Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

EMFISEMA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB 1

Disusun Oleh :
(Kelompok 5)

1. Hanif Reza Saputra P1337420216103


2. Mudah Afiani P1337420216104
3. Nabilla Rizka P. H. P1337420216105

TINGKAT : 2C

DOSEN PENGAMPU
Subandiyo, S.Pd. S.Kep. Ns. M.Kes

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

PRODI D III KEPERAWATAN PURWOKERTO

2017
EMFISEMA

A. Pengertian Emfisema

Emfisema merupakan salah satu golongan penyakit paru menahun, di mana terjadi
gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai dengan adanya pelebaran permanen ruang
udara di distal bronkiolus terminal disertai adanya kerusakan jaringan parenkim paru
(alveoli). (Asih. N.L.G.Y., Effendy, C., 2004 )

Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal
ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Sedangkan
merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat dari Penyakit Paru
Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai
dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara)
kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

 Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan


yang terjadi dalam paru-paru :
1) PLE (Panlobular Emphysema / panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru
bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli.
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak
distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara
merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-
paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer,
Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik.
2) CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari
asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan
kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah
sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara
selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai
berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
3) Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara
dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai
sebab dari pneumotorak spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya
bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi
lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan
mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut
kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.

B. Etiologi Emfisema

1. Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya
adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar
imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit
obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase
supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan
elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat
menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag
alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia
epitel skuamus saluran pernapasan.
4. Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya
lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma
bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis
kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan
paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan
streptococcus pneumoniae.
5. Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka
kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi,
polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia
menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak
begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
6. Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena
perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi
yang lebih jelek.
7. Pengaruh usia

C. Tanda dan Gejala Emfisema


Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-
bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun
mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul
batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan
spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan
kegagalan nafas dan meninggal dunia. Tanda dan Gejala Emfisema, meliputi:
1. Dispnea
2. Pada inspeksi, pasien biasanya tampak mempunyai barrel chest akibat udara yang
terperangkap, penipisan massa otot, dan pernafasan dengan bibir dirapatkan
3. Ditemukan hiperesonansi dan penurunan fremitus ditemukan pada seluruh bidang
paru
4. Pada auskultasi, menunjukkan tidak terdengarnya bunyi nafas dengan krekles,
ronki, dan perpanjangan ekspirasi
5. Pada tahap lanjut akan terjadi hipoksemia (kadar O2 rendah) dan hiperkapnia
(kadar CO2 tinggi).
6. Anoreksia
7. Penurunan berat badan
8. Kemungkinan terjadi distensi vena leher selama ekspirasi

D. Patofisiolofi Emfisema

Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang
akan menyebebkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu
akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi
jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli,
jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat
alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang
disebut blebs dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan
menyebabkan peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru,
selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap
normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda
biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas
ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang
yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru.
Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim
proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan
anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan
kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber
elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan
elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa-
1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan
elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan
tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru
ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan
paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien
emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya
saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan
perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak
nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-
alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai
sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari
obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara
dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

E. Pathway Emfisema
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X dada
Hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal,
penurunan tanda vaskularisasi (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskular (bronkitis).
2. Tes fungsi paru
Untuk menentukan penyebab dipsnea, menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstruksi atau restruksi, dan untuk mengevaluasi efek terapi.
3. Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema
4. Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
5. AGD ( Analisis Gas Darah )
PaO2 menurun, PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema), dan
menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi.
6. Bronkogram
Menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkial pada ekspirasi
kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkhitis.
7. Kimia darah : meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
8. Sputum : menentukan adanya infeksi, patogen, gangguan alergi.
9. EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emifisema), aksis
vertikal QRS (emfisema)
10. JDL (jumlah darah lengkap) dan diferensial
Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)
G. Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat
kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan
hipoksia.
1. Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan baik edema mukosa
maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan nafas
maupun dalam memperbaiki pertukaran gas.
2. Terapi aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari
bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam
bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk
memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan
trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme, menurunkan
edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses
pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki
fungsi ventilasi.
3. Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada saat
awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan Branhamella
catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba
dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim)
biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi
pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid
digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi.
Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang
terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan
nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi
adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
5. Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema
berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan
PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya 16
jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.

H. Komplikasi Emfisema
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5. Pneumonia
6. Pneumothoraks
7. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

I. Asuhan Keperawatan Emfisema


I. PENGKAJIAN
1. Identitas klien

Nama :

Umur :

Suku bangsa :

Pekerjaan :

Agama :

Status perkawinan :

Alamat :

Tanggal masuk :

Diagnosa Medis :
2. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu

Klien mengatakan selama 3 tahun terakhir mengalami batuk produktif dan


pernah menderita pneumonia .

