melaksanakan anggaran belanja satker
4. Melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran
5. Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak
6. Mengelola utang dan piutang
7. Menggunakan barang milik Daerah
8. Mengawasi pelaksanaan anggaran
9. Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan
Rumah sakit pemerintah dituntut untuk menjadi rumah sakit yang murah danbermutu. Dalam pengelolaannya rumah sakit
pemerintah memiliki peraturanpendukung yang terkait dengan pengelolaan keuangan yang fleksibel. Berdasar PP no:23
tahun 2005 tersebut rumah sakit pemerintah telah mengalami perubahan sebagaibadan layanan umum. Perubahan
kelembagaan ini berimbas padapertanggungjawaban keuangan bukan lagi kepada departemen kesehatan tetapikepada
departemen keuangan.
Sebagaimana telah diuraikan di atas dari aspekpelaporan keuangan yang harus mengikuti standar akuntansi keuangan,
maka dalampengelolaan teknis keuangan pun harus diselenggarakan dengan mengacu padaprinsip-prinsip akuntanbilitas,
transparansi dan efisiensi. Anggaran yang disusunrumah sakit pemeritah juga harus disusun dengan berbasis kinerja
(sesuai denganKepmendagri no 29 tahun 2002). Berdasar prinsip-prinsip tersebut, aspek teknis keuangan perlu didukung
adanya hubungan yang baik dan berkelanjutan antara rumah sakit,dengan pemerintah dan dengan parastakeholder,
khususnya dalam penentuan biaya pelayana kesehatan yang mencakup unit cost, efisiensi dan kualitas pelayanan. Yang
perlu dipertimbangankan lagi adalah adalah adanya audit atau pemeriksaan bukan saja dari pihak independen terhadap
pelaporan keuangan tetapi juga perlu audit klinik. Dengan berubahnya kelembagaan sebagai BLU tentu saja aspek teknis
sangat berhubungan erat dengan basis kinerja
Sesuai dengan syarat-syarat BLU bahwa yang dimaksud dengan persyaratansubstantif, persyaratan teknis dan persyaratan
admnistratif adalah berkaitan dengan standar layanan, penentuan tarif layanan, pengelolaan keuangan,tata kelola semuanya
harus berbasis kinerja. Hal-hal yang harus dipersiapkan bagi rumah sakit untuk menjadi BLU dalam aspek teknis
keuangan adalah:
1. Penentuan tarif harus berdasar unit cost dan mutu layanan. Dengan demikian rumah sakit pemerintah harus
mampu melakukan penelusuran (cost tracing) terhadap penentuan segala macam tarif yang ditetapkan dalam
layanan. Selama ini aspek penentuan tarif masih berbasis aggaran ataupun subsidi pemerintah sehinggamasih
terdapat suatu cost culture yang tidak mendukung untuk peningkatankinerja atau mutu layanan. Penyusunan tarif
rumah sakit seharusnya berbasis padaunit cost, pasar (kesanggupan konsumen untuk membayar dan strategi
yangdiipilih. Tarif tersebut diharapkan dapat menutup semua biaya, diluar subsidi yangdiharapkan. Yang perlu
diperhatikan adalah usulan tarif jangan berbasis padapresentase tertentu namun berdasar pada kajian yang
dapatdipertanggungjawabkan. Secara umum tahapan penentuan tarif harus melaluimekanisme usulan dari setiap
divisi dalam rumah sakit dan aspek pasar dandilanjutkan kepada pemilik. Pemilik rumah sakit pemerintah adalah
pemerintah daerah dan DPRD.
Penyusunan anggaran harus berbasis akuntansi biaya bukan hanya berbasis subsidi dari pemerintah. Dengan demikian
penyusunan anggaran harus didasari dari indikator input, indikator proses dan indikator output.
1. Menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK 45 yang disusun oleh organsisasi profesi akuntan dan siap
diaudit oleh Kantor Akuntan Independen bukan diaudit dari pemerintah.
2. Sistem remunerasi yang berbasis indikator dan bersifat evidance based. Dalam penyusunan sistem remunerasi
rumah sakit perlu memiliki dasar pemikiran bahwatingkatan pemberian remunerasi didasari pada tingkatan, yaitu
tingkatan satu adalah basic salary yang merupakan alat jaminan safetybagi karyawan. Basic salary tidak
dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan dua adalahincentives yaitu sebagai alat pemberian motivasi
bagi karyawan. Pemberian incentives ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan rumah sakit. Tingkatan yang ketiga
adalah bonus sebagai alat pemberian reward kepada karyawan.Pemberian bonus ini sangat dipengaruhi oleh
tingkat keuntungan rumah sakit. Implementasi aspek teknis keuangan bagi rumah sakit ini akan menjadi nilai
plus dalam upayanya untuk peningkatan kualitas jasa layanan dan praktik tata kelola yang transparan.
Perhitungan dan penelusuran terhadap unit cost memerlukan persyaratan sebagai berikut:
1. Menuntut adanya dukungan dari para stakeholder,
2. Memiliki keinginan yang kuat dari rumah sakit untuk berbenah, tanpa
meninggalkan misi layanan sosial tetapi harus tetap mengunggulkan rumah sakit
sebagai alat bargaining position,
3. Kesanggupan untuk mewujudkan desakan akuntabilitas dari publik kepada rumah sakit, khususnya
mengenai pola penentuan tariff,
4. 4. Dukungan dari seluruh tim ahli, baik ahli medis, komite medis, sistem informasi rumah sakit,
akuntansi dan costing.
Dengan implementasi perubahan kelembagaan menjadi badan layanan umum, dalamaspek teknis keuangan diharapkan
rumah sakit akan memberi kepastian mutu dankepastian biaya menuju pada pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Pendapatan dan belanja BLU tetap merupakan bagian APBD dengan aset yang tidak dipisahkan. Namun lembaga ini tidak
mengutamakan mencari keuntungan semata, lebih memprioritaskan pelayanan masyarakat. Selain itu, peran pemerintah
daerah dalam pembiayaan juga tetap.