2. Riwayat kesehatan sekarang

Keluhan utama : sesak nafas , batuk , dan nyeri , di daerah dada sebelah
kanan pada saat bernafas . banyak secret keluar ketika batuk , berwarna
kuning kental , merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas .

3. Riwayat kesehatan keluarga

3. Pola fungsional Gordon


1. Pola Persepsi diri
Bagaimana pendapat klien tentang penyakit yang dideritanya.
2. Pola Nutrisme/Metabolisme
Bagaimana diet yang dilakukan oleh pasien dan apa saja yang dikonsumsi
pasien setiap harinya.
3. Pola Eliminasi
Bagaimana pengeluaran urine dan feses pasien setiap harinya.
4. Pola Aktivitas
Bagaimana pasien melakukan pekerjaan atau kegiatan setiap harinya.
5. Pola Istirahat Tidur
Bagaimana pola tidur pasien setiap harinya dan apakah sesak nafas yang
diderita mengganggu pola tidurnya.
6. Pola Kognitif-Persepsi
Apakah pasien mengalami gangguan dengan fungsi indra
7. Pola Peran Hubungan
Bagaimana pola dan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat disekitarnya
dan apakah penyakitnya menggagu pola tersebut.
8. Pola Seksualitas/Reproduksi
Bagaimana respon seksualitas pasien
9. Pola Koping Toleransi Stress
Bagaimana keadaan emosi pasien sehari-hari
10. Pola Keyakinan Nilai
Apa dan bagaimana keyakinan pasien
11. Pola Konsep diri
Bagaimana pasien menilai dirinya sendiri

4. Pemeriksaan Fisik
1. Rambut dan hygene kepala : Warna rambut hitam ,tidak berbau , rambut
tumbuh subur , dan kulit kepala bersih .
2. Mata : Posisi mata simetris , konjungtiva merah muda , skelera putih , dan
pupil isokor dan respon cahay baik .
3. Hidung : Simetris kiri dan kanan , dan tidak ada pembengkakan dan berfungsi
dengan baik .
4. Mulut dan tenggorokan : Rongga normal , mucosa terlihat pecah – pecah ,
tonsil tidak ada pembesaran .
5. Telinga : Simetris kiri dan kanan , tidak ada serumen , dan pendengaran tidak
terganggu .
6. Leher : Kelenjer getah bening , sub mandibula dan sekitar telinga tidak ada
pembesaran
7. Dada/ thorak :
- Inspeksi : mempunyai bentuk dada barrel chest, dispnea, pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya
tanda pertama infeksi pernapasan
- Palpasi : ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
- Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menurun.
- Auskultasi : Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus.
8. Kardiovaskular : Irama jantung regular S1,S2 tunggal, Nyeri dada ada skalanya
6, Akral lembab.
9. Persyarafan : Pusing dan gangguan tidur
10. Perkemihan B4 (bladder) : Normal
11. Pencernaan : Anoreksi disertai mual sehingga BB menurun.
12. Muskuloskeletal/integument : turgor kulit berkeringat

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi.


2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendir.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia.
4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan
dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
5. Kecemasan b/d perubahan status kesehatan.
6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang dideritanya.

III. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Gangguan pertukaran gas b/d ketidaksamaan ventilasi-perfusi.


 Tujuan: Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan
GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
 Intervensi:
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas
bibir, ketidak mampuan bicara/berbincang. R/ Berguna dalam evaluasi derajat
distres pernapasan dan/atau kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah
untuk bernapas. Dorong napas dalam perlahan atau napas bibir sesuai
kebutuhan/toleransi individu. R/ Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan
posisi duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea, dan kerja napas.
3) Berikan bronkodilator sesuai yang diharuskan. Dapat diberikan peroral, IV, rektal,
atau inhalasi. Berikan bronkodilator oral atau IV pada waktu yang berselingan
dengan tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur. R/ Bronkodilator mendilatasi
jalan napas dan membantu melawan edema mukosa bronkial dan spasme
muskular. Karena efek samping dapat terjadi pada tindakan ini, dosis obat
disesuaikan dengan cermat untuk setiap pasien, sesuai dengan toleransi dan
respons klinisnya.
4) Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan
batuk yang efektif. R/ Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan
napas & membersihkan jalan napas dari sputum. Perbaikan pertukaran gas.
5) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien. R/ Dapat memperbaiki/mencegah memburuknya hipoksia.

2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi lendir.