BLU di sini beroperasi sebagai unit kerja pemerintah daerah bertujuan memberikan layanan umum yang pengelolaannya
berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk bersangkutan. Sesuai dengan asas yang diamanatkan,
BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktek bisnis yang sehat.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/ BLUD menggunakan standar pelayanan minimum yang
ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya, harus
mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan
layanan. Dalam hal rumah sakit pemerintah di daerah (RSUD) maka standar pelayanan minimal ditetapkan oleh kepala
daerah dengan peraturan kepala daerah.Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi persyaratan, yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang menunjang terwujudnya tugas
dan fungsi BLU/ BLUD;
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan standar yang telah ditetapkan;
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat pencapaiannya, rasional sesuai kemampuan
dan tingkat pemanfaatannya;
4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan dapat dipercaya untuk
menunjang tugas dan fungsi BLU/ BLUD; dan
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Pemerintah Daerah yang telah menjadi BLU/ BLUD dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai
imbalan atas barang/ jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/ jasa layanan yang diberikan tersebut ditetapkan
dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.
Tarif layanan diusulkan oleh rumah sakit kepada menteri keuangan/ menteri kesehatan/ kepala SKPD sesuai dengan
kewenangannya, dan kemudian ditetapkan oleh menteri keuangan/ kepala daerah dengan peraturan menteri keuangan/
peraturan kepala daerah. Tarif layanan yang diusulkan dan ditetapkan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut:
Rumah sakit BLU memperoleh dana APBN untuk biaya operasional danbelanja modal. Biaya operasional biasanya
digunakan untuk biaya gajipegawai danbiaya pemeliharaan aktiva tetap. Sedangkan belanja modal adalah
pengeluaranuntuk pembelian tanah dan pembangunan gedung, yang dikapitalisasi di Neraca dandicatat sebagai
penambahan Aktiva Tetap.Pada saat pembuatan RBA, BLU mengajukan rencana bisnis dan anggaranke departemen induk
untuk mendapat persetujuan. Departemen induk akanmemasukkan anggaran yang diminta dalam Rencana Kerja dan
Anggaran(selanjutnya disebut RKA) departemen yang bersangkutan. RBA BLU dikonsolidasikan dengan RKA dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dariRKA Kementerian/Lembaga. Pendapatan dan Belanja BLU dalam RKA
tahunandikonsolidasikan dalam RKA Kementerian/Lembaga.
Surplus Anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya, kecuali atas perintah KDH, disetorkan
sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Daerah, dengan mempertimbangakan posisi Likuiditas BLU.Defisit Anggaran
BLU dapat diajukan pembiayaan dalam tahun anggaran berikutnya kepada PPKD. PPKD dapat mengajukan anggaran
untuk menutupi difisit pelaksanaan anggaran BLU dalam APBD tahun anggaran berikutnya
Pendapatan BLU, baik penghasilan operasional maupun non-operasional,sumbangan pihak ketiga atau hibah, merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak(selanjutnya disebut PNBP). Pendapatan BLU seperti diuraikan di atas
telahdikonsolidasikan dalam RKA departemen atau lembaga yang membawahinya, yangkemudian akan digabungkan
dalam APBN Pemerintah dan disahkan oleh DPR. Laporan keuangan unit-unit usaha yang diselenggarakan oleh
BLUdikonsolidasikan dalam laporan keuangan. Laporan unit-unit usaha ini dapatdimasukkan dalam pendapatan
operasional maupun non-operasional, misalnyapendapatan dari kerjasama operasi dengan pihak ketiga, pendapatan
pengelolaandan sewa kantin untuk pegawai atau untuk umum.
Laporan keuangan BLUdisampaikan kepada kementerian/ lembaga.RKA dan Laporan Keuangan BLU merupakan bagian
yang tidak terpisahkandari RKA dan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga. pendapatan danBelanja BLU
dalam RKA tahunan dikonsolidasikan dalam RKA KementerianNegara/Lembaga. Laporan keuangan BLU dilampirkan
pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga Laporan keuangan BLU digabungkan dengan Laporan
Keuangankementerian negara/lembaga sesuai SAP.
1. Tata kelola keuangan RS lebih baik dan transparan karena menggunakan pelaporan standar akutansi keuangan
yang memberi informasi tentang laporan aktivitas, laporan posisi keuangan, laporan arus kas dan catatan laporan
keuangan.
2. RS masih mendapat subsidi dari pemerintah seperti biaya gaji pegawai, biaya operasional, dan biaya investasi
atau modal.
3. pendapatan RS dapat digunakan langsung tidak disetor ke kantor kas Negara, hanya dilaporkan saja ke
Departemen Keuangan.
4. RS dapat mengembangkan pelayanannya karena tersedianya dana untuk kegiatan operasional RS.
5. Membantu RS meningkatkan kualitas SDM nya dengan perekrutan yang sesuai kebutuhan dan kompetensi.
6. Adanya insentif dan honor yang bisa diberikan kepada karyawan oleh pimpinan RS
Permasalahan Rumah Sakit
Posted on 22 Desember 2015 by Yusdar Andi • Posted in Beranda • Tinggalkan komentar
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh rumah sakit baik itu rumah sakit milik pemerintah, yayasan maupun
swasta secara umum dapat dibagi menjadi tiga hal, yakni pengelolaan keuangan, standar pelayanan (mutu dan
keselamatan pasien) dan pelayanan BPJS (national coverage)
Pengelolaan Keuangan
Rumah sakit pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seperti halnya instansi-instansi lainnya dibawah
pemerintah, maka pengelolaannya dianggap sebagai kantor. Bedanya kantor tidak mendapatkan penghasilan dari
pelayanan dan jasa akan tetapi pengelolaan keuangan seperti penerimaan rumah sakit harus disetor ke kas negara
setiap hari paling lambat 24 jam setelah penerimaan, sedangkan pemakaian langsung dari uang yang diterima
melalui jasa pelayanan masyarakat adalah tidak diperbolehkan dan terlarang oleh undang-undang.
Demikian juga halnya dengan anggaran, rumah sakit pemerintah pusat dan daerah harus membuat anggaran setahun
sebelumnya untuk mendapatkan anggaran belanja setahun kedepan. Setiap anggaran yang turun rumah sakit daerah
sudah diatur pemakaiannya secara detail dalam jenis anggaran yang akan dikeluarkan, penggunaan anggaran untuk
jenis kegiatan yang berbeda adalah dilarang dan bila memang perlu perubahan, harus menunggu mekanisme
perubahan anggaran di tengah tahun anggaran yang berjalan.
Sehingga dari gambaran pengelolaan keuangan rumah pemerintah sangat kaku dan terikat dengan perencanaan
penggunaan anggaran tahun berjalan, tidak ada fleksibilitas dalam penggunaan anggaran. Akibat yang terjadi adalah
ketidaksesuaian antara anggaran yang direncanakan dengan realisasinya, hal ini lebih diperburuk dengan tidak
akurat atau kurang baiknya penyusunan rencana anggaran.Sehingga tak jarang terjadi bahwa perencanaan terkadang
menyulitkan pelaksanaan.
Sebagai lembaga layanan publik pemberi jasa dan layanan yang sangat penting, rumah sakit perlu melakukan
perubahan paradigma lembaga dari bersifat sosial birokratik menjadi sosial ekonomi yang harus menerapkan
konsep-konsep manajemen modern dengan tetap mempertahankan misi dan fungsi sosial rumah sakit.
Menurut Rijadi, S (2005) secara alamiah rumah sakit adalah suatu badan usaha dan bukan sebuah kantor, sehingga
pengelolaan rumah sakit yang efektif dan efisien akan memaksimalkan hasil dan kualitas pelayanan rumah sakit
tersebut, terlepas apakah rumah sakit itu milik pemerintah, yayasan atau swasta. Sebagai suatu badan usaha, maka
bagi rumah sakit pemerintah bentuk kelembagaan menjadi sangat penting artinya, karena pengelolaan uang, orang,
barang adalah tergantung pada Bentuk Kelembagaan tersebut.
Berangkat dari permasalahan tersebut, keluar undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Dalam pasal 68 dan 69 dilontarkan ide untuk membentuk suatu BLU yang bersifat nirlaba, yang dikelola secara
professional dan independen. BLU dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan juga bertujuan untuk
menghasilkan pelayanan yang berkualitas dan terjangkau yang sumber pembiayaannya berasal dari tarif yang
dikenakan kepada pengguna jasa dan dari subsidi pemerintah.BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya berdasarkan prinsip efisiensi dan produktifitas (Peraturan
Pemerinta nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU)).
Sementara itu dengan diberlakukannya undang-undang mengenai otonomi daerah, maka status rumah sakit
pemerintah tersebut dialihkan menjadi lembaga teknis daerah. Apabila semua rumah sakit pemerintah daerah
tersebut akan dialihkan statusnya menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sesuai dengan undang-undang
nomor 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara dan peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK BLU), maka proses pengalihan statusnya harus dipersiapkan
dengan seksama agar hasilnya benar-benar sesuai dengan harapan.
Adapun dasar hukum penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK BLUD) adalah
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 61 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
Dalam rangka menghadapi era globalisasi umumnya dan era masyarakat ekonomi asean (MEA) dan menjalankan
amanah Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit rumah sakit harus melaksanakan dan
melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi makin maju, meningkatnya kesejahteraan serta
makin kritisnya masyarakat Indonesia dalam menilai mutu pelayanan kesehatan, maka dianggap perlu dilakukannya
perubahan yang bermakna terhadap mutu rumah sakit di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang semakin selektif dan
berhak mendapatkan pelayanan yang bermutu dan aman, diharapkan dengan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan diharapkan dapat mengurangi minat masyarakat untuk berobat keluar negeri.
Sesuai dengan Undang-undang No.44 Tahun 2009, pasal, 40 ayat 1, menyatakan bahwa, dalam upaya peningkatan
mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun sekali, diharapkan
dengan dilakukan akreditasi pelayanan kepada masyarakat dapat diberikan dengan standar mutu dan keselamatan
pasien yang terjamin.
Diskusi tentang layanan kesehatan JKN selalu menjadi sebuah perdebatan hangat jika sudah merambah ke ranah reward atau salary. Pro
dan kontra selalu terjadi, perbedaan cara pandang dan konsep kerap mewarnai diskusi. Sebenarnya bagaimanakah sistem pembagian jasa
pelayanan yang ideal di RS pada era JKN ini ? Bagaimana nasib dan masa depan sistem remunerasi jika dikaitkan dengan sistem layanan
ala JKN di Indonesia saat ini ?
Prinsip dasarnya sebenarnya adalah sistem pembagian jasa pelayanan itu hanya ada 2 yaitu dihitung berdasarkan pendapatan (bukan
penerimaan) atau dihitung berdasarkan penerimaan. Apakah bedanya PENDAPATAN dan PENERIMAAN ?
PENDAPATAN dari sisi akuntansi adalah pendapatan Rumah Sakit secara Accrual yang dihitung berdasarkan tarif rumah sakit yang
ditetapkan melalui Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah (Perda, Pergub, Perwalkot atau Perbup). Berbicara pendapatan maka
kita mengesampingkan besarnya klaim atau pembayaran klaim kepada BPJSK.
Pendapatan akan diakui sebagai PENERIMAAN ketika nilai atau nominal rupiah sudah diterima oleh RS dari pembayaran klaim oleh
BPJSK berdasarkan nilai klaim yang tercantum dalam berita acara klaim. Jadi apabila pendapatan berdasarkan accrual, maka penerimaan
berdasarkan cash based. Dari dua terminologi keuangan ini muncul istilah TAGIHAN dan JAMINAN. Tagihan adalah jumlah nominal
tagihan yang dihitung berdasarkan tarif rumah sakit sebagaimana tercantum dalam billing pasien, sedangkan Jaminan adalah jumlah
nominal jaminan yang dihitung berdasarkan hasil grouping menggunakan aplikasi INA CBGs. Nilai jaminan akan menjadi dasar nilai
klaim RS kepada BPJS Kesehatan. Mudah-mudahan tidak membingungkan, secara sederhana adalah PENDAPATAN itu berdasarkan
nilai TAGIHAN sementara PENERIMAAN adalah berdasarkan nilai JAMINAN.