 Tujuan: Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas.
 Intervensi:
1) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara, sebagai pengganti
makan. R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah
pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan tekanan pada
diafragma.
2) Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk. R/ Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk
menghasilkan sekresi tanpa menyebabkan sesak napas dan keletihan.
3) Berikan humidifikasi tambahan, mis: nebuliser ultranik, humidifier aerosol
ruangan. R/ Kelembaban menurunkan kekentalan sekret mempermudah
pengeluaran dan dapat membantu menurunkan/mencegah pembentukan mukosa
tebal pada bronkus.
4) Bantu pengobatan pernapasan, mis: IPPB, fisioterapi dada. R/ Drainase postural
dan perkusi bagian penting untuk membuang banyaknya sekresi/kental dan
memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru.
5) Berikan antibiotik sesuai resep dokter. R/ Antibiotik untuk mencegah atau
mengatasi infeksi.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia.


 Tujuan: Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan
dan/atau mempertahankan berat yang tepat.
 Intervensi:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh. R/ Pasien distres pernapasan akut sering
anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan obat.
2) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tisu. R/ Rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama
terhadap napsu makan dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan
kesulitan napas.
3) Dorong periode istirahat semalam 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering. R/ Membantu menurunkan kelemahan selama waktu
makan dan memberikan kesempatan meningkatkan masukan kalori total.
4) Konsultasikan dengan ahli gizi/nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan
yang mudah di cerna, secara nutrisi seimbang, mis: tambahan oral/selang, nutrisi
parenteral. R/ Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada
situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya
minimal pasien/penggunaan energi.
4. Defisit perawatan diri b/d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya
pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
 Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri.
 Intervensi:
1) Ajarkan klien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas
(mis: berjalan, membungkuk). R/ Akan memungkinkan klien untuk lebih aktif dan
untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea selama aktivitas.
2) Berikan dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan, dan
minum cairan. Bahas tentang tindakan penghematan energi. R/ Sejalan dengan
teratasinya kondisi, klien mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong
untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
3) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan. R/ Memberikan dorongan
untuk terlibat dalam perawatan dirinya, membangun harga diri dan menyiapkan
klien untuk mengatasinya di rumah.

5. Kecemasan b/d perubahan status kesehatan.


 Tujuan: Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program
rehabilisasi paru.
 Intervensi:
1) Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan
pada klien. R/ Suatu perasaan harapan atau memberikan klien sesuatu yang dapat
dikerjakan dan bukan sikap yang merasa kalah tidak berdaya.
2) Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala. R/ Aktivitas mengurangi
ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan klien menjadi
terkondisi.
3) Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi klien. R/
Relaksasi mengurangi stress dan ansietas serta membantu klien untuk mengatasi
ketidakmampuannya.
4) Daftarkan klien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia. R/ Program
rehabilitasi paru telah menunjukkan dapat meningkatkan perbaikan subjektif status
dan harga diri pasien juga meningkatkan toleransi latihan serta mengurangi
hospitalisasi.
5) Sarankan konseling vokasional untuk menggali kesempatan alternatif pekerjaan
(jika memungkinkan). R/ Modifikasi pekerjaan mungkin harus dibuat dan sumber-
sumber yang sesuai digunakan untuk mencapai tujuan ini.

6. Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai penyakit yang


dideritanya.
 Tujuan: Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan.
 Intervensi:
1) Bantu klien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
Ajarkan klien tentang penyakit dan perawatannya. R/ Klien harus mengetahui
bahwa ada rencana dan metode pengobatan, Mengajarkan klien tentang kondisinya.
2) Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok, berikan informasi tentang sumber-
sumber kelompok. R/ Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan
menghilangkan mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan
kapasitas paru menurun.

IV. EVALUASI

1. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distres pernapasan.
2. Mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/ jelas.
3. Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan/atau
mempertahankan berat yang tepat.
4. Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri.
5. Mendapatkan mekanisme koping yang efektif dan ikut serta dalam program rehabilisasi
paru.
6. Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
J. Daftar Pustaka

- Zulkarnain, N. 2011. Asuhan Keperawatan Emfisema. 7 Oktober 2017 dari http://nuzulul-


fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35528-Kep%20Respirasi-
Askep%20Emfisema.html#popup
- Haryadie, W.R. 2012. Emfisema. 7 Oktober 2017 dari
http://kampusdokter.blogspot.co.id/2012/12/emfisema.html
- Ngurah, J. 2014. Laporan pendahuluan asuhan keperawatan emfisema. 7 Oktober 2017 dari
/http://askepterkini.blogspot.co.id/2014/05/laporan-pendahuluan-asuhan-
keperawatan_6784.html
- Bagus, H. 2013. Laporan pendahuluan emfisema. Oktober 2017 dari
http://hermankampus.blogspot.com/2013/04/laporan-pendahuluan-emfisema.html
- Chin, D. 2014. Laporan pendahuluan emfisema. Oktober 2017 dari http://daek-
chin.blogspot.co.id/2014/11/laporan-pendahuluan-emfisema.html
- Ilmu keperawatan. 2011. Asuhan keperawatan emfisema. Oktober 2017 dari
http://www.ilmukeperawatan.info/2011/10/asuhan-keperawatan-emfisema.html

Anda mungkin juga menyukai