Karena ada perbedaan antara tarif rumah sakit dan tarif paket INA CBGs maka akan muncul satu istilah lagi yaitu SELISIH JAMINAN.
Selisih Jaminan adalah perbedaan (deviasi) antara tarif rumah sakit dengan tarif paket INA CBGs atau secara gampangnya adalah selisih
antara TAGIHAN dan JAMINAN atau selisih antara PENDAPATAN dengan PENERIMAAN. Nah selisih jaminan ini ada dua
kemungkinan, yaitu SELISIH JAMINAN POSITIF (SJP) dan SELISIH JAMINAN NEGATIF (SJN). Selisih Jaminan Positif akan
terjadi manakala tarif paket INA CBGs LEBIH BESAR dibandingkan dengan TOTAL BILLING pasien berdasarkan tarif Rumah Sakit.
Sedangkan Selisih Jaminan Negatif akan terjadi ketika tarif paket INA CBGs LEBIH KECIL dibandingkan dengan TOTAL BILLING
pasien berdasarkan tarif Rumah Sakit.
Mengapa Total Billing ? Karena membandingkannya memang seperti itu. Tarif INA CBGs adalah tarif PAKET yang terdiri dari
akomodasi, obat dan BHP, jasa sarana dan jasa pelayanan. Sedangkan tarif rumah sakit berdasarkan per jenis layanan, sehingga tidak
bisa membandingkan tarif INA CBGs dengan per item jenis layanan, akan tetapi yang bisa dilakukan adalah menyandingkan tarif INA
CBGs dengan Total Tagihan (Billing) pasien berdasarkan tarif rumah sakit.
Pada titik ini banyak yang masih keliru memahami tarif INA CBGs yang dikira masih seperti tarif RS berdasarkan per jenis layanan.
Muncullah istilah Fee For Services dan Package System. Fee For Services pada hakikatnya adalah berbasis pada tarif per jenis layanan
dan ini lazim digunakan oleh seluruh rumah sakit dalam penetapan tarif mereka. Coba kita buka buku tarif sebuah Rumah Sakit, pasti
akan muncul tarif pemeriksaan dokter, tarif visite dokter, tarif operasi besar, tarif pemeriksaan laboratorium, radiologi dan lain
sebagainya. Itu artinya bahwa tarif rumah sakit berdasarkan per jenis layanan atau tindakan.
Sedangkan Package System yang digunakan dalam sistem JKN adalah berdasarkan penggabungan antara jenis-jenis layanan tersebut
ditambah biaya obat-obatan dan BHP menjadi SATU TARIF (Single Price) dalam sistem paket INA CBGs.
Adanya perbedaan sistem dan nilai tarif antara INA CBGs dengan tarif rumah sakit diatas memunculkan istilah KONVERSI.
Menjelaskan konversi agak sulit dan berbelit, akan lebih baik menjelaskan konversi dengan contoh kasus.
Nah sekarang kita melangkah pada sistem pembagian jasa pelayanan yang selalu menimbulkan polemik dan debat panjang juga seru.
Sampai pada poin diatas, maka RS sudah memiliki dua nilai, yaitu nilai PENDAPATAN dan nilai PENERIMAAN. Tergantung
kebijakan internal RS yang tentu saja harus merupakan kesepakatan dan persetujuan para pemberi layanan langsung (dokter, paramedis
dan sebagainya), apakah mau membagi jasa pelayanan berdasarkan nilai PENDAPATAN atau berdasarkan nilai PENERIMAAN. Jika
membagi jasa pelayanan berdasarkan jumlah pendapatan maka artinya berdasarkan tarif rumah sakit dengan mengesampingkan jumlah
pembayaran klaim BPJSK. Namun apabila mau membagi berdasarkan jumlah penerimaan maka artinya berdasarkan jumlah pembayaran
klaim dari BPJSK yang menggunakan tarif paket INA CBGs. Lha mana bisa membagi jasa pelayanan dari tarif INA CBGs ? Khan tarif
INA CBGs itu sudah paket sementara tarif RS per jenis layanan ?? Nah disitulah perlunya proses konversi dari tarif paket INA CBGs
menjadi tarif rumah sakit per jenis layanan. Artinya ada proses MEMECAH-MECAH tarif INA CBGs dari bentuk PAKET
(gelondongan) menjadi per jenis layanan sebagaimana tarif rumah sakit lalu menghitung PROPORSI tiap-tiap jenis layanan tersebut.
Kesimpulannya, tarif rumah sakit adalah berbasis pada per jenis item layanan atau tindakan sehingga menganut paham fee for services
sehingga mekanisme distribusi jasa pelayanan nya pun menggunakan sistem fee for services juga dengan nilai yang tetap (fixed)
berdasarkan ketentuan yang berlaku di rumah sakit. Sedangkan tarif CBGs adalah paket sehingga TIDAK BISA langsung dipergunakan
untuk dasar membagi jasa pelayanan secara fee for services. Jika ingin membagi jasa pelayanan berdasarkan tarif paket CBGs maka
pilihannya hanyalah dengan metode KONVERSI dari tarif PAKET CBGs menjadi tarif per item layanan rumah sakit. Belakangan mulai
berkembang metode yang lebih fleksibel yaitu metode campuran (MIXED) antara metode fee for services dengan metode konversi.
Secara singkat metode campuran ini yaitu metode fee for services dengan menghitung selisih jaminan positif (setelah konversi) dan besar
selisih jaminan ini akan didistribusikan lagi kepada para pemberi layanan langsung terutama dokter. Metode MIXED mulai berkembang
dan dianggap sebagai sistem pembagian jasa yang paling ideal dan adil.
Pembagian jasa pelayanan secara Fee For Services artinya adalah berdasarkan pada pendapatan rumah sakit yang dihitung dari tarif
rumah sakit. Karena tarif rumah sakit memang sudah berbasis pada per jenis layanan, maka sangat mudah menggunakan sistem ini.
Besaran jasa pelayanan bersifat tetap (fixed) untuk tiap jenis layanan berdasarkan ketentuan yang berlaku di rumah sakit tersebut. Sifat
tetap (fixed) ini berlaku mutlak dan tanpa melihat besaran nilai jaminan atau pembayaran klaim dari BPJSK ke rumah sakit.
Kemungkinan nilai jaminan lebih tinggi atau lebih rendah dari total tagihan berdasar tarif rumah sakit dikesampingkan. Intinya adalah
para pemberi layanan mendapat jasa pelayanan tanpa melihat jenis pembayaran pasien, apakah pasien umum atau pasien jaminan
asuransi semuanya diberlakukan sama yaitu menggunakan tarif rumah sakit. Artinya para pemberi layanan tidak perlu tahu apakah
manajemen keuangan rumah sakit mendapat selisih jaminan positif atau negatif dari pembayaran klaim BPJSK.
Apabila ternyata penerimaan total rumah sakit dari nilai jaminan dari pembayaran klaim BPJSK masih lebih rendah dibanding dengan
pendapatan jika dihitung berdasar tarif rumah sakit, maka itu menjadi resiko internal manajemen rumah sakit karena akan menjadi
subsidi rumah sakit. Kemampuan dan kecerdikan pimpinan rumah sakit sangat diperlukan untuk mengatasi kondisi ini, perlu dilakukan
analisa penyebabnya. Apakah terjadi over billing atau karena belum optimal nya koding yang menjadi penyebab dari timbulnya selisih
jaminan negatif ini.
Kondisi sebaliknya adalah jika ternyata penerimaan total rumah sakit lebih tinggi dari nilai jaminan dari pembayaran klaim oleh BPJSK,
maka selisih jaminan positif tersebut akan menjadi pendapatan fungsional rumah sakit dan dimasukkan dalam pos jasa sarana untuk
operasional dan maintenance serta untuk pengembangan rumah sakit.
1. Tahap pertama adalah SPLIT PRICE yaitu melakukan PEMECAHAN tarif CBGs yang paket (gelondongan) tersebut menjadi
per jenis layanan. Darimana kita mengetahui komponen-komponen jenis layanan yang ikut ber-kontribusi ? tentu saja dari tarif
rumah sakit. Nah inilah yang disebut dengan proses melakukan KONVERSI tersebut. Jadi tujuan melakukan KONVERSI adalah
untuk melakukan SPLIT PRICE.
2. Tahap kedua adalah setelah dilakukan pemecahan per jenis layanan maka kita melakukan penghitungan proporsi untuk tiap jenis
layanan. Proporsi dilakukan dengan menghitung prosentase kontribusi per jenis layanan dari tarif rumah sakit. Jumlah total
prosentase per jenis layanan tersebut harus 100 %. Setelah mendapatkan proporsi masing-masing jenis layanan, maka selanjutnya
kita menggunakan proporsi tersebut untuk menghitung nominal rupiah tarif paket CBGs yang sudah dipecah-pecah sebelumnya
(split price). Setelah mendapatkan nominal rupiah per jenis layanan dari tarif paket CBGs tersebut, maka langkah selanjutnya
adalah sama dengan fee for services yaitu melihat ketentuan distribusi jasa pelayanan nya. Berapakah untuk jasa sarana dan
berapakah untuk jasa pelayanan nya sehingga diperolah besar nominal jasa pelayanan yang bisa didistribusikan kepada para
pemberi jasa layanan.
Dapat dilihat bahwa metode ini memberikan peluang dinamika perolehan jasa pelayanan yang diterima untuk setiap bulan nya. Bisa
lebih tinggi atau lebih rendah jika dibandingkan dengan perolehan jasa pelayanan yang dihitung berdasarkan tarif rumah sakit. Karena
berubah-ubah maka tidak bisa disebut dengan fixed salary seperti hal nya metode fee for services. Pertanyaannya, apakah yang berubah-
ubah hanya jasa pelayanan ? Jawabannya adalah tentu saja TIDAK. Karena semua item jenis layanan diproporsi, maka ketika nilai
jaminan lebih rendah akan terjadi penurunan pada semua komponen termasuk akomodasi, sarana bahkan porsi obat dan BHP pun tentu
akan lebih rendah daripada biaya rumah sakit untuk membeli obat dan BHP tersebut. Hal ini yang sering disalah artikan oleh para
pemberi layanan yang mengira bahwa hanya jasa pelayanan saja yang turun padahal kenyataanya semua akan terkena imbas nya. Pun
demikian jika nilai jaminan lebih tinggi daripada tarif rumah sakit, maka tidak hanya nominal jasa pelayanan yang meningkat namun
semua komponen mendapatkan manfaat peningkatan nominal termasuk untuk sarana, akomodasi, obat dan BHP. Disinilah peluang
rumah sakit untuk melakukan subsidi silang tergantung pada kepandaian dan kecerdasan pimpinan rumah sakit.
Memang cukup rumit dan agak panjang penjelasannya tentang metode ini karena selama berpuluh-puluh tahun kita terbiasa dengan
metode fee for services. Sebagian dokter menyukai metode ini, tapi sangat banyak juga yang tidak menginginkan metode ini.
Secara prinsip dasar metode campuran atau mixed ini tetap menggunakan pendapatan (berdasar tarif rumah sakit) sebagai sumber untuk
melakukan pembagian jasa pelayanan yang artinya menggunakan metode fee for services dan bersifat tetap atau fixed. Namun jika pada
metode fee for services tidak memperhatikan jumlah penerimaan jaminan dari pembayaran klaim BPJSK apakah lebih besar atau lebih
tinggi, maka pada metode campuran ini tetap memperhatikan besar penerimaan jaminan tersebut. Artinya bahwa harus dilakukan
penghitungan terhadap besaran nilai SELISIH JAMINAN dari total pendapatan rumah sakit dan total penerimaan rumah sakit. Sekali
lagi kita menekankan pada kata kunci TOTAL atau SELURUH (BRUTO) dan BUKAN pada per pasien. Nah menghitung selisih
jaminan tersebut harus menggunakan metode konversi, makanya metode ini disebut dengan metode campuran atau mixed.
Untuk apa menghitung selisih jaminan ? Yaitu untuk menghitung jika terdapat SELISIH JAMINAN POSITIF (nilai jaminan lebih besar
dari pada pendapatan), maka jumlah selisih jaminan tersebut khususnya untuk KOMPONEN JASA PELAYANAN akan dilakukan
distribusi lagi kepada para pemberi layanan langsung (dokter) sebagai JASA PELAYANAN TAMBAHAN setelah dikurangi proporsi
untuk jasa sarana berdasarkan ketentuan yang berlaku di rumah sakit tersebut. Jasa Pelayanan Tambahan tersebut diserahkan kepada
Komite Profesi (Komite Medik) atau tim yang dibentuk oleh Komite Medik tersebut dengan mekanisme yang diatur dan disepakati
secara internal oleh para dokter tersebut.
Pemberian jasa pelayanan tambahan ini dilakukan setelah pembagian jasa pelayanan utama (fee for services) karena tentu memerlukan
waktu untuk menghitung selisih jaminan tersebut. Jika biasanya di sebuah RS pembagian jasa pelayanan utama pada tanggal 15 atau
tanggal 20 tiap bulan nya, maka pembagian jasa pelayanan tambahan bisa dilakukan pada akhir bulan (tanggal 30 atau 31).
Andaikan terdapat kesepakatan di seluruh pegawai rumah sakit, bahwa selisih jaminan positif tersebut khususnya pada komponen jasa
pelayanan TIDAK dibagikan menjadi jasa pelayanan tambahan namun akan dikumpulkan setiap bulannya dan akan dibagikan pada akhir
tahun sebagai Bonus Akhir Tahun atau Jasa Produksi (meminjam istilah perusahaan swasta atau BUMN) dan sebagian dipergunakan
untuk biaya kesejahteraan pegawai seperti family gathering, piknik dan sebagainya sehingga bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh
pegawai. Termasuk juga jika ada sistem reward bagi pegawai terbaik tiap bulan bisa diambilkan dari alokasi dana ini.
Bagi para dokter, adanya peluang mendapatkan jasa pelayanan tambahan yang bersumber dari selisih jaminan positif tersebut akan
secara tidak langsung memotivasi mereka melakukan efisiensi dan cost containment terhadap biaya layanan rumah sakit. Tanpa ada
paksaan atau instruksi dari pimpinan rumah sakit, maka secara sadar dan sukarela para dokter akan melakukan penghematan penggunan
obat-obatan, BHP dan utiliasi penunjang rumah sakit seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi menjadi sangat efisien yang
dilakukan hanya berdasar pada indikasi medis. Mengapa mau dengan sukarela ? Ya…tentu saja karena para dokter sadar bahwa jika
pelayanan mereka efektif maka akan menekan biaya rumah sakit sehingga terdapat selisih jaminan positif dan pada akhirnya akan
mendapat manfaat yaitu memperoleh jasa pelayanan tambahan.
Metode ini akan menjawab pertanyaan dokter selama ini, jika para dokter dituntut oleh manajemen rumah sakit untuk menghemat obat
dan BHP, untuk efisien dalam pemeriksaan laboratorium, radilogi dan lain sebagainya….sebetulnya manfaat atau benefit apa yang
diterima oleh para dokter tersebut andaikan mereka mengikuti instruksi pimpinan rumah sakit tersebut ? Ternyata inilah jawabannya,
bahwa ketika mereka efisien dan hemat tanpa meninggalkan SOP atau Protap Medis maka benefit langsung nya adalah akan
mendapatkan jasa pelayanan tambahan selain jasa pelayanan utama.
Akan tercipta kondisi saling mengingatkan, para dokter spesialis akan mengingatkan para junior nya dokter jaga di IGD agar melakukan
efisiensi utilisasi layanan rumah sakit. Budaya saling mengingatkan yang pada awalnya tercipta karena motivasi benefit tambahan maka
akan secara tidak sadar akan menciptakan kendali biaya yang sangat efektif tanpa meninggalkan mutu layanan rumah sakit, artinya
tercipta pelayanan standar (bukan sub standar) dengan tetap melakukan kendali biaya. Inilah mengapa metode mixed atau campuran ini
dianggap metode paling ideal dan paling adil (fair).
Bagaimana jika terjadi selisih jaminan negatif ? Ya…itu menjadi resiko beban subsidi karena jasa pelayanan utama diberikan
berdasarkan tarif rumah sakit. Namun, secara pribadi saya punya keyakinan bahwa potensi untuk terjadi selisih jaminan negatif akan
dapat ditekan semaksimal mungkin karena bagaimanapun secara manusiawi tentu saja para dokter ingin mendapatkan jasa pelayanan
tambahan diluar jasa pelayanan utama. Tuntutan situasi ini akan mendorong seluruh komponen di rumah sakit untuk bahu membahu
mencegah terjadinya selisih jaminan negatif dan malah akan memiliki motivasi mehasilkan selisih jaminn positif dengan cara
memperbaiki kualitas diagnosa, diagnosa tindakan, catatan medik, resume medik dan laporan operasi disamping terus berupaya menekan
biaya rumah sakit dengan melakukan efisiensi penggunaan obat, BHP dan utilisasi pemeriksaan penunjang. Semua komponen rumah
sakit memiliki tujuan yang sama yaitu akan secara sinergi berupaya semaksimal mungkin menciptaka selisih jaminan positif karena
manfaat dari timbulnya selisih jaminan positif itu akan dirasakan secara bersama-sama.
Demikian tiga metode pembagian jasa pelayanan di RS pada era JKN ini. Semua metode ada sisi kelebihan dan kekurangannya. Jika
dianggap metode ketiga adalah yang paling ideal dan adil, maka silahkan memilih metode itu. Terkait sisi kelebihan dan kekurangan
metode fee for service dan metode konversi dapat dibaca pada tulisan saya terdahulu di “Remunerasi RS Pemerintah di Era JKN“.
Akhirul kata, pada akhir tulisan ini saya tetap berpendapat bahwa JKN ini tetap harus kita dukung, kita kawal dan kita kritisi secara
cerdas dengan niat yang baik. Masih banyak sisi lemah dari program JKN ini, perihal yang terkait dengan tulisan ini tentu saja adalah
persoalan besaran tarif CBGs yang masih belum ideal dan perlu dilakukan evaluasi juga revisi secepatnya. Saya tetap berharap bahwa
perbaikan tarif CBGs bisa terlaksana bersamaan dengan naiknya versi CBGs (biasanya pada bulan April – Juni).
Banyak sekali kelemahan-kelemahan tarif CBGs sebagaimana yang sudah pernah saya sampaikan pada tulisan-tulisan terdahulu.
Kelemahan tarif CBGs ini secara tidak disadari akan mendorong layanan yang tidak sesuai standar, mungkin kendali biaya tercapai
namun kendali mutu tidak akan tercapai.
Ada persoalan yang juga harus mendesak dan harus secepatnya diselesaikan, yaitu terkait dengan obat-obatan dan BHP dengan terbitnya
ketentuan baru tentang Fornas yang semakin banyak restriksi-restriksi nya. Persoalan obat dan BHP adalah lintas sektoral, tidak mungkin
bisa diselesaikan oleh Kemenkes dan BPJSK saja namun ada sektor-sektor lain yang berperan dominan seperti LKPP terkait penetapan
E-KATALOG yang sampai hari ini belum terbit E-KATALOG Tahun 2016 untuk obat-obatan dan BHP. InsyaAllah akan saya coba
paparkan pada tulisan selanjutnya. Sekian.
PANDUAN
PENGELOLA PELAYANAN PASIEN
( CASE MANAGER )
DEFINISI
1. Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik dalam keadaan sehat maupun
sakit.
2. Pelayanan adalah pemberian jasa manfaat bagi mereka yang membutuhkan.
3. Pelayanan Berfokus Pada Pasien adalah pasien sebagai PUSAT Pelayanan
4. Case Manager atau Pengelola Pelayanan Pasien adalah tenaga professional di rumah sakit yang
melaksanakan pengelolaan pelayanan pasien yang terdiri dari:
5. Case Manager Tingkat Rumah Sakit (CMRS)
6. Case Manager Tingkat Instalasi (CMI)
7. Case Manager Tingkat Unit (CMU)
8. Perawat Penanggung Jawab Perawatan ( PPJP ) adalah seorang perawat yang bertanggung jawab
atas asuhan keperawatan seorang pasien
9. Sistem Pengelolaan Pelayanan Pasien adalah suatu metoda dalam perawatan pasien dimana
asesmen, perencanaan, implementasi dan evaluasi serta keberlangsungan pelayanan kesehatan pasien baik
selama maupun pasca perawatan di RSUD Dr Soetomo, dikoordinasikan secara terpadu dan menyeluruh
10. Satuan Medik Fungsional (SMF), adalah pengorganisasian dokter dokter dalam suatu kelompok
sesuai rumpun ilmu yang sama.
11. Dokter Penanggung Jawab Pelayanan ( DPJP ) adalah seorang dokter / dokter gigi yang
bertanggung jawab atas pengelolaan asuhan medis seorang pasien
12. Panduan Praktek Klinik adalah suatu instruksi / langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan proses
kerja rutin berdasarkan konsensus bersama dalam melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan
yang dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi
13. Clinical Pathway adalah Pedoman kolaboratif untuk merawat pasien yang berfokus pada diagnosis,
masalah klinis sesuai tahapan pelayanan.
14. Rekam Medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien
Sistem Pengelolaan Pelayanan Pasien bersumber dari konsep yang terdiri dari 3 elemen :
Tujuan
Memberikan pelayanan yang aman, rasional, efisien dan memuaskan sesuai kebutuhan pasien
Tugas
Tugas Case Manager:
1. Melakukan koordinasi dengan unit dan instalasi serta bidang terkait agar sistem manajemen pelayanan
pasien berjalan baik.
2. Melakukan pembinaan, bantuan, pengawasan dan pembimbingan serta evaluasi padaCase Manager unit
dalam melaksanakan tugasnya.
3. Melakukan pelaporan setiap bulan atau apabila dipandang khusus, tentang hasil pekerjaanya kepada
Direktur melalui Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan.
Merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi terjadinya
perubahan tertentu. Untuk mengukur kinerja rumah sakit ada beberapa indikator, yaitu:
a. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang
memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap dan lain-
lain.
b. Proses, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya kecepatan
pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-;ain.
c. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah yang
dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.
d. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan sebagai
misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan lain-lain.
e. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit maupun
penerima pelayanan atau pasien yang misal biaya pelayanan yang lebih murah,
peningkatan pendapatan rumah sakit.
f. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya angka
kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, meningkatnya
kesejahteraan karyawan.
3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam
melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan propinsi,
kabupaten/kota sesuai dengan evidence base.
4. Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang harus
dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan
pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah
setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen di dalam rumah sakit
yaitu meliputi:
2. Manajemen Keuangan.
3. Manajemen Sistem Informasi Rumah Sakit, kedalam dan keluar rumah sakit.
4. Sarana prasarana.
5. Mutu Pelayanan.
Dalam rangka melindungi penyelenggaraan rumah sakit, tenaga kesehatan dan melindungi
pasien maka rumah sakit perlu mempunyai peraturan internal rumah sakit yang bias disebut
hospital by laws. Peraturan tersebut meliputi aturan-aturan berkaitan dengan pelayanan
kesehatan, ketenagaan, administrasi dan manajemen. Bentuk peraturan internal rumah sakit
(HBL) yang merupakan materi muatan pengaturan dapat meliputi antara lain: Tata tertib rawat
inap pasien, identitas pasien, hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit, informed
consent, rekam medik, visum et repertum, wajib simpan rahasia kedokteran, komete medik,
panitia etik kedokteran, panitia etika rumah sakit, hak akses dokter terhadap fasilitas rumah
sakit, persyaratan kerja, jaminan keselamatan dan kesehatan, kontrak kerja dengan tenaga
kesehatan dan rekanan. Bentuk dari Hispital by laws dapat merupakan Peraturan Rumah Sakit,
Standar Operating Procedure (SOP), Surat Keputusan, Surat Penugasan, Pengumuman,
Pemberitahuan dan Perjanjian (MOU). Peraturan internal rumah akit (HBL) antara rumah sakit
satu dengan yang lainnya tidak harus sama materi muatannya, hal tersebut tergantung pada:
sejarahnya, pendiriannya, kepemilikannya, situasi dan kondisi yang ada pada rumah sakit
tersebut. Namun demikian peraturan internal rumah sakit tidak boleh bertentangan dengan
peraturan diatasnya seperti Keputusan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah
dan Undang-undang. Dalam bidang kesehatan pengaturan tersebut harus selaras dengan
Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya.
PENGHITUNGAN EFISIENSI
Bed occupancy rate (BOR) atau Pemakaian Tempat Tidur dipegunakan untuk melihat berapa
banyak tempat tidur di rumah sakit yang digunakan pasien dalam suatu masa.
Prosentase ini menunjukkan sampai berapa jauh pemakaian tempat tidur yang tersedia di
rumah sakit dalam jangka waktu tertentu. Bila nilai ini mendekati 100 berarti ideal tetapi bila
BOR Rumah Sakit 60-80% sudah bias dikatakan ideal.
BOR antara rumah sakit yang berbeda tidak bisa dibandingkan oleh karena adanya perbedaan
fasilitas rumah sakit, tindakan medik, perbedaan teknologi intervensi. Semua per bedaan tadi
disebut sebagai “case mix”.
2. Sikap (Attitude)
Meliputi melayani pelanggan dengan berfikir positip sehat dan logis dan melayani
pelanggan dengan sikap selalu menghargai
3. Penampilan (Appearance)
Penampilan (appearance) adalah penampilan seseorang, baik yang bersifat fisik
saja maupun non fisik, yang mampu merefleksikan kepercayaan diri dan kredibilitas dari pihak
lain.
4. Perhatian (Attention)
Pehatian (attention) adalah kepedulian penuh terhadap pelanggan baik yang
berkaitan dengan perhatian akan kebutuhan dan keinginan pelanggan maupun pemahaman atas
saran dan kritiknya. Meliputi mengamati dan menghargai kepada para pelanggannya an
mencurahkan perhatian penuh kepada para pelanggan.
5. Tindakan (Action)
Tindakan (action) adalah berbagai kegiatan nyata yang harus di lakukan dalam
memberikan layanan kepada pelanggan. Meliputi mencatat kebutuhan pelayanan, menegaskan
kembali kebutuhan pelayanan, mewujudkan kebutuhan pelanggan, menyatakan terima kasih
dengan harapan pelanggan masih mau kembali setia untuk memanfaatkan pelayanan.
6. Tanggung jawab (Accounttability)
Tanggung jawab (accountability) adalah suatu sikap keberpihakan kepada
pelanggan sebagai wujud kepedulian untuk menghindarkan atau menimbulkan kerugian atau
ketidak puasan pelanggan.
Menurut Tjiptono (2008) pelayanan prima (service excellence)terdiri dari 4 unsur pokok,
antara lain: kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan.
Unsur-unsur melayani prima, sesuai keputusan Menpan No. 81/1993, yaitu:
kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, dan keadilan
yang merata.
C. TUJUAN PELAYANAN PRIMA
1. Untuk menimbulkan kepercayaan dan kepuasan kepada pelanggan
2. Untuk menjaga agar pelanggan merasa dipentingkan dan diperhatikan
3. Untuk mempertahankan pelanggan agar tetap setia menggunakan barang dan
jasa yang ditawarkan.
4. Untuk memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kepada pelanggan.
5. Untuk menimbulkan keputusan dari pihak pelanggan agar segera membeli barang/jasa yang
6. Untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap pelanggan terhadap barang/jasa yang
ditawarkan.
7. Untuk menghindari terjadinya tuntutan-tuntutan yang tidak perlu dikemudian hari terhadap
produsen..
7. Berpenampilan memadai
Perawat dengan penampilan yang bersih, seragam yang bersih, dengan penampilan yang
segar dalam melakukan tugas-tugas perawatan diharapkan mampu mengubah suasana hati pasien
(Gunarsa, 1995).
URAIAN KASUS
Dua contoh kasus diatas merupakan satu kegiatan yang sama namun dengan pelaksanaan
yang sangat jauh berbeda. Pada kasus 1 setelah keluar dari tempat tersebut klien akan merasa
puas dengan pelayanan yang diberikan. Namun pada kasus 2 klien pasti akan merasa kecewa dan
mungkin akan berjanji tidak akan datang kesana lagi. Disinilah pentingnya pelayanan prima pada
pasien/klien.
Pelayanan prima yang dimaksudkan adalah dengan cara
1. Membuat pelanggan merasa penting,
2. Melayani pelanggan dengan ramah, tepat dan cepat.
3. Pelayanan dengan mengutamakan kepuasan pelangan.
4. Menempatkan pelanggan sebagai mitra.
Dengan diberikan pelayanan prima artinya diberikan pelayanan yang sesuai standar mutu
yang memuaskan dan sesuai harapan atau melebihi harapan dari klien.
Disini petugas kesehatan harus bertitik tolak dari konsep kepedulian kepada klien.
Sehingga didapatkan pelayanan yang berorientasi kepada klien dan mampu memberikan
kepuasan yang optimal. Ingat watak pelanggan (klien) “jika ia puas maka ia akan datang
kembali kepada kita, namun jika ia kecewa maka ia akan menceritakan kekecewaannya kepada
10 orang dan tiap 1 orang tersebut akan menceritakan kepada 5 orang lainnya”
Jadi kesimpulannya, dokter, perawat, maupun petugas kesehatan lainnya harus tahu
bagaimana pelayanan prima yang baik, apa itu pelayanan prima, apa tujuannya, apa manfaatnya
dan apa konsep konsep pelayanan prima tersebut. Bukan hanya sekedar mengetahuinya saja.
Tetapi, juga harus mempraktekannya dilapangan bagaimana memberikan pelayanan yang baik.
Supaya tidak terjadi lagi kasus kasus yang tidak diinginkan.